KECERAHAN LANGIT MALAM ARAH ZENIT DI OBSERVATORIUM BOSSCHA DAN ANALISIS AWAL WAKTU SHUBUH DAN ISYA
MENGGUNAKAN SKY QUALITY METER
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Jurusan Pendidikan Fisika Program Studi Fisika
Oleh
AHMAD RIDWAN AL-FARUQ 0608958
PROGRAM STUDI FISIKA JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
KECERAHAN LANGIT MALAM ARAH ZENIT DI
OBSERVATORIUM BOSSCHA DAN ANALISIS
AWAL WAKTU SHUBUH DAN ISYA
MENGGUNAKAN SKY QUALITY METER
Oleh
Ahmad Ridwan Al-Faruq
Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Program Studi Fisika
© Ahmad Ridwan Al-faruq 2013 Universitas Pendidikan Indonesia
April 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
AHMAD RIDWAN AL-FARUQ
KECERAHAN LANGIT MALAM ARAH ZENIT DI OBSERVATORIUM
BOSSCHA DAN ANALISIS AWAL WAKTU SHUBUH DAN ISYA
MENGGUNAKAN SKY QUALITY METER
DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING :
Pembimbing I,
Dr. Dhani Herdiwijaya. NIP. 196302261990011001
Pembimbing II,
Judhistira Aria Utama. M.,Si NIP. 197703312008121001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Pendidikan Fisika
KECERAHAN LANGIT MALAM ARAH ZENIT DI OBSERVATORIUM BOSSCHA DAN ANALISIS AWAL WAKTU SHUBUH DAN ISYA
MENGGUNAKAN SKY QUALITY METER
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pentingnya studi kecerahan langit, terutama untuk mengetahui awal waktu Shubuh dan Isya bagi umat Muslim serta mengetahui kecerahan langit malam terbaik di langit Observatorium Bosscha menggunakan Sky Quality Meter (SQM). Alat SQM ini memiliki pembacaan yang langsung terkoneksi dengan komputer dengan satuan kecerahan langit magnitudo per satuan detik busur kuadrat (mag/arc sec²). Kondisi langit malam yang gelap adalah suatu keharusan bagi sebuah observatorium, karena sangat penting dalam kegiatan-kegiatan observasi. Langit malam yang kotor akibat polusi cahaya akan menyebabkan sulitnya alat optik untuk menangkap cahaya dari objek yang diteliti. Kecerahan langit malam dihasilkan oleh beberapa faktor diantaranya cahaya kota, air-glow, integrated starlight dan zodiacal light. Kecerahan Langit terbaik di Observatorium Bosscha diperoleh nilai 20,38 mag/arc sec² pada arah z = 00 dengan menggunakan metode studi observasi monitoring selama bulan September-Oktober 2012. Hasil penelitian pada SQM yang mengarah pada sudut z = 45° ke Timur dan sudut z = 45° ke Barat mendapatkan nilai untuk awal waktu salat Shubuh dan Isya untuk daerah Bandung ketika Matahari pada posisi -15º dan -14º pada musim basah dan -16° dan -15° untuk musim kering. Hasil ini berbeda dengan acuan yang dipakai oleh Kementerian Agama RI yang menetapkan -20º dan -18º untuk salat Shubuh dan Isya.
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN i
LEMBAR PERNYATAAN ii
KATA PENGANTAR iii
UCAPAN TERIMA KASIH iv
ABSTRAK v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian 1
1.2 Batasan Masalah 5
1.3 Rumusan Masalah 5
1.4 Tujuan Penelitian 5
1.5 Manfaat Penelitian 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kecerlangan Langit 7
2.2 Formulasi dan Satuan Kecerlangan Langit 8
2.3 Sky Quality Meter 10
2.3.1 Kegunaan Sky Quality Meter 12
2.3.3 Skala Pembacaan 13
2.4 Waktu Shubuh dan Isya 14
2.4.1 Benang Putih dan Benang Hitam 16
2.4.2 Fajar 17
2.4.3 Fajar dalam Tinjaun Astronomi 20
2.4.4 Penentuan Awal Waktu Shubuh dan Isya 22
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian 26
3.2 Objek Penelitian 26
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian 26
3.4 Alur Proses Pengambilan Data 28
3.5 Alat yang Digunakan 28
3.6 Metode Pengukuran Kecerlangan Langit 30
3.7 Metode Penentuan Awal Waktu Salat Shubuh dan Isya 37
3.8 Interpretasi 39
BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian 40
4.2 Pembahasan
4.2.1 Nilai Kecerlangan Langit 41
4.2.2 Awal Waktu Salat Shubuh 46
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan 56
5.2 Rekomendasi 57
DAFTAR PUSTAKA 58
LAMPIRAN-LAMPIRAN 60
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Penelitian mengenai kecerahan langit adalah suatu studi yang penting dalam
menjaga tata kehidupan manusia, dan memelihara ekosistem yang hidup di malam
hari atau yang disebut mahluk nokturnal. Kecerahan langit dapat diakibatkan oleh
sumber alami dan sumber aktivitas manusia. Keberadaan Bulan di langit malam
dan cahaya zodiak merupakan contoh sumber alami. Kecerahan langit sangat
dipengaruhi oleh pencahayaan yang berlebihan, tidak teratur, boros energi dan
tidak tepat sasaran. Pencahayaan seperti ini mengakibatkan polusi cahaya. Efek
polusi cahaya diperkuat oleh tingginya polusi udara, karena aerosol akan semakin
menghamburkan cahaya yang mengarah ke langit.
Polusi cahaya umumnya diakibatkan oleh desain pencahayaan yang buruk,
yang membiarkan cahaya buatan bersinar ke mana-mana, ke arah langit, atau ke
tempat di mana cahaya itu tidak dibutuhkan. Manusia sebagai makhluk diurnal
(makhluk siang) mencoba merekayasa malam supaya malam menerima diri kita,
supaya kita bisa melihat malam sama jelasnya dengan makhluk nokturnal
(makhluk malam) di planet ini, tetapi apa yang dilakukan manusia ternyata
memiliki efek yang sangat besar terhadap kelangsungan ekosistem yang hidup
dengan mengandalkan gelapnya malam.
Polusi cahaya selama ini dianggap tidak membahayakan manusia, ternyata
anggapan tersebut salah. Berbagai disiplin ilmu telah banyak mempelajari
pengaruh dari polusi cahaya ke dalam beberapa aspek kehidupan. Bahkan
sekarang sudah terbentuk beberapa kelompok khusus yang bekerja mengenai
akibat dari polusi cahaya, diantaranya Himpunan Astronomi Internasional (IAU-
International Astronomical Union), Asosiasi Langit Gelap Internasional (IDA –
2
1989), IESNA (Illuminating Engineering Society of North America) dan ILE (The Institution of Lighting Engineers, di Inggris). Semuanya bersepakat untuk membantu menyadarkan masyarakat akan pentingnya langit malam yang gelap
karena sangat berpengaruh kepada keseimbangan kehidupan semua mahluk di
Bumi.
Dalam ilmu kesehatan, polusi cahaya mengganggu pertumbuhan manusia,
tumbuhan, dan hewan. Studi di bidang medis berhasil menunjukkan pula bahwa
paparan cahaya buatan pada malam hari, terutama pada rentang 00:00 – 04:00
pagi, dapat mempengaruhi kesehatan sistem endokrin manusia. Sistem endokrin
adalah sistem kontrol kelenjar tanpa saluran (ductless) yang menghasilkan hormon yang tersirkulasi di tubuh melalui aliran darah untuk memengaruhi organ-organ
lain.Hormon bertindak sebagai "pembawa pesan" dan dibawa oleh aliran darah ke
berbagai sel dalam tubuh, yang selanjutnya akan menerjemahkan "pesan" tersebut
menjadi suatu tindakan. Di sisi lain, dalam tubuh manusia terjadi peningkatan kadar hormon melatonin antara pukul 2 hingga 4 pagi. Hormon Melatonin ini
berfungsi sebagai peningkat immune dalam tubuh manusia. Meskipun demikian, prosesnya sendiri sudah dimulai sejak awal malam di mana gelap datang dan
cahaya buatan banyak dinyalakan. Bahkan cahaya dalam kadar yang kecil
sekalipun dapat menekan produksi hormon melatonin yang akan mempengaruhi
pola tidur dan perbaikan sistem kekebalan tubuh kita. Sebagai contoh, paparan
cahaya sebesar 500 – 1000 lux selama 1 hingga 2 jam sebelum tidur dapat
menekan produksi melatonin sebesar 40% sampai 60%.
Dampak dari kebiasaan orang-orang yang tetap bekerja dalam rentang waktu
di atas memiliki peluang yang lebih besar untuk terserang kanker payudara. Telah
terbukti bahwa melatonin dapat menghentikan pertumbuhan sel kanker payudara
dalam laboratorium hewan. Kelompok riset di Amerika Serikat telah memiliki
banyak bukti untuk menunjukkan bagaimana aktivitas malam hari di bawah
paparan cahaya dapat mempertinggi kemungkinan kanker payudara. Bukti-bukti
dimunculkan dalam laporan yang disajikan oleh Robert A. Han dari Center for Disease Control and Prevention di Atalanta, Amerika Serikat.
Selain berbahaya untuk manusia ternyata polusi cahaya berbahaya juga bagi
hewan yang mengandalkan cahaya dalam siklus kehidupannya. Misalnya penyu
yang mengandalkan cahaya alami di kaki langit untuk merayap kembali ke laut
sehabis bertelur, karena adanya cahaya buatan manusia di pinggir pantai
menjadikan jalur perjalanan reptil itu terganggu. Disamping itu telah diperkirakan
kurang lebih seratus juta burung di Amerika Utara, sebagian besar burung
penyanyi yang terbangnya rendah, mati setiap tahun akibat menabrak gedung
pencakar langit karena ‘terpikat’ dengan cahaya terangnya. Sementara burung
yang terdisorientasi cahaya kota akan terus berputar-putar dan umumnya mati
karena kelelahan.
Dalam aspek keamanan dan keselamatan, Painter & Farrington (1999) dan
Pease (1999) meneliti keterkaitan antara peningkatan penggunaan cahaya dengan
pengurangan kriminalitas. Saat ini ada dua teori utama tentang hal ini, yang
pertama menyatakan peningkatan penggunaan cahaya akan meningkatkan pula penjagaan informal dari kemungkinan penyerangan (dampak dari bertambahnya
visibilitas dan jumlah pengguna jalan pada suatu waktu). Sementara menurut teori
kedua, peningkatan penggunaan cahaya berperan dalam mengundang maraknya investasi yang akan memajukan sektor ekonomi wilayah tersebut, menumbuhkan
kebanggaan wilayah sekaligus kekerabatan komunitasnya sehingga hadir suatu
kontrol sosial. Sayangnya, banyak kita jumpai penerangan untuk tujuan keamanan
dengan instalasi yang tidak mempertimbangkan kecocokan dengan tugas yang
diembannya dan mengabaikan pengaruhnya terhadap lingkungan sekitar.
Polusi cahaya akan berakibat langsung pada kegiatan pengamatan astronomi.
Sudah menjadi kelaziman bahwa sebuah tempat peneropongan (observatorium)
terletak menyepi atau jauh dari perkotaan. Pemilihan lokasi observatorium
dilakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi sejumlah kriteria, seperti wilayah
4
di atmosfer lapisan atas berada dalam jumlah minimum, banyaknya hari kering
dalam satu tahun, rendahnya kelembaban udara, dan tentu saja kondisi langit
malam yang gelap (Utama, 2009). Efek pencahayaan yang tidak teratur
mengakibatkan cahaya terpantulkan ke arah langit, naik ke atmosfer dan
dihamburkan oleh aerosol dan bulir-bulir uap air, sehingga langit menjadi terang
dan bintang-bintang yang harusnya terlihat terhalang oleh efek pencahayaan. Hal
ini bisa kita rasakan dengan membandingkan langit kota dan daerah terpencil pada
malam hari.
Kecerahan langit adalah faktor utama dalam penelitian astronomi, semakin
besar nilai kecerahan langit (dalam satuan magnitudo per satuan luas) maka
semakin gelap langit dan semakin memudahkan benda-benda langit untuk terlihat.
Sebaliknya, semakin kecil nilai kecerahan langit maka semakin terang langit dan
semakin sulit benda-benda langit untuk terlihat. Selain polusi cahaya, efek bulan
purnama, galaksi bima sakti, dan awan juga mempengaruhi hal ini.
Studi kecerahan langit malam sangatlah diperlukan dalam menentukan
kelayakan ilmiah sebuah observatorium. Ada beberapa metode dalam mengukur
nilai kecerahan langit malam, yang paling konvensional adalah pengukuran
fotometri. Metode ini membutuhkan waktu yang cukup lama juga peralatan yang
tidak murah, tetapi akhir-akhir ini sudah ada alat mengukur kecerahan langit yang
lebih modern dan lebih sederhana yaitu Unihedron Sky Quality Meter (SQM). SQM adalah fotometer yang memiliki ukuran saku sehingga sangat mudah dibawa
kemana-mana dan memiliki harga yang relatif murah. Hasil pengukurannya sudah
dalam satuan kecerahan langit yaitu magnitudo per satuan detik busur kuadrat
(MPDB) sehingga akan lebih cepat untuk diteliti.
Penelitian kecerahan langit menggunakan Sky Quality Meter juga bisa dilakukan untuk menguji kadar polusi cahaya, ketepatan waktu salat Shubuh dan
Isya, ketepatan waktu Gerhana Bulan atau ketepatan waktu Gerhana Matahari
Total, dll. Hal yang kedua ini bisa dianalisis dari hasil bacaan alat SQM selama
telah menetapkan acuan waktu salat Shubuh dan Isya, yaitu ketika sudut depresi
Matahari untuk salat Shubuh pada 200 dan Isya pada 180 di bawah ufuk,
sayangnya ketetapan ini belum didukung oleh fakta ilmiah / hasil observasi. Maka
melalui penelitian ini bisa dianalisis dengan lebih akurat mengenai penetapan
awal waktu kedua salat tersebut.
1.2 Batasan Masalah
Seperti yang diuraikan pada latar belakang, faktor-faktor yang menjadikan
layak tidaknya sebuah observatorium berdiri itu sangatlah banyak. Maka penulis
membatasi penelitian ini pada studi kecerahan langit malam menggunakan alat
pengukur kecerahan langit SQM (Sky Quality Meter) di arah z = 0° dan z = 45° arah timur, barat, utara, dan selatan di atas Teleskop Surya Observatorium
Bosscha. Dampak dari penelitian ini adalah diketahuinya kadar polusi cahaya dan
akurasi yang lebih baik dari waktu salat Shubuh dan Isya.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka dapat dirumuskan
permasalahan penelitian sebagai berikut: Berapakah ukuran kecerahan langit di
arah zenit Observatorium Bosscha dan berapakah sudut depresi matahari untuk
awal waktu salat Shubuh dan Isya?
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis nilai kecerahan langit malam
di arah zenit Observatorium Bosscha, juga untuk mendapatkan awal waktu salat
6
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil peneltian ini diharapkan dapat menyumbangkan manfaat untuk semua
bidang. Diantaranya penyadaran efisiensi energi, yaitu mengurangi konsumsi
energi berlebih suatu tempat yang menimbulkan polusi cahaya terutama di daerah
Observatorium Bosscha akibat polusi cahaya yang disumbangkan oleh kota
Lembang dan kota Bandung. Manfaat lain adalah penyadaran lingkungan dalam
menyelamatkan ekosistem mahluk nokturnal atau mahluk yang hidup di malam hari.
Koreksi mengenai awal waktu salat Shubuh dan Isya yang dikeluarkan oleh
pemerintah selama ini berbeda dengan negara-negara lain, serta belum adanya
dukungan data ilmiah terhadap acuan yang dipakai. Hasil penelitian ini dapat
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi observasi
monitoring, yaitu dengan melakukan pengamatan dalam interval waktu tertentu
dengan mengukur kecerahan langit menggunakan alat SQM jenis LE dan LU.
Perbedaan LU dan LE adalah dari jenis keluarannya, LE adalah SQM dengan
koneksi Ethernet sedangkan LU dengan koneksi USB.
3.2 Objek Penelitian
Objek penelitian dalam skripsi ini adalah kecerahan langit malam di
Observatorium Bosscha di arah timur, barat, utara, dan selatan pada sudut z=45°,
ditambah arah zenit pada z = 0º, zenit adalah titik hayal di atas kepala pengamat.
Penelitian ini pun bertujuan untuk mendapatkan kapan terjadinya fajar sebagai
awal waktu salat Shubuh dan waktu salat Isya
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Observatorium Bosscha di atas Teleskop Surya,
dengan koordinat 1070 32’ 42.3’’ BT, 60 51’ 22.9’’ LS; dan ketinggian 1330 dpl.
Lokasi ini sangat strategis karena merupakan pusat peneropongan utama di
Indonesia dan secara letaknya tidak berdempetan dengan daerah urban. SQM yang
dipakai berjumlah tiga buah, 1 dipasang ke arah z = 0° dan 2 SQM yang dipasang
27
Gambar 3.1 Lokasi penelitian kecerahan langit, alat SQM di pasang di atas atap teleskop surya observatorium bosscha lembang
(sumber: Koleksi Pribadi)
Pengambilan data dimulai dari bulan September 2012 sampai Oktober 2012.
Penelitian dilakukan setiap hari dari 17.30 WIB sampai 05.30 WIB hari
berikutnya (12 jam pengambilan data). Pengambilan data diambil secara kontinu
menggunakan SQM yang terhubung dengan perangkat komputer setiap 3 detik
sekali.
Selain dengan pengamatan langsung pada musim basah, penelitian juga
didukung dengan data SQM yang sudah ada pada musim kering, yaitu pada
selama bulan Juni 2012. Data pada musim kemarau diperlukan agar hasil pada
kedua musim bisa dibandingkan, baik untuk kecerahan langit ataupun dalam
3.5Alur Proses Pengambilan Data
Secara ringkas alur pengamatan dapat dilihat dalam bagan di bawah ini:
Gambar 3.2 Diagram Alur Pengambilan Data
3.5 Alat yang Digunakan
Instrumen utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2 SQM LU
yang di pasang ke arah timur-barat dan utara-selatan pada jarak z=45° dan 1 SQM
LE yang mengarah ke arah zenit pada z=0°. Kedua jenis ini bisa dilihat dalam
gambar 3.3a dan b.
Rajah dalam grafik intensitas terhadap waktu
Analisis
Selesai Mulai
Pengamatan
Data
Pengolahan data menggunakan perangkat lunak (MS. Excel)
29
Gambar 3.3 a. SQM-LU Gambar 3.3 b. SQM-LE (Sumber: www. Unihedron.com) (Sumber: www. Unihedron.com)
Gambar 3.4 SQM yang dipasang ke arah timur, barat dan zenit (Sumber: Koleksi Pribadi)
Pengukuran untuk mendapatkan nilai kecerahan langit diarahkan ke zenit
dengan menggunakan SQM jenis Ethernet (SQM-LE). Sedangkan pengukuran
yang diarahkan ke sudut 450 Timur dan sudut 45° Barat. Penggunaan 2 SQM ini
sebelum digunakan haruslah melalui proses kalibrasi agar bacaan yang dihasilkan
sama.
Proses kalibrasi 2 SQM ini sudah dilakukan oleh Mahasiswa Magister ITB
Eka Puspita Armaningtyas yang menggunakan 2 SQM yang sama untuk
penelitian Tesis yang dia gunakan untuk daerah ITB, Jombang dan Cimahi
melalui pengukuran stabilisasi, pengukuran linearitas, dan pengukuran offset 2 SQM ini.
Dua SQM yang dipakai dalam penelitian memiliki stabilisasi juga
memiliki linearitas yang bagus. Pengukuran offset antar 2 alat yang digunakan tidak jauh berbeda hasilnya karena berasal dari pabrik yang sama.
3.6Metode Pengukuran Kecerahan langit
SQM dipasang pada sebuah tiang besi yang sudah dibuat mengarah ke arah
zenit dan 45 derajat ke timur dan barat sesuai gambar 3.4. SQM dimasukan ke
dalam tabung yang sudah dibuat sedemikian rupa sehingga SQM aman dari
gangguan hewan atau cuaca yang tidak diinginkan. Lalu setelah terpasang dengan
arah yang diinginkan SQM dihubungkan dengan komputer yang sudah tersedia di
ruang teleskop surya.
SQM dijalankan dengan perangkat lunak yaitu SQM Reader. Aplikasi ini dapat membaca nilai kecerahan langit dalam bentuk MPSAS (mag/arcsec²)
sampai tiap 5 menit dengan format keluaran berbentuk csv. Penggunaan SQM
Reader dimulai dengan memilih dahulu tipe SQM yang digunakan (SQM-LU atau
SQM-LE), lalu ditentukan rentang waktu pengambilan data dengan menekan
31
Gambar 3.5 Jendela SQM Reader dalam memilih jenis SQM
Untuk mendapatkan data yang lebih detail yaitu per detik, maka kita bisa
menggunakan aplikasi lain yang disediakan dengan format .tcl
Gambar 3.6 Tampilan sqm-display.tcl
Gambar 3.6 adalah tampilan sqm-display.tcl. Pengaktifan SQM dilakukan
panel/ administrative tools/ computer management/ device manager/. Interval pembacaan ada dua pilihan yaitu manual update atau auto update. Dengan mengaktifkan panel auto update interval dapat dipilih mulai 1-60 detik. Dengan mengaktifkan salah satu panel tersebut bacaan SQM dapat disimpan di komputer,
untuk kemudian dapat diolah dengan MS. Excel.
Kelemahan dari perangkat lunak SQM Reader dan sqm-display adalah tidak
bisa diatur secara otomatis mematikan dan menghidupkan SQM. Untuk
melakukan pengamatan yang berlangsung tiap hari, SQM harus dimatikan di
siang hari, yaitu di saat hari menjelang pagi sampai menjelang malam, maka
dengan bantuan SQM Reader Pro hal ini dapat diatur dengan menonaktifkan
secara otomatis dan menghidupkan kembali secara otomatis.
Data yang dihasilkan akan langsung tersimpan di komputer dalam bentuk .csv
atau .tcl. Data tersebut dimasukan ke dalam Ms. Excel dengan format yang sudah
ditabelkan, lalu dibuat grafik magnitude/arcsec² terhadap waktu pengamatan.
Mengolah data kecerahan langit yang sudah didapat bisa melalui beberapa
tahap sebagai berikut:
1. Buka perangkat lunak pengolah data ( Microsoft Excel)
2. Pemilihan data dengan mengklik Open di menu File. Untuk melihat data yang akan diolah diubah terlebih dahulu keluaran data menjadi all files di sebelah kanan bawah, seperti yang ada pada gambar 3.7
3. Setelah memilih data yang akan diolah, maka akan muncul jendela text
import wizard-step 1-3. Pada step pertama maka kita pilih delimited lalu next,
pada step kedua centang tab, space dan comma agar keluaran data sudah dalam bentuk kolom. Terakhir pada step 3 klik general lalu finish. Semuanya bisa dilihat pada gambar 3.8a-c.
4. Setelah itu data akan muncul dalam Excel dengan 10 kolom seperti pada
gambar 3.9 Waktu dimulai dari jam 00:00-05:30 am dilanjut 05:30-12:00 pm
5. Untuk memulai memplot grafik, maka urutan waktu harus diubah terlebih
dahulu sesuai penelitian yaitu dari jam 05:30 pm sampai jam 05:30 am. Ini
33
6. Delete Kolom serial no, NELM, Protocol, Model, dan Feature, karena tidak akan banyak difungsikan, selain itu akan menambah beban memori dalam
komputer, seperti pada gambar 3.11
7. Ubah format waktu menjadi 24 jam, lalu diubah menjadi bentuk desimal
dengan bantuan rumus dalam MS. Excel. Seperti terlihat pada gambar 3.12
8. Untuk menghasilkan grafik yang mudah dibaca, maka ubah waktu menjadi 2
bagian, yaitu sebelum jam 12 malam dan sesudahnya, seperti terlihat pada
gambar 3.13
9. Plot grafik dengan mengklik menu insert lalu pilih jenis grafik yang akan digunakan dan masukan data x untuk waktu pengamatan dan y untuk nilai
kecerahan langit dalam bentuk mag/arcsec² (MPSAS), seperti terihat pada
gambar 3.14
Gambar 3. 8a. Jendela text import wizard 1, pilih Delimited
Gambar 3.8b. Jendela text import wizard 2, centang Tab, Comma, dan Space
35
Gambar 3.9. Tampilan data dalam MS. Excel
Gambar 3.10. Merubah susuan data sesuai urutan pengamatan
Gambar 3.12. Merubah format waktu menjadi bentuk desimal
37
Gambar 3.14. Tampilan grafik sky brightness
3.9 Metode Penentuan Awal Waktu Salat Shubuh dan Isya
Metode pengukuran dan pengolahan data untuk awal waktu salat Shubuh dan
Isya hampir sama dengan metode pengolahan data kecerahan langit, tetapi data
yang dipakai dimulai saat menjelang fajar sampai matahari terbit untuk salat
Shubuh dan pada saat matahari terbenam sampai malam gelap untuk mendapatkan
waktu salat Isya.
Fajar Shadiq adalah fajar yang dijadikan awal waktu salat Shubuh, fajar ini
bisa diamati dengan mata telanjang. Dengan demikian alat SQM yang memiliki
ketidakpastian ± 0,1 MPSAS akan sangat membantu mengamati terjadinya
perubahan waktu malam menuju fajar.
Pola perubahan kecerahan langit dari kondisi gelap menuju terang sebagai
acuan masuknya waktu fajar Shadiq atau waktu salat Shubuh. Gambar 3.15 adalah
hasil grafik fajar yang didapatkan setelah diolah menggunakan MS. Excel. Untuk
mendapatkan secara lebih akurat kapan awal waktu Salat? Maka dicari simpangan
kecerahan langit pada waktu bacaan SQM masih stabil di akhir malam. Ketika
hasil simpangan memiliki nilai minus, maka disanalah awal waktu salat Shubuh,
Untuk mendapatkan awal waktu salat Isya, maka data yang digunakan adalah
data yang diperoleh dari mulai sore hari sampai malam, awal waktu salat Isya
dimulai saat kondisi bacaan SQM mulai stabil. Data akan diolah dengan bantuan
Ms. Excel lalu diplot dalam bentuk grafik akhir senja seperti pada gambar 3.16.
Awal waktu Isya dimulai ketika nilai simpangan kecerahan langit mulai memiliki
nilai positif.
Setelah mendapatkan awal waktu salat Shubuh dan Isya, hasilnya dianalisis
dan dibandingkan dengan acuan yang dipakai Pemerintah menggunakan alat bantu
perangkat lunak Accurate Times 5.3.
Gambar 3.15. Grafik tampilan awal fajar
Gambar 3.16. Grafik tampilan akhir senja astronomi 6
11 16 21
3:30 3:44 3:58 4:13 4:27 4:42 4:56 5:10 5:25 5:39
M
17:30 17:44 17:58 18:13 18:27 18:42 18:56 19:10
39
3.7Interpretasi
Pada tahap interpretasi, kecerahan langit malam maksimum di arah Zenit,
Barat, Utara, dan Selatan Observatorium Bosscha didapat dari hasil plot grafik
kecerahan langit yang stabil dari awal malam sampai awal pagi, nilai maksimum
dicari menggunakan MS. Excel dan juga dicari waktu terjadinya nilai tersebut,
ketidakteraturan pembacaan harus dianalisis dengan mengamati kondisi dan
situasi pada malam pengamatan dan dicari faktor-faktor yang mempengaruhi
kecerahan langit baik dari Integrated Starlight, Zodiacal Light, polusi cahaya, adanya awan, pencahayaan Bulan atau gangguan langsung dari aktivitas manusia.
Pada grafik fajar dan senja astronomi yang telah diplot, lalu dicari nilai
polinomial dan persamaan garis liniernya, setelah itu dianalisis awal waktu
Shubuh dan Isya berdasarkan waktu dan depresi Matahari. Menggunakan statistik
untuk dicari simpangan kecerahan langit, simpangan kecerahan langit stabil untuk
Isya dan tidak stabil untuk Shubuh.
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa nilai kecerahan langit di
Observatorium Bosscha menggunakan SQM mencapai nilai maksimum 20.38
mag/arcsec² pada tanggal 11 oktober 2012 M, hasil ini relatif sama dengan
pembacaan pada musim kering yaitu 20,25 mag/arcsec² pada tanggal 16 Juni 2012
M. Nilai tersebut menunjukan angka yang baik untuk sebuah observatorium
professional. Hasil penelitian menggunakan SQM memiliki nilai yang lebih baik
dibanding penelitian-penelitian sebelumnya dengan metode berbeda.
Nilai kecerahan langit pada hari yang sama pada sudut 450 arah Timur dan
Barat akan menghasilkan nilai yang relatif sama, dengan syarat langit dalam
kondisi yang cerah serta tidak terdistribusi cahaya Bulan. Hal ini memperlihatkan
tingkat polusi cahaya relatif sama pada arah Timur dan Barat Observatorium
Bosscha. Tetapi untuk pengamatan di hari yang berbeda nilainya akan terus
berubah karena adanya cahaya alami dari Bulan dan benda-benda langit yang
terang.
Penelitian kecerahan langit pada waktu fajar dan akhir senja astronomi
menghasilkan ukuran awal waktu salat Shubuh dan Isya bagi umat Muslim.
Pengamatan pada musim Basah (hujan) menghasilkan sudut depresi Matahari -15°
dan -14° untuk awal salat Shubuh dan Isya. Sedangkan pada musim kering
(kemarau) menghasilkan sudut depresi matahari -16° dan -15° untuk awal salat
Shubuh dan Isya. Hasil ini berbeda dengan acuan yang dipakai oleh Pemerintah
yang menetapkan -20° untuk awal waktu Shubuh dan -18° untuk awal waktu salat
Isya. Dari Hasil ini berarti acuan Pemerintah untuk salat Shubuh lebih awal sekitar
57
5.2 Rekomendasi
Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh dengan menggunakan data
primer yang dilakukan di sepanjang bulan September-Oktober 2012 M ditambah
data sekunder sepanjang bulan Juni 2012 M. Maka ada beberapa rekomendasi
untuk lebih mendapatkan kepastian dan keyakinan mengenai hasil yang diperoleh.
Antara lain:
1. Melakukan penelitian yang sama dengan rentang waktu yang lebih lama
(minimal 1 tahun) di tempat yang berbeda-beda di seluruh Indonesia,
sehingga bisa didapatkan hasil yang sangat baik untuk menggambarkan nilai
kecerahan langit berdasarkan posisi matahari juga untuk mendapatkan variasi
nilai awal waktu salat Shubuh dan Isya di setiap bulan.
2. Untuk memperoleh waktu salat yang bisa dipakai secara hukum wilayah
(Wilayatul Hukmi) maka perlu dilakukan penelitian yang lebih banyak di beberapa tempat dengan memasang SQM di banyak wilayah, juga dengan
metode yang berbeda yang bisa menghasilkan nilai yang tepat untuk
DAFTAR PUSTAKA
Accurate Times 5.3 (2012). http://www.icoproject.org/. Diakses Oktober 2012
Azzahidi, F., Irfan, M., Utama, J.A. (2011). Pengukuran Kecerahan Langit (Sky Brightness) Observatorium Bosscha Menggunakan Teleskop Portabel dan CCD. Prosiding Seminar HAE. ITB
Birriel, J., Adkins, J.K. (2010). A Simple Portable Apparatus to Measure Night Sky Brightness at Various Zenith Angles. JAAVSO Vol. 38
Birriel, J., Wheatley, J., McMichael, C. (2010). Documenting local Night Sky Brightness Using Sky Quality Meter and Interdisciplinary Collage Capstone Project and a First Step Toward Reducing Light Pollution. JAAVSO Volume 38
Cinzano, P. (2005). Night Sky Photometry with Sky Quality Meter, ISTIL. Internal Report, No. 9, Vol 1.4.www.unihedron.com/project.darksky/2005/
Eka Puspita Arumanintyas. (2009). Studi Kecerlangan Langit Terhadap Visibilitas Hilal. ITB. 38
Farrington, D.P. & Welsh, B.C. (2002). Effects of Improved Street Lighting on Crime: A Systematic Review. Home Office Research – Development and Statistics Directorate
Herdiwijaya, D., Arumatingtyas,E.P. (2012). Pengukuran Kecerlangan Langit Arah Zenith di Bandung dan Cimahi dengan Menggunakan Sky Quality Meter. ITB. Bandung
Ilyas, M.A. (1984). Modern Guide to Astronomical Calculation of Islamic Calendar, Times, and Qibla. Berita Publishing. Kualalumpur, 143-148
Judhistira Aria Utama, Lina Avianty. (2009). Polusi Cahaya: Dampak dan Solusi yang Ditawarkan. Disampaikan dalam seminar Conference of The Indonesian Astronomical Society. HAI 2009
Leinert, Ch.,dkk. (1998). The Reference of Diffuse Night Sky Brightness, Astronomy Astrophysics Supplement Series, vol 127,1 – 99
Muthoha Arkanudin. (2009). Menentukan Waktu Shalat Different Wavelenght. Astrophysics and Space Science 253, issue 1:1-5
Niri, M.A., Zainuddin, M.Z., Man, S., Nawawi, M.A., Wahab, R.A., Ismail, K., Zaki, N.H., Ghani, A. Lokman, M.A. (2012). Astronomical Determination for the Beginning Prayer Time of Isha. Midle-East Journal of Scientific Research 12 (1): 101-107
Nor, S.A., Zainuddin, M.Z. (2012). Sky Brightness for Determination of Fajr and Isha Prayer by Using Sky Quality Meter. International Journal of Scientific & Engineering Research. Vol 3.
Riyadi, A. Foto fajar http://pakarfisika.wordpress.com/. Diakses Januari 2012
Rizvi, S.M. Dar-s-salam. (1991). http://www.al-islam.org. Diakses Februari 2012
Shaefer, B.E. (1989). Visibility of The Lunar Crescent. Q.J.R.A.S. 29:511-529
Shaefer, B.E. (1993). Astronomy and The Limits of Vision. Vistas in Astronomy. 36: 311-361
Sharif, N.N., Muhammad, A., Zainuddin, M.Z., Hamidi.Z.S. (2012). The Aplication Of Sky Quality Meter at Twilight for Islamic Prayer Time.
International Journal of Apllied Physics and Mathematics, Vol.2, No.3
Siddique Katiya. (2007). Explanation of Muslim Prayer Timing. Aisha Charitable Support Services Montreal Canada. www.as-sidq.org Diakses Februari 2012
Sriyatin Shodiq. (2010) Terbit Fajar dan Waktu Shubuh (Dalam Nash Syar’I Fiqh
dan Astronomi). Bahan Pengajian Ahad Pagi. Jogjakarta
Susiknan Azhari. (2009). Awal Waktu Shalat Perspektif Syar’I dan Sains.