• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek Penambahan Kitosan Molekul Tinggi Nanopartikel Pada Abu Sekam Padi Nanopartikel Terhadap Viabilitas Sel Pulpa (In Vitro).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efek Penambahan Kitosan Molekul Tinggi Nanopartikel Pada Abu Sekam Padi Nanopartikel Terhadap Viabilitas Sel Pulpa (In Vitro)."

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Kerusakan gigi dapat berupa karies, keausan, trauma, penyakit periodontal, dan tindakan iatrogenik yang dapat menyebabkan terbukanya tubulus dentin terhadap mikroorganisme. Kerusakan gigi yang mencapai lebih dari setengah dentin atau bahkan telah mencapai pulpa dikategorikan sebagai karies profunda. Pulpa merupakan jaringan ikat yang memberi respon terhadap stimulus. Peradangan pulpa terdiri dari pulpitis reversibel dan pulpitis irreversibel. Pulpitis reversibel merupakan proses inflamasi ringan yang apabila penyebabnya dihilangkan maka inflamasi dapat hilang dan pulpa akan kembali normal sedangkan pulpitis irreversibel merupakan inflamasi yang tidak akan bisa pulih sendiri kecuali diberi bahan-bahan dentinogenesis (Murray dkk., 2002).

(2)

vaskuler terjadi saat inflamasi akut, mengakibatkan pembentukan eksudat karena ruang pulpa yang terbatas berekspansi menyebabkan tekanan intrapulpa meningkat dan mengakibatkan rasa sakit. Inflamasi kronis dapat bertahan selama bertahun-tahun, seringkali tanpa ada keluhan pasien. Apabila inflamasi ini tidak segera ditanggulangi dapat menyebabkan efek yang membahayakan bagi pulpa sehingga dapat menyebabkan nekrosis pulpa dan infeksi jaringan periradikuler (Murray dkk., 2002).

Inflamasi pulpa dapat dicegah dengan melakukan proteksi pulpodentinal kompleks berupa pengaplikasian bahan dentinogenesis atau bahan restoratif pada jaringan gigi yang rusak akibat prosedur operatif, toksisitas bahan restoratif serta penetrasi bakteri akibat terjadinya kebocoran mikro. Proteksi pulpodentinal kompleks juga berguna untuk memulihkan vitalitas pulpa (Ferracane dkk., 2010).

(3)

Banyak bahan yang telah digunakan untuk menutup tubulus dentin dengan merangsang terjadinya dentinogenesis. Proses dentinogenesis merupakan reaksi spesifik dari jaringan pulpa dan dianggap mekanisme perlindungan. Bahan yang sering digunakan adalah kalsium hidroksida dan MTA, walaupun kalsium hidroksida lebih ekonomis dan banyak beredar, peneliti-peneliti telah menunjukkan bahwa kalsium hidroksida kurang mampu menstimulasi dentinogenesis dan membentuk dentin reparatif dengan baik dan terlihat tidak dapat mengadakan deposisi dentin seperti yang diharapkan, sehingga hasil akhir yang diharapkan tidak sebaik dibandingkan menggunakan MTA (Eskandarizadeh dkk., 2006).

Gambar 2.1 Respons Odontoblas terhadap Stimulasi Patologis (Murray dkk., 2002)

(4)

formasi dan nutrisi bagi dentin serta fungsi inervasi dan pertahanan gigi (Smith dkk., 2003).

2.1 Regenerasi pada Pulpodentinal Kompleks

Anatomi mikroskopik dentin primer terdiri dari tubulus dentin, dengan mikrotubulus yang saling berhubungan, penyembuhan sel-sel odontoblas pulpa perifer terjadi pada dentin intertubular yang mengandung kolagen-hidroksiapatit. Mineralisasi struktur peritubular berlanjut sejalan dengan bertambahnya usia, menghasilkan jaringan kurang permiabel dan kurang dinamis. Proses mineralisasi dapat dipercepat setelah penempatan bahan restorasi dalam kavitas yang dipreparasi. Dentin terdiri dari mineral hidroksiapatit, air, dan bahan organik. Sekitar 90% dari bahan organik adalah kolagen, dan kebanyakan kolagen tipe 1. Sekitar 10 % sisanya merupakan matrix ekstraseluler organik yang terdiri dari protein noncollagenous dan

proteoglycans (Dahl, Orstavik, 2010).

(5)

sebelum terjadi nekrosis pulpa, pembentukan dentin tersier menciptakan perisai antara pulpa dengan iritan. Pembentukan dentin tersier berlangsung lebih cepat dibandingkan pembentukan dentin sekunder dan merupakan mekanisme pertahanan yang penting terhadap iritan patologis maupun fisiologis di dalam pulpodentinal kompleks (Dahl, Orstavik, 2010).

Pola perbaikan pada pulpodentinal kompleks bergantung pada tiga kondisi patofisiologi batas dentin-pulpa yang berbeda yaitu luas dan jenis jaringan yang terluka, efek perlindungan dari struktur gigi dan integritas batas dentin-pulpa. Evolusi jangka panjang dan perawatan pulpodentinal kompleks merupakan pertimbangan utama dari kebanyakan prosedur restoratif gigi terutama pada pasien berusia lanjut dimana proses reparatif menjadi kurang efektif (Hargreaves, Cohen, 2011).

Kelangsungan hidup odontoblas sangat bergantung pada sisa ketebalan dentin. Menurut Pameijer, Stanley dan Ecker (1991) melaporkan bahwa sisa ketebalan dentin adalah 1 mm atau lebih akan melindungi jaringan pulpa dari efek sitotoksik zinc

phosphate dan Semen ionomer kaca modifikasi resin selama proses luting. Dalam

(6)

sisa ketebalan dentin di bawah 0,25 mm, karena sisa ketebalan dentin di bawah 0,25 mm kehilangan sel odontoblas dalam jumlah banyak (Murray dkk., 2002) (Gambar 2.2). Aktivitas sisa ketebalan dentin memainkan peran utama dalam menentukan tingkat cedera pulpa dan respon perbaikan dari bahan kaping pulpa (Tabel 2.1).

Gambar 2.2 Daerah Pulpodentinal Kompleks (Hargreaves, 2012)

Tabel 2.1 Pengaruh Sisa Ketebalan Dentin terhadap Kelangsungan Hidup Sel Odontoblas, Aktifitas Dentin Reaksioner, dan Inflamasi Pulpa (Murray, 2002).

(7)

2.2 Efek Bahan Restorasi terhadap Jaringan Pulpodentinal Kompleks

Tidak ada bahan yang dapat melindungi pulpa sebaik dentin. Dentin dapat berperan sebagai jaringan yang mampu mengadakan detoksifikasi dengan menyerap bahan yang sangat toksik ke dinding bagian dalam dari tubulus dentin.Keberhasilan kaping pulpa berkisar 44-97%, sedangkan keberhasilan kaping pulpa pada pulpa yang tak terbuka umumnya jauh lebih tinggi (Murray dkk., 2002).

Jenis bahan restoratif menjadi faktor penting yang mendasar terhadap kelangsungan hidup odontoblas, dikaitkan dengan sisa ketebalan dentin. Kalsium hidroksida sebagai dasar pengukuran kelangsungan hidup odontoblas, kemampuan bahan diuji untuk mempertahankan kelangsungan hidup odontoblas dengan sisa ketebalan dentin di bawah 0,5 mm. Penurunan kelangsungan hidup odontoblas tampaknya berkorelasi dengan aktifitas bahan kimia sebagai lining atau bahan restorasi, karena ada beberapa bahan yang lebih sitotoksik pada jaringan pulpa dibandingkan jaringan lain. Observasi ini menunjukkan bahwa pentingnya menghindari penempatan bahan sitotoksik pada preparasi kavitas yang sangat dalam dimana dapat terjadi kerusakan pulpa dan dapat mencegah jaringan pulpa nekrosis (Murray dkk., 2002).

2.2.1 Mineral Trioxide Aggregate (MTA)

(8)

merupakan bahan yang digunakan dalam bidang bangunan yang harganya murah dan mudah diperoleh (Camilleri, 2008).

Sifat-sifat biologis dan fisiologis MTA adalah menginduksi dentinogenesis reparatif, yang melibatkan peristiwa selular dan molekuler yang kompleks yang mengarah pada perbaikan sel lir odontoblas. Dibandingkan kalsium hidroksida, MTA lebih efisien dalam mendorong reparatif in vivo. Analisis fisika telah mengungkapkan bahwa MTA tidak hanya bertindak sebagai materi pelepas kalsium hidroksida, tetapi juga berinteraksi dengan fosfat yang mengandung cairan untuk membentuk presipitat apatit. MTA juga menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam sealing ability

dan stabilitas struktural, tetapi aktivitas antimikroba kurang kuat dibandingkan dengan kalsium hidroksida (Queiroz dkk., 2005).

Sejak diperkenalkan, MTA merupakan bahan kedokteran gigi yang terbukti telah menjadi salah satu bahan yang serbaguna dan biokompatibel pada saat ini. Kemampuannya yang tinggi dalam hal sealing ability dapat mengurangi masuknya bakteri sehingga hal tersebut dapat mencegah kontaminasi. Sedangkan daya biokompatabilitas yang tinggi menghasilkan reaksi penyembuhan jaringan yang sangat baik, sehingga seringkali menyebabkanya terjadinya proses regenerasi jaringan yang sempurna pada tempat berkontaknya bahan dan jaringan tersebut (Ferracane dkk., 2010; Lohbauer U, 2010; Nagaraja Upadhya and Kishore, 2005)

(9)

Bahan ini juga dapat dipergunakan sebagai kaping pulpa, pulpotomi, bahan penutup ujung akar, apeksifikasi, serta sebagai bahan pengisi saluran akar (Rao dkk., 2009; Torabinejad dkk., 1995). Penelitian Tanomaru, 2012 mengatakan bahwa waktu

setting MTA adalah 15 menit, hal ini berbeda dengan hasil yang dilaporkan oleh

beberapa studi sebelumnya, perbedaan ini disebabkan jenis MTA yang digunakan. Produk yang dilepaskan MTA mampu merangsang sel lir osteoblas dan fibroblas yang melibatkan protein dalam pembentukkan mineral, seperti osteopontin, osteonectin, dan osteokalsin. Kuratate dkk., 2008 menyatakan pembentukan jembatan dentin di atas pulpa yang terpapar pada tikus meningkatkan proliferasi sel, adanya protein nectin menunjukkan keberadaan odontoblas yang mampu mensekresi matriks dentin, dan terjadinya peningkatan osteopontin pada lapisan jaringan nekrotik dan pulpa. Dalam penelitian Koh dkk., 1997 menunjukkan bahwa osteoblast yang terekspos MTA memproduksi sitokin untuk perbaikan tulang seperti interleukin

(IL)-1α, IL-1β, dan IL-6, serta osteokalsin. MTA menstimulus pertumbuhan sel setelah 48

jam aplikasi (Tani-Ishii N, 2007).

(10)

2.2.2 Semen Ionomer Kaca Modifikasi Resin (SIKMR)

SIKMR dikembangkan untuk memperbaiki sifat fisik dan mengurangi sensitivitas air dari bahan ionomer kaca konvensional. SIKMR merupakan bahan hibrid yang lebih kuat dan tidak rapuh diperkenalkan dengan penambahan monomer seperti HEMA. Pada dasarnya SIKMR memiliki komposisi yang sama dengan semen ionomer kaca konvensional hanya saja komponen air diganti menjadi campuran air dengan HEMA. SIKMR dapat mengeras dengan dua cara, yaitu kombinasi asam dan basa serta reaksi polimerisasi (Modena dkk., 2009).

Bahan ini mengandung bubuk kaca yang mampu memindahkan ion dan asam polimer yang larut dalam air seperti asam akrilik. Bahan ini mengandung monomer organik (biasanya HEMA) dan sistem inisiator. Inisiator umumnya sensitif terhadap cahaya sehingga kebanyakan SIKMR mengeras dengan cara disinar dengan menggunakan lampu penyinaran biasa yang memancarkan sinar dengan panjang gelombang 470 nm (Goldberg, 2006; Modena dkk., 2009).

(11)

Pada umumnya SIKMR dapat membentuk ikatan yang kuat ke dentin dan enamel serta dapat melepaskan fluoride. Selain itu, bahan ini juga melepaskan beberapa ion seperti Na, Ca, Sr, Al, P dan Si . Ion – ion tersebut juga dilepaskan oleh SIK konvensional namun kadar ion phosphat yang dilepaskan SIKMR lebih rendah dibandingkan dengan konvensional (Goldberg, 2008).

SIKMR ini terbukti bersifat sitotoksis terutama karena pelepasan HEMA dalam kadar tinggi dan bersifat mutagenik. Akan tetapi data mengenai mutagenitas sangat sedikit dan sulit diinterpretasi. SIKMR menunjukkan sifat biologis yang dapat diterima terhadap pulpa yang terpapar maupun tidak terpapar. SIKMR menimbulkan respon inflamasi persisten tingkat menengah hingga berat pada pulpa dan pembentukan zona nekrotik yang besar (Modena dkk., 2009).

2.2.3 Abu Sekam Padi Nanopartikel (ASPn)

(12)

adalah 94 – 96 %.Abu sekam padi apabila dibakar secara terkontrol pada suhu tinggi (500–6000C) akan menghasilkan abu silika (Zakaria, 2002).

Warna abu sekam dapat diklasifikasikan menjadi 3 lapisan warna, yaitu abu-abu, putih dan merah jambu (Gambar 2.3). Berdasarkan hasil laboratorium, perbedaan warna ini mempunyai sifat permukaan dan kadar penghidrat yang berbeda. Abu sekam padi berwarna merah jambu jauh lebih reaktif dan mampu memberikan sifat pengerasan yang lebih baik (Zakaria, 2002).

Gambar 2.3 Lapisan Abu Sekam Padi (Zakaria, 2002)

(13)

nm (Park, 2007). Alat yang digunakan untuk membuat abu sekam padi nanopartikel adalah Planetary Ball Mills (Retsch, PM 200).

Sekam padi mengandung senyawa organik berupa lignin dan kitin, selulosa, hemiselulosa, senyawa nitrogen, lipid, vitamin B, dan asam organik, sedangkan senyawa anorganik berupa silika (Ismunandji, 1988). Menurut BPPP (2001) silika yang terkandung dalam sekam padi sebanyak 16.98% dan berada dalam bentuk dasar (silika amorf). Komposisi kimiawi sekam padi dapat dilihat pada Tabel 2.2. Komposisi lainnya dari sekam padi adalah selulosa. Senyawa ini tidak larut dalam air dan terdiri atas unit-unit β-D-glukopiranosa yang disatukan oleh ikatan β1→4 membentuk rantai lurus panjang yang diperkuat oleh ikatan hidrogen. Selulosa merupakan senyawa organik yang paling tinggi dalam sekam. Selulosa yang terdapat pada sekam padi sebanyak 34.34-43.80% (Ismunadji, 1988).

Silika merupakan bahan kimia yang pemanfaatan dan aplikasinya sangat luas. Salah satu pemanfaatan serbuk silika yang cukup luas adalah sebagai penyerap kadar air di udara, (Harsono, 2002 cit Sitorus, 2009). Selain itu, silika juga digunakan sebagai penyaring molekuler, resin, pembantu peran katalis, dan pengisi dalam pembuatan polimer. Gugus -OH yang mampu membentuk ikatan hidrogen dengan gugus yang sama dari molekul lain yang mengakibatkan silika dapat digunakan sebagai pengering dan fasa diam pada kolom kromatografi (Sinulingga dkk., 2014).

(14)

mengandung silika dapat menstimulasi sel osteoblas dan osteo-blast-like cell untuk mensekresi kolagen tipe I dan marker bio-kimia lain pada maturasi sel tulang dan pembentukan tulang (Refitt dkk., 2003 cit Indahyani dkk., 2011).

Berdasarkan penelitian Indahyani dkk., 2011 menyatakan bahwa silika yang berasal dari sekam padi mempunyai kemampuan untuk menstimulasi proliferasi osteoblast dan mempunyai nilai absorbansi yang paling tinggi. Hasil X-ray

Diffraction (XRD) abu sekam padi nano partikel terlihat bahwa kandungan silika

(SiO2) paling tinggi (Gambar 2.4).

Gambar 2.4 Hasil XRD Abu Sekam Padi Nanopartikel (Pretty dkk., 2014)

(15)

Gambar 2.5 Tag Like Structure ASPn+KMTn dengan Uji SEM (Pembesaran 300x) (Pretty dkk., 2014)

2.2.4 Kitosan Molekul Tinggi Nanopartikel (KMTn)

(16)

Gambar 2.6 Kitosan Molekul Tinggi (Trimurni dkk., 2007)

(17)

Dalam perkembangannnya, kitosan dimodifikasi dalam bentuk nanopartikel. Nanopartikel dibuat dengan reaksi gelatinasi yang berdasarkan reaksi antar muatan positif gugus amino kitosan dan muatan negatif natrium tripolifosfat. Rerata ukuran nanopartikel kitosan yang dihasilkan ialah 180 nm dengan polidispersitas 0,519 yang menunjukkan, bahwa ukuran nanopartikel hampir seragam. Adsorpsi dengan menggunakan nanopartikel kitosan memiliki kapasitas adsorpsinya yang lebih besar dibandingkan dengan manik kitosan dalam ukuran mikron karena bentuknya yang kecil, sehingga bidang sentuh dengan zat akan diserap semakin besar (Tiyaboonchai, 2003).

Siregar (2009) menyiapkan kitosan nanopartikel dengan melarutkan kitosan dalam larutan asam lemah ditambahkan larutan yang bersifat basa, seperti amoniak, NaOH, atau KOH distirer dengan kecepatan 300 rpm sehingga diperoleh gel kitosan putih dan dibilas dengan aquadest sampai netral kemudian ditempatkan dalam

ultrasonic bath untuk memecah partikel-partikel gel kitosan menjadi lebih kecil.

(18)

Kitosan blangkas yang diuji oleh Trimurni dkk., 2007 menunjukkan bahwa kitosan blangkas yang mempunyai berat molekul tinggi dapat menstimulasi dentin reparatif dengan kemampuannya membentuk koagulum yang padat sebagai sub base membran yang memudahkan perlekatan sel-sel pulpa seperti odontoblas untuk memudahkan migrasi dan proliferasi.

Henny dkk., 2013 melakukan penelitian dengan menambahkan kitosan molekul tinggi nano yang diperoleh dari blangkas (Tachypleus gigas) 0,15% berat kitosan pada SIKMR dan SIKMRn dan efeknya terhadap proliferasi sel. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan viabilitas sel yang signifikan pada SIKMR dan SIKMRn yang ditambahkan 0,015% berat kitosan nano dari blangkas.

Dalam perkembangan bahan-bahan biomaterial dalam regenerasi pulpa diperlukan adanya sel, bahan perancah (scaffolds) untuk proliferasi dan diferensiasi sel serta faktor pertumbuhan (growth factor), ketiga faktor ini disebut tissue

(19)

Gambar 2.7 Kombinasi Tiga Elemen yang Memungkinkan Terjadinya Regenerasi Jaringan atau Organ (Trimurni, 2007)

Kitosan sebagai biomaterial scaffold dapat menggantikan fungsi biologis dan mekanis matriks ekstraselular jaringan di dalam tubuh dengan bertindak sebagai matriks ekstraseluler artifisial (Koh, Atala, 2004 cit Trimurni, 2007). Scaffold sintetis harus mempunyai sifat osteoinduktif, osteokonduktif, integritas mekanisnya tinggi, biodegradabilitas, biocompatibilitas (mudah diterima secara imun) dan porosita yang akan menyebabkan pertumbuhan jaringan. Selain itu, scaffold harus didegradasi ketika jaringan yang rusak telah diregenerasi. Sel-sel diimplantasi atau dimasukkan ke dalam struktur artifisial yang mampu mendukung pembentukan jaringan dalam tiga dimensi. Struktur ini disebut bahan perancah (scaffolds) yang memungkinkan sel-sel mempengaruhi lingkungan mikronya. Bahan perancah (scaffolds) paling sedikit memiliki tujuan sebagai berikut (Sun, 2007) :

1. Memungkinkan perlekatan dan migrasi sel.

(20)

3. Memungkinkan difusi nutrisi bagi sel-sel yang vital dan produknya.

4. Menimbulkan pengaruh-pengaruh mekanis dan biologis untuk memodifikasi fase sel.

2.3 Mekanisme Pertahanan Pulpodentinal Kompleks 2.3.1 Reaktifitas Odontoblas

Serangan toksik ringan ke pulpa dapat mengakibatkan peningkatan dentinogenesis, yang dapat dianggap sebagai mekanisme pelindung. Peningkatan pembentukan dentin peritubular mempersempit tubulus dentin melalui pembentukan dentin sklerotik. Respon perbaikan yang umum terhadap cedera pulpa adalah pembentukan dentin tersier (Murray dkk., 2002). Tidak seperti dentin primer atau sekunder yang terbentuk di sepanjang perbatasan pulpo-dentino kompleks, dentin tersier diproduksi secara lokal sebagai respon terhadap injuri dentin atau produk toksis yang mencapai pulpo dentino kompleks. Proses pembentukan dentin tersier bersifat reaksioner atau reparatif (Smith dkk., 2003).

(21)

(TGF-ß), menginisiasi perbedaan odontoblas dan menstimulasi pembentukan dentin. Reseptor TGF-ß terlihat pada odontoblas dan growth factor ditemukan dalam matriks dentin. Pelepasan faktor pertumbuhan dapat terjadi saat serangan karies dan injuri lainnya ke jaringan, dan pada saat preparasi kavitas dan restorasi gigi (Murray dkk., 2002).

Odontoblas dirangsang untuk mengeluarkan matriks ekstraselular dan memicu terjadinya mineralisasi selama proses dentinogenesis reaksioner (Gambar 2.8). Pada saat dentinogenesis reaksioner menunjukkan sel lain dirangsang untuk berdiferensiasi menjadi sel lir-odontoblas yang kemudian akan dipicu untuk menghasilkan matriks ekstraselular dan terjadinya mineralisasi selama proses dentinogenesis reparatif (Murray dkk., 2002).

(22)

2.3.2 Matriks Metaloprotein

Bahan restorasi yang diletakkan di dalam lingkungan jaringan pulpodentinal kompleks berpotensi menghasilkan spektrum luas dari fisikokimia dan efek biologis. Beberapa efek memiliki pengaruh yang berbeda tergantung pada jaringan sehat atau karies, dikarenakan infeksi bakteri, inflamasi, dan respon sel pulpa. Dentin memiliki aktivitas enzim proteolitik dan saat ini diakui adanya beberapa matriks metaloproteinase (MMP-2,-8,-9,-13,dan -20) di dalam dentin. Aktivitas MMP pada permukaan antara material dan jaringan dapat menyebabkan degradasi dari permukaan(Pashley dkk., 2014).

2.4 Uji Biokompatibilitas

(23)

biokampabilitas bahan menurut tipe dan durasi bahan tersebut berkontak dengan jaringan (Assesing Biocompatibility, 2008 cit Diana, 2008).

Biokompatibilitas suatu bahan dapat meliputi derajat sitotoksisitas, mutagenitas dan potensinya dalam menimbulkan keganasan. Uji biokompatibilitas dilakukan pada bahan yang akan diletakkan pada tubuh manusia. Reaksi jaringan tubuh terhadap bahan sangat bervariasi tergantung kepada tipe bahan. Bahan yang dapat berfungsi saat berkontak dengan cairan biologis atau jaringan hidup dengan menimbulkan reaksi penolakan yang minimal oleh tubuh disebut bahan yang biokompatibel. Pengujian biokompatibilitas suatu bahan dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro. Pengujian yang dilakukan secara in vitro, yaitu tanpa melibatkan organ hidup, dilakukan pada sel, enzim, atau sistem biologis yang terisolasi. Uji bahan secara in vitro sebagian besar dibagi menjadi pengujian untuk mengetahui sitoksitas dan pertumbuhan sel, mengukur metabolisme dan fungsi sel serta mengukur efek mutagenitas bahan pada sel (Assesing Biocompatibility, 2008 cit

Diana, 2008).

(24)

Kultur sel terbagi menjadi kultur sel primer dan kultur sel sekunder (cell line).

Sel primer adalah sel yang diperoleh langsung dari pemisahan jaringan suatu organisme, sedangkan cell line adalah keturunan sel yang diperoleh dari kultur sel primer dan dipisahkan secara enzimatis ataupun secara mekanis. Empat karakterisitik sel yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kultur sel adalah morfologi sel, kecepatan pertumbuhan, efesiensi pertumbuhan, dan fungsi khusus yang dilalui sel (Freshney, 2000).

2.5 Viabilitas Sel sebagai Indikator Sitotoksisitas

Tes sitotoksisitas merupakan suatu metode untuk mengetahui apakah suatu bahan bersifat toksik terhadap sel tertentu. Sitotoksisitas umumnya ditandai dengan adanya penurunan proliferasi sel, viabilitas sel, sintesis asam nukleat atau protein. Viabilitas sel adalah kemungkinan sel untuk dapat bertahan hidup (Freshney, 2000).

Nilai absorbansi (OD) dari kristal formazan yang telah dilarutkan dapat diukur menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang antara 550-570 nm. Selanjutnya, viabilitas dinyatakan dengan membandingkan nilai absorbansi kelompok perlakuan yang dipaparkan bahan uji dengan kelompok enzim assay, merupakan metode yang banyak dipilih untuk mempelajari viabilitas sel. Metode ini mengukur aktivitas metabolisme dari pertumbuhan sel pada bahan yang akan diuji. Tes yang dapat dilakukan adalah menggunakan Alamar Blue™ dan

3-(4,5-dimethythiazol-2-yl)-2,5-diphenyl tetrazolhm bromide (MTT) assay. MTT assay pertama kali

(25)

berwarna kuning dan dapat larut dalam air. Prinsip dasar MTT assay adalah mengukur aktivitas selular berdasarkan aktivitas succinic dehydogenase mitocondria

sel untuk mereduksi garam meihythiazol tetrazolium (MTT).

Pada proses metabolisme, sel-sel yang hidup akan menghasilkan succinic

dehydrogenase mitocondria. Enzim ini akan bereaksi dengan MTT dan membentuk

kristal formazan ungu yang jumlahnya sebanding dengan aktivitas sel yang hidup. Kristal formazan ungu bersifat impermeable pada membrane sel dan tidak larut dalam air. Oleh karena itu, diperlukan pelarut tambahan seperti isopropanol, dimethyl

sulfoxide (DMSO) atau larutan deterjen sodium dodecyi sulfate (SDS) yang

diencerkan dalam asam hidroklorida (HCl) untuk melarutkan Kristal formazan ungu (Proliferation assay. MTT Protocol, 2014).

Kontrol (sampel tanpa bahan uji) menggunakan rumus dari In Vitro

Technologies sebagai berikut (Cryopreserved human hepatocyte high-throughput

screening protocol, 2008) :

Viabilitas Sel = Nilai absorbansi kelompok Perlakuan Nilai absorbansi kelompok Kontrol

x 100%

Jika persentasi viabilitas sel lebih kecil dari 100%, maka material yang dipaparkan pada sel tersebut dikatakan bersifat toksik (Cryopreserved human

hepatocyte high-throughput screening protocol, 2008).

(26)
(27)

Penggunaan produk-produk alam di bidang kedokteran gigi saat ini semakin berkembang pesat, contoh bahan alami yang dapat menstimulasi proliferasi sel adalah abu sekam padi dan kitosan molekul tinggi. Sekam padi dikategorikan sebagai biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan tetapi mempunyai nilai ekonomis yang masih rendah sehingga perlunya dicari alternatif lain yang lebih bermanfaat dan penanganan sekam padi yang kurang tepat akan menimbulkan pencemaran lingkungan. Padahal Abu sekam padi merupakan sumber silika potensial yang dapat digunakan sebagai bahan kedokteran gigi.

Nilai paling umum kandungan silika (SiO2) dalam abu sekam padi adalah 94 – 96% dan apabila nilainya mendekati atau dibawah 90 % dijumpai dalam bentuk amorf terhidrat.Abu sekam padi apabila dibakar secara terkontrol pada suhu tinggi (500–6000C) akan menghasilkan abu silika. Berdasarkan derajat pembakaran abu sekam padi, maka warna abu sekam dapat diklasifikasi menjadi 3 lapisan warna, yaitu abu-abu, putih dan merah jambu (Zakaria, 2002).

(28)

Berdasarkan penelitian Indahyani dkk., 2011 menyatakan bahwa silika yang berasal dari sekam padi mempunyai kemampuan untuk menstimulasi proliferasi osteoblast dan mempunyai nilai absorbansi yang paling tinggi.

Kitosan merupakan biopolimer alami di alam dan merupakan hasil N-diasetilisasi dari kitin. Kitin banyak terkandung pada hewan laut berkulit keras, salah satunya adalah blangkas yang merupakan kitosan bermolekul tinggi dan dapat menstimulasi dentin reparatif. Kitosan juga dibuat dalam bentuk nanopartikel. Ukuran partikel kitosan yang berskala nanometer akan meningkatkan luas permukaan sampai ratusan kali dibandingkan dengan partikel yang berukuran mikrometer, sehingga dapat meningkatkan efektifitas kitosan dalam hal mengikat gugus kimia lainnya. Kitosan nano juga dapat meningkatkan efisiensi proses fisika-kimia pada permukaan kitosan tersebut karena memungkinkan interaksi pada permukaan yang lebih besar (Trimurni dkk., 2007; Siregar, 2009).

(29)

2.7 Kerangka Konsep

2.8 Hipotesis Penelitian

Dari uraian di atas dapat dibuat hipotesa yaitu :

1. ASPn+KMTn dapat menstimulasi viabilitas sel MDPC.

2. Terdapat perbedaaan viabilitas sel MDPC bila diaplikasikan ASPn+KMTn sebelum dan sesudah setting dengan ASPn.

3. Terdapat perbedaaan viabilitas sel MDPC bila diaplikasikan ASPn+KMTn sebelum dan sesudah setting dengan MTA sebelum dan sesudah setting.

4. Terdapat perbedaaan viabilitas sel MDPC bila diaplikasikan ASPn+KMTn sebelum dan sesudah setting dengan SIKMR.

Gambar

Gambar 2.1 Respons Odontoblas terhadap Stimulasi Patologis (Murray dkk., 2002)
Tabel 2.1 Pengaruh Sisa Ketebalan Dentin terhadap Kelangsungan Hidup Sel
Gambar 2.4 Hasil XRD Abu Sekam Padi Nanopartikel (Pretty dkk., 2014)
Gambar 2.5 Tag Like Structure ASPn+KMTn dengan Uji SEM (Pembesaran 300x)                       (Pretty dkk., 2014)
+3

Referensi

Dokumen terkait

HTML ( Hypertext Markup Languange ) adalah bahasa untuk web scripting bersifat client side yang memungkinkan untuk menampilkan informasi dalam bentuk teks,

Petani pemilik traktor tangan yang ada di lokasi penelitian pasti menguntungkan apabila traktornya digunakan untuk mengolah lahan persawahan petani lain yang tidak

Pada saat ini Kota Bogor membutuhkan 5 (lima) hektar lahan TPU, strategi Pemerintah Kota Bogor dalam mengelola TPU hasil wawancara terstruktur menyatakan

It relies on your desire where and also where you will certainly read Dreamseller: An Addiction Memoir By Brandon Novak, Joe Frantz One that you need to consistently remember is

Jika ternyata kepada seseorang pegawai lombong bahawa terdapat sebab yang munasabah bagi mengesyaki bahawa dalam mana-mana bangunan atau tempat atau di atas mana-mana tanah

Hendro Gunawan, MA Pembina Utama Muda

Pada saat yang sama peminjam uang tidak ingin kehilangan barang yang dia miliki karena meminjam uang yaitu dengan menggadaikannya, sementara pemberi pinjaman