• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENJADI MELAYU YANG ISLAM SEBUAH POLITI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MENJADI MELAYU YANG ISLAM SEBUAH POLITI"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

“MENJADI MELAYU YANG ISLAM”:

SEBUAH POLITIK IDENTITAS ETNIS MINORITAS DALAM,

MENGHADAPI DOMINASI NEGARA DAN ETNIS

MAYORITAS

1

Oleh Amilda

Pendahuluan

Sebagai negara yang multietnis serta multikultur, Indonesia dibentuk oleh

berbagai tipe kebudayaan dan sistem kepercayaan, dari yang memiliki tingkat

budaya yang rumit hingga komunitas dengan budaya yang sederhana, dari agama

monotheisme hingga sistem kepercayaan yang bersifat animistis. Kesemuanya

hidup bersama dalam sebuah ruang publik yang memaksa satu sama lain saling

berhubungan dan berinteraksi, sangat sulit bagi suatu etnis untuk mengisolasi diri

dari proses interaksi budaya ini. Keadaan ini juga didorong dengan semakin

terbukanya akses orang untuk melakukan mobilitas dari satu daerah ke daerah

lain, karena alasan ekonomi atau yang lainnya. Akibatnya, suatu komunitas tidak

hanya dituntut untuk berinteraksi dengan etnis “tetangga asli” mereka, yaitu

tetangga yang memang telah hidup berdampingan sejak dahulu, namun mereka

juga dihadapkan dengan etnis lain yang kadangkala tidak mereka kenal bagaimana

budaya “tetangga baru” mereka.

Proses pertemuan dan interaksi antar etnis dan keyakinan yang berbeda

kadang kala berlangsung dengan mulus tanpa menimbulkan konflik horizontal di

dalam kehidupan sehari-hari, kadang kala proses ini berlangsung tidak mulus,

terjadi konflik horizontal sehingga menimbulkan kerugian dari masing-masing

pihak. Indonesia memiliki sejarah panjang terhadap konflik horizontal yang

terjadi antar etnis, walaupun acapkali tidak ingin diakui sebagai konflik dan

1

Makalah/Paper telah dipresentasikan pada forum“Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-11”, bertempat di Bangka Belitung, 10 s.d. 13 Oktober 2011. diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Ditjen Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI.

(2)

kerusuhan etnis. Kegagalan untuk saling membangun kepercayaan antar etnis

yang hidup bersama ini mendorong kerap terjadinya konflik yang berbau SARA.

Dalam proses interaksi antar etnis dan keyakinan tersebut didasarkan pada

posisi masing-masing etnis. Etnis dan komunitas yang memiliki dominasi, baik

kekuasaan politik atau ekonomi, akan menempati posisi dominan, begitu pula

etnis atau komunitas yang memiliki populasi besar memiliki posisi mayoritas.

Posisi mayoritas yang dominan ini memberikan kekuasaan untuk menentukan

nilai budaya, keyakinan, dan pola hidup yang seharusnya berlaku dalam suatu

masyarakat secara luas. Tuntutan terhadap nilai-nilai dominan tersebut mendorong

komunitas etnis minoritas mengkonversi pola hidup, budaya, dan kepercayaan

mereka mengikuti pola hidup dan budaya masyarakat mayoritas. Pilihan ini bukan

suatu yang mudah untuk mereka lakukan sehingga acap menimbulkan

permasalahan terhadap identitas mereka, budaya mereka, serta pandangan

kosmologi mereka pun mengalami perubahan yang drastis akan sangat berbeda.

Perubahan drastis ini akan sangat berdampak dalam kehidupan individu maupun

komunitasnya, terdapat goncangan besar dalam kehidupan dari masing-masing

individu dalam komunitas tersebut.

Islam sebagai agama sekaligus menjadi dasar dari sistem nilai yang

menjadi pedoman dari etnis mayoritas, yaitu Melayu. Islam juga menjadi lambang

identitas dari etnis Melayu. Sebagai sebuah identitas, Islam juga dijadikan acuan

untuk menempatkan kepercayaan lain sebagai subdominan, yang umumnya dianut

oleh masyarakat minorita harus menyesuaikan diri dengan sistem nilai dominan

tersebut. Dominasi ini mendorong sistem kepercayaan lain, terutama sistem

kepercayaan lokal2, harus mengkonversi kepercayaan dan budaya mereka

mengikuti kepercayaan dan budaya dominan sehingga terjadi proses konversi

identitas dari etnis minoritas mengikuti kepercayaan dan budaya etnis mayoritas.

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana identitas yang

dibangun oleh suatu komunitas minoritas acapkali dipengaruhi oleh tuntutan dari

komunitas mayoritas. Tuntutan tersebut acapkali memunculkan fenomena

konversi identitas dan sistem kepercayaan sebagai strategi yang dipilih untuk

2

(3)

dapat menjadi bagian dari identitas mayoritas. Relasi ini tampak jelas dalam relasi

di ruang publik dimana masing komunitas memainkan identitas

masing-masing. Untuk menjawab permasalah tersebut, maka pertanyaan penelitian ini

adalah (1) Bagaimana situasi yang dihadapi oleh komunitas etnis minoritas

sekarang sehingga mengkonversi kehidupan yang diwariskan oleh leluhur mereka

dengan nilai-nilai masyarakat mayoritas? (2) Bagaimana mereka membangun

identitas baru mereka pasca melakukan konversi budaya dan kepercayaan

tersebut? (3) Bagaimana posisi etnis minoritas pasca konversi tersebut dalam

sturktur masyarakat mayoritas?

Konstruksi Identitas di Rana Publik

Asumsi awal dari penelitian ini berangkat dari pandangan Weber, manusia

melakukan suatu tindakan karena mereka menyadari melakukan hal tersebut untuk

mencapai apa yang mereka kehendaki. Tindakan yang muncul kemudian

merupakan perwujudan dari bentuk kesadaran manusia tersebut. Kesadaran

tersebut membentuk, apa yang disebut oleh Weber sebagai struktur sosial,

sedangkan cara hidup merupakan produk dari pilihan yang termotivasi. Dalam

pandangan ini makna dari sebuah tindakan menjadi sangat penting (Jones,

2009:114). Kesadaran individu ini mendorong manusia melakukan pilihan-pilihan

yang dipandangnya strategis sebagai sebuah bentuk survival strategy mereka

menghadapi lingkungan fisik dan sosialnya.

Salah satu bentuk survival strategy tersebut adalah melakukan konversi

identitas etnisitas, yaitu mengadopsi identitas etnis yang baru untuk mengganti

identitas etnis asalnya. Salah satu factor pendorong konversi identitas ini adalah

konversi agama dan keyakinan. Fenomena konversi identitas ini tidak dapat

dilepaskan dari struktur sosial suatu masyarakat yang lebih luas. Diskusi tentang

hubungan etnisitas tidak dapat dilepaskan dari asumsi bahwa beberapa etnis

dominant secara budaya, politik, dan ekonomi akan memutuskan sebuah bentuk

identitas etnis yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat tersebut, sehingga hanya

terjadi perubahan satu arah dimana etnis minoritas harus mengikuti atau

(4)

Identitas, dalam studi Antropologi dan studi budaya, lebih dilihat sebagai

sebuah identitas budaya yang terwujud dalam bentuk komunikasi. Pada kondisi

relasi yang bersifat asimetris ini, etnis dominant tidak hanya memiliki kekuasaan

untuk menentukan identitas dominan tetapi juga memiliki kuasa untuk membuat

klaim-klaim tentang ‘siapa kita’ dan ‘bagaimana kita’ harus berhubungan dengan

‘yang lain’. Konstruksi sosial sangat menekankan pada bentuk-bentuk komunikasi

yang terjadi satu dengan yang lain, tidak hanya sebatas penyampaian pesan tetapi

juga pembuatan klaim-klaim tentang ‘siapa kita’ dan hubungannya dengan yang

lain’. Identitas tersebut diwujudkan dalam praktek-praktek sosial yang dibangun

dari dua sisi yaitu sisi individu dan sisi sosial. Pembentukan identitas ini sangat

ditentukan oleh sejarah masa lalu dan keadaan masa sekarang, dan proses

pembentukannya tidak dapat dilepaskan dari peran kekuasaan, siapa yang

berperan membentuk dan mengendalikan klaim-klaim tersebut (Holland, dkk.

1998). Penggunaan klaim-klaim tersebut menjadi penting dalam menunjukkan

identitas individu dalam suatu struktur sosial.

Menurut Alasuutari (2004), dalam menganalisis konsep konstruksi

identitas sebagai sebuah proses tidak dapat dilepaskan dari empat konsep penting

yang tidak dapat dipisahkan yaitu (1) posisi dari subjek, (2) legitimasi, (3) strategi

peniruan, serta (4) kesadaran kelompok. Penelitian identitas budaya dalam

penelitian ini akan menggunakan konsep dasar tersebut, dimana identitas tidak

dapat dipisahkan dari konsep posisi subjek. Posisi subjek adalah posisi dimana

individu atau kelompok menempatkan diri dalam sebuah aturan yang berkaitan

dengan masyarakat yang lebih luas. Subyek bertindak sebagai agen yang dapat

bertindak dalam kondisi tertentu. Dengan kata lain identitas tersebut bersifat

ambigu, sangat tergantung kepada individu-individu pendukung identitas tersebut

(Lemont, 2002).

Satu Etnis dengan Berbagai Identitas

Penyebutan terhadap Orang Rimba merujuk pada banyak nama yang

digunakan untuk menunjuk pada satu etnis. Penyebutan yang berbeda-beda ini

sangat sarat dengan kepentingan politik dari masing-masing pemiliknya.

(5)

masyarakat, dikaitkan dengan prinsip klasifikasi yang dibuat oleh pemiliknya,

sehingga dapat menunjukan adanya hubungan hirarkhi dan kekuasaan dari satu

kelompok terhadap kelompok yang lain. Hirarki tersebut akan menunjukan

bagaimana bentuk dari sebuah struktur dominasi dapat terjadi. Kehadiran hirarki

dan kekuasaan dalam proses penamaan dan penyebutan dapat dilihat dari proses

sejarah suatu masyarakat, kategori-kategori yang dimunculkan menunjukkan

kuatnya peran dominasi kekuasaan untuk mengklasifikasikan mana yang beradab

dengan tidak, asli dengan tidak asli (Brown, 1993:658-660).

Dominasi kekuasaan menjadi sangat jelas ketika membahas tentang

penyebutan Orang Rimba. Masing-masing kelompok yang berinteraksi dengan

mereka akan memberikan penamaan yang berbeda dengan merujuk pada satu

komunitas. Sejarah panjang Orang Rimba menunjukan bagaimana hirarki mereka

dalam konteks masyarakat luas, misalnya seluruh literatur pemerintah kolonial

Belanda menyebut mereka sebagai Kubu, mengadopsi sebutan yang digunakan

oleh masyarakat Melayu untuk menyebut mereka. Pemerintah menyebut mereka

dengan sebutan Suku Anak Dalam, sedangkan mereka lebih senang menyebut

dirinya sebagai Orang Rimba.

Sebutan “Kubu” dipergunakan oleh masyarakat Melayu untuk merujuk

kepada Orang Rimba. Kata Kubu mengandung konotasi yang negatif sebagai

manusia yang tidak beradab, tidak berpakaian, jorok, makan babi, dan tidak Islam.

Konotasi negatif dari penyebutan tersebut diikuti dengan dibentuknya stereotype

negatif tentang mereka sebagai bentuk penegasan yang menempatkan mereka

pada posisi tidak sama dengan gambaran masyarakat umumnya. Stereotype

negatif yang dibangun berdasarkan kesan yang ditimbulkan dari perbedaan

tersebut dan sangat dipengaruhi oleh nilai agama mereka. Orang Kuba dipandang

seperti anjing, sehingga haram untuk diajak masuk ke dalam rumah orang Melayu.

Untuk memperkuat konotasi tersebut masyarakat Melayu membangun mitos

tentang Orang Kubu yang memiliki ‘ilmu’ yang hebat, bila orang luar meludah di

depan mereka maka orang itu akan mengikuti mereka ke hutan dan tidak akan bisa

kembali lagi.

Berdasarkan literatur bangsa Eropa, keberadaan Orang Kubu telah dikenal

(6)

pemerintah Belanda. Mereka membagi Orang Kubu menjadi dua kategori, Kubu

jinak (civilized Kubu) dan Kubu liar (wild Kubu). Kubu jinak adalah Orang Kubu

yang hidup lebih menetap/semimenetap dan telah membuka ladang, sehingga

mereka sudah pada tahap menuju ke kondisi beradab (Hagen:1908; dan Schebesta

dalam Sanbukt, 1984). Kubu liar sebutan bagi mereka yang masih hidup di dalam

hutan dan menjauhi kehidupan masyarakat Melayu serta tidak berladang.

Gambaran serupa ditulis oleh van Dongen (1913) tentang Orang Kubu, sewaktu ia

menjadi kontrolir BB untuk wilayah Keresidenan Palembang.

Berdasarkan sejarah tentang penyebutan Orang Kubu sangat bernuasa

dominasi dari masyarakat Melayu, kacamata agama digunakan untuk menilai

Orang Kubu dan menempatkan mereka pada posisi yang sangat hina, seperti

anjing. Anjing dalam agama Islam bermakna orang kafir yang pantas untuk

dibunuh. Para pegawai kolonial dan ilmuan berikutnya tetap melanggengkan

sebutan tersebut untuk menunjukan dominasi kebudayaan mereka atas

kebudayaan yang mereka pandang sebagai masyarakat primitf dan tidak beradab.

Sebutan Suku Anak Dalam diberikan pemerintah untuk menggantikan

konotasi negatif dari sebutan Kubu. Oleh negara, mereka dikategorikan sebagai

masyarakat terasing, sebutan ini berkonotasi sebagai masyarakat yang marginal,

tinggal di pedalaman, serta memiliki budaya yang tidak sama dengan budaya

mainstream yang ada di masyarakat. Cara hidup mereka yang berpindah-pindah

dan lebih senang mencari hasil hutan dipandang oleh negara sebagai budaya malas

sehingga menghambat pembangunan. Salah satu indikator dari kemajuan

kehidupan masyarakat dalam pembangunan apabila masyarakat memiliki pola

kehidupan yang stabil ditandai dengan pola kehidupan yang menetap. Indikator ini

sangat sulit untuk diterapkan kepada masyarakat Suku Anak Dalam, sehingga

program utama bagi negara adalah menetapkan mereka dalam satu pola

pemukiman seperti masyarakat umumnya.

Berdasarkan cara pandang ini, Suku Anak Dalam menjadi target dari

negara untuk diberadabkan agar mereka kembali memiliki budaya yang sama

dengan masyarakat Indonesia lainnya, yaitu hidup di rumah dengan pola menetap,

memiliki agama yang sama dengan sebagian besar masyarakat umumnya,

(7)

menerima kehadiran fasilitas kesehatan, serta berinteraksi dengan masyarakat

lainnya. Semua target yang ingin dicapai oleh negara terhadap mereka merupakan

bentuk nyata dari dominasi kekuasaan negara yang tidak dapat menerima bila

mereka hidup dengan budaya mereka yang berbeda.

Suku Anak Dalam sebagai pengganti bagi penyebutan Kubu masih

mengandung konotasi negatif bahwa mereka itu tidak beradab, terbelakang,

malas, dan menghambat pembangunan. Tidak ada perlakuan yang berbeda dengan

penyebutan Kubu yang diberikan oleh orang Melayu dan pemerintah kolonial

Belanda. Penyebutan Suku Anak Dalam dirasa lebih bertujuan proyek untuk

membuat mereka menjadi beradab.

Kedua penyebutan di atas diberikan oleh orang luar, sedangkan mereka

menyebut dirinya sebagai Orang Rimba dengan ungkapan“awo’a Orang Rimba”.

Penamaan ini sebagai counter identitas terhadap penyebutan yang diberikan oleh

masyarakat Melayu dan pemerintah yang dianggap oleh mereka sebagai suatu

yang buruk. Sebutan Orang Rimba sangat berkaitan dengan identitas mereka yaitu

‘rimba’. Pernyataan mereka bahwa ‘rimbo nia halom awok, putih halom mati

awok’ menggambarkan betapa pentingnya keberadaan rimba dalam kehidupan

mereka, musnah hutan berarti kematian bagi mereka. Bagi Orang Rimba, rimba

bukan hanya lokasi tempat tinggal tetapi rimba merupakan tempat mereka

meletakkan identitas dan kebudayaan mereka.

Pertarungan Stereotype demi Sebuah Legitimasi

Secara tradisional, tetangga asli komunitas Orang Rimba adalah

masyarakat Melayu3. Wilayah kehidupan Orang Rimba, dahulu terpisah jauh dari

perkampungan masyarakat Melayu, perkampungan Melayu, umumnya dibangun

dipinggir-pinggir sungai besar sedangkan lokasi penghidupan Orang Rimba

berada di hulu-hulu sungai. Pada perkembangan kemudian, hutan-hutan sebagai

kawasan hidup dan pencarian Orang Rimba berubah menjadi kawasan pemukiman

transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit. Perubahan ini mendekatkan jarang dan

interaksi antara Orang Rimba dengan masyarakat lainnya seperti masyarakat

Melayu dan Jawa.

3

(8)

Dekatnya jarak pemukiman dan semakin seringnya Orang Rimba

bersentuhan dengan masyarakat desa membawa dampak yang sangat besar dalam

kehidupan komunitas Orang Rimba. Dalam kosmologi Orang Rimba, orang

Melayu dan orang terang4 merupakan sumber penyakit yang dapat

membahayakan. Keyakinan ini diwujudkan Orang Rimba dengan aturan yang

melarang mereka membuat pemukiman dekat dengan pemukiman orang terang.

Orang Melayu sebagai sumber penyakit ini dicerminkan dari kata

‘melayu’. Sanbukt (1984) menjelaskan bahwa kata “melayu” memiliki konotasi

yang negatif bagi Orang Rimba. Berdasarkan kata dasarnya‘layu’ yang diartikan

sebagai keadaan yang tidak berguna sebagai akibat dari penyakit atau sihir.

Konsep ‘melayu’ ini dikonotasikan Orang Rimba dalam ‘natong melayu’ yang

diartikan sebagai sesuatu yang menimbulkan keadaan layu. Kata orang“me-layu”

menandakan sesuatu yang menghancurkan kehidupan yaitu orang membawa

kesialan bagi Orang Rimba melalui penyakit yang mereka bawa. Tempat orang

Melayu merupakan tempat dimana dewo penyakit’on bermukim yaitu di hilir

sungai.

Pada sisi yang lain, masyarakat Melayu menyebut Orang Rimba dengan

sebutan ‘kubu’. Kata Kubu berasal dari kata ‘ngubu’. Dalam bahasa Melayu

Jambi, kata ‘ngubu’ diasosiasikan dengan mencari hidup di dalam hutan. Pada

perkembangannya kata “Kubu’ mengalami konotasi negatif sabagai makhluk yang

bodoh, bakhil, atau bego (Sitepu, 1993:2). Konotasi ini mirip dengan yang

digambarkan oleh masyarakat Melayu Jambi bahwa Orang Kubu5 sebagai orang

yang bodoh, susah diatur, dan terbelakang (Prasetijo, 2010:152). Selain itu,

masyarakat Melayu juga memandang Orang Rimba sebagai makhluk yang ‘kotor’

karena memakan babi, tidak mandi, dan tidak beragama Islam, sehingga mereka

tidak layak untuk diperlakukan sebagaimana manusia umumnya. Stereotype yang

dimiliki oleh masyarakat Melayu ini tampak dalam perilaku keseharian mereka.

4

Sebutan Orang Terang merujuk pada semua orang yang berasal dari luar dunia mereka, baik orang trans maupun orang Melayu yang tinggal di dekat mereka.

5

(9)

menjadi pemandangan yang biasa ketika Orang Rimba bertamu ke rumah orang

Melayu tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam rumah atau mereka diberi

makan dengan ditempatkan dikantong plastik hitam atau mereka akan diberikan

gelas dan piring dari plastik atau kaleng, semuanya harus dibedakan. Perilaku

berbeda ini didasarkan pada alasan bahwa Orang Rimba makan babi, yang

dilarang oleh Islam sehingga apa yang digunakan oleh mereka berarti najis yang

diharamkan oleh agama. Perilaku yang berbeda diberikan ketika masyarakat

Melayu menerima dan memberikan makan kepada orang yang bukan muslim

yang datang ke rumah mereka, bagi mereka, orang non muslim yang makan babi

juga tetap lebih baik dari pada Orang Rimba, karena mereka lebih bersih.

Pandangan negatif yang dimiliki oleh masyarakat Melayu ini juga

diperkuat oleh pandangan negara. Negara melihat bahwa keberadaan Orang

Rimba dengan pola hidup, budaya, dan sistem kepercayaan mereka dianggap

sebagai suatu yang ‘terbelakang’, primitif, dan tidak beradab sehingga harus

diubah dan dijadikan lebih ‘beradab’. Salah satu cara untuk menghilangkan

gambaran negatif tentang Orang Rimba, maka Departemen Sosial mengganti

penyebutan kata Kubu dengan sebutan ‘Suku Anak Dalam” atau SAD.

Kondisi Orang Rimba yang sangat terbelakang ini dipandang akan

menimbulkan masalah sosial bagi masyarakat, cara hidup mereka tidak sesuai

dengan pola hidup dan budaya masyarakat sekarang sehingga akan memberikan

citra buruk bagi keberhasilan pembangunan. Masyarakat yang dicap terasing ini

dipandang belum sepenuhnya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat

Indonesia6, bahkan mereka juga dianggap sebagai bagian dari masalah sosial di

Indonesia (Depsos, 1983). Salah satu standar yang menentukan tingkat

kebaradaban suatu masyarakat adalah mereka hidup pada pemukiman yang tidak

layak huni serta sangat terikat dengan sistem nilai budaya mereka sehingga sulit

untuk menerima perubahan. Berdasarkan pandangan tersebut maka Orang Rimba

harus meninggalkan pola hidup dan budaya mereka yang tidak beradab tersebut

6

(10)

dan menggantinya dengan budaya pemukiman menetap dan mengganti sistem

kepercayaan mereka dengan agama yang benar.

Usaha untuk menjadikan Orang Rimba lebih beradab, maka pemerintah

menerapkan program Pemukiman Kembali Masyarakat Tertinggal (PKMT).

Program pemukiman ini akan menjadi awal dari usaha menanamkan dasar-dasar

kehidupan masyarakat Melayu yaitu membangun sistem sosial yang diakui oleh

negara seperti pada kampung-kampung Melayu dan usaha menanamkan bentuk

keyakinan yang benar, dengan mengenalkan dan mengajarkan agama Islam

kepada Orang Rimba.

Dominasi etnis Melayu dan negara terhadap Orang Rimba, tidak dapat

dipisahkan dari sejarah keberadaan Orang Rimba.di Jambi. Keberadaan Orang

Rimba diakui berdasarkan struktur sosial politik di Jambi pada masa Kesultanan

Jambi, terutama dikaitkan dengan peran Orang Rimba dalam kehidupan

perekonomian pada masa itu melalui konsep hubungan serah naik jajah turun.

Aturan serah naik jajah turun ini berkaitan dengan pendistribusian ekonomi dan

pajak dari hulu ke hilir. Karena Orang Rimba berdiam dan mencari penghidupan

di tanah raja, maka mereka wajib menyerahkan wajib jajah kepada raja (Prasetijo,

2010:120). Orang yang berhak memungut pajak tersebut adalah jenang, sebagai

wakil raja di wilayah tersebut. Jenang adalah orang Melayu yang bertugas

mengumpulkan pajak Orang Rimba kepada raja dan mendistribusikan serah naik

(pemberian raja) kepada Orang Rimba.

Selain kepatuhan dengan jenang sebagai wakil raja, secara adat Orang

Rimba akan patuh kepada waris mereka. Bila jenang merupakan ikatan politik

dengan Orang Rimba, maka waris merupakan ikatan kekerabatan/dulur antara

Orang Rimba dengan masyarakat Melayu. Waris merupakan konsep yang

diadopsi dari konsep hukum waris dalam agama Islam. Waris Orang Rimba

adalah masyarakat asli Tanah Garo, sehingga dapat disimpulkan bahwa waris

Orang Rimba adalah orang Melayu. Sebagai waris, ia memiliki hak waris dan

kuasa waris. Hak waris berkaitan dengan pembagian harta, dan kuasa waris

berkaitan dengan hak pengaturan. Orang Rimba harus patuh kepada keputusan

waris dan wajib memberikan sebagian hasil yang ia peroleh kepada warisnya

(11)

Relasi kepatuhan ini diatur dalam seloka adat yang menyatakan “Pangkal

waris Tanah Garo, ujung waris tanah Serengam, Air Hitam tanah bejenang.

Berdasarkan seloka ini maka Orang Rimba mengakui bahwa mereka memiliki

pangkal waris di Tanah Garo, ujung waris di Serengam, dan jenang mereka di Air

Hitam. Berdasarkan seloka ini maka Orang Rimba memiliki posisi subordinat dari

masyarakat Melayu, karena berperan sebagai waris mereka, selain itu mereka pun

menjadi subordinat dalam relasi dengan negara, ditandai dengan peran jenang

sebagai perantara. Konsep ini masih tetap dipertahankan oleh Orang Rimba,

walaupun tidak seketat dulu, hal ini dibuktikan dengan sebutan raja kepada setiap

aparat pemerintah yang berhubungan dengan mereka.

Membangun Identitas Baru sebagai Upaya untuk Diakui

Dominasi masyarakat Melayu dan negara terhadap Orang Rimba

lambat-laun mempengaruhi identitas Orang Rimba sebagai etnis minoritas. Fenomena

konversi identitas sebagai akibat dari pengaruh dominasi masyarakat Melayu,

tampak pada komunitas Orang Rimba di Air Hitam. Interaksi yang sangat intensif

dengan penduduk transmigrasi dan hilangnya peran jengan Air Hitam berdampak

pada reorientasi Orang Rimba terhadap jatidirinya. Tetap mempertahankan diri

sebagai Orang Rimba dan aturan adatnya, ternyata bukan suatu yang mudah untuk

dipertahankan. Rimba sebagai identitas sudah tidak banyak lagi yang tersisa,

mereka hidup terkepung oleh pemukiman transmigrasi dan perkebunana kelapa

sawit.

Usaha untuk melakukan konversi identitas tersebut ditandai dengan

meninggalkan aturan adat Orang Rimba dengan bediom atau bermukim,

berkampung. Ketika seorang Rimba telah memutuskan untuk bediom, maka ia

telah mencampok adat atau telah meninggalkan adat dan menjadi orang dusun.

Ketika seorang telah memutuskan untuk bediom maka langkah selanjutnya yang

harus ia lakukan adalah menjadi Islam dengan ditandai dengan bersunat, sehingga

(12)

dapat dikatakan bahwa konversi identitas ini berupa konversi budaya dan

kepercayaan7.

Konversi identitas ini umumnya terjadi melalui program PKMT yang

dilakukan oleh Departemen Social. PKMT ini bertujuan untuk menjadikan Orang

Rimba memiliki pola hidup dan budaya seperti masyarakat umumnya, sehingga

mereka perlu untuk dibina. Pemukiman dibangun merujuk pada konsep in situ

yaitu membangun pemukiman di tempat asal komunitas Orang Rimba tersebut.

Indikator keberhasilan program ini adalah jumlah rumah yang dapat dibangun,

jumlah individu yang dapat dimukimkan, serta jumlah individu yang dapat

di-Islam-kan.

Keberhasilan PKMT yang dilakukan oleh Kementerian Sosial dengan

Kabupatern Sorolangun Jambi adalah Pemukiman Komunitas Adat Tertinggal

Sungai Renah Manis, di desa Lubuk Bedorong, Kec. Limun, Kabupaten

Sorolangun. Pemukiman ini diperuntukkan bagi Orang Rimba kelompok

Tumenggung Mantap. Populasi kelompok Sungai Renah Manis terdiri dari 14 KK

dengan 57 jiwa. Kehidupan kelompok ini ditopang oleh hasil perkebunan karet,

secara administratif lokasi pemukiman mereka menjadi RT tersendiri pada Desa

Lubuk Bedorong. Berbeda dengan masyarakat Melayu di Lubuk Bedorong yang

beragama Islam, maka Orang Rimba kelompok Tumenggung Mantap ini

memeluk agama Kristen. Hingga sekarang pendeta mereka masih rutin

mengunjungi mereka setiap bulannya (Laporan Bioregional Warsi Jambi, 2008).

Di lokasi pemukiman mereka terdapat rumah sekolah yang difasilitasi oleh

pihak gereja, materi pengajarannya baru sebatas baca, tulis dan hitung. Sebagian

anak-anak Orang Rimba dari kelompok ini ada yang disekolahkan SD, SMP, dan

diasramakan di Singkut ataupun Sarolangun. Peran geraja yang besar dalam

kehidupan Orang Rimba berpotensi menjadi sumber konflik dengan masyarakat

desa yang beragama Islam. Konflik yang bernuansa SARA terjadi pada tahun

2004 di Sungai Kutur, desa Tanjung Raden, Kecamatan Limun, Kabupaten

Sorolangun. Konflik dipicu oleh tindakan pembakaran gereja di Sungai Kutur oleh

7

(13)

Orang Dusun Sungai Kudis. Pelaku pembakaran gereja diberi sanksi hanya satu

tahun penjara dari tuntutan selama 17 tahun penjara. Orang rimba di Sungai Kutur

sampai saat ini tidak puas dengan sanksi yang dijatuhkan pada pelaku

pembakaran. Berbagai label stereotipe menunjukkan akumulasi konflik tidak

dapat diabaikan, didalamnya mengandung emosi, sakit hati, dan tidak adil.

Konversi identitas dari Orang Rimba menjadi orang Melayu dengan

memilih berkampung dan memeluk agama formal juga dilakukan oleh kelompok

Orang Rimba yang bermukim di Sungai Air Panas, Desa Bukit Subang,

Kecamatan Pauh, Kabupantan Sorolangun, Jambi. Orang Rimba Air Panas dengan

pemimpinnya Tumenggung Besiring dan Miring, memutuskan untuk

meninggalkan identitas Orang Rimbanya dan menjadi orang dusun dan beragama

Islam. Proses ini terjadi sekitar tahun 1998, dengan diadakannya program TSM

(Transmigrasi Swakarsa Mandiri) oleh Densos, Deptrans, dan PT SAL. Tujuan

program ini adalah untuk mengajak Orang Rimba yang hidupnya masih

terbelakang agar dapat hidup lebih baik serta memberikan kemapanan ekonomi

mereka melalui program perkebunan kelapa sawit yang dikembangkan oleh PT

SAL (Sanbukt dan Warsi, 1998:17-18).

Pembangunan pemukiman bagi Orang Rimba berafiliasi kepada desa

Pematang Kabau sebagi RT tersendiri yaitu RT 01 RW 3, sehingga secara

administrasi pemukiman ini diakui sebagai bagian formal desa. Dengan diakuinya

secara formal keberadaan Orang Rimba dalam administrasi desa menjadikan

Orang Rimba tersebut bagian dari desa sehingga berhak memperoleh KTP dan

Kartu Sehat, seperti warga masyarakat desa yang lain. KTP dan fasilitas lainnya

merupakan bukti formal keberadaan mereka di desa. Pemukiman ini dilengkapi

dengan fasilitas SD Air Panas, yang awalnya merupakan sekolah rintisan bagi

anak-anak Orang Rimba di Air Panas dan Air Hitam, pada perkembangannya

sekolah ini sempat ditinggalkan ketika diubah menjadi sekolah formal yang

menerapkan kurikulum Pendidikan Agama Islam. Sejak peristiwa tersebut,

anak-anak Orang Rimba yang tidak bermukim memilih untuk tidak melanjutkan

pendidikan mereka, dan sekarang sekolah ini lebih banyak mengajar anak-anak

(14)

Keberhasilan memukimkan dan mengislamkan 23 KK atau 98 jiwa Orang

Rimba dipandang sebagai keberhasilan pemerintah, karena mereka telah berhasil

menjadikan Orang Rimba lebih beradab seperti masyarakat Melayu yang lainnya.

Berbeda dengan Orang. Berbeda dengan pemukiman Orang Rimba yang terdapat

di Sungai Renah Manis yang beragama Kristen, kurang mendapat pengakuan

klaim keberhasilan, maka pemukiman Air Panas selalu menjadi bentuk

percontohan keberhasilan tersebut, salah satu aspek penting dari keberhasilan

tersebut adalah berhasil menjadikan Orang Rimba seperti masyarakat Melayu,

berdiam atau berkampung dan beragama Islam.

Permainan Simbol untuk Sebuah Pengakuan Identitas

Ketika memutuskan berkampung, maka Orang Rimba akan tercabut dari

adat leluhur mereka. Mereka tidak lagi mau untuk menyebut atau disebut dengan

sebutan Orang Rimba atau Kubu, begitu pula sebaliknya, Orang Rimba yang

masih memegang adat nenek moyang mereka sudah tidak lagi mengakui bahwa

mereka adalah bagian dari komunitas Orang Rimba. Bagi Orang Rimba yang

memilih untuk mengganti identitasnya menjadi orang desa dan Islam, bukan juga

hal yang mudah untuk menperoleh pengakuan atas identitas baru mereka,

masyarakat desa masih tetap menganggap mereka sebagai Orang Rimba atau

Kubu, yang berstatus lebih rendah dari mereka.

Usaha Orang Rimba mengkonversi identitas lamanya ke identitas barunya

akan selalu diikuti dengan mengunakan strategi peniruan dan membangun

kesadaran baru sesuai dengan apa yang dituntut oleh identitas baru tersebut. Pada

proses membangun strategi peniruan ini, penggunaan identitas, antara identitas

baru dan lama, akan bersifat ambigu, sangat tergantung kepada posisi subjeknya.

Ambiguisitas ini akan tampak dari pemaknaan simbol-simbol identitas baru

tersebut, sangat ditentukan oleh kepentingan subjek (Alasuutari, 2004).

1) Islam sebagai jalan menebus dosa

Menjadi Islam, bagi Orang Rimba, selalu identik dengan tidak makan babi

karena babi merupakan suatu yang diharamkan dalam budaya Melayu dan agama

Islam, berbeda dengan budaya lama mereka dimana babi menjadi sumber

(15)

laki-laki. Perbedaan budaya dan keyakinan ini menandakan bahwa menjadi orang desa

dan masuk Islam berarti merubah pola hidup dan budaya mereka pula.

Seorang informan mengungkapkan alasannya masuk Islam, baginya,

masuk Islam berarti memilih jalan menuju keselamatan dan kebaikan serta

menebus dosa mereka selama ini. Menjadi Islam bukanlah hal mudah bagi Orang

Rimba, karena Islam melarang semua nilai-nilai yang diwariskan oleh nenek

moyang mereka. Islam kebalikan dengan keyakinan nenek moyang Orang Rimba,

misalnya mereka dilarang makan babi, mereka harus menutup auratnya, hidup di

hutan yang kotor, serta tidak pernah sembahyang. Karena perilaku dosa mereka

itulah sehingga orang desa menganggap mereka rendah dan selalu menghina dan

mengolok-olok mereka.

2) Mengganti nama menjadi nama Islam dan bersunat

Simbol terpenting yang dijadikan aklamasi bahwa seorang Orang Rimba

telah mengkonversi identitasnya adalah dengan melakukan sunat. ‘telah bersunat’

menandakan seorang laki-laki Orang Rimba telah sah menjadi bagian dari agama

Islam dan masyarakat Melayu. Sebelum proses bersunat dilakukan, Orang Rimba

yang masuk Islam akan terlebih dahulu mengucapkan syahadat dan biasanya

diikuti dengan penggantian nama rimba mereka menjadi nama yang bernuasa

islami seperti nama rimbanya Besiring kemudian berganti menjadi Muhammad

Ali, seorang Miring berganti nama menjadi Muhammad Helmi, atau si Nyelempit

kemudian menjadi Susilowati.

Ketika nama baru telah diperoleh, maka nama rimba pun sudah tidak

dikehendaki lagi untuk digunakan. Orang-orang desa lainnya akan memanggil

mereka dengan nama baru tersebut. Pergantian nama ini sepertinya menjadi suatu

keharusan bagi mereka, dengan nama baru maka mereka pun sudah resmi

menyandang identitas budaya yang baru pula, yaitu identitas sebagai orang desa,

dengan budaya Melayu dan beragama Islam. Apabila nama rimba mereka

digunakan, maka mereka akan merasa dihina, nama lama sudah tidak dikehendaki

lagi oleh pemiliknya.

3) Hidup bersih

Menjadi Islam berarti menuntut Orang Rimba untuk selalu hidup bersih,

(16)

bersih berarti mereka harus selalu mandi dengan menggunakan sabun serta

menurup aurat. Cawot sebagai pakaian mereka dulu harus ditinggalkan dan

menggantikannya dengan pakaian yang umumnya dipakai oleh orang desa

umumnya. Para perempuannya tidak lagi berkembang, bahkan beberapa dari

mereka telah menggunakan jilbab ketika harus hadir di forum desa.

Pakaian-pakaian tersebut akan selalu mereka cuci dengan menggunakan sabun. Sabun

menjadi suatu yang wajib sekarang, begitu pula ketika mereka mandi juga

menggunakan sabun, dahulu merupakan pantangan yang dilarang adat Rimba

karena bau wangi dari sabun akan menghalangi datangnya dewo.

Piring dan gelas yang telah mereka gunakan harus selalu dicuci dan

diletakkan pada tempat yang bersih pula. Hidup bersih ini merupakan usaha untuk

mengubah stereotype negatif yang dimiliki oleh masyarakat Melayu terhadap

mereka. Pilihan ini bukanlah suatu yang mudah untuk dilakukan oleh Orang

Rimba.

4) Mengikuti ritual-ritual Islam

Sebagai seorang muslim, Orang Rimba di Air Panas juga melakukan ritual

keagamaan seperti dilakukan oleh masyarakat muslim lainnya. Mereka melakukan

sholat dan mengaji seperti layaknya muslim umumnya. Guru yang mengajarkan

mereka sholat dan mengaji didatangkan oleh Depsos. Sang guru diberikan rumah

tepat di sebelah masjid tersebut. Menurut penuturan sang guru, Orang Rimba yang

telah memeluk Islam, masih susah untuk diajak melakukan sholat lima waktu,

mereka hanya sholat pada hari Jum’at di masjid tersebut. Hal ini diakui oleh

Orang Rimba tersebut bahwa sangat sulit bagi mereka untuk menghafalkan

doa-doa sholat, bila sholat Jum’at mereka dapat meniru imam terhadap gerakan dan

bacaannya. Kondisi ini sangat dapat dimaklumi oleh masyarakat muslim lainnya,

“mereka baru belajar, jadi masih bagus mau sholat Jum’at dari pada tidak sama

sekali”.

Mereka juga ikut terlibat pada aktifitas keagamaan yang sifatnya

kemasyarakatan seperti acara syukuran dan maulud yang dilaksanakan di Masjid

Air Panas. Ketika ada keluarga mereka yang sembuh dari sakit, mereka akan

meminta imam masjid untuk mengundang umat Islam lainnya untuk membacakan

(17)

imam masjid tersebut, ia hanya memberikan uang maka imam akan mengurus

semuanya, menyediakan makanan, mengundang warga, serta menyiapkan masjid

tempat acara dilangsungkan. Ketika doa selamat dibacakan, hanya Orang Rimba

yang punya hajat saja yang duduk di depan, yang lainnya adalah warga desa.

Orang Rimba umumnya akan mengambil tempat dibarisan paling belakang,

menurut mereka, mereka belum hapal doa-doanya sehingga sebaiknya duduk di

belakang agar tidak mengganggu yang lainnya.

5) Menikah dengan orang etnis lain

Bagi Orang Rimba, upaya konversi identitas ini akan benar-benar berhasil

apabila seorang laki-laki Rimba dapat menikah dengan orang etnis lain, seperti

Melayu atau Jawa. Pernikahan tersebut akan menjadi simbol bahwa Orang Rimba

tersebut telah benar-benar diterima oleh masyarakat desa. Tidak banyak laki-laki

Orang Rimba yang dapat menikah dengan perempuan bukan Orang Rimba.

Kesulitan untuk memperoleh jodoh ini yang akhirnya mendorong pemuda Orang

Rimba yang telah berkampung dan beragama Islam untuk kembali ke rimba dan

menjalankan ajaran nenek moyang mereka.

Pernikahan antar pemuda Orang Rimba yang telah masuk Islam dengan

gadis bukan kelompok Orang Rimba, sangat jarang terjadi, diantaranya di Air

Panas, antara Naim, anak laki-laki pemimpin dari perkampungan Air Panas,

dengan Romiyati, gadis Jawa warga Desa Mentawak pada tahun 2000. Pasangan

yang lain adalah Siddik, pemuda Orang Rimba yang telah menjadi anak angkat

Rio Sayuti, seorang waris Tanah Garo dengan Ratna, gadis Tanah Garo,

perkawinan tersebut terjadi tahun 2003. Asimilasi melalui jalur perkawinan ini

sangat sulit terjadi karena orang desa, terutama etnis Melayu masih tetap

memandang rendah Orang Rimba meskipun ia telah berkampung dan beragama

Islam, masyarakat memandang perkawinan tersebut hanya untuk mendapatkan

harta bagi perempuannya.

Kesimpulan

Hubungan antara etnis mayoritas dengan minoritas pada umumnya terjadi

dalam relasi dominasi dan bersifat asymetrik. Hubungan dominasi dan asymetrik

(18)

diri bahkan menjadi bagian dari budaya mayoritas. Tuntutan ini tidak jarang pula

didukung oleh kebijakan politik pemerintahnya. Negara menetapkan standar

budaya yang ‘seharusnya’ dimiliki oleh semua etnis adalah berbudaya seperti

yang dimiliki oleh etnis mayoritas. Kebijakan ini diwujudkan dengan mendorong

budaya dan sistem kepercayaan yang tidak sesuai dengan budaya dan sistem

kepercayaan mayoritas harus berubah agar dapat diterima sebagai bagian dari

negara dan masyarakat umumnya.

Relasi pluralitas ini (multikultural dan multi kepercayaan) tidak akan dapat

dipisahkan dari relasi kekuasaan dan dominasi yang dimiliki oleh masing-masing

etnis/kepercayaan. Dalam struktur masyarakat Indonesia, Islam menempati posisi

dominan yang memiliki dominasi dalam menempatkan nilai-nilai Islam dalam

kehidupan masyarakat. Dominasi ini menempatkan komunitas Muslim memiliki

kekuasaan untuk memaksakan nilai-nilai Islam dalam struktur masyarakat

tersebut.

Orang Rimba dengan identitas budaya dan kepercayaan yang sangat

berbeda dengan budaya dan kepercayaan mayoritas, mengalami posisi subordinasi

dimana mereka dituntut untuk menyesuaikan diri dan berasimilasi dengan budaya

dan kepercayaan mayoritas. Tekanan ini mendorong sebagian Orang Rimba

melakukan konversi identitas dari identitas asal mereka sebagai Orang Rimba

menjadi orang Melayu atau orang dusun. Konversi ini menuntut strategi adaptasi

dengan melakukan strategi peniruaan simbol-simbol budaya dan agama Melayu

seperti menjadi Islam, mengganti nama mereka dengan nama Islami dan bersunat

hidup bersih, mengikuti ritual-ritual keagamaan, dan menikah dengan perempuan

dari orang etnis lain. Semua strategi ini dalam rangka mengukuhkan identitas baru

mereka yaitu identitas orang dusun yaitu orang Melayu dan beragama Islam.

Daftar Pustaka

Amilda dan P.M. Laksono. 2004. “Kuasa di Waris Eksploitasi Kelas untuk Memperebutkan Sumber Daya Alam” dalam Jurnal Manusia dan Lingkungan,Vol XI, No.1, Maret. pp. 47-53.

Andaya. Barbara Watson. 1993. To Live as Brothers: Southeast Sumatra in The

Seventeeth and Eighteenth Centuries. Honolulu: University of Hawaii

Press.

(19)

Brown, Richard Harvey. 1993. “Cultural Representation and Ideological Domination” dalamSocial Forces, March, 71(3). pp. 657-676.

Denzing, Norman K. & Yvonaa S. Lincoln. 1994. “Introduction: Entering the Field of Qualitative Research” dalam Norman K. Denzing & Yvonna S. Lincoln. Handbook of Qualitative Research. California: SAGE Publications, Inc.

Departemen Sosial RI. 1983. Petunjuk Kerja Pembimbing Kesejahteraan

Masyarakat Terasing. Jakarta: Direktorat Pembinaan Masyarakat

Terasing, Direktorat Jenderal Bina Sosial.

Dongen, van. 1913. “Nog Een en Ander Over de Koeboe” dalam Bijragen tot de

Taal Land-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie. Deel 67.

Gravenhagen, Martinus Nijhoff. Dialihbahasan oleh S. Hertini Adiwoso dan Budi Prihatna. (naskah tidak dipublikasihkan). Jambi: Museum Daerah Jambi.

Eriksen, Thomas Hylland. 1993. Ethnicity and Nationalism: Anthropological Perspektives. Corolado: Pluto Press.

Hollan, Dorothy, William Lachicotte Jr, Debra Skinner, Carole Cain. 1998.

Identiy and Agency in Cultural World. London, England: Harvard

University Press

Jones. Pip. 2009. Pengantar Teori-teori Sosial---dari Teori Fungsionalisme

hingga Post-Modernisme.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Lamont, Michele. 2002. “Culture and Identity” dalam Handbooks of Sociological

Theory. Jonathan H. Turner (ed.). New York: Kluwer

Academic/Plenum Publishers.

Miles, Mathews B & A. Michael Huberman. 1992.Analisis Data Kualitatif, Buku

Sumber tentang Metode-metode Baru. Terjemahan Tjetjep Rohendi

Rohidi. Jakarta: UI Press.

Moloney, Gail & Iain Walker (ed.). 2007. Social Representation and Identity

Content, Process, and Power.New York: PalGrave MacMillan.

Nagata, Judith A. 1974. “What is a Malay? Situational Selection of Ethnic Identity in a Plural Society” dalam American Ethnologist Volume 1, Issue 2. p331-350.

Perret, Daniel. 2010. Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera

Timur Laut.Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Prasetijo, Adi. 2010.Serah Jajah dan Perlawanan yang Tersisa: Etnografi Orang

Rimba Jambi.Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Shoorl, J.W. 1997. Kebudayaan dan Perubahan Suku Muyu dalam Arus Modernisasi Irian Jaya.Jakarta: Grasindo.

Sitepu, R. 1993. “Kondisi dan Permasalahan Kesehatan Suku Anak Dalam di daerah Sungai Terap dan Daerah Kejasung Dati II Batang Hari Propinsi Jambi serta Alternatif Pemecahannya”. Makalah dalam

Seminar Meningkatkan Harkat dan Martabat Suku Anak Dalam di

Daerah Jambi.Universitas Jambi, 6 Desember.

(20)

Suparlan, Parsudi. 1995. Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan grafik, rasio yang memberikan angka minimum adalah 28 gram dengan waktu 38 menit dan bilangan penyabunan yang dihasilkan akan berada dalam angka 140..

Sebagaimana daerah lainnya di Indonesia, berbagai warisan budaya di Kabupaten Agam dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu warisan budaya (1) bersifat

Universitas Kristen Maranatha mendahulukan kebutuhan yang lain, bukan kebutuhan untuk bertindak prososial fokus kebutuhan motivasi intrinsik adalah betul-betul

Menurut Gardner dalam Nurlaila (2004: 38) “Bahasa dapat distimulus melalui bacaan, latihan menulis, berdiskusi dan bermain dengan kata-kata”. Anak yang mempunyai

Dalam rangka menjamin pasien memperoleh pelayanan asuhan keperawatan berkualitas, maka perawat sebagai pemberi pelayanan harus bermutu, kompeten, etis

OPT tidak langsung (indirect pest) adalah penyakit yang tidak langsung merusak atau berpengaruh terhadap hasil panen (bercak daun, bercak ungu, embun tepung, hawar daun

Ada beberapa kontrak yang masih berlaku yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan ada juga

Karena dalam hukum Islam terdapat pengecualian yaitu walaupun dalam perkawinan yang sah tetapi apabila ayahnya melakukan pengingkaran terh{adap anak yang dikandung oleh