• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen Kegawatdaruratan Trauma Pelvis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Manajemen Kegawatdaruratan Trauma Pelvis"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

I. Pendahuluan

Semenjak deskripsi awal fraktur “double vertical” sebagai kombinasi fraktur ramus pubis dan fraktur illiac wing oleh ahli bedah perancis, Joseph Malgaigne (1859) dengan buku “ATLAS of Traumatology” menjadikan fraktur pelvis menjadi perhatian pada literatur orthopaedi, yang berkaitan dengan kerumitannya, morbiditas dan mortalitasnya.Pada pertengahan abad 20, ahli bedah asal kanada, George F.Pennal membagi 3 tipe fraktur pelvis melalui “direction of force” : Lateral compression (LC), Anteroposterior compression (APC), dan vertical shear (VS).1,8

Trauma pelvis yang berat terjadi ketika adanya transfer energi pada pasien setelah kecelakaan lalu lintas, kecelakaan pejalan kaki, jatuh dari ketinggian, atau crush injury. Pada orang tua, cedera terjadi pada transfer energi yang kecil, kebanyakan pasien dengan penyakit tulang degeneratif, menerima radioterapi, dan jarang kali sebagai akibat langsung dari aktivitas kejang. Mayoritas cedera pelvis mengenai ramus pubis atau acetabulum dibandingkan disrupsi cincin pelvis. Namun hal yang paling penting bukanlah fraktur pelvis itu sendiri, namun lebih terhadap komplikasinya, yaitu pendarahan internal dari terpuntirnya pembuluh darah dan ekstravasasi urin dari ruptur buli - buli atau urethra.1,2

Pada 2 dekade terakhir ini, penciteraan radiologi, penanganan fase kritis pasien politrauma, dan pembedahan dengan pendekatan minimal invasif yang semakin maju yang sama seperti berkembangnya algoritme penanganan awal telah memperbaiki prognosis pasien dengan fraktur pelvis. 2,8

II. Insiden

Fraktur pelvis mewakili 3 – 6 % seluruh fraktur pada orang dewasa dan terjadi sampai 20 % pada kasus politrauma. Seringkali terjadi pada usia 15 sampai 30 tahun, dan diatas 60 tahun. Trauma pelvis pada laki – laki mencapai 75 %. Fraktur pelvis yang tidak stabil diperkirakan terjadi pada 20 % fraktur pelvis; sekitar 22 % fraktur pelvis stabil meskipun kerusakan yang bermakna pada pelvic ring. Sisanya sebanyak 58 % fraktur pelvis memiliki hemodinamik dan struktur yang stabil. Insiden fraktur pelvis yang disebabkan trauma tumpul bervariasi dari 5 – 11,9 %. Pada pasien obesitas lebih sering mengalami fraktur pelvis dibandingkan pasien yang tidak obesitas pada trauma tumpul. Trauma pelvis yang berkaitan dengan trauma tajam sangat jarang ditemukan. Fraktur pelvis terbuka jarang ditemukan dan tercatat hanya sekitar 2.7 – 4 % dari seluruh fraktur pelvis.1,3

(2)

III. Anatomi

Pelvis merupakan struktur mirip-cincin yang terbentuk dari tiga tulang: sacrum dan dua tulang innominata, yang masing-masing terdiri dari ilium, ischium dan pubis. Tulang-tulang innominata menyatu dengan sacrum di bagian posterior pada dua persendian sacroiliaca; di bagian anterior, tulang-tulang ini bersatu pada simfisis pubis. Simfisis bertindak sebagai penopang sepanjang memikul beban berat badan untuk mempertahankan struktur cincin pelvis.

Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin pelvis stabil oleh struktur ligamentosa, yang terkuat dan paling penting adalah ligamentum-ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum-ligamentum-ligamentum ini terbuat dari serat oblik pendek yang melintang dari tonjolan posterior sacrum sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan spina iliaca posterior inferior (SIPI) seperti halnya serat longitudinal yang lebih panjang melintang dari sacrum lateral sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan bergabung dengan ligamentum sacrotuberale. Ligamentum sacroiliaca anterior jauh kurang kuat dibandingkan dengan ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum sacrotuberale adalah sebuah jalinan kuat yang melintang dari sacrum posterolateral dan aspek dorsal spina iliaca posterior sampai ke tuber ischiadicum. Ligamentum ini, bersama dengan ligamentum sacroiliaca posterior, memberikan stabilitas vertikal pada pelvis. Ligamentum sacrospinosum melintang dari batas lateral sacrum dan coccygeus sampai ke ligamentum sacrotuberale dan masuk ke spina ischiadica. Ligamentum iliolumbale melintang dari processus transversus lumbalis keempat dan kelima sampai ke crista iliaca posterior; ligamentum lumbosacrale melintang dari processus transversus lumbalis ke lima sampai ke ala ossis sacri.4

Arteri iliaca communis terbagi, menjadi arteri iliaca externa, yang terdapat pada pelvis anterior diatas pinggiran pelvis. Arteri iliaca interna terletak diatas pinggiran pelvis. Arteri tersebut mengalir ke anterior dan dalam dekat dengan sendi sacroliliaca. Cabang posterior arteri iliaca interna termasuk arteri iliolumbalis, arteri glutea superior dan arteri sacralis lateralis. Arteri glutea superior berjalan ke sekeliling menuju bentuk panggul lebih besar, yang terletak secara langsung diatas tulang. Cabang anterior arteri iliaca interna termasuk arteri obturatoria, arteri umbilicalis, arteri vesicalis, arteri pudenda, arteri glutea

(3)

inferior, arteri rectalis dan arteri hemoroidalis. Arteri pudenda dan obturatoria secara anatomis berhubungan dengan rami pubis dan dapat cedera dengan fraktur atau perlukaan pada struktur ini. Arteri-arteri ini dan juga vena-vena yang menyertainya seluruhnya dapat cedera selama adanya disrupsi pelvis (gambar 2). Pemahaman tentang anatomi pelvis akan membantu ahli bedah ortopedi untuk mengenali pola fraktur mana yang lebih mungkin menyebabkan kerusakan langsung terhadap pembuluh darah mayor dan mengakibatkan perdarahan retroperitoneal signifikan.4

Terdapat 2 pleksus yang penting, yaitu : Lumbal dan Sacrum. Pleksus lumbalis terdiri atas 3 cabang anterior pertama pada bagian cabang anterior nervus lumbaris 4. Terdapat cabang kolateral yang pendek, termasuk n.hypogastric, illioinguinal, genitofemoral, cutaneous femoralis lateralis. Ramus terminal dari pleksus lumbar adalah n.femoralis dan obturator. Pleksus sacralis dibuat dari penyatuan trunkus lumbosakral ( ramus anterior L5 dengan ramus anastomosis L4 ) dan bagian anterior dari cabang sacral 4 yang pertama.4,5

Gb.1 Anatomi Pelvis IV. Evaluasi Klinis

Anamnesa. Riwayat trauma dan mekanisme terjadinya trauma seringkali dapat menggambarkan tipe fraktur pelvis dan komplikasi cedera yang terjadi. Rasa nyeri pada pelvis dapat ditanyakan apabila pasien sadar. Mekanisme trauma yang seringkali menyebabkan cedera pada pelvis, antara lain1 :

 Kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan tinggi

 Kecelakaan mobil dimana tertabrak pada salah satu sisi pasien  Jatuh dari ketinggian

 Gaya tarik axial dimana extremitas bawah terulur

 Trauma dengan kecepatan tinggi pada pengendara yang tidak terlindungi (cth. sepeda motor)

(4)

Pemeriksaan fisik. Pada saat inspeksi tampak hematom pada pelvis, luka, bentuk yang bervariasi, deformitas pada pelvis dan atau ekstremitas bawah (pemendekkan, eksternal rotasi), dan juga pemeriksaan terhadap status neurovaskular secara umum dimana ini mungkin kesempatan terakhir sebelum menerima ventilator. Status vaskular dianalisa dengan melakukan palpasi pada ekstremitas bawah dan melakukan inspeksi capillary refill. Capillary refill yag tidak normal adalah diatas 3 detik. Skrening terhadap neurologis pada ekstremitas bawah penting dan pemeriksaan sensorik yang terorientasi, tes ekstensi jempol kaki dan kaki, fleksi plantar, ekstensi lutut, refleks tendon patella, dan tendon achilles pada pasien yang sadar. Stabilitas pelvis diperiksa dengan kompresi manual pada pelvic ring dengan arah antero – posterior dan lateral – medial. Tes stabilitas harus dilakukan dengan hati – hati dan gentle dimana pengukuran ini dapat menyebabkan pendarahan pelvis. Adanya ketidakstabilan pelvis sering berkaitan dengan resiko tinggi pendarahan pelvis. Memeriksa ada tidaknya tanda – tanda cedera pada saluran kencing, yaitu1 :

 Pendarahan pada OUE  Hematuria

 Anuria

 Hematom perineal

 Pendarahan pada rektum atau vagina

 Prostat hipermobilitas pada saat pemeriksaan rektum

Perlu dilakukan pemeriksaan rektum untuk menentukan ada tidaknya robekkan pada rektum.

V. Radiologis

Evaluasi radiologi yang terutama adalah paling tidak x-ray pelvis AP. Apabila pasien stabil, tambahan CT scan ( kranium, leher, abdomen dan pelvis ) yang merupakan “trauma scan” dengan 50 cc kontras iodin diberikan 15 menit sebelum CT scan yang harus dilakukan sesegera mungkin. Bisa dilakukan pemeriksaan X-ray lateral, inlet dan outlet, namun apabila sudah ada CT scan maka pemeriksaan ini tidk perlu lagi dilakukan. Ultrasonografi (FAST) dapat dilakukan untuk menyingkirkan ada tidaknya ekstravasasi cairan buli atau pendarahan intraabdomen. Ultrasonografi doppler dapat dilakukan pada kasus – kasus tertentu apabila ada kecurigaan cedera vaskular pada ekstremitas.1,6,7

VI. Klasifikasi

Klasifikasi menurut Tile, merupakan kombinasi cedera dan stabilitas 1,7:

(5)

 Tipe B : Tidak stabil secara rotasi  Tipe C : tidak stabil secara vertikal

Gb.2. Klasifikasi fraktur pelvis menurut Tile

Klasifikasi menurut Young dan Burgess, berdasarkan mekanisme cedera. Spektrum tentang cedera yang terjadi berdasarkan arah dan besarnya kekuatan penyebab cedera. Antara lain 1,7:

 Kompresi Antero – posterior  Kompresi lateral

 Vertikal shear

 Mekanisme kombinasi

Gb.3 Klasifikasi fraktur pelvis menurut Young - Burgess

Klasifikasi menurut Bucholz, berdasarkan beratnya cedera pada bagian posterior pelvic ring. Antara lain1 :

(6)

Tipe I – cedera ring anterior, dimana ring posterior stabil atau utuh ( dapat juga fraktur sacrak undisplaced cedera di anterior ligamen sacroilliaca.

Tipe II – cedera ring anterior bersama dengan disrupsi parsial sacroilliaca joint, namun ligamen sacroilliaca posterior masih utuh.Tipe III – Disrupsi lengkap Sacroilliaca joint ( termasuk ligamen

sacroilliaca posterior ) dengan displacement hemipelvis.

Klasifikasi menurut OTA (Orthopaedic Trauma Association) merupakan design sistem yang komprehensif untuk laporan yang terstandarisasi dan lebih akurat terhadap variasi pola fraktur.1,7

Gb.4 Klasifikasi fraktur pelvis menurut OTA VII. Manajemen Kegawatdaruratan

Cedera dengan ketidakstabilan hemodinamik dan mekanik jarang laporan insiden bahkan pada pusat trauma 1 % sampai 2 % pada cedera pelvis. Penanganan sangat bergantung pada kasus yang dihadapi dan penundaan diagnosis dan terapi yang adekuat secara dramatis menurunkan harapan hidup pasien. Beberapa pilihan terapi telah dilaporkan pada beberapa literatur. Protokol terapi yang dapat dilakukan untuk hemostasis kegawatdaruratan bervariasi dari antara menunggu untuk self – tamponade, MAST, gips spica, angiografi, embolisasi, dan stabilisasi internal kegawatdaruratan.6,7,8

Evaluasi dan manajemen awal pada IGD dilaksanakan sesuai dengan protokol Advanced Trauma Life Support (ATLS). Primary survey termasuk pemeriksaan airway dan breathing, dimana akses intravena dilakukan dengan lubang jarum yang besar. Dimana resusitasi dilakukan simultan bersamaan dengan evaluasi diagnostik. Stabilisasi hemodinamik sangat penting untuk manajemen awal pada kecurigaan fraktur pelvis.1,8

(7)

Pada situasi kegawatdaruratan ahli bedah orthopaedi memiliki beberapa pilihan untuk stabilisasi pelvis untuk menolong menekan pendarahan pada pasien dengan fraktur pelvis yang memiliki hemodinamik tidak stabil, termasuk penggunaan pneumatic anti – shock garment (PSAG), balutan kain disekitar pelvis, atau menempatkan pelvic binder pada saat datang, sama seperti fiksasi yang lebih definitif dengan anti-shock pelvic clamp (C-clamp) atau fiksasi anterior eksternal yang tradisional.1,8

Self-Tamponade

Pada mayoritas pasien dengan fraktur pelvis tanpa sirkulasi yang tidak stabil, konsep self-tamponade retroperitoneal dapat terjadi. Berlawanan dengan fraktur pelvis yang tidak stabi, khususnya fraktur tipe C, seringkali disrupsi pada seluruh kompartemen otot retroperitoneal (cth. Kompartemen gluteus medius – minimus, kompartemen gluteus maksimus, dan kompartemen iliopsoas) dapat menyebabkan fenomena yang disebut efek chimney, dimana pendarahan pelvis menjalar ke kranial diatas otot psoas atau sepanjang otot gluteal dengan resiko sindrom kompartemen abdomen dan pelvis. Secara klinis, kasus ini seringkali tampak sebagai cedera abdomen. Sebagaimana retroperitoneum bukan merupakan celah tertutup, tekanan yang menginduksi tamponade tidak penting secara klinis.1

Military Antishock Trousers

MAST mendapatkan kompresi langsung pada pelvic ring dan ekstremitas bawah. Karena itu, pelvis dilakukan imobilisasi, suportif sirkulasi sistemik. Secqra berlawanan akses terhadap daerah yang mengalami trauma terbatas, dan pemeriksaan dan terapi cedera lain yang terjadi bersamaan akan terganggu. Komplikasi utama seperti sindrom kompartemen dan gangguan perfusi menyebabkan amputasi setalah laporan pemakaian yang lama.1,2,7,8

Pelvic sling

Alternatif sederhana dari MAST adalah pelvic bed sheet, pelvic sling, atau ikatan pelvic belt pada sekitar pelvis, dimana memberikan kompresi yang memuaskan tanpa akses yang terbatas pada pasien. Pemakaian dengan tujuan profilaksis alat ini pada kondisi cedera atau di IGD telah dipertimbangkan secara biomekanik memiliki efek yang positif pada stabilisasi cedera rotasi eksternal pelvis.1,7,8

(8)

Pendarahan dari arteri berkaitan dengan fraktur pelvis dengan hemodinamik tidak stabil hanya sekitar 10 sampai 20 % pasien. Efektivitas angiografi embolisasi pada pembuluh darah pelvis masih merupakan kontroversial. Dan juga, angiografi embolisasi dilaporkan memiliki komplikasi yang berat. Beberapa peneliti melaporkan kematian 50 % meskipun adanya kontrol pendarahan pada kebanyakan kasus. Rata – rata waktu ketika pasie dimasukkan rumah sakit dan dilakukannya angiografi embolisasi sekitar 10.7 jam. Pada saat waktu ini, 17,7 unit sel darah merah rata – rata diberikan, mengindikasikan rata – rata pemberian 1.65 unit sel darah merah per jam.1

Ligasi arteri hipogastrika

Oleh karena hanya memberikan suplai kolateral dalam pelvis minor, ligasi arteri hipogastrika belum dapat memberikan hasil yang memuaskan dalam hal menurunkan pendarahan arteri.1

Oklusi aorta sementara

Oklusi pada aorta adalah pengukuran sementara untuk mengontrol pendarahan yang sangat hebat, baik dengan cross clamping, atau via perkutan atau terbuka dengan cara memasukkan balon kateter, dimana akan menolong untuk menemukan pusat pendarahan intraoperatif.1

Fiksasi eksterna

Stabilisasi pelvis emergensi dengan fiksasi eksterna dapat diterima secara luas oleh karena relatif mudah dilakukan dan siap sedia pada departemen trauma. Dari sudut pandang mekanik, stabilitas pada konstruksi sementara cedera tipe C sangat penting, namun fiksasi eksternal tidak menolong dalam hal mengontrol pendarahan pelvis dengan membuat tamponade pelvis. Pemakaian fiksasi eksternal hanya dapat mengontrol kehilangan darah dengan cara menginduksi kontrol pendarahan dari sisi fraktur melalui tekanan langsung pada pendarahan pembuluh darah atau terhadap pencegahan pengaruh berulang darah yang sudah membeku. Pada analisis saat ini, fiksasi eksternal sangat menolong pada resusitasi fase akut, dimana sebuah terapi pada cedera tipe C yang tidak stabil dan cedera tipe B open book dengan disrupsi simfisis menunjukkan kemungkinan besar displacement sekunder.1

(9)

Gb.5 Fiksasi eksternal

Pelvic C – clamp

Pemakaian pelvic c-clamp memiliki keuntungan biomekanis peningkatan stabilisasi dan langsung pada ring pelvic posterior bila dibandingkan dengan fiksasi eksternal, menciptakan dasar terhadap tampon pelvis yang efektif. Kerugiannya adalah merupakan indikasi khususnya ( tidak dapat dilakukan pada fraktur ilium dan fraktur dislokasi transiliaka), potensi cedera terhadap organ yang berdekatan dan struktur neuro vaskular gluteal, dan kompresi yang berlebihandengan resiko kompresi saraf sekunder pada fraktur sakrum, dan juga jalur infeksi pada pemakaian yang lama, terjadi perforasi pada pelvis minor dengan resiko cedera organ tambahan. Ada 2 tipe C-clamp yang bisa digunakan, yaitu AO dan ACE, dibandingkan oleh Schutz dan coworkers pada kasus cedera di bagian posterior pelvis, kita dapat memperoleh kompresi primer yang memuaskan dan stabilitas pada seluruh kasus dengan setiap clamp, namun clamp ACE kurang stabil rotasional oleh karena design-nya.1,2,3,7,8

(10)

Gb.6 Pelvic c - clamp Fiksasi internal

Reduksi dan fiksasi internal definitif merupakan prosedur pilihan untuk fiksasi ring pelvis sebagai studi biomekanik yang bervariasi memberikan stabiliasi yang lebih tinggi bila dibandingkan fiksasi eksternal. Kualitas pada reduksi biasanya lebih superior dan secara normal tidak perlu lagi dilakukan pengukuran lainnnya. Pada manajemen akut, plating simfisis, plating anterior SI joint, dan pemakaian transiliosakral screw hanya mungkin dilakukan pada pasien dengan kondisi stabil.1

Kontrol pendarahan langsung

Kontrol pendarahan langsung mungkin dapat dilakukan dengan ligasi pembuluh darah, klip vaskuler ( klem), dan jarang kali rekonstruksi vaskuler pada pembuluh darah besar, dan hal ini merupakan tujuan utama dari tiap hemostasis pada daerah pelvis. Lebih sering terjadi pendarahan dari vena yang berasal dari robeknya pleksus venosus seringkali menghabiskan waktu dan kehilangan darah. Tindakan yang dilakukan dapat menyebabkan cedera saraf iatrogenik. Tamponade pelvis bertujuan untuk stabilisasi pelvic ring posterior yang emergensi.1

(11)

Gb. 7 Pelvic packing

Algoritma Penanganan kegawatdaruratan

Terdapat beberapa variasi algoritma untuk memudahkan pengambilan keputusan terhadap modalitas terapi pada kasus fraktur pelvis dengan hemodinamik tidak stabil. Oleh karena banyak variasi dari cedera itu sendiri dan jumlah terapi yang mungkin, algoritma kegawatdaruratan seringkali kompleks dan tidak dapat diaplikasikan pada situasi kegawatdaruratan. Oleh karena itu, algoritme pada cedera pelvis harus mencakup kriteria berikut ini, antara lain1 :

Precision ( kriteria inklusi )

Simplicity ( sedikit kriteria keputusan )

Flexibility ( mempertimbangkan cedera lain dengan mengintegrasikan dengan algoritme politrauma umum )

Berdasarkan kriteria ini, pengambilan keputusan pada cedera pelvis yang tidak stabil dengan hemodinamik tidak stabil telah dikecilkan menjadi 3 keputusan dalam 30 menit pertama setelah pasien datang ke instalasi gawat darurat. Tujuan yang paling penting adalah1 :

 Lokalisasi sumber pendarahan

 Identifikasi ketidakstabilan mekanik pelvis. Tujuan protokol penanganan kegawatdaruratan

(12)

Protokol yang terstandarisasi pre hospital dan klinis primer digunakan untuk seluruh pasien politrauma. Untuk pasien dengan dicurigai cedera pelvis berat, protokol politrauma secara umum diperluas melalui modul fraktur pelvis kompleks berdasarkan 3 keputusan yang harus segera dibuat dalam 30 menit.1

First look

Pada saat “first look“ pada algoritme trauma, tanda – tanda vital pada pasien ditentukan ( 5 menit pertama ), analisa terhadap gangguan ventilasi ( dyspnea dan sianosis ), susunan saraf pusat ( tidak sadar ), dan sirkulasi ( pendarahan ). Hasil pemeriksaan ini digunakan untuk kebutusan terhadap intubasi sama seperti keputusan menghentikan pendarahan pelvis atau eksternal lainnya melalui kopresi manual, dan penggantian cairan – darah yang yang agresif.

(13)

Gb.8 Algoritma penanganan fraktur pelvis di IGD menurut perspektif Eropa)

 Terapi syok

Pada saat periode kedua ( sekitar 5 – 15 menit ), dilakukan dengan memasukkan 2 jalur vena dengan jarum berdiameter besar. Pada kasus pendarahan berat, donor darah universal ( grup O, rhesus negatif ) harus diberikan secepatnya. Sampel darah diambil dari arteri femoralis dan dianalisa untuk skrening laboratorium analis gas darah. Kateter urin, central venous catheter, jalur arteri, dan monitoring terhadap peralatan yang dimasukkan. Apabila terjadi ketidakstabilan hemodinamik, penggantian darah masif dengan darah yang tidak dilakukan cross –

(14)

matched. Pelvic ring direduksi dengan traksi dan kompresi manual, dan stabilisasi kegawatdaruratan pada pelvic ring dipertimbangkan tergantung pada tipe fraktur. Pada cedera tipe C, sebuah pelvic C-clamp terbukti berguna. Pada kasus yang jarang pelvic sling diikat disekitar pelvis. Dengan ketidakstabilan hemodinamik persisten yang bertahan lebih dari 15 menit setelah pemasangan clamp, revisi pembedahan pada pelvis retroperineum diperlukan.1

Teknik pemasangan pelvic C- Clamp

Indikasi. Digunakan pada pasien dengan fraktur ring pelvis yang tidak stabil yang diklasifikasikan cedera tipe B atau C (klasifikasi AO / OTA ) dengan kombinasi adanya hemodinamik tidak stabil yang persisten meskipin pemberian darah diperkirakan konsentrasi Hb < 8 gr/dl yang terlalu kritis apabila dilakukan ORIF.1

Aplikasi. Pelvic C-clamp terdiri atas dua sisi tangan yang bergerak sepanjang crossrail. Ujung bebas dari tiap lengannya terdapat lubang yang dapat dilewati Steinmann pin dengan panjang minimum 250 mm. Adanya Steinmann pin membuat alat dapat diperkuat terhadap permukaan oblik illium posterior. Cara pemasangannya adalah sebagai berikut1,5 :

 Pasien posisi supinasi, lalu dilakukan disinfeksi pada daerah pelvis.

 Bagian yang mengalami displaced direduksi dengan melakukan traksi manual dan rotasi internal pada tungkai bawah menurut gambaran radiologisnya.

 Insisi dilakukan dengan panjang 1,5 – 2 cm pada kedua sisi ( menyilang kedua garis, garis pertama paralel axis longitudinal femur, dan garis vertikal dari bagian posterior SIAS ).

 Bagian luar illium disiapkan dan kadangkaladipalpasi dengan Steinmann pin atau gunting bermanfaat sebagai orientasi.

 Perubahan orientasi pada permukaan tulang dianalisa, untuk mengidentiifikasi groove yang langsung berlawanan dengan corpus sacrum pertama.

 Sisi lengan pelvic clamp dimasukkan dengan fiksasi pada ilium dengan memalu dibawah kontrol fluoroskopi C – arm, diikuti dengan menghubungkan crossbar.

 Kompresi manual pada bar dan dikencangkan, yang kemudian dikonfirmasi dengan radiografi pelvis anteroposterior (AP).

(15)

Gb. 9 (a) Alat untuk pemasangan c-clamp; (b) titik pemasangan c-clamp Komplikasi. Pemakaian C- clamp, antara lain rusaknya tulang iliaca dan kerusakan organ apabila memasang terlalu depan. Resiko untuk perpindahan ke greater sciatic notch karena memasang terlalu ke belakang sehingga dapat mencederai struktur neurovaskular gluteal, dan resiko terjadinya kompresi yang berlebihan pada bagian posterior pelvic ring, khususnya pada fraktur sacrum, kemungkinan mengakibatkan cedera saraf iatrogenik.1

VIII. Komplikasi lain trauma pelvis

Cedera kandung kemih. Seluruh ruptur kandung kemih ekstraperitoneal, 90 % sampai 100 % berkaitan dengan fraktur pelvis, dimana hanya 5 % sampai

(16)

10 % dari seluruh fraktur pelvis memiliki ruptur buli. Dapat dilakukan sistogram perioperatif, pada ruptur buli intraperitoneal maka memerlukan pembedahan.1,7,8

Cedera pada urethra. Insidennya laserasi urethra pada cedera pelvis kompleks sama dengan yang terjadi pada cedera kandung kemih. Pada kecerigaan cedera urethra harus dilakukan retrograde urethrogram. Apabila terjadi cedera urethra komplit pada pasien yang tidak stabil, dengan adanya hematom ekstensif retropubis atau perivesikal, pemasangan kateter suprapubis dan urethra dilakukan anastomosis setelah paling tidak 3 bulan, atau ketika lesi pada tulang dan kemungkinan infeksi telah sembuh. Konsep mengenai penundaan anastomosis end to end pada puboprostatika urethra via perineal merupakan terapi “gold standard”.1,7,8

Cedera pada organ ginekologi. Cedera langsung pada labia dan vagina. Cedera pada uterus yang tidak hamil sangatlah jarang. Cedera pelvis pada saat kehamilan jarang dengan resiko tinggi terhadap ibu dan khususnya kematian janin yang disebabkan karena beratnya cedera. Vaginal toucher disarankan pada setiap wanita yang dicurigai cedera pelvis. Terapi juga berfokus pada mengontrol pendarahan dan debridemen lokal.

Ruptur aorta abdominalis. Pada kasus disrupsi komplit aorta abdominalis, laparotomi emergensi untuk kontrol pendarahan merupakan prioritas utama. Pada ruptur inkomplit, stabilisasi pelvis ( C-clamp ) dan packing pelvis dilakukan. Tekanan darah sistolik harus kurang dari 120 mmHg. Rekonstruksi aorta dilakukan setelah stabilisasi pasien.1,7,8

Ruptur hepar. Pada kasus cedera hepar berat, cedera dijadikan sebagai prioritas terapi utama. Pelvic C-clamp harus digunakan unit gawat darurat sebagai perluasan terapi terhadap syok. Pelvic packing harus dilakukan. Kompresi aorta sementara, packing perihepatik, atau manuver Pringle menolong untuk menentukan lokalisasi pendarahan hepar.1,3,5

Cedera berat pada ekstremitas bawah. Pasien dengan cedera ekstremitas bawah berat, memiliki cedera jaringan lunak berat dengan pelepasan beberapa mediator kimia, mengindikasikan berkembangnya gagal organ multipel. Pelvis distabilkan terlebih dahulu dan pelvic packing dilakukan. Bahkan amputasi dapat dilakukan pada kasus yang sangat jarang ini.1,6

Fraktur pelvis terbuka. Fraktur pelvis terbuka dikarakterisasikan dengan angka kematian yang tinggi. Mortalitas predominan berkaitan dengan

(17)

pendarahan hebat dan komplikasi sepsis. Setelah kontrol awal kehilangan darah, pencarian dan terapi optimal terhadap cedera tambahan pada rektum, vagina, atau urogenital sangat penting untuk menghindari komplikasi sepsis. Prinsip terapi dasar adalah debridement luas pada cedera jaringan lunak yang berat, penanganan luka terbuka, operasi “second – look “ untuk menghindari nekrosis otot, khususnya otot psoas dan gluteal. Deteksi awal dan penanganan sindrom kompartemen pelvis (glueal / psoas kompartemen ) sangat penting.1,7

Traumatik hemipelvektomi. Definisinya adalah dislokasi total pada hemipelvis dengan disrupsi komplit pada struktur vaskuler dan saraf pelvis. ( cth. Arteri hipogastrika dan pleksus lumbosacral ). Cedera pada jaringan lunak, dapat komplit atau inkomplit. Seringkali berkaitan dengan cedera organ dalam (colon, rektum dan sistem genitourinaria). Insiden cedera ini jarang, hanya sekitar antara 0,19 % dan 0,6 %. Hemipelvektomi segera harus dilakukan, usaha untuk rekonstruksi pelvis akan meningkatkan mortalitas.1

Sindrom kompartemen pelvis. Sindrom kompartemen pelvis merupakan komplikasi yang jarang setelah cedera pelvis berat. Oleh karena laserasi jaringan lunak yang berat, perluasan hematom dapat membawa kepada pembengkakan yang hebat pada seluruh daerah pelvis. Kompartemen otot pada sekitar pelvis merupakan kompartemen iliopsoas, kompartemen gluteus medius dan minimus, dan kompartemen gluteus maksimus. Pengaruh pada sindrom kompartemen pelvis adalah karena kompresi yang mengakibatkan iskemia terhadap saraf ( sciatic, femoral, dan obturator ) dan kegagalan organ sekunder oleh karena crush syndrome pada massa kulit dan otot yang luas. Terapi terdiri atas fasciotomi dengan evakuasi hematom, identifikasi dan kontrol sumber pendarahan, dan debridemen luas pada otot yang nekrotik. Komparemen gluteal dibuka dengan pendekatan insisi Kocher – Langenback dan kompartemen anterolateral terhadap pelvis.1,7,8

Lesi Morel Lavalle. Adanya terpurusnya secara luas hubungan antara jaringan kulit dan subkutan dengan fascia anterolateral paha dan pelvis. Penyembuhan secara spontan pada lesi ini, dimana nekrosis otot luas dengan infeksi jaringan lunak sekunder sering terjadi. Manajemen luka setelah debridement luas pada lesi ini direkomendasikan. Stabilisasi pelvis harus segera dilakukan karena berpotensi infeksi. Drainase harus dilakukan dengan teknik Vacuum – assisted.1

(18)

IX. Prognosis

Angka mortalitas terhadap fraktur pelvis bervariasi dari paling rendah (5-10 %) hingga yang paling tinggi (50-60 %) pada literatur trauma dan pembedahan orthopaedi. Penyebab kematian utama adalah hemodinamik yang tidak stabil dan gagal organ multipel sebagai akibat langsung dari pendarahan pelvis.8

X. Kesimpulan

Damage control di bidang orthopaedi saat ini merupakan terapi pilihan untuk pasien politrauma dengan fraktur pelvis tidak stabil dan tambahan ketidakstabilan hemodinamik yang memiliki resiko berkembangnya komplikasi sitemik, seperti gagal organ multipel. Prosedur yang dilakukan yaitu usaha resusitasi dengan mempertahankan volume darah dan oksigenasi jaringan, akibatnya dapat meminimalisasi kerusakan yang diinduksi oleh prosedur untuk stabilisasi pelvis. Fiksasi eksternal segera pada pasien dengan pelvis tidak stabil menggunakan packing pelvis utuk mengontrol pendarahan pelvis dapat digunakan. Embolisasi angiografi hanya direkomendasikan pada pasien yang lebih stabil.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Smith WR, Ziran BH, Morgan SJ. Fractures of The Pelvis and Acetabulum.Informa healthcare : London.

2. Brinker MR. Review of Orthopaedic Trauma Second Edition. 2013. Lippincott Williams and Wilins.

3. Solomon L, Warwick D, Nayagam S. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures Ninth Edition. 2010. Hodder Arnold : London.

4. Salter RB. Textbook of Disorders and Injuries of The Musculoskeletal System Third Edition.1999. Williams and Wilkins.

5. Canale ST, Beaty JH. Campbell’s Operative Orthopaedics Eleventh Edition. 2008. Elvisier.

(19)

6. Koval, Kenneth J, Zuckerman, Joseph D. Handbook of Fractures Third Edition. 2006. Lippincott Williams and Wilkins.

7. Mohanty K,Musso D,Powell JN, Kortbeek JB, Kirkpatrick AW. Emergent Management of Pelvic Ring Injuries : an update. Can J surg, vol 48, No1, february 2006.

8. McCormack R, Strauss EJ, Alwattar BJ, Tejwani NC. Diagnosis and Management of Pelvic Fractures. Bull NYU Hosp Jt Dis. 2010;68(4):281 – 91.

Referensi

Dokumen terkait

VIII. Kapang merupakan multiseluler yang bersifat aktif karena merupakan organisme saprofit dan mampu memecah bahan – bahan organic kompleks menjadi bahan yang lebih sederhana. Di

Tidak terkecuali dalam hal ini nama Allâh Azza wa Jalla al-Wadûd, memahami kandungan nama ini dengan benar merupakan sebab utama untuk meraih mahabbatullâh (kecintaan kepada Allâh

Sebagi contoh, untuk pabrik yang melakukan aktifitas pekerjaan lima hari kerja seminggu dengan satu shift, maka program perawatan preventif dapat dilakukantanpa menganggu

2) Jika tidak ada pengecualian, titik tengah simbol di peta mempunyai korelasi dengan titik tengah unsur. Dengan demikian, arah penempatan nama harus sesuai

Hasil uji beban statis untuk muka air tanah di atas dasar fondasi dengan berbagai variasi persentase campuran styrofoam pada lubang uji dengan media tanah lempung

Jika kita jujur, maka kita akan terus dibaharui dan satu waktu jika YESUS datang kembali kedua kalinya, kita akan dibaharui sampai menjadi sama mulia dengan Dia dan kita

Tesis ini berjudul Pola Tata Spasial Pada Hunian Orang Sabu di Desa Kadumbul Kabupaten Sumba Timur, yang mengungkapkan pola tata ruang dalam dan ruang luar yang

Versi 4.0(IceCreamSandwich), dirilis pada tanggal 19 oktober 2011, versi ini membawa fitur sebelumnya terdapat pada versi 3.0 yang sebelumnya hanya ditujukan untuk