• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ikan Lele

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ikan Lele"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Lele

Klasifikasi ikan lele menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: kingdom Animalia, sub-kingdom Metazoa, filum Chordata, sub-filum Vertebrata, kelas Pisces, sub-kelas Teleostei, ordo Ostariophysi, sub-ordo Siluroidea, famili Clariidae, genus Clarias dan pesies Clarias sp.

Ikan lele dumbo adalah jenis ikan hibrida hasil silangan antara Clarias gariepinus x C. Fuscus dan merupakan ikan introduksi yang pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1985 (BSN 2000). Secara biologis ikan lele dumbo mempunyai kelebihan dibandingkan dengan jenis lele lainnya, antara lain lebih mudah dibudidayakan dan dapat dipijahkan sepanjang tahun, fekunditas telur yang besar serta mempunyai kecepatan tumbuh dan efisiensi pakan yang tinggi.

Ikan lele dumbo dicirikan oleh jumlah sirip punggung D.68-79, sirip dada P.I.9-10, sirip perut V.5-6, sirip anal A.50-60 dan jumlah sungut empat pasang, satu diantaranya lebih besar dan panjang. Perbandingan antara panjang standar terhadap panjang kepala 1 : 3-4.

Ikan lele dumbo memiliki alat pernapasan tambahan berupa aborescen yang merupakan kulit tipis menyerupai spon, yang dengan alat pernapasan tambahan ini, ikan lele dumbo dapat hidup pada air dengan kondisi oksigen yang rendah. Ikan lele dapat dipelihara dengan kepadatan sangat tinggi (100 ikan/m2) dan produksi bisa mencapai 100 ton/ha (Areerat 1987 diacu dalam Yi et al. 2003). Persyaratan kualitas air untuk budidaya ikan lele disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Parameter kualitas air untuk pemeliharaan ikan lele Parameter Nilai

Salinitas (mg/l) 100-8000 Total gas terlarut (%) 100 Oksigen terlarut (mg/l) 1,7

CO2 (mg/l) maks. 10

Alkalinitas (CaCO3 eq) min. 20

Ammonia (mg/l) maks. 0,05

Besi (mg/l) maks. 0,05

H2S (mg/l) nihil

(2)

2.2 Udang Galah

Klasifikasi udang galah menurut Barnes (1987) adalah sebagai berikut: filum Arthropoda, kelas Crustacea, ordo Decapoda, famili Palaemonidae, genus Macrobrachium, dan species Macrobrachium rosenbergii.

Udang galah memiliki ciri berupa: rostrum yang sangat panjang dan runcing, rostrum bagian atas terdapat 11-14 gerigi, rostrum bagian bawah terdapat 8-14 gerigi dan mempunyai capit yang besar dan panjang. Hidup di sungai air tawar dan payau, kadang-kadang ditemukan di lingkungan air laut. Satu ekor udang galah yang paling besar dapat mencapai ukuran 320 mm (Dore & Frimodt 1987).

Ling (1969) diacu dalam Weidenbach (1982) menyatakan bahwa M. rosenbergii di alam memiliki kebiasaan pakan yang bersifat omnivor, makan dengan frekuensi sering dan rakus terhadap cacing air, serangga air, larva serangga, moluska kecil, krustase (udang jenis lain), daging dan organ dalam ikan dan binatang lain, padi-padian, biji-bijian, kacang-kacangan, buah-buahan, alga, serta daun dan batang lunak tanaman air. Penelitian Weidenbach (1982) memperlihatkan bahwa udang galah tumbuh paling baik pada perlakuan udang yang diberi pakan alami (tanah, detritus, kotoran ternak, fitoplankton dan bentos) dan pellet komersil dibandingkan udang yang diberi pakan alami saja atau pellet komersil saja. Selanjutnya, udang yang diberi pakan alami saja tumbuh lebih besar secara nyata daripada udang yang diberi pellet komersil saja.

Menurut New (2002) udang galah dapat dipelihara pada reservoar, kolam, saluran irigasi, keramba, pen, dan perairan alami. Penebaran post larva ukuran 0,01 g sebanyak 2000 PL/m3 pada bak pendederan akan mencapai bobot 0,02 g setelah 20 hari pemeliharaan dan sekitar 0,2-0,4 g setelah 60 hari total pemeliharaan dengan kelangsungan hidup sekitar 90%. Sedangkan pada pendederan tahap kedua, juvenil akan mencapai bobot 0,8-2,0 g selama 4-10 minggu pemeliharaan tergantung pada ukuran yang digunakan pada saat penebaran dengan kelangsungan hidup paling sedikit 75%. Menurut Pillay dan Kutty (2005) pembesaran udang galah dengan kepadatan tebar benih 4,3-6,5 ekor/m2 selama 5-6 bulan, dapat mencapai produksi 700-1200 kg/ha. Udang galah dapat dibudidayakan baik secara monokultur maupun polikultur (Asaduzzaman et al. 2009; Uddin et al. 2007). Persyaratan kualitas air untuk budidaya udang galah disajikan pada Tabel 2.

(3)

Tabel 2 Parameter kualitas air untuk pemeliharaan udang galah Parameter Kisaran Nilai Batas Lethal (maksimum) Temperatur (oC) 25 – 30 < 12 > 35 pH 7.0 – 8.0 > 9.5 Oksigen terlarut (mg/l) 3 – 7 <1 Salinitas (mg/g) < 10 - Kecerahan (cm) 25 - 40 -

Alkalinitas (mg/l CaCO3 eq) 20 -60 -

Total hardness (dlm mg/l CaCO3) 30 -150 -

Ammonia tidak terionisasi (mg/l) < 0.3 > 0.5 pd pH 9.5 > 1.0 pd pH 9.0 > 2.0 pd pH 8.5 Nitrit (mg/l) < 2 - Nitrat (mg/l) < 10 - Boron (mg/l) < 0.75 - Besi (mg/l) < 1.00 - Tembaga (mg/l) < 0.02 - Mangan (mg/l) < 0.01 - Seng (mg/l) < 0.20 - H2S (mg/l) nihil - Sumber: New (2002)

2.3 Sistem Budidaya Keramba dalam Kolam

Keramba adalah sistem budidaya yang dapat digunakan jika budidaya pada kolam terbuka tidak memungkinkan atau menguntungkan (Masser 2004). Menurut Beveridge (2004) keramba telah mengalami perkembangan yang sangat besar mulai dari yang sederhana hingga saat ini terdapat berbagai macam tipe dan disain. Namun secara umum hanya ada empat tipe dasar keramba yaitu tancap, terapung, dapat diangkat ke permukaan air dan di bawah permukaan air.

Pada umumnya budidaya keramba dilakukan di areal yang lebih terbuka seperti laut, reservoir, danau dan sungai. Sedangkan keramba dalam kolam merupakan budidaya ikan dalam keramba yang diletakkan dalam kolam yang juga berisi ikan budidaya (Yi 1999). Selanjutnya dikatakan bahwa hanya ikan pada keramba yang diberi pakan, sementara ikan yang berada dalam kolam memanfaatkan sisa pakan yang tidak termakan dan limbah budidaya dari keramba.

Sistem budidaya keramba dalam kolam hanya melakukan sedikit pergantian air (Wahab et al. 2005; Yi et al. 2005; Yadav et al. 2007). Jika budidaya menggunakan teknologi zero exchange water maka perlu menambahkan mikroba untuk

(4)

meremediasi limbah budidaya atau menambahkan sumber karbon untuk meningkatkan pertumbuhan mikroba (Liu & Han 2004; Burford et al. 2004).

2.4 Intensifikasi Bakteri

Pada umumnya budidaya udang dilakukan pada kolam luar yang tergantung pada matahari dan komunitas alga untuk memproses limbah nitrogen dari udang dan untuk mensuplai oksigen ke dalam kolam. Sedangkan budidaya udang biofloc mendorong pertumbuhan komunitas bakteri dalam kolam (Rosenberry 2006). Sekali terbentuk dan terpelihara, maka kolam yang didominasi bakteri lebih stabil daripada kolam yang didominasi alga. Bakteri berakumulasi dalam gumpalan yang disebut floc; memanfaatkan limbah nitrogen 10-100 kali lebih efisien daripada alga dan merubahnya menjadi pakan yang berprotein tinggi bagi udang; bekerja siang dan malam; dan sedikit dipengaruhi oleh cuaca.

Selanjutnya dikatakan, ada beberapa hal yang dibutuhkan pada budidaya udang biofloc yaitu:

- Filter untuk menahan organisme pembawa penyakit dari air yang masuk - Kolam penampungan dan pengendapan untuk mengolah air

- Kepadatan tebar benih tinggi, bebas penyakit, hasil perbaikan genetik

- Resirkulasi air untuk mengurangi lumpur dan memelihara keseimbangan nutrien yang diinginkan alga dan bakteri

- Tanpa pergantian air

- Biosekuritas untuk menjaga penyakit keluar - Banyak aerasi dan pencampuran air kolam - Kolam dilapisi

- Pembuangan lumpur dari pusat drainasi

- Sumber karbohidrat yang bagus dan murah (molase dan tepung terigu) untuk menstimulasi rantai makanan berbasis bakteri.

Menurut De Schryver et al. (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi formasi dan struktur floc dalam teknologi biofloc adalah intensitas pencampuran melalui aerasi, oksigen terlarut, sumber karbon organik, laju muatan organik, suhu dan pH air. Avnimelech (1999) menyatakan bahwa produksi bakteri heterotrof dapat ditingkatkan melalui penambahan karbon ke media budidaya untuk meningkatkan rasio C/N.

(5)

Penambahan karbon dapat mereduksi nitrogen anorganik pada tangki percobaan udang dan kolam tilapia skala komersil. Buford et al. (2003) menambahkan molase sebagai sumber karbon organik pada budidaya udang Litopanaeus vannamei dengan kepadatan tinggi dan tanpa pergantian air.

Menurut Richards (1994) klasifikasi fungsional organisme berdasarkan sumber energi alam dan kebutuhan karbon adalah:

(a) Fotoautotrof, menggunakan cahaya sebagai sumber energi dan CO2 sebagai

sumber karbon utama. Contoh adalah tanaman tingkat tinggi, alga, cyanobacteria serta purple dan green sulphur bacteria.

(b) Fotoheterotrof, tergantung pada cahaya sebagai sumber energi mengambil karbon dari senyawa organik. Kategori ini diwakili oleh kelompok khusus bakteri fotosintesis yang diketahui sebagai purple non-sulphur bacteria (PNSB).

(c) Kemoautotrof, mengambil energi dari oksidasi senyawa inorganik dan menggunakan CO2 sebagai sumber karbon utama. Kategori ini terdiri dari

beberapa kelompok bakteri khusus, meliputi bakteri nitrifikasi dan thiobacilli. (d) Kemoheterotrof, menggunakan senyawa organik sebagai sumber energi dan

karbon. Termasuk dalam kelompok ini adalah hewan, protozoa, fungi dan banyak jenis bakteri seperti Azotobacter, Azomonas, Azotococcus, Clostridium, Enterobacter, Escherichia, Bacillus dan lain-lain.

Pemberian isolat detritus Bacillus sp. untuk memperbaiki kualitas air telah diterapkan oleh Singh et al. (2004) dalam memproduksi benih udang laut dan air tawar dengan sistem resirkulasi. Devara et al. (2002) menggunakan produk mikroba komersil yang mengandung Bacillus sp. dan Saccharomyces sp. pada budidaya udang windu dan dapat memperbaiki feed conversion ratio (FCR) udang. Sedangkan Vaseeharan & Ramasamy (2003) menggunakan Bacillus subtilis BT23 sebagai kontrol patogen Vibrio spp. pada kultur udang windu di hatchery dan kolam pembesaran.

Sejumlah peneliti di China menaruh perhatian besar terhadap potensi manfaat bakteri fototrofik dari genus Photorhodobacterium yang dijumpai pada kolam-kolam pembesaran udang Penaeus chinensis (Irianto 2003). Al Azad (2002) menambahkan bakteri fotosintetik jenis Rhodovulum sulfidophilum yang mengandung protein kasar 62,30% pada pakan larva udang windu dan terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan serta kelangsungan hidup. Biomassa segar spesies Rhodopseudomonas palutris

(6)

mengandung protein 5,82% atau 40% berdasarkan bobot kering dan berpotensi sebagai sumber pakan dalam akuakultur (Getha et al. 1998).

Menurut Hougardy et al. (2000) sel bakteri Rodopseudomonas rhenobacensis strain RbT berukuran lebar 0,4-0,6 µm dan panjang 1,5-2,0 µm. Sedangkan berdasarkan Imhoff & Truper (1989) diacu dalam Hougardy et al. (2000), sel bakteri Rodopseudomonas palustris dan Rodopseudomonas acidophila memiliki ukuran diameter masing-masing 0,6-0,9 µm dan 1,0-1,3 µm.

Biosintesis Alga (fotoautotrofik)

106 CO2 + 16 NH4+ + 52 H2O + PO-3 C106H152O53N16P + 106 O2 + 16 H+

C/N = 5.7/1 mg/mg VS = 50% carbon 8.7% nitrogen 1:1 O2/CO2 molar

Y = 11.4 gms VS/gm N

µ = 1-2 /hari (waktu generasi 24-48 jam) kd = 0.05/hari (5% per hari)

Nitrifikasi (kemoautotrofik)

22 NH4+ + 37 O2 + 4 CO2 + HCO3- C5H7NO2 + 21 NO2- + 2 H2O + 42 H+

Y = 0.2 mg VS/mg N µ = 1/hari (waktu generasi 24 jam)

kd = 0.05/hari (5% per hari)

Destruksi alkalinitas = 7.1 gm (CaCO3)/gm N

Biosintesis Bakteri (Heterotrofik)

BOD5 + NH4+ C5H7NO2

C/N = 4.3/1 mg/mg VS = 53% carbon 12.3% nitrogen Y = 0.5 mg VS/mg BOD5 (3.0 mg VS/mg N)

µ = 2.5/hari (waktu generasi 10 jam) k = 5 mg BOD/mg VS-hari kd = 0.05/hari (5% per hari)

Gambar 1 Tiga proses mikroba penting yang mendominasi kualitas air dalam sistem budidaya kolam (Brune et al. 2003)

(7)

Menurut Richards (1987) pada peristiwa nitrifikasi terjadi oksidasi ammonium menjadi nitrit dan nitrat oleh bakteri autotrof. Nitrosomonas mengoksidasi ammonium menjadi nitrit: 2NH4+ + 3O2 Æ 2NO2- + 4H+ + 2H2O dan

Nitrobacter mengoksidasi nitrit menjadi nitrat: 2NO2- + O2 Æ 2NO3-.

Biosintesis bakteri heterotrof menurut Ebeling et al. (2006) mengikuti persamaan reaksi sebagai berikut:

NH4+ + 1,18C6H12O6 + HCO3- + 2,06O2 C5H7NO2 + 6,06H2O + 3,07CO2

Berdasarkan persamaan ini diprediksi bahwa setiap g ammonia nitrogen dikonversi menjadi biomassa, dikonsumsi 4,71 g oksigen terlarut, 4,36 g alkalinitas (0,86 g karbon anorganik) dan 15,17 g karbohidrat (6,07 g karbon organik). Juga diproduksi 8,07 g biomassa mikroba (4,29 g karbon organik) dan 9,65 g CO2 (2,63 g

Gambar

Tabel 1    Parameter kualitas air untuk pemeliharaan ikan  lele        Parameter Nilai
Tabel  2   Parameter kualitas air untuk pemeliharaan udang galah   Parameter Kisaran  Nilai  Batas Lethal  (maksimum)  Temperatur ( o C)  25 – 30  &lt; 12           &gt; 35  pH  7.0 – 8.0  &gt; 9.5  Oksigen terlarut (mg/l)  3 – 7  &lt;1  Salinitas (mg/g)

Referensi

Dokumen terkait

tersebut dikarenakan lele dumbo memiliki organ arborescent yang berfungsi untuk mengambil oksigen langsung dari udara bebas, sehingga ikan lele dumbo dapat hidup pada air

Hal tersebut dikarenakan ikan lele dumbo memiliki organ arborescent yang berfungsi untuk mengambil oksigen langsung di udara bebas, sehingga ikan lele dumbo dapat hidup pada

Penggunaan vaksin dalam kegiatan budidaya ikan memiliki banyak keuntungan yaitu; (1) tidak memiliki efek samping pada ikan maupun lingkungan hidup, (2) tingkat kekebalan

Dalam hal ini intensitas cahaya matahari sangat mempengaruhi pertumbuhan optimum tanaman dengan indeks luas daun yang berbeda-beda tergantung tinggi tanaman dan

Perbedaan suhu siang dan malam yang terlalu besar dapat menyebabkan kandungan oksigen di dalam kolam menurun dibawah ideal sehingga mengganggu pertumbuhan gurami..

Parameter kualitas air pada proses budidaya ikan berperan dalam menciptakan suasana lingkungan hidup ikan, agar perairan kolam mampu memberikan suasana yang nyaman

Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air..

Kedalaman suatu perairan yang digunakan sebagai tempat budidaya rumput laut untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal tergantung pada radiasi cahaya matahari.. Hal