• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS TERHADAP KEPUTUSAN MUKTAMAR XXX NU NOMOR 005/MNU-30/11/1999 TENTANG PEREMPUAN DI MASA IDDAH NAIK HAJI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV ANALISIS TERHADAP KEPUTUSAN MUKTAMAR XXX NU NOMOR 005/MNU-30/11/1999 TENTANG PEREMPUAN DI MASA IDDAH NAIK HAJI"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

66

A. Analisis Keputusan Muktamar XXX NU Nomor 005/MNU-30/11/1999 tentang Perempuan di Masa Iddah Naik Haji

Nahdlatul Ulama sebagai salah satu organsiasi Islam memiliki peran penting dalam pengabdiannya terhadap Islam khususnya di Indonesia. Keputusan sebuah organisasi, apalagi organisasi besar, tentu akan memberikan dampak besar pula bagi para anggotanya.

Dalam Nahdlatul Ulama, lembaga bahtsul masail tidak hanya dimanfaatkan sebagai forum para ulama yang merespon dan mengkaji masalah-masalah kontemporer yang sedang berkembang melalui kitab-kitab klasik, akan tetapi juga merupakan lembaga di bawah NU sebagai kawah candradimuka yang berkaitan dengan kebutuhan hukum agama bagi kaum nahdliyin. Melalui keputusan lembaga bahtsul masail tentang fakta-fakta hukum yang dihasilkan akan tersosialisasi ke daerah-daerah pelosok tanah air. Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama disebutkan bahwa tugas lembaga bahtsul masail adalah menghimpun, membahas dan memecahkan masalah-masalah yang mauquf (mandek) dan kejadian yang harus segera mendapat kepastian hukum. Oleh karena itu, lembaga bahtsul masail harus mampu membumikan nilai-nilai Islam

(2)

sekaligus mengakomodasi berbagai pembinaan yang relevan dengan kemajuan zaman dan lingkungan sekitar.1

Pada awalnya keputusan-keputusan lembaga bahtsul masail diklasifikasikan dalam dua kelompok; Pertama, adalah keputusan non fiqih, yaitu keputusan yang tidak berkaitan dengan masalah hukum praktis. Kedua, adalah keputusan hukum fiqih, yakni berkaitan dengan hukum-hukum praktis (amali).

Tetapi sejak tahun 2000-an sampai sekarang, pembahasan masalah-masalah yang dikaji dalam lembaga bahsul masail dibagi menjadi tiga tema besar: Pertama, waqi‟iyyah yaitu membahas tentang masalah-masalah keagamaan yang berkaitan dengan halal dan haram suatu masalah. Kedua, maudhuiyyah yaitu membahas masalah-masalah aktual tematik yang perlu disikapi oleh warga nahdhiyin, ketiga adalah qonuniyyah yaitu membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan respon undang-undang terhadap kebijakan publik undang-undang dan khususnya rancangan undang-undang.2

Keputusan-keputusan lembaga bahtsul masail ini mempunyai kedudukan tersendiri di kalangan warga NU. Apapun yang dihasilkan oleh lembaga bahsul masail tidak pernah bermaksud untuk mengikat warganya dengan keputusan-keputusan itu. Keputusan tersebut hanyalah bersifat amar ma’ruf atau menampakkan alternatif yang dianggap terbaik di antara sekian alternatif yang ada. Jika ada di antara warga yang menaatinya, maka hal itu

1

Ahmad Muhtadi Anshor, Bahth al-Masail Nahdlatul Ulama: Melacak Dinamika

Pemikiran Kaum Tradisionalis (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 76.

(3)

hanyalah karena ikatan moral saja.3 Meski keputusan-keputusan tersebut tidak mengikat, tetapi bagi sebagian masyarakat awam, keputusan bahtsul masail ini dianggap sebagai rujukan sehari-hari.

Namun demikian, sebagai masyarakat ilmiah tentu tidak mudah untuk menerima begitu saja suatu pendapat yang dilontarkan oleh lembaga bahsul masail, seperti dalam keputusan Muktamar XXX NU Nomor 005/MNU-30/11/1999 tentang Perempuan berhaji di Masa Iddah. Tetapi perlu menganalisis pendapat yang sudah ada atau fatwa-fatwa yang sudah diputuskan oleh forum lembaga tersebut.

Keputusan tentang perempuan berhaji di masa iddah dari keputusan muktamar ke-30 di Jawa Timur, berbunyi bahwa wanita dalam masa iddah pada dasarnya tidak boleh menunaikan ibadah haji, kecuali sebab udzur syar‟i seperti: kekhawatiran yang mengancam diri atau hartanya, atau ada petunjuk dokter yang adil bahwa penundaan ibadah haji ke tahun depan tidak menguntungkan, atau haji tahun tersebut dinadzarkan.4

Sebagaimana telah dijabarkan dalam bab III, keputusan itu didasarkan pada enam dalil yang diambil dari kitab Hasyiyah Bajuri „ala Fath al-Qarib, Mughni al-Muhtaj ila Ma‟rifah alfazh al-Minhaj, Hawasyi al-Abbadi, Takmilah al-Majmu‟, Fath al-Wahhab dan Futuhat al-Wahhab.

Jika dilihat dari keenam dasar tersebut, menurut pemahaman penulis, hukum perempuan di masa iddah naik haji dapat diklasifikasikan sebagai

3 Sahal Mahfudz, Nuansa fiqih Sosial (Yogyakarta: LKIS, 1994), hlm. 46. 4

Sahal Mahfudz, Ahkamul Fuqaha, Solusi problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan

Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 (Surabaya: Khalista, 2011), hlm.

(4)

berikut: Pertama, dalam hal waktu ihram, apabila wanita sudah berihram sebelum perceraian atau kematian suami maka boleh melakukan ibadah haji. sedangkan jika berihram sesudah perceraian atau kematian suami maka perempuan tersebut tidak boleh keluar. Kedua, dalam hal izin dari suami, apabila perempuan tersebut mendapat izin sebelum kematian suami, maka perempuan tersebut boleh keluar untuk melakukan ibadah haji, akan tetapi lebih baik pulang dan melanjutkan iddahnya di rumah. Sedangkan jika perempuan itu tidak mendapat izin sebelum kematian suami maka perempuan tersebut tidak boleh keluar. Ketiga, dalam hal kekhawatiran, apabila perempuan tersebut khawatir ketinggalan haji karena sempitnya waktu atau khawatir mengalami kerugian sebab pembatalan hajinya, maka ia harus keluar untuk menunaikan hajinya. Sedangkan jika perempuan tersebut tidak khawatir, maka perempuan tersebut boleh memilih antara keluar untuk menunaikan ibadah haji atau tidak. Keempat, dalam hal udzur syar‟i, apabila terdapat udzur syar‟i seperti hajinya itu dinadzarkan, atau adanya petunjuk dokter yang adil memberitahu padanya, bahwa ia menunda hajinya tidak menguntungkan bagi wanita tersebut, maka wanita itu boleh menunaikan ibadah haji.

Dari keputusan masalah tersebut di atas, penulis berusaha mengkaji dari sudut pandang pendapat ulama-ulama madzhab tentang keluarnya perempuan dari rumah suami di masa iddah. Menurut madzhab Hanafi, perempuan yang ditalak baik raj‟i maupun ba‟in tidak boleh keluar dari rumahnya, baik di siang hari maupun malam hari. Sedangkan perempuan

(5)

yang ditinggal mati oleh suaminya, dia boleh keluar rumah pada waktu siang hari dan pada awal malam. Tapi tidak diperbolehkan menginap di rumah orang lain selain di rumahnya sendiri.5 Perbedaan antara dua permasalahan tersebut adalah perempuan yang ditalak masih dalam tanggungan nafkah suaminya. Oleh sebab itu, dia tidak boleh keluar rumah. Berbeda dengan perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, maka dia sudah tidak mendapatkan nafkah lagi. Oleh sebab itu, dia harus keluar pada waktu siang hari untuk memenuhi kebutuhannya. Bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya wajib tinggal di rumah suaminya ia tidak boleh keluar. Akan tetapi jika ada suatu alasan seperti tidak mampu membayar sewa rumah itu maka ia boleh pergi. Namun apabila tetap mau tinggal di rumah si mati adalah ibadah. sedangkan ibadah boleh ditinggal karena adanya suatu halangan atau suatu alasan seperti alasan itu.6

Dengan demikikan golongan Hanafi ini berpendapat perempuan yang ditalak atau ditinggal mati suaminya wajib beriddah sebagai suatu ibadah dan tidak boleh keluar dari rumah yang dijadikan tempat tinggalnya ketika terjadi perpisahan. Namun bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya jika ada suatu alasan maka ia boleh pergi dari rumah itu.

Menurut madzhab Maliki perempuan yang sedang menjalani iddah, baik iddah talak maupun iddah wafat boleh keluar rumah pada waktu siang hari, dan tidak boleh keluar rumah pada waktu malam hari.7 Akan tetapi pada

5 Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqih Munakahat II,cet. Ke-I (Bandung: Pustaka Setia,

1999),hlm. 145.

6

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid VIII, (Bandung: Al Ma’arif, 1978), hlm. 170.

(6)

waktu malam hari, perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya boleh keluar rumah apabila dalam keadaan darurat. Meski demikian ia tidak boleh bermalam di tempat mana pun selain rumahnya sendiri. Di sini darurat sajalah alasan yang bisa dipakai untuk membolehkan perempuan tersebut keluar rumah di malam hari.8

Dengan demikikan madzhab Maliki berpendapat perempuan yang ditalak maupun ditinggal mati suaminya wajib beriddah, dan pada waktu iddahnya diperbolehkan keluar dari rumah terutama pada siang hari. Akan tetapi jika malam hari tidak diperbolehkan keluar kecuali darurat.

Menurut madzhab Syafi’i perempuan yang dicerai suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati dilarang keluar rumah baik siang hari maupun malam hari, alasannya adalah firman Allah swt dalam surat at-Talaq (65) ayat:1.9 Maksud dari ayat itu adalah perempuan yang telah dicerai atau ditinggal mati suaminya, selama menjalani iddahnya tidak boleh dikeluarkan dari rumah suaminya dan tidak diizinkan keluar rumah, kecuali perempuan itu tidak baik atau tidak sopan terhadap mertua, ipar, dan sebagainya.10

Dengan demikian madzhab Syafi’i berpendapat bahwa seorang perempuan yang sedang menjalani iddah baik iddah karena ditalak maupun ditinggal mati suami, tidak boleh keluar dari rumah suaminya baik siang

8

http://www.muslimat-nu.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=475:-iddah-dan-ihdad-wanita-karier-&catid=41:taushiah&Itemid=63. diakses 25 April 2014

9

Abdul Mannan, op. cit., hlm. 90.

10 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid III, (Jakarta: Ichtiar Baru Van

(7)

maupun malam hari, kecuali terdapat alasan-alasan tertentu seperti perempuan itu kurang sopan terhadap keluarga suaminya atau alasan lainnya.

Menurut madzhab Hambali, perempuan diperbolehkan keluar rumah pada waktu siang hari, baik ketika sedang menjalani iddah karena ditalak atau karena suaminya meninggal.11 Ibnu Qudamah, salah satu pengikut Hambali berkata, “Perempuan yang menjalani masa iddah diperbolehkan keluar untuk mencari sesuatu demi kebutuhannya, baik masa iddah yang disebabkan talak atau karena suaminya meninggal dunia”.12

Madzhab ini juga berpendapat bagi perempuan tidak ada tempat lain selain rumahnya sendiri. Tidak boleh keluar pada malam hari, kecuali ada kepentingan memaksa, Karena malam hari kemungkinan besar menimbulkan hal-hal tidak baik. Berbeda dengan siang hari adalah waktu orang mencari kebutuhan hidup dan jual beli apa yang diperlukannya.13

Dengan demikikan golongan Hambali ini berpendapat perempuan yang ditalak maupun ditinggal mati suaminya wajib beriddah, dan pada waktu iddahnya diperbolehkan keluar dari rumah terutama pada siang hari. akan tetapi jika malam hari tidak diperbolehkan keluar kecuali adanya kepentingan yang mendesak.

Menurut penulis dari pendapat empat madzhab di atas dapat diketahui bahwa iddah merupakan kewajiban bagi seorang perempuan yang bercerai maupun ditinggal mati suaminya. Pada waktu pelaksanaan iddahnya itu,

11 Sa’id Thalib al-Hamdani, Risalah Nikah, alih bahasa Agus Salim, (Jakarta: Pustaka

Amani, 2011), hlm. 310.

12

Sebagaimana dikutip Slamet Abidin dan Aminuddin, op. cit., hlm. 146.

(8)

perempuan yang sedang beriddah tidak diperbolehkan untuk keluar rumah. Meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam hal tertentu, namun kelihatannya dari empat madzhab di atas sependapat dalam hal alasan atau sebab-sebab yang menjadikan diperbolehkannya bagi perempuan yang sedang beriddah untuk keluar rumah, yaitu ketika adanya alasan-alasan tertentu terutama dalam hal darurat.

Dengan demikian maka dapat diketahui bahwa empat madzhab melarang perempuan yang sedang beriddah, baik karena cerai maupun dtinggal mati suaminya untuk keluar rumah, kecuali adanya kebutuhan yang mendesak atau darurat.

Dilihat dari sudut pandang kaidah fiqhiyah yang berbunyi adh-dhorurotu tubihul mahdhurot (kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang). Di kalangan ulama ushul, yang dimaksud dengan keadaan darurat yang membolehkan seorang melakukan hal-hal yang dilarang, syaratnya berikut: Pertama, kondisi darurat itu mengancam jiwa, atau harta, atau keturunan, atau akal atau agama, (dalam rangka mempertahankan maqashid syari‟ah). Kedua, keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas. Tiga, tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang.14

Para ulama membuat sebuah garis besar dan syarat-syarat yang harus terpenuhi sehingga kondisi ini disebut kondisi darurat. Syarat-syarat tersebut adalah:

14 A.Jazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Maslah-Masalah yang Praktis (Jakarta: Kencana, 2006), hlm 72.

(9)

Pertama, kondisi bahaya besar itu telah benar-benar terjadi atau belum terjadi, namun diyakini atau diprediksi kuat akan terjadi. Maknanya, sesuatu yang membahayakan lima pokok dasar yang telah disinggung di atas itu secara yakin atau prediksi kuat telah atau akan terjadi. Di mana kalau tidak menerjang yang haram, maka akan membinasakannya atau minimalnya mendekati kebinasaan.

Kedua, tidak bisa dihilangkan dengan cara yang halal. Maknanya bahwa bahaya itu tidak bisa dihilangkan kecuali dengan cara haram, dan tidak ada satu pun cara halal yang bisa mengatasinya. Namun, apabila ditemukan cara yang halal meskipun dengan kualitas di bawahnya, maka harus dan wajib menggunakan cara halal tersebut.

Ketiga, ukuran melanggar larangan saat kondisi terpaksa itu harus dilakukan sekadarnya saja. Maksudnya bolehnya melakukan yang terlarang saat kondisi darurat tersebut, hanya sekadar untuk menghilangkan bahaya yang menimpa dirinya saja. Jika bahaya tersebut sudah hilang maka tidak boleh lagi melakukannya.

Keempat, waktu melanggar larangan saat kondisi darurat ini tidak boleh melebihi waktu darurat tersebut. Artinnya, kalau kondisi itu sudah hilang maka tidak boleh lagi melakukan perkara terlarang tersebut. Itulah yang sering diistilahkan oleh para ulama dalam sebuah kaidah: “Apa yang boleh dilakukan karena ada udzur, maka akan batal apabila udzur itu sudah tidak ada.” Contoh: orang yang tidak menemukan air atau tidak bisa menggunakan air boleh bertayamum, namun kalau kemudian ada air maka

(10)

tidak lagi tayamum dan harus berwudhu. Begitu pula jika sudah bisa menggunakan air, maka tidak boleh lagi bertayamum.

Kelima, melanggar sesuatu yang terlarang dalam kondisi darurat tersebut tidak akan menimbulkan bahaya yang lebih besar.

Udzur syar‟i yang terdapat dalam keputusan Muktamar XXX NU Nomor 005/MNU-30/11/1999 tentang Perempuan di masa iddah naik haji, yaitu seperti kekhawatiran yang mengancam diri atau hartanya, atau ada petunjuk dokter yang adil bahwa penundaan ibadah haji ke tahun depan tidak menguntungkan, atau haji tahun tersebut dinadzarkan, menurut penulis dapat dimasukkan kedalam salah satu syarat yang dinamakan darurat. dan sehingga ketidak bolehan atau dilarangnya wanita dalam masa iddah keluar rumah, menjadi hal yang diperbolehkan, maka keputusan Muktamar XXX NU Nomor 005/MNU-30/11/1999 tentang Perempuan di masa iddah naik haji menurut penulis sesuai dengan kaidah itu.

Selain itu di dalam kitab Takmilah al-majmu‟ yang termasuk salah satu yang dijadikan dalil untuk memutuskan keputusan itu terdapat redaksi yang berbunyi:

“Seandainya ia telah berihram haji setelah kematian suaminya, dan khawatir ketinggalan haji maka ia boleh melanjutkannya karena terdapat masyaqah dalam ihramnya”.

Di dalam ilmu kaidah fiqhiyah terdapat lima kaidah asasi, sedangkan salah satu dari kelima kaidah asasi itu berbunyi al-masyaqotu tajlibut taisir (kesulitan mendatangkan kemudahan). Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi

(11)

mukallaf (subjek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.15

Dalam ilmu fiqih, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu setidaknya ada tujuh macam, yaitu: pertama, dalam perjalanan, seperti diperbolehkan menqasar shalat, menjama’ shalat dan buka puasa. Kedua, sedang sakit, seperti diperbolehkan tayamum ketika sulit memakai air, atau seperti shalat fardhu sambil duduk. Ketiga, keadaan terpaksa, Setiap akad yang dilakukan dengan terpaksa tidak sah, seperti jual-beli, gadai dan sewa-menyewa, karena bertentangan dengan prinsip kerelaan dan merusak barang orang lain karena dipaksa. Keempat, lupa, seperti lupa makan dan minum pada waktu puasa. Kelima,tidak tahu, seperti orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu dia memakan makanan yang diharamkan. Keenam, umum al-balwa (berlaku umum), seperti kebolehan dokter melihat aurat pasen yang bukan muhrimnya karena untuk pengobatan. Ketujuh, belum atau tidak mampu bertindak hukum, seperti anak kecil, orang gila, dan orang mabuk.16

Menurut penulis redaksi yang terdapat dalam kitab Takmilah al-majmu‟ sesuai dengan kaidah asasi yang berbunyi al-masyaqotu tajlibut taisir (kesulitan mendatangkan kemudahan) dengan pertimbangan terdapat masyaqah dalam redaksi tersebut yaitu dalam perjalanan (telah berihram) terdapat kekhawatiran ketinggalan haji. sehingga mendatangkan kemudahan dalam hal ini yaitu diperbolehkannya perempuan dimasa iddah untuk berhaji.

15

ibid., hlm. 55.

(12)

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis cenderung sependapat dengan keputusan Muktamar XXX NU Nomor 005/MNU-30/11/1999 tentang Perempuan di masa iddah naik haji, bahwa wanita dalam masa iddah pada dasarnya tidak boleh menunaikan ibadah haji, kecuali sebab udzur syar‟i seperti: kekhawatiran yang mengancam diri atau hartanya, atau ada petunjuk dokter yang adil bahwa penundaan ibadah haji ke tahun depan tidak menguntungkan, atau haji tahun tersebut dinadzarkan.

B. Analisis Istinbat hukum Keputusan Muktamar XXX NU Nomor 005/MNU-30/11/1999 tentang Perempuan di Masa Iddah Naik Haji

Istinbat hukum Nahdlatul Ulama tentang perempuan di masa iddah naik haji dalam keputusan Muktamar ke-30 Nomor 005/MNU-30/11/1999 sama seperti proses penggalian hukum yang biasa ditempuh oleh Nahdlatul Ulama dalam setiap forum bahtsul masail yang digelar. Dapat dikatakan bahwa dari segi historis maupun operasionalitas bahtsul masail Nahdlatul Ulama merupakan forum yang sangat dinamis, demokratis dan berwawasan luas. Dikatakan dinamis sebab persoalan (masail) yang dibahas selalu mengikuti perkembangan tren hukum di masyarakat. Dalam hal ini perempuan di masa iddah naik haji, dimana Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan mampu memberikan kontribusi pemikirannya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat tentang hukum masalah tersebut. Dikatakan demokratis karena dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara kiai dan santri baik yang tua maupun yang muda. Pendapat siapapun yang paling kuat

(13)

itulah yang diambil. Dikatakan berwawasan luas sebab dalam forum bahstul masail tidak ada dominasi madzhab atau sepakat dalam khilaf.17

Dalam keputusan Muktamar ke-30 Nomor 005/MNU-30/11/1999 tentang perempuan di masa iddah naik haji, NU menitik beratkan pada persoalan darurat. Oleh karena itu NU melihat secara konprehensif masalah tersebut dengan taqrir jama‟i (upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa qaul/wajh)

Istinbat hukum di dalam Nahdlatul Ulama tidak secara langsung mengambil dari sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi memberlakukan secara dinamis nash-nash fuqoha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Istinbat dalam arti menggali secara langsung dari al-Qur’an dan sunnah cenderung ke arah prilaku ijtihad yang oleh ulama NU dirasa sangat sulit karena keterbatasan terutama dibidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh mujtahid.18

Secara umum dapat dikemukakan ada tiga prosedur dalam bahtsul masail NU. Pertama, Taqrir jama‟i atau dapat dikatan juga dengan metode qauly, melalui cara ini permasalahan dicarikan jawabannya dengan mengutip sumber fatwa dari kitab-kitab rujukan. Cara ini hanya menetapkan yang sudah ada. Kedua, Ilhaq atau dapat disebut juga dengan metode ilhaqy. Istilah ini dipakai untuk menggantikan istilah qiyas yang dipandang tidak patut dilakukan. Pada ilhaq yakni mempersamakan persoalan fiqih yang belum ditemukan jawabannya dalam kitab secara tekstual dengan persoalan yang

17

Sahal Mahfudz, Ahkamul Fuqaha,op.cit., hlm. vi.

(14)

ada. Sedangkan qiyas persoalan yang belum jawab tersebut dirujuk langsung kepada al-Qur’an dan Hadits guna mempersamakan karena keduanya mempunyai illat yang sama. Ketiga istinbat yakni mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya dengan qawaid ushuliyyah dan qawaid fiqhiyyah atau dapat disebut juga dengan metode manhaji.

Dalam pengambilan hukum dalam keputusan tentang perempuan di masa iddah naik haji, istinbat hukum yang dilakukan dengan menggunakan Aqwal al-Mujtahidin (pendapat mujtahid) yang bersumber dari kitab Hasyiyah al-Bajuri „ala Fath al-Qarib, Mughni al-Muhtaj ila Ma‟rifah alfazh al-Minhaj, Hawasyi al-Abbadi, Takmilah al-Majmu‟, Fath al-Wahhab dan Futuhat al-Wahhab. dan kitab-kitab tersebut merupakan produk dari madzhab Syafi’i.

Dengan demikian metode istinbat yang dipakai oleh lembaga bahsul masail Nahdlatul Ulama dalam memutuskan kasus perempuan di masa iddah naik haji ini dengan menggunakan prosedur Taqrir Jama‟i atau dapat disebut juga dengan menggunakan metode qauly. Yakni para peserta bahtsul masail terlebih dahulu mempelajari masalah yang berkaitan dengan perempuan di masa iddah naik haji, kemudian dicari jawabannya di dalam kitab-kitab fiqih dari madzhab empat dengan mengacu dan merujuk langsung pada bunyi teksnya. dan dari situ pendapat-pendapat yang ada hanya di salin dan dijadikan sebagai keputusan yang sebelumnya melalui penyeleksian pendapat yang dianggap paling kuat.

(15)

Jika melihat rujukan yang dipakai oleh lembaga bahsul masail dalam memutuskan masalah tersebut, terlihat rujukan yang dipakai menggunakan kitab-kitab Syafi’iyah. Walaupun ulama NU mengatakan bahwa tidak berarti NU menolak pendapat diluar Syafi’i, akan tetapi pada kenyataannya dan juga tidak disengaja yang terjadi pada realitanya bahwa NU didominasi dengan Aqwal Syafi‟i.

Dalam mengambil keputusan tentang perempuan di masa iddah naik haji ini, para ulama NU hanya menyalin pendapat yang ada dalam kitab-kitab Syafi’iyyah yang dijadikan rujukan tanpa disertai argumentasi tersendiri dari pendapat khusus forum sebagai wakil ulama NU. Dengan cara demikian ini merefleksikan corak pemikiran NU yang lebih mengutamakan taqlid (bermadzhab) kepada pendapat (qaul) tertentu dari pada menggunakan pendapat dari argumentasi dan analisis sendiri. Sehingga dari situ, NU terkesan sangat berhati-hati dan tidak mau memecahkan persoalan keagamaan yang dihadapi dengan merujuk langsung kepada nash al-Qur’an dan Hadits.

Penggunaan metode qauly tersebut terkadang seringkali mengabaikan atau menafikan faktor-faktor subtansi dari syari’ah. Dengan kata lain fiqih menjadi kehilangan frame idealnya, fiqih terasa sangat kaku dan memaksakan kehendak.

Tradisi NU yang selalu bersandar pada pemikiran yang tertuang dalam kitab-kitab terdahulu, bisa menimbulkan tidak signifikan dengan

(16)

kebutuhan-kebutuhan sekarang ini. Penggunaan metode berbasis ini akan menjadikan NU kurang berkembang.

Meski demikian, dengan menggunakan metode Taqrir Jama‟i tersebut semua permasalahan yang dicarikan jawaban hanya dengan mengutip fatwa dari kitab-kitab rujukan lebih praktis dan mudah untuk dilakukan. metode qauly seperti ini hanya menetapkan saja apa yang sudah ada. Hal ini dilatar belakangi oleh suatu pandangan yang diyakini bahwa apa yang sudah diputuskan oleh ulama atau qaul al-faqih dipandang selalu memiliki relevansi dengan konteks kehidupan masa kini dan harus dipakai. Qaul al-ulama yang dikemukakan dalam kitab-kitab rujukan dianggap sebagai kata final.

Pengambilan hukum dengan cara bermadzhab/ menukil hukum-hukum yang sudah ada dalam kitab-kitab imam madzhab seperti itu, merupakan alternatif yang dapat memberikan jalan bagi seseorang yang belum mencapai tingkatan mujtahid, yang lebih mudah dan lebih dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Selain itu dengan menggunakan metode tersebut, mata rantai perpindahan ilmu agama Islam dari generasi ke generasi yang dianggap sangat penting di mata kalangan ulama tradisionalis dapat lebih terjaga atau dapat dikatakan tidak terputus.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk maksud perbincangan ini, peribahasa Bajau dipilih kerana pada hemat pengkaji, seseorang yang ingin mengkaji budaya perlu tahu bahasa masyarakat pendukung dan secara tidak

Pekerjaan pada area basement pada proyek ini mempunyai peranan penting karena di sini umumnya mengalami banyak hambatan di dalam pengerjaan galian tanah, dan

Kepuasan orangtua siswa pada indikator tangibles rendah karena pada umumnya mereka menilai kondisi sarana pendidikan seperti gedung sekolah dan ruang kelas sekolah banyak yang

Di antara apa yang menunjukkan keutamaan shalat berjama’ah di masjid adalah apa yang dijelaskan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bahwa orang yang datang ke masjid adalah tamu

Berdasarkan peraturan BI 5/17/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang KAP bank syariah ditetapkan bahwa penilaian agunan wajib dilakukan oleh penilai independen

Puji dan syukur Penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala karunia-Nya, Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Polycystic

● Antena, kabel yang tepat (koaksial 75 ), dan steker terminasi yang tepat diperlukan untuk mendapatkan gambar dan suara dengan kualitas optimal.. ● Apabila yang digunakan

Alat ini dapat membantu petani dalam proses menanam jagung pada lahan yang sempit, biaya operasional lebih kecil, lebih cepat dibanding alat tanam semi