1
Peta I.1. Lokasi Situs Banten Lama (Sumber: Gambar+peta+kota+serang+banten&biw.
Diakses tanggal 18 November 2015)
Situs Banten Lama merupakan salah satu bagian penting dari Kawasan Banten Lama, sebagai bukti kejayaan masa lalu kerajaan Banten. Untuk membedakan antara konteks Banten masa lalu dengan Banten masa kini dipakai istilah Banten Lama yang telah populer di masyarakat, khususnya masyarakat Provinsi Banten. Lokasi bekas kerajaan Banten berada sekitar 11 km ke arah timur laut dari pusat ibukota Provinsi Banten, yaitu kota Serang. Secara geomorfologis lokasi kerajaan tersebut terletak di pertengahan sebuah teluk di tepi Laut Jawa yang lebarnya mencapai tiga mil (Djajadiningrat, 1983: 144-145; lihat peta I.1).
SITUS BANTEN LAMA
Kerajaan Banten dengan pusat kerajaan terletak di Kota Banten, memiliki banyak tinggalan arkeologis yang sangat beragam, baik jenis, fungsi, maupun
kondisinya dan tersebar dalam cakupan wilayah seluas kurang lebih 1.850 ha (Rahardjo, 2011: 170). Di dalam Babad atau Sejarah Banten pupuh XIX, XXII, XLIV (Djajadiningrat, 1983: 36, 38, 56-57), juga disebutkan bahwa Kota Kerajaan Banten yang didirikan oleh Maulana Hasanuddin pada tahun 1552 M, dilengkapi dengan prasarana yang meliputi keraton, alun-alun, masjid, jalan, pasar, dan prasarana lainnya. Pembangunan Kota Banten ditujukan sebagai negara-kota (city-state) dan sekaligus sebagai kota bandar (harbour-city) (Tjandrasasmita, 1993: 108-109). Tata kota pusat Kerajaan Banten lebih menunjukkan karakteristik sebagai kota Islam. Raja pertamanya Maulana Hasanuddin bergelar sultan. Masa pemerintahan Kesultanan Banten ini berlangsung sekitar 2,5 abad, yakni dimulai dari berdirinya pada tahun 1552 M dan berakhir pada saat pemerintahan ini dihapus oleh Belanda pada tahun 1816 M (BP3 Serang, 2005: 98-99; Michrob, 1993: 173-177).
Secara keseluruhan sumber daya arkeologi di dalam Kawasan Banten Lama memiliki ikatan historis antara satu dengan yang lainnya. Sumber daya arkeologi tersebut meliputi tinggalan yang masih dipakai oleh masyarakat maupun yang pada saat ditemukan sudah tidak digunakan kembali, berupa situs, struktur, bangunan, artefak yang dibiarkan insitu, serta artefak yang menjadi koleksi Museum Banten Lama.
Ditinjau dari letaknya, sumber daya arkeologi di Kawasan Banten Lama terdiri atas beberapa tinggalan yang saling berdekatan membentuk suatu kompleks, tinggalan lain yang membentuk satu kesatuan, dan bangunan yang berdiri sendiri. Tinggalan arkeologi yang berupa kompleks meliputi: Kompleks
Keraton Surosowan, Kompleks Masjid Agung Banten, Kompleks Benteng Speelwijk, Kompleks Vihara Avalokiteswara, Kompleks Masjid Kenari, Kompleks Masjid Pacinan Tinggi, serta Kompleks Masjid Kasunyatan. Tinggalan arkeologi yang merupakan satu kesatuan adalah Danau Tasikardi dengan bangunan penyaringan (Pangindelan) dan Jembatan Rante dengan Kanal Banten. Tinggalan arkeologi yang berdiri sendiri meliputi: bangunan Keraton Kaibon, bangunan rumah Cina, makam Belanda (kerkhoff), bangunan Masjid Koja, dan bangunan makam tokoh Kerajaan Banten (BP3 Serang, 2005: 93-164; Rahardjo, 2011: 49-86). Adapun temuan artefaktual bekas Kearajaan Banten yang menjadi koleksi Museum Situs Banten Lama, antara lain: mata uang, keramik, dan perlengkapan perang. Selain bukti fisik, kejayaan masa lalu Kerajaan Banten juga ditandai dengan adanya toponim, seperti Pacinan, Kasunyatan, dan Pelabuhan Karangantu. Pada abad XVI Pelabuhan Karangantu menjadi bandar internasional utama wilayah Indonesia bagian barat (Michrob, 1993: 316-317).
Sumber daya arkeologi bekas pusat Kerajaan Banten merupakan salah satu komponen utama yang dapat dijadikan sebagai penanda kejayaan Kerajaan Banten. Nuansa sebagai pusat kerajaan yang bersifat Islami pada Situs Banten Lama ini, dapat ditunjukkan dengan adanya komponen keraton, alun-alun, dan masjid. Keterkaitan komponen-komponen utama pada pola ini dapat bersifat fungsional dan simbolis (Adrisijanti: 2000: 178-180). Kecenderungan letak alun-alun di sebelah utara keraton dan masjid di sebelah barat alun-alun-alun-alun merupakan ciri umum pola tata kota kuna pusat kerajaan Islam di Jawa, seperti di Cirebon serta Kotagede di Yogyakarta (Adrisijanti: 2000: 290 dan 300).
Sumber daya arkeologi yang dijadikan sasaran utama penelitian adalah tinggalan-tinggalan arkeologis yang berada di dalam bekas pusat Kerajaan Banten. Selain berdekatan dan masih insitu, tinggalan arkeologis tersebut berasosiasi dan saling memiliki keterkaitan secara historis serta berada di dalam area yang dikelilingi oleh parit kuna yang dikenal dengan Kanal Banten (lihat Peta I.2).
Peta I.2. Kondisi Eksisting Sumber Daya Arkeologi Kawasan Banten Lama (Sumber: BP3 Serang, 2005)
Secara terminologis, penulis menggunakan istilah situs untuk menyebut area bekas pusat (inti) Kerajaan Banten yang dikelilingi oleh Kanal Banten, yang luasnya mencapai sekitar 17,6 ha (BPCB Serang, tanpa tahun). Sumber daya arkeologis yang terdapat di dalam Situs Banten Lama tersebut meliputi: Kompleks Keraton Surosowan, alun-alun, Kompleks Masjid Agung Banten, struktur Jembatan Rante, Kanal Banten, dan benda, yakni Batu Singayaksa serta Batu Gilang. Pada penelitian-penelitian sebelumnya, penggunaan kata situs terhadap Banten Lama seringkali menunjuk pada objek dan cakupan luasan wilayah yang berbeda-beda.
Saat ini, pemanfaatan sumber daya arkeologi yang menempati peran paling besar masih terkonsentrasi pada makam para tokoh Kesultanan Banten di Kompleks Masjid Agung Banten, yakni untuk wisata religius. Di sisi yang lain, masyarakat juga memanfaatkan sumber daya arkeologi Situs Banten Lama untuk objek wisata non religi, namun masih cenderung pada bangunan dengan kondisi relatif utuh. Bangunan yang hanya menyisakan dinding ataupun pondasi belum dimanfaatkan, serta kurang mendapat perhatian.
Perbedaan kepentingan yang terjadi saat ini terkonsentrasi pada sumber daya arkeologi yang berada pada situs, sebagai bagian dari Kawasan Banten Lama. Pemanfaatan Situs Banten Lama tersebut tampak memiliki kecenderungan mengalahkan aspek pelestarian. Konflik kepentingan dan benturan-benturan dalam pemanfaatan sumber daya arkeologi tersebut dapat terus terjadi.
Pihak-pihak tersebut masih menganggap bahwa kepentingan individu atau golongan adalah yang utama. Contoh kasus yang dominan terjadi antara lain
berkaitan dengan perebutan lahan parkir di sekitar Kompleks Keraton Surosowan, sengketa lahan situs, penataan pedagang di alun-alun, serta diskomunikasi revitalisasi. Perebutan lahan parkir terjadi antara masyarakat dengan masyarakat. Sengketa lahan situs dan penataan pedagang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat (Rahardjo, 2011:140). Tidak sedikit pedagang yang menempatkan kios-kios berdekatan atau menghimpit hampir seluruh sumber daya arkeologi, di Situs Banten Lama. Bahkan, pengembangan atau penataan sering berdampak pada tertutupnya bangunan arkeologis1 dari pandangan pengunjung, seperti yang terjadi pada Batu Singayaksa, Batu Gilang, dan struktur Jembatan Rante. Konflik terjadi pada sumber daya arkeologi Situs Banten Lama yang memiliki potensi dan nilai ekonomi cukup besar. Namun, konflik cenderung tidak terjadi pada sumber daya arkeologi yang belum mendapat perhatian atau penanganan.
Contoh konflik kepentingan juga dapat dilihat pada penataan Kompleks Masjid Agung. Pada tahun 2007, Pemerintah Kabupaten Serang, sebelum pemekaran menjadi kota, melakukan relokasi pedagang dengan menyediakan pasar dan terminal, kurang lebih 100 m di sebelah selatan kompleks masjid. Upaya pemerintah ini dianggap tidak sesuai dengan keinginan para pedagang dan pengunjung. Berangsur-angsur para pedagang kembali melakukan aktivitas berdekatan dengan sumber daya arkeologi. Pengunjung juga tidak melakukan parkir di tempat yang telah disediakan.
1 Untuk selanjutnya, penyebutan: objek, sumber daya budaya, sumber daya arkeologi,
tinggalan arkeologi, dan komponen cagar budaya dilakukan secara bergantian menyesuaikan dengan konteks kalimat.
Konflik kepentingan berikutnya terjadi tahun 2009 antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah pada revitalisasi alun-alun Banten Lama. Pemerintah Provinsi Banten melakukan pemagaran terhadap alun-alun dengan bahan tembok permanen dengan alasan membebaskan alun-alun dari kesemrawutan pedagang, permainan sepak bola, dan pengemis. Di lain pihak, BPCB Serang melarang pemagaran dengan alasan mempertahankan keaslian bentuk dan kondisi alun-alun. Walaupun pihak BPCB Serang telah melayangkan surat pemberhentian pemagaran, namun pihak Disbudpar Provinsi Banten tetap melanjutkan program tersebut. Oleh pihak Disbudpar Provinsi Banten, program pemagaran tetap harus dilaksanakan karena merupakan program dari pemerintah pusat, yakni dari Ditjen Pengembangan Destinasi Pariwisata.
Kegagalan beberapa upaya pemanfaatan dan pengembangan sumber daya arkeologi yang tidak mengindahkan kaidah pelestarian dapat menjadi bukti masih lemahnya pemahaman tentang pengelolaan sumber daya arkeologi. Keberadaan sumber daya arkeologi di Situs Banten Lama diharapkan tidak hanya sekedar menampilkan nilai mengenai sejarah yang panjang, namun dapat pula memiliki arti dan peranan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.. Kecenderungan adanya tujuan pragmatis aspek pemanfaatan serta belum adanya kepedulian masyarakat luas terhadap keberadaan bangunan arkeologis, dapat mengakibatkan terabaikannya aspek kelestarian dan menurunnya nilai penting sumber daya tersebut. Sejauh ini, masing-masing komponen stakeholders memiliki persepsi yang berbeda-beda dalam pemahaman dan pemaknaan nilai penting sumber daya arkeologi. Hal ini berakibat pada munculnya keputusan dan
kebijakan komponen stakeholders yang berjalan sendiri-sendiri tanpa ada kendali dalam hal pemanfaatan sumber daya arkeologi Situs Banten Lama.
Kajian terhadap nilai penting sumber daya arkeologi di Situs Banten Lama, baik yang belum maupun yang sudah dimanfaatkan, belum pernah dilakukan. Masih terdapatnya kriteria negatif tersebut menunjukkan bahwa penerapan nilai penting sumber daya arkeologi belum dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian nilai penting yang dapat diterapkan dalam upaya optimalisasi pemanfaatan Situs Banten Lama secara terpadu dan berkesinambungan. Dalam penelitian ini, penggunaan istilah sumber daya arkeologi untuk selanjutnya dapat disingkat SDA dan Situs Banten Lama dapat disingkat SBL.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini sebagai berikut.
1. Bagaimanakah nilai penting sumber daya arkeologi Situs Banten Lama? 2. Bagaimanakah upaya optimalisasi pemanfaatan sumber daya arkeologi Situs
Banten Lama berdasarkan nilai pentingnya?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan kajian nilai penting terhadap sumber daya arkeologi yang terdapat pada SBL. Hasil kajian nilai penting ini akan digunakan sebagai data dalam upaya optimalisasi pemanfaatan yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan. Hal ini layak dilakukan karena situs ini memiliki permasalahan yang cukup variatif dan perlu segera ditangani.
Pemanfaatan yang telah terjadi di SBL, apabila dibiarkan berlarut-larut tentu akan memberi dampak negatif terhadap sumber daya arkeologi dan masyarakat.
Berdasarkan permasalahan yang disebutkan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Merumuskan nilai penting sumber daya arkeologi Situs Banten Lama.
2. Menerapkan hasil penentuan nilai penting sumber daya arkeologi dalam upaya optimalisasi pemanfaatan Situs Banten Lama.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, khususnya bagi stakeholders dalam upaya optimalisasi pemanfaatan Situs Banten Lama. Dampak pemanfaatan diharapkan dapat dirasakan juga oleh masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Masyarakat yang menjadi target adalah masyarakat yang bermukim di sekitar situs, maupun lingkup lebih luas, yakni di dalam Kawasan Banten Lama. Target berikutnya adalah masyarakat pengunjung yang tinggal di luar kawasan, yang besar kemungkinan memiliki kepentingan atau perhatian terhadap objek kajian. Adapun manfaat lain yang diharapkan dari penelitian adalah:
1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, wacana, dan referensi akademik dalam pengembangan ilmu arkelogi terapan, khususnya yang berkaitan dengan kajian nilai penting sumber daya arkeologi.
2. Meningkatkan kesadaran semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) untuk lebih dapat memahami dan menghargai nilai penting yang terkandung dalam sumber daya arkeologi di SBL.
3. Menunjukkan peranan kajian nilai penting terhadap upaya pemanfaatan yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan sebagai bagian pengelolaan sumber daya arkeologi.
1.4. Tinjauan Pustaka
Tulisan yang menyinggung tentang Banten Lama cukup banyak. Pada awalnya tema yang diangkat berkisar pada aspek arkeologis dan historis. yaitu tentang tingkat kekunaan, keaslian, fungsi, serta periodisasi tinggalan-tingalan arkeologis. Kajian terhadap peninggalan Kerajaan Banten diawali dengan adanya perhatian oleh beberapa ahli asing, antara lain: Fr. Valentijn tahun 1694, J.A. Van Der Chijs tahun 1881, Van De Wall tahun 1930, dan Dinas Kepurbakalaan Hindia Belanda (Oudheidkundige Dienst) pada tahun 1913 (Azhari, 2004: 5-6). Sebagaimana dikutip oleh Azhari (2004: 5-6), Valentijn menguraikan tentang istana, masjid, serta silsilah raja yang memerintah di Kerajaan Banten; J.A Van Der Chijs menulis tentang makam raja-raja Banten, masjid, dan menyebutkan sedikit tentang Istana Surosowan; Van De Wall menulis secara singkat tentang sisa-sisa kepurbakalaan Banten, diantaranya kuburan Belanda (kerkhoff), istana Kaibon, serta lima bangunan masjid, yakni Masjid Agung Banten, Koja, Kasunyatan, Kenari, dan Pacinan Tinggi. Van De Wall juga menulis kondisi tentang Danau Tasikardi, makam para sultan, Benteng Speelwijk, dan Jembatan Rante. Penulis berkewarganegaraan Belanda lainnya adalah K.C. Crucq (dalam Michrob dan Chudari, 1993: 315-316) menulis tentang temuan meriam dan bangunan menara Masjid Agung Banten.
Perhatian terhadap kepurbakalaan Banten Lama, baik mencakup situs ataupun kawasan, juga dilakukan oleh tokoh bangsa Indonesia, baik secara individu maupun instansional. Penelitian tentang SBL dimulai pada tahun 1976 melalui kerjasama antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan Jurusan Arkeologi FSUI (Mundardjito, et.al., 1978: 6). Penelitian tersebut bertujuan untuk merekonstruksi Kota Banten Lama dengan segala aspek kehidupannya. Pada tahun 1978 Jurusan Arkeologi FSUI bekerjasama dengan Pusat Penelitian Peninggalan Purbakala Nasional, Jakarta, berhasil memperoleh data tentang berbagai bentuk keramik yang sebagian besar berupa fragmen. Temuan keramik asing dan lokal dari SBL ini, sekarang tersimpan di Museum SBL. Penelitian keramik asing di SBL juga diperdalam oleh Wiwin Djuwita pada tahun 1984 dan dapat memberi gambaran tentang tipologi keramik yang berasal dari Cina, Vietnam, Eropa, dan Jepang (Azhari, 2004: 7).
Penelitian Kawasan Banten Lama dilanjutkan oleh Kantor Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jakarta (Mundardjito, et.al., 1978: 117-127), yang bertujuan untuk mendapatkan data sebanyak mungkin guna merekonstruksi bangunan yang ada di SBL. Secara berangsur-angsur kegiatan penelitian dan pelestarian terhadap Kawasan Banten Lama mulai berkembang. Penelitian tidak hanya mengkaji masalah sejarah, sosial-budaya, dan kepurbakalaan, namun telah sampai pada kajian ekonomi, pendidikan, dan kepariwisataan. Kegiatan penelitian ini tidak terlepas dari potensi sumber daya yang ada di kawasan serta adanya perhatian yang cukup, baik dari pemerintah, civitas akademika, tim terpadu, maupun perseorangan. Kajian
sejarah kepurbakalaan dan kebudayaan Banten dipelopori oleh Hasan Mu„arif Ambary, Hoesein Djajadiningrat, Halwany Michrob, Uka Tjandrasasmita, dan Mundardjito (Rahardjo, 2011; 13-14). Penelitian awal tentang kepurbakalaan Banten ini berlangsung antara kurun waktu tahun 1976-1990-an. Kajian tentang masyarakat dan kota Banten Lama abad XVI-XIX dilakukan Harkantiningsih bersama dengan Siswandhi (1982). Kajian tentang perdagangan di Banten Lama dilakukan oleh Soni Wibisono (1983).
Tulisan yang sering digunakan sebagai acuan dalam pembahasan tentang kajian historis dan arkeologis Kawasan Banten Lama adalah tulisan Widya Nayati, Halwany Michrob, dan terbitan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Serang. Widya Nayati (1985), dalam skripsinya mengkaji Situs Banten Lama secara arkeologis yang berjudul “Telaah Arkeologi pada Kota Banten Lama Berdasarkan Interpretasi Foto Udara”. Halwany Michrob dalam buku berjudul “Catatan Masa Lalu Banten”, terbitan tahun 1993 membahas kondisi Banten sebelum masa pengaruh kebudayaan Islam sampai dengan masa awal kemerdekaan RI disertai dengan bukti tinggalan-tinggalan pada kawasan Banten Lama. Kajian berikutnya ditulis oleh BP3 Serang (2005) tentang sumber daya arkeologi, berjudul “Ragam Pusaka Budaya Banten”. Buku ini, selain mencoba menyempurnakan kajian yang telah ada sebelumnya, juga menambah tema tulisan tentang tinggalan kolonial yang terdapat di Kawasan Banten Lama.
Penelitian juga nampak terus dilakukan di tahun 1990-2000-an. Kajian perdagangan Kesultanan Banten diperdalam oleh Heriyanti Ongkodharma Untoro (1998) dalam bentuk disertasi melalui kajian arkeologi-ekonomi. Pada tahun
1993, Halwany Michrob, selain menulis tentang sejarah Banten, ia juga menulis tentang arsitektur bangunan-bangunan yang ada di SBL. Kajian dari sudut pandang arsitektur tersebut juga berkaitan dengan bentuk, struktur, dan luasan bangunan. Agus Widodo (1995) menulis tentang kebijakan pembangunan pada Kawasan Banten Lama. Pemanfaatan peninggalan arkeologi Banten Lama pada tahun 1998 ditulis oleh Hasan Mu‟arif Ambary. Menurutnya, pemanfaatan secara maksimal terhadap SBL, dapat ditujukan pada sektor pariwisata berdasarkan potensi kultural demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Upaya ini juga perlu memperhatikan dampak negatif dari sektor pariwisata, mengingat masyarakat Banten dikenal dengan sifat religiusnya (Ambary, 1998: 335-342). Melalui sektor pariwisata ini dapat dipetik keuntungan antara lain: perluasan kesempatan kerja dan usaha, peningkatan pendapatan masyarakat dan pemerintah, serta dapat mendorong pelestarian dan pengembangan pada aspek sejarah dan budaya. Pada tahap berikutnya tema tulisan menjadi lebih beragam, mencakup kajian antropologis dan aspek pariwisata Kawasan Banten Lama. Tema di dalam kajian antropologi ditulis oleh Irfan Mahmud (2005) yang membahas tentang hubungan antara sumber daya arkeologi yang terdapat di dalam kawasan dengan masyarakat di sekitarnya.
Tema pemanfaatan SBL melalui kajian manajemen sumber daya budaya pertama kali dilakukan oleh Azhari. Di dalam tesis yang berjudul “Pemanfaatan Situs Banten Lama, Kajian Manajemen Sumber daya Budaya”, Azhari (2004) memberikan deskripsi mengenai pemanfaatan dan rancangan pengelolaannya. Kajian tentang pengelolaan Kawasan Banten Lama yang dibahas oleh Azhari
masih menekankan pemanfaatan situs ke arah potensi pariwisata. Kajian manajemen sumber daya arkeologi dalam tesis Azhari belum dilandasi aspek nilai penting masing-masing tinggalan arkeologi serta belum dilakukan analisis terhadap persepsi stakeholders. Tema pemanfaatan kemudian oleh Juliadi (2009) diperdalam dengan melakukan kajian pariwisata terhadap potensi-potensi tinggalan arkeologi SBL.
Tulisan tentang SBL diperluas oleh Supratikno Rahardjo (2011), yang fokus pada bentuk dan resolusi konflik pemanfaatan serta model pengelolaan terhadap kawasan. Kajian SBL yang dilakukan Supratikno Rahardjo dapat dikatakan sebagai kajian terbaru yang berbasis pada pengelolaan sumber daya budaya. Pengelolaan sumber daya arkeologi pada kawasan dikemas dalam terbitan buku berjudul “Kota Banten Lama, Mengelola Warisan untuk Masa Depan”. Dalam buku ini, Supratikno Rahardjo lebih menitikberatkan penyelesaian
terhadap konflik kepentingan yang terjadi.
Meskipun kajian yang dilakukan oleh Azhari dan Supratikno Raharjo telah merumuskan model pengelolaan, namun keduanya belum mengkaji potensi nilai penting dan pemanfaatan yang sedang terjadi di lapangan. Dapat dikatakan bahwa tulisan tersebut lebih menitikberatkan penyelesaian secara ekstern terhadap kondisi yang saat itu terjadi. Perbedaan prinsip dengan kajian yang penulis lakukan terletak pada tema dan sasaran objek penelitian. Kedua kajian di atas, penulis anggap masih perlu diperdalam dengan menambah pokok kajian nilai penting.
Penelitian kepurbakalaan Banten Lama yang secara khusus mengkaji tentang nilai penting sumber daya arkeologi belum pernah dilakukan. Penulis bermaksud mengkaji tentang nilai penting yang dikorelasikan dengan upaya optimalisasi pemanfaatan sumber daya arkeologi yang terdapat pada SBL. Fokus penelitian ini juga dilengkapi dengan data tentang persepsi stakeholders terhadap potensi tinggalan arkeologi yang terdapat pada SBL.
1.5. Landasan Teori
Penentuan nilai penting (significance assesment) dari sumber daya budaya merupakan salah satu tahap yang paling penting dalam proses pengelolaan sumber daya arkeologi, termasuk pemanfaatannya. Tahapan awal yang mendasar di dalam proses pengelolaan sumber daya arkeologi adalah uraian mengenai nilai penting (Pearson dan Sullivan, 1995: 7). Pada pasal 1 ayat 1 Undang-undang RI No.: 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya mengandung makna bahwa cagar budaya perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting. Undang-undang ini dapat dijadikan landasan di dalam memandang keharusan kajian nilai penting sumber daya arkeologi dalam upaya melakukan penanganan lebih lanjut. Tahapan penentuan nilai penting ini menjadi dasar dalam menentukan langkah-langkah yang akan diambil di dalam upaya pemanfaatan, sebagai bagian dari pengelolaan situs. Pada hakikatnya tindakan memanfaatkan sumber daya arkeologi termasuk tindakan yang bertujuan untuk pelestarian, yakni mempertahankan nilai penting agar tidak hilang atupun rusak (Pearson dan Sullivan, 1995:126-133).
Pemahaman yang berbeda terhadap nilai penting akan dapat menjadi sumber utama konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya arkeologi. Hasil penentuan nilai penting sumber daya arkeologi muncul melalui proses pengamatan, analisis, penafsiran, atau diciptakan oleh manusia masa kini. Suatu penilaian akan dipengaruhi oleh latar belakang budaya, tingkat intelektual, pengetahuan sejarah, minat pribadi, dan juga konteks sosial seseorang atau kelompok tertentu (Lipe, 1984:2-3). Pihak-pihak yang berkepentingan perlu memahami nilai penting sumber daya arkeologi agar dapat memperoleh wawasan yang luas dalam melakukan pengelolaan.
Menurut McGimsay dan Davis (1977: 31) serta Tanudirjo (2004a: 2), pada dasarnya semua sumber daya arkeologi memiliki potensi nilai penting. Di dalam upaya melakukan penentuan nilai penting, sebelumnya diperlukan suatu kerangka (frame of reference) dan konteks yang dapat digunakan untuk mengevaluasi sumber daya arkeologi. Meskipun nilai penting itu bersifat relatif, (McGimsay dan Davis, 1977: 31; Tanudirjo, 2004a: 3), menyampaikan tiga unsur utama sebagai acuan di dalam penentuan nilai penting. Acuan tersebut meliputi potensi penelitian (investigative potentials), integritas (integrity), serta apresiasi masyarakat (public appreciation).
Potensi penelitian berarti sejauh mana sumber daya budaya itu dapat memberikan informasi atau data yang penting untuk penelitian arkeologi dan sejarah. Potensi integritas mempunyai arti bahwa sumber daya arkeologi itu memiliki berbagai aspek yang secara bersama-sama menyatu dalam sumber daya arkeologi tersebut. Berbagai aspek yang terkait dan menyatu tersebut
antara lain adalah tempat (location), rancangan (design), bahan (materials), kehandalan kerja (workmanship), perasaan (feeling), seni adi luhung (high artistic), atau karya unggulan (a work of master) (McGimsay dan Davis, 1977: 3-4; Tanudirjo, 2004: 3). Potensi dari segi apresiasi masyarakat dapat diukur dengan melihat sejauh mana masyarakat, sebagai komponen stakeholders, dapat menghargai sumber daya tersebut.
Langkah penilaian atau penaksiran sumber daya arkeologi menduduki tahap awal di dalam upaya penentuan nilai penting. Kedudukan nilai penting, menurut Pearson dan Sullivan (1995: 131), menunjukkan bahwa penentuan nilai penting harus melalui tahapan identifikasi dan dokumentasi terlebih dahulu. Proses ini harus dilakukan sebelum melangkah ke arah perencanaan dan penentuan kebijakan beserta implementasinya.
Salah satu langkah di dalam menyiapkan data yang dapat membantu upaya optimalisasi pemanfaatan adalah dengan cara melakukan kajian nilai penting terhadap tiap-tiap sumber daya arkeologi. Potensi sumber daya arkeologi SBL dapat diketahui dengan cara penelusuran nilai penting baik melalui acuan teori/konsep dari para ahli maupun dengan memperhatikan persepsi stakeholders. Hasil dari perolehan data tentang nilai penting ini dapat digunakan sebagai acuan di dalam menentukan konsep pemanfaatan secara menyeluruh, baik untuk saat sekarang maupun masa mendatang. Hasil pengkajian nilai penting ini, di masa mendatang juga dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dan parameter perubahan perlakuan terhadap sumber daya arkeologi yang telah terjadi di lapangan. Apabila nilai penting dapat dideteksi dengan tepat maka upaya
optimalisasi pemanfaatan sebagai bagian pengelolaan sumber daya arkeologi dapat lebih mudah dilakukan.
Kajian potensi-potensi sumber daya arkeologi dapat ditelusuri melalui cara penilaian dan penetapan nilai penting. Keberadaan sumber daya arkeologi diharapkan dapat mengaktualisasikan nilai penting yang melekat di dalamnya. Sumber daya arkeologi dapat secara optimal dimanfaatkan dalam rangka ikut berpartisipasi dalam pembangunan suatu bangsa yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Gerakan arkeologi yang mengutamakan kepentingan masyarakat ini kemudian memunculkan konsep-konsep dalam arkeologi, antara lain public archaeology (arkeologi kemasyarakatan), contract archaeology (arkeologi kontrak), dan salvage/rescue archaeology (arkeologi penyelamatan) (Tanudirdjo, 2007: 2). Gerakan ini menekankan bahwa warisan budaya harus diselamatkan dari semua kegiatan yang mengakibatkan kerusakan dan kemusnahan untuk selanjutnya dimanfaatkan dan dikembangkan untuk jangka panjang (Sharer and Asmore, 1980: 552-554). Strategi dan implementasi dalam pengelolaan sumber daya arkeologi juga menekankan pendekatan keberlanjutan (sustainability) untuk kepentingan jangka panjang bagi generasi mendatang (Atmosudiro, 2012: 3).
Fokus perhatian manajemen sumber daya arkeologi pada penelitian ini lebih diarahkan pada aplikasi hasil kajian nilai penting dalam perencanaan pemanfaatan situs yang terarah, terpadu, dan secara berkesinambungan. Penekanan pada pemanfaatan yang berguna untuk masyarakat telah tercantum di
dalam UU RI Nomor: 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya pasal 1 ayat (33) menyatakan bahwa:
“Pemanfaatan adalah pendayagunaan cagar budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya”.
1.6. Metode Penelitian
Lokasi penelitian berada di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten. Objek penelitian adalah sumber daya arkeologi pada pusat Kerajaan Banten yang dibatasi oleh Kanal Banten serta kepentingan komponen stakeholders di SBL. Ruang lingkup penelitian ini mencakup gambaran tentang potensi nilai penting sumber daya arkeologi serta aktivitas komponen stakeholders yang berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan situs.
Metode yang akan digunakan di dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha mendeskripsikan, menggambarkan, atau melukiskan hubungan antar-fenomena yang diteliti secara sistematis, faktual, dan akurat. Metode penelitian deskriptif bersifat menyajikan data yang dihimpun melalui pengamatan atau observasi dan wawancara terhadap informan (Moleong, 2001: 5-6). Penelitian deskriptif ini lebih menekankan pada pengumpulan dan penyajian fakta-fakta, tanpa harus melakukan pengujian hipotesis.
Secara normatif, kajian nilai penting sumber daya arkeologi dapat dicapai dengan cara melakukan identifikasi, penentuan, dan penerapan nilai pentingnya (Pearson dan Sullivan, 1995: 126-134). Penentuan nilai penting (significance assesment) ini merupakan salah satu tahap yang paling penting dalam proses
pemanfaatan sumber daya arkeologi. Hasilnya dapat menjadi dasar dalam menentukan langkah-langkah yang akan diambil selanjutnya.
Kajian berikutnya melalui analisis stakeholders, yakni kajian terhadap pihak-pihak yang berkepentingan di dalam pemanfaatan. Tahap ini dilanjutkan melalui cara melakukan pendekatan dengan menjaring persepsi dan peranserta stakeholders. Berusaha mendayagunakan stakeholders agar dapat memiliki ikatan dengan sumber daya arkeologi. Peranserta stakeholders diperlukan di dalam menentukan nilai penting sumber daya arkeologi. Secara garis besar ada tiga kelompok stakeholders yang berkepentingan terhadap SBL, yaitu pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat (Purba, 2002: 151). Pengamatan selanjutnya dilakukan terhadap aktivitas (perilaku) masyarakat yang berada di sekitar serta di dalam area kanal Banten. Pengamatan terhadap masyarakat juga dilakukan pada wilayah yang lebih luas, yakni Kawasan Banten Lama.
Penelusuran dan perekaman data dilakukan terhadap objek kajian beserta masyarakat sekitar, khususnya masyarakat yang memiliki kepentingan. Penelitian juga menggunakan data laporan hasil kegiatan yang dilakukan oleh beberapa instansi terkait maupun masyarakat. Hal ini dilakukan dengan pemikiran bahwa kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya arkeologi tidak terlepas dari masyarakat di sekitarnya.
Di dalam penelitian ini perlu juga dibangun hubungan antara arkeolog (peneliti) dan berbagai kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Diperlukan juga pelibatan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan terhadap pengelolaan sumber daya arkeologi, termasuk pemanfaatannya (Pyburn, 2011:29-42).
Masyarakatlah yang mengetahui secara jelas tentang kondisi dan permasalahan yang ada pada tinggalan-tinggalan arkeologi di lingkungannya. Namun, mungkin juga masyarakat tidak sadar mengenai dampak aktivitasnya terhadap sumber daya arkeologi tersebut.
Pengamatan terhadap masyarakat dilakukan dengan melihat aktivitas (perilaku) dan kepentingan komponen stakeholders, baik di SBL maupun masyarakat di sekitarnya. Cakupan wilayah pengamatan terhadap masyarakat ini dilandasi oleh pemikiran bahwa tidak dapat dipisahkannya antara masyarakat yang berada di SBL dengan masyarakat yang lebih luas, yakni di Kawasan Banten Lama. Pengamatan selanjutnya dilakukan terhadap kondisi sumber daya arkeologi, namun hanya pada SBL karena akan disesuaikan dengan cakupan pemanfaatannya.
Optimalisasi pemanfaatan disesuaikan dengan kondisi yang diharapkan oleh masyarakat. Keberadaan, persepsi, harapan, serta kepentingan masyarakat perlu mendapat perhatian. Data yang diperoleh kemudian diolah dan dipadu menjadi bahan di dalam mengkorelasikan antara aspek nilai penting, stakeholders, dan upaya optimalisasi pemanfaatan. Dampak yang diharapkan adalah masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya arkeologi dan sekaligus menjaganya untuk kepentingan mereka.
1.6.1. Tahapan Penelitian
Penelitian ini meliputi empat tahap. Tahap pertama adalah kegiatan pralapangan berupa perumusan masalah, penyusunan kerangka penelitian, serta kelengkapan alat dan administrasi. Tahap ini dilanjutkan dengan mengumpulkan
sumber-sumber pustaka yang sesuai dengan objek penelitian. Tahap kedua adalah melakukan diskripsi dan identifikasi kondisi sumber daya arkeologi serta menentukan objek yang telah ditangani oleh komponen stakeholders. Hal ini bertujuan untuk mengetahui konsep dan orientasi pemanfaatan yang selama ini telah dan sedang berlangsung. Tahap ketiga adalah melakukan kajian nilai penting terhadap sumber daya arkeologi melalui persepsi stakeholders. Tahap keempat adalah penerapan nilai penting dalam upaya optimalisasi pemanfaatan situs. Tahap ini bertujuan untuk memberi masukan berupa solusi ataupun alternatif tentang berbagai kepentingan dan kebutuhan stakeholders dalam upaya pemanfaatan sebagai bagian proses pengelolaan secara luas. Penelitian ini juga menekankan pada proses pemahaman dan pemaknaan terhadap sumber daya arkeologi yang dapat digunakan untuk memfasilitasi komunikasi, partisipasi, serta akomodasi kepentingan yang berbeda-beda.
1.6.2. Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan di dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yakni data primer dan data sekunder. Data primer berupa sumber daya arkeologi yang berada pada Situs Banten Lama dan informasi dari stakeholders ataupun fenomena-fenomena ekonomi, politik, sosial, serta budaya yang terkait dengan objek kajian. serta data arsip kuna seperti peta, gambar, naskah, maupun literatur. Data sekunder yang dikaji sebagai data pendukung, antara lain berupa literatur, dokumen, arsip, maupun laporan terkait tema penulisan.
Pengumpulan data dilakukan sesuai dengan data kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian. Diawali dengan studi pustaka, yakni dengan
menghimpun data tertulis atau kepustakaan yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Studi ini dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi yang telah didokumentasikan. Tahap berikutnya dilanjutkan dengan pengumpulan data lapangan dilakukan melalui observasi yang dilengkapi dengan pendokumentasian. Proses pengumpulan data berikutnya, berupa penyerapan informasi dilakukan melalui wawancara kepada pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders). Proses ini ditempuh dengan tujuan untuk mendapatkan data yang belum terhimpun melalui observasi disertai dengan pendokumentasian berupa pencatatan atau perekaman suara.
Wawancara dilakukan kepada tokoh penting atau informan kunci yang memiliki kepentingan di SBL. Saat ini, pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap SBL, dapat dikelompokkan ke dalam empat komponen, yaitu: pemerintah, lembaga swasta, peneliti/akademisi, dan masyarakat. Komponen pertama, pihak yang menangani kepurbakalaan Banten Lama, dalam hal ini, terdiri atas pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Wawancara dengan pemerintah pusat, yakni pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya di Serang dan pihak pemerintah daerah, yakni Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tingkat provinsi, kota, serta kabupaten di Serang. Wawancara dengan pihak pemerintah daerah dilakukan juga dengan instansi terkait dan instansi di tingkat kecamatan sampai dengan perangkat desa dan RT/RW. Sasaran wawancara berikutnya dilakukan kepada pihak lembaga swasta yakni Yayasan Masjid Agung Banten. Pihak yayasan ini memiliki kepengurusan yang dipimpin oleh ketua (kenadziran) dan berasal dari garis keturunan atau keluarga Kesultanan Banten. Pihak ketiga
adalah akademisi dan peneliti, sebagai pihak yang memiliki peran penting dalam kajian tentang SBL, khususnya tentang aspek pemanfaatannya. Pihak keempat yang juga menjadi sasaran wawancara adalah komponen masyarakat yang terlibat dalam pemanfaatan situs, meliputi: pedagang, pengunjung, peziarah, maupun pengelola parkir.
Pendapat komponen masyarakat sebagai bagian stakeholders, juga diambil dari sejumlah anggota masyarakat yang tidak memiliki kepentingan langsung terhadap SBL, namun mereka tinggal di dalam maupun sekitar situs. Selain terhadap masyarakat sebagai bagian stakeholders, wawancara juga dilakukan dengan informan dari masyarakat yang bukan komponen stakeholders. Masyarakat tersebut adalah masyarakat yang tidak memiliki kepentingan dan dampak langsung terhadap pemanfaatan sumber daya arkeologi, namun mereka tinggal atau berada di dalam Kawasan Banten Lama.
Mengingat pentingnya penyerapan informasi yang berasal dari wawancara, maka dilanjutkan dengan wawancara secara mendalam. Menurut Moleong (2001: 186-188), wawancara mendalam merupakan proses menggali informasi secara mendalam, terbuka, dan bebas serta lebih diarahkan pada fokus penelitian.
Informasi yang ada dapat diketahui dengan cara menanyakan kepada mereka menurut tema yang peneliti inginkan secara lebih detail. Pendekatan ini ditempuh dengan cara peneliti membaur atau memasuki komunitas yang di dalamnya terdapat pihak-pihak yang berkepentingan pada SBL
Hasil wawancara tersebut kemudian disusun sebagai bentuk isu-isu tentang nilai penting serta variasi kepentingan stakeholders. Isu-isu tersebut kemudian
ditindaklanjuti dengan penyusunan pertanyaan-pertanyaan lanjutan sebagai bahan melakukan wawancara lebih rinci dan lebih mendalam (indepth interview). Dalam konteks ini, peneliti memperhatikan asumsi-asumsi yang ada dalam masyarakat, sekaligus mengikuti pendapat informan dan responden, sehingga sikap peneliti dalam proses pengumpulan data ini bersifat fleksibel (Brannen, 2002: 11; Sonjaya, 2005:14).
Selain melalui pengamatan dan wawancara, teknis untuk memperoleh informasi juga dilakukan melalui diskusi-diskusi secara informal. Teknis diskusi informal dikemas dengan memanfaatkan waktu saat informan atau tokoh-tokoh kunci berkumpul di tempat-tempat, seperti masjid, warung, lahan parkir, terminal, atau museum situs.
1.6.3. Analisis Data
Sesuai dengan pendekatan di atas, maka langkah yang diperlukan selanjutnya adalah menganalisis perbedaan pandangan dari pihak-pihak yang berkepentingan (Fisher, 2001: 27-28). Langkah yang ditempuh dalam analisis ini dapat untuk mengidentifikasi secara rinci dan cermat terhadap posisi, kepentingan, dan kebutuhan setiap stakeholders yang terlibat (Setyowati, 2014: 1). Analisis ini bertujuan untuk mencari titik kesamaan dan perbedaan di antara pihak yang berkepentingan dan memudahkan dalam melakukan pembahasan selanjutnya. Tujuan pendekatan stakeholders adalah untuk memetakan hubungan antara masing-masing pihak yang berkepentingan yang cenderung dapat saling mempengaruhi satu dengan lainnya.
Data yang telah diolah kemudian dikumpulkan ke dalam bentuk deskripsi yang dilengkapi dengan peta, bagan, ataupun tabel. Dengan landasan hasil penentuan nilai penting, maka kedudukan penulis adalah berusaha menerapkan nilai penting sumber daya arkeologi yang ada ke arah upaya optimalisasi pemanfaatannya. Hasil akhir yang diharapkan dalam penerapan nilai penting ini adalah tercapainya pemanfaatan Situs Banten Lama yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan.
1.7. Sistematika Penulisan
Tulisan ini dibagi menjadi lima bab. Bab I intinya memuat latar belakang masalah, rumusan permasalahan, dan cara penelitian. Bab ini juga memuat tinjauan pustaka yang berisi tentang tinjauan atas penelitian-penelitian yang pernah dilakukan di Banten Lama. Metode penelitian disajikan dalam bagian akhir bab I. Bagian ini berisi tentang cakupan lokasi penelitian dan langkah-langkah penelitian mulai dari pengumpulan data hingga analisis.
Pada Bab II, data yang disajikan terbagi menjadi dua sub bab, yakni gambaran umum dan kondisi lingkungan SBL, yang mencakup kondisi sumber daya arkeologi, lingkungan, sosial, ekonomi, budaya, serta kondisi sarana dan prasarana. Sub bab berikutnya adalah uraian mengenai sumber daya arkeologi SBL. Bab III berisi uraian tentang riwayat pemanfaatan SBL, yang mencakup berbagai kepentingan, pemanfaatan yang telah dilakukan, dan identifikasi stakeholders di SBL.
Hasil analisis data disajikan pada Bab IV, yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu identifikasi nilai penting SBL dan upaya optimalisasi pemanfaatannya. Bab
terakhir atau bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan dan rekomendasi berdasarkan hasil penelitian ini.
Secara umum, alur penelitian dapat disederhanakan ke dalam bentuk bagan sebagai berikut.
Bagan I.1. Alur Penelitian
Latar Belakang Masalah Penentuan permasalahan, tujuan, dan manfaat
penelitian
Pengumpulan Data Studi Pustaka Observasi
(pengamatan)
Wawancara Diskusi
Unit Analisis Sumber Daya
Arkeologi (SDA)
Persepsi dan kepentingan
stakeholders
Kriteria nilai penting SDA Para ahli UU CB
Analisis
Penentuan nilai penting SDA Pemanfaatan berdasarkan nilai penting SDA
Hasil Penelitian