• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL. Rasio Panjang Panjang. Varietas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL. Rasio Panjang Panjang. Varietas"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Rasio Panjang Panjang

Braktea/Kuncup Kuncup (mm) ITT ITR IDL Polen PTI

Sindoro 2/2,5 2,5-3,0 19,3 80,7 0,0 0,0 0,0 2/3,0 3,0-3,5 0,0 72,5 27,5 0,0 0,0 2/3,5 3,5-4,0 0,0 59,0 32,8 8,2 0,0 2/4,0 4,0-5,0 0,0 8,0 60,8 31,2 0,0 2/5,0 5,0-5,5 0,0 0,0 32,9 67,1 0,0 2/6,0 5,5-6,0 0,0 0,0 0,0 49,2 50,8 Slamet 2/2,5 2,5-3,0 31,7 68,3 0,0 0,0 0,0 2/3,0 3,0-3,5 0,0 88,1 11,9 0,0 0,0 2/3,5 3,5-4,0 0,0 75,4 24,6 0,0 0,0 2/4,0 4,0-5,0 0,0 32,6 67,4 0,0 0,0 2/5,0 5,0-5,5 0,0 0,3 8,8 90,8 0,0 2/6,0 5,5-6,0 0,0 0,0 0,0 46,4 53,6 Wilis 2/2,5 2,5-3,0 23,0 77,0 0,0 0,0 0,0 2/3,0 3,0-3,5 0,0 82,3 17,7 0,0 0,0 2/3,5 3,5-4,0 0,0 60,0 40,0 0,0 0,0 2/4,0 4,0-5,0 0,0 6,6 42,5 50,9 0,0 2/5,0 5,0-5,5 0,0 0,0 24,1 75,9 0,0 2/6,0 5,5-6,0 0,0 0,0 0,0 36,3 63,7

Varietas Fase Perkembangan Mikrospora (%)

HASIL

Hubungan Morfologi Kuncup Bunga dengan Perkembangan Mikrospora Fase perkembangan mikrospora pada bunga dapat ditandai dengan perubahan morfologi bagian bunga. Pada bunga kedelai, perkembangan kuncup bunga dapat berdasarkan kepada rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup bunga. Hubungan antara rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup dengan fase perkembangan mikrosporanya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Hubungan rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup bunga kedelai dengan fase perkembangan mikrospora

ITT: fase berinti tunggal awal-tengah, ITR: fase berinti tunggal akhir, IDL: fase berinti dua awal, PTI: polen tanpa inti.

Kuncup bunga dengan rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup 2/2,5 (panjang kuncup 2,5-3,0 mm) mengandung mikrospora yang sebagian besar pada fase berinti tunggal akhir dan sebagian kecil pada fase berinti tunggal awal-tengah. Sedangkan pada rasio kuncup 2/3-2/3,5 (panjang kuncup 3,0-4,0 mm), sebagian besar mikrospora mempunyai fase berinti tunggal akhir dan sebagian kecil sudah pada fase berinti dua awal. Untuk kuncup dengan rasio 2/4 (panjang kuncup 4,0-5,0 mm), sebagian besar mikrospora pada fase berinti dua awal dan sebagian kecil masih pada fase berinti tunggal akhir. Sedangkan untuk kuncup rasio 2/5 (panjang kuncup 5,0-5,5 mm) umumnya fase mikrospora telah

(2)

berkembang menjadi polen dewasa dengan inti vegetatif lebih besar berbentuk bulat atau sirkuler dan inti generatif yang nampak memanjang. Pada kuncup rasio 2/6 (panjang kuncup 5,5-6,0 mm) untuk ketiga varietas fase mikrosporanya sudah menjadi polen dewasa dan polen tanpa inti. Tahapan dan fase perkembangan mikrospora disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Fase perkembangan mikrospora kedelai. (A) fase berinti tunggal awal-tengah, (B) fase berinti tunggal akhir, (C) fase berinti dua awal (D) fase berinti dua akhir (E) polen dewasa, (F) fase polen tanpa inti. Garis skala = 25µm untuk A-F.

Pengaruh Fase Perkembangan Mikrospora

Fase perkembangan mikrospora berpengaruh terhadap pembelahan sporofitik dari mikrospora di dalam kultur antera pada media dua lapis NN. Fase perkembangan mikrospora terbaik untuk pembelahan sporofitik pada varietas Wilis dan Sindoro berasal dari kuncup rasio 2/2,5 (Gambar 4A, 4B), sedangkan untuk varietas Slamet fase perkembangan mikrospora terbaik berasal dari rasio kuncup 2/3,5 (Gambar 4C). Pembelahan sporofitik ditandai oleh terbentuknya mikrospora yang mempunyai inti vegetatif dua atau lebih. Mikrospora yang berasal dari kuncup dengan rasio 2/2,5-2/3,5 dapat berkembang menjadi sel berinti tiga vegetatif atau lebih pada umur kultur dua minggu, walaupun sebagian besar dari sel mikrospora tetap mengalami perkembangan gametofitik yaitu mengalami pembelahan secara asimetri dengan dua inti berbeda yang berkembang

A B

F E

D

(3)

menjadi inti vegetatif dan inti generatif. Perkembangan mikrospora ini tidak berlanjut ke arah polen dewasa dan berkecambah (Lampiran 2, 3, dan 4).

(A1) (A2)

(B1) (B2)

(C1) (C2)

Gambar 4 Pengaruh fase perkembangan mikrospora terhadap pembelahan sporofitik di dalam media NN pada varietas Wilis (A), Sindoro (B), Slamet (C). (A1, B1, C1) sel multinukleat; (A2, B2, C2) sel mikrospora dengan dua inti vegetatif, : 2/2,5; : 2/3; : 2/3,5; x : 2/4; * : 2/5; : 2/6). V: inti vegetatif. Fase perkembangan populasi awal mikrospora dapat dilihat pada lampiran 2, 3, 4.

(4)

Pada varietas Wilis sebagian besar sel mikrospora yang berasal dari kuncup bunga dengan rasio 2/3 membelah secara simetri yang menghasilkan dua inti vegetatif pada minggu pertama setelah kultur maupun minggu berikutnya. Namun, persentase sel mikrospora yang berkembang menjadi sel multinukleat dari kuncup dengan rasio 2/3 lebih kecil daripada kuncup dengan rasio 2/2,5. Sel mikrospora yang memiliki dua inti yang berukuran sama juga masih terjadi pada mikrospora yang berasal dari kuncup dengan rasio 2/4, yang terlihat pada minggu kedua setelah kultur. Namun, sel ini tidak mengalami perkembangan lebih lanjut menuju perkembangan sel multinukleat, tetapi mengalami kematian sel yang jumlahnya meningkat pada minggu berikutnya. Untuk kuncup dengan rasio 2/5, sel mikrosporanya berkembang menjadi polen dewasa.

Pada kuncup dengan rasio 2/6 untuk ketiga varietas, mikrospora telah berkembang menjadi polen dewasa bahkan sebagian selnya telah kehilangan inti dan sitoplasma sejak awal kultur. Sejak minggu pertama setelah kultur kematian selnya sudah sangat besar dan terus meningkat pada minggu berikutnya. Selain itu pada kuncup rasio 2/6 ternyata tidak ada sel yang mampu berkembang ke arah pembelahan sporofitik.

Pengaruh Media Dasar

Pengaruh media dasar terhadap pembelahan sporofitik dari mikrospora dapat dilihat dari sel yang mampu membelah secara simetri dengan dua inti vegetatif maupun mempunyai tiga inti vegetatif atau lebih (multinukleat). Pada varietas Slamet media NN memiliki pengaruh lebih baik dibandingkan media MS, SL2, maupun B5 (Gambar 5A). Pembelahan sporofitik tersebut terjadi sejak minggu pertama setelah kultur sampai minggu keempat setelah kultur. Sedangkan untuk pembelahan mikrospora secara asimetri, keempat media mempunyai pengaruh yang relatif sama (Lampiran 5).

Pada varietas Sindoro media SL2 mempunyai pengaruh yang lebih baik daripada media lainnya terhadap pembentukkan sel multinukleat dan sel berinti dua vegetatif pada minggu kedua setelah kultur, tetapi pada minggu ketiga, media NN mempunyai pengaruh lebih baik (Gambar 5B). Media dasar MS lebih mendukung perkembangan sel mikrospora yang membelah secara asimetri dibandingkan media NN, B5, dan SL2 (Lampiran 6). Namun, mikrospora tersebut

(5)

tidak berkembang lebih lanjut menjadi polen dewasa dan berkecambah, tetapi mengalami kematian. (A1) (A2) (B1) (B2) (C1) (C2)

Gambar 5 Pengaruh media dasar terhadap pembelahan sporofitik mikrospora pada varietas Slamet (A), Sindoro (B), Wilis (C) selama 4 minggu. (A1, B1, C1) sel multinukleat; (A2, B2, C2) sel mikrospora dengan dua inti vegetatif, : NN; : MS; : SL2; : B5. V: inti vegetatif. Fase perkembangan populasi awal mikrospora dapat dilihat pada lampiran 5, 6, 7.

(6)

Pada varietas Wilis, keempat media dasar memiliki pengaruh yang sama terhadap perkembangan mikrospora hingga mencapai tiga inti vegetatif atau lebih. Sedangkan untuk mikrospora yang memiliki dua inti vegetatif media B5 memiliki pengaruh lebih baik dibandingkan media MS, SL2, dan NN (Gambar 5C, Lampiran 7).

Pengaruh Suhu Inkubasi Kultur

Pengaruh perlakuan suhu inkubasi pada minggu pertama kultur terhadap pembelahan sporofitik mikrospora untuk varietas Wilis disajikan pada Gambar 6. Perlakuan suhu dingin (4-9oC) menunjukkan pengaruh lebih baik dibandingkan suhu ruang (25-28oC) maupun suhu panas (30-33oC) terhadap persentase pembentukan mikrospora yang mengandung dua inti vegetatif atau lebih dari tiga inti vegetatif. Pengaruh suhu dingin terlihat pada minggu kedua setelah kultur. Sedangkan pengaruh perlakuan suhu inkubasi terhadap berbagai perkembangan mikrospora untuk ketiga varietas yang diuji (Wilis, Sindoro, dan Slamet) berturut-turut disajikan pada Lampiran 8, 9, 10.

(A1) (A2)

Gambar 6 Pengaruh suhu inkubasi pada minggu pertama kultur terhadap pembelahan sporofitik mikrospora di media dasar NN pada varietas Wilis. (A1) sel multinukleat; (A2) sel mikrospora dengan dua inti vegetatif pada : suhu ruang (25-28oC); : suhu dingin (4-9oC); : suhu panas (30-33oC). V: inti vegetatif. Fase perkembangan populasi awal mikrospora dapat dilihat pada lampiran 8, 9, 10.

Pada perlakuan suhu ruang (25-28oC), perkembangan mikrospora varietas Wilis yang membelah secara simetri dengan dua inti vegetatif maupun mikrospora dengan tiga inti vegetatif atau lebih hanya terlihat pada minggu pertama kultur dan segera menurun dengan cepat pada minggu berikutnya.

(7)

Pada varietas Sindoro dan Slamet perlakuan suhu inkubasi yang berbeda tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap perkembangan mikrospora yang membelah secara simetri maupun pembentukan sel multinukleat. Sel mikrospora hanya dapat berkembang sampai dua inti vegetatif dengan frekuensi yang kecil dan tidak ada yang berkembang lebih lanjut menjadi sel multinukleat pada semua suhu inkubasi. Perkembangan mikrospora menjadi dua inti vegetatif dijumpai pada perlakuan suhu dingin baik pada varietas Sindoro maupun varietas Slamet (Lampiran 9 dan 10).

Pengaruh Sumber Karbon

Pada varietas Sindoro, sumber karbon berpengaruh terhadap perkembangan mikrospora terutama terhadap jumlah mikrospora yang membelah simetri dan yang mempunyai tiga inti vegetatif atau lebih (sel multinukleat) (Gambar 7A). Perkembangan ke arah pembelahan sporofitik lebih baik ditunjukkan pada perlakuan sumber karbon maltosa 40 g/l dibanding sukrosa 40 g/l. Perkembangan sel yang mencapai sel multinukleat terjadi pada minggu kedua setelah kultur dan menurun pada minggu berikutnya. Sedangkan mikrospora yang membelah secara simetri terjadi sejak minggu pertama kultur dan mulai menurun pada minggu ketiga setelah kultur. Untuk pembelahan mikrospora secara asimetri, maltosa juga mempunyai pengaruh lebih baik daripada sukrosa (Lampiran 11). Namun sel mikrospora tersebut tidak berkembang lebih lanjut menjadi polen dewasa dan berkecambah.

Pada varietas Slamet, sukrosa memiliki pengaruh lebih baik dibandingkan maltosa terhadap jumlah mikrospora yang mempunyai tiga inti vegetatif atau lebih. Perkembangan tersebut terjadi pada minggu pertama kultur dan meningkat pada minggu kedua kultur dan segera menurun pada minggu ketiga setelah kultur. Pada perlakuan sumber karbon maltosa, perkembangan mikrospora yang mencapai tiga inti vegetatif atau lebih masih terjadi pada minggu ketiga setelah kultur (Gambar 7B, Lampiran 12). Pengaruh maltosa lebih baik dibandingkan sukrosa juga dijumpai pada varietas Wilis baik untuk pembelahan mikrospora secara simetri yang mengandung dua inti vegetatif maupun pembentukan mikrospora multinukleat (Gambar 7C, Lampiran 13).

(8)

(A1) (A2)

(B1) (B2)

(C1) (C2)

Gambar 7 Pengaruh sumber karbon terhadap pembelahan sporofitik mikrospora kedelai pada varietas Sindoro (A), Slamet (B), Wilis (C). (A1, B1, C1) sel multinukleat; (A2, B2, C2) sel mikrospora dengan dua inti vegetatif pada, : sumber karbon sukrosa 40 g/l ; : sumber karbon maltosa 40 g/l. V: inti vegetatif. Fase perkembangan populasi awal mikrospora dapat dilihat pada lampiran 11, 12, 13.

(9)

Sumber karbon tidak berpengaruh terhadap pembelahan asimetri mikrospora yang menghasilkan inti vegetatif dan generatif (Lampiran 11, 12, 13). Mikrospora yang membelah asimetri tidak berkembang lebih lanjut menjadi polen dan berkecambah, tetapi mengalami kematian yang ditandai dengan keluarnya inti dan sitoplasma.

Pengaruh Perlakuan Kombinasi

Dilihat dari persentase mikrospora multinukleat yang terbentuk, perlakuan kombinasi sumber karbon maltosa 40 g/l dengan suhu dingin (4-9oC) pada minggu pertama inkubasi kultur dengan menggunakan media dasar NN memiliki pengaruh lebih baik dibandingkan kombinasi lainnya (Gambar 8). Pengaruh yang baik ini terlihat sejak minggu pertama kultur dan meningkat pada minggu kedua setelah kultur. Demikian juga pada mikrospora yang membelah secara simetri dengan dua inti vegetatif, perlakuan kombinasi sumber karbon maltosa dengan suhu dingin memiliki pengaruh lebih baik dibanding dengan perlakuan kombinasi yang lain. Pada umur dua minggu beberapa mikrospora telah berkembang menjadi sel multinukleat yang mempunyai 12 inti vegetatif (Gambar 9). Perkembangan mikrospora yang mencapai sel multinukleat ini mengindikasikan telah terjadi pembelokkan proses pembelahan dari jalur gametofitik ke jalur sporofitik.

Dilihat dari sel yang membelah secara asimetri kombinasi perlakuan tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan mikrospora. Perkembangan mikrospora tersebut mengalami peningkatan pada minggu pertama kultur dan sebagian berkembang menjadi polen, tetapi sebagian besar sel mikrospora mengalami kematian.

(10)

(A) (B)

Gambar 8 Pengaruh perlakuan kombinasi terhadap pembelahan sporofitik mikrospora pada varietas Wilis. (A) sel multinukleat; (B) sel mikrospora dengan dua inti vegetatif pada, : sumber karbon sukrosa dengan suhu ruang; : sumber karbon sukrosa dengan suhu dingin; : sumber karbon maltosa dengan suhu ruang; : sumber karbon maltosa dengan suhu dingin. V: inti vegetatif. Media dasar yang digunakan adalah NN, populasi awal mikrospora 12% fase berinti tunggal awal-tengah, 77% berinti tunggal akhir, 21% berinti dua awal.

Gambar 9 Mikrospora varietas Wilis yang telah mencapai multiseluler dengan 12 inti (atas) dan baru 3 inti (bawah) pada umur 2 minggu setelah kultur. Garis skala = 25µm.

Gambar

Tabel 1 Hubungan rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup bunga kedelai  dengan fase perkembangan mikrospora
Gambar 3 Fase perkembangan  mikrospora kedelai. (A) fase berinti tunggal awal-tengah,  (B)  fase  berinti  tunggal  akhir,  (C)  fase  berinti  dua  awal  (D)  fase  berinti  dua  akhir (E) polen dewasa, (F) fase polen tanpa inti
Gambar 4   Pengaruh  fase  perkembangan  mikrospora  terhadap  pembelahan  sporofitik   di dalam media  NN pada  varietas Wilis (A),  Sindoro  (B),  Slamet  (C)
Gambar 5   Pengaruh  media  dasar  terhadap  pembelahan  sporofitik  mikrospora  pada  varietas  Slamet  (A),  Sindoro  (B),  Wilis  (C)  selama  4  minggu
+3

Referensi

Dokumen terkait

1) Menggunakan software Cisco Packet Tracer 5.3. 2) Menggunakan PC/Laptop dengan minimum RAM 1Gb. 3) Pengujian yang dilakukan hanya untuk mengetahui besarnya waktu

Judul Skripsi : Pengaruh Metode Latihan Jarak Tetap dan Jarak Bertahap Terhadap Kemampuan Tembakan Bebas Bola Basket Pada Siswa Putri Ekstrakurikuler Bola Basket

Ayat tersebut menjawab pertanyaan para sahabat yang kebingungan tentang bagaimana mereka bisa kalah padahal mereka adalah tentara Allah dan berdakwah untuk agama Allah.

(2) Profitabilitas pada penelitian ini diproksikan dengan Net Profit Margin (NPM), Return On Asset (ROA) dan Return On Equity (ROE) : (a) Profitabilitas yang

Siswa Baru adalah peserta didik pada PAUD Formal, jenjang pendidikan dasar dan menengah yang masuk pada tingkat pertama di setiap jenjang pendidikan, sedangkan mahasiswa

Dengan perpanjangan pengamatan ini, berarti hubungan antara peneliti dengan narasumber akan semakin rapport, semakin akrab (tidak ada jarak lagi), semakin terbuka,

Dari jumlah hasil tangkapan yang semakin menurun dapat dikatakan bahwa alat tangkap bubu banbu tidak efisien untuk digunakan, teknologi bubu besi yang telah diperbaiki