• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH TINGKAT STERILITAS, MEDIUM DAN KETEBALAN TEMPE TERHADAP SIFAT FISIK DAN NILAI GIZI TEMPE KALENG SKRIPSI STELLA DARMADI F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH TINGKAT STERILITAS, MEDIUM DAN KETEBALAN TEMPE TERHADAP SIFAT FISIK DAN NILAI GIZI TEMPE KALENG SKRIPSI STELLA DARMADI F"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

PE

KE

ENGARU

ETEBAL

FAK

I

UH TING

AN TEM

NILAI G

S

KULTAS

INSTITU

KAT STE

MPE TERH

GIZI TEM

SKRI

STELLA D

F2406

TEKNO

UT PERTA

BOG

201

ERILITA

HADAP S

MPE KAL

IPSI

DARMADI

0717

LOGI PE

ANIAN B

GOR

10

AS, MEDI

SIFAT FI

LENG

ERTANIA

BOGOR

IUM DAN

ISIK DAN

AN

N

N

(2)

ii

EFFECT OF STERILISATION LEVEL, MEDIUM, AND TEMPEH

THICKNESS TO PHYSICAL PROPERTIES AND

NUTRITION VALUE OF CANNED TEMPEH

Stella Darmadi1, Winiati P. Rahayu2, Eko Hari Purnomo1,2

1Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia

2Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology Center Jl. Puspa Lingkar Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

Phone 62 251 8624622, email: stella.darmadi@hotmail.com

ABSTRACT

Tempeh is a traditional Indonesian food product derived from fermented soybeans using Rhizopus oligosporus. Tempeh has many advantages, such as nutrients and organic compounds in which a fairly complete as well as health benefits and can be obtained with relatively lower prices than other soy products are known to the world community. Tempeh also contains isoflavones as antioxidants. Unfortunately, tempeh has a limiting factor of the quality and short shelf life. Damage that occurs in tempeh mainly is caused by continuous fermentation. Therefore, in this study, thermal process was conducted so that tempeh has longer shelf life. The aim of this research is to obtain the effect of Fo values (4, 8, and 12 minutes), mediums (water, 2% brine, and oil), and tempeh thicknesses (1, 3, and 5 cm) in sterilization of tempeh to its physical properties and nutritional values. The results show that canned tempeh has softer texture, no significant difference in slicing quality and colour, and lower pH value than raw tempeh. However, all variables had no significant effect to physical properties changing. Based on hedonic test, the most favourite sample is tempeh in oil with 3 cm thickness which canned at T=127oC and Fo=4 minutes. This product has 51.98% water content, 1.04% ash content, 34.97% protein, 60.55% fat, and 2.32% of carbohydrate. The total daidzein and total genistein in 100 g product are 2.40 mg and 2.95 mg.

(3)

iii

Stella Darmadi.F24060717.Pengaruh Tingkat Sterilitas, Medium, dan Ketebalan Tempe

terhadap Sifat Fisik dan Nilai Gizi Tempe Kaleng. Di bawah bimbingan Winiati P. Rahayu dan

Eko H. Purnomo. 2010

RINGKASAN

Tempe merupakan produk pangan khas Indonesia yang diolah dengan fermentasi kedelai menggunakan kapang, terutama Rhizopus oligosporus. Secara umum tempe mempunyai ciri berwarna putih karena pertumbuhan miselium kapang yang menghubungkan antar biji-biji kedelai sehingga terbentuk tekstur yang kompak.

Tempe memiliki beberapa keunggulan, yaitu kandungan gizi dan senyawa organik di dalamnya yang cukup lengkap serta bermanfaat bagi kesehatan dan dapat diperoleh dengan harga relatif murah. Tempe juga memiliki manfaat fungsional karena mengandung isoflavon yang merupakan antioksidan yang sangat diperlukan tubuh untuk menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas. Potensi tempe yang begitu besar menjadikan tempe sebagai produk yang memiliki peluang ekspor tinggi, sayangnya kendala umur simpan menjadi faktor pembatas. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya penurunan mutu karena proses fermentasi berkelanjutan dalam penelitian ini digunakan proses termal untuk menghentikan fermentasi. Penerapan proses termal juga bertujuan untuk memperbaiki mutu sensori, meningkatkan daya cerna, menghancurkan komponen-komponen yang tidak diperlukan seperti tripsin inhibitor, menginaktivasi enzim perusak sehingga dapat memperpanjang masa simpan tempe yang pendek.

Penelitian ini dibagi menjadi empat tahap, yaitu: (1) penentuan waktu venting melalui uji distribusi panas, (2) penentuan kombinasi suhu dan waktu sterilisasi melalui uji penetrasi panas, (3) pengalengan tempe, dan (4) analisis produk. Dalam tahap uji penetrasi panas dan pengalengan dilakukan variasi nilai Fo, pengaturan medium, dan ketebalan tempe.

Berdasarkan hasil uji distribusi panas diperoleh bahwa venting harus dilakukan selama 16 menit dan suhu retort telah mencapai 105 oC. Waktu yang diperlukan retort untuk mencapai suhu proses yang telah ditentukan atau come up time adalah 19 menit. Skedul proses yang digunakan untuk proses selanjutnya ditentukan berdasarkan metode formula.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sterilisasi pada tempe ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan daya iris dan warna tempe, namun memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pelunakan tekstur dan penurunan nilai pH. Bila dibandingkan dengan tempe segar, tempe hasil sterilisasi memiliki tekstur yang relatif lebih lunak, warna yang hampir sama, dan nilai pH yang lebih rendah.

Sampel yang diuji secara organoleptik adalah sampel dengan nilai Fo terkecil (4 menit), suhu tertinggi (127oC), dan ketebalan tempe 3 cm pada berbagai medium (air, larutan garam 2%, dan minyak). Nilai Fo terkecil dipilih untuk menghemat penggunaan energi, sementara sampel disterilisasi dengan suhu tertinggi agar sesuai dengan konsep HTST (High Temperature Short Time) sehingga kerusakan nilai gizi dari tempe dapat direduksi seminimal mungkin. Tempe dengan ketebalan 3 cm merupakan ketebalan tempe yang relatif umum diproduksi, sehingga dianggap akan lebih memudahkan proses pengalengan. Hasil uji organoleptik menunjukkan tempe yang dikalengkan dalam medium minyak mempunyai nilai sensori yang paling baik berdasarkan pembobotan yang dilakukan terhadap atribut tempe kaleng dan uji rating hedonik.

Komposisi kimiawi tempe hasil sterilisasi dalam medium minyak menunjukkan bahwa kadar air tempe sterilisasi cukup tinggi, yaitu mencapai 51.98% (basis basah). Nilai ini relatif tidak berbeda dengan kadar air tempe segar yaitu 55.80%. Kadar abu dari tempe yang telah sterilisasi (1.04%)

(4)

iv

sedikit mengalami penurunan dibandingan kadar abu tempe segar yaitu 1.60% (basis basah). Kandungan protein dalam tempe hasil sterilisasi masih cukup baik. Hal ini terbukti dari kadar protein sampel yang masih cukup tinggi (34.97 g/100 g bahan kering) dibandingkan dengan kadar protein tempe segar yaitu 46.50 g/100 g bahan kering. Kadar lemak pada produk tempe sterilisasi ini mengalami kenaikan yang cukup tinggi dibandingkan tempe segar, yaitu 60.55 g/100 g bahan kering. Hal ini dapat terjadi karena medium yang digunakan dalam produk tempe sterilisasi ini adalah minyak, sehingga kadar lemak produk menjadi lebih tinggi dibanding tempe segar yang kadar lemaknya hanya 19.70 g/100 g bahan kering. Pada tempe segar, kadar karbohidrat tempe per 100 g bahan kering adalah 30.20 g, sedangkan pada tempe yang telah disterilisasi, kadar karbohidratnya turun drastis hingga 2.32 g/100 g bahan kering.

Hasil analisis terhadap tempe sterilisasi menunjukkan bahwa pada setiap 100 g bagian yang dapat dimakan, tempe sterilisasi mengandung daidzein dan genistein sebanyak 2.40 mg dan 2.95 mg.

(5)

v

PENGARUH TINGKAT STERILITAS, MEDIUM DAN

KETEBALAN TEMPE TERHADAP SIFAT FISIK DAN

NILAI GIZI TEMPE KALENG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

STELLA DARMADI

F24060717

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(6)

vi

Judul Skripsi : Pengaruh Tingkat Sterilitas, Medium Dan Ketebalan

Tempe Terhadap Sifat Fisik Dan Nilai Gizi Tempe Kaleng

Nama : Stella Darmadi

NIM : F24060717

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Prof. Dr. Winiati P. Rahayu) (Dr. Eko H. Purnomo, S.Tp, M.Sc)

NIP 19560813 198201.2.001 NIP 19760412 199903.1.004

Mengetahui: Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Dahrul Syah)

NIP 19680505 199203.2.002

(7)

vii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Tingkat

Sterilitas, Medium, dan Ketebalan Tempe terhadap Sifat Fisik dan Nilai Gizi Tempe Kaleng

adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2010 Yang membuat pernyataan

Stella Darmadi F24060717

(8)

viii

BIODATA PENULIS

Stella Darmadi. Lahir di Jakarta, 27 September 1988 dari ayah Harjadi Darmadi dan ibu Lina Heryani, sebagai putri pertama dari dua bersaudara. Penulis lulus pendidikan jenjang SD pada tahun 2000 di SDK Mater Dei Pamulang. Tahun 2003, penulis lulus dalam jenjang pendidikan SLTP pada SLTP Santa Ursula BSD. Pada tahun 2006, penulis lulus dari SMU Santa Ursula BSD dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih mayor Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian dan minor Manajemen Fungsional.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam kegiatan berorganisasi, yaitu Keluarga Mahasiswa Katolik IPB (2006-2009) dan Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (2008-2009). Penulis juga aktif dalam kegiatan kepanitiaan seperti Santa Claus Day se-Keuskupan Bogor (2006), Paskah Mahasiswa se-Keuskupan Bogor (2007), LCTIP XVI (2008), Reuni Alumni KEMAKI (2008), serta Indonesian Food Expo (IFOODEX) 2009.

Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Tingkat Sterilitas, Medium dan Ketebalan Tempe Terhadap Sifat Fisik dan Nilai Gizi Tempe Kaleng”.

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2009 ini adalah proses termal, dengan judul Pengaruh Tingkat Sterilitas, Medium, dan Ketebalan Tempe terhadap Sifat Fisik dan Nilai Gizi Tempe Kaleng.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini, yaitu:

1. Tuhan Yesus Kristus, sebagai Bapa yang terbaik sepanjang masa. Atas berkat, tuntunan, bimbingan dan belas kasihan yang begitu ajaib setiap saat.

2. Keluarga tercinta, Papi Harjadi Darmadi, Mami Lina Heryani, Ii Lenny, dan Adik Natasha Darmadi atas segala pengorbanan, doa, dan kasih sayang yang telah diberikan, dan juga kepada seluruh keluarga besar atas dukungan dan perhatiannya.

3. Prof. Dr. Winiati P. Rahayu selaku pembimbing akademik pertama, atas saran, bimbingan, dan perhatian yang telah diberikan.

4. Dr. Eko Hari Purnomo, S.Tp, M.Sc. selaku pembimbing akademik kedua, atas saran, bimbingan, dan perhatian yang telah diberikan

5. Prof. Dr. Ir. Fransiska Z. Rungkat, M.Sc. atas kesediaan waktu dan pikirannya untuk menjadi penguji sidang.

6. Rio Adhitya Reginaldi yang senantiasa sabar memberikan nasihat, dukungan, dan doa.

7. Sahabat-sahabat terkasih atas dukungan dan bantuannya, Stephanie G.H., Daisy Natalia, Federika Rosephin, Nina Ivana serta teman-teman se-Perwira: Febriani, Prima, Felicia, Jessica, Dessyana, Stephanie, Erinna, Richie, Syenny, Stefanus, Mario, Feriana, Margaret, Fenny, dan Yurinna.

8. Sahabat-sahabat sejak belia: Tiara, Tisya, Irene, Ivera, Kiki, Tiffany, Fica, Ronald Matthew, Ronald DS, Edwin, Yola, Anika, dan Ruth.

9. Rekan-rekan ITP yang telah bersama-sama berjuang demi meraih S.Tp. terutama Yuananda, Arius, Erik, Sandra, Oxyana, Yessica, Sadek, Helena, Abdi, WJ, Aan, Bernand, Dion, Dedes, Dhimas, Henny, Kandi, dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

10. Teman-teman KEMAKI yang juga telah bersama-sama berjuang di IPB terutama Maksiaterz: Justian, Ferry, Gana, Narita, Bayang, Glen, Daniel, Adit, dan Adel.

11. Para guru dan dosen yang telah memberikan ilmu, dari jenjang TK sampai universitas.

12. Seluruh analis dan teknisi laboratorium di Laboratorium Jasa Analisis, Seafast Center dan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas bantuan yang telah diberikan, terutama kepada Pak Gatot, Pak Nurwanto, Pak Iyas, Pak Wahid, Pak Rojak, Ibu Rubiyah, Mbak Siti, Mbak Ria, dan Mbak Irin.

13. Para pustakawan di PITP, Perpustakaan PAU, dan Perpustakaan LSI atas bantuan yang telah diberikan dalam pencarian literatur, dan seluruh pegawai IPB.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pangan.

Bogor, Desember 2010

(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... ix 

DAFTAR TABEL ... xi 

DAFTAR GAMBAR ... xii 

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii 

DAFTAR SIMBOL... xv 

I.  PENDAHULUAN ... 1 

A.  LATAR BELAKANG ... 1 

B.  TUJUAN PENELITIAN ... 2 

II.  TINJAUAN PUSTAKA ... 3 

A.  TEMPE... 3 

B.  KANDUNGAN GIZI TEMPE ... 3 

C.  MUTU TEMPE ... 6 

D.  PENGAWETAN TEMPE ... 6 

E.  PROSES TERMAL ... 6 

F.  PERHITUNGAN KECUKUPAN PANAS ... 8 

III.  METODOLOGI PENELITIAN ... 10 

A.  BAHAN DAN ALAT ... 10 

B.  METODE PENELITIAN ... 10 

IV.  HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17 

A.  PENENTUAN WAKTU VENTING RETORT ... 17 

B.  PENENTUAN SKEDUL PROSES STERILISASI ... 18 

C.  SIFAT FISIK TEMPE KALENG ... 23 

D.  SIFAT ORGANOLEPTIK ... 28 

E.  NILAI GIZI TEMPE ... 31 

F.  KANDUNGAN ISOFLAVON TEMPE ... 32 

V.  KESIMPULAN DAN SARAN ... 34 

A.  KESIMPULAN ... 34 

B.  SARAN ... 34 

DAFTAR PUSTAKA ... 35 

(11)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Syarat mutu tempe kedelai……… 3 Tabel 2. Komposisi zat gizi tempe dalam 100 g bahan yang dapat dimakan (bdd) dan

100 g bahan kering……… 4

Tabel 3. Perbandingan nilai Fo yang dicapai pada suhu setting retort tertentu

berdasarkan metode umum dan formula.……….. 20 Tabel 4. Skedul proses sterilisasi tempe dalam kaleng berukuran 301 x 407 berdasarkan

metode formula... 21 Tabel 5. Pembobotan skor hasil uji rating hedonik………. 30 Tabel 6. Analisis proksimat tempe sterilisasi……….. 31 Tabel 7. Kandungan isoflavon tempe segar dan produk olahan tempe dalam 100 g

(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Diagram alir tahap penelitian………. 11 Gambar 2. Diagram alir sterilisasi tempe………. 13 Gambar 3. Posisi termokopel dalam retort selama uji distribusi panas ……….. 17 Gambar 4. Kurva distribusi panas di dalam retort yang dipanaskan hingga suhu

117 oC………. 18

Gambar 5. Kurva penetrasi panas tempe kaleng dengan berbagai ketebalan tempe

dalam medium air pada suhu retort 121 oC……… 18 Gambar 6. Kurva penetrasi panas tempe kaleng dengan berbagai ketebalan tempe

dalam medium larutan garam 2% pada suhu retort 121 oC……… 19 Gambar 7. Kurva penetrasi panas tempe kaleng dengan berbagai ketebalan tempe

dalam medium minyak pada suhu retort 121 oC……… 10 Gambar 8. Kurva pengaruh nilai sterilitas (Fo) terhadap kedalaman penetrasi (mm)

tempe pada tempe segar dan tempe dengan berbagai ketebalan tempe (cm)

yang disterilisasi dalam medium minyak pada T= 127 oC………. 23 Gambar 9. Kurva pengaruh ketebalan tempe (cm) terhadap kedalaman penetrasi (mm)

tempe pada berbagai medium yang disterilisasi pada T = 127 oC dengan

nilai sterilitas (Fo) = 4……… 24 Gambar 10. Kurva pengaruh suhu sterilisasi (oC) terhadap kedalaman penetrasi (mm)

tempe ketebalan 3 cm pada berbagai medium yang disterilisasi dengan

nilai sterilitas (Fo) = 4………... 24 Gambar 11. Kurva pengaruh nilai sterilitas (Fo) terhadap tingkat kecerahan tempe

segar dan tempe pada berbagai ketebalan tempe (cm) yang disterilisasi dalam medium minyak pada T= 127 oC……….…… 26 Gambar 12. Warna tempe dengan ketebalan 3 cm yang disterilisasi dalam medium

(a) air, (b) larutan garam 2%, dan (c) minyak pada suhu 127oC dengan

nilai Fo= 4 menit……… 27

Gambar 13. Kurva pengaruh nilai sterilitas (Fo) terhadap nilai pH tempe pada berbagai ketebalan tempe (cm) yang disterilisasi dalam medium air pada

T = 127 oC……….. 28

Gambar 14. Tingkat preferensi panelis terhadap atribut dalam produk tempe

sterilisasi………... 29 Gambar 15. Perbandingan skor sampel pada setiap atribut sensori pada tempe dengan

ketebalan 3 cm yang disterilisasi pada suhu 127 oC dengan nilai

Fo = 4 menit………... 30

Gambar 16. Kurva standar daidzein………... 32 Gambar 17. Kurva standar genistein……….. 32

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

HALAMAN

Lampiran 1. Persamaan kalibrasi termorekorder………. 41

Lampiran 2. Rekapitulasi data hasil uji distribusi panas………. 42

Lampiran 3a. Kurva penetrasi panas tempe kaleng pada suhu 116 oC……….. 44

Lampiran 3b. Kurva penetrasi panas tempe kaleng pada suhu 127 oC……….. 45

Lampiran 4a. Perhitungan nilai Fo berdasarkan metode umum (tempe dengan d = 3 cm, medium minyak, T retort = 121oC)………... 46 Lampiran 4b. Perhitungan nilai Fo berdasarkan metode formula (tempe dengan d = 3 cm, medium minyak, T retort = 121oC)………... 48

Lampiran 4c. Perhitungan berbagai nilai Fo berdasarkan metode formula (tempe dengan d = 3 cm. medium minyak, T retort = 121oC)……….... 49

Lampiran 5a. Rekapitulasi data hasil analisis fisik-tingkat kekerasan...………... 51

Lampiran 5b. Rekapitulasi data hasil analisis fisik-daya iris………. 58

Lampiran 5c. Rekapitulasi data hasil analisis fisik-warna………... 61

Lampiran 5d. Rekapitulasi data hasil analisis fisik-warna (tingkat kecerahan dan nilai b)………... 75

Lampiran 5e. Rekapitulasi data hasil analisis fisik-nilai pH………... 78

Lampiran 6a. Form uji ranking hedonik-atribut………... 80

Lampiran 6b. Form uji rating hedonik-atribut………... 80

Lampiran 7a. Rekapitulasi data hasil uji ranking hedonik-atribut………. 81

Lampiran 7b. Hasil analisis sidik ragam uj ranking hedonik-atribut dengan Friedman Test……….. 82

Lampiran 8a. Rekapitulasi data hasil uji rating hedonik (rasa, tekstur, aroma, warna)... 83

Lampiran 8b. Hasil analisis sidik ragam uji rating hedonik atribut rasa menggunakan metode ANOVA dan uji lanjut Duncan Test……… 86

Lampiran 8c. Hasil analisis sidik ragam uji rating hedonik atribut tekstur menggunakan metode ANOVA dan uji lanjut Duncan Test………. 88

Lampiran 8d. Hasil analisis sidik ragam uji rating hedonik atribut aroma menggunakan metode ANOVA dan uji lanjut Duncan Test……….. 90

Lampiran 8e. Hasil analisis sidik ragam uji rating hedonik atribut warna menggunakan metode ANOVA dan uji lanjut Duncan Test……….. 92

Lampiran 9a. Rekapitulasi data hasil analisis proksimat-kadar air (metode gravimetri)………... 94

Lampiran 9b. Rekapitulasi data hasil analisis proksimat-kadar abu (metode pengabuan)……….. 94

Lampiran 9c. Rekapitulasi data hasil analisis proksimat-kadar protein (metode Kjheldal)……….. 94

Lampiran 9d. Rekapitulasi data hasil analisis proksimat-kadar lemak (metode soxhlet)………... 95

Lampiran 9e. Rekapitulasi data hasil analisis proksimat-kadar karbohidrat (metode by difference)………... 95

(14)

xiv

Lampiran 10a. Rekapitulasi data luas area kromatogram kurva standar isoflavon

(daidzein)………....………. 96

Lampiran 10b. Rekapitulasi data luas area kromatogram kurva standar isoflavon (genistein)……… 96

Lampiran 11a. Rekapitulasi data hasil uji isoflavon bebas (daidzein)……… 97

Lampiran 11b. Rekapitulasi data hasil uji isoflavon bebas (genistein)………... 97

Lampiran 12a. Rekapitulasi data hasil uji total isoflavon (daidzein)………... 98

(15)

xv

DAFTAR SIMBOL

d : ketebalan tempe (cm) T : suhu sterilisasi (oC) Fo : nilai sterilitas (menit) Tr : suhu retort (oC)

tp : waktu operator - waktu sejak suhu retort mencapai suhu proses diinginkan sampai suplai uap dihentikan (menit)

tB : waktu proses berdasarkan metode Ball (menit)

fh : waktu yang diperlukan kurva penetrasi panas melewati 1 siklus log pada fase pemanasan

L : tingkat kecerahan SD : standar deviasi SEM : standard error of mean FP : faktor pengenceran

m : massa (gram)

FK : faktor koreksi

TC : termokopel

(16)

1

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tempe merupakan produk pangan khas Indonesia yang diolah dengan fermentasi kedelai menggunakan kapang, terutama Rhizopus oligosporus. Secara umum tempe mempunyai ciri berwarna putih karena pertumbuhan miselium kapang yang menghubungkan antar biji-biji kedelai sehingga terbentuk tekstur yang kompak. Terjadinya degradasi komponen-komponen kedelai oleh kapang selama fermentasi menyebabkan timbulnya flavor tempe yang khas (Syarief et al. 1999). Pada tahun 2007, konsumsi tempe di Indonesia mencapai 21.70 g/kap/hari atau 7.90 kg/kapita/tahun (Hardinsyah 2008).

Salah satu keunggulan yang dimiliki tempe kandungan gizi dan senyawa organik di dalamnya yang cukup lengkap serta bermanfaat bagi kesehatan dan dapat diperoleh dengan harga relatif lebih rendah, dibanding produk kedelai lain yang dikenal masyarakat dunia (Syarief et al. 1999). Sebagai bahan makanan, tempe merupakan sumber protein yang nilainya setara dengan daging (Sarwono 2002), sehingga tempe banyak dimanfaatkan oleh golongan vegetarian sebagai pengganti daging. Seratus gram tempe segar mengandung 18.30 gram protein, sebagai perbandingan, 100 gram daging mengandung 18.80 gram protein dan 100 gram telur mengandung 12.20 gram protein (Sarwono 2002). Selain kaya akan protein, tempe merupakan sumber gizi yang baik karena banyak mengandung asam amino esensial, asam lemak esensial, vitamin B kompleks dan serat (Prihatna 1991). Tempe juga memiliki manfaat fungsional karena mengandung isoflavon yang merupakan antioksidan yang sangat diperlukan tubuh dalam menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas.

Potensi tempe yang begitu besar tentu saja menjadikan tempe sebagai produk yang memiliki peluang besar sebagai pangan lokal yang memiliki nilai jual tinggi. Hanya saja kendala umur simpan dan mutu menjadi faktor pembatas. Selama ini, penanganan dan konsumsi terhadap tempe kebanyakan berupa tempe segar. Hal ini dikarenakan tempe tergolong dalam bahan pangan yang mudah rusak (Koswara 1992) dan mempunyai keterbatasan daya simpan yang tidak lama, yaitu sekitar 72 jam pada suhu kamar (Kasmidjo 1996). Tempe segar dapat disimpan selama satu sampai dua hari pada suhu ruang dan setelah dua hari, tempe akan mengalami penyimpangan baik aroma, tekstur, rasa, dan penampakan, sehingga sudah tidak dapat diterima lagi oleh konsumen (Saputra 2006). Hal ini menyebabkan ketersediaan tempe yang tak merata dan terbatas dalam suatu daerah tertentu (Subagio et al. 2002).

Kerusakan yang terjadi pada tempe terutama disebabkan oleh fermentasi yang berkelanjutan. Selama fermentasi akan terjadi degradasi protein, semakin lama proses fermentasi berlangsung, protein akan terdegradasi oleh enzim-enzim proteolitik menghasilkan amoniak (NH3). Produksi amoniak akan berkorelasi positif dengan pembentukan senyawa basa, akibatnya pH meningkat dan akhirnya menghasilkan bau busuk. Hal ini menyebabkan tempe tidak layak lagi untuk dikonsumsi (Saputra 2006).

Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya penurunan mutu karena proses fermentasi berkelanjutan dalam penelitian ini digunakan proses termal untuk menghentikan fermentasi. Penerapan proses termal juga bertujuan untuk membunuh mikroba perusak dan patogen, menginaktivasi enzim perusak, memperbaiki mutu sensori, menyebabkan perubahan daya cerna makanan, menghancurkan komponen-komponen yang tidak diperlukan seperti tripsin inhibitor, dan memperpanjang masa simpan tempe yang pendek (Kusnandar 2006). Proses termal adalah aplikasi panas pada bahan pangan tertentu untuk memperpanjang umur simpan serta

(17)

2

memperbaiki sifat fisik dan sensori bahan pangan tersebut. Hackler et al. (1964) menyatakan nilai nutrisi tempe relatif tidak berubah oleh proses panas dengan media uap. Dengan demikian proses termal seperti sterilisasi uap diharapkan dapat menjadi metode yang tepat untuk memperpanjang umur simpan tempe karena proses termal dapat menginaktivasi sejumlah mikroba penyebab kerusakan. Selain itu diharapkan pula dengan diberikannya beberapa perlakuan nilai Fo, pengaturan medium dan ketebalan tempe, dapat diperoleh tempe dalam kemasan kaleng yang memiliki sifat fisik dan sensori yang baik dengan umur simpan yang panjang. Umur simpan yang panjang dapat menjadi added value dari tempe dan membuka peluang bagi masyarakat Indonesia untuk memperkenalkan pangan indigenous dalam negeri ke pasar internasional.

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh tingkat sterilitas (Fo) yang diperoleh dari berbagai kombinasi suhu dan waktu proses, jenis medium dan ketebalan tempe terhadap parameter fisik tempe kaleng. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat pengaruh kombinasi perlakuan sterilisasi yang dilakukan terhadap kandungan gizi dan kadar isofavon tempe sterilisasi.

(18)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. TEMPE

Tempe adalah produk pangan tradisional Indonesia hasil fermentasi oleh kapang Rhizopus sp. Selama fermentasi, Rhizopus sp akan menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks dalam kedelai menjadi senyawa yang lebih mudah dicerna oleh manusia. Hal ini menyebabkan tempe memiliki daya cerna dan asam amino esensial yang relatif lebih tinggi, serta zat antinutrisi seperti tripsin inhibitor dan asam fitat yang lebih rendah dari yang terdapat dalam kedelai (Syarief et al. 1999). Adanya enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe menyebabkan protein, lemak dan karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah dicerna oleh tubuh dibandingkan yang terdapat dalam kedelai.

Menurut Standar Nasional Indonesia (1992), tempe kedelai adalah produk makanan hasil fermentasi biji kedelai oleh kapang tertentu, berupa padatan kompak dan berbau khas serta berwarna putih atau sedikit keabu-abuan. Syarat mutu tempe kedelai menurut SNI 01-3144-1992 dapat dilihat di Tabel 1.

Tabel 1. Syarat mutu tempe kedelai

No Parameter Satuan Persyaratan

1 Keadaan • Bau • Warna • Rasa - - -

normal khas tempe normal normal 2 Air , b/b % maks. 65.00 3 Abu, b/b % maks. 1.50 4 Protein (N x 6.25), b/b % min. 20.00 5 Lemak, b/b % min. 10.00

6 Serat kasar, b/b % min. 2.50

7 Mikroba • E. coli • Sallmonnella APM/g per 25 g maks. 10 negatif 8 Cemaran logam • Timbal (Pb) • Tembaga (Cu) • Seng (Zn) • Timah (Sn) • Raksa (Hg) mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg maks. 2.00 maks. 30.00 maks. 40.00 maks. 40.00/250.00 maks. 0.03

9 Cemaran Arsen mg/kg maks. 1.00

Sumber : SNI 01-3144-1992

B. KANDUNGAN GIZI TEMPE

Menurut Sudigbia (1996), sifat tempe yang menguntungkan sebagai bahan makanan antara lain:

a. Kandungan protein baik tempe maupun kedelai sangat lengkap, mengandung delapan macam asam amino esensial.

b. Kandungan vitamin B12 yang tinggi

c. Kandungan lemak jenuh dan kolesterol yang rendah

(19)

4

Selain kaya akan protein, tempe merupakan sumber gizi yang baik karena banyak mengandung asam amino esensial, asam lemak esensial, vitamin B kompleks dan serat (Prihatna 1991). Tempe kedelai mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi, yaitu protein sekitar 19.50%, lemak sekitar 4.00%, karbohidrat 9.40%, vitamin B12 3.00-5.00 mg/100g tempe, mineral kalsium 3.00%, dan fosfor 6.00% (Sarwono 2002). Komposisi zat gizi tempe dapat dilihat pada Tabel 2.

Tempe mengandung protein yang lengkap karena terdiri atas delapan macam asam amino esensial. Koswara (1992) menyatakan bahwa lisin merupakan asam amino yang paling banyak ditemui di tempe sedangkan asam amino metionin merupakan asam amino pembatas pada tempe (Syarief et al. 1999). Dari total protein dalam tempe, 56%-nya dapat dimanfaatkan oleh manusia. Tiap 100 g tempe menyumbang protein sekitar 10.90 g protein.

Tabel 2. Komposisi zat gizi tempe dalam 100 g bahan yang dapat dimakan (bdd) dan 100 g bahan kering

Komposisi

Proksimat Satuan Bdd Kering Bahan

Air g 55.30 0.00 Abu g 1.60 3.60 protein g 20.70 46.50 Lemak g 8.80 19.70 Karbohidrat g 13.50 30.20 Serat g 3.20 7.20 Mineral Kalsium mg 155.10 347.00 Fosfor mg 323.60 724.00 Besi mg 4.0 9.00 Vitamin Tiamin μg 0.12 0.28 Riboflavin μg 0.29 0.65 Niasin μg 1.13 2.52 As. Pantotenat μg 232.40 520.00 Piridoksin μg 44.70 100.00 Vitamin B12 μg 1.70 3.90 Biotin μg 23.70 53.00

Sumber : Hermana et al. 2001

Selama fermentasi, banyak bahan dalam kedelai menjadi bersifat lebih larut dalam air dan lebih mudah dicerna (Koswara 1992). Kadar protein dalam kedelai selama fermentasi relatif tidak banyak berubah, tetapi jumlah nitrogen yang larut meningkat 0.50-2.50%. Jumlah asam amino bebas meningkat 1-85 kali dari kedelai yang tidak difermentasikan setelah 48 jam (Karyadi 1985). Selain protease, tempe juga menghasilkan lipase yang menyebabkan lemak terhidrolisis selama fermentasi. Wegenknecht et al. (1961) menyatakan bahwa asam linolenat menurun jumlahnya dan bilangan asam naik menjadi 50-70 kali. Rhizopus oligosporus umumya menggunakan asam lemak sebagai sumber energi (Nout dan Rambots 1990). Kadar pati selama fermentasi menurun drastis hingga 74% dan dapat membentuk senyawa-senyawa karbohidrat yang tidak teridentifikasi. Sementara kenaikan serat sebesar 5.85% terjadi akibat miselium cendawan yang mengandung serat (Steinkraus et al. 1960).

Selama fermentasi, terdapat beberapa perubahan kandungan gizi tempe antara lain pH tempe mengalami peningkatan dari pH 5.0 menjadi 7.6. Kenaikan pH ini terjadi akibat adanya pertumbuhan kapang yang cepat. Tempe yang berkualitas baik memiliki pH pada kisaran 6.3 hingga 6.5 (Steinkraus et al. 1960). Peningkatan pH akan meningkatkan kelarutan protein tempe. Fermentasi kedelai dalam pembuatan tempe juga mengakibatkan terjadinya degradasi

(20)

5

faktor anti nutrisi (Bates dan Schmidt 2002) dan perubahan pada persentase vitamin tempe, khususnya vitamin B kecuali B1.

Selama fermentasi, kapang tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan asam fitat menjadi fosfor dan inositol. Asam fitat adalah senyawa anti nutrisi yang dapat mengikat beberapa mineral dalam tubuh (Pawiroharsono 1996). Asam fitat berkurang sekitar 30% dari kedelai sebelum fermentasi.

Tempe mengandung isoflavon yang merupakan antioksidan yang sangat diperlukan tubuh dalam menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas. Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan, sehingga sangat reaktif dan dapat menyebabkan tumor, kanker, penuaan, dan kematian sel. Isoflavon adalah senyawa flavanoid (salah satu anggota senyawa polifenol) dan merupakan salah satu golongan senyawa metabolit sekunder yang banyak terdapat pada tanaman, khususnya dari golongan Leguminoceae (Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM 2004).

Secara umum struktur senyawa isoflavon mirip dengan struktur estrogen serta memiliki sifat dan peranan mirip estrogen. Oleh sebab itu, isoflavon seringkali disebut sebagai fitoestrogen, yaitu senyawa yang memiliki aktivitas estrogenik yang berasal dari tanaman (Winarsi 2002 dan Muchtadi 2010).

Namun demikian, asupan isoflavon ke dalam tubuh juga harus diperhatikan jumlahnya. Dua kekhawatiran utama yang berpotensi sebagai dampak negatif dari isoflavon adalah konsumsi isoflavon yang tinggi oleh bayi dari formula berbasis kedela (Setchell et al. 1999; Whitten dan Naftolin 1998) dan kemungkinan gangguan reproduksi pada organisme dewasa yang memiliki asupan isoflavon yang tinggi (Whitten et al. 1995). Konsumsi isoflavon yang berlebihan juga diyakini dapat memberikan pengaruh negatif secara farmakokinetika (Winarsi 2002). Namun demikian tidak ada bukti langsung yang menunjukkan dampak negatif dari isoflavon pada manusia (Chang 2002).

Kacang-kacangan, khususnya kedelai, merupakan sumber utama isoflavon bagi manusia. Kedelai mengandung 12 macam isoflavon dan didominasi oleh bentuk glukosida. (Muchtadi 2010). Anderson dan Wolf (1995) menyatakan kedelai mengandung dua jenis isoflavon utama yaitu genistein dan daidzein, ditambah satu jenis isoflavon minor yaitu glistein. Tempe juga mengandung antioksidan faktor II (6,7,4’-trihidroksi-isoflavon) yang aktivitasnya sangat kuat (Syarief et al. 1999). Menurut Hendrich et al. (1998), kandungan isoflavon dalam kedelai berkisar antara 1.00-3.00 mg/g dan pada produk olahannya berkisar antara 0.025- 3.00 mg/g.

Komponen utama isoflavon kedalai yaitu genistein, daidzein, dan glisitein menunjukkan efek hipokolesterolemik pada hewan maupun manusia. Di samping itu, isoflavon kedelai juga menunjukkan efeknya sebagai antioksidan pada arteri jantung (Lichtenstein 1998). Konsumsi isoflavon sebanyak 45 mg/orang/hari mampu memodulasi sistem endokrin pada siklus menstruasi wanita postmenopause (Cassidy et al. 1994).

Pengolahan produk tempe dengan penggorengan mengurangi nilai nutrisi dari tempe, sedangkan pengolahan panas dengan uap seperti pengukusan tidak terlalu mempengaruhi

kandungan nutrisi pada tempe (Hackler et al. 1964). Tempe mentah mengandung 26.00 ± 6.00 mg daidzein (Da) dan 28.00 ± 11.00 mg genestein (Ge) sementara tempe goreng

mengandung 35.00 ± 11.00 mg Da dan 31.00 ± 11.00 mg Ge dalam 100 g (basis basah). Total

kandungan isoflavon dalam 100 g tempe mentah, berdasarkan basis kering adalah 205.00 ± 56.00 mg dan secara signifikan berkurang menjadi 113.00 ± 41.00 mg dalam 10 g tempe goreng (Haron et al. 2009).

(21)

6

C.

MUTU TEMPE

Karakteristik dan mutu tempe kedelai selain dipengaruhi oleh teknologi prosesnya juga ditentukan oleh jenis dan mutu kedelai serta mikroba yang digunakan. Ketiga faktor tersebut bersama-sama menentukan karakteristik mutu fisik, organoleptik, dan kimiawi (komposisi dan nilai gizi). Tempe yang bermutu tinggi masih berwarna putih, belum terbentuk spora kapang yang berwarna abu-abu kehitaman dan aroma amoniak (Syarief et al. 1999). Sifat fisik tempe yang biasa dijadikan parameter mutu antara lain kekompakan, daya iris, daya iris dan kelenturan.

Mutu tempe yang kurang baik sering disebabkan oleh faktor pertumbuhan kapang pada tempe, seperti oksigen, suhu, jenis laru, dan nilai pH (derajat keasaman). Oksigen memang diperlukan untuk pertumbuhan kapang, tetapi oksigen berlebih dapat menyebabkan metabolisme berlebihan dan peningkatan suhu sehingga kapang menjadi mati. Kapang tempe bersifat mesofilik (tumbuh pada suhu 25-30 ˚C). Kondisi yang kurang asam juga menyebabkan pembuatan tempe mengalami kegagalan (Syarief et al. 1999).

D. PENGAWETAN TEMPE

Beberapa teknik pengawetan tempe menurut Shurtleff dan Aoyagi (1980) antara lain, yaitu (1) penyimpanan suhu dingin, bisa memperpanjang umur simpan maksimal satu minggu, (2) pembekuan, (3) blansir, merupakan perlakuan pendahuluan sebelum penyimpanan suhu rendah maupun pembekuan, yang bertujuan untuk inaktivasi enzim, menghambat pertumbuhan kapang dan menurunkan jumlah bakteri, (4) pengeringan, (5) pengeringan beku (freeze drying) dilakukan dengan cepat, (6) pengeringan semprot (spray drying), (7) penggorengan dan (8) pengalengan.

Salah satu cara untuk meningkatkan daya simpan tempe adalah dengan cara pembekuan dan pengalengan. Tempe yang akan dibekukan diproses dengan blansir terlebih dahulu selama 5 menit dalam air mendidih untuk menginaktifkan kapang, enzim proteolitik, dan lipolitik. Tempe tersebut dapat bertahan hingga 100 hari. Tempe yang dikalengkan mampu bertahan hingga 10 minggu (Suhendri 2009). Tahap-tahap pengalengan tempe antara lain persiapan bahan, pengisian (filling), exhausting dan penutupan, processing dan pendinginan (Koswara 1992). Teknik baru untuk meningkatkan umur simpan tempe adalah dengan menunda proses fermentasi.

E. PROSES TERMAL

Proses termal merupakan salah satu cara untuk memusnahkan mikroba selain cara irradiasi, tekanan osmotik tinggi, listrik bertegangan tinggi, kombinasi ultrasonik, panas, dan tekanan (Sala et al. 1995). Menurut Hariyadi (2000), beberapa keuntungan proses termal antara lain:

1. Terbentuknya tekstur dan citarsa yang khas dan disukai

2. Rusak atau hilangnya beberapa komponen anti gizi (misalnya inhibitor antitripsin pada kedelai)

3. Peningkatan ketersediaan beberapa zat gizi, misalnya peningkatan daya cerna protein dan karbohidrat

4. Terbunuhnya mikroba sehingga meningkatkan keamanan dan keawetan pangan 5. Menyebabkan inaktifnya enzim-enzim perusak, sehingga mutu produk lebih stabil

(22)

7

Berdasarkan pada kriteria suhu, waktu, dan tujuan pemanasan, maka proses pemanasan dapat dibagi menjadi beberapa operasi, antara lain proses blansir (blanching), pasteursisasi dan sterilisasi.

Blansir adalah perlakuan panas pendahuluan yang sering dilakukan pada proses pengalengan dengan tujuan memperbaiki mutunya sebelum dikenai proses lanjutan. Proses blansir bertujuan untuk (a) membersihkan jaringan dan mengurangi jumlah mikroba awal, (b) meningkatkan suhu produk atau jaringan, (c) mengeluarkan udara dalam jaringan, (d) menginaktivasi enzim, (e) menghilangkan rasa mentah, (f) mempermudah proses pemotongan, (g) mempermudah pengupasan, (h) memberikan warna yang dikehendaki, dan (i) mempermudah pengaturan produk dalam kaleng (Kusnandar et al. 2006).

Pasteurisasi merupakan proses perlakuan panas yang membunuh sebagian besar sel vegetatif mikroba yang terdapat di dalam makanan. Selain untuk membunuh mikroba patogen dan mikroba lain yang tidak diinginkan, pasteurisasi juga bertujuan untuk memperpanjang umur simpan dengan cara meminimumkan perubahan cita rasa dan sifat-sifat fisiknya.

Sterilisasi adalah proses termal pada suhu di atas 100 oC dalam waktu yang cukup untuk membunuh spora bakteri (Syarief et al. 1989). Karena beberapa spora bakteri relatif lebih tahan panas, sterilisasi biasanya dilakukan pada suhu yang tinggi misalnya 121 oC (250 oF) selama 15 menit. Proses sterilisasi merupakan metode yang banyak digunakan dalam pengawetan bahan pangan yang bertujuan untuk membunuh mikroba yang ada di dalamnya, sehingga dapat mencegah pembusukan selama penyimpanan dan bahan pangan tersebut tidak membahayakan bagi kesehatan konsumen.

Sterilisasi komersial adalah sterilisasi yang biasanya dilakukan terhadap sebagian besar makanan di dalam kaleng, plastik, atau botol. Makanan yang steril secara komersial berarti semua mikroba penyebab penyakit dan pembentuk racun (toksik) dalam makanan tersebut telah dimatikan, demikian juga semua mikroba pembusuk. Spora bakteri non patogen yang tahan panas mungkin saja masih ada di dalam makanan setelah proses pemanasan, tetapi bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif bereproduksi), sehingga keberadaannya tidak membahayakan jika produk tersebut disimpan dalam kondisi normal (Hariyadi 2000). Makanan-makanan yang steril komersial biasanya mempunyai daya awet dan daya simpan yang tinggi, tahan beberapa bulan sampai beberapa tahun.

Kondisi proses sterilisasi komersial sangat bergantung pada berbagai faktor, antara lain kondisi produk pangan yang disterilisasi (nilai pH, jumlah mikroba awal, dan lain-lain), jenis dan ketahanan panas mikroba yang ada dalam bahan pangan, karakteristik pindah panas pada bahan pangan dan wadah yang digunakan, medium pemanas, serta kondisi penyimpanan setelah disterilisasi. Produk pangan yang mengalami sterilisasi dan dikombinasikan dengan kemasan kedap udara dapat mencegah terjadinya rekontaminasi (Kusnandar et al. 2006).

Menurut Reuter (1993), kerusakan mutu bahan pangan selama proses sterilisasi rendah ketika bahan pangan tersebut diberi perlakuan suhu yang tinggi dalam waktu yang singkat. Penentuan waktu dan suhu sterilisasi dipengaruhi oleh kecepatan perambatan panas, keadaan awal produk (pH, dimensi produk, dan jumlah mikroba awal), wadah yang digunakan, dan ketahanan panas mikroba atau spora. Setiap partikel dari makanan harus menerima jumlah panas yang sama. Kombinasi waktu dan suhu yang diberikan pada produk yang disterilisasi harus cukup untuk mematikan mikroba patogen dan mikroba pembusuk.

Keberhasilan penuh dari proses pengolahan yang melibatkan panas pada produk pangan adalah terpenuhinya kecukupan panas untuk inaktivasi mikroba yang menyebabkan kebusukan dan keracunan. Untuk itu perlu diketahui sejauh mana ketahanan mikroba terhadap panas untuk

(23)

8

dapat tercapai pada kombinasi suhu dan waktu yang tepat (Holdsworth 1997). Nilai pH makanan merupakan faktor yang penting dan kritis dalam menentukan besarnya pengolahan dengan panas yang dibutuhkan untuk menjamin tercapainya sterilisasi komersial. Di atas pH 4.6, bakteri pembusuk anaerobik dan pembentuk spora yang patogen, seperti C.botulinum dapat tumbuh. Beberapa spora bakteri dapat tumbuh sampai kira-kira pH 3.7, seperti B.thermoacidurans atau B.coagulans. Bahan pangan dengan nilai pH di bawah 3.7 tidak rusak oleh bakteri berspora (Fardiaz 1992).

Kecukupan proses panas tergantung pada kondisi alami produk, pH, mikroba atau enzim yang resisten, sensitivitas produk, dan tipe aplikasi panas (Fellows 2000). Kecukupan panas dapat diperoleh dengan memberikan perlakuan panas pada suhu yang lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat, atau sebaliknya. Sejak saat itu dan selanjutnya percobaan dan perhitungan kecukupan panas dijadikan dasar dalam penetapan proses pengalengan pangan (schedule process).

F. PERHITUNGAN KECUKUPAN PANAS

Kemampuan sterilisasi dari proses pemanasan bergantung pada karakteristik nilai z mikroba dan suhu sterilisasi. Simbol F biasanya digunakan untuk menunjukkan nilai sterilisasi. Nilai F dengan z =18 oF biasa disebut dengan Fo, karena nilai z =18 oF sangat umum digunakan untuk spora khususnya dari jenis C.botulinum. Nilai sterilisasi adalah dasar penentuan matematika untuk kecukupan proses panas. Nilai ini dapat dihitung dengan persamaaan :

F = ∫ Lr dt ………….(1) Lr = ∫ 10 (Tr-Tref)/z ...(2) Dimana : Tr = suhu referensi (oC) T(t) = suhu produk (oC) z = faktor kinetik

Suhu makanan (To) dapat ditentukan melalui eksperimen, empiris, dan teori (Heldman dan Singh, 2001). Perhitungan penetrasi panas didapat dengan menggunkan metode trapesium. Nilai F parsial merupakan bentuk dari luas bidang trapesium pada grafik suhu dan waktu. Berikut adalah metode perhitungan penetrasi panas:

F = (Lr(n) + Lr(n-1)) x ∆t ………..(3) 2

Lr(n) = Lethal rate pada menit ke-n

Lr(n-1) = Lethal rate pada n menit sebelumnya ∆t = rentang perubahan waktu yang digunakan

Hasil penjumlahan nilai Fo parsial ini menunjukkan nilai sterilisasi total (Fo total) dari proses yang dilakukan. Berikut adalah metode perhitungannya:

Fo = ׬ ሺܮܴሻ݀ݐ௧ ………….(4) Fo = ∑ (Lr(n) + Lr(n-1)) x ∆t …(5)

2

Fo = nilai sterilisasi pada suhu 250 oF (121.1 oC) bagi mikroba yang punya nilai z tertentu

(24)

9

mengamati nilai T

T = suhu pengamatan pada waktu tertentu LR = 10 (Tr-Tref)/z adalah nilai lethal rate

Nilai sterilitas (FT) pada suhu lain dihitung dengan menggunakan metode perhitungan sebagai berikut:

Logி௢ி் = ்ି்ோ ………….(6) Fo = FT10 (Tr-Tref)/z....(7)

Metode umum adalah metode yang paling teliti dalam perhitungan proses termal karena data suhu bahan hasil pengukuran dalam percobaan langsung digunakan dalam perhitungan tanpa asumsi dan prediksi berdasarkan persamaan hubungan suhu dengan waktu. Dalam perhitungan kecukupan panas dengan metode formula, digunakan parameter-parameter yang diperoleh dari data penetrasi panas dan prosedur-prosedur matematik untuk mengintegrasikan lethal effects. Metode umum biasa digunakan untuk mengevaluasi kecukupan panas dari proses sterilisasi yang telah dilakukan, tidak biasa digunakan untuk merancang proses termal. Metode formula biasa digunakan untuk merancang sebuah proses sterilisasi. (Subarna et al. 2008). Metode formula dinilai sebagai metode untuk menghitung kecukupan panas yang lebih baik dibanding metode umum karena parameter-parameter yang digunakan mampu memberikan data kecukupan panas yang lebih akurat.

(25)

10

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah tempe kedelai yang diproduksi oleh produsen sesuai dengan ketebalan yang telah ditentukan (1, 3, 5 cm) lalu dipotong dengan bentuk kubus dengan volume tempe 1, 27, dan 125 cm3. Bahan yang digunakan untuk pembuatan medium pengalengan tempe berupa air, garam, dan minyak. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis antara lain adalah air destilata, K2SO4, HgO, Na2S2O3, H2SO4, H3BO3, HCl, indikator PP, asetonitril. amonium asetat, metanol.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah retort vertikal dengan kapasitas air 80 L, thermocouple, thermorecorder, kaleng, neraca digital, termometer. Alat-alat yang digunakan dalam analisis adalah Texture Analyzer, HPLC (High Performance Liquid Chromatography) dengan kolom C-18 jenis Bondapak (3.9 mm i.d x 30 cm), penetrometer, pH meter, pisau, cawan alumunium, cawan porselen, neraca analitik, oven pengering, Konica Minolta chromameter CR-300, gegep, pinset, batang pengaduk, dan beberapa alat gelas.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dibagi menjadi empat tahap, yaitu: (1) penentuan waktu venting melalui uji distribusi panas, (2) penentuan kombinasi suhu dan waktu sterilisasi melalui uji penetrasi panas, (3) pengalengan tempe, dan (4) analisis produk. Garis besar penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

1. Uji Distribusi Panas (Modifikasi Kusnandar et al. 2009)

Uji distribusi panas dilakukan sebanyak dua kali ulangan dengan menempatkan 10 termokopel pada 10 titik berbeda dalam keranjang di antara kaleng berukuran 301x407 yang diisi dengan air hingga penuh agar tercapai kondisi vakum. Keranjang tersebut kemudian dimasukkan ke dalam retort (hasil modifikasi) di posisi tertentu dalam retort yang diduga lambat menerima panas. Hasil modifikasi lain, retort dioperasikan hingga mencapai setting suhu yang diinginkan, yaitu 117 oC. Perubahan suhu retort selama proses sterilisasi dicatat dengan termorekorder. Uji ini dilakukan untuk mengetahui nilai come-up-time (CUT) selama proses venting dalam retort vertikal dengan kapasitas air sebanyak 80 L yang dapat diisi kaleng berukuran 301 x 407 sebanyak 100 buah sehingga dapat diketahui waktu yang diperlukan untuk venting sampai retort mencapai suhu yang diinginkan. Dari pengukuran distribusi panas ini diperoleh grafik hubungan suhu dan waktu yang menggambarkan pada suhu dan waktu berapa proses venting selesai dilakukan serta posisi titik terdingin dalam retort.

2. Uji Penetrasi Panas (Subarna et al. 2008)

Uji penetrasi panas difokuskan pada titik terdingin dalam retort yang diketahui dari uji distribusi panas. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan termokopel yang dipasang di titik terdingin dari produk, dan dihubungkan dengan termorekorder. Posisi titik terdingin untuk bahan yang mengalami perambatan panas secara konveksi pada kemasan dengan bentuk silindris vertikal, seperti tempe yang dikalengkan, akan berada di titik tengah di 1/3 ketinggian kemasan bagian bawah (Kusnandar et al. 2006). Tempe dengan ketebalan 1, 3,5 cm dipotong menjadi bentuk kubus dengan volume 1, 27, dan 125 cm3. Selanjutnya sebanyak 200 g tempe dimasukkan ke dalam kaleng lalu diisi medium hingga penuh. Kaleng-kaleng tersebut disusun dalam keranjang yang berada di dalam retort lalu retort dioperasikan pada setting suhu yang diinginkan. Retort yang

(26)

Gambar 1. D Dilakukan

volume 1

Dilakuka medium

iagram alir tah n uji penetrasi 1, 27, 125 cm3 minyak de Data kom sterilisa an pengalenga m air, larutan Analisis war Tempe d Analisis Nilai gi ster hap penelitian Uji distribus Data waktu v i panas pada t 3 dalam mediu engan nilai Fo mbinasi suhu ( asi tempe untu

an tempe deng garam 2% , d

kombinas

rna, tekstur, p

dengan sifat fis disuka

proksimat dan

izi dan kadar i rilisasi dan tem

n si panas venting empe dengan um air, larutan 4, 8, dan 12 m (T) dan waktu uk setiap nilai gan ketebalan an minyak den i T, t pH, dan organo

sik yang baik ai n kadar isoflav isoflavon temp mpe mentah d= 1, 3, 5 cm n garam 2% , d menit u (t) Fo 1, 3, 5 cm dal ngan beberap oleptik dan von pe m dan dan lam pa Tem

11

mpe mentah

(27)

12

digunakan adalah retort vertikal dengan kapasitas air sebanyak 80 L dan dapat diisi kaleng berukuran 301 x 407 hingga 100 buah. Suhu produk dan medium selama pemanasan dan pendinginan dicatat dengan termorekorder.

Data penetrasi panas yang diperoleh dari percobaan akan menghasilkan plot hubungan suhu dengan waktu. Data yang diperoleh dari kurva penetrasi panas ini kemudian diolah menggunakan metode umum dan formula sehingga diperoleh karakteristik penetrasi panas dalam pangan yang diproses dan nilai waktu proses berdasarkan nilai Fo yang telah ditentukan berdasarkan konsep 12D yaitu 4, 8, dan 12 menit. Konsep 12D merupakan konsep pemusnahan mikroba target dalam proses pengalengan sebanyak 12 siklus log. Mikroba target dalam proses pengalengan adalah Clostridium botulinum. Kusnandar et al. (2006) menyatakan bahwa kombinasi suhu dan waktu yang digunakan untuk membunuh Clostridium botulinum, mikroba target dalam proses pengalengan, adalah selama 3-4 menit pada suhu 121 oC. Berikut adalah perhitungan nilai Fo parsial dan Fo total berdasarkan metode umum:

F = (Lr(n) + Lr(n-1)) x ∆t ………..(8) 2

Fo = ׬ ሺܮܴሻ݀ݐ௧ ………..(9) Fo = ∑ (Lr(n) + Lr(n-1)) x ∆t ……(10)

2

Lr(n) = Lethal rate pada menit ke-n

Lr(n-1) = Lethal rate pada n menit sebelumnya ∆t = rentang perubahan waktu yang digunakan

Fo = nilai sterilisasi pada suhu 250 oF (121.1 oC) bagi mikroba yang punya nilai z tertentu

∆t = peningkatan atau selang waktu yang digunakan untuk mengamati nilai T

T = suhu pengamatan pada waktu tertentu LR = 10 (Tr-Tref)/z adalah nilai lethal rate

Perhitungan nilai Fo berdasarkan metode formula ditentukan berdasarkan persamaan berikut:

Fo = U x L= (fh x L)/(fh/U)…….(11) L = 10 (Tr-Tref)/z adalah nilai lethal rate

fh = waktu yang diperlukan kurva penetrasi panas melewati 1 siklus log pada fase pemanasan

Nilai waktu proses berdasarkan metode formula ditentukan berdasarkan persamaan berikut:

tB = (fh) log (Jh.Ih/g) ...(12) tB = 0.42 tc + tp…………...(13)

(28)

13

3. Pengalengan Tempe

Sampel tempe yang digunakan untuk pengalengan diperoleh dari produsen tempe di Komplek II IPB Bubulak-Bogor dengan variasi ketebalan 1, 3, dan 5 cm. Tempe disterilisasi sesuai dengan langkah-langkah pengalengan pada Gambar 2

Sebelum dilakukan proses pengalengan tempe, tempe dipotong terlebih dahulu menjadi bentuk kubus dengan volume 1, 27, dan 125 cm3. Selanjutnya, tempe sebanyak 200 g ditambahkan medium hingga penuh dan dimasukkan dalam kaleng.Variasi medium yang digunakan dalam pengalengan tempe adalah air, larutan garam 2%, dan minyak.

Gambar 2. Diagram alir sterilisasi tempe

4. Analisis

a. Tekstur (Faridah et al. 2008)

Pengukuran tekstur tempe dilakukan dengan alat texture analyzer dan penetrometer. Parameter yang diukur untuk mengetahui profil tekstur tempe adalah kekerasan (dengan penetrometer) dan daya iris (dengan Texture Analyzer).

Prinsip pengukuran tekstur bahan pangan dengan penetrometer adalah dengan memberikan gaya tusuk maupun tekan pada bahan pangan dengan beban (gaya) tertentu pada selang waktu tertentu. Semakin dalam jarum penetrometer menusuk contoh maka contoh tersebut semakin lunak teksturnya.

Daya iris adalah kemudahan suatu bahan pangan untuk diiris. Tingkat daya iris diukur berdasarkan parameter gaya yang dibutuhkan untuk melakukan pemotongan sampel. Besarnya gaya untuk memotong sampel adalah gaya maksimum yang dibutuhkan oleh pisau jenis Warner-Bratzler Blade pada texture analyzer untuk

Didinginkan

Tempe dengan berbagai ketebalan

Diblansir (85oC, 15 menit)

Medium (air, minyak, larutan garam 2%)

Disterilisasi (T,t) Diexhausting

Ditutup kalengnya Dimasukan dalam kaleng

(29)

14

memotong sampel tempe dengan jarak pengirisan dari permukaan sejauh 3 cm dan kecepatan pengirisan 1.5 mm/s.

Sampel yang memiliki ukuran dimensi yang seragam (d x d x d cm) diletakkan pada piringan. Plunger diaktifkan dengan menekan TA quick run as test atau tombol Ctrl dan Q pada komputer. Probe akan bergerak ke bawah dan menyentuh permukaan sampel, setelah itu probe akan kembali ke tempat semula. Hasil pengukuran akan terekam dalam bentuk kurva. Pengkuran tingkat kekerasan dan daya iris dilakukan sebanyak dua kali ulangan, masing-masing simplo.

b.

Warna (Faridah et al. 2008)

Pengujian sifat fisik warna dilakukan dengan menggunakan alat Minolta Chroma Meters CR310. Pengukuran warna dilakukan dengan cara mendekatkan kamera pengukur warna pada sampel dan dilanjutkan dengan menekan tombol Target Color Set. Data hasil pengukuran warna L, a, dan b akan tercatat pada alat Paper Sheet. Pengukuran warna dilakukan sebanyak dua kali ulangan, masing-masing simplo.

Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan yang memiliki nilai antara 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai a menunjukkan warna kromatik merah sampai hijau. Nilai + a (positif) mempunyai kisaran 0 sampai 100 untuk warna merah dan nilai – a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Nilai b menunjukkan warna kromatik biru sampai kuning dengan kisaran 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai 0 sampai -70 untuk warna biru.

c. Nilai pH (Apriyantono et al. 1989)

Sebelum pengukuran, pH meter telah dinyalakan dan distabilkan selama 15-30 menit, kemudian dikalibrasi dengan menggunakan larutan buffer pada pH 4 dan pH 7. Elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan kertas pengering.

Contoh yang telah dihaluskan sebanyak 10 gram ditambah dengan 10 ml air destilata dan dicampur sampai merata. Elektroda pH meter kemudian dicelupkan ke dalam sampel dan dibiarkan hingga menunjukkan suatu angka (stabil). Dalam penelitian ini, nilai pH diukur sebanyak dua kali ulangan, masing-masing simplo.

d. Kadar Air (AOAC 2006)

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak ± 2 g dalam cawan (B). Cawan beserta isi dikeringkan dalam oven 100oC selama 6 jam. Cawan dipindahkan ke dalam desikator lalu didinginkan dan ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan (C).

Perhitungan : Kadar Air (% bb) =

(

)

x

100

%

B

A

C

B

⎥⎦

⎢⎣

e. Kadar Abu (AOAC 2006)

Cawan untuk melakukan pengabuan disiapkan kemudian dikeringkan dalam oven selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak ± 3 g dalam cawan (B), kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih atau memiliki berat yang tetap. Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (C).

(30)

15

Perhitungan : Kadar Abu (% bb) =

x

100

%

B

A

C

f. Kadar Lemak (AOAC 2006)

Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A). Ditimbang sebanyak ± 5 g sampel (B) dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator kemudian labu beserta lemak ditimbang (C) dan dilakukan perhitungan kadar lemak.

Perhitungan : Kadar Lemak (%) =

x

100

%

B

A

C

g. Kadar protein total (AOAC 1995)

Sampel sebanyak ± 100-250 mg dimasukkan kedalam labu Kjeldahl, ditambah dengan 1 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO dan 2 ± 0.1 ml H2SO4 pekat. Sampel didestruksi selama 30 menit sampai cairan jernih. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi dan dibilas 5-6 kali dengan air destilata sebanyak 1-2 ml dan ditambahkan 8-10 ml campuran larutan 60 % NaOH-5 %Na2S2O3. labu tadi disambungkan dengan alat destilasi dan kondensor yang telah dilengkapi dengan penampung yang berisi larutan H3BO3. Destilasi dilakukan sampai volume destilat menjadi 15 ml kemudian dititrasi dengan NaOH 0.1N sampai larutan menjadi kuning (titik akhir).

Kadar protein = Total Nitrogen (%) x faktor konversi Ket : faktor konversi = 6.25

h. Kadar Karbohidrat (by difference)

Karbohidrat dihitung berdasarkan metode by difference dengan perhitungan : Kadar Karbohidrat (%) = 100% - (P + A + Ab +L)

Ket : P = kadar protein (% bb) A = kadar air (% bb) Ab = kadar abu (% bb) L = kadar lemak (% bb)

i. Uji Organoleptik (Soekarto 1985)

Penilaian mutu organoleptik tempe yang disterilisasi dilakukan dengan metode penerimaan rating dan ranking hedonik terhadap 30 panelis semi terlatih. Form uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 6a dan Lampiran 6b. Uji rating hedonik dilakukan untuk menilai kesukaan panelis terhadap atribut mutu tertentu dari tempe. Kriteria mutu organoleptik yang dianalisis adalah warna, rasa, aroma, tekstur dan atribut secara keseluruhan dari tempe yang telah diproses. Dari skala 1 sampai 4, nilai 1 diberikan untuk atribut yang paling penting pada produk tempe sterilisasi dan nilai 4 untuk atribut yang paling kurang penting pada produk tempe sterilisasi.

(

)

14,007 100 (%) x sampel gram x HCL N x blanko ml HCL ml Nitrogen Total ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ − ⋅ = ⋅

(31)

16

Selain itu, digunakan juga uji ranking hedonik untuk membandingkan atribut mutu mulai dari yang terpenting sampai yang tidak dari produk tempe yang disterilisasi. Hasil rekapitulasi data uji rating hedonik yang diperoleh tersebut kemudian diolah dengan SPSS 15 dengan metode ANOVA dilanjutkan dengan uji lanjutan Duncan Test sementara rekapitulasi data hasil uji ranking atribut diolah dengan Friedman Test. Tingkat persepsi panelis untuk uji rating hedonik digambarkan berdasarkan skor sebagai berikut: 5 = sangat suka, 4 = suka, 3 = netral, 2 = tidak suka, dan 1 = sangat tidak suka.

j. Kadar Isoflavon (Wang et al. 1990)

1) Pembuatan Kurva Standar Isoflavon

Standar isoflavon yang tersedia diencerkan dengan fase gerak yang digunakan dalam HPLC (metanol dan amonium asetat dengan perbandingan 6:4 (v:v). Variasi konsentrasi standar yang digunakan adalah 0.002, 0.010, 0.020, 0.050, 0.100, 0.140, 0.200 μg. Standar kemudian diinjekkan ke dalam HPLC agar diperoleh kurva standar isoflavon.

2) Persiapan Sampel

a) Isoflavon Bebas

Sampel sebanyak 20.0 g diblender dengan 60 HCl 1 M dengan kecepatan tinggi lalu diambil 8 g sampel dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 50 mL. Selanjutnya ditambahkan 24 mL asetonitril dan diaduk selama kurang lebih 1 menit lalu didiamkan selama beberapa menit hingga terbentuk endapan. Sebanyak 1 mL supernatan diambil dan ditambahkan dengan H2O lalu disaring dengan filter glass fiber Gelman tipe A/E ukuran 13 mm. Sampel siap untuk dianalasis dengan HPLC.

b) Total Isoflavon

Sampel sebanyak 2.0 g dicampur dengan 24 mL HCl 1 M di dalam erlenmeyer 150 mL lalu dipanaskan dalam waterbath selama 2 jam pada suhu 98-100 oC. Setelah didinginkan, sampel kemudian ditambah dengan 96 mL asetonitril dan diaduk selama 1 menit. Setelah didiamkan beberapa menit hingga terbentuk endapan, diambil sebanyak 1 mL supernatan diambil dan ditambahkan dengan H2O lalu disaring dengan filter glass fiber Gelman tipe A/E ukuran 13 mm. Sampel siap untuk dianalasis dengan HPLC.

3) Analisis HPLC

Analisis HPLC dilakukan dengan menggunakan kolom C-18 jenis Bondapak (3.9 mm i.d x 30 cm). Detektor yang digunakan ada 2 yaitu, detektor UV pada panjang gelombang 254 nm dan detektor fluorosens pada panjang gelombang 365 nm (eksitasi) dan 418 nm (emisi). Fase gerak yang digunakan adalah metanol dan amonium asetat dengan perbandingan 6:4 (v:v) yang dialirkan dengan kecepatan sebesar 1 mL per menit. Sebanyak 20 µL sampel disuntikkan ke dalam kolom. Jenis senyawa isoflavon yang dapat diidentifikasi adalan genistein, daidzein. Penentuan kadar isoflavon ditentukan berdasarkan kurva standar isoflavon yang telah dibuat sebelumnya.

(32)

17

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENENTUAN WAKTU VENTING RETORT

Waktu venting adalah waktu yang diperlukan untuk mengeluarkan seluruh udara dari dalam retort sehingga suhu dalam retort telah tersebar secara merata. Waktu venting ditentukan berdasarkan uji distribusi panas. Uji distribusi panas dilakukan dengan menempatkan sejumlah termokopel pada sejumlah titik berbeda di dalam retort. Seluruh termokopel yang digunakan dalam penelitian ini telah dikalibrasi sebelumnya. Persamaan kalibrasi yang menggambarkan hubungan antara suhu termometer dan termokopel dapat dilihat pada Lampiran 1.

Berdasarkan data hasil uji distribusi panas yang dilakukan, dapat ditentukan kurva hubungan waktu pemanasan dengan suhu retort. Rekapitulasi data hasil uji distribusi panas dapat dilihat pada Lampiran 2. Gambar 3 menunjukkan posisi termokopel dalam retort selama distribusi panas dan Gambar 4 menunjukkan kurva distribusi panas di dalam retort selama proses pemanasan berlangsung.

Gambar 3. Posisi termokopel dalam retort selama uji distribusi panas

Berdasarkan kurva tersebut, tampak bahwa sebelum menit ke-10 suhu retort meningkat secara tajam dan distribusi panas di dalam retort tidak merata. Hal ini ditunjukkan dengan adanya variasi suhu yang beragam pada setiap termokopel yang terpasang dalam retort. Namun demikian, setelah proses pemanasan berlangsung selama 16 menit dan retort telah mencapai suhu 105 oC, peningkatan suhu dalam retort relatif lambat dan suhu termokopel yang terbaca oleh termorekorder relatif seragam. Hal ini berarti distribusi panas dalam retort telah seragam. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa waktu venting yang akan digunakan untuk proses selanjutnya adalah 16 menit dan saat retort telah mencapai suhu 105 oC.

1 4 3 2 7 6 5 10 8 9

(33)

B. PENE

dalam pada G penelit metode diguna dengan diperol lethal e waktu tempe, produk Kurva Lampir Gambar 4. K

ENTUAN S

Kecepatan p kaleng yang Gambar 2. Me

tian ini adalah e yang meng akan dalam pe n waktu. Dalam

leh dari data effects (Subar Data penetra dengan suhu , medium dan k dalam berb penetrasi pan ran 3a dan La Gambar 5. K da 0 20 40 60 80 100 120 140 retort  ( oC) T produk ( oC) Kurva distribus

SKEDUL P

enetrasi pana berisi tempe etode penentua h metode um ggunakan dat erhitungan tan m perhitungan penetrasi pan rna et al. 2008 asi panas yang

produk selam suhu proses. agai medium nas dalam ber ampiran 3b. Kurva penetras alam medium 0 1 0 20 40 60 80 100 120 140 0 produk  ( C) si panas di dal

ROSES ST

as selama ster e dan tahap-ta an kombinasi mum dan meto ta suhu baha npa asumsi da n dengan meto nas dan prose 8). g diperoleh d ma proses pen Gambar 5-7 m selama pros rbagai medium i panas tempe air pada suhu

10 20

Waktu (

50

Wakt

lam retort yan

TERILISAS

rilisasi diukur ahap pengalen suhu dan wa ode formula (M an hasil peng an prediksi ber ode formula, d edur-prosedur dari percobaan galengan tem menunjukkan es pengaleng m pada suhu r e kaleng denga u retort 121 oC 0 30 (menit) 100 u (menit) g dipanaskan

SI

r dengan men ngan yang dil aktu sterilisasi Metode Ball) gukuran dalam rdasarkan per digunakan par r matematik u n akan mengh mpe untuk setia kurva hubung gan tempe pad retort 116 dan an berbagai ke C 0 40 150 Tebal hingga suhu 1 ngamati suhu lakukan seper yang digunak . Metode umu m percobaan rsamaan hubun rameter-param untuk mengin hasilkan plot ap kombinasi gan waktu den da suhu retor n 127 oC disaj etebalan temp TC11 TC2 TC3 TC4 TC5 TC6 TC7 TC8 TC9 TC20 1 cm 3 cm 5 cm tempe

18

117 oC u terdingin rti terlihat kan dalam um adalah langsung ngan suhu meter yang tegrasikan hubungan ketebalan ngan suhu rt 121 oC. jikan pada pe

(34)

19

Gambar 6. Kurva penetrasi panas tempe kaleng dengan berbagai ketebalan tempe

dalam medium larutan garam 2% pada suhu retort 121 oC

Gambar 7.Kurva penetrasi panas tempe kaleng dengan berbagai ketebalan tempe dalam medium minyak pada suhu retort 121 oC

Berdasarkan kurva penetrasi panas yang diperoleh, tampak bahwa tempe dengan berbagai ketebalan (1, 3, dan 5 cm) yang dikalengkan dalam berbagai medium (air, larutan garam 2%, dan minyak) pada suhu 116, 121, dan 127 oC memiliki pola peningkatan suhu yang hampir sama. Penentuan suhu 116, 121, dan 127 oC ini sesuai dengan suhu sterilisasi yang biasa digunakan di dalam industri pangan (Fardiaz 1996). Pada awal sterilisasi, suhu produk relatif konstan, relatif sama seperti suhu ruang. Selanjutnya, suhu produk meningkat tajam lalu meningkat lebih lambat sebelum akhirnya mencapai suhu konstan karena telah mencapai suhu proses dan kemudian turun akibat proses pendinginan. Setelah menit ke-40 tempe yang disterilisasi pada suhu 121 oC dalam medium air dan larutan garam mengalami peningkatan suhu yang relatif lambat. Tempe yang disterilisasi pada suhu 121 oC dalam medium minyak mengalami peningkatan suhu yang lebih lambat dibandingkan tempe yang disterilisasi dalam medium air dan larutan garam.

Ketebalan tempe juga berpengaruh pada kecepatan peningkatan suhu produk tempe yang disterilisasi. Hasil percobaan menunjukkan bahwa tempe dengan ketebalan yang lebih kecil memiliki kecepatan penetrasi panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tempe dengan ketebalan yang lebih besar yang lebih lambat menerima panas. Hal ini terkait dengan besarnya energi yang berpindah secara konduksi selama proses sterilisasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk luas permukaan, ketebalan benda di mana panas mengalir, konduktivitas panas, dan besarnya perbedaan suhu di antara kedua sisi tersebut (Kusnandar 2006). Tempe dengan ketebalan lebih besar memerlukan energi yang lebih besar untuk proses pindah panas dibandingkan tempe dengan ketebalan lebih kecil sehingga kecepatan penetrasi panas pada tempe yang lebih tebal cenderung lebih lambat dibandingkan tempe dengan ketebalan yang lebih kecil. Tebal tempe Tebal tempe 0 20 40 60 80 100 120 140 0 50 100 150 produk  ( oC) Waktu (menit) 1 cm 3 cm 5 cm 0 20 40 60 80 100 120 140 0 50 100 150 produk  ( oC) Waktu (menit) 1 cm 3 cm 5 cm

Gambar

Gambar 1.  Diagram alir tahap penelitian……………………………………………….  11  Gambar 2.      Diagram alir sterilisasi tempe………………………………………………
Tabel 1.  Syarat mutu tempe kedelai
Tabel 2. Komposisi zat gizi tempe dalam 100 g bahan yang dapat   dimakan (bdd) dan 100 g bahan kering
Gambar 1. D Dilakukan
+7

Referensi

Dokumen terkait

kerja pada Karyawan di KSPS Mubarok Abadi, Dukuhseti, Pati.. Lokasi dan

Since the lower differential amplifier has provisions for an external emitter resistance, its linear signal handling range may be adjusted by the user. Circuit Schematic Figure

Kahar Lahae. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1.) alasan anak perempuan keturunan Sayyid dianggap tidak cakap dalam hal mewaris, 2.) kedudukan anak

Pada pasien setelah transplantasi hati atau reseksi parsial hati, bersihan ICG adalah indikator yang baik dari uji fungsi hati dan ini dapat membantu untuk memprediksi kegagalan

Ekawati Rahayu N, Perilaku konsumen, Perkembangan Konsep dan Praktek Dalam Pemasaran, NORA Media Enterprise, Kudus, 2010, hlm.. produk dan jasa yang mereka harapkan akan

Metode yang digunakan untuk memposisikan nozzle penyemprot adonan adalah metode koordinat absolut, Mesin cake decorator yang dirancang pada tugas akhir ini

The enforcement of contracts is necessary for efficient exchange and investment in economic activities. Contracts can be en- forced through a variety of mechanisms, both public

• Mampu mengambil keputusan strategis sebagai solusi atas analisis permasalahan ekonomi makro yang terjadi di Negara Berkembang • Bertanggungjawab dalam menginformasikan hasil