• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI BEDA KETEBALAN INTEGRASI PADA PANTULAN PERTAMA DAN KEDUA HASIL DETEKSI AKUSTIK MULYANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UJI BEDA KETEBALAN INTEGRASI PADA PANTULAN PERTAMA DAN KEDUA HASIL DETEKSI AKUSTIK MULYANI"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

UJI BEDA KETEBALAN INTEGRASI PADA PANTULAN

PERTAMA DAN KEDUA HASIL DETEKSI AKUSTIK

MULYANI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2014

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Uji Beda Ketebalan Integrasi Hasil Deteksi Akustik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2014

Mulyani C54070012

(3)

ABSTRAK

MULYANI. Uji Beda Ketebalan Integrasi pada Pantulan Pertama dan Kedua Hasil Deteksi Akustik. Dibimbing oleh SRI PUJIYATI.

Dasar perairan merupakan habitat bagi berbagai macam biota maupun vegetasi. Pengambilan data dasar perairan dengan menggunakan hidroakustik di Kepulauan Seribu bertujuan untuk menganalisis perbedaan ketebalan integrasi pada pantulan pertama (E1) dan pantulan kedua (E2) berdasarkan hasil deteksi akustik dasar perairan (Acoustic Backscattering Volume). Data yang di peroleh kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan program Echoview 4.0. Klasifikasi dasar perairan pada 8 stasiun grab di lakukan berdasarkan nilai Acoustic Backscattering Volume dari E1 dan E2 dasar perairan. Berdasarkan pengolahan data, di dapatkan hasil bahwa 5 dari 8 stasiun pengamatan memiliki substrat berupa pasir berlumpur dan 3 lainnya berupa pasir. Nilai SV maksimum pada ketebalan integrasi 0,10 meter adalah -9,05 dB, dengan nilai minimumnya adalah -56,20 dB. Untuk ketebalan integrasi 0,20 meter, nilai SV maksimum yang di dapatkan adalah sebesar 8,02 dB, dengan nilai minimum sebesar -54,59 dB. Sedangkan untuk nilai SV maksimum dan minimum pada ketebalan integrasi 0,30 meter secara berturut-turut adalah -8,02 dB dan -53,32 dB.

Kata kunci : Acoustic backscattering volume, Integrasi, ketebalan integrasi, pantulan pertama, pantulan kedua.

ABSTRACT

MULYANI. Integration of Different Thickness Test on the First and Second Reflection Acoustic Detection Results. Guided by SRI PUJIYATI.

Bottom waters are habitat of biota and vegetation. Basic data retrieval waters using hidroakustik data retrieval in the Seribu Islands aims to analyze the differences in the thickness of the integration of the first echo (E1) and second echo (E2) based on the detection of Acoustic Backscattering Volume. The data obtained is then processed and analyzed using the program Echoview 4.0. Classification bottom waters at station 8 grabs done by Acoustic backscattering values of E1 and E2 Volumes bottom waters. Based on the data processing, in getting the results that 5 of 8 observation stations have muddy sand substrate and the other 3 in the form of sand. SV maximum value of 0,10 meters in thickness integration is -9,05 dB, the minimum value is -56,20 dB. For the integration of 0,20 meters thickness, the maximum value in the SV is equal to -8,02 dB get, with a minimum value of -54,59 dB. As for the SV maximum and minimum values on the thickness of the integration of 0,30 meters respectively are -8,02 dB and -53,32 dB.

Keywords: Acoustic backscattering volume, Integration, thickness integration, first echo, second echo.

(4)

UJI BEDA KETEBALAN INTEGRASI PADA PANTULAN

PERTAMA DAN KEDUA HASIL DETEKSI AKUSTIK

MULYANI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2014

UJI BEDA KETEBALAN INTEGRASI PADA PANTULAN PERTAMA DAN KEDUA HASIL DETEKSI AKUSTIK

(5)

Judul Skripsi : Uji Beda Ketebalan Integrasi pada Pantulan Pertama dan Kedua Hasil Deteksi Akustik

Nama : Mulyani NRP : C54070012

Disetujui oleh

Dr. Ir. Sri Pujiyati, M. Si Pembimbing I

Diketahui oleh

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M. Sc Ketua Departemen

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini ialah Uji Beda Ketebalan Integrasi pada Pantulan Pertama dan Kedua Hasil Deteksi Akustik.

Selama penyusunan skripsi penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih

kepada :

1. Ibu Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan selama penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak Totok Hestirianoto dan Bapak Henry M. Manik selaku dosen penguji yang telah memberi banyak masukan kepada penulis.

3. Bapak Agus S. Atmadipoera dan Bapak Hawis H. Madduppa selaku dosen pemeriksa Gugus Kendali Mutu (GKM) yang telah memberikan banyak pengarahan kepada penulis dalam penulisan skripsi.

4. Kedua orang tua (Kelly Supriyono dan Umi Salamah), adik Nur Rohmah, kakak Sidik dan Dewi Maryani, Ethik Fathonah, Alih Permana, beserta

saudara-saudara yang telah memberikan kasih sayang, semangat, motivasi dan doa yang tak henti-hentinya kepada penulis selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor.

5. Obed Agtapura Taruk Allo, M. Si, Jefry Bemba, M. Si, Wahyuni Nasution, S. Ik, Retnowulandari Wahyuningtyas, S.Ik , Rifqy Alifya Ramantyas S. Ik, yang telah melakukan pengambilan data lapangan.

6. Bunga, Ulfa, Ludvi, Mandang, Nela, Dinno, Taufik, Yenny, Eni, Iqbal, Fahmi serta teman-teman ITK 44 atas semangat, dukungan, kebersamaan dan

kerjasama yang baik selama penulis menyelesaikan studi di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan.

7. Staf pengajar dan staf penunjang di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan atas pemberian ilmu dan bantuannya selama penulis menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi diri sendiri maupun pembacanya.

Bogor, April 2014

(7)

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR ix DAFTAR LAMPIRAN ix PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 METODE 2

Waktu dan Lokasi Penelitian 2

Bahan dan Peralatan 3

Pengolahan Data 3

Analisis Contoh Sedimen 4

Analisis Komponen Utama 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Tipe Substrat Dasar Perairan 6

Nilai SV di Setiap Stasiun 8

Hubungan Nilai SV dan Tipe Substrat di Setiap Stasiun 11 Perbedaan Ketebalan Integrasi Perairan 12 Analisis Kuantitatif Hubungan Antar Parameter 13

SIMPULAN DAN SARAN 15

Simpulan 15

Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 15

LAMPIRAN 17

(8)

DAFTAR TABEL

1 Rata-Rata Nilai SV Maksimum Dasar Perairan pada Setiap Stasiun 11

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi pengambilan data akustik dan sedimen di Kepulauan Seribu 2

2 Diagram Alir Analisis Data Akustik 4

3 Diagram alir Analisis Komponen Utama 5

4 Persentase fraksi sedimen di setiap stasiun penelitian 7

5 Nilai hambur balik E1 pada setiap stasiun 9

6 Nilai hambur balik E2 pada setiap stasiun 9

7 Hubungan kedekatan antar nilai pantulan substrat dasar dengan jenis substrat 14 8 Pengelompokan stasiun penelitian berdasarkan persentase fraksi substrat 14

DAFTAR LAMPIRAN

1

Integrasi Pantulan Pertama (E1) dan Pantulan Kedua (E2) pada Echogram 19

2 Komposisi Fraksi pada Setiap Stasiun 19

3 Hasil olahan fraksi sedimen di Balai Penelitian Tanah Labolatorium Fisika

(9)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penelitian-penelitian mengenai sumberdaya hayati laut di dasar perairan belum terlalu banyak dilakukan. Hal tersebut dikarenakan adanya kesulitan dalam pengembilan contoh pada kedalaman perairan yang bervariasi dan permukaan dasar perairan yang tidak teratur. Pentingnya mengetahui tipe substrat dasar perairan adalah untuk mengetahui pola berbagai jenis tipe substrat berdasarkan ukuran dan asal substrat tersebut pada suatu perairan. Penggolongan dasar perairan umumnya berkaitan dengan bagaimana cara menentukan fraksi sedimen dari dasar perairan.

Teknologi akustik adalah salah satu metode altenatif untuk mengetahui tipe substrat dasar perairan. Hidroakustik merupakan suatu metode untuk mendeteksi suatu obyek di dalam air dengan cara memancarkan gelombang suara dan mempelajari gema (echo) yang dipantulkan oleh objek yang terkena pancaran gelombang suara tersebut.

Perbandingan nilai pada hambur balik pertama transducer terhadap dasar perairan yang merupakan nilai kekasaran (E1) dan nilai hambur balik kedua yang merupakan nilai kekerasan (E2) dalam metode akustik tentunya akan memberikan gambaran yang jelas dari dasar perairan (Allo, 2008). Pada dasar perairan yang kasar, hambur balik tersebut akan berelasi secara langsung dengan sifat kekerasan pada dasar perairan. Jika dasar perairannya adalah kasar, kemudian kekasaran akan berkurang pada E2 (Burczynski, 2002 in Oktavia 2009).

Acoustic Backscattering Volume (SV) merupakan perbedaan nilai rasio antara intensitas yang direfleksikan oleh suatu kelompok target, dimana target berada pada suatu volume air tertentu (1m³) yang diukur pada jarak 1 meter dari target yang bersangkutan dengan intensitas suara yang mengenai target Urick (1983). Penelitian mengenai SV berdasarkan perbedaan ketebalan integrasi dasar perairan dengan menggunakan SIMRAD EY-60 dengan frekuensi 120 KHz oleh Oktavia (2009) menunjukkan bahwa nilai SV-E1 dan SV-E2 pada stasiun yang memiliki substrat pasir berlumpur memiliki nilai lebih kecil dibandingkan dengan nilai SV pada substrat pasir. Nilai SV pada integrasi 0,20 meter lebih kecil dibandingkan dengan nilai SV pada integrasi 0,40 meter.

Penelitian mengenai SV berdasarkan perbedaan ketebalan integrasi dasar perairan tersebut belum banyak dilakukan. Hal ini akan mampu memberikan informasi yang lebih rinci dari setiap ketebalan integrasi sehingga nantinya dapat memberikan kemudahan dalam identifikasi dasar perairan. Oleh karena itu penulis akan mencoba untuk melakukan penelitian untuk dapat menganalisis dasar perairan dengan menentukan perbedaan nilai ketebalan integrasi pada hambur balik pertama (E1) dan hambur balik kedua (E2) hasil deteksi akustik dengan ketebalan 0,10 m, 0,20 m, dan 0,30 m serta dibuktikan dengan pengambilan contoh sedimen dasar perairan tersebut.

(10)

2

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan ketebalan integrasi pada hambur balik pertama (E1) dan hambur balik kedua (E2) hasil deteksi akustik dasar perairan sebesar 0,10 meter, 0,20 meter dan 0,30 meter berdasarkan nilai Acoustic Backscattering Volume (SV) dasar perairan agar dapat mengidentifikasi substrat dasar perairan.

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama bulan September - Desember 2012 dengan daerah kajian bertempat di Pulau Pramuka (Stasiun 1), Pulau Gosong Pramuka (Stasiun 2 dan 3), Pulau Panggang (Stasiun 6 dan 8), Pulau Karya (Stasiun 4), dan Pulau Semak Daun (Stasiun 5 dan 7) Kepulauan Seribu. Lokasi pengambilan data berada pada koordinat 5043’42,18” LS – 5044’38,52” LS dan 106034’21,78” BT – 106036’35,227” BT.

Pengambilan data sedimen dilakukan secara stasioner di 8 stasiun yang berbeda. Pengolahan data dilakukan di labolatorium Akustik Departemen Ilmu dan Kelautan IPB. Peta lokasi pengambilan data dapat dilihat pada Gambar 1.

(11)

3

Bahan dan Peralatan

Alat yang digunakan untuk mengambil data hidroakustik di lapangan yaitu split beam echosounder SIMRAD EY 60 scientific echosounder system yang dioperasikan pada setiap stasiun pengamatan dengan posisi transducer berada tegak lurus terhadap objek yang diamati dengan menggunakan frekuensi 120 KHz dan GPS untuk menentukan posisi lintang dan bujur serta laptop untuk pemrosesan dan penyimpanan data akustik. Sedangkan alat yang digunakan untuk mengambil contoh sedimen dasar laut yaitu pipa paralon, peralatan SCUBA diving, kamera underwater untuk dokumentasi bawah air, kertas label, dan alat tulis.

Perangkat yang digunakan untuk pengolahan data yaitu seperangkat komputer (PC)/laptop, yang dilengkapi software pengolahan data dan software untuk menampilkan gambar dan grafik.

Pengolahan Data

Data akustik yang didapat diolah dan dianalisis dengan menggunakan program Echoview 4.0 dengan ketebalan 0,10 m, 0,20 m, dan 0,30 m. Diagram alir proses pengolahan dan analisis data akustik dapat dilihat pada Gambar 2.

Data hidroakustik yang didapat dengan menggunakan SIMRAD EY 60 scientific echosounder system adalah berupa echogram (Lampiran 1) yang dapat diolah dan dianalisis dengan menggunakan program Echoview 4.0 versi demo. Pengolahan data echogram dilakukan untuk mendapatkan nilai hambur balik pertama (E1) dan hambur balik kedua (E2). E1 pada echogram menggambarkan tingkat kekasaran dasar perairan, sedangkan E2 menggambarkan tingkat kekerasan dasar perairan. Integrasi pada E1 dan E2 adalah sebesar 0,10 m, 0,20 m, dan 0,30 m.

Pengolahan integrasi E1 dimulai dengan mengatur tampilan echogram yaitu dengan mengatur color display minimum sebesar -50,00 dB dan maksimum 0 dB, dengan range sebesar 50,00. Integrasi E2 menggunakan color display minimum sebesar -70,00 dB dan maksimum sebesar 0 dB. Baik pada integrasi E1 maupun E2, pembagian jumlah ping pada menu grid sebesar 100 ping dengan range grid sebesar 50,00 m.

Pembentukan garis dibuat melalui new line yang akan membentuk line 1 yang merupakan garis dasar perairan, kemudian dibentuk garis kedua yang jaraknya 0,10 m (line 2) dari garis pertama yaitu ke arah dalam dasar perairan, lalu bentuk garis ketiga yang jaraknya 0,20 m dari garis pertama serta bentuk garis keempat yang jaraknya 0,30 m dari garis pertama ke arah dalam dasar perairan. Integrasi data akustik dilakukan dengan melihat nilai SV maksimum dari tiap line kemudian diolah lebih lanjut dengan menggunakan Microsoft Excel. Selanjutnya nilai E1 dan E2 pada integrasi 0,10 m, 0,20 m dan 0,30 m akan dibandingkan untuk mendapatkan informasi kondisi substrat yang terintegrasi.

(12)

4

Gambar 2.Diagram alir analisis data akustik

Analisis Contoh Sedimen

Analisis sedimen dilakukan untuk mengetahui besaran butir fraksi sedimen diklasifikasikan dengan menggunakan metode pipet dan cara hydrometer dengan langkah-langkah sebagai berikut :

Contoh substrat diambil dari lapangan kemudian timbang dengan timbangan analitik untuk mendapatkan berat yang diinginkan. Substrat tersebut dikeringkan dalam oven dengan suhu 1000 sampai benar-benar kering. Contoh diayak dengan Shieve

shaker berukuran 2mm. Selanjutnya tambahkan H2O2 30% sebanyak 100ml dan

diamkan selama semalam. Kemudian panaskan diatas pemanas kemudian diaduk sampai semua bahan organic habis dengan tidak ada buih lagi. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan bahan organic yang terdapat pada sampel substrat. Pisahkan fraksi pasir dari debu dan liat dengan menggunakan ayakan 50 µm. Fraksi debu dan liat kemudian ditampung dalam gelas ukur. Pindahkan fraksi pasir ke dalam cawan porselin kemudian keringkan di atas pemanas.

Timbang berat pasir, kemudian diayak dengan menggunakan 5 ukuran saringan berbeda yaitu 50-100 µm, 100-200 µ, 200-500 µm, 500-1000 µm, dan 1000-2000 µm. Sehingga menghasilkan 5 ukuran besar butir sedimen yang nantinya akan digolongkan

Raw Data

Post Processing data akustik Integrasi E1 (0,1 m, 0,2 m, 0,3 m) echogram SV dari E1 SV dari E2 Integrasi E2 (0,1 m, 0,2 m, 0,3 m)

(13)

5

ke dalam substrat pasir. Fraksi lumpur dan liat yang dipisahkan kemudian ditambahkan larutan Na2P2O7.10H2O (Na-hexametafosfat) yang digunakan sebagai peptisator untuk

selanjutnya dianalisis dengan cara pemipetan dengan ukuran pipet 20 cc. Untuk menentukan fraksi lumpur, larutan didiamkan selama 1-15 menit. Selanjutnya untuk fraksi liat dimana ukurannya sangat kecil, maka larutan tersebut didiamkan selama 3 sampai 24 jam untuk selanjutnya ditentukan persentasenya.

Analisis Komponen Utama

Analisis Komponen Utama (AKU) merupakan metode statistika deskriptif yang bertujuan untuk menyajikan informasi maksimum suatu matriks data ke dalam bentuk grafik. Matriks data tersebut terdiri dari titik lokasi penelitian sebagai matriks baris dan contoh substrat sedimen sebagai variabel kuantitatif (matriks kolom). Data tersebut tidak mempunyai unit pengukuran dan ragam yang sama, oleh karena itu data tersebut dinormalisasikan terlebih dahulu dengan pemusatan (Setyobudiandi et al. 2009) Gambar 3.

Gambar 3. Diagram alir Analisis Komponen Utama

Data akustik yang didapat yang sebelumnya diolah dengan menggunakan software Echoview 4.0 menghasilkan nilai SV-E1 dan SV-E2 yang masing-masing dengan ketebalan integrasi 0,10 m, 0,20 m, dan 0,30 m dan contoh sedimen yang diambil dari masing-masing stasiun dibagi menjadi tiga substrat yaitu pasir, lumpur dan liat. Hasil-hasil yang didapat kemudian dimasukan ke dalam satu tabel yang kemudian diproses langsung dengan program statistika dengan menggunakan metode Analisis Komponen Utama. Hasil dari AKU menunjukkan adanya grafik hubungan kedekatan antar parameter dan grafik hubungan kedekatan antar stasiun.

Mulai Pengambilan Data di Lapangan Fraksi Pasir Fraksi Lumpur

Fraksi Liat SV-E1 (0,1 m; 0,2 m;

0,3 m) SV-E2 (0,1 m; 0,2 m; 0,3 m) AKU Hubungan Kedekatan Antar Parameter Hubungan Kedekatan Antar Stasiun

(14)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tipe Substrat Dasar Perairan

Sedimen merupakan kerak bumi yang ditransportasikan melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat lain, baik secara horizontal maupun secara vertikal. Seluruh permukaan laut ditutupi oleh partikel-partikel sedimen yang diendapkan secara perlahan-lahan dalam jangka waktu berjuta-juta tahun (Garrison, 2005 dalam Allo, 2008). Gross (1990) mendefinisikan sedimen laut sebagai akumulasi dari mineral-mineral dan pecahan-pecahan batuan yang bercampur dengan hancuran cangkang dan tulang dari organisme laut serta beberapa partikel lain yang terbentuk lewat proses kimia yang terjadi di laut. Sedimen meliputi tanah dan pasir, bersifat tersuspensi, yang masuk ke badan air akibat erosi atau banjir pada dasarnya tidaklah bersifat toksik. Sedimen di dalam air berupa bahan-bahan tersuspensi.

Sedimen-sedimen laut mewakili kandungan utama material yang terdapat di dalam air laut. Chester (1990) membedakan sedimen laut menjadi dua, yaitu nearshore sedimen dan deep-sea sediment. Nearshore sedimen memiliki kandungan kimia, fisika, dan biologi yang sangat bervarisai dibandingkan dengan kandungan pada deep-sea sediments. Hal tersebut dikarenakan keberadaannya yang sangat dipengaruhi oleh masukan-masukan yang berasal dari daratan. Pengaruh lingkungan yang terkandung pada nearshore sedimen berasal dari estuari, teluk, lagun, delta, dan daerah pasang surut. Deep-sea sedimen terkandung di dalam air pada kedalaman > 500 meter. Sifat deep-sea sedimen yang jauh dari daratan, sangat reaktif antara partikel yang terdapat di dalamnya dengan komponen terlarut yang terdapat di kolom perairan, dan adanya biomassa khusus yang menjadikan lingkungan di laut dalam menjadi unik di bumi, sehingga deep-sea sedimen menutupi lebih dari 50% permukaan bumi, yang sangat berbeda karakteristik dengan sedimen yang ditemukan di daerah dekat dengan daratan.

Berdasarkan hasil analisis sedimen yang diambil saat penelitian diketahui bahwa pasir berlumpur merupakan substrat dominan dari Stasiun 1 sampai Stasiun 5 yang memiliki fraksi pasir berkisar 72 - 82 % dari seluruh komposisi substrat, sedangkan pada Stasiun 6 sampai 8 substrat berupa pasir yang memiliki fraksi pasir berkisar 84,89 – 90 % dari seluruh komposisi substrat. Persentase komposisi fraksi substrat di setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 4.

(15)

7

Gambar 4. Persentase fraksi sedimen di setiap stasiun penelitian (diolah dari Lampiran 2 dan 3)

Substrat pasir ditemukan di 3 stasiun, yang terletak di perairan Pulau Panggang (2 stasiun) dan di perairan Pulau Semak Daun (1 stasiun). Fraksi pasir memiliki ukuran yang lebih megaskopis dibandingkan dengan fraksi lumpur (debu dan liat), sehingga pasir akan lebih cepat mengendap dibandingkan dengan fraksi lumpur.

Pada Stasiun 7 yang merupakan tipe substrat pasir memiliki fraksi pasir terbesar yaitu 90,26%, serta memiliki fraksi lumpur dan fraksi liat dengan nilai masing-masing sebesar 9,01% dan 0,73 %. Stasiun 6 dan 8 yang memiliki tipe substrat pasir memiliki komposisi fraksi pasir masing-masing berkisar 86,98% dan 84,89%. Fraksi lumpur dan fraksi liat pada Stasiun 6 dan 8 masing-masing berupa 12,78% dan 0,24% (Stasiun 6) serta 14,73% dan 0,38% (Stasiun 8).

Klasifikasi tipe substrat dasar laut ditentukan berdasarkan persentase kandungan fraksi yang terkandung di dalamnya. Tipe substrat pasir memiliki kandungan fraksi pasir lebih banyak dibandingkan dengan kandungan fraksi lainnya. Berbeda dengan substrat pasir, pada substrat pasir berlumpur yang memiliki kandungan fraksi pasir terbanyak tetapi terdapat pula kandungan fraksi lumpur yang terdiri dari campuran lumpur dan liat.

Secara umum, partikel yang paling kasar akan berada dekat dengan sumbernya. Substrat pasir dengan ukuran butiran lebih besar biasanya mengendap pada daerah continental shelf dan atau berada di pantai dekat dengan muara sungai. Endapan sedimen yang berukuran lebih halus akan terakumulasi jauh dari sumbernya, biasanya berada pada wilayah dengan arus yang lemah. Pada akhirnya substrat jenis liat pada umumnya mengendap pada dasar laut paling dalam (Gross, 1990).

(16)

8

Nybakken (1992) menyatakan bahwa keberadaan lumpur di dasar perairan sangat dipengaruhi oleh banyaknya partikel tersuspensi yang dibawa oleh air tawar dan air laut serta faktor-faktor yang mempengaruhi penggumpalan, pengendapan bahan tersuspensi tersebut, seperti arus dari laut. Odum (1971) menyatakan bahwa kecepatan arus secara tidak langsung mempengaruhi substrat dasar perairan. Nybakken (1992) menyatakan bahwa perairan yang arusnya kuat akan banyak ditemukan substrat berpasir.

Adapun substrat berpasir umumnya miskin akan organisme, tidak dihuni oleh kehidupan makroskopik, selain itu kebanyakan bentos pada pantai berpasir mengubur diri dalam substrat. Produksi primer pantai berpasir rendah, meskipun kadang-kadang dijumpai populasi diatom yang hidup di pasir intertidal. Hampir seluruh materi organik diimpor baik dalam bentuk materi organik terlarut (DOM) atau partikel (POM). Pantai berpasir tidak menyediakan substrat yang tetap untuk melekat bagi organisme, karena aksi gelombang secara terus menerus menggerakkan partikel substrat. Kelompok organisme yang mampu beradaptasi pada kondisi substrat pasir adalah organisme infauna makro (berukuran 1-10 cm) yang mampu menggali liang di dalam pasir, dan organisme meiofauna mikro (berukuran 0,1 – 1 mm) yang hidup di antara butiran pasir dalam ruang interaksi (Ardi, 2002).

Nilai SV di Setiap Stasiun

Metode-metode akustik untuk mengetahui nilai SV dan biomassa telah banyak diketahui, namun teknik tersebut tidak dapat meminimalisasi kesalahan dalam mengkalibrasi beberapa parameter pada sebuah sistem echo sounding. Nilai SV yang diperoleh dapat dikonversi dengan akurasi yang baik untuk mengetahui kepadatan biomassa ikan dengan menggunakan nilai target strength (TS) (Do, 1986).

Pada dasarnya pengertian Volume Backscattering Strength (SV) sama dengan Target Strength (TS), dimana TS adalah hambur balik untuk ikan tunggal sedangkan SV untuk kelompok ikan. Menurut Urick (1983), Volume Backscattering Strength merupakan rasio antara intensitas suara yang dipantulkan oleh suatu kelompok single target yang berada pada suatu volume air tertentu (1m2) dan diukur pada jarak 1 meter

dari kelompok target yang bersangkutan dengan intensitas suara yang mengenai target (incident intensity).

Selain dengan menggunakan nilai SV, untuk melihat nilai hambur balik suatu objek dapat menggunakan nilai Scatterin area (Sa). Sa adalah luasan area yang terbentuk sebagai akibat dari adanya pemancaran hambur balik dari transducer pada suatu perairan yang sedang di sounding. Menurut MacLennan dan Simmonds (1992), area backscattering coefficient (Sa) adalah ukuran dari energi yang dikembalikan dari sebuah lapisan antara dua kedalaman pada kolom air. Sa didefinisikan sebagai integral dari SV. Pada echoview nilai Sa ini diwakili oleh NASC (Nautical Area Scattering Coefficient). Sebenarnya Sa tidak memiliki satuan karena Sa merupakan sebuah turunan dari Sv (satuan m-1) dan jarak. Tapi menurut hasil kesepakatan, Sa memiliki satuan (m2/m2).

Dasar perairan memiliki karakteristik memantulkan dan menghamburkan kembali gelombang suara seperti halnya permukaan perairan laut. Efek yang dihasilkan lebih kompleks karena sifat dasar laut yang tersusun atas beragam unsur mulai dari bebatuan yang keras hingga lempung yang halus serta lapisan-lapisan yang memiliki komposisi yang berbeda-beda (Urick, 1983).

(17)

9

Hasil pengolahan data hambur balik volume dasar perairan dengan menggunakan program Echoview menunjukan bahwa rata-rata nilai hambur balik volume dasar perairan yang berasal dari hambur balik pertama (E1) dan hambur balik kedua (E2) memiliki nilai yang bebeda, baik itu pada ketebalan integrasi 0,10 m, 0,20 m mapun pada ketebalan integrasi 0,30 m. Hasil integrasi nilai hambur balik dasar perairan pada setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.

Gambar 5. Nilai hambur balik E1 pada setiap stasiun

(18)

10

Nilai hambur balik dasar perairan pada setiap stasiun yang diperoleh digambarkan berdasarkan nilai nilai rata-rata SVmax. Stasiun 6 memiliki nilai SV-E1 dan E2 terbesar baik pada ketebalan integrasi 0,10 m (E1= 9,05 dB; E2 = 38,90 dB), 0,20 m (E1 = -8,02 dB; E2 = -33,01 dB) dan 0,30 m (E1 = --8,02 dB; E2 = -31,65 dB).

Nilai SV-E1 dan E2 terkecil terdapat pada Stasiun 2, baik itu pada integrasi 0,10 m, 0,20 m maupun pada ketebalan integrasi 0,30 m, yaitu dengan nilai E1 = -20,46 dB dan E2 = -56,2 dB pada integrasi integrasi 0,10 m, E1 = -19,15 dB dan E2 = -54,44 dB pada integrasi 0,20 m dan pada ketebalan integrasi 0,30 m diperoleh nilai E1 = -18,31 dB dan E2 = -42,97 dB. Nilai SV dapat dikaitkan untuk mengetahui jenis substrat dasar perairan. Jenis substrat dasar perairan pada Stasiun 2 adalah pasir berlumpur yang memiliki kandungan lumpur terbesar dibandingkan stasiun lainnya, sehingga nilai SV pada Stasiun 2 paling kecil.

Hasil E1 maksimum yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan nilai E2 maksimum. Nilai E1 dan E2 suatu dasar perairan dapat dilihat berdasarkan sinyal yang dipantulkan. Pada dasar perairan yang kasar, hambur balik tersebut akan berelasi secara langsung dengan sifat kekerasan pada dasar perairan. Jika dasar perairannya kasar, kemudian kekasaran akan berkurang pada second bottom echo.

Berdasarkan nilai hambur balik dasar perairan pada ketebalan integrasi 0,10 meter, 0,20 meter dan pada ketebalan integrasi 0,30 meter baik pada E1 maupun E2, dapat diketahui bahwa nilai hambur balik terbesar terdapat pada integrasi 0,30 meter, kemudian nilai hambur balik terbesar kedua pada integrasi 0,20 meter dan nilai hambur balik terkecil terdapat pada integrasi 0,10 meter. Hal ini disebabkan oleh setiap lapisan substrat memiliki kepadatan yang berbeda, dimana semakin ke dalam dasar perairan maka sedimen akan semakin padat. Hasil yang telah diperoleh, diduga pada ketebalan integrasi 0,10 meter memiliki sedimen yang bersifat tidak kompak (unconsolidated) yaitu sedimen yang selalu siap terurai sehingga dengan kekuatan arus yang lemah sekalipun berakibat partikel mudah lepas. Ketebalan integrasi 0,20 meter memiliki sedimen yang bersifat semi kompak (semi consolidated) sedangkan pada ketebalan integrasi 0,30 meter sedimen bersifat semakin kompak (consolidated). Sedimen yang bersifat kompak merupakan hasil dari beban berlebih dari sedimen-sedimen lain diatasnya. Hal ini menjelaskan bahwa nilai SV pada ketebalan integrasi 0,10 meter akan lebih kecil dibandingkan dengan nilai SV pada ketebalan 0,20 meter dan 0,30 meter. Berdasarkan hasil Pujiyati (2008) menunjukan bahwa pada lapisan-1 nilai hambur balik dasar perairan sangat kecil dan semakin menuju lapisan-4 nilai hambur balik dasar perairan semakin besar dengan ketebalan 0,20 dari setiap lapisan.

Berdasarkan penelitian Oktavia (2009) bahwa nilai hambur balik volum dasar perairan dengan menggunakan data Sv maksimum pada ketebalan integrasi 0,20 m dan 0,40 m mempunyai selang nilai yang sama, tetapi memiliki jumlah frekuensi yang berbeda pada selang nilai yang sama. Nilai SV pada saat ketebalan integrasi 0,20 meter memiliki nilai maksimum sebesar -10,36 dB, nilai minimum sebesar -43,33 dB, dan rata-rata sebesar -13,64 dB. Nilai SV pada saat ketebalan integrasi 0,4 meter memiliki nilai maksimum sebesar -10,34 dB, nilai minimum sebesar -43,33 dB, dan rata-rata sebesar -11,69 dB. Perbedaan nilai hambur balik volum dasar perairan di sepanjang lintasan penelitian diduga dipengaruhi oleh berbagai tipe substrat. Pulau Pari berdasarkan hasil analisis citra dengan Citra Landsat ETM+ oleh Wikanti (2004)

diketahui bahwa material penyusun lahannya merupakan sedimentasi pasir, sedangkan kelima pulau lainnya adalah karang bercampur dengan pasir.

(19)

11

Berdasarkan hasil studi Pujiyati (2008) menyatakan bahwa nilai hambur balik dasar perairan dari hambur balik E1 di setiap substrat di Kepulauan Seribu menunjukkan hambur balik dasar perairan dari substrat karang memiliki nilai yang paling besar diikuti hambur balik dari substrat pasir, pasir berliat, pasir berlumpur, dan lumpur berpasir.

Hubungan Nilai SV dan Tipe Substrat di Setiap Stasiun

Informasi mengenai tipe substrat dasar perairan secara umum dapat digambarkan pada sinyal echo dimana sinyal ini dapat disimpan dan diperoleh secara bersamaan dengan menggunakan data GPS. Bentuk echo yang dipantulkan akan sangat bergantung pada kekerasan dan kekasaran dasar laut. Siwabessy et al (2005) menyatakan bahwa permukaan sedimen yang kasar akan memantulkan energi hambur balik yang lebih besar dibandingkan pada permukaan sedimen yang halus, sehingga permukaan yang lebih besar akan menghasilkan puncak yang rendah dan ekor yang lebih panjang dibandingkan dengan permukaan sedimen yang halus dengan komposisi yang sama.

Dilihat dari Tabel 1, dasar perairan yang memiliki substrat berupa pasir memiliki nilai hambur balik yang lebih besar dibandingkan dengan dasar perairan yang memiliki substrat berupa pasir berlumpur. Hal ini disebabkan oleh semakin keras dan kasar suatu dasar perairan maka semakin besar nilai hambur balik yang diberikan. Banyak faktor yang mempengaruhi besarnya nilai hambur balik yang dikembalikan oleh substrat dasar perairan selain jenis substrat yang mendominasi suatu perairan. Pujiyati (2008) menyatakan bahwa nilai hambur balik dipengaruhi oleh komposisi partikel dan kemungkinan beberapa faktor lain seperti porositas serta kandungan bahan organik. Porositas suatu medium adalah perbandingan volume rongga-rongga pori terhadap volume total seluruh batuan. Perbandingan ini biasanya dinyatakan dalam persen dan disebut porositas.

Tabel 1. Rata-rata nilai SV maksimum dasar perairan pada setiap stasiun

Stasiun

Integrasi 0,10 m Integrasi 0,20 m Integrasi 0,30 m

Substrat E1 (dB) E2 (dB) E1 (dB) E2 (dB) E1 (dB) E2 (dB) 1 -16,95 - -13,58 - -12,5 - Pasir berlumpur 2 -20,46 -56,2 -19,15 -54,44 -18,31 -42,97 Pasir berlumpur 3 -15,52 -48,76 -8,91 -47,74 -8,43 -46,2 Pasir berlumpur 4 -16,42 -55,42 -15,09 -54,59 -14,73 -53,32 Pasir berlumpur 5 -12,49 -46 -10,06 -44,68 -9,83 -43,83 Pasir berlumpur 6 -9,05 -38,90 -8,02 -33,01 -8,02 -31,65 Pasir 7 -11,83 -38,08 -10,74 -33,45 -9,9 -32,68 Pasir 8 -12,02 -45,41 -11,22 -44,51 -11,22 -43,66 Pasir

(20)

12

Nilai hambur balik terkecil terdapat pada Stasiun 2, yang memiliki substrat dasar perairan berupa pasir berlumpur dengan nilai hambur balik pada ketebalan integrasi 0,10 meter (E1 = -20,46 dB; E2 = -56,2 dB), 0,20 meter (E1 = -19,15 dB; E2 = -54,44 dB) dan pada ketebalan integrasi 0,30 meter (E1 = -18,31 dB; E2 = -42,97 dB). Hal ini disebabkan oleh Stasiun 2 mengandung fraksi lumpur yang lebih besar dibandingkan dengan stasiun pengamatan lainnya dan dasar perairan yang berada pada stasiun ini lebih halus dibandingkan dengan stasiun lainnya yang menyebabkan nilai hambur balik pada E1 dan E2 stasiun 2 lebih kecil dibandingkan dengan 7 stasiun pengamatan lainnya.

Pada Stasiun 6 hingga Stasiun 8 yang memiliki substrat dasar perairan berupa pasir memiliki tingkat kekasaran dan kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan pada Stasiun 1 hingga Stasiun 5 yang memiliki substrat pasir berlumpur. Hal ini dapat disebabkan oleh substrat pasir yang memiliki komposisi fraksi pasir yang lebih dominan dibandingkan komposisi fraksi lainnya, sedangkan pada substrat pasir berlumpur memiliki komposisi fraksi pasir yang lebih sedikit dan terdapat komposisi fraksi lumpur dan liat di dalamnya.

Khusus untuk Stasiun 7 yang memiliki nilai fraksi pasir paling besar namun nilai hambur balik E1 lebih kecil dibandingkan dengan Stasiun 6. Hal ini dikarenakan adanya ukuran fraksi pasir halus yang berdiameter 50 – 100 µm lebih banyak dibandingkan Stasiun 6 yang memiliki ukuran fraksi yang sama namun berjumlah lebih sedikit (Lampiran 3).

Hasil yang diperoleh diketahui bahwa jenis substrat dan nilai hambur balik maksimum saling berkaitan. Nilai hambur balik E1 dan E2 mampu menunjukan tingkat kekasaran dan kekerasan dari substrat itu sendiri. Perbedaan jenis substrat ini berkaitan erat dengan ukuran partikel dari penyusun substrat dasar perairan. Semakin besar nilai hambur balik E1 dan E2 dari substrat maka akan semakin tinggi pula kekasaran dan kekerasan substrat dasar perairan. Hal ini dapat dilihat bahwa substrat pasir memiliki kekasaran dan kekerasan lebih tinggi dibandingkan dengan substrat pasir berlumpur yang memiliki tingkat kekasaran dan kekerasan yang lebih rendah.

Ostrand et al., (2005) menerangkan hubungan antara E1 dan E2 dapat memperlihatkan jenis/tipe sedimen yang terdapat di suatu perairan dimana semakin besar kedua nilai tersebut maka jenis sedimen pada suatu perairan sebagian besar berupa substrat keras dan sebagian besar memiliki kenampakan megaskopis.

Perbedaan Ketebalan Integrasi Perairan

Berdasarkan hasil pengolahan data hambur balik volume dasar perairan dengan menggunakan program Echoview menunjukan bahwa terdapat perbedaan nilai hambur balik pada ketebalan integrasi 0,10 meter, 0,20 meter maupun pada ketebalan integrasi 0,30 meter baik itu pada hambur balik pertama (E1) yang merupakan kekasaran maupun pada hambur balik kedua (E2) yang merupakan nilai kekerasan.

Nilai hambur balik terbesar terdapat pada ketebalan integrasi 0,30 meter, selanjutnya terbesar kedua terdapat pada ketebalan integrasi 0,20 meter dan nilai hambur balik terkecil terdapat pada ketebalan integrasi 0,10 meter. Setiap lapisan substrat dengan ketebalan yang berbeda memiliki kepadatan yang berbeda, dimana semakin ke dalam dasar perairan maka sedimen akan semakin padat, meskipun memiliki jenis substrat yang sama. Substrat dasar perairan pada setiap stasiun

(21)

13

mempengaruhi nilai hambur balik pada hambur balik pertama dan hambur balik kedua. Berdasarkan hasil penelitian dari Pujiyati (2008) dan Oktavia (2009) menunjukkan bahwa nilai hambur balik dari dasar perairan yang keras akan lebih besar dibandingkan dengan nilai hambur balik dasar perairan yang lunak. Nilai hambur balik dasar perairan dari hambur balik pertama (E1) di setiap substrat di Kepualauan Seribu menunjukkan hambur balik dari substrat pasir, pasir berliat, pasir berlumpur, dan lumpur berpasir.

Dilihat dari nilai hambur balik dasar perairan dari hambur balik pertama (E1) yang menggambarkan kekasaran, pada tipe substrat yang keras (karang) memiliki nilai hambur balik lebih besar dibandingkan tipe substrat yang lunak (lumpur). Begitu pula nilai hambur balik dasar perairan dari hambur balik kedua (E2) yang menggambarkan kekerasan, dimana pada tipe substrat yang kasar (karang) memiliki nilai hambur balik dasar lebih besar dibandingkan nilai hambur balik substrat yang halus (lumpur).

Flood dan Ferrini (2006) menjelaskan bahwa adanya ruang dalam riak atau puncak riak pada substrat dasar pasir dapat menyebabkan perbedaan nilai hambur balik jika dibandingkan dengan substrat dasar yang tenang/halus. Kekasaran yang disebabkan oleh susunan kerangka kerang ataupun struktur biogenik dapat menyebabkan peningkatan nilai hambur balik dari dasar perairan. Adanya gas dalam sedimen lumpur juga dapat mengakibatkan peningkatan nilai hambur balik dari sedimen lumpur jika dibandingkan dengan sedimen kasar.

Analisis KuantitatifHubungan Antar Parameter

Hubungan antara data yang di dapat dapat diamati melalui Analisis Komponen Utama (AKU). Data yang diamati merupakan data nilai hambur balik pertama dari substrat dasar perairan (E1) pada ketebalan integrasi 0,10 m, 0,20 m, maupun 0,30 m dan nilai hambur balik kedua (E2) pada ketebalan 0,10 m, 0,20 m, dan 0,30 m dan data contohnya adalah fraksi sedimen.

Hasil analsis komponen utama terhadap komposisi fraksi substrat dan nilai hambur balik hasil integrasi E1 dan E2 pada ketebalan 0,10; 0,20 dan 0,30 memperlihatkan bahwa kontribusi terhadap sumbu utama (F1 dan F2) sebesar 94,37%. Sebagian besar informasi terpusat pada sumbu 1 (F1) yang menjelaskan 80.14% dari ragam total. Sumbu 2 (F2) menjelaskan 14,23% dari ragam total. Komponen yang memberikan kontribusi pada sumbu 1 positif adalah pasir, 0,10; 0,20 dan E1-0,30 sedangkan yang memberikan kontribusi pada sumbu 1 negatif adalah liat dan lumpur. Komponen yang memberikan jontribusi pada sumbu 2 positif adalah E2-0,10; E2-0,20 dan E2-0,30, dapat dilihat dalam Gambar 7.

Berdasarkan Gambar 8 menunjukkan adanya 5 kelompok daripada stasiun, yaitu : Kelompok 1 meliputi stasiun 1, 2, dan 4 adalah stasiun yang memiliki substrat pasir berlumpur dengan jumlah fraksi pasir 72-78 % dan jumlah fraksi liat 0,82-0,9 %; Kelompok 2 meliputi Stasiun 6 dan 8 adalah stasiun yang memiliki substrat pasir dengan jumlah fraksi pasir 84,89-86,98 %; Kelompok 3 Stasiun 3 adalah stasiun yang memiliki substrat pasir berlumpur dengan jumlah fraksi pasir sebesar 82,36% dan jumlah fraksi liat 1,15 %; Kelompok 4 Stasiun 5 adalah stasiun yang memiliki substrat pasir dengan jumlah fraksi pasir 72,86 % dan jumlah fraksi liat 1,28 % dan Kelompok 5 Stasiun 7 adalah stasiun yang memiliki substrat pasir dengan jumlah fraksi pasir sebesar 90,26 %.

(22)

14

Gambar 7. Hubungan kedekatan antar nilai hambur balik substrat dasar dengan jenis substrat Active 1 2 3 4 5 6 7 8 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 Factor 1: 80,14% -1,6 -1,4 -1,2 -1,0 -0,8 -0,6 -0,4 -0,2 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 F act or 2: 14 ,23 % 1 2 3 4 5 6 7 8

Gambar 8. Pengelompokan stasiun penelitian berdasarkan persentase fraksi substrat Kelompok 2 Kelompok 1 Kelompok 4 Kelompok 3 Kelompok 5 Active Suppl. Pasir Lumpur Liat *E1-0,1 *E1-0,2 *E1-0,3 *E2-0,1*E2-0,3*E2-0,2

-1,0 -0,5 0,0 0,5 1,0 Factor 1 : 80,14% -1,0 -0,5 0,0 0,5 1,0 F a c to r 2 : 1 4 ,2 3 % Pasir Lumpur Liat *E1-0,1 *E1-0,2 *E1-0,3 *E2-0,1*E2-0,3*E2-0,2

(23)

15

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa semakin tebal integrasi dasar perairan akan

memberikan nilai hambur balik yang lebih besar baik pada hambur balik pertama (E1) maupun hambur balik kedua (E2).

Saran

Diperlukan data stasiun grab yang lebih banyak dan bervariasi fraksi substratnya sehingga dapat mempresentasikan sebaran sedimen di seluruh perairan Kepulauan Seribu.

DAFTAR PUSTAKA

Allo, OAT. 2008. Klasifikasi Habitat Dasar Perairan dengan Menggunakan Instrumen Hidroakustik SIMRAD EY-60 di Perairan Sumur, Pandeglang Banten. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ardi, S 2002. Pemanfaatan Makrozoobentos sebagai Indikator Kualitas Perairan Pesisir. Makalah. Program Pasca Sarjana. IPB, Bogor.

Burczynski, J. 2002. Bottom Classification. BioSonics, Inc.

Do, MA. 1987. Minimising errors in estimating fish population and biomass densities using the 'acoustic volume backscattering strength' method. New Zealand Journal of Marine and Freshwater Research. Vol. 21 : 99-108.

Flood, RD, and Ferrini, VL. 2006. The Effect of Fine Scale Surface Roughness and Grain Size on 300 kHz Multibeam Backscatter Intensity in Sandy Marine Sedimentary Environment. Journal of Marine Geology. 228: 153– 172 . Garrison, T. 2006. Essentials of Oceanography. 4th edition. Thomson Learning, Inc.

USA.

Gross, MG. 1990. Oceanography: Sixth Edition. Macmillan Publishing Company, New York.

Hutabarat, S. dan Stewart, ME. 2000. Pengantar Oseanografi . IU-Press. Jakarta. Oktavia, S. 2009. Perbedaan Ketebalan Integrasi Dasar Perairan dengan Instrumen

Hidroakustik SIMRAD EY-60 di Perairan Pari. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Pujiyati, S. 2008. Pendekatan Metode Hidroakustik untuk Analisis Keterkaitan Antara Tipe Substrat Dasar Perairan dengan Komunitas Ikan Demersal. [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Schlagintweit, GEO. 1993. Real-time acoustic bottom classification: a field evaluation of RoxAnn . Proceedings of Ocean 93: 214-219.

(24)

16

Siwabessy, PJW, Penrose JD, Gavrilov A, Parnum, I dan Hamilton LJ. 2005. Acoustic Techniques for Seabad Classification. The Coastal Water Habitat Mapping (CWHM) Project of the Cooperative Research Cebtre for Coastal Zone. Estuary and Waterway Management. Sydney, Australia,

Urick, RJ. 1983. Principles of Underwater Sound, 3rd ed. Mc-Graw-Hill. New York.

Wikanti. 2004. Studi Identifikasi Karakteristik Pulau Kecil Menggunakan Data LANDSAT dengan Pendekatan Geomorfologi dan Penutup Lahan: Studi Kasus Kepulauan Pari dan Kepulauan Belakangsedih. Makalah. Program Pasca Sarjana. IPB, Bogor.

(25)

17

(26)

18

Lampiran 1. Integrasi Hambur balik Pertama (E1) dan Hambur balik Kedua (E2) pada Echogram

E1

E2

Lampiran 2. Komposisi fraksi pada setiap stasiun

Lintang Bujur Pasir Lumpur Liat

Sta 1 5°44,521 106°36,819 77,18 21,92 0,90 Pasir berlumpur

Sta 2 5°44,275 106°36,538 72,37 26,81 0,82 Pasir berlumpur

Sta 3 5°44,163 106°36,587 82,36 16,49 1,15 Pasir berlumpur

Sta 4 5°44,166 106°36,052 78,36 20,75 0,89 Pasir berlumpur

Sta 5 5°43,703 106°34,379 72,86 25,86 1,28 Pasir berlumpur

Sta 6 5°44,389 106°35,953 86,98 12,78 0,24 Pasir

Sta 7 5°43,833 106°34,363 90,26 9,01 0,73 Pasir

Sta 8 5°44,642 106°36,185 84,89 14,73 0,38 Pasir

Posisi

(27)

19

Lampiran 3. Hasil olahan fraksi sedimen di Balai Penelitian Tanah Labolatorium Fisika Tanah Bogor

Liat Lumpur Lumpur Lumpur Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir

0 - 2 µm 2 - 10 µm 10 - 20 µm 20 - 50 µm 50 - 100 µm 100 - 200 µm 200 - 500 µm 500 - 1000 µm 1000 - 2000 µm 1 11 F STA 1 0,90 3,27 5,67 12,98 7,58 11,27 23,57 29,87 4,89 2 11 F STA 2 0,82 4,31 6,83 15,67 4,57 13,61 20,15 31,26 2,78 3 11 F STA 3 1,15 2,63 5,61 8,25 12,78 15,65 29,33 17,85 6,75 4 11 F STA 4 0,89 2,39 6,62 11,74 4,56 7,88 53,57 7,84 4,51 5 11 F STA 5 1,28 3,67 6,88 15,31 14,64 19,84 21,38 12,36 4,64 6 11 F STA 6 0,24 0,95 4,25 7,58 4,43 18,47 34,12 17,58 12,38 7 11 F STA 7 0,73 1,25 2,31 5,63 20,34 16,94 31,26 18,45 3,27 8 11 F STA 8 0,38 1,78 3,60 9,35 5,16 13,62 35,41 22,14 8,56

Nomor Komposisi fraksi (%)

(28)

20

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lhokseumawe, 05 Mei 1990 dari ayah yang bernama Kelly Supriyono dan ibu bernama Umi Salamah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Tahun 2007 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Kota Sukabumi.

Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, program studi Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor penulis aktif dalam organisasi

Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) sebagai anggota di Hubungan Luar dan Komunikasi (HUBLUKOM) periode 2008-2009.

Dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Uji Beda Ketebalan Integrasi pada Pantulan Pertama dan Kedua Hasil Deteksi Akustik”.

Gambar

Gambar 1. Peta lokasi pengambilan data akustik dan sedimen di Kepulauan Seribu
Gambar 2. Diagram alir analisis data akustik
Gambar 3. Diagram alir Analisis Komponen Utama
Gambar 4. Persentase fraksi sedimen di setiap stasiun penelitian  (diolah dari Lampiran 2 dan 3)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan pengabdian masyarakat ini dilaksanakan oleh dua dosen dari dua prodi Universitas Amikom Yogyakarta yang berbeda yang bermitra dengan Pokdarwis, Bumdes, masyarakat sekitar

a) Variabel harga (X1) tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi loyalitas pelanggan kartu CDMA dan GSM. Karena menurut persepsi responden harga yang ditawarkan provider

Iklan Baris Iklan Baris JAKARTA UTARA Serba Serbi RUPA-RUPA SILAT SEKOLAH Rumah Dikontrakan LAIN-LAIN JAKARTA SELATAN JAKARTA SELATAN JAKARTA TIMUR JAKARTA TIMUR BODETABEK

Asas ini mengatakan , bahwa tidak ada satupun percobaan yang dapat dilakukan sedemikian rupa sehingga memberikan ketidakpastian di bawah batas-batas yang

• Untuk menampilkan klas-klas obyek tersebut, lakukan pengeditan kelas, dengan mengklik Edit pada menu bar lalu pilih Edit Class/Region Color and Name sehingga

Terdapat penagihan klaim Rawat Jalan rdapat penagihan klaim Rawat Jalan yang dilanjutkan yang dilanjutkan dengan Rawat nap sebanyak !.

Diagnosis angina pectoris tak stabil bila pasien memiliki keluhan iskemia tanpa disertai kenaikan penanda jantung seperti troponin dan CK-MB, dengan atau tanpa disertai perubahan

Berkaitan dengan prinsip dasar dari tujuan komunikasi maka keberdayaan yang diukur dalam penelitian ini adalah : Kemampuan kelompok tani dalam mengelola informasi pertanian