• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Film

2.1.1. Pengertian Film

Film adalah gambar hidup, juga sering disebut movie. Film secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata sinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa dikenal didunia para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + the = phytos (cahaya) + graphie = graphy (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera.27

Film dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk fantasi dan figur palsu) dengan kamera, dan atau oleh animasi. Kamera film menggunakan pita seluloid (atau sejenisnya, sesuai perkembangan teknologi). Butiran silver halida yang menempel pada pita ini sangat sensitif terhadap cahaya. Saat proses cuci film, silver halida yang telah terekspos cahaya dengan ukuran yang tepat akan menghitam, sedangkan

27 Pengertian Film (2008, 02 April), Wikipedia, Diakses pada tanggal 20 September 2013 pukul 15.00 dari http://id.wikipedia.org/wiki/sinema

(2)

yang kurang atau sama sekali tidak terekspos akan tanggal dan larut bersama cairan pengembang (developer).28

Sedangkan dalam Undang-undang No. 08 Tahun 1992 tentang perfilman yang disusun oleh BP2N (Badan Penyehatan Perfilman Nasional). Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa. Audio visual yang dibuat berdasarkan asas sinematografi yang direkam pada pita seluloid, pita video dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melaui proses elektronik atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukan dan atau ditayangkan dengan system proyeksi, mekanik, elektronik dan sistem lainnya.29

Dalam menghasilkan film, para produser atau pembuat film tidak dapat menghindari faktor ideologi meski telah berupaya menghindarinya. Keinginan membuat film merefleksikan kondisi sosial agar khalayak terpuaskan saat menonton film, justru memunculkan ideologi secara terselubung, maka pemahaman, penafsiran dan kritik pada teks film dapat dibaca melalui pengungkapan maknanya.

Film merupakan teks yang berisikan serangkaian photo (gambar) yang menciptakan gambaran akan kehidupan nyata (Danesi, 2002:108). Film sendiri adalah istilah lain dari motion picture (gambar bergerak) yaitu teknik menggabungkan sekumpulan gambar dalam kecepatan tetap. (Straubhaar, 2002:170).

28 Ibid

29 http://www.kpi.go.id/download/regulasi/UU/No/8/Tahun/1992/tentang/Perfilman.pdf diakses pada tanggal 20 Desember 2013 pada pukul 16.30

(3)

Untuk dapat “membaca” muatan khusus, seperti misalnya ideologi dalam sebuah film, maka mau tak mau kita harus memperlakukannya sebagai teks. Namun memperlakukan film sebagai teks tidaklah sesederhana seperti kita membaca literatur (teks book) yang menggunakan bahasa (tulisan) dengan tata bahasa dan aturan-aturan pembentuk makna (aksara, kata, kalimat, dan seterusnya) yang sudah dirumuskan dengan jelas dan disepakati bersama selama puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun lamanya.

Dalam “bahasa” filmis tidak ada tata bahasa (grammar) yang dirumuskan secara ketat seperti layaknya aturan bahasa (Indonesia, Inggris, Perancis dan seterusnya) digunakan gambar-gambar yang bergerak (moving pictures/visual) ditambah dengan suara atau sound audio (dialog, musik, efek dan sebagainya). Bahasa filmis menciptakan makna (yang ditangkap atau diinterpretasikan oleh penonton) dengan menyusun elemen-elemen yang dimilikinya secara kreatif, lewat rangkaian kode-kode yang dibentuk secara teknis, seperti narrative, editing, type of shot, camera angle, camera movement, lighting, sound effect, dan sebagainya, yang dalam istilah teori film disebut sebagai cinematic apparatus.

Jadi, dalam “membaca” bahasa filmis yang terpenting bukanlah memahami apa yang secara fisikal tersampaikan dilayar seperti halnya aksara membentuk kata, kata melahirkan kalimat, kalimat menciptakan paragraph dan seterusnya, akan tetapi memahami sistem (cara kerja) elemen-elemen pembentuk makna tersebut. Dengan kata lain, kita harus

(4)

menggeser pengamatan kita bukan lagi kepada “apa” makna yang ingin disampaikan menuju “bagaimana” makna tersebut diciptakan atau dibangun dalam “bahasa” film, atau bagaimana cinematic apparatus tersebut digunakan. Dengan demikian baru kita akan memahami kenapa penonton menangkap pesan tersebut sedemikian rupa kita bersimpati kepada tokoh, ikut sedih, gembira, hanyut dalam cerita, bahkan terpengaruh.

2.1.2. Karakteristik Film

Film, secara sederhana dapat didefinisikan sebagai cerita yang dituturkan kepada penonton melalui rangkaian gambar bergerak. Dari definisi tersebut, kini mendapatkan empat elemen penting, yaitu:30

30 KFPJ Jakarta Kota (2008, 07 Juni), Karakteristik Film, Diakses pada tanggal 20 Seprtember 2013 pukul 15.40 dari

1. Cerita 2. Dituturkan 3. Penonton, dan

4. Rangkaian gambar bergerak

Cerita sebenarnya bisa dikisahkan melalui berbagai media, seperti novel, drama panggung, dan sebagainya. Menuturkan cerita melalui rangkaian film tentu saja berbeda dengan apabila kita menuturkan cerita melalui novel misalnya. Oleh karena itu, pertama-tama kita harus memahami karakteristik film.

(5)

Film menggunakan unsur gambar sebagai sarana utama untuk menyampaikan informasi. Sebagaimana yang kita ketahui, dalam sejarahnya, film adalah kesinambungan dari fotografi. Pada mulanya film masih bisu, baru kemudian unsur suara melengkapi unsur gambar. Gambar dan suara, keduanya secara bersama-sama menceritakan cerita pada penonton.

Keduanya mengandung apa yang dinamakan ekspresi. Kita melihat gambar dan mendengar suara. Bahwa film bisu mampu bercerita tanpa unsur suara memberikan kepada kita satu pengertian, gambar mencukupi untuk mengisahkan cerita. Bertutur menggunakan media film adalah pertama-tama bertutur visual. Dengan demikian, apabila kita ingin menuturkan cerita melalui film, maka kita harus berfikir visual. Artinya, berfikir bagaimana suatu informasi akan disampaikan dalam bentuk gambar. Unsur suara (dialog, musik, dan efek) merupakan sarana penunjang.

Unsur suara dipergunakan apabila:31

31 Ibid

1. Gambar sudah tidak sanggup menjelaskan. 2. Gambar tidak efektif dan efisien.

3. Suara digunakan untuk menunjang mood, suasana atau perasaan. 4. Suara dipergunakan sebagai kebutuhan realitas.

(6)

Film sebagai media komunikasi memiliki lima fungsi komunikasi yaitu:32

Istilah genre berasal dari bahasa Perancis yang bermakna “bentuk” atau “tipe”. Kata genre sendiri mengacu pada istilah biologi yakni, genius, sebuah klasifikasi flora dan fauna yang tingkatannya berada diatas spesies dan dibawah family. Genius mengelompokan beberapa spesies yang memiliki kesamaan cirri-ciri fisik tertentu. Dalam film genre dapat diklasifikasikan dari sekelompok film yang memiliki karakter atau pola sama (khas) seperti setting, isi dan subjek cerita, tema, struktur cerita, aksi atau peristiwa, periode, gaya, situasi, ikon, mood serta karakter. Klasifikasi 1. Hiburan

2. Pendidikan 3. Penerangan 4. Mempengaruhi 5. Sosialisasi

Dibandingkan dengan media massa elektronik lainya sifat film memiliki nilai seni sehingga lebih mudah menyajikan hiburan dibandingan dengan film.

2.2. Genre Film

2.2.1. Pengertian Genre Film

32 Alexander Rumondor & Henny, Manajemen Media Massa, Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, Jakarta, 2004, Cet.ke-4, Hal. 3.

(7)

tersebut menghasilkan genre-genre populer seperti aksi, petualangan, drama, komedi, horror, western, thriller, film noir, roman dan sebagainya.

Fungsi utama genre adalah untuk memudahkan klasifikasi sebuah film. Genre juga membantu kita memilah film-film tersebut sesuai dengan spesifikasinya. Dalam industri film sendiri sering menggunakannya sebagai strategi marketing. Selain untuk klasifikasi, genre juga dapat berfungsi sebagai antisipasi penonton terhadap film yang akan ditonton.33

33 Himawan Pratista, Memahami Film, Homerian Pustaka, Yogyakarta, 2008, Cet.ke-1, Hal. 10.

Sebenarnya tidak ada patokan baku tentang penggolongan dan kriteria-kriteria genre film. Kalaupuna ada, penggolongan ini tidaklah bersifat kaku atau statis, tetapi selalu berubah. Bahkan dapat dikatakan bahwa genre film dalam beberapa hal tergantung pada penonton. Karena penonton selalu berubah maka kriteria genre pun berubah. Asumsi tersebut berdasarkan pada kenyataan bahwa tidak ada satu kesepakatan pun tentang definisi genre sehingga kita sering menggunakan secara longgar, dan tidak ada kesepakatan diantara para kritikus tentang batasan-batasan dari masing-masing genre film.

Sebuah genre film sering terdiri lebih dari satu genre karena banyak film yang menggabungkan elemen-elemen yang biasa terdapat dalam beberapa genre, atau film tersebut merupakan gabungan dari beberapa genre sehingga tidak memiliki genre sendiri. Oleh karena itu, satu genre dapat saja tumpang tindih dengan genre yang lain, apalagi bila cerita dalam sebuah film memadukan bermacam format yang berbeda.

(8)

Jumlah genre film secara keseluruhan lebih dari tiga ratus genre. Bahkan Daniel Lopez dalam bukunya Film by Genre (1993) yang dikutip oleh Ida Rochani Adi mencatat sebanyak 775 kategori atau genre.34 Masing-masing genre tersebut memiliki karakteristik serta pola dasar yang berbeda-beda.35

Film drama umunya berhubungan dengan tema, cerita, setting, karakter, serta suasana yang memotret kehidupan yang nyata. Konflik bisa dipicu oleh lingkungan, diri sendiri maupun alam. Kisahnya seringkali menggugah emosi, dramatik, dan mampu menguras air mata penontonnya.

2.2.2. Genre Induk Primer

Genre induk primer merupakam genre-genre pokok yang telah ada dan populer sejak awal perkembangan sinema era 1900-an hingga 1930-an.

1. Aksi

Film-film aksi berhubungan dengan adegan-adegan aksi fisik seru, menegangkan, berbahaya, nonstop dengan cerita yang cepat. Film aksi umunya berisi adegan aksi kejar mengejar, perkelahian, tembak menembak, balapan, berpacu dengan waktu, ledakan dan aksi-aksi fisik lainnya.

2. Drama

34 Ida Rochani Adi, Mitos di Balik Film Laga Amerika, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2008, Cet.ke-1, Hal. 12.

(9)

3. Epik Sejarah

Genre ini umunya mengambil tema periode masa silam (sejarah) dengan latar sebuah kerajaan, peristiwa atau tokoh besar yang menjadi mitos, legenda atau kisah biblikal.

4. Fantasi

Film fantasi berhubungan dengan tempat, peristiwa, serta karakter yang tidak nyata. Film fantasi berhubungan dengan unsur magis, mitos, negeri dongeng, imajinasi, halusinasi, serta alam mimpi. Film fantasi juga terkadang berhubungan dengan aspek religi. 5. Fiksi Ilmiah

Film fiksi ilmiah berhubungan dengan masa depan, perjalanan angkasa luar, percobaan ilmiah, penjelajahan waktu, invasi, atau kehancuran bumi. Fiksi ilmiah seringkali berhubungan dengan teknologi dan kekuatan yang berada diluar jangkauan teknologi masa kini serta berhubungan dengan karakter non manusia atau artifisal.

6. Horror

Film horror memiliki tujuan utama memberikan efek rasa takut, kejutan, serta terror yang mendalam bagi penontonnya. Plot film horror umumnya sederhana, yakni bagaimana usaha manusia untuk melawan kekuatan jahat dan biasanya berhubungan dengan dimensi supranatural atau sisi gelap manusia.

(10)

Film komedi adalah jenis film yang tujuan utamanya memancing tawa penontonnya. Film komedi biasanya berupa drama ringan yang melebih-lebihkan aksi, situasi, bahasa, hingga karakternya. Film komedi juga biasanya berakhir dengan penyelesaian cerita yang memuaskan (happy ending).

8. Kriminal dan Gangster

Film kriminal dan gangster berhubungan dengan aksi-aksi kriminal seperti, perampokan bank, pencurian, pemerasan, perjudian, pembunuhan, persaingan antar kelompok, serta aksi kelompok bawah tanah yang bekerja diluar sistem hukum. Sering kali genre ini mengambil kisah kehidupan tokoh kriminal besar yang di inspirasi dari kisah nyata.

9. Musikal

Genre musikal adalah film yang mengkombinasi unsur musik, lagu, tari (dansa), serta gerak (koreografi). Lagu-lagu dan tarian biasanya mendominasi sepanjang film dan biasanya menyatu dengan cerita.

10. Petualangan

Film petualangan berkisah tentang perjalanan, eksplorasi, atau ekspedisi ke satu wilayah asing yang belum pernah tersentuh. Plot film umumnya seputar pencarian sesuatu yang bernilai seperti, harta karun, artefak, kota yang hilang, mineral(emas dan berlian) dan sebagainya.

(11)

11. Perang

Genre perang mengangkat tema kengerian serta teror yang ditimbulkan oleh aksi perang. Tidak seperti epik sejarah, perang umumnya menampilkan adegan pertempuran dengan kostum, peralatan, perlengkapan, serta strategi yang relatif modern.

12. Western

Western adalah sebuah genre orisinil milik Amerika. Genre ini memiliki beberapa ciri karakter tema serta fisik yang sangat spesifik. Setting sering kali menampilkan kota kecil, bar, padang gersang, sungai, rel kereta api, pohon kaktus, peternakan, serta perkampungan suku Indian, Western memiliki karakter yang khas seperti koboi, Indian, kavaleri, sheriff dan lain-lain. 36

Film-film bencana (disaster) berhubungan dengan tragedi atau musibah baik sekala besar maupun kecil yang mengancam jiwa banyak manusia. Film bencana dibagi menjadi dua jenis, bencana alam dan bencana buatan manusia. Bencana alam adalah aksi bencana yang melibatkan kekuatan alam yang merusak dalam

2.2.3. Genre Induk Sekunder

Genre induk sekunder adalah genre-genre besar dan populer yang merupakan pengembangan atau turunan dari genre induk primer.

1. Bencana

36 Heru Effendy, Mari Membuat Film, Panduan Menjadi Produser, Yogyakarta, Jalasutra, 2005, Hal 11-14

(12)

sekala besar seperti angin topan, tornado, gunung berapi, banjir, gempa bumi, meteor, efek pemanasan global serta serangan hewan atau binatang seperti virus, lebah, ular, burung, kelelawar, ikan hiu dan sebagainya. Sedangkan bencana buatan manusia umumnya berhubungan dengan tindakan kriminal atau faktor ketidak sengajaan manusia seperti aksi terorisme, kecelakaan pesawat terbang, kebocoran reaktor nuklir dan sebagainya.

2. Biografi

Biografi (sering dikisahkan biopic: biografy picture) secara umum merupakan perkembangan dari genre drama dan epik sejarah. Film biografi menceritakan penggalan kisah nyata atau kisah hidup seorang tokoh berpengaruh dimasa lalu maupun kini. Umumnya menggambarkan kisah berupa suka duka perjalanan hidup sang tokoh atau keterlibatan sang tokoh dalam sebuah peristiwa besar. 3. Detektif

Genre detektif merupakan pengembangan dari genre kriminal dan gangster. Inti ceritanya umumnya berpusat pada sebuah kasus kriminal pelik yang belum pernah terselesaikan, sang tokoh biasanya seorang detektif atau polisi. Alur ceritanya sulit diduga serta penuh dengan misterius.

(13)

Film noir {:noa} yang bermakna gelap merupakan turunan dari genre kriminal dan gangster. Film noir merupakan genre dengan pendekatan sinematik yang paling unik ketimbang genre-genre yang lainnya. Tema selalu berhubungan dengan tindak kriminal seperti pembunuhan, pencurian, serta pemerasan. Alur ceritanya penuh misteri, sulit ditebak, serta kadang membingungkan. Film noir juga sering menggunakan penuturan kilas balik serta narrator. 5. Melodrama

Melodrama merupakan pengembangan dari genre drama yang sering diistilahkan opera sabun atau film “cengeng” (menguras air mata). Melodrama menggunakan cerita yang mampu menggugah emosi penontonnya secara mendalam dengan dukungan unsur “melodi” (ilustrasi musik).

6. Olahraga

Film olahraga mengambil kisah seputar aktifitas olahraga, baik atlet, pelatih, agen maupun ajang kompetisinya sendiri. Film olahraga biasanya diadaptasi dari kisah nyata baik biografi maupun sebuah peristiwa olahraga besar.

7. Perjalanan

Genre perjalanan atau sering diistilahkan road film merupakan genre khas milik Amerika yang sangat populer di era klasik. Film perjalanan sering bersinggungan dengan genre aksi, drama, serta

(14)

petualangan. Biasanya mengisahkan perjalanan darat (umumnya menggunakan mobil).

8. Roman

Roman seperti halnya melodrama merupakan pengembangan dari genre drama. Film roman lebih memusatkan cerita pada masalah cinta, baik kisah percintaannya sendiri maupun pencarian cinta sebagai tujuan utamanya.

9. Supernatural

Film-film supernatural berhubungan dengan mahluk-mahluk gaib seperti hantu, roh halus, serta kekuatan mental seperti membaca pikiran, masa depan, masa lalu, telekinetis, dan lainnya.

10. Thriller

Film thriller memiliki tujuan utama memberi rasa ketegangan, penasaran, ketidak pastian, serta ketakutan pada penontonnya. Alur ceritanya sering kali berbentuk aksi nonstop, penuh misteri, kejutan, serta mampu mempertahankan intensitas ketegangan hinnga klimaks filmnya.37

Unsur sinematik dalam sebuah adegan film terdiri dari :

2.3. Unsur Sinematik Adegan Film

38

1. Mise-En-Scene : Hal-hal yang ditampilkan atau terlihat di layar film.

Elemen yang termasuk dalam mise en scene adalah :

37 Ibid, Hal 15-16

38 Nathan Abrams, Ian Bell, and Jan Udris, Studying The Media: Studying Film, New York: Oxford University Press, Inc, 2001. Hal. 93-112

(15)

a. Setting

Setting adalah seluruh latar bersama segala propertinya. Properti dalam hal ini adalah benda tidak bergerak seperti perabot, pintu, jendela, kursi, dan sebagainya.

b. Make Up (kostum dan tata rias wajah)

Kostum adalah segala hal yang dikenakan pemain bersama seluruh aksesorisnya. Sedangkan tata rias wajah memiliki fungsi untuk menunjukan usia dan untuk menggambarkan wajah non-manusia. c. Lighting (pencahayaan)

Cahaya dalam film berfungsi untuk membentuk sebuah benda serta dimensi ruang.

d. Acting (performa pemain dan pergerakannya)

Karakter merupakan pelaku cerita yang memotivasi naratif dan selalu bergerak dalam melakukan sebuah aksi dengan memunculkan ekspresi. Hal ini lebih ditekankan pada hal body language atau komunikasi non verbal yang ditampilkan pemeran dalam film tersebut.

2. Mest En Shot (Sinematografi) : memfokuskan pada teknis pengambilan

gambar sebuah film. Hal-hal yang termasuk dalam mest en shot : a. Framing

Framing merupakan kunci utama dalam sinematografi, yang bagaimana sebuah gambar itu terlihat baik dalam pembingkaian di layar kamera atau film. Framing memiliki hubungan kamera dengan

(16)

objek yang akan diambil, seperti batasan wajah wilayah gambar atau frame, jarak, ketinggian, pergerakan kamera, dan seterusnya.

b. Shot Size (ukuran pengambilan gambar)

Shot size tidak terlepas dari peran framing, Shot size juga memiliki kedekatan hubungan dengan unsur naratif yang ada dalam sebuah film. macam-macam shot size antara lain : extreme long shot (ELS), long shot (LS), close up (CU), medium shot (MS) extreme close up (ECU), dan lainnya.

c. Durasi Gambar

Mencakup lamanya sebuah objek diambil gambarnya oleh kamera. d. Sudut kamera (camera angle) dan ketajaman gambar (depth of field).

3. Editing

Proses pemilihan serta penyambungan gambar-gambar yang telah diambil. Mencakup teknik-teknik yang digunakan untuk menghubungkan tiap shot-nya.

4. Sounds (suara)

Segala hal dalam film yang mampu kita tangkap melalui indra pendengaran baik dialog, musik dan efek suara. Sebuah audio akan memberikan banyak informasi, membantu penonton mengikuti alur cerita dan menjelaskan apa yang ditampilkan di dalam layar film. dengan harapan apa yang ingin diberikan di dalam film bisa sampai ke penonton. Secara teori suara dalam film terbagi menjadi dua, yakni :

(17)

a. Diegetic sounds adalah suara utama atau suara asli dalam film, yaitu dialog pemeran dan suara atmosfer dalam film.

b. Non Diegetic sounds adalah suara yang berasal dari luar unsur narasi film, yakni musik, efek suara, dan narasi (voice over).

2.3.1. Teknik Pengambilan Gambar

Seberapa luas atau seberapa dekat objek tampil di layar kamera. Extreme Long Shot (kesan luas dan keluarbiasaan).

1. Full Shot (hubungan sosial).

2. Extreme Close Up (emosi, dramatik, moment penting).

3. Close Up (intim atau dekat).

4. Medium Shot (hubungan personal dengan subjek).

5. Long Shot (perbedaan dengan publik).

2.3.2. Sudut Pandang Angle (pengambilan gambar)

1. High Dominasi (kekuasaan dan otoritas).

2. Eye-Level (Kesejajaran, kemanan dan sederajat).

3. Low Dominasi (dikuasai dan kurang otoritas).

2.3.3. Pergerakan Kamera

1. Pan Shot (pergerakan kamera secara horizontal, dari kanan ke kiri

atau sebaliknya dalam lokasi yang sama) memperlihatkan keadaan disekitar.

2. Pan Down (kamera mengarah ke bawah) menunjukan kekuasaan,

(18)

3. Pan Up (kamera mengarah ke atas) menunjukan kelemahan, pengecilan.

4. Dolly In (kamera mengarah ke dalam) memperlihatkan sebuah

observasi, fokus.

5. Tracking Shot (pergerkan secara horizontal juga, tetapi berpindah

lokasi dengan menggunakan dolly yang berjalan di atas rel).

6. Fade In/Out (gambar muncul dari gelap ke terang dan sebaliknya)

permulaan dan akhir cerita.

7. Cut (perpindahan dari gambar satu ke gambar yang lain).39

Televisi merupakan medium “close up” untuk menunjukan sebuah karakter. Dalam penerapan semiotik pada televisi pengetahuan tentang aspek-aspek medium yang berfungsi sebagai tanda. Setiap angle gambar di atas dapat disimpulkan bahwa setiap cara pengambilan gambar dapat menggambarkan hubungan personal antar tokoh, ekspresi emosi, waktu, kejadian dan tempat secara lebih jelas. Dari gambar tersebut kita juga dapat melihat makna-makna dan ideologi tertentu yang ada dibalik potongan sebuah adegan. Karena televisi merupakan medium yang kompleks yang menggunakan bahasa verbal, gambar dan suara untuk diperhatikan dari medium yang berfungsi sebgai tanda, untuk membedakan sebagai pembawa tanda. Apa yang menarik dari TV adalah pengambilan gambar dari kamera yang dilakukan.40

39

Keith Selby and Ron Cowdery, How to Study Television, London, Palgrave Macmillan Limited, 1995

40 Arthur Asa Berger, Tanda-tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, Hal. 33

(19)

2.4. Nasionalisme

2.4.1. Pengertian Nasionalisme

Nasionalisme berasal dari kata “nasional” dan “isme” yaitu paham kebangsaan dan semangat cinta tanah air, memiliki rasa kebanggaan sebagai bangsa, atau memelihara kehormatan bangsa. Nasionalisme juga berasal dari kata nation (Inggris) yang berarti bangsa. Nasionalisme merupakan rasa untuk mencapai kesatuan dan persatuan yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi. Nasionalisme juga dapat didefinisikan sebagai suatu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (nation) dengan mewujudkan suatu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.41

Dalam perkembangan peradaban manusia, interaksi sesama manusia berubah bentuk menjadi lebih kompleks dan rumit. Dimulai dari tumbuhnya kesadaran untuk menentukan nasib sendiri di kalangan bangsa yang tertindas kolonialisme dunia, seperti Indonesia salah satunya, hingga melahirkan semangat untuk mendirikan dan bebas menentukan masa depannya sendiri.42

Dalam situasi perjuangan merebut kemerdekaan dibutuhkan suatu konsep sebagai dasar pembenaran rasional dari tuntunan terhadap penentuan nasib sendiri yang dapat mengikat partisipasi tiap orang atas nama sebuah bangsa. Dasar pembenaran tersebut, selanjutnya mengkristal

41Nur Wahyu Rochmadi, Kewarganegaraan 1, Yogyakarta, Yudhistira, 2006, Hal. 34. 42 Ibid, Hal. 35.

(20)

dalam paham ideologi kebangsaan yang biasanya disebut dengan nasionalisme. Dari sanalah kemudian lahir konsep-konsep turunannya seperti bangsa (nation), negara (state), dan gabungan keduanya menjadi konsep negara-bangsa (nation state), sebagai komponen-komponen yang membentuk identitas nasional atau bangsa.43

Munculnya nasionalisme terbukti sangat efektif sebagai alat bersama merebut kemerdekaan dari cengkraman kolonial. Semangat nasionalisme dihadapkan secara efektif oleh para penganutnya dan dipakai sebagai metode perlawanan dan alat identifikasi untuk mengetahui siapa lawan dan kawan. Seperti yang disimpulkan oleh Larry Diamond dan Mare F. Platnner, para pengamat kolonialisme dan imperialisme.44

Nasionalisme merupakan fenomena yang kompleks karena konotasi dan interpretasinya yang kaya sebagai hasil studi yang demikian beragam sepanjang masa. Dalam konteks pertama, nasionalisme sulit dibedakan patriotisme atau cinta pada tanah air dan bangsa. Dalam konteks ini, nasionalisme tidak berhubungan dengan asal ras, asal etnis, atau asal nenek moyang atau dengan sifat-sifat budaya yang nyata seperti bahasa atau agama. Sedangkan dalam konteks kedua, nasionalisme merupakan sebuah bentuk kelompok solidaritas atau rasa komunitas yang berdasarkan etnisitas dari pada teritorial. Dalam konteks ini, nasionalisme merujuk

43 Ibid, Hal. 36. 44 Ibid, Hal. 37.

(21)

pada perasaan subjektif yang memisahkan satu kelompok tertentu dengan kelompok-kelompok lain dalam sebuah komunitas.45

Nasionalisme adalah manifestasi kesadaran bernegara atau semangat bernegara. Jika kita ingin mengetahui bagaimana semangat bernegara itu berkembang di Indonesia, sudah sewajarnya kita harus meninjau kehidupan kenegaraan diberbagai daerah dilingkungan Indonesia dari masa sebelum kedatangan bangsa Belanda sampai sesudah bangsa Belanda meninggalkan Indonesia. Sebelum kedatangan bangsa Belanda dilingkungan Indonesia sudah ada negara-negara yang dikemudikan oleh orang-orang Indonesia sendiri. Namun nama Indonesia belum dikenal. Wajah negara-negara yang ada juga tidak sama dengan wilayah Indonesia sejak kedatangan bangsa Belanda. Demikianlah semangat nasional sebagai manifestasi kesadaran bernegara tidak sama dengan nasionalisme yang tumbuh dalam dada para pejuang kemerdekaan selama zaman penjajahan Belanda. Wataknya berbeda.46

Nasionalisme pada zaman penjajahan pada hakekatnya baru mencapai taraf: ingin mempunyai negara. Nasionalismenya meliputi perjuangan untuk melepaskan kesatuan bangsa yang diikat oleh kesatuan wilayah yang luasnya sama dengan Indonesia, dari penjajahan Belanda. Perjuangannya dihadapkan kepada penjajahan, tujuannya: mencapai kemerdekaan. Dengan kemerdekaan itu mereka ingin mengatur negara

45

Fadli Zon, Gerakan Etnonasionalis : Bubarnya Imperium Uni Soviet, Jakarta : PT. Surya Multi Grafika, 2002, Hal. 21.

46 Slametmuljana, Nasionalisme Sebagai Modal Perjuangan Bangsa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2008, Jilid-2, Hal. 7.

(22)

Indonesia menurut konsepsinya sendiri. Demikianlah kemerdekaan yang dituju itu biasa disebut jembatan emas. Diseberang jembatan emas itu membentang taman bahagia, tempat rakyat Indonesia hidup bersenang-senang. Wilayah yang dikehendaki seluas Indonesia, yang masih bernama Hindia Belanda, tidak boleh dikurangi dengan pulau manapun. Bangsa yang akan dibebaskan dari cengkraman kaum penjajah ialah segenap suku yang hidup diwilayah Indonesia, tanpa ada kekecualian, karena kesatuan dari segenap suku itu disebut bangsa Indonesia. Nasionalisme Indonesia pada zaman penjajahan itu lalu mempunyai watak khusus, yakni anti-penjajah, anti-Belanda. Mau tidak mau harus diakui bahwa watak anti Belanda itu adalah salah satu manifestasi dari kompleks rasa rendah terhadap bangsa Belanda, yang sedang berkuasa. Terhadap bangsa Indonesia pihak Belanda mempunyai kompleks superior dan memandang dirinya lebih tinggi dari pada bangsa Indonesia dalam segala bidang. Kepentingan pihak terjajah yang ingin melepaskan diri dari penjajahan berlawanan dengan kepentingan pihak penjajah yang berusaha mempertahankan dan mengabadikan kekuasaannya dibumi Indonesia. Demikianlah nasionalisme Indonesia merupakan antitesis mutlak dari pada kolonialisme Belanda. Antitesis pada dasarnya tidak dapat dipersatukan. Oleh karena itu dalam usaha memperjuangkan kepentingannya masing-masing selalu timbul bentrokan antara pihak nasionalis dan pihak yang

(23)

berkuasa. Itulah secara singkat wujud nasionalisme pada zaman penjajahan.47

1. Menempatkan persatuan – kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kepentingan golongan.

Pada prinsipnya nasionalisme Pancasila adalah pandangan atau paham kecintaan manusia Indonesia terhadap bangsa dan tanah airnya yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Prinsip nasionalisme bangsa Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila yang diarahkan agar bangsa Indonesia senantiasa :

2. Menunjukan sikap rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara.

3. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia serta tidak merasa rendah diri.

4. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban antara sesama manusia dan sesama bangsa.

5. Menumbuhkan sikap saling mencintai sesama manusia. 6. Mengembangkan sikap tenggang rasa.

7. Tidak semena-mena terhadap orang lain. 8. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.

9. Senantiasa menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. 10. Berani membela kebenaran dan keadilan.

(24)

11. Merasa bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian dari seluruh umat manusia, dan

12. Menganggap pentingnya sikap saling menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.48

Kita sebagai warga negara Indonesia, sudah tentu merasa bangga dan mencintai bangsa dan negara Indonesia. Kebanggaan dan kecintaan kita terhadap bangsa dan negara tidak berarti kita merasa lebih hebat dan lebih unggul daripada bangsa dan negara lain. Kita harus mengembangkan sikap saling menghormati, menghargai dan bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain. Jadi, nasionalisme dalam arti sempit dapat diartikan sebagai suatu sikap yang meninggikan bangsanya sendiri, sekaligus tidak menghargai bangsa lain sebagaimana mestinya. Sikap seperti ini jelas mencerai-beraikan bangsa yang satu dengan bangsa lain. Sedangkan dalam arti luas, nasionalisme merupakan pandangan tentang rasa cinta yang wajar terhadap bangsa dan negara dan sekaligus menghormati bangsa lain.49

48

2.4. Semiotika

2.4.1. Pengertian Semiotika

http://110.138.206.53/bahan-ajar/modul_online/ppkn/MO_24/ppkn205_04.htm diakses pada tanggal 25 Oktober 2013, pukul 17.00

(25)

Semiotika berasal dari bahasa Yunani, “semeion” yang berarti tanda (Sudjiman dan Van Zoest, 1996: 7) atau “seme” yang berarti penafsiran tanda (Coley dan Jansz, 1999: 4).50

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan didunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia.51 Semiotika atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memakai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1998: 179; Kurniawan, 2001: 53).52

Semiotika meliputi tanda-tanda visual dan verbal. Setiap tanda atau sinyal yang dapat diterima oleh seluruh panca indera kita, maka tanda-tanda tersebut pada akhirnya membentuk sistem kode yang secara sistematis menghasilkan suatu informasi atau makna pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia.53

50Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, Hal. 16. 51

Ibid, Hal.15. 52 Ibid

53 Indiawan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, Jakarta, Mitra Wacana Media, 2011, Hal. 6.

(26)

Menurut Pateda yang dikutip Alex Sobur, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotika yang dikenal sekarang, yaitu:54

54 Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika

dan Analisis Framing, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, Hal. 100-101.

1. Semiotik analitik, yakni semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce menyatakan bahwa semiotik berobjekan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, objek, dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu kepada objek tertentu. 2. Semiotik deskriptif, yakni semiotik yang memperhatikan sistem

tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang.

3. Semiotik faunal (zoosemiotic), yakni semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan.

4. Semiotik cultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu.

5. Semiotik naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan.

6. Semiotik natural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam.

7. Semiotik normatif, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma.

(27)

8. Semiotik sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, yang berwujud kata-kata dalam satuan yang disebut kalimat.

9. Semiotik structural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

Film merupakan berbagai sistem tanda yang bekerja bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika. Seperti yang dikemukakan oleh Van Zoest, film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imajinasi dan sistem penanda. Pada film digunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Ciri gambar-gambar film adalah persamaannya dengan realitas yang ditunjuknya. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya.55

Charles Sanders Peirce adalah tokoh semiotika yang berlatar belakang pendidikan filsafat dan menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika. Bagi Peirce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar

2.4.2. Semiotika Charles Sanders Peirce

(28)

lewat tanda. Dalam pemikirannya, logika sama dengan semiotik, dan semiotik dapat diterapkan pada segala macam tanda.56

Teori dari Peirce sering kali disebut sebagai “grand theory” dalam semiotika.57

Dalam pemahaman semiotik menurut Peirce bahwa tanda terdiri dari the representement, bentuk yang diambil oleh tanda (tidak selalu berupa material) atau sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain yang disebut object atau denotatum (benda yang mengacu kepada tanda tersebut). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam bentuk penerima tanda melalui interpretant. Jadi interpretan ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda, singkatnya makna dari tanda itu. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda apabila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukakan oleh Peirce terkenal dengan segitiga semiotik.

Ini lebih disebabkan karena gagasan Peirce bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Peirce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal.

58

56 Arthur Asa Berger, Tanda-tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer, Terjemahan M. Dwi Marianto dan Sunarto, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2000, Hal. 11-12.

57 Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika

dan Analisis Framing, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, Hal. 97.

(29)

Sign

Interpretant Object

Gambar 2.1. Teori Segitiga Peirce

Sumber : Rahmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi.

Teori segitiga semiotika (triangle of meaning) adalah sebuah teori yang mengupas tentang bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda tersebut digunakan untuk berkomunikasi. Menurut Peirce, semiotika berangkat dari tiga elemen utama yang disebut teori segitiga makna atau triangle of meaning, yaitu:

1. Sign (tanda) adalah bagian tanda yang merujuk pada sesuatu

menurut cara atau berdasarkan kapasitas tertentu.

2. Object (objek) adalah sesuatu yang dirujuk oleh tanda. Biasanya

objek merupakan sesuatu yang lain dari tanda itu sendiri atau objek dan tanda bisa jadi merupakan entitas yang sama. Ada beberapa macam objek dalam teori semiotika yang dikemukakan Peirce, yaitu:

a. Objek Representasi yaitu objek sebagaimana direpresentasikan oleh tanda.

b. Objek Dinamik yaitu objek yang tidak bergantung pada tanda, objek inilah yang merangsang penciptaan tanda.

(30)

3. Interpretant merupakan efek yang ditimbulkan dari proses penandaan, atau bisa juga interpretant adalah tanda sebagaimana diserap oleh benak kita, sebagai hasil penghadapan kita dengan tanda itu sendiri.

2.5. Representasi

Representasi adalah istilah yang merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Representasi penting dalam dua hal. Pertama, apakah seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Kata semestinya ini mengacu apakah seseorang atau kelompok itu diberitakan apa adanya ataukah diburukkan. Penggambaran yang tampil bisa jadi adalah penggambaran yang buruk dan cenderung memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu.59

Kedua, bagaimana representasi tersebut ditampilkan. Dengan kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan foto atau dokumentasi yang menampilkan macam apa seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak. Dalam representasi, sangat mungkin terjadi misrepresentasi atau ketidak benaran penggambaran, kesalahan penggambaran. Menurut John Fiske seperti yang dikutip oleh Eriyanto, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan, kelompok atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang harus dihadapi.

60

59 Eriyanto, Analis Wacana (Pengantar Analis Teks Media), LKIS, Yogyakarta, 2001, Cet-1 Hal. 113.

60 Ibid, Hal. 114.

(31)

Pada level pertama, adalah peristiwa yang ditandakan sebagai realitas. Bagaimana peristiwa itu dikonstruksi sebagai realitas, pada level kedua, ketika memandang sesuatu sebagai realitas, dan bagaimana realitas tersebut digambarkan pada level yang ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir kedalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan kedalam koherensi sosial seperti kelas sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat.61

Representasi adalah sebuah peraktek sejenis “kerja” yang menggunakan objek-objek dan efek material. Tetapi makna tergantung, tidak pada kualitas material, melainkan pada fungsi simbolisnya. Ini karena suara atau kata khusus mewakili, menyimbolkan, atau mempresentasikan bentuk konsep sehingga kata bisa berfungsi, didalam bahasa sebagai suatu tanda dan menyampaikan makna atau seperti yang dikatakan oleh kaum konstruktivitas, memberikan arti penting.62 Sedangkan representasi menurut Piliang adalah tindakan menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol.63

Menurut Turner, makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat, berbeda dengan film sekadar refleksi dari realitas. Sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya. Film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan di

61 Ibid

62 Saiful Totona, Miskin Itu Menjual, Resist Book, Yogyakarta, 2001, Hal. 11-13.

63 Yusraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003, Hal. 21.

(32)

baliknya. Dengan kata lain film tidak bisa dipisahkan dari konteks masyarakat yang memproduksi dan mengkonsumsinya. Representasi adalah tindakan menghadirkan atau merepresentasikan sesuatu baik orang, peristiwa, maupun objek lewat sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol. Representasi ini belum tentu bersifat nyata tetapi bisa juga menunjukan dunia khayalan, fantasi, dan ide-ide abstrak.64

Representasi merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggaris bawahi hal-hal tertentu dan hal lain diabaikan. Dalam represntasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuatu mengalami proses seleksi. Mana yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan pencapaian tujuan-tujuan komunikasi ideologisnya itu yang digunakan sementara tanda-tanda lain diabaikan. Marcel Danesi mendefinisikan representasi sebagai proses perekaman gagasan, pengetahuan, atau pesan secara fisik. Secara lebih tepat dapat didefinisikan sebagai penggunaan ‘tanda-tanda’ (gambar, suara, dan sebagainya) untuk menampilkan ulang sesuatu yang diserap, diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik.

65

Menurut Stuart Hall, proses produksi dan pertukaran makna antara manusia atau antar budaya yang menggunakan gambar, simbol dan bahasa adalah disebut “representasi”. Media paling sering digunakan dalam produksi dan pertukaran makna adalah bahasa melalui pengalaman-pengalaman yang ada dalam masyarakat. Representasi menggambarkan bahwa bahasa melukiskan relasi encoding dan decoding melalui metafora produksi dan konsumsi. Proses produksi

64 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya 2006, Hal 127-128 65 Marcel Danesi, Memahami Semiotika Media, Jalasutra, Yogyakarta, 2010

(33)

meliputi proses gagasan, makna, ideologi dan kode sosial, ilmu pengetahuan, keterampilan teknis, ideologi profesional, pengetahuan institusional, defenisi dan berbagai asumsi lainnya seperti moral, kultural, ekonomis, politik dan spiritual. Menurut Stuart Hall, ada tiga pendekatan representasi :

1. Pendekatan Reflektif, bahwa makna diproduksi oleh manusia melalui ide, media objek dan pengalaman-pengalaman di dalam masyarakat secara nyata.

2. Pendekatan Intensional, bahwa penutur bahasa baik lisan maupun tulisan yang memberikan makna unik pada setiap hasil karyanya. Bahasa adalah media yang digunakan oleh penutur dalam mengkomunikasikan makna dalam setiap hal-hal yang berlaku khusus yang disebut unik.

3. Pendekatan Konstruksionis, bahwa pembicara dan penulis, memilih dan menetapkan makna dalam pesan atau karya (benda-benda) yang dibuatnya. Tetapi, bukan dunia material (benda-benda) hasil karya seni dan sebagainya yang meninggalkan makna tetapi manusialah yang meletakkan makna.66

Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep representasi sendiri bisa berubah-ubah, selalu ada pemaknaan baru. Representasi berubah-ubah akibat makna yang juga berubah-ubah. Setiap waktu terjadi proses negoisasi dalam pemaknaan. Jadi representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses statis tapi merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia sendiri

(34)

yang juga terus bergerak dan berubah. Representasi merupakan suatu proses usaha konstruksi. Karena pandangan-pandangan baru yang menghasilkan pemaknaan baru, juga merupakan hasil pertumbuhan konstruksi pemikiran manusia, melalui representasi makna diproduksi dan dikonstruksi. Ini menjadi proses penandaan, praktik yang membuat suatu hal bermakna sesuatu.67

2.6. Kerangka Pemikiran

Dilihat dari kerangka pemikiran diatas, maka penulis menjelaskan bagaimana nasionalisme digambarkan dalam film Garuda Di Dadaku 2. Penulis menggunakan semiotika Charles Sanders Peirce karena ia mengatakan bahwa sign adalah tanda, object adalah sesuatu yang dirujuk tanda, sedangkan

67 Ibid

Film “Garuda di Dadaku 2”

Pesan / Simbol Nasionalisme

Analisis Semiotika

(35)

interpretant adalah tanda yang ada dalam benak seseorang. Analisis semiotika Charles Sanders Peirce memaknai tanda-tanda tersebut untuk membantu penulis dalam mempresentasikan nilai-nilai nasionalisme yang ada dalam film Garuda di Dadaku 2.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian yang didapat adalah hubungan variabel komunikasi terhadap variabel kinerja rantai suplai melalui variabel kualitas kerjasama merupakan hubungan mediasi

Pola reaksi perubahan nitrit isolat NOB H1 (Gambar 3) menunjukkan bahwa secara umum terjadi penurunan konsentrasi nitrit yang diikuti oleh kenaikan konsentrasi amonium dan

Pesona keindahan dan keunikan panorama alam seperti wisata pantai serta seni budayanya merupakan potensi wisata yang dapat menjadi tujuan bagi para wisatawan domestik maupun

merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosial kultur, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi warga Negara

(2) Pengelolaan database kependudukan oleh satuan kerja perangkat daerah provinsi yang membidangi urusan kependudukan dan pencatatan sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40

Dengan melihat tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa masih banyak siswa kelas XI IPS yang belum tuntas dalam ulangan harian dengan persentase sebagai berikut: 37,5%