• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan (International Conference on Population and Development, ICPD), di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan (International Conference on Population and Development, ICPD), di"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Kesehatan Reproduksi

2.1.1. Sejarah kesehatan reproduksi

Kesehatan reproduksi mendapat perhatian khusus secara global sejak diangkatnya isu tersebut dalam Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development, ICPD), di Kairo, Mesir pada tahun 1994. Hal penting dalam konferensi tersebut adalah disepakatinya perubahan paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang terfokus pada kesehatan reproduksi serta upaya pemenuhan hak-hak reproduksi (Widyastuti,2009:1). Dengan demikian pengendalian kependudukan telah bergeser ke arah yang lebih luas, yang meliputi pemenuhan kebutuhan kesehatan reproduksi bagi laki-laki dan perempuan sepanjang siklus hidup, termasuk hak-hak reproduksinya, kesetaraan dan keadilan gender, pemberdayaan perempuan dan penanggulangan kekerasan berbasis gender, serta tanggung jawab laki-laki dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi.

Paradigma baru ini berpengaruh besar antara lain terhadap hak dan peran perempuan sebagai subyek dalam ber-KB. Perubahan pendekatan juga terjadi dalam penanganan kesehatan ibu dan anak, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS, serta kesehatan

(2)

reproduksi usia lanjut, yang dibahas dalam konteks kesehatan dan hak reproduksi. Dengan paradigma baru ini diharapkan kestabilan pertumbuhan penduduk akan dapat dicapai dengan lebih baik.

2.1.2. Definisi kesehatan reproduksi

Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 memberikan batasan: kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Batasan yang diangkat dari batasan kesehatan menurut Organisasi Kesahatan Dunia ( WHO ) yang paling baru ini, memang lebih luas dan dinamis dibandingkan dengan batasan sebelumnya yang mengatakan, bahwa kesehatan adalah keadaan sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial, dan tidak hanya bebas dari penyakit dan cacat. Pada batasan yang terdahulu, kesehataan itu hanya mencakup tiga aspek, yakni : fisik, mental, dan sosial, tetapi menurut Undang-Undang No. 23/1992, kesehatan itu mencakup 4 aspek yakni fisik (badan), mental (jiwa), sosial, dan ekonomi. Hal ini berarti kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi (Notoatmodjo, 2007:3).

Dalam Konfrensi Kependudukan di Kairo 1994, disusun pula definisi kesehatan reproduksi yang dilandaskan kepada definisi sehat menurut WHO: keadaan sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental dan sosial, dan bukan sekedar tidak adanya penyakit disegala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi,

(3)

fungsinya, maupun proses reproduksi itu sendiri (Widyastuti dkk, 2009:1; Suyono, 1997:1).

2.1.3. Ruang lingkup kesehatan reproduksi dalam siklus kehidupan

Secara luas, ruang lingkup kesehatan produksi yang tercantun dalam Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia (2005) meliputi: 1. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir

2. Keluarga berencana

3. Pencegahan dan penanggulangan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) termasuk IMS-HIV/AIDS

4. Pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi 5. Kesehatan reproduksi remaja

6. Pencegahan dan penanganan infertilitas

7. Penanggulangan masalah kesehatan reproduksi pada usia lanjut seperti kanker, osteoporosis, dementia dan lain-lain.

2.2.Hak Reproduksi

Sebelum tahun 1960, beberapa konsensus PBB tentang populasi tidak menfokuskan pada hak. Demikian pula dengan konvensi tentang perempuan, juga belum memberi penekanan pada Hak Asasi Manusia atau isu yang mempedulikan reproduksi dan seksualitas. Pada konfrensi Hak Asasi Manusia I yang diselenggarakan di Teheran tahun 1960, mulai menyebutkan adanya hak untuk

(4)

menentukan dan jumlah dan jarak anak. Konfrensi Hak Asasi Manusia II pada tahun 1993 di Viena mulai membuat tahapan mengenai hasil konvensi di Kairo dan Beijing yang menegaskan bahwa hak perempuan adalah Hak Asasi Manusia yang memangkas semua bentuk diskriminasi berdasarkan seks harus menjadi prioritas pemerintah. Dari konvensi ini akhirnya perempuan mempunyai hak untuk menikmati standar tertinggi dari kesehatan fisik dan psikis sepanjang kehidupan termasuk hak untuk akses dan pelayanan kesehatan yang adekuat. Ada beberapa hak yang digunakan untuk melindungi dan meningkatkan kesehatan gender dalam kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual (Wiknjosastro, 2006:18).

Cottingham dkk (Wiknjosastro, 2006:18) menuliskan bahwa kesehatan reproduksi merupakan hak asasi manusia. Baik ICPD 1994 di Kairo maupun FWCW 1995 di Beijing mengakui hak-hak reproduksi sebagai bagian yang tak terpisahkan dan mendasar dari kesehatan reproduksi dan seksual.

Hak-hak reproduksi mencakup hak-hak asasi manusia tertentu yang sudah diakui dalam hukum-hukum nasional, dokumen-dokumen hak asasi manusia internasional dan dokumen-dokumen konsensus Perserikatan Bangsa-Bangsa lain yang relevan. Hak-hak ini didasarkan pada pengakuan akan hak-hak asasi semua pasangan dan pribadi untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah anak, penjarakan anak, dan menentukan waktu kelahiran anak-anak mereka mempunyai informasi dan cara memperolehnya, serta hak untuk mencapai standar tertinggi kesehatan seksual dan reproduksi. Hal ini juga mencakup hak semua orang untuk membuat keputusan mengenai reproduksi yang bebas dari diskriminasi,

(5)

paksaan, dan kekerasan seperti dinyatakan dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia. Untuk melaksanakan hak tersebut, mereka harus mempertimbangkan kebutuhan kehidupan anak-anak mereka yang sekarang dan pada masa mendatang, serta tanggung jawab mereka terhadap masyarakat (Dwiyanto A., Darwin M., 1996:22).

Hak-hak reproduksi yang dituliskan oleh Widyastuti dkk (2009:3) menurut kesepakatan dalam Konferensi International Kependudukan dam Pembangunan bertujuan untuk mewujudkan kesehatan bagi individu secara utuh, baik kesehatan jasmani maupun rohani, meliputi:

1. Hak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan dan reproduksi. 2. Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi. 3. Hak kebebasan berfikir tentang pelayanan kesehatan reproduksi. 4. Hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan.

5. Hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak.

6. Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksinya. 7. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan

dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan, dan pelecehan seksual.

8. Hak mendapatkan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.

9. Hak atas pelayanan dan kehidupan reproduksinya. 10. Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.

(6)

11. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga dan kehidupan reproduksi.

12. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.

2.2.1. Perkembangan hak asasi perempuan

Pemerintah Indonesia yang sebelumnya telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan melalui Undang-undang No.7/1984, bertanggung jawab secara simultan melaksanakan peraturan-peraturan dibawah tersebut. Hak-hak tersebut lebih ke arah hak-hak sipil dan hak politis misalnya: hak untuk hidup, bebas dari tekanan, bersuara, dan mendapat informasi. Sedangkan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya misalnya mendapat pendidikan, bekerja, dan standar hidup yang sehat baik fisik dan mental (Winkjosastro dkk, 2006:20).

Winkjosastro dkk (2006:20) menuliskan dalam setiap hak, pemerintah mempunyai 3 tingkat peraturan :

1. Menghormati HAM yang berarti pemerintah tidak melakukan kekerasan;

2. Melindungi HAM yang berarti pemerintah membuat suatu hukum yang mengatur mekanisme untuk melindungi dari kekerasan;

3. Memenuhi HAM yang berarti pemerintah mengambil suatu tindakan yang bertahap ditempatkan dalam suatu peraturan yang prosedural (sesuai prosedur) dalam suatu institusi.

(7)

Pada refleksi lima tahun pertama pelaksanaan Deklarasi Beijing (1995-2000) pemerintah Indonesia mencatat sejumlah besar advokasi yang dilakukan berbagai pihak; baik tingkat lokal; nasional maupun internasional; yang pada akhirnya terbentuklah institusi baru dan menerbitkan beberapa Undang-undang baru yang terkait langsung dengan perlindungan hak-hak asasi perempuan di tingkat nasional. Diantaranya pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (1998), pengesahan Undang-undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pada Undang-undang No. 39/1999 untuk pertama kalinya secara hukum dinyatakan bahwa hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia. Hak Asasi Manusia, termasuk hak politik perempuan (Winkjosastro dkk, 2006:21).

2.2.2. Pemenuhan hak-hak reproduksi

Berdasarakan UU No. 7/1984 dan dokumen Kairo dapat disimpulkan, hak reproduksi (dan implikasinya pada kesehatan reproduksi) selalu menyangkut dua komponen dasar. Komponen pertama, kebebasan dalam menentukan jumlah anak dan waktu/jarak kelahiran. Arti “kebebasan” ini tidak dapat dilepaskan dari dokumen-dokumen hak asasi manusia lainnya dan bersifat mutlak. Ia harus berdasarkan rasa tanggungjawab, baik terhadap kehidupannya, anaknya maupun masyarakatnya. Tanggungjawab seperti ini hanya akan bisa terwujud kalau perempuan menempati posisi yang kuat, posisi di mana ia dapat bernegosiasi dengan lingkungannya (keluarga, suami serta masyarakat) dan pemerintah. Komponen berikutnya adalah

(8)

keluarga berencana. Entitlement merupakan manifestasi dari rasa tanggungjawaab masyarakat dan negara, terhadap kehidupan reproduksi perempuan dan memiliki nilai sosial (Adrina dkk, 1998:68).

Pemenuhan hak-hak reproduksi merupakan bentuk perlindungan bagi setiap individu, serta prakondisi untuk memperoleh hak-hak lainnya tanpa diskriminasi. Hak-hak reproduksi mengawasi pemerintah dalam mematuhi dokumen-dokumen HAM seperti tidak terpenuhinya hak atas pendidikan, pelayanan kesehatan dan sosial yang menyebabkan kematian ibu. Hak-hak reproduksi berarti pasangan dan individu berhak untuk memutuskan apakah dan kapan mereka memiliki anak tanpa diskriminasi, paksaan dan kekerasan (Wiknjosastro, 2006:18).

Triwijati (1997:114) menuliskan dalam pemenuhan hak reproduksi perempuan terdapat tiga elemen yang harus dipenuhi. Pertama, hak untuk bebas menentukan jumlah anak dan kapan (atau apakah mau) melahirkan. Kedua, hak untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan cara/metode untuk mengatur kesuburannya, dan ketiga untuk memiliki kontrol atas tubuhnya.

Elemen pertama diperuntukkan bagi pasangan dan individu, yang mencakup mulai dari hak untuk menentukan bila dan kapan hendak menikah, memilih pasangan, sampai dengan hak untuk mempunyai anak (jumlah maupun jarak waktunya). Implikasinya hak ini tidak boleh dilanggar baik oleh individu lain, masyarakat maupun pemerintah. Penentuan kapan, berapa banyak dan jarak waktu mempunyai anak adalah hak dan tanggung jawab dari pasangan dan individu yang bersangkutan.

(9)

Elemen kedua, hak untuk mampu mengatur kesuburan, mencakup hak untuk mendapatkan informasi tentang KB dan pelayanannya. Artinya pemerintah tidak boleh menghambat atau membatasi individu maupun pasangan untuk mendapatkan informasi dan pendidikan yang lengkap berkaitan kontrasepsi maupun untuk mendapatkan dan menggunakan kontrasepsi (modern maupun tradisional). Praktek-praktek pelayanan KB di lapangan yang hanya memberikan informasi yang parsial, serta pemasangan kontrasepsi tertentu tanpa didahului pemeriksaan yang lengkap, tidak adanya konseling yang mengutamakan kepentingan kesehatan perempuan adalah beberapa contoh pelanggaran terhadap kesuburan ini.

Elemen ketiga, hak perempuan untuk mempunyai kontrol atas tubuhnya sendiri, baik terhadap kapasitas seksualnya dan reproduksinya maupun untuk memiliki integritas terhadap tubuhnya. Bentuk-bentuk pelanggaran dalam pengertian ini antara lain adalah: hubungan seksual yang didasari rasa keterpaksaan, pemberian sanksi karena memiliki jumlah anak yang lebih dari norma yang ditetapkan, praktek-praktek yang menahan perempuan untuk dapat menghentikan pemakaian kontrasepsi yang dirasakan sangat membebani baik secara fisik (gangguan fisik) maupun mental (mengalami kecemasan maupun depresi berkepanjangan). Persoalan pelanggaran hak reproduksi perempuan muncul ketika pertanyaan tentang seberapa jauh persepsi dan kepatuhan benar-benar didasarkan pada ketiga elemen hak reproduksi.

(10)

2.3.Budaya Reproduksi

Manusia percaya bahwa salah satu tugas mereka di dunia adalah melestarikan eksistensi manusia di bumi ini. Memiliki anak merupakan salah satu cara untuk memenuhi kewajiban itu. Banyak budaya yang memperbolehkan atau malah mendorong laki-laki untuk menceraikan istrinya dan kawin lagi, kalau perkawinan mereka tidak menghasilkan keturunan. Perempuan seolah-olah dianggap sebagai penyebab kemandulan (Mohamad, 1998:50).

Mohamad (1998:50) menyatakan bahwa di kalangan masyarakat agraris, kelangsungan hidup mereka amat bergantung pada kesuburan, baik kesuburan tanah tempat mereka hidup maupun kesuburan kaum perempuannya. Perempuan yang subur sangat dihargai dan sebaliknya yang tidak subur dipandang rendah. Budaya tersebut menanamkan konsep pada kaum perempuan bahwa mengandung dan melahirkan anak adalah kewajiban tanpa diimbangi dengan hak juga pilihan lainnya. Keinginan untuk tidak hamil dan tidak mempunyai anak dianggap menyimpang dari aturan sosial. Kondisi ini menyebabkan perempuan untuk dapat melahirkan anak seperti harapan orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Di banyak negara berkembang, bahkan keputusan untuk menggunakan kontrasepsi bukan merupakan keputusan perempuan, meskipun yang menggunakannya adalah perempuan itu sendiri. Demikian juga keputusan untuk melahirkan akan meminta pertolongan dukun, bidan, atau dokter, sering diambil oleh suami dan mertua. Budaya reproduksi juga adakalanya menanamkan keyakinan bahwa mempunyai anak laki-laki adalah lebih baik daripada anak perempuan. Anak

(11)

laki-laki merupakan penerus marga atau keluarga, ataupun sebagai cadangan tenaga yang kuat untuk melakukan tugas-tugas seperti berperang, berburu, dan bekerja di ladang. Dalam masyarakat yang tidak menghendaki anak perempuan untuk tampil di muka umum, seperti misalnya masyarakat Arab di Arab Saudi, makna anak laki-laki menjadi makin lebih penting bagi sebuah keluarga (Mohamad, 1998:51).

Budaya reproduksi penting dalam penelitian ini untuk melihat motivasi masyarakat di daerah penelitian untuk meneruskan keturunannya. Selain motivasi untuk meneruskan keturunan juga termasuk harapan keluarga yang melekat pada anak yang lahir tersebut.

2.3.1. Tema budaya yang melatarbelakangi perilaku ibu dalam pemeliharaan kehamilan dan persalinan

Selain budaya reproduksi diperlukan juga tema budaya yang menjadi latar belakang perawatan dan pemeliharan kehamilan. Tema budaya ini akan memberikan gambaran bagaimana perilaku ibu hamil dalam melakukan pemelihaaran selama kehamilan dan pada saat persalinan. Tulisan ini merupakan kutipan penelitian dari Qomariah Alwi tentang tema budaya yang melatarbelakangi perilaku penduduk asli (suku Amungme dan suku Kamoro) dalam pemeliharaan kehamilan dan persalinan di Kabupaten Mimika. Terdapat Tema budaya yang melatarbelakangi perilaku ibu dalam perawatan kehamilan dan persalinan (Alwi, 2007).

(12)

1. Tema budaya dalam pola makan dan aktivitas selama kehamilan dan setelah persalinan

a. Pengadaan dan pengolahan makanan sehari-hari adalah tugas pokok kaum perempuan

b. Ibu hamil usia lebih 5 bulan dianjurkan kerja lebih keras guna melancarkan persalinan

c. Penyediaan makanan diutamakan untuk suami

d. Banyak makanan pantang bagi ibu hamil/persalinan dan tidak mau makan makanan yang tidak biasa dimakan.

e. Larangan ibu tidak pergi ke hutan /pantai 1-2 minggu setelah persalinan. Tema budaya menyebabkan persalinan tanpa pertolongan terjadi di sembarang tempat, ibu hamil mengalami kurang gizi, terjadinya kelelahan fisik dan daya tahan tubuh lemah. Hal ini menyebakan risiko komplikasi dan kematian ibu.

2. Tema Budaya dalam pemeriksaan kesehatan dan pengobatan

a. Pemeriksaan kesehatan/pengobatan masa hamil/persalinan sepenuhnya urusan kaum perempuan

b. Pemeriksaan kesehatan/pengobatan modern dilakukan setelah pengobatan tradisional

c. Obat tradisional tiap subsuku berbeda dan menjadi rahasia pemegang oto (dukun)

(13)

d. Dukun bayi dianggap dapat warisan/kelebihan dari roh/mbii.

Akibat dari tema budaya yang kedua adalah kurangnya antisipasi dalam menghadapi persalinan sehingga menyebakan risiko komplikasi dan kematian ibu.

3. Tema Budaya dalam penanganan proses persalinan.

a. Darah dan kotoran persalinan akan dapat menimbulkan penyakit pada laki-laki dan anak

b. Perempuan tabu membuka paha di depan orang belum dikenal, c. Asap kayu api dalam persalinan membawa kekuatan dari mbii d. Ibu meninggal dalam persalinan karena kutukan tuan tanah (teheta)

e. Ibu baru boleh mandi dan boleh berhubungan seks, setelah upacara adat 1-2 minggu pasca persalinan.

Proses persalinan yang merugikan kesehatan ibu dan bayi merupakan akibat dari tema budaya yang ketiga dan juga menyebakan risiko komplikasi dan kematian ibu. Selain tema budaya berdasarkan kedua suku (Amungme dan Kamoro), orang Papua (Orang Hatam dan Sough) memiliki interpretasi tentang ibu hamil, melahirkan dan nifas (Dumatubun, 2002).

Interpretasi Sosial Budaya Orang Hatam dan Sough tentang Ibu hamil, melahirkan, nifas, didasarkan pada pemahaman dan pengetahuan kebudayaan mereka secara turun temurun. Hal ini jelas didasarkan atas perilaku leluhur dan orang tua mereka sejak dahulu kala sampai sekarang. Bagi orang Hatam dan Sough, kehamilan adalah suatu gejala alamiah dan bukan suatu penyakit. Untuk itu harus taat pada pantangan-pantangan secara adat, dan bila dilanggar akan menderita sakit. Bila ada gangguan pada kehamilan seorang ibu, biasanya dukun perempuan (Ndaken) akan melakukan

(14)

penyembuhan dengan membacakan mantera di air putih yang akan diminum oleh ibu tersebut. Tindakan lain yang biasanya dilakukan oleh Ndaken tersebut juga berupa, mengurut perut ibu hamil yang sakit. Sedangkan bila ibu hamil mengalami pembengkakan pada kaki, berarti ibu tersebut telah melewati tempat-tempat keramat secara sengaja atau pula telah melanggar pantangan-pantangan yang diberlakukan selama ibu tersebut hamil. Biasanya akan diberikan pengobatan dengan memberikan air putih yang telah dibacakan mantera untuk diminum ibu tersebut. Juga dapat diberikan pengobatan dengan menggunakan ramuan daun abrisa yang dipanaskan di api, lalu ditempelkan pada kaki yang bengkak sambil diurut-urut. Ada juga yang menggunakan serutan kulit kayu bai yang direbus lalu airnya diminum. Disini posisi seorang dukun perempuan atau Ndaken sangatlah penting, sedangkan dukun laki-laki tidak berperan secara langsung.

Ibu hamil yang mengalami perdarahan selama kehamilan dan setelah melahirkan berarti telah melanggar pantangan, suaminya telah melanggar pantangan serta belum menyelesaikan masalah dengan orang lain atau kerabat secara adat. Bila perdarahan terjadi setelah melahirkan, itu berarti pembuangan darah kotor, dan bagi mereka adalah suatu hal yang biasa dan bukan penyakit. Bila terjadi perdarahan, maka Ndaken akan memberikan air putih yang telah dibacakan matera untuk diminum oleh ibu tersebut. Selain itu akan diberikan ramuan berupa daun-daun dan kulit kayu mpamkwendom yang direbus dan airnya diminum oleh ibu tersebut. Bila terjadi pertikaian dengan kerabat atau orang lain, maka suaminya secara adat harus meminta maaf. Di sini peranan dukun perempuan

(ndaken) dan dukun laki-laki (Beijinaubout, Rengrehidodo)

sangatlah penting.Persalinan bagi orang Hatam dan Sough adalah suatu masa krisis. Persalinan biasanya di dalam pondok (semuka) yang dibangun di belakang rumah. Darah bagi orang Hatam dan Sough bagi ibu yang melahirkan adalah tidak baik untuk kaum laki-laki, karena bila terkena darah tersebut, maka akan mengalami kegagalan dalam aktivitas berburu. Oleh karena itu, seorang ibu yang melahirkan harus terpisah dari rumah induknya. Posisi persalinan dalam bentuk jongkok, karena menurut orang Hatam dan Sough dengan posisi tersebut, maka bayi akan mudah keluar. Pemotongan tali pusar harus ditunggu sampai ari-ari sudah keluar. Apabila dipotong langsung, maka ari-ari tidak akan mau keluar (Dumatubun, 2002).

(15)

2.4.Bias Gender dalam Pelayanan Kesehatan Reproduksi

Abdullah (2001:93) menuliskan kelemahan dalam kebijakan reproduksi dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, kebijakan yang ada cenderung memperlakukan perempuan sebagai “sasaran” atau korban. Program aksi seperti kondomisasi tampak lebih banyak merugikan kaum perempuan karena perempuan di tempatkan sebagai pihak yang berkepentingan dalam menjaga kesehatan.

Kedua, persoalan akses pelayanan kesehatan reproduksi. Jika pelayanan secara umum bersifat public goods, maka pelayanan kesehatan reproduksi dalam bentuk-bentuk tertentu tidak dapat dihadirkan sebagai fasilitas publik dalam arti sesungguhnya akibat pro dan kontra dalam persoalan seksual secara umum. Isu yang sejak lama belum selesai dan bahkan cenderung dilupakan dalam pembicaraan publik adalah “pendidikan seks di sekolah”. Kaum remaja atau pasien tidak dapat mengakses informasi yang berkaitan dengan praktik seksual atau aspek-aspek reproduktif remaja. Oleh karena itu, informasi cenderung di dapatkan dari informasi yang salah dan menyebabkan terjadinya penyimpangan seks. Dalam berbagai bentuk penyimpangan yang terjadi, kaum perempuan menjadi pihak yang disudutkan untuk bertanggungjawab atas penyimpangan-penyimpangan yang berlangsung. Perlindungan terhadap hak perempuan sangat terbatas dan tidak berkualitas (Abdullah, 2001:93).

Ketiga, masalah kualitas pelayanan dimana pelayanan yang tersedia tidak memiliki kelengkapan informasi baik dalam pengertian obyektif maupun subyektif. Latar belakang sosial ekonomi pasien berpengaruh dalam persepsi dan penilaian

(16)

mereka tentang kualitas suatu bentuk pelayanan. Peningkatan kualitas secara umum meliputi tingkat keahlian paramedis dan pendekatan yang digunakan dalam melayani kepentingan pasien. Perempuan yang menjadi pasien dalam pelayanan kesehatan reproduksi tidak mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan hanya karena suami tidak turut memberdayakan posisi perempuan. Hal ini terutama akibat pengetahuan umum yang menilai kehamilan dan persalinan, misalnya sebagai tanggungjawab perempuan (Abdullah, 2001:94).

Lemahnya posisi perempuan dalam pelayanan reproduksi tampak dari berbagai hal, seperti: (1) Kurangnya informasi yang dapat diakses oleh kaum perempuan dan tidak dimilikinya keahlian menolong diri sendiri dalam kesehatan sehingga ketergantungan pada pihak lain sangat besar; (2) Tidak memiliki jaringan sosial yang kuat yang memungkinkan perempuan mampu melakukan tawar menawar dalam berbagai tindakan yang merugikan; (3) Lemahnya basis ekonomi perempuan yang menyebabkan ia tergantung pada pencari nafkah dan pada fasilitas kesehatan yang berkualitas rendah; (4) Lemahnya basis sosial yang dapat digunakan sebagai sumber legitimasi keberadaannya. Ke empat faktor ini merupakan dasar dari berbagai bentuk tindakan yang merugikan perempuan (Abdullah, 2001:95).

2.4.1. Status wanita dalam keluarga

(17)

1. Status reproduksi, yaitu sebagai pelestari keturunan. Hal ini mengisyaratkan bila seorang wanita tidak mampu melahirkan anak, maka status sosialnya dianggap rendah dibanding wanita yang bisa mempunyai anak.

2. Status produksi, yaitu sebagai pencari nafkah dan bekerja di luar. Wanita yang bekerja mempunyai status yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja.

Status adalah kedudukan seseorang di dalam keluarga dan masyarakat. Status akan mempengaruhi bagaimana seorang wanita diperlakukan, bagaimana dia dihargai, dan kegiatan apa yang boleh dilakukan. Di sebagian besar masyarakat dunia, wanita mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari pria. Status yang lebih rendah ini menimbulkan tindakan diskriminasi, yaitu diperlakukan secara tidak layak atau ditolak haknya hanya karena mereka wanita. Bentuk diskriminasi berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain, tetapi selalu berakibat buruk pada kesehatan wanita (Burns dkk, 2000:11-14).

1. Menginginkan anak laki-laki dari pada anak perempuan

Banyak keluarga yang lebih menghargai anak laki-laki dari pada anak perempuan karena anak laki-laki dianggap bisa menyumbang lebih besar terhadap kekayaan keluarga, dapat membiayai orangtua dimasa tua nantinya, dan meneruskan nama keluarga. Akibatnya, anak perempuan sering mendapatkan ASI lebih singkat dan makanan dan pelayanan kesehatan yang lebih sedikit, serta tanpa pendidikan.

(18)

2. Tidak punya hak hukum dan kekuasaan untuk memutuskan

Di banyak masyarakat di dunia, seorang wanita tidak boleh memiliki atau mewarisi hak miliki, mencari penghasilan atau mendapatkan kredit bank. Bila dicerai, dia mungkin tidak boleh merawat anak-anaknya lagi atau hak miliknya. Meskipun wanita punya hak secara hukum, tetapi tradisi mungkin tidak akan mengijinkannya untuk mengontrol hidupnya sendiri. Seringkali wanita tidak boleh memutuskan bagaimana keuangan keluarga dikelola atau kapan harus mendapatkan pelayanan kesehatan. Dia tidak bisa bepergian jauh atau berperan serta dalam masyarakat tanpa ijin suami.

Bila wanita dirampas hak-haknya seperti tersebut diatas, mereka harus bergantung pada pria untuk hidup. Akibatnya, mereka tidak bisa dengan mudah menuntut sesuatu untuk meningkatkan kesehatan mereka misal KB, seks yang aman, cukup makan, pelayanan kesehatan, dan bebas dari rasa takut.

3. Terlalu banyak anak, atau terlalu sering melahirkan

Diskriminasi terhadap wanita juga mengakibatkan mereka sering hamil, karena mempunyai anak merupakan satu-satunya cara bagi wanita untuk mendapatkan kedudukan bagi dirinya atau suaminya. Dalam lingkungan seperti itu, wanita akan hidup kurang sehat dan kurang bisa menjangkau pelayanan kesehatan. Mereka juga sering menerima begitu saja status mereka yang rendah karena mereka dibesarkan untuk lebih menghargai laki-laki dari pada perempuan. Mereka juga akan

(19)

menerima tingkat kesehatan yang buruk tersebut sebagai nasib mereka dan mencari pertolongan hanya bila gangguan kesehatan telah begitu parah atau mengancam jiwa.

4. Pelayanan kesehatan tidak memberikan pelayanan yang dibutuhkan wanita

Kemiskinan dan diskriminasi di dalam keluarga dan masyarakat tidak hanya akan menimbulkan gangguan kesehatan yang lebih banyak bagi wanita, tetapi juga mengakibatkan lebih sedikit kemungkinan pelayanan kesehatan memberikan pelayanan seperti yang dibutuhkan wanita. Kebijakan pemerintah dan sistem ekonomi global mungkin juga mempengaruhinya.

Di Negara berkembang, banyak orang tidak mampu menjangkau pelayanan kesehatan dalam bentuk apapun juga. Akibat dari dsikriminasi pada wanita, uang yang sedikit yang ada mungkin tidak akan digunakan untuk memberikan pelayanan kesehatan wanita sehinga tidak akan mendapatkan kesehatan yang baik meskipun dia mampu membayarnya. Berbagai macam pelayanan reproduksi mungkin tersedia, tetapi untuk mendapatkan, maka dia harus pergi ke kota besar atau ke ibu kota atau bahkan ke luar negri.

2.5.Keluarga Berencana

KB adalah singkatan dari Keluarga Berencana. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997), maksud daripada ini adalah: "Gerakan untuk membentuk keluarga yang sehat dan sejahtera dengan membatasi kelahiran." Keluarga berencana adalah upaya untuk:

(20)

a. Mewujudkan keluarga berkualitas melalui promosi, perlindungan, dan bantuan dalam mewujudkan hak-hak reproduksi serta penyelenggaraan pelayanan, pengaturan, dan dukungan yang diperlukan untuk membentuk keluarga dengan usia kawin yang ideal;

b. Mengatur jumlah, jarak dan usia ideal melahirkan anak; c. Pengatur kehamilan; dan

d. Membina ketahanan dan kesejahteraan keluarga.

2.5.1. Manfaat Keluarga Berencana (KB)

Keluarga Berencana menurut BKKBN (2007) mempunyai manfaat sebagai berikut :

1. Kesehatan dan psikologis ibu dan anak a. Bagi ibu

- Mencegah anemia (kurang darah)

Kandungan zat besi (Fe) yang ada pada salah satu alat/obat kontrasepsi (pil kombinasi), dapat mencegah risiko anemia berat, sehingga dengan ber-KB ibu dapat menjaga kesehatan fisik dan kesehatan reproduksinya lebih optimal. Apabila diimbangi dengan memperhatikan asupan gizi yang memadai, agar terhindar dari anemia berat, maka risiko kesakitan dan kematian ibu dapat diturunkan.

(21)

- Mencegah pendarahan yang terlalu banyak setelah persalinan

Dengan ber-KB setelah melahirkan, seorang ibu dapat mencegah terjadinya pendarahan yang terlalu banyak setelah melahirkan dan mempercepat pulihnya kondisi kesehatan rahim.

- Mencegah kehamilan tidak diinginkan (KTD)

Dengan ber-KB keluarga dapat merencanakan dan mengatur kelahiran anak-anaknya, dengan menghindari kehamilan “4 Terlalu” (terlalu muda umur ibu, terlalu tua umur ibu, terlalu dekat jarak kehamilan dan terlalu sering melahirkan). Menghindari kehamilan yang tidak/belum diinginkan, akan menurunkan risiko kesakitan dan kematian ibu.

- Mendekatkan ibu terhadap pelayanan pemeriksaan kesehatan

Pada saat ibu ber-KB, ibu akan mendapatkan pemeriksaan kesehatan, informasi tentang KB dan kesehatan reproduksi secara lengkap yang bermanfaat dalam merencanakan kehamilan.

- Meningkatkan keharmonisan keluarga

Dengan ber-KB, ibu mempunyai kesempatan dan waktu yang cukup luang dalam memperhatikan kebutuhan suami, melayani suami dengan penuh kemesraan tanpa rasa takut menjadi hamil, mendikusikan dan membicarakan semua permasalahan dengan suami. Ibu juga akan memiliki waktu yang cukup untuk merawat dan mendidik anak-anaknya dengan baik.

b. Bagi anak

(22)

KB memberikan peluang pada ibu dalam mempersiapkan kehamilannya, agar janin yang dikandungnya mendapatkan kecukupan gizi yang sempurna, sehingga dapat lahir aman dan selamat. Dengan memiliki jumlah anak sesuai yang direncanakan, pemenuhan gizi bagi semua anggota keluarga akan lebih tercukupi. - Tumbuh kembang anak terjamin

Selain hak anak, maka pengaturan jarak kehamilan memberi peluang kepada setiap anak untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang orangtua, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan lebih optimal serta akan menjadi generasi yang berkualitas.

- Kebutuhan ASI eksklusif 6 bulan dapat terpenuhi

Salah satu cara ber-KB yang mengandalkan pemberian ASI secara eksklusif selama 6 bulan, dikenal dengan nama Metode Amenore Laktasi (MAL). MAL akan memberikan kesempatan kepada bayi untuk mendapatkan zat gizi yang paling sempurna yang terkandung dalam ASI, untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi.

2. Ekonomi

a. Mengurangi biaya kebutuhan rumah tangga

Dengan ber-KB, keluarga lebih leluasa dalam mengatur biaya kebutuhan sehari-hari, biaya pendidikan anak-anak, perawatan kesehatan bagi anggota keluarganya, dan lain-lain. Bagi ibu yang menggunakan cara KB MAL, mengurangi pengeluaran keluarga untuk membeli alat/obat kontrasepsi minimal 6 bulan.

(23)

b. Meningkatkan atau menambah pendapatan ekonomi keluarga

Dengan mengatur jarak kelahiran antar anak, ibu mempunyai peluang dan kesempatan yang besar untuk berusaha, misalnya ikut dalam kelompok usaha UPPKS, dan sebagainya.

3. Sosial budaya

a. Meningkatkan kesempatan bermasyarakat

Dengan ber-KB, ibu memiliki kesempatan dan waktu lebih banyak untuk bersosialisasi dan aktif pada kegiatan sosial di masyarakat.

b. Meningkatkan peran ibu dalam pengambilan keputusan keluarga

Dengan ber-KB, ibu mempunyai kesempatan dan berkontribusi sebagai mitra yang setara dalam pengambilan keputusan, baik keputusan dalam rumah tangga sendiri seperti memilih kontrasepsi, menentukan jumlah anak yang dikehendaki, maupun keputusan di luar rumah tangganya (BKKBN,2007).

2.6.Suku Nias

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Orang Nias menyebut diri mereka sebagai Ono Niha (anak manusia). Kemudian pulau Nias disebut sebagai Tano Niha (tanah manusia). Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam hukum adat dan kebudayaan yang sangat kental. Hukum adat Nias secara

(24)

umum disebut fondrako yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian.

Menurut mitos, asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut Sigaru Tora`a yang terletak di sebuah tempat yang bernama Tetehöli Ana'a. Kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan tahta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.

2.6.1. Sistem kekerabatan

Laiya (1979:97) menuliskan keluarga di Nias berfungsi sebagai titian yang menjembatani kerenggangan antara individu dan masyarakatnya. Keluarga adalah satu institusi yang di dalamnya seorang individu membentuk dan memperkembangkan kepribadiannya melalui proses sosialisasi. Hubungan intim di kalangan angggota keluarga menjadi model bagi seseorang yang kemudian diperkembangkannya dalam hubungan sosial dengan sesamanya di dalam dan di luar rumah dan dalam masyarakat yang lebih luas.

Hubungan damai antara sesama anggota keluarga dapat dipertahankan sepanjang individu dapat memenuhi peranan yang diharapkan dari padanya. Peranan yang diharapkan itu mencakup peranan orangtua terhadap anak-anaknya, anak terhadap orangtua dan saudara sekandungnya, suami terhadap isterinya timbal balik, cucu terhadap kakek neneknya timbal balik, isteri terhadap keluarga suaminya

(25)

termasuk mertua, dan segenap anggota rumah tangga terhadap anggota yang bukan kerabatnya (Laiya, 1979:97-98). Suku Nias menganut sistem patrilineal dalam melihat garis keturunan di mana anak laki-laki adalah penerus keturunan dalam keluarga. Anak laki-laki yang telah menikah biasanya tinggal di rumah orangtuanya dalam jangka waktu tertentu bahkan ada yang sampai tua bersama dengan orangtuanya. Orang-orang yang berasal dari satu garis keturunan disebut sisambua

mado (satu marga).

Keluarga batih dalam istilah bahasa Nias yaitu ngambato. Ngambato terbentuk atas perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Dari hasil perkawinan akan lahir anak-anak yang akan melengkapi ngambato (Laiya,1979:65). Dengan terbentuknya ngambato maka keluarga dari pihak suami dan isteri menjadi berfungsi terutama dalam upacara adat dalam lingkungan lingkaran hidupnya.

Laoli dkk (1985:32) menuliskan kelompok keluarga yang paling dekat yaitu yang sekandung dan sepupu dihitung dari garis keturunan pihak laki-laki disebut iwa. Saudara sepupu tingkat kedua disebut huwa dan saudara-saudara tingkat seterusnya disebut banua. Dari kelompok banua yang menerima hak dalam upacara-upacara adat adalah salawa dan pembantu-pembantunya. Kelompok saudara-saudara perempuan yang sudah kawin beserta keluarganya juga termasuk keluarga yang mengawini anak perempuannya dari pihak suami disebut sebagai fadono atau ono alawe. Fadono merupakan pekerja dalam upacara yang diadakan oleh ngambato. Dalam pembagian

urakha (jambar/makanan yang diberikan dalam hal ini daging babi) yang menjadi

(26)

Uwu merupakan kelompok kekerabatan dari pihak isteri. Uwu merupakan

sumber hidup anak-anak dari ngambato sehingga menjadi kelompok kekerabatan yang paling tinggi kedudukannya dan selalu mendapat penghormatan tertinggi dari

ngambato. Sitenga bo’o merupakan keluarga yang memberi isteri bagi anak laki-laki ngambato. Sitenga bo’o akan diundang oleh sangambato pada pesta perkawinan,

kematian atau pesta adat besar lainnya (Laoli dkk, 1985:32).

2.6.2. Adat menetap sesudah menikah

Suku Nias mengenal adat virilokal dimana isteri ikut suaminya dan tinggal menetap dalam keluarga suaminya atau disekitar tempat tinggal suaminya. Adat uxorilokal kadang kala juga digunakan oleh suku Nias. Adat uxorilokal terjadi apabila isteri tidak mempunyai saudara laki-laki sehingga suami tinggal di tempat tinggal orangtua isteri. Suami menjadi ono yomo yang artinya diambil menjadi anak oleh orangtua isteri (Laoli dkk, 1985:37).

2.6.3. Perceraian

Menurut adat suku Nias seperti yang dituliskan oleh Laoli dkk (1985:38) hak menceraikan hanya ada pada suami apabila isteri telah melakukan perbuatan zinah dengan laki-laki lain. Pada zaman dahulu kedua orang yang berzinah ini akan dipancung atau akan membayar holiholi dola mbagi (penebus batang leher atau penebus jiwa). Perempuan yang ingin menebus dirinya harus membayar setengah bayaran dari laki-laki.

(27)

Berpoligami merupakan salah satu cara untuk tidak bercerai dari isteri apabila tidak mempunyai anak laki-laki walaupun hal ini dilarang oleh gereja. Mengadopsi anak merupakan cara lain untuk tidak berpoligami. Anak yang diadopsi akan disyahkan menurut hukum adat sehingga akan mendapatkan warisan tanpa gugatan dari kerabat ayah yang mengangkatnya.

2.6.4. Hukum waris

Harta warisan dalam suku Nias adalah rumah, pertapakan, peralatan rumah tangga yang berharga, emas, kebun, tanah kosong yang tidak ditumbuhi oleh tanaman ekonomis, kedudukan dalam hukum adat dan hutang piutang (Laoli dkk, 1985:39). Anak laki-laki merupakan penerima harta warisan. Rumah dan kedudukan dalam adat adalah hak anak laki-laki yang sulung. Bila orangtua tidak memiliki anak laki-laki maka yang berhak mendapatkannya adalah saudaranya laki-laki. Anak angkat yang telah diangkat menurut persayaratan adat akan menerima pembagian harta wawarisan seperti anak-anak lainnya tanpa gugatan dari pihak manapun. Anak angkat tersebut juga mempunyai hak dan tanggun jawab yang sama dengan anak yang lain untuk mengurus orangtua angkat hingga meninggal dunia.

Anak perempuan tidak berhak untuk mendapatkan harta warisan. Anak perempuan akan mendapatkan warisan apabila ada pesan atau wasiat dari orangtua dan kesepakatan bersama dari anak laki-laki. Pemberian warisan ini kepada anak perempuan disebut fabualasa kho ono alawe. Bagian warisan yang diterima oleh anak perempuan sangat kecil bila dibandingkan dengan yang diterima saudaranya laki-laki.

(28)

2.6.5. Rutinitas perempuan Nias

Dalam kehidupan sehari-hari, laki-laki lebih dominan bukan hanya dari segi jumlah namun dari hak dan kewajiban dibanding perempuan. Perempuan sangat takut terhadap laki-laki. Mereka mengerjakan banyak hal dibanding laki-laki, baik pekerjaan domestik dalam rumah maupun di ladang dan di pasar (Sonjaya, 2008:106).

Sonjaya (2008:119-120) menuliskan tentang rutinitas perempuan berdasarkan pengamatannya di salah satu desa di Nias. Perempuan baik ibu maupun para gadis dan anak-anak diusia sekolah sepanjang hari harus bekerja. Jika ada yang bermalas-malasan, hukumannya adalah menjadi bahan pergunjingan tetangga.

Perempuan yang bertugas membawa semua bekal yang dibutuhkan seperti makanan dan minuman ketika berangkat ke ladang sementara laki-laki hanya membawa parang untuk berladang. Perempuanlah yang bekerja mencari talas, mengambil coklat, dan mengumpulkan sayuran. Laki-laki bekerja menyadap karet dan mengupas coklat serta memasukkannya dalam wadah yang dibawa dari rumah. Perempuan memiliki beban yang paling berat ketika pulang ke rumah karena harus mengusung coklat diatas kepalanya sambil menenteng sayuran. Setiba dirumah, laki-laki langsung istirahat dan tiduran sedangkan perempuan langsung ke dapur dan menatah hasil ladang. Coklat disiapkan dalam sebuah wadah untuk dijemur keesokan harinya, sayur dicuci untuk dimasak, dan peralatan yang kotor segera dibersihkan serta memasak untuk makan malam. Menjelang malam, perempuan akan menyuci semua perabotan yang kotor, menyuci pakaian dan mandi di sungai.

(29)

2.7.Kerangka Pikir

Di bawah ini merupakan kerangka pikir penelitian, sebagai berikut:

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian

Berdasarkan kerangka pikir penelitian diatas, penelitian ini terfokus untuk mengetahui hak-hak kesehatan reproduksi perempuan dalam masyarakat Nias di Kecamatan Mandrehe Kabupaten Nias Barat. Hak-hak reproduksi perempuan dideskripsikan berdasarkan pandangan perempuan Nias terhadap hak reproduksinya

(emic view). Hak-hak reproduksi perempuan diasumsikan dipengaruhi oleh faktor

internal (budaya, gender, tingkat pendidikan dan ekonomi) dan faktor eksternal berupa informasi dari petugas kesehatan.

Hak Kesehatan Reproduksi Hak atas pemilihan

Hak menentukan kelahiran Hak atas kehamilan

yang aman Hak melahirkan yang

Hak atas pelayanan kesehatan

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

dan inspirasi setiap kegiatan, pendidikan akan menempati posisi strategis melampaui pendidikan lainnya yang tidak bersumber pada kitab suci.[82] Konsep ini mempertegas bahwa

Narasumber yang merupakan guru bahasa Indonesia saat pembelajaran menggunakan K13 sebagai metode pengajaran, namun untuk menambah pemahaman siswa terhadap materi

Berdasarkan hasil perhitungan kerapatan yang ada pada Pulau Samatellu Pedda pada tabel 4.3 kerapatan jenis Lamun, maka kerapatan jenis Lamun yang terendah

Indofood CBP Sukses Makmur, Tbk Divisi Noodle Semarang dipimpin oleh seorang General Manager yang bertugas memimpin dan mengarahkan seluruh kegiatan perusahaan

Network Address Translation Daemon (Natd) menyediakan solusi untuk permasalahan penghematan ini dengan cara menyembunyikan IP address jaringan internal, dengan

Berdasarkan paparan data tersebut diatas, maka dibutuhkan suatu penelitian lebih lanjut yang bertujuan untuk mengetahui efek Beta glucan yang terkandung dalam

Semua kemampuan tersebut dapat diperoleh jika siswa terbiasa melaksanakan pemecahan masalah menurut prosedur yang tepat, sehingga cakupan manfaat yang diperoleh

*. Lubb sebagai alat yang bersiat tidak lahiriah, dengan potensi pemahaman untuk memahami dan menghayati makna dalam totalitas pandangan ontologis, epistemologis dan aksiologis.