• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi tersebut terjadi diberbagai aspek, salah satunya pada aspek ekonomi yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi tersebut terjadi diberbagai aspek, salah satunya pada aspek ekonomi yang"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. ... La tar Belakang

Dunia sekarang sedang mengalami perubahan yang disebut globalisasi. Globalisasi tersebut terjadi diberbagai aspek, salah satunya pada aspek ekonomi yang lazim disebut globalisasi ekonomi. Proses globalisasi ekonomi adalah perubahan perekonomian dunia yang bersifat mendasar atau struktural, dan proses ini akan berlangsung terus dengan laju yang semakin cepat mengikuti perubahan teknologi yang juga akan semakin cepat dan peningkatan serta perubahan pola kebutuhan masyarakat dunia.1

Sangat jelas bahwa era globalisasi ekonomi ini ditandai dengan adanya keterbukaan, keterkaitan dan juga persaingan yang semakin ketat dalam masyarakat internasional khususnya di bidang ekonomi. Gejala globalisasi ini terjadi dalam kegiatan finansial, produksi, investasi, dan perdagangan yang kemudian mempengaruhi tata hubungan ekonomi antar bangsa. Proses globalisasi tersebut telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan antar negara, bahkan menimbulkan proses menyatunya ekonomi dunia, sehingga batas-batas antar negara dalam berbagai praktik dunia usaha/bisnis seakan-akan dianggap tidak berlaku lagi.2

       1

Tulus T.H. Tambunan, Globalisasi dan Perdagangan Internasional, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 1. 

2

R Hendra Halwani, Ekonomi Internasional & Globalisasi Ekonomi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 224. 

(2)

Selama ini setiap negara pada umumnya meyakini bahwa tidak satu pun negara di dunia yang dapat mengisolasi diri dari proses globalisasi. Dengan demikian penerapan perdagangan dan investasi bebas adalah pilihan baik yang harus dilaksanakan. Namun kenyataan menunjukkan lain, di mana hasil studi membuktikan bahwa manfaat yang lahir dari penerapan liberalisasi perdagangan dan investasi tidak sama bagi setiap bangsa.3 Pada dasarnya negara maju adalah pihak yang paling diuntungkan dalam liberalisasi perdagangan sebab negara maju memiliki keunggulan dalam berbagai hal yang tidak dimiliki oleh negara berkembang seperti kestabilan perekonomian, teknologi yang tinggi, industri yang produktif, dan lain sebagainya. Sangat jelas, bahwa negara berkembang adalah pihak yang lemah dalam liberalisasi perdagangan ini.

Negara maju umumnya memiliki kepiawaian dalam menerapkan cara-cara sehingga negara berkembang terikat dengan sistem perdagangan bebas. Cara yang sering digunakan antara lain adalah dengan permintaan pengurangan tarif impor bea masuk atas produk dan jasa dari negara maju di negara berkembang.4 Negara-negara industri tanpa hambatan berarti akan lebih mudah menjual barang dan jasanya ke negara sedang berkembang. Karena itu, dalam waktu bersamaan, globalisasi akan melahirkan pengelompokan masyarakat dan negara ke dalam kelas baru berdasarkan kemampuan ekonomi. Dengan demikian tampak bahwa globalisasi juga akan melahirkan jurang antara yang kaya dengan yang miskin kian lebar, baik antara

       3 Ibid, hlm. 228. 

4

Mamnun Laidu, “Dampak Liberalisasi Perdagangan bagi Pelaku Bisnis Indonesia”, http://www.baubaupos.com/page.php?kat=10&id_berita=1104, diakses tanggal 13 Februari 2011. 

(3)

negara yang satu dengan lainnya maupun internal individu sesama warga negara di negara tersebut.

Dalam memasuki era perdagangan bebas ini, Indonesia sudah harus memiliki persiapan yang mantap untuk menghadapi pengaruh yang timbul pada perekonomian dan atau perdagangan Indonesia dalam semua aspek, termasuk di dalamnya aspek hukum, khususnya hukum ekonomi sebagai pranata hukum yang berisikan kebijakan untuk mengarahkan kegiatan ekonomi ke suatu arah tertentu.5

Berkaitan dengan ini, aturan yang berlaku di tingkat internasional menegaskan tentang kedaulatan negara sebagaimana tertuang dalam Charter of Economic Rights

and Duties of State. Article 2 (1) Resolusi ini menyebutkan “Every state has and shall freely exercise full permanent sovereignty, including possession, use and disposal, over all its wealth, natural resources and economic activities”.6

Berdasarkan aturan hukum tersebut, setiap negara memiliki hak untuk menentukan kebijakan ekonominya termasuk kebijakan perdagangan yang bersifat proteksionis. Namun demikian, kebijakan tersebut hanya bersifat sementara, yaitu dalam rangka memberikan kesempatan kepada negara yang bersangkutan untuk mempersiapkan diri menghadapi resiko liberalisasi perdagangan.

       5

Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, (Bandung: Books Terrace & Library, 2009), hlm. 3.  

6

United Nations, General Assembly Resolution, December 12th 1974, No. 3281 (XXIX), lihat dalam Mahmul Siregar, Perdagamgam Internasional, (Medan: Universitas Sumatera Utara Sekolah Pasca Sarjana, 2005), hlm. 135-136.

(4)

Liberalisasi perdagangan ini tampak dalam sejumlah kerjasama ekonomi internasional negara-negara di dunia dalam perdagangan baik kerjasama multilateral maupun regional. Untuk kawasan Asia Tenggara, ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan bentuk kerjasama regional, yang mana Indonesia merupakan salah satu negara anggotanya selain Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Filiphina, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam. AFTA ini merupakan salah satu bentuk FTA atau

Free Trade Area.

FTA atau Free Trade Area adalah suatu bentuk kerja sama ekonomi regional yang perdagangan produk-produk orisinal negara-negara anggotanya tidak dipungut bea masuk atau bebas bea masuk.7 Dalam FTA, sekelompok negara setuju untuk menghapus tarif diantara mereka namun tetap mempertahankan tarif mereka masing-masing terhadap impor dari negara-negara di luar FTA. Tujuan strategis AFTA adalah meningkatkan keunggulan komparatif regional Association of Southeast Asian

Nations (ASEAN) sebagai suatu kesatuan unit produksi. Oleh karena itu,

penghapusan rintangan tarif dan non-tarif di antara negara-negara anggota diharapkan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, produktivitas, dan daya saing negara-negara anggota ASEAN.8

Berkaitan dengan hal ini, sebuah terobosan dilakukan oleh komunitas masyarakat regional ASEAN yang pada akhirnya terealisasi dalam bentuk komunitas

       7

Hamdy Hady, Ekonomi Internasional Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 88. 

8

Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 135. 

(5)

perdagangan bebas, yakni antara negara-negara yang tergabung di ASEAN dengan China, melalui ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Sebagai salah satu negara anggota dari ASEAN, Indonesia ikut serta dalam perjanjian yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN, termasuk kesepakatan atau perjanjian perdagangan antara negara-negara ASEAN dengan China yang disebut ACFTA.

Dalam rangka akomodasi kepentingan ACFTA tersebut, dan berdasarkan isi perjanjian dalam Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation

Beetween the Association of South East Asian Nations and the People’s Republic of China, sebagaimana telah diratifikasi melalui Keppres Nomor 48 Tahun 2004,

pemerintah Indonesia membentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan ACFTA, diantaranya Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 355/KMK.01/2004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang dalam rangka Early Harvest Package ASEAN-China Free Trade Area, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 57/PMK.010/2005 tanggal 7 Juli 2005 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEAN-China Free Trade Area, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 21/PMK.010/2006 tanggal 15 Maret 2006 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEAN-China Free Trade Area, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 04/PMK.011/2007 tanggal 25 Januari 2007 tentang Perpanjangan Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEAN-China Free Trade Area, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 53/PMK.011/2007 tanggal 22 Mei 2007 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam

(6)

rangka ASEAN-China Free Trade Area, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 235/PMK.011/2008 tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-China Free Trade Area.9

Perjanjian ACFTA ini menimbulkan suatu perkembangan baru pada kegiatan perdagangan internasional, terutama pada kawasan Asia Tenggara. Kesiapan menyambut dampak positif dan negatif dari terselenggaranya ACFTA menjadi problematika tersendiri, terutama di negara Indonesia. Investasi ke dalam dan ke luar negeri dalam konteks ACFTA merupakan peluang yang memiliki dua sisi yang berlawanan, yaitu yang menjanjikan dan/atau justru merugikan. Indonesia dengan segala potensinya diperhadapkan pada sebuah tantangan untuk dapat bertahan dan meningkatkan posisinya di kancah perdagangan dan investasi.

Tekanan dari kalangan pengusaha industri agar pelaksanaan ACFTA ditunda menandakan besarnya pengaruh negatif terhadap industri dalam negeri Indonesia. Sementara itu pemerintah tetap menjalankan kesepakatan dengan tetap mengkaji dan mengevaluasi berbagai hal untuk dapat tetap meningkatkan daya saing Indonesia antara lain terkait dengan prasarana, biaya ekonomi tinggi, biaya transportasi, dan sektor makro lainnya. Karena sekalipun pemerintah menunda pelaksanaan ACFTA untuk waktu tertentu bagi produk-produk tertentu, pada akhirnya perlindungan tersebut juga harus dihilangkan sesuai kesepakatan. Jika pemerintah melanggar kesepakatan dan melindungi

       9

Setyo Pamungkas, “Implikasi ASEAN – China Free Trade Area (ACFTA) Terhadap Hukum Investasi di Indonesia”, http://setyopamungkas.wordpress.com/2010/03/08/implikasi-asean-%E2%80%93-china-free-trade-area-acfta-terhadap-hukum-investasi-di-indonesia/, diakses tanggal 28 Februari 2011. 

(7)

industri dalam negeri, konsumen dirugikan karena harus membayar produk dengan harga lebih mahal dan perekonomian menjadi tak berkembang.

Seperti diketahui pemberlakuan ACFTA diikuti dengan pemberlakuan seluruh tarif impor menjadi nol persen (0%), dan hal yang akan terjadi adalah serbuan besar-besaran produk-produk barang China, kemudian bila industri dalam negeri tidak mampu bersaing, maka ACFTA hanya akan membuat para pelaku industri dalam negeri gulung tikar dan angka pengangguran akan meningkat. Bila pasar domestik tak mampu direbut, kecil kemungkinan untuk industri dalam negeri dapat menembus pasar internasional, sebab faktor harga yang lebih tinggi akan menjadi masalah bagi industri dalam negeri. Dalam hal ini tentunya dukungan pemerintah bagi para pengusaha atau dunia industri dalam negeri (khususnya industri kecil) sangat dibutuhkan, agar industri dalam negeri tidak terpuruk akibat implemantasi ACFTA tersebut.10

Menurut Ketua Assosiasi pengusaha Indonesia, Sofyan Wanandi, terdapat sekitar 16 (enam belas) sektor usaha menyatakan belum siap memasuki pasar bebas. Sektor yang keberatan dibukanya pasar bebas ASEAN-China tersebut antara lain tekstil, baja, ban, mebel, pengolahan kakao, industri alat kesehatan, kosmetik, aluminium, elektronika, petrokimia hulu, kaca lembaran, sepatu, mesin perkakas, dan kendaraan bermotor. Bahkan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) membeberkan proyeksi bahwa pangsa sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) lokal pada tahun

       10

Rooma, “Analisis Dampak ACFTA bagi Indonesia, Peluang atau Hambatan”,

(8)

2010 mulai tergerus 12% (dua belas persen) dibandingkan dengan kondisi pada tahun ini dari 52 (lima puluh dua) triliun rupiah (67%) menjadi 47 (empat puluh tujuh) triliun rupiah (55%). Menurut catatan API, sebagian besar penjualan TPT domestik didominasi produk-produk jadi seperti garmen (pakaian jadi) dan aksesori lain. Pada tahun 2011, total nilai pasar TPT domestik yang diprediksi menembus 95,55 (Sembilan puluh lima koma lima puluh lima) triliun rupiah justru semakin diisi produk-produk China dengan proyeksi nilai mencapai 52,56 (lima puluh dua koma lima puluh enam) triliun rupiah atau 55% (lima puluh lima persen), sedangkan porsi penjualan produk TPT lokal bahkan diprediksi tinggal 39% (tiga puluh Sembilan persen) atau setara 39 (tiga puluh Sembilan) triliun rupiah dari total penjualan TPT domestik sebesar 130 (seratus tiga puluh) triliun rupiah. Artinya, TPT China menguasai 70% (tujuh puluh persen) pasar lokal dengan nilai sekitar 91 (Sembilan puluh satu) trilun rupiah.11

Potensi kerugian yang dialami industri manufaktur nasional sebagai dampak dari implementasi perjanjian ACFTA diperkirakan mencapai 35 triliun rupiah per tahun. Nilai yang tentunya sangat besar tersebut hanyalah potensi kerugian yang bakal diderita oleh tujuh sektor manufaktur yaitu industri petrokimia, pertekstilan, alas kaki dan barang dari kulit, elektronik, keramik, makanan dan minuman, serta

       11 Setyo Pamungkas, op. cit. 

(9)

besi dan baja. Perkiraan potensi kerugian tersebut merupakan hasil kajian Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI).12

Invasi produk China ke pasar Indonesia ini tentunya akan mengganggu pasar domestik khususnya bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) apabila produk mereka tidak bisa mengimbangi dari sisi harga, kualitas, dan lain-lain. Hal yang sangat dikhawatirkan adalah produk UMKM akan terus bergeser pada titik rawan daya beli karena produk yang dihasilkan terlalu mahal dengan kualitas yang hampir sama.13

Sejak pemberlakuan ACFTA, kecenderungan yang terjadi adalah membanjirnya produk industri China, yang mengakibatkan besarnya arus impor produk dari pada ekspor ke China. Bahkan, perdagangan antara China dengan Indonesia mengalami defisit yang cukup besar pada tahun 2010, yakni mencapai 5,5 miliar Dolar AS.14

Berdasarkan hal tersebut, tampak bahwa masuknya impor produk-produk industri China tersebut merugikan beberapa sektor industri dalam negeri Indonesia. Dengan masuknya produk China tanpa bea masuk, menyebabkan lesunya aktivitas pelaku usaha lokal yang dapat berdampak pada lesunya kegiatan industri dalam

       12

Erman Rajagukguk, “ASEAN-China Free Trade Agreement Dan Implikasinya Bagi Indonesia”, http://ermanhukum.com/Makalah%20ER%20pdf/ACFTA.pdf, diakses tanggal 19 Juni 2011. 

13

Vica Herawati, “Analisis Pengaruh Asean China Free Trade Agreement (Acfta) Terhadap Kinerja Keuangan Yang Dilihat Dari Penjualan Pada Ukm Tekstil Di Pekalongan”, http://eprints.undip.ac.id/22703/1/SKRIPSI.pdf, diakses tanggal 2 Maret 2011.

14

Dikutip dari pernyataan Deputi Menko Perekonomian Adi Putra Irawadi, dalam Mastardi,

“Perdagangan Indonesia-China Defisit USD 5,5 Miliar”, http://infopublik.depkominfo.go.id/index.php?page=news&newsid=934, diakses tanggal 24 April 2011.  

(10)

negeri bahkan tidak menutup kemungkinan dapat menyebabkan tutupnya beberapa industri lokal. Pada akhirnya hal tersebut dapat menyebabkan bertambahnya angka pengangguran akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tenaga kerja pada sektor industri dalam negeri yang terkena dampak negatif pemberlakuan ACFTA.

Bila diperhatikan sebelum ACFTA berlaku, produk-produk China sebenarnya telah mendominasi pasar Indonesia, baik secara legal maupun ilegal. Produk China telah menjadi salah satu pesaing utama bagi produk-produk industri dalam negeri. Maka daya saing kemudian menjadi taruhan utama dalam menentukan kebijakan hukum investasi yang tepat. Sebab modal yang dibawa investor merupakan hal yang sangat penting sebagai alat untuk mengintegrasikan ekonomi global. Dengan demikian maka kepastian hukum bagi investor adalah tolak ukur utama untuk menghitung resiko. Apabila investor tidak merasakan adanya jaminan kepastian hukum yang dapat melindungi investasi mereka, maka dapat dipastikan investor tidak akan berinvestasi baik dalam bentuk portofolio, apalagi dalam bentuk penanaman modal langsung (direct investment).15

Perlunya melengkapi berbagai ketentuan investasi tiada lain karena, lingkungan dunia usaha baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional telah mengalami berbagai perkembangan yang demikian pesat, sehingga mau tidak mau ketentuan investasi juga harus disesuaikan dengan tuntutan global khususnya dengan

       15

Ridwan Khairandy,”Iklim Investasi dan Jaminan Kepastian Hukum dalam Era Otonomi Daerah, “Jurnal Hukum Respublica, Vol 5 No.2 Tahun 2006, hlm. 148, sebagaimana dikutip dalam Mahmul Siregar, Perdagamgam Internasional, (Medan: Universitas Sumatera Utara Sekolah Pasca Sarjana, 2008), hlm. 530-531.  

(11)

pemberlakuan ACFTA yang sangat mempengaruhi maju mundurnya beberapa sektor industri dalam negeri. Pada kenyataannya perdagangan ekspor impor yang terjalin antara China dan Indonesia dalam kerangka ACFTA ini menjadi titik tolak pengaturan hukum investasi. Hal ini dikarenakan investasi China diharapkan tidak merugikan kepentingan ekspor pengusaha dalam negeri ke China karena produk dan komoditasnya kalah bersaing. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Baharuddin Lopa, bahwa agar hukum nasional senantiasa mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan, maka ia harus membuka diri menerima unsur-unsur dari luar yang dapat memperlancar pembangunan nasional.16

Terkait dengan persaingan yang semakin berat, terutama dengan produk China, maka tidak ada pilihan lain bagi pemerintah untuk segera mengambil sejumlah langkah strategis, baik jangka pendek maupun jangka panjang dalam upaya melindungi industri dalam negeri dari dampak negatif sebagai akibat dari pemberlakuan perjanjian ACFTA. Hal penting yang perlu dikaji adalah bagaimana mengaitkan strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi domestik dengan langkah-langkah yang ditempuh pada tingkat internasional, misalnya terkait posisi pemerintah yang semakin lemah dalam menghadapi hambatan dalam mengupayakan peningkatan efesiensi dan daya saing nasional di perdagangan internasional terkhusus dalam menghadapi ACFTA ini.17 Sebab sejak ACFTA diberlakukan, telah menyebabkan terjadinya peningkatan impor khususnya sektor non migas yang cukup signifikan

      

16 Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 21.  17

Syahmin AK, Hukum Dagang Internasional, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 121.  

(12)

dalam kurun waktu tahun 2004-2008 di Indonesia bahkan peningkatan impor tersebut pada umumnya diatas 20% per tahunnya.18 Selain itu, produk impor China tersebut membanjir dengan harga yang sangat murah sehingga hal ini menimbulkan dugaan bahwa praktek dumping juga mewarnai ACFTA yang tentunya semakin merugikan industri dalam negeri.

Terlebih lagi dengan fakta bahwa perjanjian-perjanjian perdagangan bebas lainnya yang telah disetujui Indonesia akan menyusul pemberlakuannya seperti ASEAN Korea FTA, Indonesia Japan Economic Partnership Agreements (IJEPA), ASEAN Australia New Zealand FTA (AANZFTA), dan ASEAN India FTA. Dalam format kerjasama yang berbeda, Partnership Cooperation Agreement (PCA) antara Indonesia – Uni Eropa juga telah ditandatangai bulan November 2009. Dalam PCA tersebut, terdapat klausul-klausul kerjasama ekonomi yang merujuk pada liberalisasi perekonomian, khususnya dalam Jasa dan Hak Kekayaan Intelektual terkait perdagangan dimana Uni Eropa mempunyai kepentingan di dalamnya. Di luar itu masih banyak FTA atau kerjasama ekonomi yang merujuk pada liberalisasi perekonomian yang masih berada dalam proses perundingan atau dalam tahap pengkajian.19

       18

  Firman Mutakin dan Aziza Rahmaniar Salam, “Dampak Penerapan ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) Bagi Perdagangan Indonesia”, http://www.bni.co.id/Portals/0/Document/Ulasan%20Ekonomi/ACFTA.pdf, diakses tanggal 7 Juni 2011. 

19

Administrator, “Free Trade Agreements dan Demokrasi Kita”, http://www.igj.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=394&itemid=164, diakses tanggal 24 April 2011. 

(13)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri dalam rangka ACFTA?

2. Bagaimana kebijakan pemerintah dalam melindungi industri dalam negeri terhadap dampak negatif dari pelaksanaan ACFTA?

3. Bagaimana hambatan terhadap perlindungan hukum bagi industri dalam negeri dalam rangka ACFTA?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri dalam rangka ACFTA.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan pemerintah dalam melindungi industri dalam negeri terhadap dampak negatif dari pelaksanaan ACFTA.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan terhadap perlindungan hukum bagi industri dalam negeri dalam rangka ACFTA.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut:

(14)

1. Secara teoritis

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat teoritis yang akan memperkaya khasanah ilmu hukum guna membangun argumentasi ilmiah sebagai lampu pencari (search light) untuk menemukan kekurangan–kekurangan dalam pendekatan penelitian normatif terhadap peraturan hukum yang terkait dengan rumusan masalah yang dibahas.

2. Secara praktis

Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum mulai dari pembuat undang-undang (DPRD/DPR) dan pemerintah (Kabupaten/kota, Propinsi dan Pusat) sebagai badan eksekutif agar mempunyai perspektif yang sama dalam memberikan perlindungan hukum bagi industri dalam negeri menghadapi dampak negatif pelaksanaan perjanjian ASEAN China Free Trade Area (ACFTA). Selain itu penelitian ini juga bermanfaat bagi kalangan pelaku usaha terkhusus yang terkena dampak langsung dari pemberlakuan ACFTA.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang: “Perlindungan Hukum Terhadap Industri dalam Negeri Dalam ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA)” belum pernah dilakukan.

(15)

Meskipun demikian, ada beberapa penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa terdahulu yang membahas tentang ACFTA, diantaranya yaitu:

1. Febrina Rezkitta Hasibuan, dengan judul Kebijakan di Bidang Perdagangan yang Tanggap terhadap Perubahan Makrostruktur Sistem Internasional (Analisis Yuridis terhadap Perjanjian AFTA China – Indonesia).

2. Halimatul Maryani, Analisis Hukum Mengenai Kesepakatan Perdagangan Bilateral dan Regional dalam Kaitannya dengan WTO (Studi Terhadap Kesepakatan Perdagangan China-AFTA).

Penelitian ini berbeda dengan ke dua penelitian tersebut yang juga membahas tentang persetujuan ACFTA. Penelitian ini berfokus pada perlindungan hukum bagi industri dalam negeri dalam rangka pelaksanaan ACFTA.

Jadi penelitian ini adalah benar-benar asli karena telah sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas segala kritikan dan masukan yang sifatnya membangun guna penyempurnaan hasil penelitian.

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan ramalan serta menjelaskan gejala yang diamati. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, oleh karena itu teori ini diarahkan secara khas

(16)

ilmu hukum. Keberadaan teori ini adalah untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis.20

Untuk mengetahui tentang Perlindungan Hukum terhadap Industri dalam Negeri dalam ACFTA didasarkan kepada teori yang saling berkaitan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang berkenaan dengan peran negara dalam perdagangan bebas yang dalam hal ini menggunakan teori negara kesejahteraan (Welfare State) yang didukung oleh teori keadilan dari Jhon Rawls dan teori perlindungan hukum dari Roscoe Pound.

Pada prinsipnya perdagangan bebas atau free trade adalah suatu bentuk penjabaran ekonomi suatu negara yang mekanisme kebijakan perekonomiannya diserahkan kepada kebijakan pasar dengan meminimalkan seminim mungkin peran negara bahkan diharapkan sama sekali tidak ada intervensi/campur tangan dari negara.21

Kerjasama antara Indonesia dan China dalam kerangka ACFTA adalah salah satu wujud keikutsertaan Indonesia dalam pasar bebas. Secara teoritis, pasar bebas dapat diartikan sebagai sebuah arena dimana seluruh keputusan dan tindakan ekonomi yang dilakukan oleh individu-individu dalam rangka pergerakan uang,

       20

Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimentri, (Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998), hlm. 37. 

21

Dhika Prawidar, “Perdagangan Bebas (Free Trade)”, http://km.itb.ac.id/web/index.php?option=com_content&view=article&id=276:perdaganganbebas&c

atid=75:diskusi-diluar-isu-energi-pangan-dan-pendidikan&Itemid=110, diakses tanggal 8 Maret 2011. 

(17)

barang dan jasa berlangsung secara sukarela, bebas dari paksaan dan pencurian.22 Ide ini lahir dalam sebuah sistem masyarakat yang disebut kapitalisme.

Memberikan ruang yang besar pada pasar dalam menggerakkan perekonomian memang sangat berguna. Sebab hal ini mendorong inovasi dan kreatifitas individu dalam masyarakat yang dapat menyebabkan timbulnya banyak pilihan barang bagi konsumen. Namun akan sangat berbahaya jika kebebasan individu-individu dalam masyarakat tidak dibatasi, sebab tidak akan ada yang menjamin keberlangsungan hidup kaum-kaum miskin.

Dengan demikian negara mempunyai peran yang sangat penting untuk memberikan kesejahteraan yang merata tidak hanya untuk segelintir warganya melainkan bagi seluruh warga tanpa terkecuali terutama bagi pihak yang lemah. Dalam pasar bebas kecenderungan yang tampak adalah pihak yang ekonominya kuat akan selalu menindas pihak yang ekonominya lemah. Untuk itu negara, harus aktif dalam melindungi kepentingan pihak yang lemah sehingga tercipta kesejahteraan yang merata bagi seluruh masyarakatnya.

Hal ini yang mendorong lahirnya teori negara kesejahteraan (Welfare State). Dalam negara kesejahteraan, negara berkewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian, pemerintah dituntut untuk bertindak menyelesaikan segala aspek/persoalan yang menyangkut kehidupan warga negaranya, walaupun belum ada dasar aturan yang mengaturnya. Atas dasar inilah maka

       22

Coen Husain Pontoh, “Pasar Bebas”, https://coenpontoh.wordpress.com/2005/10/08/pasar-bebas/, diakses tanggal 8 Maret 2011. 

(18)

pemerintah diberikan kebebasan untuk dapat melakukan/bertindak dengan suatu inisiatif sendiri untuk menyelesaikan segala persoalan atau permasalahan guna kepentingan umum.23

Teori Keadilan Sosial dari Jhon Rawls, mengemukakan ide dalam bukunya A

Theory of justice bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar

memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Menurut Rawls situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga dapat menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Lebih lanjut, Jhon Rawls menegaskan bahwa penegakkan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan 2 (dua) prinsip keadilan, yaitu:

(1) Memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang.

(2) Mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.24

Dengan demikian tampak bahwa negara memiliki peran yang penting dalam memberikan keadilan yang merata bagi setiap orang. Berkaitan dengan pelaksanaan pasar bebas maka negara tidak lagi hanya sebagai penjaga malam melainkan aktif

       23

Bolmer Suryadi Hutasoit, “Fase Negara dan Prinsipnya”, https://bolmerhutasoit.wordpress.com/2010/09/27/fase-negara-dan-prinsipnya/, diakses tanggal 9 Maret 2011. 

24

Mbegedut, “Menilik Teori Keadilan Sosial ala Jhon Rawls (Filsafat Hukum)”, http://mbegedut.blogspot.com/2011/01/menilik-teori-keadilan-sosial-ala-john.html, diakses tanggal 9 Maret 2011.  

(19)

dalam memberikan keadilan bagi semua orang, dengan menciptakan hukum sebab hal ini merupakan kedaulatan dari negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.25 Dalam konteks ACFTA negara sudah seharusnya memberikan keadilan yang merata bagi seluruh masyarakat sehingga manfaat liberalisasi tidak hanya dirasakan oleh sebahagian masyarakat yang mendapat keuntungan dengan pemberlakuan ACFTA. Tetapi lebih lagi, pemerintah harus memprioritaskan agar tidak terjadi ketidakadilan dalam ACFTA yang dalam hal ini tentunya dialami oleh pihak yang lemah.

Secara singkat kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi (omnipotence) yang hanya dimiliki oleh negara.26 Kedaulatan tersebut digunakan untuk menggambarkan otonomi dan kekuasaan negara untuk membuat aturan-aturan hukum (hukum nasional) yang berlaku diwilayahnya dan membuat lembaga-lembaga negara.27 Dalam kedaulatan terefleksikan pula kekuasaan negara untuk mengadakan hubungan internasional dan tindakan-tindakan lain sebagai perwujudan dari kedaulatannya.

Secara sederhana Huala Adolf mengatakan bahwa kedaulatan ekonomi negara adalah kekuasaan tertinggi suatu negara untuk mengatur kebijakan ekonomi di dalam wilayahnya ataupun kebijakan ekonomi internasionalnya. Kedaulatan ekonomi negara beserta persamaan status atau kedudukan negara tercermin dalam berbagai

       25

Salim HS, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 131. 

26 Schwarzenberger dalam Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, op.cit., hlm. 243.  27 Louis Henkin, dikutip dari Huala Adolf, ibid. 

(20)

dokumen hukum internasional. Yang utama adalah Pasal 1 dan 10 Piagam Hak dan kewajiban Ekonomi Negara (Piagam CERDS).28

Pemberlakuan penghapusan tarif bea masuk sebagai pelaksanaan perjanjian ACFTA mengakibatkan serbuan produk China ke Indonesia, yang tentunya mengganggu beberapa sektor industri dalam negeri. Produk-produk China tersebut lebih menarik minat masyarakat sebab produk-produk China tersebut jauh lebih murah dibandingkan produk industri dalam negeri. Hal ini memperlihatkan daya saing produk industri dalam negeri sangat lemah dibandingkan produk-produk China yang masuk ke Indonesia.

Apabila negara tidak segera mengambil tindakan untuk melindungi industri dalam negeri maka hal ini dapat mengakibatkan semakin lesunya kegiatan usaha industri dalam negeri yang pada akhirnya dapat mengakibatkan tutupnya beberapa sektor industri dalam negeri.

Prinsip-prinsip GATT/WTO jelas mendukung terciptanya perdagangan internasional yang harmonis, adil dan terbuka. Namun disisi lain untuk mengeliminasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan sebagai implikasi dari hubungan bisnis internasional maka perlu dibentuk ketentuan-ketentuan sebagai instrument pengamanan perdagangan yang dapat digunakan oleh seluruh negara anggota untuk melindungi kepentingannya dari praktek perdagangan curang yang

      

(21)

dilakukan mitra bisnisnya.29 Berdasarkan hal tersebut maka tampak bahwa GATT/WTO memberikan dasar aturan pemberian perlindungan industri domestik dalam perdagangan internasional sebagaimana tertuang dalam Agreement on

Subsidies and Countervailing Measures (mengenai subsidi dan tindakan imbalan) dan

Agreement on Safeguards (mengenai tindakan pengamanan).30

Berbicara mengenai perlindungan hukum, Roscoe Pound dalam bukunya

Scope and Purpose Of Sociological Jurisprudence, menyebutkan ada beberapa

kepentingan yang harus mendapat perlindungan atau dilindungi oleh hukum yaitu;

pertama kepentingan terhadap negara sebagai suatu badan yuridis, kedua,

kepentingan terhadap negara sebagai penjaga kepentingan sosial; ketiga, kepentingan terhadap perseorangan terdiri dari pribadi (privacy). Berdasarkan hal tersebut tampak bahwa diperlukan adanya suatu perlindungan negara terhadap kepentingan sosial. 31

Hal ini berarti, bahwa terhadap dampak negatif dari pemberlakuan ACFTA bagi industri dalam negeri, negara sudah seharusnya memberikan perlindungan hukum bagi pelaku usaha domestik agar produk industri dalam negeri tidak terpuruk dan dapat terus berkembang dan serta bersaing dalam ACFTA.

       29

Christoforus Barutu sebagaimana dikutip dalam Budi Nugroho, “Perlindungan Industri Domestik Dalam Perdagangan Bebas”, http://www.bppk.depkeu.go.id/webbc/images/stories/file/2011/artikel/perlindungan%20industri%20do mestik%20dalam%20perdagangan%20bebas_1_.pdf, diakses tanggal 20 Juni 2011. 

30 Ibid. 

(22)

2. Konsepsional

Penggunaan konsep dalam suatu penelitian adalah untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang digunakan, oleh karena itu penulis merumuskan konsep dengan mempergunakan model defenisi operasional.32

Untuk memudahkan pemahaman terhadap pembahasan dalam penulisan ini, maka digunakan defenisi operasional sebagai berikut:

a. Perlindungan hukum adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum bagi individu dan atau kelompok. Perlindungan industri yang dimaksud dalam tesis ini adalah perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri dalam rangka ACFTA.

b. Industri dalam negeri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. c. Kawasan perdagangan bebas Free Trade Area (FTA) adalah suatu bentuk kerja

sama ekonomi regional yang perdagangan produk-produk orisinil negara-negara anggotanya tidak dipungut bea masuk atau bebas bea masuk.

d. ASEAN Free Trade Area (AFTA) adalah suatu bentuk kerjasama ekonomi regional di Kawasan Asia Tenggara untuk menghapuskan trade barriers antar negara anggota ASEAN.

       32

Universitas Sumatera Utara, “Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis”, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm. 72. 

(23)

e. ACFTA adalah kerjasama ekonomi regional antara negara-negara yang tergabung dalam kawasan Asia Tenggara (ASEAN) dengan negara China.

f. Dampak negatif kawasan perdagangan bebas adalah dampak negatif yang ditimbulkan akibat kerja sama ekonomi regional yang perdagangan produk-produk orisinal negara-negara anggotanya akibat tidak dipungut bea masuk atau bebas bea masuk. Dalam hal ini, dampak negatif yang dimaksud adalah dampak negatif pelaksanaan ACFTA pada industri dalam negeri.

g. Tarif bea masuk adalah biaya pungutan negara berdasarkan undang-undang yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.

h. Peningkatan impor adalah peningkatan nilai perdagangan impor Indonesia dalam implementasi ACFTA.

i. Dumping adalah keadaan suatu produk yang dimasukkan ke dalam pasar negara lain dengan harga yang lebih rendah dari harga normal.33

j. Subsidi adalah bantuan keuangan yang diberikan oleh pemerintah/badan pemerintah baik langsung atau tidak langsung kepada perusahaan/eksportir/industri/wilayah tertentu.34

k. Safeguard (Pengamanan Perdagangan) adalah tindakan pengamanan industri dalam negeri yang diambil oleh pemerintah berupa larangan impor dan atau menaikkan tarif atau menetapkan kuota selama periode waktu tertentu.35

       33

Defenisi dumping ini adalah menurut pengertian yang terdapat dalam GATT, lihat R. Hendra Halwani, Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 327. 

34

Sugih Nurmansyah, “Sekilas Tuduhan Dumping, Subsidi dan Safeguard Negara WTO Tahun 1995-2008”, http://ditjenkpi.depdag.go.id/Umum/Setditjen/Buletin%202009/Full%2055.pdf, diakses tanggal 20 Juni 2011. 

(24)

l. Countervailing (Bea Masuk Pembalasan) adalah penerapan bea tambahan terhadap produk impor dari suatu negara, sebagai dampak dari sikap diskriminatif yang dilakukan oleh negara pengimpor terhadap barang Indonesia.

m. Kerugian industri dalam negeri adalah kondisi industri dalam negeri dimana mengalami kemampuan yang semakin menurun beroperasi dalam memproduksi barang.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian dalam tesis ini adalah bersifat deskriptif analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis suatu peraturan hukum.36 Dengan demikian dalam penelitian ini tidak hanya ditujukan untuk mendeskripsikan gejala-gejala atau fenomena-fenomena hukum yang terkait dengan kepastian hukum bagi keberlangsungan usaha industri dalam negeri menghadapi ACFTA, akan tetapi lebih ditujukan untuk menganalisis fenomena-fenomena hukum tersebut dan kemudian mendeskripsikannya secara sistematis sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah

       35

Muhammad Yani, “Safeguard”, http://ditjenkpi.depdag.go.id/Umum/Setditjen/Buletin%202009/Full%2055.pdf, diakses tanggal 20 Juni

2011. 

(25)

untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan yang ajeg dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif yaitu ilmu hukum yang obyeknya hukum itu sendiri.37

Dalam penelitian ini metode yuridis normatif digunakan untuk meneliti norma-norma hukum internasional dan hukum nasional yang berlaku terkait dengan perlindungan industri dalam negeri dalam ACFTA.

2. Sumber Data Penelitian

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal ataupun arsip-arsip yang sesuai dengan penelitian yang akan dibahas, yang meliputi: a. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat seperti undang-undang, perjanjian inernasional, dan lain-lain, yang dalam penelitian tesis ini terdiri dari berbagai peraturan hukum yang berkaitan dengan implementasi dari perjanjian ACFTA termasuk perjanjian-perjanjian internasional yang terkait dalam hal ini yaitu Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Beetween

the Association of South Asian Nations and the People’s Republic of China

sebagaimana diratifikasi melalui Keppres Nomor 48 Tahun 2004 tentang       

37

Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 57.

(26)

Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik Rakyat China, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 Tentang Bea Masuk Antidumping Dan Bea Masuk Imbalan, Keppres Nomor 84 Tahun 2002 Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor, dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 14/M-DAG/PER/3/2007 Tentang Standarisasi Jasa Bidang Perdagangan Dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang Dan Jasa Yang Diperdagangkan.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti berbagai tulisan, jurnal dan buku-buku yang dianggap berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan diangkat.

c. Bahan Hukum Tersier:

Merupakan bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, dan kamus hukum sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian ini.

(27)

3. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya.

4. Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen dimana seluruh data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini, dikumpulkan dengan mempergunakan studi dokumen.

Pada tahap awal pengumpulan data, dilakukan inventaris seluruh data dan atau dokumen yang relevan dengan topik pembahasan. Selanjutnya dilakukan pengkategorian data-data tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan metode analisis yang sudah dipilih.38

5. Analisis Data

Dilakukan secara kualitatif, yakni suatu bentuk analisa yang tidak bertumpu pada angka-angka melainkan pada kalimat-kalimat. Bahan hukum yang diperoleh akan dipilah-pilah, dikelompokkan dan disusun sedemikian rupa sehingga menjadi suatu rangkaian yang sistematis yang akan dipergunakan untuk membedah dan

      

(28)

menganalisis permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini melalui interpretasi dan abstraksi bahan-bahan hukum yang tersedia.

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif – induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai titik tolak untuk melakukan penelitian. Dengan demikian teori digunakan sebagai alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah dalam perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri dalam ACFTA.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh penyuluhan tentang kesehatan rerpoduksi remaja terhadap pengetahuan memelihara organ genetalia pada siswi SMP Muhammadiyah

Program PKW, PKK, dan Magang dilakukan berbasis pada SKL dan menggunakan acuan kurikulum berbasis kerangka kualifikasi nasional Indonesia (KKNI). Selanjutnya, SKL digunakan

5) Melihat perilaku dari segi konsekuensi atas dasar system nilai 6) Kemampuan bertindak independen. Pendapat yang dikemukakan ahli diatas penulis lihat ada hal-hal pokok

Penelitian Stang (2011), menunjukkan bahwa pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan dampak pernikahan di bawah usia 20 tahun, kehamilan pada remaja akibat pergaulan bebas

Pelaporan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan dugaan penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana

Setelah seseorang melakukan kebajikan, hendaknya ia mengucapkan tekad: "Semoga dengan kebajikan yang telah dilakukan ini akan dapat membuahkan kebahagiaan untuk SAYA dalam

Analisis data dilakukan secara kualitatif empirik yakni analisis yang dipakai tanpa menggunakan angka maupun rumusan statistik dan matematika artinya disajikan dalam

Silberman (2014:148), model expanding panel ini merupakan suatu teknik dalam pembelajaran. Tehnik ini merupakan cara yang baik untuk menstimulasi diskusi dan memberikan