• Tidak ada hasil yang ditemukan

DELIMITASI BATAS MARITIM DALAM SENGKETA AMBALAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DELIMITASI BATAS MARITIM DALAM SENGKETA AMBALAT"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

DELIMITASI BATAS MARITIM DALAM

SENGKETA AMBALAT

Tri Patmasari dan Sobar Sutisna

Pusat Pemetaan Batas Wilayah BAKOSURTANAL

ABSTRAK

Dalam kurun waktu hampir enam dekade kemerdekaan NKRI, wilayah Indonesia di dalam perkembangannya mengalami pertambahan luas yang sangat signifikan. Perubahan –perubahan tersebut diakibatkan oleh cara pandang bangsa Indonesia atas ruang hidupnya dan perubahan-perubahan yang terjadi pada landasan Hukum Laut Internasional. Namun sampai saat ini, Indonesia belum tuntas dalam menyelesaikan batas wilayah negaranya.

Beberapa tahun belakangan ini, berbagai kasus terutama delimitasi batas maritim Indonesia dengan Malaysia menjadi isu yang hangat, setelah kasus Sipadan Ligitan selesai muncul masalah Ambalat di wilayah Laut Sulawesi. Berdasarkan hukum laut internasional konflik tersebut merupakan konflik kedaulatan, yang berbau dengan konflik hak berdaulat. Banyak pihak yang salah dengan persepsi menganggap Ambalat merupakan sebuah pulau. Persepsi yang salah tersebut dikarenakan kurangnya pengetahuan geografis.

Delimitasi batas maritim yang sangat kompleks juga sarat dengan berbagai kepentingan politik, ekonomi dan pertahanan keamanan dari suatu negara. Presiden SBY telah menegaskan, kebijakan dasar penyelesaian Ambalat melalui jalur diplomasi.

1. Pendahuluan

Perjanjian batas maritim antara Indonesia dan Malaysia sudah dimulai sejak tahun 1969, yang menyepakati garis batas landas kontinen di selat Malaka dan di Laut Cina Selatan. Dengan meningkatnya kegiatan explorasi sumber-sumber gas dan minyak di lepas pantai sejak awal tahun 1960 an, Indonesia dan Malaysia memandang perlu untuk melakukan delimitasi batas landas kontinen dengan mengacu kepada UNCLOS I tahun 1958. Mengenai persoalan kedaulatan atas P. Sipadan dan P. Ligitan, yang bermula pada saat perundingan landas kontinen di kawasan Laut Sulawesi. Indonesia dan Malaysia sama-sama mengklaim kepemilikan pulau Sipadan dan pulau Ligitan. Kedua negara kemudian mencoba menyelesaikan secara diplomatis pada tahun 1988-1997 dan akhirnya di selesaikan di Mahkamah Internasional antara tahun 1988-1997-2002.

Persoalan yang terkait putusan Mahkamah Internasional tentang status kepemilikan 2 pulau tersebut adalah murni proses penyelesaian secara hukum dan tidak

(2)

ada lagi diplomasi sejak tahun 1977. Kesalah-pahaman berkembang luas, akibat putusan Mahkamah yang memberikan kedaulatan atas kedua pulau tersebut kepada Malaysia. Dan tercermin pencampuradukan status pemilikan pulau (souvereignty) dengan delimitasi batas maritim, yang sesungguhnya berkaitan dengan kepentingan negara guna perlindungan pemanfaatan sumberdaya hayati dan non hayati di dalam batas-batas maritimnya (souvereign rights). Analogi yang kurang tepat ini akhirnya memicu kekhawatiran yang berlebihan tentang kemungkinan lepasnya beberapa pulau terluar Indonesia yang berbatasan dengan negara tetangga yang dinilai memiliki potensi sengketa.

2. Urgensi Peta dalam klaim Pulau Sipadan dan Ligitan

Pada tahun 1969 Indonesia dan Malaysia sepakat menetapkan status quo atas kedua pulau sengketa. Pada bulan Agustus 1969 Malaysia melebarkan luas laut wilayahnya dari 3 mil menjadi 12 mil dan 10 tahun kemudian Malaysia mempublikasi Peta Baru (dikenal dengan peta 1979) secara unilateral. Publikasi peta secara unilateral ini, memperlihatkan betapa luasnya wilayah maritim yang diklaim oleh Malaysia, dan juga menggambarkan overlaping klaim zona maritim dengan negara tetangganya. Peta 1979 tersebut mengundang protes dari beberapa negara seperti Singapura (terkait kepemilikan Pedra Branca), Filipina, Cina, Thailand, Vietnam dan Inggris yang mengatasnamakan Brunei Darussalam, dan tentu juga Indonesia.

Dalam peta Malaysia 1979, Malaysia memasukkan keberadaan pulau Sipadan dan Ligitan serta Karang Unarang ke dalam wilayahnya, yaitu dengan menarik garis dasar median antara garis dasar Malaysia dan garis dasar perairan Indonesia (berdasarkan Prp 4 /1960) hingga sampai ke daerah eksplorasi migas Indonesia di Blok Bukat dan blok Ambalat.

Dengan argumentasi Malysia yang didukung dengan bukti tindakan berupa kontrol yang dilakukan Inggris dengan memberlakukan pajak pengumpulan telur penyu di di kedua pulau tersebut yang mengacu kepada Turtle Preservation Ordinance tahun 1917-1950, pelestarian satwa burung dan pembangunan mercusuar awal tahun 1960 dianggap Mahkamah merupakan bentuk effectivites. Akhirnya, pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional memutuskan Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi bagian dari kedaulatan Malaysia. Mengenai hal ini Hakim pada Mahkamah

(3)

Internasional, Shigeru Oda sudah memperkirakan bahwa sengketa ini akan muncul di kemudian hari sehingga dalam pandanganya Shigeru Oda juga melihat posisi Indonesia dan Malaysia dalam mengklaim P. Sipadan dan Ligitan akan didasari keberadaan kawasan migas di dasar laut Sulawesi.

Kebutuhan untuk menetapkan batas laut di Laut Sulawesi paska Sipadan-Ligitan menjadi lebih signifikan setelah terjadi saling klaim di wilayah tersebut yaitu dengan pemberian konsesi kepada perusahaan minyak untuk eksplorasi dan eksploitasi di kawasan blok Ambalat di Laut Sulawesi. Sehingga sengketa Ambalat, yang secara tidak langsung muncul sebagai akibat sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Timbul persoalan mengenai penggunaan kedua pulau tersebut sebagai dasar atau acuan bagi Malaysia untuk dapat mempertahankan klaimnya atas kawasan Ambalat. Dan keputusan MI tersebut menjadi satu landasan yang digunakan Malaysia untuk memberikan izin eksplorasi minyak ND6 terhadap perusahaan minyak Belanda Shell di blok Ambalat. Padahal sebelumnya Indonesia telah memberikan izin eksplorasi kepada dua perusahaan ENI (Italia) dan Unocal (AS) di wilayah tersebut.

3. Kedudukan pulau, karang dan Low Tide Elevation (LTE) dalam delimitasi batas maritim di kawasan Ambalat

Indonesia meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 dengan UU no 17 tahun 1985. Merupakan kewajiban dari Indonesia untuk mengimplementasikan ketentuan yang berkaitan dengan negara kepulauan secara internal yaitu menyangkut pengaturan lebih lanjut ke dalam peraturan nasionalnya dan secara external yang menyangkut kepentingan negara tetangga dan dunia internasional, antara lain terkait delimitasi wilayah maritim Indonesia.

Sebagai tindak lanjut dari pengesahan UNCLOS 1982 pemerintah Indonesia telah menerbitkan UU no 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan Peraturan Pemerintah No 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. PP ini telah direvisi dengan PP 37 tahun 2008, yaitu dengan merevisi keberadaan P. Sipadan dan Ligitan sebagai titik dasar Kepulauan Indonesia dan perubahan kongfigurasi titik dasar di sekitar P. Timur karena kemerdekaan Timor Leste. Dua landasan hukum UU no 6/1996 dan PP tersebut telah memagari wilayah perairan Indonesia. Urgensi dari garis pangkal tidak hanya untuk

(4)

mengukur lebar laut teritorial juga berlaku untuk dasar pengukuran lebar wilayah zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen suatu negara.

Sesuai pasal 47 UNCLOS 1982, sebagai negara kepulauan Indonesia berhak menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau– pulau dan karang kering terluar kepulauan. Pendirian mercusuar di Karang Unarang dan penentuannya sebagai titik dasar garis pangkal laut teritorial yang baru di wilayah Laut Sulawesi merupakan langkah Indonesia dalam mengganti titik dasar lama yang berada di P. Sipadan dan Ligitan. Lokasi Karang Unarang sebagai elevasi surut kurang lebih berada pada jarak 9 mil laut dari P Sebatik dan masih berada dalam laut teritorial Indonesia.

Sampai saat ini , Indonesia dan Malaysia telah melaksanakan perundingan teknis sebanyak 13 kali, dengan tim perunding yang terdiri dari instansi-instansi: DEPLU, BAKOSURTANAL, JANHIDROS, ESDM, DITWILHAN, DKP, Departemen Perhubungan dan MABES TNI yang dimulai dengan perundingan di Bali pada tahun 2005. Zona maritim yang menjadi sengketa adalah laut teritorial, ZEE dan landas kontinen.

Malaysia dan Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982. Sesuai pasal 74 dan 83 UNCLOS 1982, kriteria mengenai delimitasi ZEE dan landas kontinen antara negara yang pantainya bersebelahan atau berseberangan memiliki beberapa elemen yaitu dengan perjanjian (by agreement) berdasarkan sumber-sumber hukum internasional, seperti tercantum dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, demi tercapainya equitable solution. Rumusan equity principle tersebut tidak menentukan metode tertentu namun hanya mensyaratkan adanya equitable solution yang mana prinsip keadilan ini masih mendapat banyak perdebatan.

Berbeda dengan rumusan dari pasal 6 Konvensi Landas Kontinen 1958 yang merumuskan melalui perjanjian, pertimbangan special circumtances atau dengan median line atau equidistance principle. Dan pengertian special circumtances hanya terbatas pada aspek geografi seperti konfigurasi pantai, keberadaan pantai , keberadaan pulau dan karang serta jalur pelayaran.

Dengan digunakannya equity principle, dalam berbagai kasus di Mahkamah Internasional , sebagai contoh kasus Tunisia-Libia (1982), kedua negara tersebut juga

(5)

meminta Mahkamah Internasional untuk memberikan putusannya berdasarkan equitable principle dan dengan mempertimbangkan relevant circumtances.

Menurut Churchil dan Lowe, relevant circumtances ,memiliki lingkup yang lebih luas yaitu :

(1) Geographical and geomorphological circumtances

(2) The location of the land frontier and advance maritime boundaries (3) Historic rights

(4) Economic circumtances

Kriteria yang termasuk dalam geografi dan geomorfologi a.l. konfigurasi pantai, keberadaan pulau-pulau dan pertimbangan –pertimbangan dari segi geomorfologis lainnya. Sedangkan yang dianggap dalam mempertimbangakan Economic circumtances adalah keberadaan “oil wells”.

Di dalam negosiasi dan delimitasi landas kontinen di kawasan Ambalat, relevant circumtances juga menjadi faktor yang menjadi bahan pertimbangan pihak Indonesia , yaitu dengan mempertimbangkan keberadaan posisi-posisi Blok Migas. Antara lain bahwa Indonesia pernah memberikan konsesi kepada Japan Petroleum Explorasation Company Limited (Japex) pada 6 Oktober 1966 di Laut Sulawesi dengan mengikuti garis 4° 09’ 30˝ LU dan berjarak 27 mil dari Pulau Sebatik, dan dalam hal ini Malaysia tidak pernah memprotes konsesi tersebut.

Selain Blok Japex, juga keberadaan blok migas lainnya yaitu Blok North East Kalimantan, Blok Bukat, Blok Ambalat dan Blok East juga Ambalat. Selain itu Indonesia juga akan mempertimbangkan keberadaan dua pulau kecil Sipadan dan Ligitan yang belum tentu berhak atas garis tengah dengan wilayah negara yang ada dihadapannya.

4. Aspek Geodesi dalam delimitasi dan demarkasi batas

Geodesi sangat berperan dalam proses perundingan perbatasan. Dimulai pada saat suatu negara akan menentukan atau menetapkan Titik Dasar untuk penentuan dengan garis pangkal lurus atau garis pangkal kepulauan. Untuk itu perlu dilakukan survei penentuan posisi, pengamatan bathimetri, pembuatan peta titik dasar serta pemanfaatan dan interpretasi berbagai citra. Dalam tahap perundingan, Geodesi juga

(6)

sangat berperan untuk memberikan masukan teknis, terkait dengan peta yang disepakati dalam penentuan garis batas, exercise dan kajian dalam penentuan garis batas dengan berbagai metoda, serta berperan dalam menentukan datum Geodesi yang disepakati bersama dan lain sebagainya. Informasi datum sebaiknya secara explisit dicantumkan pada peta batas yang dilampirkan dalam perjanjian yang memuat konfigurasi garis batas dan koordinat geografis (lintang dan bujur) dari titik batas. Ketidakjelasan datum geodesi akan menimbulkan implikasi spasial tetapi juga dapat menimbulkan implikasi legal atau non spasial. Untuk demarkasi batas darat dan lebih lanjut densifikasi, maka sebagai langkah awal diperlukan adanya Common Border Datum Reference Frame (CBDRF) dengan datum yang disepakati bersama.

5. Penutup

Mencermati keputusan Mahkamah Internasional terkait kasus Sipadan-Ligitan sangat memberikan hikmah positif dalam arti secara politis. Sehingga pemerintah dan masyarakat sejak saat itu selalu tergerak untuk meningkatkan kepedulian nasional mengenai urgensi pengelolaan dan pengawasan terhadap masalah batas wilayah serta pembangunan di daerah kawasan perbatasan. Namun konvensi dan analogi yang kurang tepat acapkali justru memicu kekhawatiran yang berlebihan tentang kemungkinan lepasnya beberapa pulau terluar Indonesia yang dinilai memiliki potensi sengketa seperti halnya kasus pulau Sipadan dan Ligitan.

Saat ini pemerintah telah mengeluarkan UU no 37 tahun 2008 tentang UU Wilayah Negara. Dengan adanya political will yang terarah dari pemerintah secara koordinatif dan terfokus untuk melakukan percepatan pembangunan dan pengawasan di wilayah perbatasan sebagai bagian integral dari wilayah kedaulatan NKRI, pembangunan masyarakat dan pengelolaan sumberdaya di wilayah perbatasan memerlukan kerangka penanganan yang menyeluruh dengan mencakup berbagai sektor pembangunan.

Referensi

Dokumen terkait

Yaitu kondisi ketika individu mampu pulih kembali pada fungsi psikologis dan emosi secara wajar dan mampu beradaptasi dalam kondisi yang menekan, walaupun masih

[r]

Kadar Bahan Organik (%) Silase Rumput Kolonjono ( Brachiaria mutica ) Pada Berbagai Macam Akselerator .... Nilai pH Silase Rumput Kolonjono ( Brachiaria Mutica ) Pada

Menurut Lima (2012) pada penelitiannya tentang legum menyatakan bahwa perendaman benih yang paling efektif pada benih Leguminosa Centro dan Siratro adalah selama 10

Kendala yang Dihadapi Mahasiswa dalam Proses Akulturasi Budaya dalam Pergaulan Sosial di Kampus UPP Tegal UNNES adalah (1) Asal daerah, Diferensiasi asal daerah

Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan di desa Jelegong, yang bertujuan mengkaji paparan kandungan logam berat limbah industri tekstil di lahan persawahan.Hasil analisa contoh

Hubungan antara rentenir dengan nasabah juga merupakan hubungan timbal balik yang saling memberi keuntungan, bunga yang ditetapkan akan memberi keuntungan pada

Umpan balik terhadap kegiatan pengabdian diperoleh dari hasil wawancara satu arah dengan quisioner pada 30 rumah tangga masyarakat pesisir di sekitar Desa