• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERHITUNGAN EMISI BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKAR UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA DIESEL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERHITUNGAN EMISI BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKAR UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA DIESEL"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

dan Konservasi Energi

Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan,

PERHITUNGAN EMISI BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT SEBAGAI

BAHAN BAKAR UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA DIESEL

Jakarta Selatan hartono_pi@yahoo.com

Abstrak

Bio-energi sebagai salah satu sumber energi baru terbarukan selama ini diasumsikan sebagai energi karbon netral walaupun sebenarnya tetap menghasilkan emisi. Sebagai salah satu jenis bio-energi, biodiesel juga mengeluarkan emisi yang nilainya lebih besar dari pada fosil diesel (solar). Untuk mengklarifikasi hal tersebut, dengan menggunakan data sekunder, penelitian ini melakukanlife cycle analysis (LCA) mulai dari emisi yang keluar saat penebangan hutan hingga emisi yang keluar dari cerobong asap pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) di Provinsi Riau. Emisi yang dihasilkan biodiesel untuk bahan bakar pembangkit adalah 1,258 kgCO2/kWh, namun jika proses pembukaan hutan tidak dihitung, maka emisi akan turun menjadi 0,094 kgCO2/kWh. Nilai ini dibawah faktor emisi Sistem Ketenagalistrikan Sumatera, sebesar 0,743 kgCO2/kWh.

Kata kunci:life cycle analysis, biodiesel, pembangkit listrik, faktor emisi

Abstract

Bio-energy as one of renewable energy is assumed as carbon neutral even though it still actually incurs emission. As one of the types of bio-energy, biodiesels also produce emission which was concluded higher than fossil diesel. To clarify that issue, by using secondary data, this research conducted life cycle analysis (LCA) which was started from the emission produced since the time of land conversion until emission in the power plant stack, in Riau Provinces. Emission caused from biodiesel as fuel in power plant is 1.258 kgCO2/kWh; however, if land conversion process is not included then the emission will reduce to 0.094 kgCO2/kWh. This value is lower than the emission factor of Sumatera Electricity System, which is 0.743 kgCO2/kWh.

Keywords: life cycle analysis, biodiesel, power plant, emission factor Hartono1) dan M. Indra Al Irsyad2)

(2)

Latar Belakang PENDAHULUAN

Energi baru terbarukan selama ini mempunyai citra yang ramah lingkungan. Namun, pendapat umum ini dikejutkan oleh publikasi DeNocker dan Spirinckx (1998) yang menyatakan biodiesel mempunyai dampak lingkungan yang lebih negatif dibandingkan dengan fosil diesel. Paper tersebut merupakan rangkuman penelitian Ceuterick dan Spirinckx (1997) di the Flemish Institute for Technological Research yang menghitung life cycle analysis (LCA) emisi biodiesel berbasis tanamanrapeseed dan fosil diesel di Belgia.

Selain studi oleh Ceuterick dan Spirinckx (1997) pada perkebunan rapeseed di Belgia, Sheehan dkk (1998) di National Renewable Energy Laboratory (NREL) melakukan studi sejenis untuk perkebunan kedelai di Amerika Serikat dengan kesimpulan serupa walau ada perbedaan pola penanaman yang berbeda terkait dengan penggunaan jumlah pupuk.

Kesimpulan penelitian Ceuterick dan Spirinckx (1997) serta Sheehan dkk (1998) memancing studi tandingan di negara lain. Di Yunani, Nanaki dan Koroneos (2009) menyimpulkan sebaliknya yaitu biodiesel mampu menurunkan emisi GRK walaupun biodiesel menaikkan emisi PM10, nitrogen oxides (NOx), nitrogen, nitrous oxide, phosphorous dan pencemaran air. Hasil yang berbeda juga di dapat oleh Lechon dkk (2009) yang melakukan variasi percobaan yaitu menghitung emisi dari jumlah campuran biodiesel yang berbeda-beda di Spanyol. Hasilnya adalah bahwa penurunan emisi

bervariasi dari 3% untuk campuran minyak rapeseed 5% hingga 88% untuk minyak rapeseed 100%. Tabel 1. menunjukkan hasil penelitian LCA emisi biofuel di berbagai negara dengan berbagai komoditi bahan baku.

Perbedaan hasil penelitian LCA di Tabel 1. disebabkan oleh perbedaan bahan baku biodiesel sekaligus lokasi negara analisis. Perhitungan emisi biodiesel di Indonesia telah dilakukan oleh Hasanuddin dkk (2010) serta Dewi dkk (2009). Sayangnya, analisis yang telah dilakukan Hasanuddin (2010) adalah estimasi untuk emisi minyak jarak. Demikian juga Dewi dkk (2009), perhitungan hanya dilakukan pada emisi pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit tanpa melanjutkannya hingga menjadi biodiesel. Untuk itu, penelitian ini bermaksud melengkapi perhitungan emisi yang dihasilkan dari pemanfaatan biodiesel berbasis kelapa sawit untuk bahan bakar pembangkit listrik. Analisis dilakukan berdasarkan data sekunder diambil dari hasil-hasil penelitian yang sebelumnya telah ada di Indonesia.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan menghitung emisi biodiesel mulai dari pembukaan lahan hutan hingga pemakaiannya di pembangkit listrik. Hasil perhitungan ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah mengenai efektivitas penggunaan biodiesel untuk mengurangi emisi di sektor energi.

(3)

METODOLOGI

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah life cycle analysis (LCA). Metode LCA merupakan analisis siklus hidup biodiesel yang berupa urutan proses mulai dari konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit hingga penggunaan biodiesel di pembangkit listrik (cradle to grave).

Analisis LCA di penelitian ini menggunakan diagram alir dan data analisis Kamahara dkk (2010) yang menghitung keseimbangan energi biodiesel di perkebunan kelapa ‘sawit Lampung. Kamahara dkk (2010) kemudian menggunakan skenario biodiesel

yang dihasilkan yang kemudian dikirim dan dimanfaatkan di Jepang.

Penelitian ini kemudian menambahkan analisis emisi yang timbul ketika proses konversi hutan untuk perkebunan (land use change/LUC) dan emisi yang diserap ketika tanaman sawit muda tumbuh. Emisi yang dilepas dan diserap selama proses konversi hutan merujuk pada hasil penelitian Dewi dkk (2009) padapilot project di Riau.

Tabel 1. Analisis LCA emisi biodiesel dan fosil diesel di berbagai negara

Negara Komoditi Kesimpulan

Belgia

(Ceuterick and Spirinckx, 1997)

Rapeseed Fosil diesel 2x lebih ramah lingkungan dibandingkan bio-diesel

Amerika Serikat (Sheehan dkk, 1998)

Kedelai Penggunaan B20 menyebabkan : CO 2 ↓15,66% CO ↓ 6,90% TPM ↓ 6,48% HF ↓ 3,10% SOx ↓ 1,61% CH 4 ↓0,51% NOx ↑ 2,67% HCi ↑2,71% THC ↑ 7,19% Yunani

(Nanaki&Koroneos, 2009) Rapeseed 1 ton1 ton bio-diesel = 2,4 ton COfossil diesel= 2,8 ton CO2e 2e Spanyol (Lechon dkk, 2009) Etanol:

Tanaman biji, sereal Biodiesel: Minyak bekas Sawit, kedelai dan Rapeseed Solar 163 Bensin 203 Bietanol85% 58 Biodiesel: Bioetanol 5% 195 Minyakrapeseed 5% 158 Minyakrapeseed 10% 154 Minyakrapeseed 100% 19 Minyak bekas 5% 155 Minyak bekas 10% 148 Minyak bekas 100% 19 (dalam satuan g CO 2e/km) Inggris

(Mortimer dkk, 2003) Rapeseed Biodiesel teknologi baru 0,019Biodiesel teknologi konvensional 0,041 Ultra low sulphur diesel 0,095 (dalam kg CO

2e/MJ) Indonesia

(Hasanuddin dkk, 2010) Singkong dan jarak 1 kL etanol =0,268 t CO1 kLcrude jatropha oil=0,4374 tCO2e 2e (analisis tidak sampai jadibiofuel)

(4)

Mengingat kedua lokasi analisis di literatur tersebut berbeda, maka penelitian ini mengasumsikan perkebunan kelapa sawit dan pabrik biodiesel mempunyai karakteristik yang sama di setiap wilayah Indonesia. Asumsi ini diharapkan dapat memenuhi persyaratan Intergovernmental Panel on Climate Change

(IPCC) mengenai ketelitian data tingkat nasional (tier 2).

Penelitian ini kemudian memodifikasi analisis Kamahara dkk (2010) yang mengasumsikan bahwa biodiesel tersebut di ekspor ke Jepang menjadi pemanfaatan dalam negeri untuk bahan bakar pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 1.

Terdapat 2 (dua) proses dalam LCA emisi biodiesel yaitu proses utama dan pendukung. Proses pendukung adalah proses produksi

Proses Pendukung Energi Primer Produksi Energi Sumber Daya Fosil Air Produksi Kimia Konversi Hutan Perkebunan FFB Pabrik CPO CPO Pabrik Biodiesel Boiler Abu PKS, PPF EFB Biji Glycerin Biodiesel Pabrik minyak biji sawit Proses Utama POME WWT Biogas Keterangan :

FFB :Fresh Fruit Bunches/ Tandan Buah Sawit Segar CPO :Crude Palm Oil/ Minyak Kelapa Sawit Mentah POME :Palm Oil Mill Effluent/ Limbah Proses

PKS :Palm Kernel Shells/ Cangkang atau Kulit Biji Sawit PPF :Palm Press Fiber/ Serabut Padat Kelapa Sawit EFB :Empty Fruit Bunches/ Tandan Buah Kosong

WWT:Waste Water Treatement/ Instalasi Pengolah Limbah Gambar 1. Diagram alir analisis

(5)

bahan baku yang digunakan pada proses utama seperti pupuk dan energi. Sementara pada proses utama, tandan buah sawit segar (fresh fruit bunches/FFB) dipanen secara manual sebagaimana umumnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Pabrik kelapa sawit (palm oil mill) kemudian memproduksi minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan biji sawit. Biji sawit ini kemudian dikirim ke pabrik lain untuk diolah menjadi minyak biji sawit. Cangkang/kulit biji sawit (palm kernel shells/PKS) dan serabut padat kelapa sawit (palm press fiber/ PPF) dimanfaatkan sebagai bahan bakar produksi. Abu dari bahan bakar tersebut bersama-sama dengan tandan buah kosong (empty fruit bunches/EFB) dijadikan pupuk. Limbah proses atau disebut juga palm oil mill effluent (POME) kemudian diolah di sistem kolam biologi untuk kemudian dapat digunakan sebagai air irigasi perkebunan.

Nilai parameter yang digunakan dalam tiap tahapan proses di perlihatkan pada Gambar 1. sangat bergantung pada lokasi analisis. Seperti misalnya luas hutan yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit, jarak antara pabrik minyak sawit dengan pabrik biodiesel hingga jenis teknologi pemanfaat biodiesel. Untuk itu, perhitungan LCA dibatasi pada parameter berikut:

a) Lokasi yang dianalisis adalah pabrik minyak kelapa sawit di Provinsi Riau dan pabrik tersebut dilengkapi dengan fasilitas produksi biodiesel percontohan. 40% area perkebunan, yang didirikan pada tahun 1990-an, merupakan bekas wilayah penebangan hutan. Di area perkebunan

plasma, 50% wilayah tersebut berasal dari bekas tebangan hutan. (Dewi dkk, 2009); b) Kebutuhan pupuk perkebunan sawit di

Riau tersebut diasumsikan sama dengan kebutuhan perkebunan di Lampung yang dianalisis oleh Kamahara dkk (2010); c) Biodiesel digunakan untuk bahan bakar

pembangkit listrik mengingat hampir 100% pasokan listrik Riau berasal dari PLTD. Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) Tahun 2009–2018, saat ini ada 161 PLTD berkapasitas total 141,7 MW yang memasok 11 sistem ketenagalistrikan yang ada di Riau. Pertimbangan lain adalah bahwa harga biodiesel yang diproduksi mampu bersaing dengan harga minyak berat untuk industri yang di 2010 harganya berkisar Rp 6.800,-/liter;

Selain itu, penelitian ini juga menggunakan asumsi nilai energi yang diperlukan untuk proses pendukung dan data untuk proses utama sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 2, Tabel 3, dan Tabel 4 dan Tabel 5.

Tabel 2. Data untuk proses utama

Proses Bahan Nilai Satuan

Perkebunan (per ha per tahun)

Urea (CH4N2O) 280 gram

Triple super

phosphate (P2O5) 20 gram Rock phosphate (P,

Ca) 208 gram

Muriate of Potash

(K, Cl) 280 gram

Kieserite (Mg) 76 gram

Dolomite (Mg, Ca) 167 gram

Herbicides 257 mg

Pabrik CPO Bahan bakar solar untuk FFB per ton CPO

(6)

Produksi biodiesel (per kg biodiesel) Bahan mentah 1,05 kg Glycerin 0,16 7 kg Metanol 0,13 5 kg Caustic Potash 9,15 g Listrik 0,30 7 kWh

Transportasi Jarak antara kebun

dan pabrik CPO 8 km

Jarak antara pabrik

CPO dengan PLTD 80 km

Konsumsi solar truk 5 ton (kebun-pabrik) 0,28 kg/km Konsumsi solar trailer 20 m3 (pabrik-PLTD) 0,29 kg/km Sumber: Kamahara dkk (2010)

Tabel 3. Asumsi jumlah bahan dan kualitas tandan buah sawit segar (FFB)

Bahan Kandungan di FFB (%-FFB)

Input

- FFB (Fresh Fruit Bunches) 100,0

- Air 19,36

Output

- CPO (Crude Palm Oil) 21,51

- Biji (by-product) 4,30

Limbah

- EFB (Empty Fruit Bunches) 25,00

- PPF (Palm Press Fiber) 14,10

- PKS (Palm Kernel Shells) 5,35 - POME (Palm Oil Mill Effluent) 35,40

Sumber: Kamahara dkk (2010) Tabel 4. Keperluan energi untuk produksi

bahan kimia dan bahan bakar fosil

Bahan Nilai Satuan

Urea 33,2 MJ/kg

Triple super phosphate 2,8 MJ/kg Muriate of potash 1,3 MJ/kg

Kieserite 3,5 MJ/kg

Dolomite 0,5 MJ/kg

Herbicides 215 MJ/kg

Produksi metanol 2,8 MJ/kg Bahan baku metanol 33,5 MJ/kg

Minyak solar 47,6 MJ/kg

Minyak berat 47,6 MJ/kg

Listrik 10,47 MJ/kWh

Sumber: Kamahara dkk (2010)

Bahan Nilai Satuan Sumber

Urea 0,2 kgCO2/kg Wood &

Cowie (2004) Triple super

phosphate

1,08 kgCO2/kg Wood & Cowie (2004) Rock phosphate 0.043 kgCO2/kg International Fertilizer Industry Association (IFA) Muriate of

potash 1,2 kgCO2/kg Sandars dkk(2003) Dolomite 0,91 kgCO2/kg IPCC (1996)

Herbicides 8 kgCO2/kg Tullberg

(2009) Produksi

metanol 0,67 kgCO2/kg IPCC (2006)

Solar 0,074 kgCO2/MJ IPCC (2006)

Pembakaran

biodiesel 0,039 kgCO2/kWh Sheehan dkk(1998) HASIL DAN PEMBAHASAN

Timbulnya emisi dimulai dari peralihan fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit (land use change/ LUC). Emisi GRK yang keluar adalah lepasnya stok karbon yang terkandung dalam biomassa di atas dan di bawah tanah, karbon tanah dan karbon yang tersimpan dalam zat organik mati (dead organic matter/DOM). Nilai karbon yang dikeluarkan berbeda untuk tiap jenis lahan. Lahan kehutanan yang umumnya dikonversi adalah hutan alami, hutan gambut dan lahan terdegradasi. Lahan terdegradasi mempunyai emisi lebih besar karena jumlah DOM yang lebih banyak.

Adapun penyerapan CO2 pada perkebunan kelapa sawit berasal dari batang pohon kelapa sawit dan daun pakis yang tidak terpotong ketika panen. Karbon yang tersimpan dalam tandan buah sawit segar (TBS/FFB) tidak dihitung sebagai penyerapan karbon karena TBS tersebut akan dibakar dan karbon yang

(7)

tersimpan akan kembali keluar. Beberapa hasil penelitian mengenai faktor serapan dan faktor emisi dapat dilihat pada Tabel 6. Faktor serapan dihitung dengan asumsi usia pohon kelapa sawit sekitar 25–30 tahun.

Tabel 6 . Faktor emisi dan faktor serapan hutan (ton CO2e/ha/tahun)

Sumber Faktor Emisi

(tCO2/ha) (tCO2/ha/tahun)Faktor Serapan Hutan

lindung GambutHutan lindungHutan GambutHutan

Brinkmann Consultancy (2009) 13 – 25,5 1,17 - 2,82 Dewi dkk (2009) 12,41 – 25,83 0,1 – 3,28 Fargione dkk (2008) 14,04 69,04 7,1

Pada saat penanaman dan pemeliharaan pohon kelapa sawit, lahan perkebunan perlu diberi pupuk dengan data di Tabel 2. Proses selanjutnya adalah memanen FFB dari perkebunan untuk dibawa ke pabrik minyak kelapa sawit. Asumsi jarak kebun dengan pabrik adalah 8 km. FFB kemudian di proses menjadi CPO. Selanjutnya, CPO tersebut diproses menjadi biodiesel di fasilitas pengolah yang diasumsikan berada di lokasi pabrik tersebut. Biodiesel kemudian dikirim ke PLTD yang ada dengan jarak rata-rata 80 km pulang pergi. Limbah selama proses produksi digunakan sebagai co-generation pada boiler dan pupuk kebun kelapa sawit. Data yang digunakan untuk perhitungan dalam Gambar 1. dapat dilihat di Tabel 2.

Emisi yang dikeluarkan untuk pembangunan pabrik CPO dan fasilitas produksi biodiesel diabaikan. Sheehan dkk (1998) berpendapat bahwa emisi pada tahapan

ini sangat kecil bila dibandingkan dengan emisi dari proses lain selama usia produksi pabrik. Asumsi yang sama digunakan pada sarana transportasi truk dan instalasi PLTD.

Proses perhitungan LCA emisi biodiesel

Proses pertama adalah menghitung jumlah biodiesel yang diperlukan untuk menghasilkan listrik 1 kWh. Untuk itu, penelitian ini merujuk pada RUPTL PT. PLN (Persero) Tahun 2009– 2018 yang membutuhkan 2.425 juta liter solar diesel untuk menghasilkan listrik 8.115 GWh. Dengan asumsi 1 liter solar diesel setara dengan 0,84 kg solar diesel, maka dibutuhkan 0,25 kg solar diesel untuk menghasilkan 1 kWh listrik. Kemudian diasumsikan kualitas solar diesel dan biodiesel 100% (B100) sama sehingga berat bahan bakar untuk produksi listrik 1 kWh sama, yaitu 0,25 kg.

Tabel 7. Energi yang dibutuhkan untuk produksi 1 kg biodiesel

Bahan MJ

Urea 2,338

Triple super phosphate 0,014

Rock phosphate 0,069 Muriate of potash 0,038 Dolomite 0,022 Herbicides 0,014 Listrik 3,211 Produksi metanol 0,378 Bahan baku metanol 4,521 Sumber: Kamahara dkk (2010)

(8)

Proses berikutnya adalah memanfaatkan hasil penelitian Kamahara dkk (2010) mengenai jumlah energi yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 kg biodiesel sebagaimana diperlihatkan dalam Tabel 7. Bila nilai pada Tabel 7 dibagi dengan nilai pada Tabel 4 dan kemudian dikali dengan 0,25, maka jumlah bahan kimia dan bahan bakar fosil yang dibutuhkan untuk 1 kWh listrik dari biodiesel dapat ditentukan. Analogi perhitungan yang sama digunakan untuk mendapatkan emisi transportasi pada Tabel 2. Tabel 3. digunakan untuk mengetahui limbah yang dihasilkan untuk setiap 1 kg FFB. Hasil akhir perhitungan dapat dilihat pada Gambar 2. Selanjutnya, jumlah bahan kimia dan bahan

bakar yang didapat tersebut dikalikan dengan faktor emisi di Tabel 5. untuk mendapatkan emisi CO2 per proses.

Emisi akibat peralihan fungsi hutan di Tabel 3 masih menggunakan satuan per hektar sehingga perlu disamakan menjadi per kWh. Langkah pertama adalah membuat asumsi produktivitas kebun kelapa sawit sebesar 28.000 kg FFB per hektar per tahun. Dengan memasukkan asumsi tersebut ke Gambar 2 . maka kebun sawit 1 hektar dapat menghasilkan biodiesel sebanyak 5.459 kg atau setara dengan produksi listrik sebesar 21,7 MWh. Nilai emisi LUC pada Tabel 6. kemudian dibagi dengan nilai listrik ini untuk 1,49 E-05 kg solar 0,03 MJ Kebun Kelapa Sawit Transportasi Kebun - Pabrik Produksi CPO Produksi Listrik Transportasi Pabrik - PLTD Produksi biodiesel 0,01 kg urea Konversi Hutan 0,001 kg triple super phosphate 0,01 kg rock phosphate 0,017 kg muriate of potash 0,004 kg kieserite 0,011 kg dolomite 1,63E-05 kg herbicides 0,586 MJ 0,003 MJ 0,017 MJ 0,061 MJ 0,009 MJ 0,005 MJ 0,0035 MJ 2,52 E-04 kg solar 1,05 kg Solar 0,07 MJ 0,054 MJ Produksi Metanol 0,09 MJ Listrik 1 kWh FFB 1,05 kg Biodiesel 0,25 kg 0,2 kg air uap 0,07 kWh listrik 0,806 MJ CPO 0,22 kg 0,033 kg bahan baku Metanol 1,13 MJ Metanol 0,033 kg 0,05 kg PKS & 0,14 kg PPF 0,26 kg EFB; 0,37 kg POME; Abu 0,04 kg biji 0,037 kg glycerin

(9)

mendapatkan nilai emisi LUC dalam satuan per kWh.

Hasil perhitungan total emisi dapat dilihat pada Gambar 3 . Bila memperhitungkan proses LUC maka 1 kWh listrik yang

dihasilkan oleh PLTD biodiesel akan mengeluarkan emisi sebesar 1,258 kgCO2 dan 92% emisi ini berasal dari proses LUC. Emisi LUC disebut carbon debt (C-debt) yang baru bisa dibayar minimal 86 tahun untuk hutan tropis dan 423 tahun untuk lahan gambut. Namun, usia produktif kelapa sawit hanya 30 tahun. Nilai emisi LUC akan berkurang bila usia perkebunan kelapa sawit dapat ditingkatkan.

Faktor lain yang dapat mengurangi emisi LUC ini adalah produktivitas kelapa sawit. Saat ini, 1 hektar kebun kelapa sawit hanya mampu menghasilkan 2.800 kg FFB yang setara dengan 5,4 ton biodiesel. Dewi dkk (2009) dan Wicke dkk (2008) menambahkan bahwa untuk mengurangi C-debt maka perkebunan kelapa sawit harusnya dibuka di lahan terdegradasi

yaitu lahan bersemak belukar atau berumput dengan kandungan karbon biomassa diatas tanah kurang dari 40 tC/ha.

Namun, apabila emisi LUC diabaikan maka emisi akan berkurang menjadi 0,0944

kgCO2/kWh dan nilai ini jauh dibawah faktor emisi Sistem Ketenagalistrikan Riau sebesar 0,743 kgCO2/ kWh. Emisi biodiesel kini di dominasi oleh emisi dari penggunaan listrik pada produksi CPO dan biodiesel yaitu sebesar 35% total emisi. Sumber emisi lainnya adalah bahan kimia seperti pupuk dan metanol yang mengeluarkan emisi sebesar 21% total emisi. Nilai emisi ini lebih kecil dari pada faktor emisi.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Analisis LCA emisi produksi listrik berbahan bakar biodiesel dari perkebunan kelapa sawit di Riau menghasilkan angka emisi 1,26 kgCO2/kWh dan sekitar 92% emisi ini berasal dari proses alih fungsi hutan (LUC). Gambar 3. Hasil LCA emisi biodiesel untuk PLTD

(10)

Saran

Apabila emisi LUC ini diabaikan, maka emisi akan turun menjadi 0,09 kgCO2/kWh. Angka ini dibawah faktor emisi Sistem Ketenagalistrikan Sumatera, sebesar 0,743 kgCO2/kWh.

Untuk mengurangi emisi dari pemanfaatan biodiesel untuk pembangkit listrik, lahan perkebunan kelapa sawit baru yang digunakan sebaiknya menggunakan lahan terdegradasi. Penggunaan kawasan hutan tropis alami dan lahan gambut akan menyebabkan terjadinya C-debt selama 86 tahun dan 423 tahun. Selain itu, produktivitas kelapa sawit harus ditingkatkan sehingga dapat menghasilkan lebih banyak biodiesel per hektar perkebunan. Konservasi energi selama proses produksi juga secara signifikan akan menurunkan emisi mengingat 35% emisi yang dihasilkan berasal dari konsumsi listrik.

Analisis ulang LCA dalam penelitian ini menggunakan data primer dan lokasi yang sama sangat penting untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat dan mewakili karakteristik yang lebih detil (tier 3). Namun hal ini membutuhkan multi disiplin ilmu dan waktu yang lama.

Sebagai usulan solusi adalah memotong jalur analisis yaitu mengidentifikasi dan mengganti data sekunder pada penelitian sebelumnya yang merujuk pada data primer.

DAFTAR ACUAN

[1]. Brinkmann Consultancy. Greenhouse gas emissions from palm oil production:

literature review and proposals from the RSPO working group on greenhouse gases. Hoevelaken, Netherlands. Brinkmann Consultancy. 2009.

[2]. De Nocker, L., Spirinckx, C., dan Torfs,R. Comparison of LCA and external-cost analysis for biodiesel and diesel. 2nd International Conference LCA in Agriculture, Agro-industry and Forestry. 1998.

[3]. Dewi, S., Khasanah, N., Rahayu, S., Ekadinata, A., dan van Noordwijk, M. Carbon footprint of Indonesian palm oil production: a pilot study. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Center – ICRAF, SEA Regional Office. 2009. [4]. Fargione, J., Hill, J., Tilman, D., Polasky,

S., dan Hawthorne, P. Land clearing and the biofuel carbon debt. Science 319. 2008.

[5]. Hasanudin, U., Haryanto, A., Abidin, Z., Triyono, S., Tjahjono, A.E., Setiadi, S., Triwiyono, B., dan Rusdi, N. Assessment of Sustainability of Biomass Utilisation System in Indonesia. ERIA Research Project Report. 2010.

[6]. IPCC. Revised 1996 IPCC guidelines for national greenhouse gas Inventories: reference manual. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Kanagawa. 1996.

[7]. IPCC.2006 IPCC Guidelines for national greenhouse gas invetories. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Kanagawa. 2006.

(11)

Vol. 10 No. 2 Desember 2011 : 75 - 85

[8]. Kamahara, H., Hasanudin, U., Widiyanto, A., Tachibana, R., Atsuta, Y., Goto, N., Daimon, H., dan Fujie, K. Improvement potential for net energy balance of biodiesel derived from palm oil: A case study from Indonesian practice. Biomass and Bioenergy 34. 2010.

[9]. Lechon, Y., Cabal, H., de la Rua, C., Caldes, N., Santamaria, M., dan Saez, R. Energy and greenhouse gas emission savings of biofuels in Spain’s transport fuel. The adoption of the EU policy on biofuels. Biomass and Bioenergy 33, 920-932. 2009.

[10].Mortimer, N.D., Cormack, P., Elsayed, M.A., dan Horne, R.E. Evaluation of the comparative energy, global warming and socio-economic costs and benefits of biodiesel. Sheffield Hallam University Research Project Report. 2003.

[11].Nanaki, E.A., dan Koroneous, C.J. Comparative LCA of the use of biodiesel, diesel and gasoline for the transportation. 1st International Exergy, Life Cycle Assssessment, and Sustainability Workshop & Symposium. 2009.

[12].PT. PLN (Persero). Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 2009 – 2018. Jakarta, Indonesia. 2009.

[13].Sandars, D.L., Audsley, E., Canete, C., Cumby, T.R., Scotford, I.M., dan Williams, A.G. Environmental benefits of livestock manure management practices and technology by life cycle assessment.

Biosystems Engineering 84, 267 – 281. 2003.

[14].Sheehan, J., Camobreco, V., Duffield, J., Graboski, M., dan Shapouri, H.Life cycle inventory of biodiesel and petroleum diesel for use in an urban bus. National Renewable Energy Laboratory. Colorado. 1998.

[15].Tullberg, J.N.Avoiding soil compaction in CA: controlled traffic systems for mechanized CA and their effect on green house gas balances. Lead papers 4th World Congress on Conservation Agriculture: Innovations for Improving Efficiency, Equity and Environment. 2009.

[16].Wicke, B., Dornburg, V., Junginger, M., dan Faaij, A.Different palm oil production systems for energy purposes and their greenhouse gas implications. Biomass and Bioenergy 04. 2008.

[17].Wood, S., dan Cowie, A. A review of greenhouse gas emission factors for fertiliser production. Research and Development Division – Cooperative Research Centre for Greenhouse Accounting. New South Wales. 2004.

(12)

Gambar

Tabel 1. Analisis LCA emisi biodiesel dan fosil diesel di berbagai negara
Tabel  2. Data untuk proses utama
Tabel   5. Faktor emisi yang digunakan
Tabel   6 . Faktor emisi dan faktor serapan hutan (ton CO 2e /ha/tahun)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memulai suatu diagram aliran data, kita harus merangkum narasi sistem organisasi menjadi sebuah daftar dengan empat kategori yang terdiri dari entitas eksternal,

hidupnya secara optimal, hal ini dapat dilakukan oleh seorang guru dalam melestarikan bahasa daerah pada anak.. Bahasa merupakan aspek yang penting untuk perkembangan

Dari jumlah angkatan kerja keadaan Agustus 2015 di Kalimantan Timur, proporsi yang bekerja terbesar adalah tamatan SLTA sebanyak 566,4 ribu orang (39,78 persen), dan

Peubah yang diamati yaitu tinggi tanaman, jumlah cabang, umur berbunga, jumlah polong per tanaman, jumlah polong per plot, bobot polong per tanaman, bobot polong

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol positif amoksisilin memiliki diameter zona hambat yang lebih besar dibandingkan dengan ekstrak daun melinjo ( Gnetum

Adapun biaya manufkatur yang dikeluarkan dalam proses pembuatan kendaraan bermotor roda tiga sebagai alat transportasi jarak jauh bagi penyandang disabilitas adalah seperti

Analisis nilai ekonomis yang dimaksud merupakan nilai investasi yang dinyatakan dalam bentuk nilai uang yang akan dipergunakan sebagai bahan penyusun aliran uang kas

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif karena penelitian ini berupa menafsirkan karya sastra novel dan data yang diperoleh adalah pemaparan