• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

5.1. Penggunaan Lahan Prioritas

Diskusi pakar untuk menentukan penggunaan lahan prioritas untuk pengembangan pertanian berkelanjutan di DAS Gumbasa dilakukan melalui penilaian bobot kriteria dan nilai relatif alternatif beberapa tipe penggunaan lahan yang dominan. Kriteria yang digunakan dalam penentuan prioritas tipe penggunaan lahan di DAS Gumbasa adalah kelestarian tanah, teknologi budidaya, teknologi pasca panen, pemasaran produksi usahatani, keuntungan ekonomis usahatani, penyerapan tenaga kerja, dan kebiasaan bercocok tanam. Nilai bobot kriteria dan alternatif tipe penggunaan lahan prioritas untuk pengembangan pertanian berkelanjutan di DAS Gumbasa disajikan pada Tabel 8. Penetapan skala prioritas dilakukan dengan menggunakan teknik analisis Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) setiap penggunaan lahan yang telah dikembangkan di DAS Gumbasa (Tabel 9).

Tabel 8. Nilai bobot kriteria dan alternatif pemilihan tipe penggunaan lahan prioritas untuk pengembangan pertanian berkelanjutan di DAS Gumbasa.

Nilai Alternatif Tipe Penggunaan Lahan No. Kriteria Bobot

A B C D E F G H I 1 Kelestarian Tanah 6 9 7 7 5 5 9 3 5 3 2 Teknologi Budidaya 6 9 7 7 7 3 7 7 7 7 3 Teknologi Pasca Panen 5 3 5 5 5 3 5 7 7 7 4 Pemasaran Produksi Usahatani 9 3 9 5 6 5 9 7 7 7 5 Keuntungan Ekonomis Usahatani 9 1 9 4 5 6 6 3 3 4 6 Penyerapan Tenaga Kerja 7 3 6 5 3 7 9 9 9 6 7 Kebiasaan Bercocok-Tanam 5 3 9 3 3 3 9 7 6 6

Keterangan: A : Hutan; B : Kakao; C : Cengkeh; D : Kelapa; E : Vanili; F : Padi Beririgasi ; G : Jagung; H : Kacang Tanah; I : Ubikayu Tabel 8 menunjukkan bahwa bobot kriteria tertinggi dalam penentuan skala penggunaan lahan prioritas untuk pengembangan pertanian berkelanjutan adalah pemasaran produksi usahatani, keuntungan ekonomis usahatani, dan penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian. Hal tersebut menunjukkan bahwa aspek ekonomi dan sosial merupakan tolok ukur yang sangat menentukan dalam

(2)

menentukan prioritas penggunaan lahan di daerah penelitian. Yantu (2000) menyatakan bahwa pemberian fasilitas kredit pada usahatani jagung dapat meningkatkan produktivitas lahan sebesar 7,31 %.

Aspek kelestarian tanah, teknologi budidaya tanaman, teknologi pasca panen, dan kebiasaan bercocok tanam yang menunjukkan hasil penilaian bobot kriteria yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan aspek pemasaran produksi, keuntungan ekonomis, dan penyerapan tenaga kerja memberikan arti bahwa aspek ekonomi dan sosial merupakan permasalahan yang perlu segera mendapatkan penanganan secara serius dibandingkan dengan aspek ekologis dan teknologi.

Tabel 9. Skala prioritas penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan di DAS Gumbasa.

Tipe Penggunaan

Lahan

Nilai MPE Skala Prioritas Kakao 775.418.386 1 Padi Beririgasi 402.992.418 2 Kacang Tanah 45.314.116 3 Jagung 45.308.251 4 Ubikayu 41.038.648 5 Vanili 12.871.204 6 Kelapa 12.169.650 7 Cengkeh 2.532.060 8 Hutan 1.085.239 9

Tabel 9 menunjukkan bahwa pengembangan pertanian melalui budidaya kakao merupakan prioritas tertinggi bagi masyarakat di DAS Gumbasa, selanjutnya diikuti oleh budidaya padi beririgasi, kacang tanah, jagung, ubikayu, vanili, kelapa, cengkeh, dan hutan. Perbedaan nilai MPE antara prioritas pengembangan kakao dan padi beririgasi disebabkan karena perbedaan bobot kriteria keuntungan ekonomis yang tinggi sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan nilai MPE yang relatif tinggi antara kedua tipe penggunaan lahan tersebut. Hasil penilaian MPE tersebut sejalan dengan pendapat Amar (2002) yang menyatakan bahwa kakao merupakan komoditas unggulan untuk pengembangan perkebunan, sedangkan padi beririgasi merupakan komoditas unggulan untuk pengembangan tanaman pangan bagi masyarakat di Kabupaten Donggala.

(3)

Perbedaan nilai MPE yang relatif rendah antara tipe penggunaan lahan kacang tanah, jagung, dan ubikayu mengindikasikan bahwa minat masyarakat untuk membudidayakan ke tiga tipe penggunaan lahan tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa minat mayarakat untuk membudidayakan kacang tanah, jagung, dan ubikayu tidak mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang spesifik.

Rendahnya nilai MPE pada penetapan prioritas penggunaan lahan untuk pengembangan vanili, kelapa, cengkeh, dan hutan mengindikasikan bahwa sebenarnya minat masyarakat untuk membudidayakan tipe penggunaan lahan tersebut relatif rendah.

5.2. Analisis Prospektif

Untuk mempelajari faktor-faktor yang mempunyai pengaruh penting dalam penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan di DAS Gumbasa digunakan pendekatan analisis prospektif. Hardjomidjojo (2005) menyatakan analisis prospektif bertujuan untuk menentukan tindakan strategis dalam membuat perencanaan dengan cara menentukan faktor-faktor penting yang mempengaruhi berbagai kemungkinan yang terjadi di masa depan. Tahapan-tahapan yang diperlukan dalam analisis prospektif adalah: 1) mengidentifikasi faktor-faktor penting, 2) menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama, 3) mendeskripsikan evolusi kemungkinan yang dapat terjadi di masa mendatang yang sekaligus menentukan strategi prioritas sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki oleh pelaku utama (stakeholder) dan implikasinya.

Berdasarkan hasil diskusi stakeholder pada kondisi aktual (existing condition) terdapat 16 gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan di DAS Gumbasa. Faktor-faktor tersebut meliputi kepentingan dari setiap dimensi dalam pembangunan berkelanjutan. Secara lebih rinci penjelasan dari setiap dimensi tersebut adalah sebagai berikut: I. Dimensi Ekologi

a. Konservasi Tanah b. Kesesuaian Lahan

(4)

II. Dimensi Ekonomi a. Pendapatan Petani b. Pemasaran

c. Modal

d. Sarana Produksi III. Dimensi Sosial

a. Tipe Penggunaan Lahan b. Penyerapan Tenaga Kerja c. Bimbingan dan Penyuluhan IV. Dimensi Teknologi

a. Infrastruktur

b. Teknologi Budidaya c. Teknologi Pasca Panen

V. Dimensi Kelembagaan (Hukum) a. Penegakan Hukum

b. Dukungan Organisasi Non Pemerintah c. Dukungan Pemerintah Daerah

d. Kerjasama Pengelolaan DAS

Gambaran tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan di DAS Gumbasa disajikan pada Gambar 10. Berdasarkan penilaian pengaruh langsung antar faktor pada sistem yang dikaji terhadap terdapat 6 faktor penting yang perlu dikaji sebagai arahan kebijakan penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan di DAS Gumbasa, yaitu: tipe penggunaan lahan, kesesuaian lahan, pendapatan petani, kerjasama lintas sektoral dalam pengelolaan DAS, konservasi tanah, dan teknologi pasca panen.

Berdasarkan 6 aspek penting yang dapat digunakan sebagai arahan kebijakan penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan terdapat 2 faktor penting yang mempunyai pengaruh diantara faktor tinggi dan ketergantungan rendah, yaitu: konservasi tanah dan teknologi pasca panen. Selain itu terdapat 4 faktor penting yang mempunyai pengaruh antar faktor dan ketergantungan antar faktor yang tinggi, yaitu: kesesuaian lahan, pendapatan petani, tipe penggunaan lahan, dan kerjasama lintas sektoral dalam pengelolaan DAS.

(5)

KERJASAMA PENGELOLAAN DAS BIMBINGAN DAN PENYULUHAN DUKUNGAN ORNOP DUKUNGAN PEMDA PENYERAPAN TENAGA KERJA TEKNOLOGI PASCA PANEN TEKNOLOGI BUDIDAYA SARANA PRODUKSI PENDAPATAN PETANI PEMASARAN KONSERVASI TANAH INFRASTRUKTUR TIPE PENGGUNAAN LAHAN KESESUAIAN LAHAN MODAL PENEGAKAN HUKUM -0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 2.00 - 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 Ketergantungan Peng ar uh

Gambar 10. Gambaran tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan Di DAS Gumbasa .

Kesesuaian lahan berkaitan erat dengan produktivitas lahan yang terdapat pada areal pengembangan pertanian. Semakin meningkat kelas kesesuaian lahan maka terdapat kecenderungan semakin meningkatnya produktivitas lahan pada suatu wilayah yang direncanakan. Sys et al (1985) dan Gaiser dan Graef (2001) mengemukakan bahwa kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan tanaman tertentu dapat ditingkatkan melalui perbaikan faktor-faktor pembatas yang terdapat pada suatu wilayah yang direncanakan. Sebagai akibat perbaikan faktor-faktor pembatas utama yang terdapat pada lahan yang direncanakan maka kelas kesesuaian lahan menjadi dapat ditingkatkan.

Meninjau hasil diskusi stakeholder yang menyimpulkan bahwa dalam kurun waktu jangka menengah mendatang (5 – 10 tahun) belum ada perencanaan jaringan irigasi, maka pengembangan pertanian di daerah penelitian di titik beratkan pada lahan kering. Tipe penggunaan lahan yang dapat dijadikan acuan dalam pengembangan pertanian adalah tanaman perkebunan dan palawija.

Kerjasama lintas sektoral dalam pengelolaan DAS merupakan kebijakan yang perlu mendapatkan perhatian secara khusus untuk mencapai tujuan pembangunan

(6)

pertanian yang efektif. Pendanaan dan administrasi seringkali merupakan faktor penghambat utama dalam berbagai kegiatan pembangunan, sehingga kerjasama lintas sektoral baik yang dilakukan antara institusi pemerintah maupun antara institusi pemerintah dan lembaga non pemerintah diperlukan sebagai upaya meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembangunan.

Pengembangan pertanian melalui budidaya kakao merupakan kebijakan sektor pertanian yang telah mendapatkan perhatian utama bagi stakeholder, baik dari instansi pemerintah maupun organisasi non pemerintah. Peningkatan kualitas produksi dan teknologi budidaya kakao merupakan satu kesatuan yang telah mendapatkan penanganan dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat (pendapatan petani) di DAS Gumbasa.

Skenario yang dapat dikembangkan dalam mendukung kebijakan penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan di DAS Gumbasa ditentukan berdasarkan faktor-faktor penting yang mempunyai pengaruh di antara faktor tinggi akan tetapi mempunyai ketergantungan di antara faktor rendah. Hasil analisis prospektif menunjukkan bahwa faktor-faktor penting yang mempunyai pengaruh tinggi dan ketergantungan rendah adalah teknologi konservasi tanah dan teknologi pasca panen.

Peningkatan pengetahuan masyarakat tentang konservasi tanah dan teknologi pasca panen perlu mendapatkan perhatian secara mendalam sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kelas kesesuaian lahan, dan menetapkan penggunaan lahan prioritas dalam pengembangan pertanian berkelanjutan di DAS Gumbasa.

Peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap teknologi konservasi tanah dapat dilakukan melalui pembinaan kelompok tani konservasi, penelitian pada lahan milik petani (on farm research ) dengan mengikutsertakan petani dalam kegiatan penelitian, dan pemberian penghargaan bagi petani yang berprestasi. Mappatoba dan Laapo (2001) menyatakan bahwa pengembangan sistem usahatani terpadu antara tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan dapat disarankan sebagai alternatif pengembangan model sistem usahatani pada daerah di sekitar Taman Nasional Lore-Lindu. Selanjutnya Rahman (2002) menyebutkan bahwa pengelolaan hutan di Kabupaten Donggala yang dilakukan secara konvensional

(7)

telah menyebabkan semakin memburuknya kondisi ekosistem dan pendapatan masyarakat di sekitar hutan. Pengembangan model agroforestry diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar hutan dari Rp 477.100 ,- jiwa-1 tahun-1 melalui usahatani tanaman pangan menjadi Rp 733.667,- jiwa-1 tahun-1 melalui pengembangan penggunaan lahan campuran antara hutan dengan tanaman perkebunan kakao dan kopi.

Alih teknologi industri pakan ternak pada skala rumah tangga merupakan upaya yang dapat diterapkan untuk meningkatkan pengetahuan petani terhadap teknologi pemanfaatan sisa hasil usahatani yang belum dapat dimanfaatkan.

Pendanaan dan pendampingan yang bersifat keproyekan untuk pengadaan peralatan fermentasi buah kakao dan pelatihan kewirausahaan pada sektor usahatani kakao merupakan aspek yang penting untuk dikembangkan untuk mempertahankan pendapatan petani dan memotivasi kesadaran petani terhadap aspek kelestarian sumberdaya lahan.

5.3. Perancangan Skenario Model Penggunaan Lahan untuk Pengembangan Pertanian Berkelanjutan di DAS Gumbasa

Mengacu pada hasil analisis skala prioritas penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan di DAS Gumbasa maka untuk tujuan pengembangan budidaya pertanian dititik beratkan pada penggunaan lahan yang mempunyai urutan prioritas tertinggi, yaitu: kakao, kacang tanah, jagung, dan ubi kayu. Kebiasaan masyarakat menanam komoditas kacang tanah, jagung, dan ubikayu secara tumpang gilir maka dalam perencanaan skenario kebijakan penggunaan lahan tidak dilakukan perencanaan komoditas tersebut secara monokultur, akan tetapi direncanakan sebagai penggunaan lahan palawija dengan pola tanam tumpang gilir

Walaupun berdasarkan diskusi pakar menunjukkan bahwa penggunaan lahan padi beririgasi merupakan prioritas ke dua yang perlu mendapatkan perhatian dalam pengembangan pertanian di DAS Gumbasa, akan tetapi berdasarkan hasil diskusi stakeholder dinyatakan bahwa dalam jangka menengah pembangunan fasilitas irigasi dan pencetakan sawah baru belum merupakan prioritas dalam perencanaan pengembangan pertanian di DAS Gumbasa sehingga skenario

(8)

pengembangan budidaya padi beririgasi tidak dilakukan dalam perencanaan penggunaan lahan. Sebagai konsekuensinya maka dalam skenario kebijakan penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan di daerah penelitian usahatani padi beririgasi hanya dititik beratkan pada unit lahan yang pada kondisi aktual telah digunakan sebagai areal budidaya padi beririgasi. Selanjutnya unit lahan tersebut tidak diubah pemanfaatannya menjadi tipe penggunaan lain.

Berdasarkan atas kriteria klasifikasi kemampuan lahan untuk penggunaan pertanian (Sitorus, 1998; Arsyad, 2000) penggunaan lahan yang terletak pada kelerengan yang lebih besar dari 35 % tidak dapat diperuntukkan penggunaannya sebagai areal budidaya pertanian sehingga dalam penelitian skenario penggunaan lahan yang diterapkan adalah unit lahan yang terletak pada kelerengan lebih kecil dari 35 %, kecuali unit lahan yang pada kondisi aktual berada pada kelerengan di atas 35 % akan tetapi sedang digunakan sebagai areal budidaya pertanian.

Diskusi stakeholder untuk menentukan arahan tipe penggunaan lahan telah mempertimbangkan bahwa usahatani yang menjadi prioritas jangka menengah di Kabupaten Donggala adalah pengembangan komoditas kakao dan palawija. Oleh sebab itu, mengacu pada hasil diskusi kebijakan tersebut pengembangan komoditas yang tergolong urutan prioritas 6, 7, dan 8 (vanili, kelapa, dan cengkeh) tidak ditentukan sebagai skenario dalam membuat arahan kebijakan pengembangan pertanian di daerah penelitian.

Hasil analisis prospektif menunjukkan bahwa faktor-faktor penting yang perlu dikembangkan dalam perencanaan penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan adalah konservasi tanah dan teknologi pasca panen. Skenario yang dapat dikembangkan dalam pengembangan teknologi konservasi tanah secara mekanik di daerah penelitian adalah guludan, guludan bersaluran, dan teras kredit. Pengembangan teknologi konservasi tanah secara vegetatif yang dapat diterapkan pada areal budidaya palawija adalah pola tanam tumpang gilir. Kombinasi antara konservasi tanah secara vegetatif dan mekanik dapat direncanakan apabila penerapan salah satu teknik konservasi tanah tidak dapat mengurangi laju erosi tanah hingga berada di bawah TSL.

(9)

Pengembangan teknologi pasca panen pada penggunaan lahan kakao dilakukan melalui teknologi fermentasi, sedangkan pada penggunaan lahan kacang tanah, jagung, dan ubikayu (palawija) di lakukan melalui pengolahan hasil pertanian yang berasal dari sisa panen untuk tujuan produksi pakan ternak.

Mengacu pada hasil diskusi pakar dalam penentuan skala prioritas penggunaan lahan dan analisis prospektif untuk analisis kebijakan penggunaan lahan maka dapat dirancang skenario model penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan di DAS Gumbasa (Tabel 10).

Tabel 10. Skenario model penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian Berkelanjutan di DAS Gumbasa.

Skenario Unit Lahan Luas Lahan (ha) Kelerengan (%) 1 2 3 4 5 6 7 3 262,20 6 KPT PPK0 KPT KPK2-TP PPK1-TP PPK1-TP PPK3-TP 5 300,00 7 KPT PPK0 KPT KPK2-TP PPK1-TP PPK1-TP PPK3-TP 6 279,88 11 KPT KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP 7 305,25 25 KPT KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP 8 279,88 9 KPT KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP 9 1.566,81 12 KPT KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP 10 473,38 18 KPT KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP 11 289,30 36 KPT KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP 12 423,27 6 PPK0 PPK0 KPT KPK2-TP PPK1-TP PPK1-TP PPK3-TP 14 908,48 11 KPT KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP 15 3.977,84 14 H KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP 16 1.314,95 17 KPT KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP 17 1.057,63 5 KPT PPK0 KPT KPK2-TP PPK1-TP PPK1-TP PPK3-TP 18 1.274,78 5 KPT PPK0 KPT KPK2-TP PPK1-TP PPK1-TP PPK3-TP 22 531,34 9 KPT KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP 25 1.269,74 12 H KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP 26 317,85 34 H KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP

H : Hutan; KPT: Budidaya kakao pola pengelolaan pertanian tradisional; KPK2-TP : Budidaya kakao dengan menerapkan pola pengelolaan pertanian konservasi menggunakan guludan bersaluran dan penerapan teknologi pasca panen; KPK3-TP : Budidaya kakao dengan menerapkan pola pengelolaan pertanian konservasi menggunakan teras kredit dan penerapan teknologi pasca panen; PPK0: Budidaya palawija dengan menerapkan pola pengelolaan pertanian konservasi menggunakan teknologi pola tanam tumpang gilir dan penggunaan mulsa; PPK1-TP : Budidaya palawija dengan menerapkan pola pengelolaan pertanian konservasi menggunakan teknologi pola tanam tumpang gilir, mulsa, guludan dan penerapan teknologi pasca panen; PPK3-TP: Budidaya palawija dengan menerapkan pola pengelolaan pertanian konservasi menggunakan teknologi pola tanam tumpang gilir, mulsa, teras kredit, dan teknologi pasca panen

5.4. Perancangan Model Penggunaan Lahan untuk Pengembangan Pertanian Berkelanjutan

Perancangan model penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan ditujukan untuk menganalisis proses yang terjadi pada setiap sub model dan menentukan faktor-faktor yang dapat digunakan dalam merancang struktur model. Terdapat 3 sub model yang dirancang untuk membangun model

(10)

penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan dalam penelitian ini, yaitu: 1) sub model evaluasi lahan, 2) sub model erosi tanah, dan 3) sub model usahatani.

5.4.1. Perancangan Sub Model Evaluasi Lahan

Berdasarkan data curah hujan, suhu udara, dan persyaratan iklim untuk budidaya tanaman kakao maka dapat dilakukan evaluasi kesesuaian iklim untuk budidaya kakao di daerah penelitian. Kriteria penilaian kesesuaian iklim untuk budidaya kakao berdasarkan metode Sys et al. (1993) masih memerlukan penyesuaian/modifikasi dalam penerapannnya, terutama dalam penentuan harkat/bobot curah hujan tahunan. Modifikasi kriteria penilaian kesesuaian iklim tersebut diperlukan untuk menyesuaikan kondisi iklim di lapang dengan persyaratan penggunaan lahan untuk budidaya kakao berdasarkan kriteria Sys et al. (1993). Lopulisa dan Hernusye (1995) menyatakan bahwa penilaian kesesuaian lahan berdasarkan kriteria yang telah dikemukakan oleh Sys et al. (1993) dapat digunakan di Indonesia, akan tetapi masih memerlukan penyesuaian/modifikasi.

Dasar diperlukannya modifikasi kriteria evaluasi iklim untuk budidaya tanaman kakao ditentukan berdasarkan analisis neraca air tanah di daerah penelitian (Gambar 11). 0 30 60 90 120 150 180

Jan Peb Mart Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nop Des

B u l a n Ju ml a h Ai r ( mm)

CH Bulanan Kb. Air Kakao

KAT fc SAT cum

(11)

Gambar 11 menunjukkan bahwa walaupun curah hujan di daerah penelitian tergolong rendah (berkisar 1200 mm tahun-1) dengan intensitas terendah pada bulan Pebruari, akan tetapi sepanjang tahun pada areal budidaya kakao tersebut tidak mengalami cekaman air karena mendapatkan suplai air tanah yang cukup dari bulan sebelumnya. Curah hujan yang lebih tinggi dari kemampuan menahan air tanah dalam kondisi kapasitas lapang (KAT fc) memberikan sumbangan kehilangan air tanah melalui perkolasi dan aliran permukaan pada bulan April hingga Agustus.

Pada umumnya kebutuhan air tanaman kakao menunjukkan jumlah yang lebih rendah dibandingkan dengan curah hujan bulanan yang terdapat di daerah penelitian. Kandungan air tanah pada kondisi kapasitas lapang (KAT fc) sebesar 99 mm bulan-1 (kedalaman tanah yang dipertimbangkan sedalam 500 mm) ditentukan berdasarkan hasil penelitian Widjajanto et al. (2003) yang menyatakan bahwa kandungan air tanah pada areal budidaya kakao di DAS Gumbasa hulu adalah sebesar 18 % (w/w). Kandungan air tanah pada kondisi kapasitas lapang pada areal budidaya kakao telah memberikan sumbangan air tanah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan air sepanjang periode pertumbuhan tanaman. Kondisi tersebut ditunjukkan oleh kandungan air tanah kumulatif tersisa (SAT cum) yang selalu menunjukkan nilai positif. Evaluasi kesesuaian iklim untuk budidaya tanaman kakao disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Evaluasi kesesuaian iklim untuk pengembangan kakao di DAS Gumbasa.

NO KARAKTERISTIK IKLIM HARKAT / BOBOT

1 2

Curah Hujan Tahunan (mm) Panjang Periode Kering

84,00 85,00 3

4 5

Temperatur Rata-Rata Tahunan (0C)

Temperatur Rata-Rata Maksimum Tahunan (0C) Temperatur Rata-Rata Minimum Tahunan (0C)

92,00 100,00 100,00 Indeks Iklim

Bobot Ekuivalensi Kelas Kesesuaian Iklim

77,28 83,70 S2

Hasil evaluasi kesesuaian iklim untuk budidaya kakao di DAS Gumbasa (Tabel 11) menunjukkan bahwa daerah tersebut tergolong dalam kelas kesesuaian iklim Cukup Sesuai (S2) dengan pembatas curah hujan rata-rata tahunan dan

(12)

temperatur rata-rata tahunan. Curah hujan rata-rata tahunan sekitar 1200 mm/tahun dan temperatur udara rata-rata tahunan sebesar 24,4 oC merupakan pembatas yang dapat menghambat pertumbuhan dan produksi kakao di DAS Gumbasa.

Doorenbos et al. (1984) menyatakan bahwa tanaman kakao merupakan tanaman yang peka terhadap kekeringan. Koefisien tanaman kakao yang tumbuh dengan tanpa tanaman penutup tanah di bawahnya berkisar antara 0,9 hingga 1,0 akan tetapi apabila terdapat tanaman penutup tanah di bawahnya maka koefisien tanaman meningkat antara 1,1 hingga 1,5.

Kondisi areal budidaya kakao di daerah penelitian pada umumnya terdapat tanaman penutup tanah di bawah kanopi tanaman kakao. Oleh sebab itu, kebutuhan air tanaman menjadi meningkat dan tanaman lebih mudah mengalami cekaman air (water stress). Hasil penelitian Nachabe et al. (2005) menunjukkan bahwa laju evapotranspirasi tanaman tahunan dengan keberadaan tanaman penutup tanah di bawahnya lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa tanaman penutup tanah.

Berdasarkan data curah hujan, suhu udara, dan persyaratan iklim untuk budidaya jagung, kacang tanah, dan ubikayu dilakukan analisis neraca air pada areal budidaya tanaman palawija dan evaluasi kesesuaian iklim. Analisis neraca air tanah pada areal budidaya palawija disajikan pada Gambar 12 , sedangkan evaluasi kesesuaian iklim disajikan pada Tabel 12.

-60 -30 0 30 60 90 120 150

Jan Peb Mart Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nop Des

B u l a n J u ml ah Ai r (mm)

CH Bulanan Kb. Air Palawija

KAT fc SAT cum

(13)

Gambar 12 menunjukkan bahwa pada umumnya kehilangan air tanah sebagai akibat aliran permukaan dan perkolasi pada areal budidaya palawija terjadi sepanjang musim. Berdasarkan hasil penelitian Widjajanto et al. (2003) yang menyatakan bahwa kandungan air tanah kondisi kapasitas lapang pada lahan kering untuk budidaya palawija berkisar 20 % (w/w).

Tabel 12. Evaluasi kesesuaian iklim untuk pengembangan palawija di DAS Gumbasa

No Karakteristik Iklim Harkat / Bobot JAGUNG 1 2 3 4 5

Curah Hujan Selama Siklus Pertumbuhan (mm) Curah Hujan Pada Bulan Pertama (mm) Curah Hujan Pada Bulan Kedua (mm) Curah Hujan Pada Bulan Ketiga (mm) Curah Hujan Pada Bulan Keempat (mm)

88,39 82,38 59,18 62,56 76,44 6 7

Rata-Rata Temperatur Selama Siklus Pertumbuhan (°C)

Rata-Rata Temperatur Minimum Selama Siklus Pertumbuhan (°C)

98,13 88 Indeks Iklim

Bobot Ekuivalensi

Kelas Kesesuaian Iklim untuk Jagung

52,08 59,07 S3 KACANG TANAH 1 2 3 4 5

Curah Hujan Selama Siklus Pertumbuhan (mm) Curah Hujan Pada Bulan Pertama (mm) Curah Hujan Pada Bulan Kedua (mm) Curah Hujan Pada Bulan Ketiga (mm) Rata-Rata Presipitasi Bulan Keempat (mm)

84,53 93,79 77,95 85 96,02 6 7 8

Rata-Rata Temperatur Selama Siklus Pertumbuhan (°C)

Rata-Rata Temperatur Maksimum Selama Siklus Pertumbuhan (°C) Rata-Rata Temperatur Minimum Selama Siklus Pertumbuhan (°C)

99 91,17 93,09 Indeks Iklim

Bobot Ekuivalensi

Kelas Kesesuaian Iklim untuk Kacang Tanah

71.07 81,07 S2

UBIKAYU

1 Curah Hujan Tahunan 88

2 3 4

Rata-Rata Temperatur Tahunan

Temperatur Minimum pada Bulan Paling Dingin (oC)

Rata-Rata Temperatur Minimum Selama Siklus Pertumbuhan (oC)

100 100 100 Indeks Iklim

Bobot Ekuivalensi

Kelas Kesesuaian Iklim untuk Ubikayu

88 93 S1

Terbatasnya kemampuan tanah untuk menahan air pada kondisi kapasitas lapang (KAT fc) sebesar 67,7 mm bulan-1 (kedalaman tanah yang dipertimbangkan sedalam 300 mm) menyebabkan terjadinya defisit air pada bulan Mei – Juni, akan tetapi kekurangan air tersebut dapat dicukupi oleh sisa air tanah pada bulan sebelumnya. Kandungan suplai air tanah yang cukup pada areal budidaya palawija di DAS Gumbasa ditunjukkan oleh kandungan air tanah

(14)

kumulatif sisa (SAT cum) yang selalu menunjukkan nilai positif selama periode pertumbuhan tanaman (Maret – Mei dan September – Nopember).

Hasil evaluasi kesesuaian iklim untuk budidaya jagung, kacang tanah, dan ubikayu (Tabel 12) menunjukkan bahwa kelas kesesuaian iklim untuk budidaya jagung di daerah penelitian tergolong atas kelas kesesuaian iklim Sesuai Marjinal (S3) dengan pembatas terendah curah hujan pada bulan pertumbuhan ke dua. Kelas kesesuaian iklim untuk budidaya kacang tanah tergolong dalam kelas Cukup Sesuai (S2) dengan pembatas terendah curah hujan pada bulan ke dua. Kelas kesesuaian iklim untuk budidaya ubikayu yang tergolong pada kelas Sangat Sesuai (S1).

Jadwal tanam palawija di DAS Gumbasa terdapat 2 kali penanaman dalam setahun, yaitu pada Bulan Pebruari – Juni dan Agustus – Nopember. Rendahnya curah hujan pada bulan Maret dan September telah membatasi pertumbuhan jagung. Doorenbos et al. (1986) menjelaskan bahwa pada fase pertumbuhan vegetatif tanaman jagung yang berumur 25 – 60 hari maka besarnya koefisien tanaman mencapai 0,7 – 1,2. Nilai tersebut menunjukkan bahwa dalam kondisi kecukupan air maka laju evapotranspirasi maksimum pada tanaman jagung adalah sebesar 0,7 – 1,2 kali laju evapotranspirasi referensi. Norwood (2000) menyatakan bahwa pemberian air irigasi dalam jumlah yang cukup pada saat tanaman jagung mengalami masa vegetatif dapat meningkatkan produksi jagung hingga 29 % dibandingkan tanpa pemberian irigasi.

Rendahnya curah hujan pada bulan kedua setelah tanam (Maret dan September) dapat membatasi pertumbuhan dan produksi kacang tanah untuk mencapai optimum. Kebutuhan air tanaman yang tinggi pada saat tanaman kacang tanah berumur 25 – 60 hari disebabkan karena tanaman tersebut mempunyai koefisien tanaman sekitar 0,7 – 1,1. Koefisien tanaman berkisar antara 0,7 – 1,1 menunjukkan bahwa dalam kondisi kecukupan air maka terjadi laju evapotranspirasi maksimal sebesar 0,7 – 1,1 kali laju evapotranspirasi referensi. Doorenbos et al. (1986) menyatakan bahwa evapotranspirasi referensi pada daerah yang mempunyai temperatur udara berkisar antara 20 – 30 0C adalah berkisar 4 – 5 mm/hari.

(15)

Tanaman ubikayu adalah jenis tanaman yang relatif tahan terhadap kekeringan. Rendahnya suplai air selama siklus pertumbuhan tanaman tidak menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman ubikayu di daerah penelitian.

Berdasarkan hasil analisis lansekap dan tanah serta persyaratan lansekap dan tanah untuk budidaya tanaman kakao serta informasi produksi usahatani kakao maka dapat dilakukan evaluasi kesesuaian lahan untuk budidaya kakao dan produktifitas lahan di DAS Gumbasa (Tabel 13) . Hasil evaluasi kesesuaian lahan aktual untuk pengembangan kakao dan produktifitas lahan menunjukkan bahwa pembatas utama penggunaan lahan untuk pengembangan kakao di DAS Gumbasa adalah curah hujan, kelerengan, sifat fisik tanah, dan kesuburan tanah.

Tabel 13. Evaluasi kesesuaian lahan aktual untuk pengembangan tanaman kakao dan Produktifitas Lahan di DAS Gumbasa .

Harkat / Bobot Unit Lahan A B C D E F G H I J K L Indeks Lahan Kelas Kesesuaian Lahan Aktual Produktifitas Lahan (kg ha-1) 1 36 100 100 93 59 100 100 94 100 100 89 83.7 13,83 N-ctsf - 2 33 100 100 98 58 100 100 100 100 100 84 83.7 13,19 N-ctsf - 3 90 100 100 98 59 85 87 100 100 97 89 83.7 27,81 S3-ctsf 1.290 4 90 100 100 100 57 95 100 87 100 97 81 83.7 27,88 S3-ctsf - 5 88 100 100 94 63 85 100 66 100 100 100 83.7 24,47 N-ctsf 1180 6 76 100 100 94 57 100 100 82 100 100 100 83.7 27,95 S3-ctsf 1260 7 47 100 100 94 54 100 88 85 94 97 67 83.7 9,12 N-ctsf 650 8 82 100 100 93 55 85 100 69 100 100 83 83.7 17,09 N-ctsf 960 9 73 100 100 93 67 95 100 100 100 97 82 83.7 28,77 S3-ctsf 1.230 10 58 100 100 93 58 100 100 70 94 100 68 83.7 11,72 N-ctsf 810 11 36 100 100 94 67 85 100 95 100 100 100 83.7 15,32 N-ctsf 930 12 90 100 100 98 63 95 100 79 100 100 87 83.7 30,37 S3-ctsf - 13 96 100 100 100 55 95 100 88 100 100 59 83.7 21,8 N-ctsf - 14 76 100 100 100 73 100 100 89 100 98 67 83.7 27,14 S3-ctsf 1.300 15 66 100 100 94 78 85 100 70 100 97 100 83.7 23,38 N-ctsf - 16 62 100 100 93 90 100 100 87 100 100 100 83.7 37,79 S3-ctsf 1.590 17 93 100 100 98 74 100 100 71 100 100 100 83.7 40,08 S3-ctsf 1.685 18 93 100 100 98 84 100 100 75 100 100 87 83.7 41,81 S3-ctsf 1.670 19 30 100 100 93 59 95 90 100 100 100 83 83.7 9,78 N-ctsf - 20 30 100 100 93 61 85 100 100 100 97 84 83.7 9,87 N-ctsf - 21 36 100 100 89 58 95 100 100 100 100 84 83.7 12,41 N-ctsf - 22 82 100 100 93 66 95 100 73 100 100 65 83.7 18,99 N-ctsf 1.045 23 88 100 100 100 63 95 91 96 100 97 55 83.7 20,55 N-ctsf - 24 34 100 100 94 77 95 100 89 100 100 82 83.7 14,28 N-ctsf - 25 73 100 100 89 59 95 100 87 100 97 100 83.7 25,72 S3-ctsf - 26 37 100 100 89 58 95 100 92 100 100 100 83.7 13,97 N-ctsf - 27 29 100 100 89 63 95 100 77 100 97 100 83.7 9,66 N-ctsf -

A = Harkat / Bobot Kelerengan; B = Harkat/Bobot Banjir; C = Harkat/Bobot Drainase; D = Harkat/Bobot Fragmen Kasar; E = Harkat/Bobot Kedalaman Tanah; F = Harkat/Bobot Tekstur ; Tanah; G = Harkat/Bobot Kapasitas Tukar Kation; H = Harkat/Bobot Kejenuhan Basa; I = Harkat/Bobot Jumlah kation Dasar; J = Harkat/Bobot pH H2O; K = Harkat/Bobot Karbon

(16)

Tabel 13 menunjukkan bahwa lahan yang tergolong kelas kesesuaian lahan aktual Tidak Sesuai (N) terdapat pada unit lahan 1, 2, 5, 7, 8, 10, 11, 13, 15, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 26, dan 27. Lahan yang tergolong atas kelas kesesuaian lahan Sesuai Marjinal (S3) terdapat pada unit lahan 3, 4, 6, 9, 12, 14, 16, 17, 18, dan 25. Produktifitas lahan untuk pengembangan kakao menunjukkan peningkatan sejalan dengan meningkatnya kelas kesesuaian lahan. Lahan yang tergolong kelas kesesuaian lahan Sesuai Marjinal (S3) mempunyai produktifitas lahan berkisar 1200 – 1700 kg ha-1, sedangkan lahan yang tergolong kelas kesesuaian lahan tidak sesuai (N) mempunyai produktifitas lahan yang lebih rendah dari 1.200 kg ha-1.

Noorwood (2000) menyatakan bahwa rendahnya kapasitas menahan air tanah yang diikuti oleh kekurangan air pada saat pembungaan dapat membatasi pertumbuhan dan produksi tanaman secara optimal. Lalu lintas peralatan pemanenan pada saat musim hujan menyebabkan terjadinya kerusakan sifat fisik tanah dan menurunnya produktivitas tanaman dalam jangka panjang. Pemadatan tanah, terganggunya mineralisasi nitrogen, dan kompetisi unsur hara sebagai akibat tanpa perlakuan pengelolaan tanah telah merugikan usaha pertanian dalam jangka panjang.

Freebairn (2004b) menyatakan bahwa penggunaan jerami sebagai mulsa dapat digunakan untuk menurunkan aliran permukaan dan meningkatkan kandungan karbon organik tanah. Zheng et al. (2004) dan Terra et al. (2006) mendukung pendapat tersebut dan menyatakan bahwa peningkatan karbon organik tanah pada lahan yang berada dibawah program konservasi cenderung menurunkan koefisien erodibilitas tanah dan aliran permukaan dibandingkan dengan program pengelolaan konvensional.

Shaver et al. (2002), Baker et al. (2004) dan Lado et al. (2004) menyatakan bahwa pemberian bahan organik dan penggunaan tanaman penutup tanah dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Peningkatan jumlah porositas makro tanah melalui pemberian bahan organik dapat menurunkan kekuatan tanah (soil strength) dan bobot isi tanah. Sebaliknya pengaruh pemberian bahan organik dan penggunaan tanaman penutup tanah dapat meningkatkan kapasitas menahan air tanah, kandungan bahan organik, dan stabilitas agregat tanah.

(17)

Berdasarkan hasil analisis lansekapdan tanah serta persyaratan lansekap dan tanah untuk budidaya tanaman jagung serta informasi produksi usahatani jagung maka dapat dilakukan evaluasi kesesuaian lahan untuk pengembangan tanaman jagung dan produktifitas lahan di DAS Gumbasa (Tabel 14).

Tabel 14. Evaluasi kesesuaian lahan aktual untuk pengembangan tanaman jagung dan produktifitas lahan di DAS Gumbasa .

Harkat / Bobot Unit Lahan A B C D E F G H I J K L Indeks Lahan Kelas Kesesuaian Lahan Aktual Produktifitas Lahan (kg ha-1) 1 36 100 100 81 94 95 100 93 100 90 100 59,07 12,87 N-ctsf - 2 33 100 100 95 93 95 100 100 100 90 100 59,07 14,72 N-ctsf - 3 90 100 100 95 94 100 100 100 100 98 100 59,07 46,53 S3-ctsf - 4** 90 100 100 100 91 100 100 87 100 98 94 59,07 38,77 S3-ctsf 1.056 5 88 100 100 85 100 100 100 60 100 90 100 59,07 23,86 N-ctsf - 6 76 100 100 85 91 95 100 60 100 90 100 59,07 17,81 N-ctsf - 7 47 100 100 85 89 95 100 85 100 98 90 59,07 14,96 N-ctsf - 8 82 100 100 81 90 100 100 60 100 90 100 59,07 19,07 N-ctsf - 9 73 100 100 81 100 100 100 100 100 98 100 59,07 34,23 S3-ctsf - 10 60 100 100 81 93 95 100 60 100 90 91 59,07 12,46 N-ctsf - 11 36 100 100 85 100 100 100 93 100 90 100 59,07 15,13 N-ctsf - 12* 90 100 100 95 100 100 100 86 100 90 100 59,07 39,09 S3-ctsf 931 13** 96 100 100 100 89 100 100 87 100 90 80 59,07 31,61 S3-ctsf 1.043 14 76 100 100 100 100 95 100 88 100 100 90 59,07 33,78 S3-ctsf - 15 66 100 100 85 100 100 100 60 100 98 100 59,07 19,49 N-ctsf - 16 62 100 100 81 100 100 100 87 100 90 100 59,07 23,23 N-ctsf - 17 93 100 100 95 100 95 100 60 100 90 100 59,07 26,77 S3-ctsf - 18 93 100 100 95 100 95 100 60 100 59 100 59,07 17,55 N-ctsf - 19 30 100 100 81 94 100 100 100 100 90 100 59,07 12,14 N-ctsf - 20 30 100 100 81 100 100 100 100 100 98 100 59,07 14,07 N-ctsf - 21 36 100 100 70 92 100 100 100 100 90 100 59,07 12,33 N-ctsf - 22 82 100 100 81 100 100 100 60 100 59 88 59,07 12,22 N-ctsf - 23** 88 100 100 100 100 100 100 94 100 98 81 59,07 38,79 S3-ctsf 1.049 24 34 100 100 85 100 100 100 88 100 90 100 59,07 13,52 N-ctsf - 25 73 100 100 70 94 100 100 86 100 98 100 59,07 23,91 N-ctsf - 26 37 100 100 70 93 100 100 90 100 90 100 59,07 11,52 N-ctsf - 27 29 100 100 70 100 100 100 60 100 98 100 59,07 7,05 N-ctsf -

A = Harkat / Bobot Kelerengan; B = Harkat/Bobot Banjir; C = Harkat/Bobot Drainase; D = Harkat/Bobot Fragmen Kasar; E = Harkat/Bobot Kedalaman Tanah; F = Harkat/Bobot Tekstur ; Tanah; G = Harkat/Bobot Kapasitas Tukar Kation; H = Harkat/Bobot Kejenuhan Basa; I = Harkat/Bobot Jumlah kation Dasar; J = Harkat/Bobot pH H2O; K = Harkat/Bobot Karbon Organik; L = Harkat/Bobot

Ekuivalensi Iklim; * Penggunaan lahan dominan untuk budidaya jagung; ** : Penggunaan lahan tidak dominan untuk budidaya jagung; - = Tidak Dilakukan Survai

Tabel 14 menunjukkan bahwa pada umumnya pembatas utama penggunaan lahan untuk budidaya jagung di DAS Gumbasa adalah curah hujan, kelerengan, sifat fisik tanah, dan kesuburan tanah. Lahan yang tergolong kelas kesesuaian lahan aktual Tidak Sesuai (N) untuk budidaya jagung terdapat pada unit lahan 1, 2, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 15, 16, 18, 19, 20, 21, 22, 24, 25, 26, dan 27. Lahan yang

(18)

tergolong kelas kesesuaian lahan aktual Sesuai Marjinal (S3) untuk budidaya jagung terdapat pada unit lahan 3, 4, 9, 12, 13, 14, 17, dan 23.

Produktifitas lahan untuk pengembangan jagung pada kondisi penggunaan lahan aktual (unit lahan 4, 12, 13, dan 23) menunjukkan kisaran antara 931 hingga 1.056 kg ha-1. Produktifitas lahan pada unit lahan 4, 13, dan 23 berada di atas 1000 kg ha-1 pada lahan – lahan yang mendapatkan irigasi (di dominasi oleh penggunaan lahan padi beririgasi), sedangkan pada unit lahan 12 menunjukkan produktifitas di bawah 1000 kg ha-1. Hal tersebut menunjukkan bahwa di daerah penelitian mempunyai pembatas utama suplai air tanah untuk pengembangan jagung. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa apabila terdapat suplai air tanah (kondisi lahan beririgasi) yang cukup maka produktifitas lahan untuk pengembangan jagung di daerah masih dapat ditingkatkan.

Pengolahan tanah dan pemberian bahan organik merupakan perbaikan lahan yang layak untuk diterapkan di DAS Gumbasa. Licht dan Al-Kaisi (2005) berpendapat bahwa pengolahan tanah pada areal budidaya jagung dapat meningkatkan serapan nitrogen tanah, efisiensi penggunaan air, dan produksi berat kering jagung. Arriaga et al.(2003) menyatakan bahwa cekaman air pada masa pertumbuhan vegetatif jagung dapat menurunkan produksi jagung yang ditumbuhkan pada lahan berlereng.

Menurut Kelly dan Mays (2005) kandungan karbon organik tanah meningkat sebesar 73 % pada lahan yang mendapatkan program konservasi melalui pemberian bahan organik tanah dibandingkan dengan lahan tanpa program konservasi. Whalen et al. (2003), Allmaras et al. (2004), Wiliams dan Weil (2004), Wilts et al. (2004), dan Canqui et al. (2006) berpendapat bahwa penggunaan tanaman penutup tanah, pemberian bahan organik, dan rotasi tanaman dapat meningkatkan kandungan karbon organik tanah pada daerah perakaran dan memperbaiki struktur tanah sehingga kandungan air tanah dapat dipertahankan untuk mencukupi kebutuhan tanaman.

Berdasarkan hasil analisis lansekap dan tanah serta persyaratan lansekap dan tanah untuk pengembangan tanaman kacang tanah serta informasi produksi usahatani kacang tanah maka dapat dilakukan evaluasi kesesuaian lahan untuk

(19)

pengembangan tanaman kacang tanah dan produktifitas lahan di DAS Gumbasa (Tabel 15)..

Tabel 15. Evaluasi kesesuaian lahan aktual untuk pengembangan tanaman kacang tanah dan produktifitas lahan di DAS Gumbasa .

Harkat / Bobot Unit Lahan A B C D E F G H I J K L Indeks Lahan Kelas Kesesuaian Lahan Aktual Produktifitas Lahan (kg ha-1) 1 36 100 100 81 94 95 100 93 100 90 100 81,07 17,67 N-ctsf - 2 33 100 100 95 93 95 100 100 100 90 100 81,07 20,21 N-ctsf - 3 90 100 100 95 94 100 100 100 100 98 100 81,07 63,85 S2-ctsf - 4** 90 100 100 100 91 100 100 87 100 98 94 81,07 53,21 S2-ctsf 439 5 88 100 100 85 100 100 100 60 100 90 100 81,07 32,75 S3-ctsf - 6 76 100 100 85 91 95 100 60 100 90 100 81,07 24,45 N-ctsf - 7 47 100 100 85 89 95 100 85 100 98 90 81,07 20,53 N-ctsf - 8 82 100 100 81 90 100 100 60 100 90 100 81,07 26,17 S3-ctsf - 9 73 100 100 81 100 100 100 100 100 98 100 81,07 46,98 S3-ctsf - 10 60 100 100 81 93 95 100 60 100 90 91 81,07 17,11 N-ctsf - 11 36 100 100 85 100 100 100 93 100 90 100 81,07 20,76 N-ctsf - 12* 90 100 100 95 100 100 100 86 100 90 100 81,07 53,65 S2ctsf 457 13** 96 100 100 100 89 100 100 87 100 90 80 81,07 43,39 S3-ctsf 409 14 76 100 100 100 100 95 100 88 100 100 90 81,07 46,36 S3-ctsf - 15 66 100 100 85 100 100 100 60 100 98 100 81,07 26,74 S3-ctsf - 16 62 100 100 81 100 100 100 87 100 90 100 81,07 31,88 S3-ctsf - 17 93 100 100 95 100 95 100 60 100 90 100 81,07 36,74 S3-ctsf - 18 93 100 100 95 100 95 100 60 100 59 100 81,07 24,09 N-ctsf - 19 30 100 100 81 94 100 100 100 100 90 100 81,07 16,67 N-ctsf - 20 30 100 100 81 100 100 100 100 100 98 100 81,07 19,31 N-ctsf - 21 36 100 100 70 92 100 100 100 100 90 100 81,07 16,92 N-ctsf - 22 82 100 100 81 100 100 100 60 100 59 88 81,07 16,77 N-ctsf - 23** 88 100 100 100 100 100 100 94 100 98 81 81,07 53,23 S2-ctf 465 24 34 100 100 85 100 100 100 88 100 90 100 81,07 18,56 N-ctsf - 25 73 100 100 70 94 100 100 86 100 98 100 81,07 32,82 S3-ctsf - 26 37 100 100 70 93 100 100 90 100 90 100 81,07 15,82 N-ctsf - 27 29 100 100 70 100 100 100 60 100 98 100 81,07 9,68 N-ctsf -

A = Harkat / Bobot Kelerengan; B = Harkat/Bobot Banjir; C = Harkat/Bobot Drainase; D = Harkat/Bobot Fragmen Kasar; E = Harkat/Bobot Kedalaman Tanah; F = Harkat/Bobot Tekstur ; Tanah; G = Harkat/Bobot Kapasitas Tukar Kation; H = Harkat/Bobot Kejenuhan Basa; I = Harkat/Bobot Jumlah kation Dasar; J = Harkat/Bobot pH H2O; K = Harkat/Bobot Karbon Organik; L = Harkat/Bobot

Ekuivalensi Iklim; * Penggunaan lahan dominan untuk budidaya kacang tanah; ** : Penggunaan lahan tidak dominan untuk budidaya kacang tanah; - = Tidak Dilakukan Survai

Tabel 15 menunjukkan bahwa kesesuaian lahan aktual dan produktifitas lahan untuk pengembangan tanaman kacang tanah di daerah penelitian tergolong atas kelas kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N), Sesuai Marjinal (S3), dan Cukup Sesuai (S2) dengan pembatas utama faktor iklim, kelerengan, sifat fisik tanah, dan kesuburan tanah.

Unit lahan yang tergolong kelas kesesuaian lahan aktual Tidak Sesuai (N) untuk budidaya kacang tanah terdapat pada unit lahan 1, 2, 6, 7, 10, 11, 18, 19, 20, 21, 22, 24, 26, dan 27. Unit lahan yang tergolong kelas kesesuaian lahan Sesuai

(20)

Marjinal (S3) untuk budidaya kacang tanah terdapat pada unit lahan 5, 8, 9, 13, 14, 15, 16, 17, dan 25. Unit lahan yang tergolong kelas kesesuaian lahan Cukup Sesuai (S2) terdapat pada unit lahan 3, 4, 12, dan 23.

Produktifitas lahan untuk pengembangan kacang tanah pada kondisi penggunaan lahan aktual (unit lahan 4, 12, 13, dan 23) menunjukkan kisaran antara 409 hingga 465 kg ha-1. Meningkatnya kelas kesesuaian lahan menyebabkan semakin meningkatnya produktifitas lahan untuk pengembangan kacang tanah. Curah hujan tahunan sebesar 1200 mm di daerah penelitian tidak menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan produksi kacang tanah yang cukup berarti, hal ini disebabkan karena kebutuhan air untuk pertumbuhan kacang tanah hanya sekitar 450 – 600 mm/musim (Doorenbos et al, 1986).

Berdasarkan hasil analisis lansekap dan tanah serta persyaratan lansekap dan tanah untuk budidaya tanaman ubikayu serta informasi produksi usahatani ubikayu maka dapat dilakukan evaluasi kesesuaian lahan aktual untuk budidaya ubikayu dan produktifitas lahan di DAS Gumbasa (Tabel 16).

Tabel 16 menunjukkan bahwa kesesuaian lahan aktual untuk pengembangan ubikayu di daerah penelitian tergolong Tidak Sesuai (N), Sesuai Marjinal (S3), dan Cukup Sesuai (S2). Unit lahan 1, 2, 7, 10, 11, 19, 20, 21, 24, 26, dan 27 tergolong kelas kesesuaian lahan aktual Tidak Sesuai (N) untuk budidaya ubikayu. Unit lahan 4, 5, 6, 8, 9, 15, 16, 18, 22, 23, dan 25 tergolong kelas kesesuaian lahan Sesuai Marjinal (S3). Unit lahan 3, 12, 13, 14, dan 17 tergolong kelas kesesuaian lahan aktual Cukup Sesuai (S2) untuk pengembangan tanaman ubikayu.

Produktifitas lahan untuk budidaya ubikayu menurun pada unit lahan 4, 13, dan 23 (lahan yang di dominasi oleh penggunaan lahan padi beririgasi), sedangkan pada unit lahan 12 menunjukkan produktifitas yang relatif lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa produksi ubikayu cenderung berkurang apabila dikembangkan pada lahan-lahan yang sudah terbiasa digunakan sebagai lahan persawahan beririgasi.

Perbaikan sifat fisik tanah dapat dilakukan melalui perbaikan pola tanam, pemberian bahan organik, pemupukan, dan pengolahan tanah (Gicheru et al., 2004; Humberto et al., 2005). Pendapat tersebut mendukung Grant et al. (2001), Kladivko (2001), Takken et al. (2001), dan Imhoff et al. (2002) yang menyatakan

(21)

bahwa rotasi tanaman dengan menggunakan jenis tanaman kacang-kacangan (legume) dapat meningkatkan nisbah C/N tanah pada lapisan permukaan, menurunkan laju erosi tanah dan aliran permukaan, dan memperbaiki kekuatan tarik tanah (tensile strength), dan mengurangi pemadatan tanah.

Tabel 16. Evaluasi kesesuaian lahan aktual untuk pengembangan tanaman ubikayu dan produktivitas lahan di DAS Gumbasa .

Harkat / Bobot Unit Lahan A B C D E F G H I J K L Indeks Lahan Kelas Kesesuaian Lahan Aktual Produktifitas Lahan (kg ha-1) 1 36 100 100 76 78 95 100 100 100 100 100 93 18,85 N-ctsf - 2 33 100 100 100 76 95 100 100 100 100 92 93 20,39 N-ctsf - 3 88 100 100 100 78 100 100 100 100 95 100 93 60,64 S2-ctsf - 4** 88 100 100 100 73 100 100 100 100 95 88 93 49,95 S3-ctsf 5.224 5 84 100 100 80 83 100 100 84 100 100 100 93 43,57 S3-ctsf - 6 73 100 100 80 74 95 100 93 100 100 100 93 35,51 S3-ctsf - 7 47 100 100 80 68 95 100 100 100 95 85 93 18,24 N-ctsf - 8 78 100 100 76 70 100 100 75 100 100 91 93 26,34 S3-ctsf - 9 70 100 100 76 88 100 100 100 100 95 89 93 36,81 S3-ctsf - 10 57 100 100 76 76 95 100 76 100 100 85 93 18,79 N-ctsf - 11 36 100 100 80 88 100 100 100 100 100 100 93 23,57 N-ctsf - 12* 88 100 100 100 83 100 100 100 100 100 100 93 67,93 S2-ctsf 6.160 13** 96 100 100 100 70 100 100 100 100 100 80 93 50 S2-ctsf 5.120 14 73 100 100 100 100 95 100 100 100 95 84 93 51,47 S2-ctsf - 15 65 100 100 80 100 100 100 76 100 95 100 93 34,92 S3-ctsf - 16 58 100 100 76 100 100 100 100 100 100 100 93 40,99 S3-ctsf - 17 91 100 100 100 100 95 100 77 100 100 100 93 61,91 S2-ctsf - 18 91 100 100 100 100 95 100 79 100 95 100 93 60,34 S3-ctsf - 19 30 100 100 77 78 100 100 100 100 100 92 93 15,42 N-ctsf - 20 30 100 100 77 81 100 100 100 100 95 100 93 16,53 N-ctsf - 21 36 100 100 68 75 100 100 100 100 100 93 93 15,88 N-ctsf - 22 78 100 100 76 87 100 100 78 100 95 83 93 29,5 S3-ctsf - 23** 84 100 100 100 84 100 100 100 100 95 80 93 49,87 S3-ctsf 5.310 24 34 100 100 80 100 100 100 100 100 100 90 93 22,77 N-ctsf - 25 70 100 100 68 78 100 100 100 100 95 100 93 32,8 S3-ctsf - 26 37 100 100 68 76 100 100 100 100 100 100 93 17,78 N-ctsf - 27 29 100 100 68 83 100 100 80 100 95 100 93 11,57 N-ctsf

A = Harkat / Bobot Kelerengan; B = Harkat/Bobot Banjir; C = Harkat/Bobot Drainase; D = Harkat/Bobot Fragmen Kasar; E = Harkat/Bobot Kedalaman Tanah; F = Harkat/Bobot Tekstur ; Tanah; G = Harkat/Bobot Kapasitas Tukar Kation; H = Harkat/Bobot Kejenuhan Basa; I = Harkat/Bobot Jumlah kation Dasar; J = Harkat/Bobot pH H2O; K = Harkat/Bobot Karbon

Organik; L = Harkat/Bobot Ekuivalensi Iklim; * Penggunaan lahan dominan untuk budidaya ubikayu; ** : Penggunaan lahan tidak dominan untuk budidaya ubikayu; - = Tidak Dilakukan Survai

Pengaruh pengelolaan lahan dalam jangka panjang terhadap perubahan sifat fisik dan kimia tanah telah dipelajari oleh Hooker et al. (2005), Kubota et al. (2005), Tomer et al. (2006), dan Manna et al. (2006) yang menyatakan bahwa pengolahan tanah, pemberian bahan organik, dan rotasi tanaman dapat menekan kehilangan lapisan olah tanah oleh erosi, meningkatkan ketersediaan unsur hara

(22)

nitrogen dan fosfor, mengurangi pemadatan tanah bertekstur liat, dan menurunkan daya hantar air tanah pada tanah bertekstur pasir.

Kelerengan adalah merupakan pembatas yang dominan untuk budidaya ubikayu di daerah penelitian. Upaya memperbaiki pengaruh kelerengan lahan terhadap kerusakan sumberdaya lahan dapat dilakukan melalui sistem pola tanam berganda (multiple cropping systems) sehingga dapat menekan laju erosi tanah dan perbaikan sifat fisik tanah (Arsyad, 2000).

Pada hakekatnya pola usahatani palawija yang bersifat subsisten di DAS Gumbasa menyebabkan pola tanam jagung, kacang tanah, dan ubikayu tidak pernah dilakukan secara monokultur, akan tetapi dilakukan dengan pola lebih dari satu jenis penggunaan atau penggunaan lahan majemuk (Compound land use). Evaluasi kesesuaian lahan majemuk ditentukan oleh kelas kesesuaian lahan yang terendah dari setiap kelas kesesuaian lahan pada penggunaan lahan yang direncanakan (Tabel 17).

Tabel 17. Evaluasi kesesuaian lahan aktual untuk pengembangan tanaman palawija di DAS Gumbasa

Indeks Lahan Unit

Lahan

Jagung Kacang

Tanah Ubikayu Palawija

Kelas Kesesuaian Lahan Aktual 1 12,87 17,67 18,85 12,87 N-ctsf 2 14,72 20,21 20,39 14,72 N-ctsf 3 46,53 63,85 60,64 46,53 S3-ctsf 4 38,77 53,21 49,95 38,77 S3-ctsf 5 23,86 32,75 43,57 23,86 N-ctsf 6 17,81 24,45 35,51 17,81 N-ctsf 7 14,96 20,53 18,24 14,96 N-ctsf 8 19,07 26,17 26,34 19,07 N-ctsf 9 34,23 46,98 36,81 34,23 S3-ctsf 10 12,46 17,11 18,79 12,46 N-ctsf 11 15,13 20,76 23,57 15,13 N-ctsf 12 39,09 53,65 67,93 39,09 S3-ctsf 13 31,61 43,39 50 31,61 S3-ctsf 14 33,78 46,36 51,47 33,78 S3-ctsf 15 19,49 26,74 34,92 19,49 N-ctsf 16 23,23 31,88 40,99 23,23 N-ctsf 17 26,77 36,74 61,91 26,77 S3-ctsf 18 17,55 24,09 60,34 17,55 N-ctsf 19 12,14 16,67 15,42 12,14 N-ctsf 20 14,07 19,31 16,53 14,07 N-ctsf 21 12,33 16,92 15,88 12,33 N-ctsf 22 12,22 16,77 29,5 12,22 N-ctsf 23 38,79 53,23 49,87 38,79 S3-ctsf 24 13,52 18,56 22,77 13,52 N-ctsf 25 23,91 32,82 32,8 23,91 N-ctsf 26 11,52 15,82 17,78 11,52 N-ctsf 27 7,05 9,68 11,57 7,05 N-ctsf

(23)

Tabel 17 menunjukkan bahwa hasil evaluasi kesesuaian lahan aktual untuk budidaya palawija di DAS Gumbasa di dominasi oleh kelas kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) yang terdapat pada unit lahan 1, 2, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 15, 16, 18, 19, 20, 21, 22, 24, 25, 26, dan 27. Lahan yang tergolong Sesuai Marjinal (S3) untuk pengmbangan palawija terdapat pada unit lahan 3, 4, 9, 12, 13, 14, 17, dan 23. Dominasi kelas kesesuaian lahan aktual Tidak Sesuai (N) untuk pengembangan palawija disebabkan karena pada umumnya palawija membutuhkan suplai air dalam jumlah tinggi untuk berlangsungnya proses fotosintesa. Keterbatasan curah hujan pada periode tertentu merupakan sumber utama penyebab rendahnya kelas kesesuaian lahan untuk budidaya palawija di DAS Gumbasa.

Arsyad (2000) menyatakan bahwa pola tanam tumpang gilir dan pemberian mulsa pada areal budidaya palawija dapat menurunkan faktor tanaman (C) dan faktor pengelolaan (P) sehingga erosi tanah dapat dikendalikan. Lebih lanjut Wu dan Tiessen (2002), Grandy et al.(2002), Huang et al. (2003), Chapplot dan Bissonnais (2003), dan Turley et al. (2003) menyatakan bahwa degradasi struktur tanah pada lahan yang dikelola secara intensif dapat diperbaiki melalui praktek pengelolaan lahan dengan menerapkan rotasi tanaman, pemberian kompos, dan pupuk kandang.

Perubahan perilaku fisik tanah sebagai akibat perbedaan pola tanam campuran antara leguminoceae dan rumput-rumputan dengan pola tanam jagung dan kedelai secara monokultur telah dipelajari oleh Seobi et al. (2005). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa bobot isi tanah (bulk density) pada perlakuan pola tanam campuran leguminoceae dan rumput-rumputan turun sebesar 2,3 % dibanding dengan pola tanam jagung dan kedelai secara monokultur. Zotarelli et al. (2005) menyatakan bahwa rotasi tanaman antara gandum dan kedelai dapat memperbaiki stabilitas agregat tanah dan ruang pori tanah.

5.4.2. Perancangan Sub Model Erosi Tanah

5.4.2.1. Pengukuran Erosi Tanah Aktual

Pengukuran erosi tanah aktual di lapang digunakan untuk menentukan faktor tanaman pada beberapa penggunaan lahan yang dominan di DAS Gumbasa

(24)

dengan cara membagi jumlah erosi aktual selama 1 musim dengan hasil perkalian faktor erosivitas (R), erodibilitas (K), kelerengan (LS), dan tindakan konservasi (P). Data erodibilitas tanah pada setiap plot pengukuran erosi tanah disajikan pada Lampiran 32.

Berdasarkan faktor tanaman yang didapatkan melalui pengukuran erosi tanah aktual tersebut maka dapat diidentifikasi faktor tanaman dalam beberapa pustaka yang paling mendekati dan dapat digunakan acuan dalam perancangan model erosi tanah (Tabel 18).

Tabel 18. Faktor tanaman berdasarkan pengukuran erosi tanah aktual. Tipe Penggunaan Lahan Kelerengan (%) R K LS P Erosi Tanah Aktual (ton ha-1 musim-1) C Pendekatan Faktor Tanaman Berdasarkan Pustaka Kebun Campuran Ubikayu-Gamal 5 497,42 0,34 0,23 1 8,12 0,20 Penggunaan Lahan Ubikayu + Kedelai (Arsyad, 2000) Kakao Pola Kebun Campuran 3 497,55 0,26 0,13 1 0,79 0,047

Penggunaan Lahan Kebun Campuran Kerapatan Tinggi (Arsyad, 2000) Kacang Tanah 3 369,27 0,34 0,13 1 3,60 0,221

Penggunaan Lahan Kacang Tanah (Arsyad, 2000)

Kakao Pola

Monokultur 9 462,04 0,22 0,5 1 3,86 0,076

Penggunaan Lahan Kebun Campuran Kerapatan Tinggi (Arsyad, 2000) Kakao Pola

Kebun Campuran 22 462,04 0,21 2,1 1 7,27 0,036

Penggunaan Lahan Kebun Campuran Kerapatan Tinggi (Arsyad, 2000) Hutan 24 462,04 0,21 2,44 1 0,255 0,001

Penggunaan Lahan Hutan Alam dengan Seresah Banyak (Arsyad, 2000) Jagung 10 334,51 0,21 0,58 0,35 10,92 0,67

Penggunaan Lahan untuk Tanaman Jagung

(Utomo, 1993) Kakao Pola

Kebun Campuran 14 394,37 0,21 0,98 1 2,01 0,025

Penggunaan Lahan Kebun Campuran Kerapatan Tinggi (Arsyad, 2000)

Tanah Terbuka 5 462,04 0,17 0,23 1 16,84 0,932 Penggunaan Lahan Terbuka(Arsyad, 2000) Tanah Terbuka

10 344,35 0,31 0,58 1 57,04 0,921

Penggunaan Lahan Terbuka(Arsyad, 2000)

R : Faktor Erosivitas; K : Faktor Erodibilitas Tanah; LS : Faktor Kelerengan; C: Faktor Tanaman ; P : Faktor Pengelolaan Konservasi Tanah

Hasil analisis erosi tanah berdasarkan pengukuran erosi tanah aktual (Tabel 18) menunjukkan bahwa faktor tanaman yang sesuai untuk digunakan dalam prediksi erosi tanah di daerah penelitian adalah melalui pendekatan pustaka Utomo (1993) dan Arsyad (2000).

(25)

Pengujian kesahihan nilai faktor tanaman dari percobaan erosi di lapang dilakukan melalui penggunaan tehnik pembandingan nilai tengah berpasangan dan uji keeratan hubungan antara faktor tanaman yang dihasilkan dari percobaan erosi aktual dengan faktor tanaman yang terdapat dalam pustaka.

Hasil uji pembandingan nilai tengah berpasangan dan uji keeratan hubungan antara faktor tanaman dari pengukuran erosi di lapang dengan faktor tanaman yang terdapat dalam pustaka disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19 . Hasil pengujian faktor tanaman dari pengukuran erosi tanah aktual dengan faktor tanaman yang terdapat dalam pustaka.

Nilai t Tipe Penggunaan Lahan Faktor Tanaman Berdasarkan Percobaan Erosi Tanah Aktual Faktor Tanaman Berdasarkan

Pustaka HITUNG TABEL

Perbedaan Pada Selang Kepercayaan 95 % Koefisien Korelasi Ubikayu – Gamal Kelerengan 5 % 0,200 0,18

Kakao Pola Kebun Campuran Kelerengan 3 % 0,047 0,10 Kacang Tanah Kelerengan 3 % 0,221 0,20 Kakao Pola Monokultur Kelerengan 9 % 0,076 0,10 Kakao Pola Kebun

Campuran Kelerengan 22 % 0,036 0,10 Hutan Kelerengan 24 % 0,001 0,001 Jagung Kelerengan 10 % 0,670 0,64

Kakao Pola Kebun Campuran Kelerengan 14 % 0,025 0,10 Tanah Terbuka Kelerengan 5 % 0,932 1 Tanah Terbuka Kelerengan 10 % 0,921 1 -2.11 2,26 Tidak Berbeda Nyata 0,99

Hasil uji t-student menunjukkan bahwa pada umumnya faktor tanaman yang didapatkan melalui pengukuran erosi tanah di daerah penelitian selama 1 musim tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 % dengan faktor tanaman yang terdapat pada pustaka Arsyad (2000). Plot pengukuran erosi tanah pada penggunaan lahan jagung lebih mendekati koefisien tanaman pada pustaka Utomo (1993).

Hasil uji keeratan hubungan antara faktor tanaman dari pengukuran erosi aktual di lapang dengan faktor tanaman yang terdapat dalam pustaka Utomo

(26)

(1993) dan Arsyad (2000) pada Tabel 19 menunjukkan hubungan yang sangat erat dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,99.

5.4.2.2. Prediksi Erosi Tanah dan Erosi Tanah Dapat Ditoleransi

Prediksi erosi tanah dan erosi tanah yang dapat ditoleransi (TSL) pada setiap unit lahan di daerah penelitian disajikan pada Tabel 20.

Tabel 20. Prediksi erosi tanah dan erosi tanah yang dapat ditoleransi (TSL) di DAS Gumbasa.

Prediksi Erosi Tanah

Erosi Tanah Dapat Ditoleransi (TSL) Unit Lahan TPL R K LS C P ton ha-1 tahun-1 cm tahun-1 ton ha-1 tahun-1 cm tahun -1 1 H 624,69 0,55 69,24 0,001 1 23,8 0,20 23,75 0,20 2 H 624,69 0,49 69,20 0,001 1 21,2 0,20 20,25 0,19 3 KKC 624,69 0,41 5,14 0,1 0,5 65,8 0,59 23,18 0,21 4 Sw 624,69 0,47 7,03 0,02 0,04 1,7 0,01 35,99 0,28 5 KM 624,69 0,33 5,76 0,1 0,5 59,4 0,44 31,49 0,24 6 KKC 624,69 0,49 8,75 0,1 0,5 133,9 1,05 23,42 0,18 7 KKC 624,69 0,48 31,55 0,1 0,5 473,0 4,08 17,98 0,16 8 KKC 624,69 0,41 7,28 0,1 0,5 93,2 0,73 21,38 0,17 9 KM 624,69 0,27 17,70 0,1 0,5 149,3 1,28 31,24 0,27 10 KKC 624,69 0,51 21,19 0,1 0,5 337,5 3,31 19,89 0,20 11 KKC 624,69 0,48 71,73 0,1 0,5 1.075,4 8,81 32,57 0,27 12 Pl 624,69 0,29 4,84 0,64 0,5 280,6 2,13 44,22 0,34 13 Sw 624,69 0,52 3,16 0,02 0,04 0,8 0,01 31,56 0,26 14 KM 624,69 0,22 12,09 0,1 0,5 83,1 0,72 36,23 0,32 15 H 624,69 0,22 22,09 0,001 1 3,0 0,03 37,70 0,36 16 KKC 624,69 0,29 20,01 0,1 0,5 181,3 1,46 63,86 0,52 17 KM 624,69 0,32 4,18 0,1 0,5 41,8 0,31 43,61 0,32 18 KM 624,69 0,48 6,01 0,1 0,5 90,1 0,76 48,03 0,41 19 H 624,69 0,33 78,64 0,001 1 16,2 0,15 21,52 0,20 20 H 624,69 0,34 78,45 0,001 1 16,7 0,13 28,54 0,22 21 H 624,69 0,45 68,64 0,001 1 19,3 0,18 21,01 0,19 22 KM 624,69 0,50 7,09 0,1 0,5 110,7 0,89 32,12 0,26 23 Sw 624,69 0,44 2,76 0,02 0,04 0,6 0,00 45,77 0,34 24 H 624,69 0,40 77,44 0,001 1 19,4 0,16 41,42 0,35 25 H 624,69 0,34 13,25 0,001 1 2,8 0,03 21,94 0,21 26 H 624,69 0,41 46,94 0,001 1 12,0 0,12 20,28 0,20 27 H 624,69 0,44 83,51 0,001 1 23,0 0,22 24,44 0,24

TPL : Tipe Penggunaan Lahan; H : Hutan; KKC : Kakao Pola Kebun Campuran, KM : Kakao Pola Monokultur; Sw : Sawah Beririgasi; Pl : Palawija

Tabel 20 menunjukkan bahwa prediksi erosi tanah pada unit lahan 1, 4, 13, 15, 17, 23, 24, 25, 26, dan 27 lebih rendah dari erosi tanah yang dapat ditoleransi (TSL). Unit lahan 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 16, 18, 19, 20, 21, dan 22 menunjukkan laju erosi tanah yang lebih tinggi dari laju erosi tanah yang dapat ditoleransi (TSL).

(27)

Eisenbies et al. (2005) dan Kimaro et al. (2005) menyatakan bahwa pengolahan tanah dangkal merupakan penyebab utama yang mempengaruhi laju erosi tanah permukaan. Lebih lanjut Slobodian et al. (2002) dan Zhang et al. (2004) menyatakan bahwa pemadatan tanah yang diakibatkan oleh lalu lintas peralatan pemanenan diduga penyebab utama memburuknya sifat fisik tanah. Fenton et al. (2005), Shukla et al. (2005), dan McVay et al. (2006) menyatakan bahwa rotasi tanaman dan pengelolaan tanah pada jangka panjang dapat menyebabkan meningkatnya kandungan bahan organik tanah, dan kandungan nitrogen tanah pada lapisan permukaan.

5.4.3. Perancangan Sub Model Pendapatan Usahatani

Analisis usahatani yang dilakukan dalam penelitian merupakan analisis kelayakan finansial untuk menentukan pendapatan usahatani pada setiap tipe penggunaan lahan yang direncanakan. Analisis kelayakan finansial usahatani kakao disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21 menunjukkan bahwa Analisis jumlah pendapatan bersih usahatani kakao (NPV 18 %) pada awal tahun persiapan lahan hingga pohon kakao berumur 2 tahun mempunyai nilai –Rp 6.272.841. Biaya investasi yang meliputi persiapan lahan, pembelian bibit, dan pembuatan gudang pada perhitungan tahun ke 0 membutuhkan pengeluaran sebesar Rp 4.572.203,- ha-1, demikian juga pada tahun ke 1 dan 2 usahatani kakao menunjukkan pengeluaran untuk biaya produksi sebesar Rp 2.173.340,- ha-1. Berdasarkan hal tersebut maka pada tahun ke 0 hingga tahun ke 2 petani membutuhkan biaya sebesar Rp 6.745.543,- ha-1. Biaya usahatani kakao dapat impas dengan adanya produksi usahatani kakao pada saat tahun ke 3 hingga 5 yang mencapai jumlah pendapatan sebesar Rp 12.245.979,-.

Proyeksi hubungan antara umur pohon kakao dan pendapatan usahatani kakao (NPV 18 %) menunjukkan bahwa pendapatan bersih usahatani kakao mencapai optimal pada saat pohon kakao mencapai umur 8 tahun, selanjutnya berangsur-angsur menurun sejalan dengan bertambahnya umur pohon (Gambar 13). Di lain pihak pendapatan usahatani aktual tanpa memperhitungkan suku bunga sebesar 18 % menunjukkan pola yang semakin meningkat sejalan dengan semakin meningkatnya umur tanaman.

(28)

Tabel 21. Analisis kelayakan finansial usahatani kakao pola pengelolaan pertanian tradisional (KPT) di DAS Gumbasa. Tahun Ke 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Kriteria Rp ha-1 tahun-1 Penerimaan 0 0 0 4.378.296 4.378.296 7.550.837 9.438.546 9.438.546 13.513.259 13.513.259 13.513.259 13.006.718 13.006.718 Biaya Investasi 4.572.203 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Biaya Produksi 0 1.086.670 1.086.670 1.278.435 1.278.435 1.504.580 1.704.580 1.704.580 1.893.978 1.893.978 1.893.978 2.228.209 2.228.209 Pendapatan 0 -1.086.670 -1.086.670 3.099.861 3.099.861 6.046.257 7.733.966 7.733.966 11.619.281 11.619.281 11.619.281 10.778.509 10.778.509 NPV (18 %) -4.572.203 -920.409 -780.229 1.887.815 1.599.528 2.642.214 2.861.567 2.428.465 3.090.729 2.614.338 2.219.283 1.746.118 1.476.656 BCR 3,36

(29)

-4000000 -2000000 0 2000000 4000000 6000000 8000000 10000000 12000000 14000000 0 2 4 6 8 10 12 14 Waktu P e nda p a ta n Aktual NPV (18 %)

Poly. (NPV (18 %)) Poly. ( Aktual)

Gambar 13. Proyeksi hubungan antara waktu usahatani dengan pendapatan usahatani kakao di DAS Gumbasa.

Perhitungan tingkat pendapatan dengan memperhitungkan suku bunga 18 % yang menurun pada tahun ke 8 menunjukkan bahwa pendapatan usahatani kakao mempunyai kecenderungan yang semakin berkurang apabila petani di daerah penelitian mendapatkan modal usahatani dari peminjaman kredit bank.

Berdasarkan data usahatani jagung, kacang tanah dan ubikayu (Lampiran 42, 43, dan 44) maka dapat dibuat rekapitulasi analisis usahatani palawija dengan pola tanam tumpang gilir. Hasil analisis finansial usahatani palawija dengan pola tanam tumpang gilir di DAS Gumbasa disajikan pada Tabel 22.

Analisis kelayakan finansial usahatani palawija pola tanam tumpang gilir antara ubikayu, jagung, dan kacang tanah (Tabel 22) menunjukkan bahwa penerimaan tahunan tertinggi terdapat pada pengelolaan komoditas ubikayu, selanjutnya diikuti oleh komoditas kacang tanah dan jagung.

Tabel 22 . Analisis kelayakan finansial usahatani palawija pola tanam tumpang gilir di DAS Gumbasa

Komoditas Penerimaan (Rp ha-1) Biaya Produksi (Rp ha-1) Pendapatan (Rp ha-1) BCR Jagung 1.377.615 1.301.746 75.869 0,06 Kacang Tanah 2.213.750 1.675.928 537.822 0,32 Ubikayu 2.726.750 964.409 1.762.341 1,83 Total 6.318.115 3.942.083 2.376.032 0,60

(30)

Biaya produksi yang relatif tinggi pada pengelolaan komoditas kacang tanah dan jagung yang diikuti oleh rendahnya harga produksi menyebabkan kerugian finansial pada usahatani palawija pola tanam tumpang gilir. Nilai BCR usahatani palawija pola tanam tumpang gilir yang lebih rendah dari 1 (0,6) menunjukkan bahwa secara finansial usahatani tersebut tidak layak untuk pengembangan pertanian di DAS Gumbasa. Basit (1996) dan Marwah (2000) menyatakan bahwa usahatani palawija pada lahan kering tidak dapat mencukupi batas kebutuhan hidup layak bagi keluarga petani. Harga produksi palawija yang rendah tidak dapat memberikan dukungan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak bagi petani.

5.5. Simulasi Model Penggunaan Lahan

Simulasi model penggunaan lahan pada skenario 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 di dasarkan atas data yang didapatkan dari perancangan sub model evaluasi lahan, sub model erosi tanah, dan sub model pendapatan usahatani.

5.5.1. Simulasi Menurut Skenario 1

Simulasi model penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian lahan kering berkelanjutan yang ditinjau berdasarkan kriteria indeks lahan, erosi tanah, dan pendapatan usahatani pada skenario 1 (penggunaan lahan aktual) menunjukkan hasil sebagai berikut:

Simulasi Indeks Lahan. Hasil simulasi indeks lahan (Tabel 23) pada skenario 1 menunjukkan bahwa unit lahan 5, 7, 8, 10, 11, dan 22 berada pada nilai kisaran di bawah indeks lahan 25, sedangkan pada unit lahan 3, 6, 9, 12, 14, 16, 17, dan 18 berada pada kisaran nilai indeks lahan di atas 25. Hal tersebut menyatakan bahwa unit lahan 5, 7, 8, 10, 11, dan 22 berada pada kelas kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) untuk areal budidaya kakao dengan pola pengelolaan pertanian tradisional, sedangkan unit lahan 3, 6, 9, 14, 16, 17, dan 18 tergolong kelas kesesuaian lahan Sesuai Marjinal (S3).

(31)

Pembatas utama berupa sifat fisik tanah (kedalaman salum) dan kesuburan tanah (bahan organik tanah) menyebabkan unit lahan 5, 7, 8, 10, 11, dan 22 tergolong atas kelas kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N).

Berdasarkan hasil simulasi indeks lahan pada skenario 1 maka luas lahan yang berada pada kelas kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) penggunaannya untuk areal pertanian lahan kering adalah 2.179,15 ha atau 23,5 % dari luas keseluruhan lahan yang telah direncanakan untuk pengembangan lahan pertanian, sedangkan lahan yang sesuai penggunaannya sebagai areal pertanian sebesar 7.088 ha atau 76,5 %.

Penerapan teknologi konservasi tanah dengan menggunakan seresah sedang (setara 3 ton ha-1) pada areal budidaya kakao pada pola pengelolaan pertanian tradisional pada hakekatnya telah sesuai untuk di terapkan pada lahan yang mempunyai kelerengan landai hingga berbukit. Hal tersebut diindikasikan oleh perubahan indeks lahan yang relatif rendah selama periode simulasi tahun 2005 hingga 2020 pada lahan telah digunakan untuk budidaya kakao.

Pemanfaatan seresah kakao sebagai mulsa penutup tanah dalam ukuran sedang dapat mengendalikan laju erosi tanah pada lahan-lahan yang pada kondisi aktual telah digunakan untuk budidaya kakao pola pengelolaan pertanian tradisional, sebaliknya pada lahan-lahan berlereng curam (unit lahan 7, 10, dan 11) maka penerapan konservasi tanah dengan menggunakan seresah kakao dalam ukuran sedang sebagai mulsa penutup tanah relatif kurang efektif.

Unit lahan 12 berada pada kisaran nilai indeks lahan antara 25 dan 50 selama periode simulasi tahun 2005 hingga 2020, berdasarkan kondisi tersebut maka unit lahan 12 tergolong atas kelas kesesuaian lahan Sesuai Marjinal (S3) untuk penggunaan lahan palawija pola pengelolaan pertanian konservasi tanah dengan pola tanam tumpang gilir dan penggunaan mulsa.

Keberhasilan penerapan teknologi pola tanam tumpang gilir dan penggunaan mulsa untuk budidaya palawija pada unit lahan 12 dapat menekan laju erosi tanah sehingga hasil simulasi indeks lahan pada tahun simulasi 2005 – 2020 pada unit lahan 12 tidak menunjukkan menurunnya kelas kesesuaian lahan.

(32)

Tabel 23. Hasil simulasi indeks lahan menurut skenario 1 (Penggunaan lahan aktual)

Indeks Lahan pada Unit Lahan Unit Lahan 3 5 6 7 8 9 10 11 12 14 16 17 18 22 2005 28,19 24,59 28,21 9,30 17,36 29,00 11,93 15,53 43,71 27,49 37,83 41,14 41,55 19,20 2006 28,13 24,53 28,08 9,04 17,29 28,71 11,73 14,34 43,71 27,38 37,72 41,10 41,46 19,07 2007 28,07 24,46 27,95 8,77 17,21 28,42 11,51 13,44 43,71 27,28 37,61 41,05 41,37 18,94 2008 28,00 24,39 27,78 8,51 17,14 28,13 11,26 12,78 43,71 27,17 37,50 41,01 41,27 18,81 2009 27,94 24,32 27,61 8,24 17,07 27,84 11,00 11,99 43,71 27,06 37,39 40,97 41,18 18,68 2010 27,88 24,25 27,43 7,97 17,00 27,55 10,74 11,19 43,71 26,96 37,28 40,92 41,09 18,56 2011 27,82 24,18 27,26 7,71 16,93 27,27 10,48 10,40 43,71 26,85 37,17 40,88 41,00 18,48 2012 27,75 24,11 27,08 7,40 16,86 26,98 10,23 9,43 43,71 26,75 37,06 40,83 40,91 18,30 2013 27,69 24,04 26,91 7,07 16,79 26,69 9,97 7,57 43,71 26,64 36,95 40,79 40,81 18,17 2014 27,63 23,98 26,73 6,70 16,71 26,40 9,71 5,61 43,71 26,53 36,84 40,75 40,72 18,04 2015 27,57 23,91 26,56 5,97 16,64 26,11 9,45 3,83 43,71 26,40 36,73 40,70 40,63 17,91 2016 27,50 23,84 26,38 5,24 16,57 25,82 9,20 2,15 43,71 26,28 36,62 40,66 40,54 17,78 2017 27,44 23,77 26,20 4,58 16,50 25,60 8,88 0,83 43,71 26,15 36,48 40,62 40,45 17,66 2018 27,38 23,70 26,03 3,98 16,43 25,45 8,56 0,03 43,71 26,02 36,31 40,57 40,36 17,53 2019 27,32 23,63 25,85 3,39 16,36 25,31 8,23 0 43,65 25,90 36,15 40,53 40,24 17,40 2020 27,26 23,56 25,68 2,79 16,29 25,16 7,62 0 43,65 25,77 35,98 40,49 40,11 17,28

(33)

Simulasi Erosi Tanah. Hasil simulasi menurut skenario 1 (Tabel 24) menunjukkan bahwa laju erosi tanah pada unit lahan 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,12, 14, 16, 18, dan 22 lebih tinggi dari erosi tanah yang dapat ditoleransi, sedangkan unit lahan 17 menunjukkan laju erosi tanah yang lebih rendah dari laju erosi tanah yang dapat ditoleransi. Luas lahan yang dapat memenuhi kriteria laju erosi tanah yang masih berada di bawah laju erosi yang dapat ditoleransi mencapai 1.780,9 ha (unit lahan 17) atau 19,2 % dari luas lahan total yang telah digunakan untuk pengembangan pertanian.

Penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian lahan kering yang didominasi oleh lahan untuk budidaya kakao dengan pola pengelolaan pertanian tradisional dengan memanfaatan seresah kakao sebagai mulsa dalam ukuran sedang (setara 3 ton ha-1) pada unit lahan 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 14, 16, 18, dan 22 tidak dapat menekan laju erosi tanah hingga berada di bawah laju erosi yang dapat ditoleransi (TSL). Demikian pula dengan penggunaan lahan untuk budidaya palawija dengan pola tanam tumpang gilir antara jagung kacang tanah, dan ubikayu pada unit lahan 12 menunjukkan kondisi erosi tanah yang masih lebih tinggi dari batas TSL, walaupun lahan tersebut tergolong atas lahan yang memiliki kelerengan landai.

Secara umum jumlah erosi tanah yang terjadi di daerah penelitian menurut skenario 1 menunjukkan bahwa total laju erosi tanah (1.509.608,45 ton tahun-1) yang lebih tinggi dari dari erosi tanah yang dapat ditoleransi (346.462,32 ton tahun-1). Perbedaan laju erosi tanah jauh lebih tinggi dari erosi tanah yang dapat ditoleransi pada hasil simulasi menurut skenario 1 menunjukkan bahwa pengelolaan pertanian lahan kering di daerah penelitian memerlukan tindakan konservasi tanah yang lebih baik sehingga dapat mengendalikan laju erosi tanah hingga lebih rendah dari laju erosi tanah yang masih dapat ditoleransi (TSL). Kurnia (1996) menyatakan bahwa penggunaan mulsa sebagai penutup tanah untuk melindungi permukaan tanah terhadap pukulan air hujan cukup efektif dalam menurunkan erosi tanah. Pemanfaatan mulsa jerami menyebabkan laju erosi tanah turun hingga 86 % dan produksi tanaman meningkat 47,5 % pada lahan yang ditanami jagung.

Gambar

Gambar 10.   Gambaran tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh                 pada  penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian                 berkelanjutan Di DAS Gumbasa
Tabel 10.  Skenario model penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian                Berkelanjutan di DAS Gumbasa
Gambar  11.   Analisis neraca air tanah untuk  budidaya tanaman kakao.
Gambar  11 menunjukkan bahwa walaupun curah hujan  di daerah penelitian  tergolong rendah (berkisar 1200 mm tahun -1 ) dengan intensitas terendah pada  bulan Pebruari, akan tetapi sepanjang tahun pada areal budidaya kakao tersebut  tidak mengalami cekaman
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, dalam penelitian ini diharapkan dapat terbentuk suatu model yang menggambarkan keterkaitan waktu dan lokasi dengan menggunakan bobot lokasi invers

Pada pembelajaran kooperatif tipe NHT aktifitas belajar lebih banyak berpusat pada siswa, dalam proses diskusi dan kerja kelompok guru hanya berfungsi sebagai fasilitator

Setelah diterapkan model ini pada materi kalor X di kelas eksperimen dan kelas kontrol, menunjukkan hasil bahwa: (1) kemampuan berpikir analitis siswa kelas eksperimen

Dalam pembahasan ini akan dilakukan pembagian cluster daerah pendistribusian BBM berdasarkan lokasi dan permintaan BBM pada depot tujuan, juga mencari rute terpendek

Struktur mikro baja mangan hasil perlakuan panas tersebut bermatriks austenit dan terbebas dari karbida, setelah mengalami proses step heating pada temperatur 575 o C dan 1050

Sistem perpipaan harus mempunyai fleksibilitas yang cukup, agar pada saat terjadi ekspansi termal dan kontraksi, pergerakan dari penyangga dan titik persambungan pada system

Namun, dalam penetapan pembagian nisbah bagi hasil, tidak ada kesepakatan antara Nasabah (shahibul maal) dengan BMT (mudharib). Beberapa metode penghitungan

Unit Kearsipan adalah Unit Kerja pada Pencipta Arsip di Unit Organisasi di lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang mempunyai tugas dan tanggung