• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGATURAN PENARIKAN GARIS PANGKAL LURUS KEPULAUAN (GPLK) MENURUT UNCLOS III 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGATURAN PENARIKAN GARIS PANGKAL LURUS KEPULAUAN (GPLK) MENURUT UNCLOS III 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA."

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

PENGATURAN PENARIKAN GARIS PANGKAL LURUS KEPULAUAN (GPLK) MENURUT UNCLOS III 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI

INDONESIA.

Mochammad Irfan1, Dwi Astuti Palupi1, Narzif2 1

Ilmu Hukum Department, Faculty of Law Bung Hatta University 2

Ilmu Hukum Department, Faculty of Law Andalas University Email : moch.irfan1993@gmail.com

ABSTRACT

Archipelagic straight baseline is connecting the outermost points of the islands and the outer islands of dry coral, provided that within such baseline include the major islands and an area where the comparison between the territorial waters and inland areas, including atolls, is between one to one and nine to one. 1) How the withdrawal arrangements straight archipelagic baselines according to UNCLOS III 1982? 2) How the implementation of the withdrawal of straight baselines island in Indonesia ?. This research method in various normative legal research with data collection namely through library to obtain secondary data. Based on all the data obtained from the results of research are secondary data compiled and analyzed with descriptive methods or describe the events. Based on studies carried out documents found that : 1) The withdrawal arrangements straight archipelagic baselines according to UNCLOS III 1982 which is an island nation can draw straight archipelagic baselines connecting the outermost points of the island and the outer islands of dry coral, provided that within such baselines including the major islands and an area where a comparison between the territorial waters and inland areas, including atolls, is between one to one and nine to one, 2) Indonesia implements the withdrawal of straight archipelagic baselines by fatifying UNCLOS III in 1982 by Law No. 17 of 1985 on the ratification of UNCLOS III 1982.

Key Word: Archipelagic Straight Baseline, UNCLOS III 1982

Pendahuluan

Garis pangkal lurus pertama kali ditetapkan sebagai garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial suatu negara adalah berdasarkan putusan Mahkamah Internasional tahun 1951, dalam penyelesaian sengketa perikanan antara Inggris dan Norwegia, yang dikenal dengan

sebutan Anglo-Norwegian Fisheries Case. Penyebab timbulnya sengketa perikanan antara Inggris dan Norwegia yang melakukan penangkapan ikan diperairan Norwegia. Awal persengketaan ketika pada tahun 1935, Norwegia melakukan tindakan sepihak dalam menetapkan batas-batas wilayah perikanannya yang dinyatakan tertutup

(4)

untuk nelayan asing yaitu dengan cara menarik garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada gugusan pulau di muka pantai Norwegia.

Akibat dari tindakan Norwegia ini, maka perairan yang berada di antara gugusan-gugusan pulau di muka pantai Norwegia dianggap sebagai bagian dari perairan Norwegia. Wilayah Negara Inggris yang berada di depan gugusan pantai Norwegia tersebut, tidak menerima tindakan Norwegia dalam penggunaan garis pangkal lurus di depan gugusan pulaunya, oleh karena itu Inggris mengajukan protes dan menuntut Norwegia ke Mahkamah Internasional. Dalam keputusan Mahkamah Internasional menyebutkan bahwa tindakan Norwegia dengan penggunaan garis pangkal lurus pada gugusan pulau-pulaunya dibenarkan oleh Mahkamah Internasional dengan alasan bahwa tindakan Norwegia merupakan penerapan hukum internasional yang berlaku umum pada keadaan khusus. Dari kasus-kasus yang terjadi semacam kasus “Anglo -Norwegian Fisheries case” itulah

hukum laut menjadi amat penting dalam menentukan batas wilayah serta hak-hak negara pantai dalam memanfaatkan fungsi wilayah lautnya.

Sebelum tahun 1957 sesuai dengan Territoriale Zee en Martieme Kringen Ordonantie (TMZKO) tahun 1939 No. 442, lebar laut wilayah Indonesia adalah 3 mil diukur dari garis air rendah di pantai masing-masing pulau Indonesia.

Aturan tersebut dirasa kurang sesuai dengan kepentingan dan keselamatan NKRI, dengan adanya kebebasan menangkap ikan di laut lepas sekitar pulau-pulau di Indonesia, nelayan-nelayan asing akan menangkap ikan dengan bebas. Nelayan-nelayan Indonesia akan disaingi oleh nelayan-nelayan asing, apalagi apabila nelayan asing tersebut akan menangkap ikan menggunakan peralatan yang lebih di banding nelayan Indonesia.

Dengan berbagai macam kerugian yang dirasakan oleh Negara Indonesia akibat berlakunya aturan hukum laut peninggalan Belanda tersebut, maka dengan berbagai

(5)

pertimbangan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia, maka pada tanggal 13 desember 1957 dideklarasikan sebuah pengumuman Pemerintah Indonesia mengenai wilayah Perairan Indonesia yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda. Isi Deklarasi Djuanda:

“Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau yang termasuk daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan NKRI dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada dibawah kedaulatan mutlak NKRI. Lalu lintas damai di perairan ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan NKRI. Penentuan batas laut Teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau NKRI akan ditentukan dengan Undang-Undang”.

Terdapat beberapa Garis Pangkal (Baseline) sebagai berikut:

1. Garis Pangkal Biasa “Low Water Mark” (Normal Baseline)

2. Garis Pangkal Lurus (Straight Baseline) Point To Point

3. Garis Pangkal Kepulauan (Straight Archipelagic Baselines) Point to point

Konsep negara kepulauan diterima oleh masyarakat internasional dan dimasukan kedalam UNCLOS III tahun 1982, utamanya pada Pasal 46. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa,”Negara Kepulauan berarti suatau Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauaan dan dapat mencakup pulau-pulau lain”. Kepulauan berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian. Sedangkan dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia disebutkan bahwa. ”Negara

(6)

kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain”.

“Wilayah perairan” terdiri dari wilayah darat dan wilayah perairan. Wilayah perairan biasa juga disebut “Laut wilayah” atau “Laut territorial” yang dimaksud dengan “Wilayah perairan” adalah kedaulatan negara tertentu atas bagian tertentu dari laut.

Bab IV UNCLOS III 1982 dimulai dengan penggunaan istilah negara kepulauan (archipelagic state). Pada Pasal 46 butir (a) disebutkan bahwa,”Negara kepulauan adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain (Pasal 46 butir (a). Maksud dari pasal tersebut adalah, secara yuridis, pengertian negara kepulauan akan berbeda artinya dengan definisi negara yang secara geografis wilayahnya berbentuk kepulauan). Hal ini dikarenakan, dalam Pasal 46 butir (b) disebutkan bahwa kepulauan adalah suatu gugusan pulau-pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya

satu sama lainya demikian erat sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainya itu merupakan suatu kesatuan geografis, ekonomi dan politik yang hakiki atau secara historis dianggap sebagai demikian, dengan kata lain, Pasal 46 ini membedakan pengertian yuridis antara negara kepulauan (archipelagic state) dengan kepulauan (archipelago) itu sendiri.

Perbedaan ini menimbulkan konsekuensi bahwa penarikan garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline) tidak bisa dilakukan oleh semua negara yang mengatasnamakan dirinya sebagai negara kepulauan. Hal ini dikarenakan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi bila ingin melakukan penarikan garis pangkal lurus kepulauan yaitu, satu kesatuan geografis, ekonomi, politik, dan historis.

Indonesia terletak di antara 60LU - 110LS dan 950 BT - 1410 BT, antara lautan Pasifik dan Lautan Hindi, antara benua Asia dan benua Australia, dan pada pertemuan kedua rangkaian pergunungan, yaitu Sirkum Pasifik dan Sirkum Mediterranean.

(7)

Dilihat dari lintangnya, Indonesia terletak diantara 6oLU (Lintang Utara) dan 11o LS (Lintang Selatan). Letak lintang yang sedemikian itu merupakan petunjuk bahwa :

1. Sempadan bagian utara wilayah Indonesia ialah 60 LU dan paling selatan ialah 110LS. Tempat paling utara ialah Pulau We dan tempat yang palng selatan ialah Pulau Roti).

2. Jarak lintangnya ialah 17o.

3. Sebagian besar wilayah Indonesia terletak di belahan bumi selatan. 4. Wilayah Indonesia dilalui oleh

garis khatulistiwa

Dilihat dari letak garis bujurnya, wilayah Indonesia terletak diantara 95o BT dan 141oBT. Ini berarti :

1. Batas paling barat wilayah Indonesia ialah 95o BT dan paling timur ialah 141oBT.

2. Jarak bujurnya ialah 46o (sekitar 5000 km, atau hamper 1/8 keliling bumi). Perbedaan garis bujur sedemikian itu menyebabkan adanya perbedaan waktu.

3. Semua wilayah Indonesia terletak dibelahan bumi timur (dihitung dari meridian 0o).

Indonesia secara geografis terletak diantara dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia serta Indonesia juga terletak diantara dua Samudra yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Letak Indonesia bias dibilang sangat startegis secara geografis.

Rumusan masalah yang akan diteliti dalam artikel ini adalah Bagaimanakah Pengaturan Penarikan Garis Pangkal Lurus Kepulauan (GPLK) Menurut UNCLOS III 1982 ?, Bagaimana implementasi Penarikan Garis Pangkal Lurus Kepulauan (GPLK) di Indonesia ?.

Tujuan penelitian pengaturan penarikan garis pangkal lurus kepulauan (GPLK) menurut UNCLOS III 1982 dan implementasinya di Indonesia ialah:

1. Untuk mengetahui pengaturan penarikan garis pangkal lurus kepulauan (GPLK) menurut UNCLOS III 1982.

(8)

2. Untuk mengetahui bagaimana implementasi Penarikan Garis Pangkal Lurus Kepulauan (GPLK) di Indonesia

Metodologi

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum normatif, yakni penelitian terhadap asas-asas hukum, aturan-aturan hukum yang ada untuk mendapatkan informasi tentang Penarikan Garis Pangkal Lurus menurut UNCLOS III 1982.

Metode pengumpulan data yang penulis lakukan ialah melalui studi kepustakaan (library research) untuk mendapatkan data sekunder. Data yang penulis peroleh yaitu :

Data sekunder, yakni data yang diperoleh melalui bahan-bahan hukum yang mengikat seperti konvensi, rancangan undang-undang, hasil penelitian, karya dari kalangan umum dan sebagainya,yang didapat di perpustakaan berikut :

1. Perpustakaan Universitas Bunghatta Padang Kampus I 2. Perpustakaan Universitas Andalas

Padang (UNAND)

Penulis akan menganalisis data yang diperoleh dari data sekunder selanjutnya penulis mengajukan secara deskriptif atau menggambarkan kejadian-kejadian tersebut.

Analisis data yang digunakan adalah Analisis Kualitatif, yaitu berupa uraian terhadap data yang terkumpul dengan tidak menggunakan angka, tetapi berdasarkan peraturan perundang-undangan, pandangan para pakar hukum laut, literatur hukum, perjanjian internasional/konvensi hukum laut, dan sebagainya.

Hasil dan pembahasan

Konvensi Jenewa 1958 terdapat empat buah konvensi telah dihasilkan dari serangkaian pertemuan di Jenewa yaitu:

1. The Genewa Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone (mengenai laut territorial dan jalur tambahan)

2. The Genewa Convention on the High Seas (tentang laut bebas) 3. The Genewa Convention on

Fishing and Conservation of Living Resources of the High Seas

(9)

(tentang perikanan dan konservasi sumber daya alam hayati di laut) 4. The Genewa Convention on the

Continental Shelf (mengenai Landas Kontinen)

Konvensi Hukum Laut 1958 ini merupakan hasil Konferensi hukum Laut yang diselenggarakan oleh PBB yang I, yang diadakan pada 24 februari hingga 27 april 1958, dihadiri oleh 86 negara. Sebagai sebuah sumber hukum, maka konvensi ini adalah bagian dari perjanjian internasional yang mengikat bagi para pihak yang telah menyatakan tunduk terhadapnya.

Walaupun PBB telah berhasil melaksanakan konferensi dengan adanya empat konvensi diatas, tetapi masalah pokok yang selalu muncul dalam masyarakat internasional mengenai kelautan yaitu mengenai kelautan yaitu mengenai lebar laut territorial, masih belum mendapatkan kesepakatan dalam konferensi tersebut. Demikian juga ketika PBB kembali mengadakan konferensi untuk pembahasan lebar laut territorial pada tahun 1960 juga mencapai kegagalan

dalam menetapkan lebar laut territorial.

Usaha untuk menetapkan lebar laut territorial dan pengkodifikasian hukum laut internasional yang sesuai dengan perkembangan masyarakat internasional mulai diusahakan oleh masyarakat internasional. Diawali usulan dari Duta Besar Malta di PBB, DR. Arvid Padro yang mengemukakan bahwa kekayaan alam di luar batas yurisdiksi nasional dinyatakan sebagai “Common Heritage of Mankind” dan supaya kekayaan alam tersebut dioleh untuk kepentingan seluruh umat

manusia. PBB kemudian

mengeluarkan Resolusi untuk pembentukan panitia yang akan mengkaji masalah kekayaan alam di dasar laut ini ( Committee on the Peacefull Uses of the seabed and Ocean Floor Beyond the limit of national jurisdiction, yang di singkat dengan United Seabed committee, beranggotakan 42 negara). Pada tahun

1970 majelis umum PBB

mengeluarkan Resolusi No. 270 (XXV) untuk mengadakan konferensi internasional tentang hukum laut dan menetapkan Unseabed Committee

(10)

mempersiapkannya. Pelaksanaan konferensi yang dilakukan berhasil membentuk kodifikasi hokum laut internasional pada tahun 1982 yang diberi nama, “The United Nations Convention On the Law of The Sea” /UNCLOS 1982 atau konvensi hukum laut 1982/KHL 1982

Selanjutnya pengaturan tentang lebar laut territorial (berapa mil lebar laut teritorial suatu Negara jawaban masalah ini ada pada Pasal 3 Bab II UNCLOS III 1982), sedangkan cara penarikan garis pangkal dalam bab IV UNCLOS III 1982 hanya untuk garis pangkal lurus kepulauan. Hal ini berbeda dalam Bab II dimana dikenal 4 cara penarikan garis pangkal yaitu: 1. Garis pangkal normal, yaitu garis

pangkal berdasarkan garis air rendah terendah (low water line). 2. Garis pangkal. Yaitu garis pangkal

yang dipergunakan untuk menutup muara sungai.

3. Garis penutup, yaitu garis pangkal yang dipergunakan untuk menutup mulut teluk.

Ketiga jenis garis pangkal ini merupakan norma hukum yang paling tua karena dipergunakan oleh suatu

Negara untuk klaim daratan negaranya.

Garis pangkal lurus yaitu penarikan garis pangkal bagi negara pantai (coastal state), dengan norma-norma tertentu, antara lain untuk menghubungkan pulau atau karang-karang terluar suatu negara.

Sedangkan yang dimaksud dengan Garis Pangkal Lurus kepulauan (dalam Pasal 47 bab IV), penarikan garis pangkal bagi Negara Kepulauan (archipelagic state), yang pada prinsipnya hampir sama dengan penarikan garis pangkal lurus.

Jika diteliti tentang latar belakang UNCLOS III 1982, mengatur cara penarikan garis pangkal dalam 5 cara yang berbeda adalah untuk mengakomodasikan suatu bentuk konfigurasi geografis yang berbeda-beda dan unik di suatu tempat, sehingga suatu negara dengan bentuk geografis tertentu dapat mempergunakan suatu cara penarikan garis pangkal sesuai yang ada di UNCLOS III 1982. Hal ini untuk menjawab pertanyaan apakah suatu

negara kepulauan cukup

(11)

pangkal lurus kepulauan”, bagaimana jika Negara kepulauan tersebut mempunyai teluk, mulut sungai, deep indentation, pantai yang tidak stabil dan bentuk pantai yang cembung. Semua ini dapat diselesaikan jika selain mempergunakan garis pangkal lurus kepulauan, negara kepulauan tersebut mempergunakan juga cara penarikan garis pangkal lainnya.

Pertumbuhan penarikan garis pangkal diawali dengan klaim terhadap daratan (manusia menginginkan wilayah daratan yang lebih yaitu ke laut dengan tujuan pertahanan dan keamanan, komunikasi dan sumber daya alam). Untuk itu dipakai suatu cara yang disebut normal base line untuk mengukur lebar laut teritorialnya sejauh 3 mil, kemudian berkembang penutupan terhadap sungai (straight line) dan penutupan terhadap teluk (closing line). Ketiga cara penarikan garis pangkal untuk klaim daratan.

UNCLOS III 1982

memperkenalkan cara penarikan garis pangkal kepulauan yaitu dengan garis pangkal lurus kepulauan. Perbedaan prinsip dengan garis pangkal lurus adalah garis pangkal lurus kepulauan

hanya dapat dipergunakan oleh Negara kepulauan yang mempunyai perbandingan 1 : 1 atau 1 : 9 antara wilayah daratan dan lautnya. Garis pangkal lurus dapat ditarik sejauh 100 mil atau dengan perbandingan 3% dengan garis pangkalnya dapat ditarik sejauh 125 Mil, sedangkan garis pangkal lurus tidak ada ketentuan tentang panjang garis pangkalnya, perairan yang ditutup oleh garis pangkal lurus kepulauan menjadi perairan kepulauan (archipelagic waters) sedangkan perairan yang ditutup oleh garis pangkal lurus menjadi perairan pedalaman (internal waters).

Pengumuman pemerintah tersebut mengandung unsur-unsur dasar yang mengubah ketentuan-ketentuan tentang perairan Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 ayat 1 dari Teritoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939, yaitu:

1. Lebar laut territorial Indonesia menjadi 12 mil;

2. Lebar laut territorial tersebut diukur dari garis-garis pangkal lurus yang menghubungkan

(12)

titik-titik terluar dari pulau-pulau Indonesia yang terluar; dan

3. Lalu lintas laut damai bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan Indonesia.

Sebagai dasar pertimbangan yang mendorong pemerintah Republik Indonesia untuk mengeluarkan Pengumuman Pemerintah tersebut, antara lain disebutkan bahwa:

1. Bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri yang memerlukan pengaturan tersendiri;

2. Bagi kesatuan wilayah (teritorial) Negara Republik Indonesia semua kepulauan serta laut yang terletak diantaranya harus dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat; 3. Penetapan batas-batas laut

territorial yang diwarisi dari pemerintah kolonial sebagaimana termaktub dalam Teritoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939 Pasal 1 ayat (1) tidak sesuai

dengan kepentingan keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia;

4. Setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandangnya perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia juga menyebutkan tentang Penarikan Garis Pangkal Kepulauan dalam Pasal 5, sebagai berikut:

1. Garis Pangkal kepulauan Indonesia diterik dengan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan.

2. Dalam hal garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat digunakan, maka digunakan garis pangkal biasa atau garis pangkal lurus.

3. Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau

(13)

dan karang-karang kering terluar dari kepulauan Indonesia.

4. Panjang garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah keseluruhan garis-garis pangkal yang mengelilingi kepulauan Indonesia dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga suatu kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut.

5. Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh ditarik dari dank e elevasi surut, kecuali apabila diatasnya telah dibangun mercu suar atau instalasi serupa yang secara permanen berada diatas permukaan laut atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut territorial dari pulau yang terdekat.

6. Garis pangkal biasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis air rendah sepanjang pantai.

7. Garis pangkal lurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis pantai yang menjorok jauh dan menikung ke daratan atau deretan pulau yang terdapat di dekat sepanjang pantai.

Adapun selanjutnya Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia yang mengatur tentang laut dan perairan dan segala yang ada di dalam wilayah Indonesia, yang terdiri dari:

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia, dalam salah satu pasalnya yaitu Pasal 2 berbunyi:

1. Semua kapal asing dapat melaksanakan hak Lintas Damai melalui Laut Teritorial dan Perairan Kepulauan untuk keperluan melintas dari satu bagian laut bebas atau zona ekonomi eksklusif ke bagian lain laut bebas atau zona ekonomi eksklusif tanpa memasuki Perairan Pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di

(14)

tengah laut, atau fasilitas pelabuhan si luar Perairan Pedalaman untuk keperluan melintas dari laut bebas atau zona ekonomi eksklusif untuk berlalu kea tau dari Perairan Pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut, atau fasilitas pelabuhan di luar Periaran Pedalaman.

2. Pelaksanakan hak Lintas damai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan menggunakan Alur Laut yang lazim digunakan untuk pelayaran internasional dan dengan mengindahkan Pasal 11 serta memperhatikan pedoman pelayaran yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di bidang keselamatan pelayaran.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing Dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan Yang Ditetapkan, dalam salah satu pasalnya yaitu Pasal 1 yang berbunyi:

1. Alur laut kepulauan adalah alur laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 8 Undang-undang yang ditetapkan sebagai alur untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan.

2. undang adalah Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang perairan Indonesia.

3. Hak Lintas alur laut Kepulauan adalah hak kapal dan pesawat udara asing untuk melakukan lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang.

4. Hak Lintas damai adalah hak kapal asing untuk melakukan lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang.

5. Laut Territorial adalah laut territorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang.

6. Perairan Kepulauan adalah perairan kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-undang.

7. Konvensi adalah konvensi sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 9 Undang-undang.

(15)

Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2002 tentang daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia dalam Bab II Pasal 3 menyebutkan:

1. Diantara pulau-pulau terluar, dan karang kering terluar kepulauan Indonesia, garis pangkal untuk mengukur lebar laut territorial adalah Garis Pangkal Lurus Kepulauan.

2. Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada Garis Air Rendah pada titik terluar pulau terluar, dan karang kering terluar yang satu dengan titik terluar pada Garis Air Rendah pada titik terluar, karang kering terluar lainnya yang berdampingan. 3. Panjang Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (2) tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga pe seratus) dari jumlah keseluruhan Garis Pangkal Lurus Kepulauan dapat melebihi kepanjangan

tersebut, hingga maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut. 4. Penarikan Garis Pangkal Lurus

Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan tidak terlalu jauh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan.

5. Penarikan Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaiamana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilakukan dengan memanfaatkan titik-titik terluar pada Garis Air Rendah pada setiap elevasi surut yang di atasnya terdapat suar atau instalasi serupa yang secara permanaen berada di atas permukaan air atau elevasi surut yang sebagian atau seluruhnya terletak pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut territorial dari Garis Air Rendah pulau terdekat. 6. Perairan yang terletak pada sisi

dalam Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Perairan Kepulauan dan perairan yang terletak pada sisi luar Garis Pangkal Lurus Kepulauan tersebut adalah Laut Teritorial.

(16)

Luasnya kawasan perbatasan Indonesia sudah seharusnya mencerminkan sebuah kebijakan pengelolaan perbatasan yang efektif dan dapat dipertanggungjawabkan serta transparan baik berdasarkan aspek sosial-ekonomi maupun aspek keamanan. Secara kasat mata yang terjadi adalah meningkatnya tindakan kejahatan di perbatasan (border crime) seperti penyelundupan kayu (Ilegal logging), barang, dan obat-obatan terlarang, perdagangan manusia (human trafficking), terorisme, serta masuknya ideologi asing yang sedikit banyak memberikan dampak dan mengganggu kedaulatan serta stabilitas keamanan di perbatasan negara. Selama ini, kawasan perbatasan Indonesia hanya dianggap sebagai garis pertahanan terluar negara, padahal seharusnya harus dijadikan sebagai halaman depan bagi negara ini. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan dalam mengelola

perbatasan tidak hanya

mengedepankan pada pendekatan keamanan (security approach) semata, tetapi juga menggunakan pendekatan kesejahteraan (prosperity) dan

keamanan secara berdampingan pada

pengembangan wilayah

perbatasannyaseperti yang di lakukan di beberapa negara tetangga

Kesimpulan

Pengaturan garis pangkal lurus kepulauan di atur dalam UNCLOS III 1982 Bab IV Pasal 47 tentang garis pangkal lurus kepulauan (Archipelagic Baselines).

Implementasi garis pangkal lurus kepulauan (GPLK) Indonesia dapat ditemukan dalam Undang-undang No.6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia. Wilayah Perairan atau Perairan Teritorial (Territorial Waters) Indonesia meliputi Laut Teritorial (Territorial Sea), Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters), dan Perairan Pedalaman (Inland Waters) (Pasal 1 butir 4 dan Pasal 3 ayat (1)). Sedangkan Perairan Pedalaman (Inland Sea) terdiri atas Laut Pedalaman (Inland Sea) dan Perairan Darat (Inland Waters) (Pasal 7 ayat (7). Serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 tentang daftar koordinat

(17)

geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia.

Ucapan Terima Kasih

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Narzif, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Dwi Astuti Palupi, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II dimana dalam penulisan skripsi ini telah banyak meluangkan waktu, membantu, dan memberikan nasehat maupun saran agar penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Serta ibu tercinta saya Yulisma dan kakak yang saya sayangi Norma Yunita, SE. , sahabat terdekat dan teman-teman BP 11 yang telah mendoakan dan memberi semangatnya kepada saya.

Daftar Pustaka

Atje Misbach Muhjiddin, Status Hukum Perairan Kepulauan Indonesia dan Hak Lintas Kapal Asing, Alumni, Bandung, Tahun 1993

Bambang Sunggono, Metodologi

Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2012

Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2000

Etty R. Agoes. Konvensi Hukum Laut 1982. Masalah Pengaturan Hak Lintas Kapal Asing. CV. Abardin. 1981.

Hasjim Djalal. Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut. Bandung : Binacipta. 1979 I Wayan Parthiana. Pengantar Hukum

Internasional. Bandung: Mandar Maju. 2003.

Kresno Buntoro, Permasalahan

Dalam Implementasi

Penarikan garis Pangkal Lurus Kepulauan, Dosen fakultas Hukum Universitas Indonesia Esa Unggul, 2005, Laden Marpaung. Tindak Pidana

Wilayah Perairan (Laut) Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. 1993

Magdariza dan Ferdi. Pengantar Hukum Laut. Andalas University Press. Padang 2012.

Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai Hukum Laut, Pusat Studi Wawasan Nusantara dan Perkembangan , Bandung, 1995

Moctar Kusumaatmadja, Wilayah Perairan Indonesia, dalam supra, no. 81

Soetandyo Wignjosoebroto dikutip oleh Bambang Sunggomo,

(18)

Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2012

Suryo Sakti Hadiwijoyo. 2009. Batas Wilayah Negara Indonesia Dimensi, Permasalahan, dan Strategi Penanganan Sebuah Tinjauan Empiris dan Yuridis. Yogyakarta : PT. Gava Media. Syafrinaldi, Hukum Laut Internasional, Edisi Revisi, UIR Press, Pekanbaru, 2009 Terjemahan United Nations

Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) III 1982. Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing Dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan Yang Ditetapkan.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia

KOPI-IRENG.com, Letak Indonesia secara geografis diantara dua benua, di akses pada website:

http://www.kopi- ireng.com/2014/08/letak-

indonesia-secara-geografis.html?m=1

Marcel Henrapati,SH, MH. Dampak Pemanasan Global Terhadap Gari Pangkal Kepulauan Indonesia (The Impact of

Global Warming to

Indonesian Archipelagic Baselines), diakses pada website:

repository.unhas.ac.id diakses pada 20 juni 2015.

Negara Hukum, Konsepsi Negara Kepulauan, diakses pada website:

http://www.negarahukum.com /hukum/konsepsi-negara-kepulauan.html, diakses tanggal 11 Februari 2015. Pengkajian.dpr.go.id, Potensi dan

masalah Pulau perbatasan kabupaten pulau morotai dan kabupaten pulau luar raja ampat, diakses pada website: https://pengkajian

.dpr.go.id/produk-ilmiah/index/cat/8/id/6, diakses tanggal 20 juni 2015. Pmkfhunpad.blogspot.com,

Perlindungan Pulau-Pulau Terluar di Indonesia Dalam Menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, diakses pada website: http://pmkfhunpad.blogspot.co

(19)

m/2011/10/perlindungan -

pulau-pulau-terluar-di.html?m=1 diakses tanggal 18 mei 2015

WilayahPerbatasan.com, Kedaulatan Indonesia Atas Pulau-Pulaunya, Secara Hukum, Tidak Tergantung Dari Letaknya Ataupun Besar-Kecilnya, diakses

pada website:

www.wilayahperbatasan.com/ pulau-pulau-terluar-dan-batas-batas-terluar-indonesia/. diakses tanggal 07 Desember 2014

Referensi

Dokumen terkait

(2) Surat Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada Wajib

Faktur dan laporan dapat didesain sesuai dengan keinginan dan kebutuhan perusahaan serta disertakan berbagai variabel data dan fungsi matematika yang

Hasil uji ini menunjukkan bahwa semakin besar kemudahan yang dirasakan oleh nasabah pengguna e- banking maka akan semakin besar penerimaan penggunaannya, pihak

Tabel 4.3 menampilkan hantaran molar larutan kompleks Co(II)-2- feniletilamin di dalam pelarut metanol yang diukur pada suhu ruangan.. Dengan membandingkan daya

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah “Untuk mendiskripsikan konstruksi Pesan Moral dalam Syair Lagu (Studi Hermeneutika Pada Lagu-lagu Album Manusia Setengah

Pemilihan khalifah tersebut dilaksanakan oleh para tokoh sahabat yang mewakili dua golongan yaitu Anshar dan Muhajiriin, Mereka ini uang kemudian oleh ulama fiqh diklaim sebagai

Perusahaan dengan pertumbuhan laba rendah akan semakin memperkuat hubungan antara debt to equity yang berpengaruh negatif dengan profitabilitas, karena