• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terjemahan Usul Fiqh Kitab Al Wajiz 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Terjemahan Usul Fiqh Kitab Al Wajiz 1"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

PENGANTAR PENULIS - TERJEMAH KITAB AL-WAJIZ FI USHUL

AL-FIQH (2 Habis)

Puji syukur hanya milik Allah, dzat penguasa alam semesta. Doa keselamatan selalu terlantun bagi junjungan Nabi besar Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya.

Para pakar hukum islam telah merumuskan sebuah ilmu yang tak ternilai harganya sepanjang sejarah umat manusia, ilmu itu adalah ilmu ushul fiqh, sebuah ilmu dengan rumusan yang jelas dan sistematis dari semua sudut pandang. Mereka mendedikasikan semua upaya untuk agama Islam melalui pemahaman Al Quran dan Sunnah, juga hukum yang dicetuskan dari keduanya dan dari sumber-sumber lain yang diakui.

Beberapa tahun sebelumnya, saya menulis beberapa coretan tentang ushul fiqh sebagai bahan mata kuliah mahasiswa semester empat di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Baghdad, kemudian saya kumpulkan coretan-coretan tersebut dalam sebuah kitab yang saya beri nama: Al Wajiz fi Ushul al Fiqh. Saya juga telah melakukan beberapa perbaikan yang saya anggap perlu dari cetakan sebelumnya, menambah contoh dan hal-hal yang harus dikurangi dan disepadankan. Pepatah mengatakan: ‘tidaklah seseorang menulis pada hari ini kecuali dia akan mendapati kekurangan dalam tulisannya keesokan hari’, karena hal itu merupakan salah satu bukti terjelas dari kekurangan dan kelemahan manusia dan hanya Allah satu-satunya dzat yang sempurna, tetapi banyak di antara manusia yang tidak menghiraukan.

Penambahan-penambahan tersebut seperti penambahan beberapa contoh dari kaidah bahasa untuk kaidah-kaidah ushul fiqh yang berhubungan dengan penjelasan nash, karena kaidah bahasa merupakan tolak ukur akan benar salahnya pemahaman, penjelasan dan maksud dari sebuah teks berbahasa arab, juga karena selama sebuah aturan tertulis dalam bahasa arab, maka sudah pasti alat yang digunakan untuk memahaminya adalah kaidah bahasa arab.

Akhir kata, saya berharap agar upaya saya yang sedikit ini dapat memberikan kemudahan bagi para pelajar dalam memahami ilmu usul fiqh sesuai kadar kebutuhan. Hanya kepada Allah saya meminta, agar taufiq-Nya selalu menyertai saya dan orang yang mempelajari ushul fiqh dalam menjalankan syariat dan menegakkan kalimat-Nya. Sesungguhnya Dia maha mendengar dan maha mengabulkan doa. Baghdad, 9 Syawal 1396 H/22 Oktober 1976

(2)

HUKUM DAN MACAM-MACAMNYA - Terjemah Kitab Al-Wajiz

fi Ushul al-Fiqh (3 Habis)

DEFINISI DAN PEMBAGIAN HUKUM

Mengetahui hukum syara’ adalah puncak tujuan dari ilmu fiqh dan ushul fiqh. Ushul fiqh berperan meletakkan kaidah dan metode pengantar hukum, sedangkan ilmu fiqh berperan melakukan pencetusan hukum dan menerapkan kaidah dan metode yang telah diletakkan ushul fiqh.

Menurut ulama ushul fiqh, hukum adalah: khithob Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf[1] berupa tuntutan (iqtidla’), pilihan (takhyir) atau ketetapan (positif/wadl’i).[2]

Yang dimaksud dengan khithob Allah adalah: firman Allah secara langsung yakni Al Quran, dan firman Allah melalui perantara yang semuanya merujuk pada firman Allah yang langsung itu, yakni sunah, ijma’, dan semua dalil yang diletakkan Allah untuk mengetahui hukum-Nya.

Sunah: sesuatu yang bersumber dari Rasulullah SAW yang termasuk dalam kategori hukum syara’. Sunah merujuk pada firman Allah karena merupakan penjelas dari firman Allah itu. Sunah adalah wahyu Allah, Allah berfirman, “Dan dia (Muhammad) tidak berbicara dari hawa nafsunya, perkataannya tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3).

Ijma’ harus memiliki dalil dari Al Quran atau sunah. Dengan ini maka jelaslah bahwa ijma’ merujuk pada firman Allah.

Demikian pula dalil-dalil syara’ yang lain, semuanya berperan menyingkap khithob Allah dan mencetuskan hukum syara’, bukan meletakkan hukum.

Penjelasan:

Iqtidla’: Tuntutan, baik tuntutan untuk melakukan atau tuntutan untuk meninggalkan. Macam-macam tuntutan itu baik berdasarkan keharusan (ilzam) atau memilih yang paling unggul (tarjih).

Takhyir: menyamakan antara melakukan atau meninggalkan, tidak mengunggulkan salah satunya dan membolehkan keduanya untuk dilakukan oleh mukallaf.

(3)

Wadl’: menjadikan sesuatu sebagai sebab (sabab), syarat (syarth) atau penghalang (mani’) bagi sesuatu yang lain.[3]

Maka ayat “Wahai orang-orang yang beriman, tepatilah janjimu” (Al-Maidah: 1) adalah hukum syara’, karena merupakan khithab Allah yang berhubungan dengan salah satu perbuatan mukallaf, yakni tuntutan untuk menepati janji.

Ayat “Dan janganlah kamu mendekati zina, karena zina adalah perbuatan keji dan seburuk-buruknya jalan” (Al-Isra’: 32) adalah hukum syara’ karena merupakan khithab Allah yang berupa tuntutan untuk meninggalkan perbuatan zina.

Ayat “Jika kamu sudah melakukan tahallul, maka berburulah…” (Al-Maidah: 2) adalah hukum syara’ karena merupakan khithab Allah yang berupa kebolehan berburu binatang setelah bertahallul dari ihram.

Ayat “Jika shalat (jum’at) sudah dilaksanakan, maka menyebarlah kamu di muka bumi…” (Al-Jumu’ah: 10) adalah hukum syara’, karena merupakan khithab Allah yang berupa kebolehan melakukan aktifitas setelah selesai melaksanakan shalat jum’at.

Ayat “Dan bagi Allah (wajib) atas manusia berhaji ke baitullah, yakni orang-orang yang mempu menempuh perjalanan (ke baitullah)” (Ali Imran: 97) adalah hukum syara’ karena merupakan khithab Allah yang berupa kewajiban haji bagi mukallaf.

Ayat “Pencuri laki-laki dan pencuri wanita, maka potonglah tangan keduanya sebagai balasan dari perbuatannya” (Al-Maidah: 38) adalah hukum syara’ karena merupakan khitab Allah yang menjadikan pencurian sebagai sebab dari wajibnya potong tangan bagi pencuri.

Ayat “Tegakkanlah shalat pada waktu tergelincirnya (duluk) matahari…” (Al-Isra’: 78) adalah hukum syara’ karena merupakan khithab Allah yang menjadikan tergelincirnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat.[4]

Sabda Nabi SAW “Tiga perkara yang tidak dicatat: orang tidur sampai dia bangun, anak kecil sampai dia mimpi basah, dan orang gila sampai dia sembuh” adalah hukum syara’ karena merupakan khithab Allah yang menunjukkan bahwa tidur, belia, dan gila adalah penghalang seseorang dari pembebanan hukum (taklif).

Dari definisi hukum menurut ulama ushul fiqh di atas, maka kita dapat mengetahui dua hal:

Petama, menurut ulama ushul fiqh, khithab Allah yang tidak berhubungan dengan perbuatan mukallaf tidak bisa disebut hukum. Di antaranya khithab Allah yang berhubungan dengan dzat dan sifat-Nya, seperti ayat, “Dan Allah maha mengetahui atas segala sesuatu”, khithab Allah yang berhubungan dengan benda-benda ciptaan-Nya, seperti ayat, “Dan matahari, bulan dan bintang tunduk di bawah perintah-Nya” (Al-A’raf: 54) dan ayat, “Tidakkah kami ciptakan bumi sebagai hamparan dan gunung

(4)

sebagai pasak?” (An-Naba’: 6), dan khithab Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf tetapi tidak berupa tuntutan, pilihan atau ketetapan, seperti kisah-kisah dalam Al Quran, misalnya ayat, “Alif laam miim, bangsa romawi pasti akan dikalahkan. Di negeri yang terdekat, dan mereka akan menang (lagi) setelah dikalahkan. Dalam beberapa tahun (lagi)…” (Ar-Rum: 1-2) juga seperti kabar-kabar penciptaan, misalnya ayat, “Allah telah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.” (As-Shaffat: 96).

Kedua, menurut ulama ushul fiqh, yang dimaksud dengan hukum adalah khitab Allah atau nash-nash itu sendiri. Sedangkan menurut ulama fiqh, hukum adalah akibat khithab itu, artinya sesuatu yang terkandung dalam khithab. Maka menurut ulama ushul fiqh, ayat “Dan janganlah kamu mendekati zina” adalah hukum, sedangkan menurut ulama fiqh yang disebut dengan hukum adalah akibat yang terkandung dalam ayat itu, yakni haramnya zina.

Macam-macam Hukum Syara’

Menurut Ulama ushul fiqh, hukum syara’ ada dua macam:[5]

Pertama, Hukum Taklifi: yakni hukum yang mengandung tuntutan untuk melakukan, meninggalkan atau memilih antara melakukan atau meninggalkan.

Hukum ini disebut dengan taklifi karena di dalamnya ada beban bagi manusia. Beban itu terlihat jelas karena merupakan suatu tuntutan, baik tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan, dan takhyir (mubah) dimasukkan dalam hukum taklifi karena dimutlakkan dan digolongkan secara istilah, bukan hakikatnya, atau bisa juga dikatakan bahwa maksudnya adalah: hukum takhyir/mubah hanya berlaku bagi mukallaf, artinya kebolehan memilih antara mengerjakan dan meninggalkan hanya berlaku bagi orang yang telah dibebani tuntutan, baik tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. Inilah alasan mengapa takhyir/mubah dimasukkan dalam hukum taklifi, bukan berarti bahwa mubah itu adalah sesuatu yang dibebankan kepada mukallaf.[6]

Kedua, hukum wadl’i: hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi sesuatu yang lain.

Hukum ini disebut dengan wadl’I karena merupakan perantara antara dua hal dengan hubungan sebab, syarat, atau penghalang (mani’) yang telah ditetapkan syari’ (Allah). Artinya syari’ telah menetapkan bahwa ini menjadi sebab bagi ini, ini menjadi syarat bagi ini atau ini menjadi penghalang bagi ini. Untuk contoh-contoh hukum taklifi dan hukum wadl’I sudah dijelaskan sebelumnya.

Perbedaan Hukum Taklifi dan Hukum Wadl’i

a. Hukum taklifi menuntut seorang mukallaf untuk melakukan sesuatu, meninggalkan atau memilih antara keduanya, sedangkan hukum wadl’I tidak menunjukkan suatu tuntutan, hukum wadl’I hanya menjelaskan bahwa syari’ telah menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi sesuatu yang lain, agar mukallaf mengetahui kapan ada dan tidaknya hukum syara’.

(5)

b. Dalam hukum taklifi, sesuatu yang dibebankan (mukallaf bih) adalah sesuatu yang mampu dikerjakan atau ditinggalkan oleh mukallaf dan berada dalam kekuasaan dan kadar kemampuannya, karena tujuan dari pembebanan hukum adalah ketaatan mukallaf terhadap hukum yang dibebankan itu. Maka sia-sia saja jika sesuatu yang dibebankan itu berada di luar kadar kemampuannya, dan hal ini tidak mungkin terjadi dalam ketentuan syari’. Dalam kaidah disebutkan bahwa, “Pembebanan hukum hanya berlaku jika berada dalam kadar kemampuan mukallaf.”

Sedangkan dalam hukum wadl’I, sesuatu itu tidak harus selalu berada dalam kadar kemampuan mukallaf, kadang ia di luar kadar kemampuan. Akan tetapi jika sesuatu itu ada, maka pasti ada akibatnya.

Hukum wadl’I yang berada dalam kadar kemampuan mukallaf di antaranya adalah: pencurian, zina, dan perbuatan dosa yang lain, syari’ telah menetapkannya sebagai sebab yang memiliki akibat. Pencurian adalah sebab dan akibatnya adalah hukum potong tangan, zina adalah sebab dan akibatnya adalah hukum cambuk atau rajam, dan sebagainya.

Demikian pula semua akad dan transaksi, semua itu merupakan sebab yang memiliki akibat syara’. Jual beli adalah sebab berpindahnya kepemilikan, menikah adalah sebab halalnya hubungan suami-isteri dan tetapnya hak-hak kedua belah pihak, menghadirkan saksi adalah syarat sahnya pernikahan dan wudlu adalah syarat sahnya shalat, karena itulah nikah tidak sah tanpa saksi dan shalat tidak sah tanpa wudlu. Membunuh pemberi harta waris adalah penghalang bagi ahli waris memperoleh harta warisan dan membunuh pemberi wasiat adalah penghalang bagi penerima wasiat memperoleh apa yang diwasiatkan.

Sedangkan hukum wadl’I yang berada di luar kadar kemampuan mukallaf di antaranya adalah: datangnya bulan Ramadhan sebagai sebab wajibnya puasa, tergelincirnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat, kekerabatan sebagai sebab hubungan waris. Ketiga sebab itu di luar kadar kemampuan mukallaf. Baligh adalah syarat berakhirnya kekuasaan wali dan cakap adalah syarat bolehnya melakukan beberapa transaksi. Baligh dan cakap adalah syarat yang tidak bisa diusahakan oleh mukallaf. Status bapak adalah penghalang diberlakukannya hukum qishash baginya jika dia membunuh anaknya dengan sengaja, gila adalah penghalang diberlakukannya hukum bagi orang gila, dan status penerima wasiat sebagai ahli waris adalah penghalang baginya menerima wasiat menurut sebagian ulama fiqh. Ketiga penghalang itu di luar batas kemampuan mukallaf.

________________________________________

[1] Mukallaf: orang yang sudah baligh dan berakal. Disebut dengan mahkum ‘alaih (orang yang sudah dibebani hukum). Hal ini akan dijelaskan kemudian.

[2] Fawatih ar Rahamut (Abdul Ali Muhammad bin Nidhamuddin al Anshari) syarah dari Muslam ats Tsubut (Muhibbullah bin Abdussyakur) Juz. 1 hal. 54 dan Irsyad al Fuhul (Imam as Syaukani) hal. 5. [3] Yang sama dengan hal ini adalah menggolongkan sesuatu sebagai shahih, bathil, atau fasid. Hal ini akan dijelaskan dalam bab selanjutnya.

[4] Duluk: bergesernya matahari ke tengah langit dan condong ke arah barat.

[5] Sebagian ulama ushul fiqh membagi hukum dalam tiga macam: 1) Hukum Iqtidla’i: hukum yang mengandung tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. 2) Hukum Takhyiri: hukum yang mengandung pilihan antara mengerjakan atau meninggalkan. 3) Hukum wadl’i: hukum yang menjadikan

(6)

sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi sesuatu yang lain (Al Amidi, Juz. 1, hal. 137). Pembagian ini adalah pembagian yang paling cocok dengan definisi, akan tetapi kami memilih pembagian yang sudah tersebar di kalangan sebagian besar ulama ushul fiqh yang membagi hukum menjadi dua macam.

[6] Alu Taimiyah, Al Musawwadah fi ushul al fiqh, hal. 36.

HUKUM TAKLIFI - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh

(4 Habis)

Mayoritas ulama ushul fiqh[1] membagi hukum taklifi menjadi lima macam:

1. Ijab: tuntutan yang harus dan memaksa dari syari’ pada mukallaf untuk mengerjakan sesuatu. Akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan mukallaf itu dinamakan wujub dan perbuatannya dinamakan wajib. 2. Nadb: tuntutan yang bukan paksaan dan keharusan dan hanya bersifat anjuran (tarjih) dari syari’ pada mukallaf untuk mengerjakan sesuatu. Akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan mukallaf itu juga dinamakan nadb sedangkan perbuatannya dinamakan mandub.

3. Tahrim: tuntutan yang harus dan memaksa dari syari’ pada mukallaf untuk meninggalkan sesuatu. Akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan mukallaf itu dinamakan hurmah dan perbuatannya dinamakan haram atau muharram.

4. Karahah: tuntutan yang bukan paksaan dan keharusan dan hanya bersifat anjuran dari syari’ pada mukallaf untuk meninggalkan sesuatu. Akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan mukallaf itu juga dinamakan karahah sedangkan perbuatannya dinamakan makruh.

5. Ibahah: pilihan dari syari’ pada mukallaf antara mengerjakan atau meninggalkan, tidak ada anjuran untuk memillih salah satu keduanya. Akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan mukallaf itu juga dinamakan ibahah sedangkan perbuatannya dinamakan mubah.

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa yang dituntut untuk dikerjakan itu ada dua macam, yakni wajib dan mandub, yang dituntut untuk ditinggalkan ada dua macam pula, yakni muharram dan makruh, dan yang merupakan pilihan antara mengerjakan atau meninggalkan ada satu macam, yakni mubah.

(7)

Selanjutnya kami akan menjelaskan masing-masing dari macam-macam hukum taklifi di atas. ___________________________________________

[1] Madzhab Hanafiyah membagi hukum taklifi menjadi tujuh macam: iftiradl, ijab, nadb, tahrim, karahah tahrim, karahah janzih dan ibahah.

WAJIB DAN MACAM-MACAMNYA - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi

Ushul al-Fiqh (5 Habis)

Wajib menurut syara’[1]: perbuatan yang harus dilakukan oleh mukallaf berdasarkan tuntutan syari’. Konsekuensinya, yang meninggalkan mendapat celaan dan dosa, dan yang mengerjakan mendapat pujian dan pahala.[2]

Kepastian atau keharusan melakukan itu dapat diketahui dari bentuk kata yang menunjukkan tuntutan seperti bentuk kata amar yang menunjukkan wajib atau jika dalam kalimat itu disebutkan siksaan/dosa bagi yang meninggalkan. Mengerjakan shalat, berbuat baik pada orang tua, menepati janji dan

sebagainya adalah perbuatan wajib yang diharuskan oleh syari’ untuk dikerjakan oleh mukallaf, dan dia berdosa jika meninggalkan perbuatan itu.

Menurut jumhur ulama, wajib adalah fardhu, keduanya sama baik hukum maupun maknanya, yakni berarti perbuatan yang harus dilakukan dan berakibat dosa bagi yang meninggalkan.[3]

Sedangkan Hanafiyah membedakan antara fardhu dan wajib dari segi dalil yang mendasari tetapnya keharusan melakukan perbuatan. Jika dalil yang mendasari adalah dhanni maka dinamakan wajib, seperti hadits ahad yang menetapkan wajibnya menyembelih binatang kurban. Tetapi jika dalil yang mendasari adalah qath’i maka dinamakan fardhu, seperti nash Al Quran yang menetapkan wajibnya shalat.

Hanafiyah melihat dalil yang mendasari tetapnya keharusan, karena itulah mereka membedakan antara fardhu dan wajib. Sedangkan mayoritas ulama melihat keharusan perbuatannya, tidak melihat apakah dalil yang mendasari adalah qath’I atau dhanni, karena itulah mereka tidak membedakan antara fardhu dan wajib dan menjadikan keduanya layaknya dua nama yang bermakna satu.

(8)

Karena Hanafiyah membedakan antara fardhu dan wajib, maka menurut mereka kadar keharusan melaksanakan fardhu berada di atas keharusan melaksanakan wajib, dosa meninggalkan fardhu lebih besar dari pada dosa meninggalkan wajib, dan orang yang mengingkari fardhu dianggap kufur

sedangkan orang yang meninggalkan wajib tidak dianggap kufur.

Yang jelas perbedaan di atas hanya perbedaan penyebutan, bukan perbedaan pokok. Karena pada dasarnya Hanafiyah dan jumhur ulama sepakat bahwa fardhu sama seperti wajib, sama-sama tuntutan yang harus dikerjakan dan berakibat dosa dan siksa bagi yang meninggalkan.

Mereka juga sepakat bahwa dalil yang mendasari tuntutan yang bersifat harus itu bisa berupa dalil qath’I dan bisa berupa dalil dhanni, hanya saja orang yang meninggalkan perbuatan yang dituntut berdasarkan dalil qath’I dianggap kufur.

Jumhur ulama menyamakan fardhu dan wajib karena keduanya adalah keharusan dan berakibat dosa bagi mukallaf yang meninggalkan, hal ini sudah cukup dijadikan alasan untuk menggolongkan fardhu dan wajib sebagai satu entitas.

Sedangkan sudut pandang dalil, kadar keharusan, kadar dosa dan pengkufuran bagi yang mengingkari fardhu adalah hal-hal di luar hakikat perbuatan yang harus dilakukan mukallaf yang disebut dengan wajib itu, karena semua sepakat bahwa wajib adalah obyek khithab syari’ yang menunjukkan tuntutan yang harus dan pasti.

Kesimpulannya, perbedaan tersebut hanya perbedaan penyebutan, hanya merujuk pada dalil spesifik yang merupakan bahasan fiqh dan bukan kewenangan ushul fiqh, dan sebenarnya tidak ada perbedaan pokok di antara para ahli fiqh.

Macam-macam Wajib

Wajib ada bermacam-macam dilihat dari berbagai segi; dari segi waktu pelaksanaan, kadar, tertentu tidaknya, dan dari segi subyeknya.

1. Dilihat dari Waktu pelaksanaannya

Ada dua macam, wajib mutlak dan wajib muqoyyad.

Wajib mutlak: perbuatan yang harus dilaksanakan tanpa batas waktu tertentu. Seorang mukallaf boleh melaksanakan perbuatan wajib itu kapanpun dia mau dan dia tidak memiliki tanggungan lagi setelah melaksanakan kewajibannya. Dia tidak berdosa jika melaksanakan di akhir waktu, tetapi selayaknya dia segera melaksanakannya sesegera mungkin sebab waktu adalah hal yang abstrak dan manusia tidak mengetahui kapan kematian datang.

Wajib mutlak itu di antaranya: mengganti (qodlo’) puasa ramadhan bagi mukallaf yang tidak dapat melaksanakannya karena berhalangan. Menurut sebagian ulama fiqh seperti Hanafiyah, ia bebas menggantinya tanpa dibatasi tahun, tetapi ulama fiqh lain masih berbeda pendapat tentang ini. Kafarat wajib bagi orang yang melanggar sumpah, dia wajib membayar kafarat segera setelah dia

(9)

melakukan pelanggaran atau dapat dilaksanakan setelahnya.

Demikian pula ibadah haji, orang yang mampu boleh melaksanakannya di tahun kapan pun dia mau, karena ibadah haji adalah ibadah yang boleh tidak segera dilakukan (tarakhi).

Wajib muwayyad: perbuatan yang harus dilaksanakan dengan batas waktu tertentu yang telah ditentukan syari’, seperti shalat lima waktu dan puasa ramadhan, keduanya tidak boleh dilaksanakan sebelum atau setelah waktu yang telah ditentukan dan tidak boleh diakhirkan tanpa alasan yang dibolehkan syara’.

Dengan demikian, keharusan pada wajib muqayyad terletak pada pelaksanaan dan waktu

pelaksanaannya, sedangkan keharusan pada wajib mutlak hanya terletak pada pelaksanaannya, bukan pada waktu pelaksanaannya.

Ada’: Jika seorang mukallaf melaksanakan perbuatan wajib secara sempurna pada waktunya. I’adah: jika seorang mukallaf melaksanakan perbuatan wajib pada waktunya tetapi tidak sempurna kemudian disempurnakan lagi di waktu yang sama, penyempurnaan itulah yang dinamakan I’adah. Qadla’: jika seorang mukallaf melaksanakan perbuatan wajib setelah waktunya lewat.[4]

2. Dilihat dari kadarnya

Ada dua macam: wajib muhaddad dan wajib ghairu muhaddad.

Wajib muhaddad: perbuatan wajib yang kadarnya telah ditentukan syari’, seperti zakat, harga pembelian dan penjualan, diyat dan sebagainya.

Wajib muhaddad berkaitan dengan tanggungan, kadar perbuatan wajib itu tidak ditentukan oleh putusan pengadilan atau kesepakatan karena sudah ditentukan oleh syari’, dan seorang mukallaf bisa dikatakan telah melaksanakan perbuatan wajib itu jika dia melaksanakannya sesuai dengan kadar yang telah ditentukan syari’.

Wajib ghairu muhaddad: perbuatan wajib yang kadarnya tidak ditentukan oleh syari’, seperti infaq di jalan Allah (selain zakat). Infaq ini tidak ditentukan kadarnya oleh syari’, tetapi tergantung pada tingkat kebutuhan orang yang membutuhkan dan kemampuan orang yang berinfaq. Maka jika seseorang ditunjuk untuk menutupi kebutuhan seorang fakir, maka dia memiliki tanggungan wajib ghairu

muhaddad, dia wajib berinfaq sesuai kadar kebutuhan si fakir.

Tolong menolong dalam hal kebaikan juga termasuk wajib ghairu muhaddad, karena kadarnya tergantung pada kebaikan yang harus dibantu oleh mukallaf agar bisa terwujud itu.

Wajib muhaddad adalah wajib yang tidak menjadi hutang dalam tanggungan mukallaf, karena sesuatu yang menjadi tanggungan harus berupa sesuatu yang memiliki kadar. Karena itulah menurut sebagian

(10)

ulama seperti Hanafiyah, nafkah istri tidak menjadi tanggungan suami sebelum ada keputusan pengadilan atau kesepakatan antara keduanya, karena tidak ada kadar tertentu atas nafkah sebelum adanya kedua hal itu. Dengan demikian, suami tidak bisa dituntut membayar wajib nafkah dari masa sebelumnya sejak dia tidak dapat _ember nafkah isteri berdasarkan keputusan hakim atau

kesepakatan. Tetapi ulama lain seperti Syafi’iyah berpendapat bahwa nafkah termasuk dalam wajib muhaddad, kadarnya ditentukan berdasarkan keadaan suami, dengan demikian isteri dapat menuntut nafkah yang tidak diberikan padanya dari masa sebelumnya sejak suami tidak dapat _ember nafkah, berdasarkan keputusan hakim atau kesepakatan bersama. Pendapat ini juga dijadikan Undang-undang Hukum Keluarga Iraq No. 88 Tahun 1959.[5]

3. Dilihat dari Tertentu Tidaknya Perbuatan yang Dituntut Ada dua macam: wajib mu’ayyan dan wajib ghairu mu’ayyan.

Wajib mu’ayyan: perbuatan wajib yang sudah ditentukan dan tidak diberi pilihan lain oleh syari’, seperti shalat, puasa dan mengembalikan barang ghashab bagi pelaku. Mukallaf tidak bisa lepas dari tanggungan kecuali dia melaksankan perbuatan itu.

Wajib ghairu mu’ayyan: perbuatan wajib yang tidak ditentukan pada satu pilihan, tetapi mukallaf boleh memilih salah satu dari beberapa pilihan yang telah ditetapkan oleh syari’.

Wajib ghairu mu’ayyan bisa berupa satu di antara dua pilihan dan mukallaf harus memilih satu di antara keduanya, seperti dalam firman Allah tentang tawanan perang, “…Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti…” (Muhammad: 4) Imam wajib memilih antara

membebaskan mereka atau menerima tebusan.

Juga bisa berupa satu di antara tiga pilihan seperti dalam kafarat sumpah. Pelanggar sumpah harus memilih satu di antara tiga kafarat yang sudah ditentukan, yakni _ember makan sepuluh orang miskin, _ember mereka pakaian, atau membebaskan budak. Tetapi tiga pilihan tersebut berlaku bagi orang yang tidak mampu berpuasa tiga hari berturut-turut, jika dia mampu berpuasa, maka wajibnya menjadi wajib mu’ayyan, yakni hanya melakukan puasa tersebut.

Wajib ghairu mu’ayyan kadang juga disebut dengan wajib mukhayyar, karena di dalamnya terdapat pilihan bagi mukallaf.[6]

4. Dilihat dari Subyeknya

Ada dua macam: wajib (fardhu) ‘ain dan wajib (fardhu) kifayah.

Wajib ‘ain: perbuatan wajib yang tuntutannya ditujukan pada setiap orang mukallaf, dalam artian syari’ mengharuskan perbuatan itu dilakukan oleh setiap orang mukallaf, tidak cukup hanya dilaksanakan oleh seorang atau sebagian mukallaf saja, dan mukallaf masih memiliki tanggungan selama dia tidak melaksanakan perbuatan itu, sebab tujuan syari’ tidak akan tercapai kecuali jika semua mukallaf melaksanakan. Dengan demikian, orang yang meninggalkan mendapat dosa disertai siksa.

(11)

adalah: shalat, puasa, menepati janji dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak. Wajib kifayah atau wajib kifa’i: perbuatan wajib yang tuntutannya hanya ditujukan pada sebagian mukallaf, tidak semuanya. Sebab tujuan syari’ adalah agar perbuatan wajib itu dilaksanakan oleh sebagian mukallaf.[7] Jika sebagian mukallaf telah melaksanakan, maka gugur kewajiban yang lain.[8] Sebab perbuatan yang dilaksanakan oleh sebagian telah cukup mewakili yang lain, dengan demikian yang tidak melaksanakan juga dianggap melaksanakan, tetapi jika tidak ada seorang pun yang melaksanakan maka semua orang yang mampu berdosa.

Wajib kifayah menuntut dilaksanakannya perbuatan, tidak menuntut mukallaf tertentu. Berbeda dengan wajib ‘ain yang menuntut setiap orang mukallaf melaksanakan. Yang termasuk dalam wajib kifayah adalah: jihad, mengambil putusan hukum, mengeluarkan fatwa, memperdalam ilmu agama, menjadi saksi, amar ma’ruf, nahi munkar, menyediakan barang, lapangan pekerjaan dan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan masyarakat, menyediakan bahan makanan dan kebutuhan masyarakat yang lain, karena pada umumnya wajib kifayah berkaitan dengan kemaslahatan bersama.

Semua orang mukallaf berdosa jika di antara mereka tidak ada yang melaksanakan wajib kifayah. Mukallaf yang mampu harus melaksankan dan yang tidak mampu harus mendorong yang mampu untuk melaksanakan. Karena itulah, jika wajib kifayah tidak dilaksanakan maka dosa ditanggung oleh semua mukallaf, baik yang mampu maupun yang tidak. Yang mampu karena tidak melaksanakan dan yang tidak mampu karena tidak mendorong yang mampu untuk melaksanakan. Imam Syafi’I pernah berujar, “Seandainya semua orang mukallaf meninggalkan wajib kifayah, maka kemungkinan tidak ada seorang mukallaf pun yang mampu, dapat terhindar dari dosa.”[9]

Berdasarkan deskripsi di atas, maka bagi masyarakat wajib melakukan kontrol terhadap dan mendorong agar pemerintah memenuhi kewajiban yang berkaitan dengan wajib kifayah atau menyediakan sarana agar wajib kifayah dapat dilaksanakan, karena pemerintah adalah representasi masyarakat dalam mewujudkan kemaslahatan bersama dan merupakan lembaga yang mampu memenuhi hal-hal yang berhubungan dengan wajib kifayah. Jika pemerintah tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka semuanya berdosa karena mereka masaing-masing memiliki peran yang mampu dilakukan; masyakat berdosa karena tidak dapat mendorong pemerintah untuk memenuhi sarana yang dapat menunjang wajib kifayah sedangkan pemerintah berdosa karena tidak memenuhi, padahal pemerintah memiliki kemampuan untuk itu.

Wajib kifayah terkadang dapat berubah menjadi wajib ‘ain seperti masalah jihad: jika tujuan jihad tidak tercapai, maka jihad menjadi wajib ‘ain bagi setiap mukallaf yang mampu untuk berperang di setiap medan perang.

Demikian pula jika seorang mukallaf melihat perbuatan tercela dan tidak ada mukallaf lain yang mengetahui selain dirinya, maka wajib ‘ain baginya untuk berbuat sesuatu sesuai kemampuannya. Seperti juga seorang dokter di sebuah desa, jika tidak ada dokter lain selain dirinya di desa itu, maka wajib ‘ain baginya untuk mengobati orang sakit, dan sebagainya.

__________________________________________

(12)

menurut syara’, berarti definisi itu disarikan dari nash Al Quran atau Sunah dan jika ditulis menurut istilah, berarti definisi itu berdasarkan rumusan ulama).

[2] Ibnu Hazm, Al Ihkam, Juz. 3 hal. 321.

[3] Al Musawwadah fi Ushul al Fiqh, hal. 5. Ibnu ‘Aqil al Hanbali meriwayatkan dari Imam Ahmad, “Fardhu ditetapkan berdasarkan Al Quran dan wajib ditetapkan berdasarkan Sunah.” Berdasarkan riwayat ini, madzhab Hanabilah juga membedakan antara fardhu dengan wajib seperti halnya Hanafiyah, hanya saja perbedaan yang diutarakan masing-masing berbeda.

[4] Al Hulli, Tanqih al Ushul ila ‘ilmi al Ushul dan Syaikh Muhammad Abdurrahman al Mahlawi, Tashil al Wushul ila ‘ilmi al Ushul, hal. 276.

[5] Paragraf keempat dari materi 24: nafkah isteri selama masa suami tidak dapat memenuhi dianggap sebagai hutang yang harus ditanggung suami, kecuali karena si isteri nusyuz.

[6] Fawatih al Ruhmut syarh muslam al Tsubut, juz. 1, hal. 66. [7] Taisir at Tahrir, Juz. 2 Hal. 363-364.

[8] Al Musawwadah, Hal. 31.

[9] Imam Syafi’i, Ar Risalah, hal. 366.

MANDUB - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (6 Habis)

Nadb: ajakan pada sesuatu yang penting. Mandub: orang yang diajak. Seperti dalam sebuah syair: “Saat dia mengajaknya menemui wanita-wanita pengganti, mereka tidak bertanya lagi pada saudaranya itu, itu adalah bukti bahwa perkataannya benar.”

Menurut istilah, mandub adalah: perbuatan yang dituntut oleh syari’ untuk dikerjakan, tanpa paksaan dan bukan merupakan keharusan, yang melaksanakan mendapat pujian dan pahala dan yang meninggalkan tidak dicela dan tidak disiksa[1], tetapi dalam beberapa perkara mandub, mukallaf mendapat kerugian dan celaan.

(13)

Yang menunjukkan bahwa suatu perbuatan dihukumi mandub adalah bentuk kata thalab (amar), jika terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa kata thalab itu tidak menunjukkan wajib, tetapi menunjukkan anjuran/ajakan, baik indikasinya berada di dalam atau di luar nash.

Ayat, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu tertentu, maka tulislah…” (Al Baqarah: 282), sekalipun di dalamnya terdapat kata thalab, tetapi tidak menunjukkan wajib, berdasarkan indikasi dalam ayat setelahnya, yakni “Tetapi jika kamu mempercayakan pada yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)” (Al Baqarah: 283). Nash ini menunjukkan bahwa tuntutan untuk mencatat hutang adalah anjuran, bukan keharusan. Nash ini termasuk dalam kategori irsyad (bimbingan) pada manusia agar mereka dapat melidungi haknya dari kesia-kesiaan. Jika mereka tidak melaksanakan bimbingan itu, maka kemungkinan mereka akan terjerumus dalam kesia-siaan.

Ayat, “Maka buatlah perjanjian dengan mereka (budak-budakmu), jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka…” (An Nur: 33) tidak menunjukkan wajibnya mengadakan perjanjian, berdasarkan indikasi berupa kaidah, “Inna al malik hurrun fi at tasharruf fi mulkihi” (Pemilik bebas melakukan transaksi terhadap barang miliknya).

Hadits Nabi SAW, “Hai para pemuda, siapa di antara kamu yang mampu menikah (al ba’ah), menikahlah!”[2], tidak menunjukkan wajibnya menikah bagi mukallaf, karena ada indikasi berupa riwayat mutawatir dari Nabi SAW bahwa menikah tidak wajib bagi mukallaf, sekalipun dia memiliki kemampuan.

Mandub juga disebut dengan sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu’, ihsan, dan fadhilah. Semua kata itu bersinonim arti dengan mandub, yakni anjuran untuk mengerjakan sesuatu.[3]

Mandub mempunyai beberapa tingkatan:

Tingkatan yang paling tinggi adalah perbuatan yang ditekuni oleh Nabi dan jarang sekali beliau tinggalkan, seperti shalat dua raka’at sebelum shalat subuh dan menikah bagi mukallaf yang mampu dalam kesederhanaan. Perbuatan ini disebut dengan sunnah mu’akkad, yang meninggalkan dicela tetapi tidak berdosa. Termasuk dalam sunnah mu’akkad adalah adzan yang merupakan syi’ar Islam yang berhubungan dengan kemaslahatan agama secara umum, oleh karena itu tidak boleh menganggap remeh adzan, jika dalam sebuah desa tidak ada yang adzan maka mereka harus dipaksa melakukannya. Tingkatan di bawahnya adalah sunnah ghairu mu’akkad, yakni perbuatan yang tidak selalu dilaksanakan oleh Nabi SAW seperti shalat empat raka’at sebelum dhuhur dan shadaqah tathawwu’ bagi yang mampu di saat tidak ada orang yang bershadaqah dan dalam keadaan mendesak dan sangat membutuhkan. Tingkatan di bawahnya lagi adalah fadhilah, disebut juga dengan adab atau sunah zawaid, contohnya: mengikuti sifat dan kebiasaan Nabi SAW sebagai manusia biasa seperti tata cara makan, minum, dan tidur. Mengikuti Nabi SAW seperti dalam hal-hal tersebut adalah mustahab dan menunjukkan hubungannya dengan Nabi, sedangkan yang meninggalkan tidak mendapat celaan atau kerugian karena hal-hal itu bukanlah perkara agama dan peribadatan, hanya kebiasaan.

(14)

Pertama, secara keseluruhan mandub adalah muqaddimah wajib (permulaan wajib). Karena dengan mengerjakan perbuatan mandub/sunnah, mukallaf dapat ingat dan mudah mengerjakan perbuatan wajib dan jika mukallaf dapat selalu menjalankan mandub maka dia dapat dengan mudah menetapi perbuatan wajib. Dalam hal ini, Imam Syathibi mengatakan, “Jika dilihat secara menyeluruh, mandub dapat menjadi pelayan, permulaan atau pengingat pada perbuatan wajib, baik dalam perbuatan itu ada dua hukum (mandub dan wajib seperti shalat) atau tidak.”[4]

Kedua, sekalipun secara parsial mandub bukanlah keharusan, namun secara umum mandub adalah keharusan. Artinya: mukallaf tidak boleh meninggalkan perbuatan mandub sekaligus karena hal itu tidak patut dan dia harus diberi arahan dan teguran. Karena itulah, Nabi SAW pernah memerintahkan untuk membakar rumah orang yang selalu meninggalkan shalat jama’ah.

Dengan demikian, adzan, shalat jama’ah, shadaqah tathawwu’, dan shalat sunah fajar adalah mandub jika dilihat secara parsial, dan wajib jika dilihat secara universal dan tidak boleh ditinggalkan sekaligus.

Demikian pula dengan menikah, masyarakat tidak boleh meninggalkannya sekaligus, karena dengan tidak menikah mereka akan musnah. Menikah adalah mandub jika dilihat secara parsial dan wajib jika dilihat secara universal. Oleh karena itu, mandub seperti halnya fardhu kiyafah. “Meninggalkan semua perbuatan mandub dapat melemahkan agama jika dilakukan secara terus menerus, tetapi jika hanya kadang-kadang, maka hal itu tidak berpengaruh.[5]

____________________________________

[1] Al Musawwadah, Hal. 576 dan Ibnu Hazm, Al Ihkam, Juz. 1 hal. 40 dan Juz. 3 Hal. 321. [2] Al ba’ah: kemampuan memenuhi kewajiban nikah.

[3] Dinamakan mandub: karena syari’ mengajak mukallaf untuk melakukannya, mustahab: karena syari’ menyukai perbuatan itu, nafilah/nafl: karena merupakan tambahan fardhu dan menambah pahala, tathawwu’: karena mukallaf melakukannya dengan sukarela, fadhilah: karena melaksanakannya lebih baik dari pada meninggalkannya. Ibnu ‘Abidin, Rad al Muhtar: Juz. 1, Hal. 91-seterusnya.

[4] Imam Syathibi, Al Muwafaqat: Juz. 1 Hal. 151. [5] Imam Syathibi, Al Muwafaqat: Juz. 1, Hal. 133.

(15)

Haram adalah perbuatan yang harus ditinggalkan mukallaf berdasarkan tuntutan syari’. Yang meninggalkan perbuatan itu mendapat pahala dan disebut taat, sedangkan yang melakukannya mendapat dosa dan telah berbuat maksiat.[1] Dalil yang mendasari keharaman itu bisa berupa dalil qath’i seperti dalil haramnya zina, atau berupa dalil dhanni seperti hal-hal yang dilarang berdasarkan sunnah ahad.

Menurut Hanafiyah, haram harus didasarkan pada dalil qath’I, jika didasarkan pada dalil dhanni maka disebut dengan makruh tanzih.

Tahrim dapat diketahui dari nash yang menggunakan kata tahrim seperti kata haramah dalam ayat, “Hurrimat ‘alaikum ummahatukum” (Diharamkan bagimu [menikahi] ibu-ibumu) (An-Nisa’: 32) atau kata halal yang didahului oleh huruf nafi seperti sabda Nabi SAW, “La yahillu maalumri’in muslimin illa bithibin min nafsihi” (Tidak halal makan harta seorang muslim kecuali atas kerelaannya).[2]

Atau dapat diketahui dari bentuk kata nahi (larangan) disertai dengan indikasi yang menunjukkan keharusan seperti ayat, “…maka jauhilah berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta.” (Al Hajj: 30) dan ayat, “…sesungguhnya khamar, judi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan berhala adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu…” (Al Maidah: 90). Atau bentuk kata nahi yang disertai ancaman siksa jika melakukannya, seperti ayat, “Dan orang-orang yang menuduh (berbuat zina) wanita-wanita yang baik dan mereka tidak mendatangkan empat saksi maka cambuklah mereka delapan puluh kali.” (An Nur: 4) dan ayat, “Sesungguhnya orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim, maka sesungguhnya mereka telah memasukkan api neraka dalam perut mereka dan mereka akan dimasukkan dalam neraka sa’ir.”

Macam-macam Haram:

Dari hasil penelitian hukum syara’, diketahui bahwa syari’ hanya mengharamkan sesuatu yang mengandung kerusakan (mafsadah) yang murni atau lumrah menurut masyarakat. Kerusakan itu terkadang berasal dari sesuatu yang diharamkan itu sendiri dan hal ini disebut dengan muharram lidzatihi atau muharram li’ainihi, dan terkadang berasal dari hal lain yang dihubungkan dengan sesuatu yang diharamkan itu dan hal ini disebut dengan muharram lighairihi.

Muharram lidzatihi: sesuatu yang sejak awal sudah diharamkan oleh syari’ karena mengandung bahaya dan kerusakan substansial yang tidak terpisahkan, seperti zina, menikahi mahram, makan dan jual beli bangkai, mencuri, membunuh tanpa hak, dan sebagainya.

(16)

Hukum muharram lidzatihi: tidak disyariatkan sama sekali, tidak boleh dilakukan oleh mukallaf dan berakibat dosa dan siksa jika tetap dilakukan, tidak mempunyai akibat hukum dan tidak dapat menjadi sebab syara’ dari sesuatu yang diakibatkan dan jika berada dalam akad maka akadnya batal.

Lebih jelasnya, makan bangkai dilarang, mencuri tidak dapat menjadi sebab kepemilikan, zina tidak dapat menjadi sebab nasab dan waris, jika terjadi jual beli bangkai maka akadnya batal dan tidak berakibat hukum apapun layaknya pada jual beli yang sah, dan jika akad nikah dilakukan dengan salah satu mahramnya dan dia mengetahui hal itu, maka akadnya batal dan tidak berakibat hukum apapun layaknya pada akad nikah yang sah: seperti ketetapan nasab, waris, hak suami-isteri dan berhubungan badan, bahkan hubungan badan yang dilakukan dianggap sebagai zina.

Akan tetapi, dharurah (keadaan terdesak) terkadang membolehkan muharram lidzatihi. Hal ini karena sebab diharamkannya muharram lidzatihi adalah untuk menjaga lima perkara pokok, yakni: menjaga agama, nyawa, akal, kehormatan dan harta. Oleh karena itu, makan bangkai dibolehkan dalam keadaan sekarat dan boleh minum khamr agar tidak mati, karena menjaga nyawa adalah perkara pokok sekalipun untuk mewujudkannya harus dengan menghalalkan sesuatu yang haram.

Muharram lighairihi: sesuatu yang pada awalnya disyariatkan karena tidak mengandung bahaya dan kerusakan serta jelas manfaatnya, tetapi kemudian ada hal lain yang menyebabkan sesuatu itu haram dilakukan: seperti shalat di tanah hasil ghasab, jual beli saat penggilan shalat jumat, nikah yang bertujuan untuk menghalalkan wanita yang ditalak tiga untuk dinikahi lagi oleh mantan suaminya (nikah muhallil), menikahi wanita yang sudah dilamar orang lain, talak bid’i (talak yang dijatuhkan dengan tidak mengikuti ketentuan al Quran atau sunah), jual beli tempo atau kredit yang bertujuan riba, dan hal-hal lain yang haram sebab sesuatu di luar substansi perkara. Sebab kaharaman bukan berasal dari substansi perkara, karena perkara itu sendiri tidak mengandung bahaya dan kerusakan, tetapi kemudian ada hal lain yang mengandung bahaya dan kerusakan yang dihubungkan dengan perkara itu sehingga menjadi haram.

Lebih jelasnya, shalat pada mulanya disyariatkan dan wajib dilakukan, tetapi karena dilakukan di tempat haram yakni tanah hasil ghasab, maka shalat di tanah itu juga haram.

Jual beli pada mulanya boleh, tetapi karena dilakukan saat panggilan shalat jumat maka jual belinya dilarang karena dapat menghalanginya melaksanakan kewajiban shalat jumat,

Nikah pada mulanya mubah atau mandub, tetapi karena wanita yang akan dinikahi sudah dilamar orang lain, maka nikahnya dilarang, karena hal itu berarti melanggar hak orang lain dan dapat menimbulkan permusuhan.

Nikah dengan tujuan menghalalkan wanita yang ditalak tiga, dilarang karena mengandung mafsadah, yakni mempermainkan sebab syara’ dan menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.

Hukum muharram lighairihi adalah sebagaimana analisis kami di atas. Yakni disyariatkan jika dilihat dari substansi dan awal munculnya dan tidak disyariatkan jika dilihat dari perkara haram yang dihubungkan dengannya.

(17)

Sebagian ahli fiqh mengunggulkan ‘yang disyariatkan pada awalnya’ daripada ‘perkara haram yang dihubungkan dengannya’. Menurut mereka, muharram lighairihi dapat menjadi sebab syara’ dan mempunyai akibat hukum sekalipun dilarang jika dilihat dari perkara haram yang dihubungkan dengannya. Konsekuensinya, jika dihubungkan dengan perkara haram maka yang melakukan mendapat dosa, tetapi jika dihubungkan dengan perkara itu sendiri maka dia tidak berdosa.

Dengan demikian, shalat di tanah hasil ghasab dihukumi sah, mendapat pahala dan dianggap telah memenuhi kewajiban shalat, tetapi dia juga berdosa karena melakukannya di tanah ghasab. Juga sah jual beli pada saat panggilan shalat jumat, tapi juga berdosa karena melakukannya pada waktu yang dilarang.

Sebaliknya, ada sebagian ahli fiqh lain yang mengunggulkan ‘keharaman yang dihubungkan dengan perkara’ daripada ‘yang disyariatkan pada awalnya’. Menurut mereka perbuatan yang dilakukan batal, tidak mempunyai akibat hukum dan yang melakukan mendapat dosa, karena menurut mereka keharaman tetap berlangsung sekalipun yang dihubungkan adalah perkara yang sejak awal sudah disyariatkan.

Dengan demikian menurut mereka shalat di tanah hasil ghasab dihukumi batal, begitu pula nikahnya muhallil, thalak bid’i dan sebagainya.[3]

___________________________________ [1] Ibnu Hazm, Al Ihkam: Juz. 3 Hal. 321.

[2] Penyebutan muslim pada hadits ini tidak bermaksud bahwa harta seorang kafir dzimmi (bukan muslim) halal dimakan tanpa seizinnya. Karena pada hakikatnya, haramnya makan dan mengambil harta tanpa seizin pemiliknya berlaku sama bagi kafir dzimmi dan muslim. Dalam sebuah kaidah, “Yang boleh bagi kita, boleh bagi kafir dzimmi dan yang tidak boleh, tidak boleh bagi kafir dzimmi.” Ali ra pernah mengatakan, “Tujuan mengapa digolongkan dengan dzimmi adalah agar darah dan harta mereka sama dengan kita.” Lihat Al Kasani, Bada’i’ as Shana’i’: Juz. 6, Hal. 111, Sunan ad Darqathni: Juz. 2, Hal. 350 dan Syarh as Sair al kabir: Juz. 3, Hal. 250.

[3] insyaallah akan dijelaskan lebih lanjut tentang hal ini dalam bab sah dan batal dan bab Nahi.

(18)

Makruh: perbuatan yang lebih utama ditinggalkan daripada dilakukan,[1] atau perbuatan yang dituntut syari’ untuk ditinggalkan mukallaf, tanpa paksaan dan bukan merupakan keharusan. Yang menunjukkan makruh: pertama, bentuk kata (sighat) yang dengan sendirinya menunjukkan makna karahah. Kedua, bentuk kata nahi (larangan) yang disertai indikasi yang memalingkan makna tahrim ke makna karahah. Contoh yang pertama: hadits Nabi SAW, “Sesungguhnya Allah memakruhkan kamu berpraduga dan berprasangka, banyak bertanya dan boros.” Dan hadits lain, “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah thalak.”

Contoh yang kedua, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu niscaya menyusahkan kamu” (Al-Maidah: 101), indikasi yang memalingkan makna tahrim ke makna karahah terdapat pada kalimat selanjutnya dalam ayat yang sama, “…dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan kamu tentang hal-hal itu. Allah maha pengampun lagi maha penyayang.

Hukum makruh: pelakunya hanya mendapat celaan, bukan dosa, dan yang meninggalkan mendapat pahala jika dilakukan karena Allah.

Penjelasan makruh di atas adalah menurut pendapat dan istilah jumhur ulama, menurut mereka makruh hanya satu macam, yakni apa yang sudah kami jelaskan.

Sedangkan menurut Hanafiyah, makruh ada dua macam:

Pertama, makruh tahrim: perbuatan yang dituntut paksa oleh syari’ untuk ditinggalkan mukallaf berdasarkan dalil dhanni, bukan berdasarkan dalil qath’i. Seperti melamar perempuan yang masih dalam lamaran orang lain dan jual beli barang yang masih dalam transaksi orang lain. Dalil kedua hal itu adalah hadits ahad yang merupakan dalil dhanni.

Menurut Hanafiyah, makruh tahrim setingkat dengan wajib.

Hukum makruh tahrim adalah sama dengan hukum muharram menurut jumhur, artinya pelakunya mendapat dosa tetapi tidak dianggap kafir, karena dalil yang mendasari adalah dalil dhanni.

Kedua, makruh tanzih: perbuatan yang dituntut syari’ untuk ditinggalkan mukallaf, tetapi bukan keharusan. Seperti makan daging kuda dalam peperangan demi memenuhi kebutuhan dan wudlu’ dengan air dalam bejana yang sudah diminum burung pemangsa.

(19)

Hukum makruh tanzih: pelakunya tidak berdosa dan tidak mendapat siksa, tetapi hanya dianggap meninggalkan yang utama (khilaf al-aula) dan meninggalkan yang lebih baik.

Perbedaan ini adalah perbedaan antara Hanafiyah dan jumhur sebagaimana dalam masalah fardhu dan wajib. Hanafiyah melihat pada dalil yang mendasari tuntutan yang bersifat harus dan memaksa untuk meninggalkan suatu perbuatan, jika berupa dalil qath’i maka dinamakan muharram, jika berupa dalil dhanni maka dinamakan makruh tahrim dan jika tuntutannya tidak bersifat harus maka dinamakan makruh tanzih.

Sedangkan jumhur ulama tidak melihat pada ke-qath’i-an atau ke-dhanni-an dalil, mereka hanya melihat sifat tuntutan, jika bersifat harus maka dinamakan muharram, baik dalil yang mendasari adalah dalil qath’I atau dhanni. Sedangkan jika tuntutan bersifat tidak memaksa maka dinamakan makruh. Makruh menurut jumhur ini setingkat dengan makruh tanzih menurut Hanafiyah.

MUBAH - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (9 Habis)

Mubah: perbuatan yang diperbolehkan syari’ untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan dan tidak berakibat pahala atau dosa, disebut juga dengan halal.[1]

Ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa suatu perbuatan diperbolehkan, diantaranya:

1. Nash yang di dalamnya terdapat kata ‘halal’, seperti ayat, “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka…” (Al Maidah: 5).

2. Nash yang di dalamnya terdapat kata yang bermakna ‘tidak berdosa’, seperti:

a. Kata ‘la itsma’, seperti ayat, “…Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa, sedang ia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya…” (Al Baqarah: 173). b. Kata ‘la junaha’, seperti ayat, “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu…” (Al Baqarah: 235).

(20)

c. Kata ‘laisa haraj’, seperti ayat, “Tidak ada dosa bagi orang buta, tidak pula bagi orang pincang, tidak pula bagi orang sakit, dan tidak pula bagi dirimu sendiri, untuk makan di rumahmu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu…” (An Nur: 61).

3. Kalimat yang mengandung kata amar dan disertai indikasi yang memalingkan makna wajib ke makna ibahah. Seperti ayat, “…Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka berburulah…” (Al Maidah: 2), artinya: jika kamu telah bertahallul, maka kamu boleh berburu.

4. Istishab pada hal-hal yang pada asalnya dibolehkan, berdasarkan kaidah yang menyatakan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah boleh. Hal ini insya Allah akan dijelaskan tersendiri secara rinci pada pembahasan istishhab yang merupakan salah satu dalil hukum.

Dengan demikian, maka hukum asal dari perbuatan seperti akad dan transaksi dan hal-hal seperti tanah, binatang dan tanaman adalah boleh berdasarkan istishab, selama tidak ada dalil yang menunjukkan hukumnya secara jelas.

Hukum mubah: tidak berakibat pahala atau dosa. Tetapi terkadang mendapat pahala jika dilakukan dengan niat atau maksud tertentu, seperti orang yang melakukan olahraga badan dengan niat memperkuat badan agar lebih kuat memerangi musuh.

Harus diperhatikan bahwa mubah yang kami jelaskan di atas adalah dilihat secara parsial, karena jika dilhat secara universal maka bisa menjadi diperintahkan atau dilarang. Kebolehan (ibahah) hanya tertentu pada sebagian dan kadar waktu tertentu, tidak semuanya dan tidak selamanya.

Misalnya makan hukumnya mubah, mukallaf boleh memilih bermacam-macam makanan, makan apapun dan kapanpun sesukanya, tetapi jika dilihat secara keseluruhan maka mukallaf dituntut untuk makan, karena makanan merupakan penopang bagi kelangsungan hidup, sedangkan menjaga jiwa adalah suatu keharusan.

Menikmati makanan dan minuman yang enak dan pakaian yang bagus hukumnya boleh jika dilihat secara parsial dan dalam kadar waktu tertentu, mukallaf boleh menikmati atau meninggalkan kenikmatan itu secara parsial, dia juga tidak berdosa jika tidak melakukannya dalam kadar waktu tertentu sekalipun dia memiliki kemampuan. Akan tetapi jika dia meninggalkannya secara keseluruhan, maka dia telah menyalahi kesunahan, dalam hadits disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah senang melihat hamba-Nya menikmati karunia-Nya.” Dalam hadits lain, “Jika Allah melapangkan (rizki-Nya) kepadamu, maka lapangkanlah untukmu.” Dengan demikian, maka meninggalkan hal-hal yang baik secara keseluruhan adalah makruh, melakukannya secara keseluruhan adalah sunah dan di tengah-tengah keduanya, yakni terkadang meninggalkan dan terkadang melaksanakan adalah mubah.

Hiburan seperti piknik di taman, permainan dan mendengarkan hal-hal yang boleh dan sebagainya adalah boleh jika dilihat secara parsial, artinya mukallaf boleh melakukannya kadang-kadang. Akan tetapi jika dia melakukannya terus-menerus dan menghabiskan waktunya untuk hiburan, maka dia menyalahi kebiasaan yang baik dan dihukumi makruh. Hukum makruh ini hanya terjadi jika dia melakukannya terus menerus dan menghabiskan waktunya untuk hiburan, tetapi jika dia melakukannya pada waktu tertentu saja, maka tidak dihukumi makruh.

(21)

Bersetubuh/bersenggama antara suami-isteri hukumnya mubah, tetapi jika suami-isteri tidak melakukannya secara keseluruhan dan terus-menerus maka hukumnya haram, karena mendatangkan bahaya bagi isteri dan mengabaikan tujuan pernikahan. Oleh karena itu, hukum mubahnya bersenggama adalah dilihat secara parsial, tidak dilihat secara universal.

____________________________________ [1] As-Syaukani, hal. 6, As-Syathibi, hal. 40.

‘AZIMAH DAN RUKHSHOH - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul

al-Fiqh (10 Habis)

‘Azimah dan rukhshoh termasuk dalam pembagian hukum taklifi. Hal ini karena ‘azimah adalah sebutan bagi perbuatan yang dituntut atau dibolehkan oleh syari’ secara umum dan rukhshoh adalah sebutan bagi perbuatan yang dibolehkan oleh syari’ di saat mendesak sebagai keringanan bagi mukallaf dan agar dia tidak merasa berat. Sedangkan tuntutan dan pembolehan adalah bagian dari hukum taklifi.

Sebagian ulama berpendapat bahwa ‘azimah dan rukhshoh termasuk dalam pembagian hukum wadl’i. Karena ‘azimah pada dasarnya adalah syari’ membuat kondisi biasa para mukallaf sebagai sebab bagi eksistensi dan konsistensi hukum asal. Sedangkan rukhshah pada dasarnya adalah syari’ membuat keadaan yang baru muncul di luar kebiasaan sebagai sebab adanya dispensasi bagi mukallaf, dan sabab adalah bagian dari hukum wadl’i.

Tetapi yang lebih kuat dan yang kami ambil adalah pendapat ulama golongan pertama; yakni ‘azimah dan rukhshah adalah bagian dari hukum taklifi.

Secara etimologi, ‘azimah adalah: keinginan yang kuat. Termasuk dalam arti ini adalah firman Allah, “…maka ia (Adam) lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya keinginan yang kuat.” (Thaha: 115). Maksudnya: Nabi Adam tidak berkeinginan kuat melupakan perintah Tuhannya.

(22)

Sebagian ulama memberikan definisi bahwa ‘azimah adalah istilah untuk menyebut hukum asal yang tidak berhubungan dengan hal-hal yang datang kemudian.[1] Maksudnya adalah: ‘azimah mencakup hukum-hukum syariah yang berlaku bagi mukallaf pada umumnya, terlepas dari hubungannya dengan halangan-halangan yang baru muncul kemudian. ‘azimah adalah hukum-hukum asal yang disyariatkan pertama kali sebagai hukum umum bagi mukallaf dalam kondisi biasa, bukan dalam kondisi darurat atau berhalangan seperti dalam perkara shalat (qashar) dan ibadah lainnya. Bentuk ‘azimah ini terbagi dalam beberapa macam hukum taklifi; dalam wujub, nadb, karahah, dan ibahah, dan menurut para ahli hukum, ‘azimah tidak mencakup perkara tersebut kecuali jika ada rukhshah.

Rukhshah secara etimologi adalah kemudahan dan keringanan. Sedangkan secara terminologi adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.

Sebagian ulama memberikan definisi: “rukhshah adalah kelonggaran bagi mukallaf dalam melaksanakan pekerjaannya karena uzdur (berhalangan) atau tidak mampu dengan disertai sebab-sebab yang membolehkan.”[2] Atau, “Rukhshah adalah perbuatan yang disyariatkan Allah karena udzur yang membolehkan, andaikan udzur itu tidak ada maka hukum tetap tidak membolehkan.[3]

Maksudnya adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya, yakni rukhshah adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah bagi mukallaf yang didasarkan pada udzur-udzur tertentu. Andaikan udzur-udzur itu tidak ada maka hukum tetap sebagaimana asalnya. Rukhshah adalah pengecualian dari hukum asal yang umum, dan sebab pengecualian itu didasarkan pada dlarurah dan udzur sebagai solusi atas kesulitan yang dialami mukallaf. Pada umumnya, rukhshah dapat mengubah status hukum asal dari sebuah keharusan menjadi sebuah kebolehan, dan terkadang menjadi sunah atau wajib.

Macam-macam Rukhshah

Pertama, membolehkan sesuatu yang diharamkan karena darurat. Seperti dibolehkannya mengucapkan kata-kata kufur saat dipaksa mengucapkannya dengan ancaman bunuh, namun hatinya tetap beriman. Allah berfirman, “Kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tenang dengan iman.” (An-Nahl: 106). Contoh lain: dibolehkannya makan bangkai dan minum minuman keras dikarenakan kondisi darurat untuk mempertahankan hidup. Syari’ membolehkan makan bangkai dalam kondisi benar-benar kelaparan dan ditakutkan akan menyebabkan kematian, juga minum minuman keras dalam keadaan benar-benar dingin dan ditakutkan menyebabkan kematian. Juga seperti dibolehkannya merusak harta orang lain dalam keadaan dipaksa di bawah ancaman bunuh atau penghilangan anggota badan.

Kedua, membolehkan meninggalkan perkara wajib. Seperti dibolehkannya tidak berpuasa ramadhan bagi musafir dan orang sakit sebagai solusi atas kesulitan yang mereka alami. Juga seperti dibolehkannya meninggalkan amar bil ma’ruf wa nahy ‘anil munkar dalam wilayah yang penguasanya dhalim dan akan membunuh siapapun yang menyerunya.

Ketiga, membolehkan beberapa akad yang dibutuhkan oleh manusia, yang dalam kaidah umum tidak ada. Seperti jual beli model salam. Syari’ membolehkan akad salam yang termasuk dalam jual beli ma’dum (jual beli yang barangnya tidak ada di hadapan penjual-pembeli ketika akad). Sekalipun jual beli ma’dum adalah jual beli yang batal, tetapi syari’ membolehkan akad salam sebagi pengecualian dari kaidah umum dalam jual beli, sebagai keringanan dan kemudahan bagi mukallaf. Juga seperti akad istishna’. Syari’ membolehkannya untuk kebutuhan manusia sekalipun akad istishna’ termasuk dalam jual beli ma’dum, karena jika dilarang maka manusia akan mengalami kesulitan dan kesempitan.

(23)

Hukum Rukhshah

Hukum asal rukhshah: ibahah (membolehkan), yakni mengubah hukum asal dari ‘harus’ menjadi ‘boleh memilih’ antara mengerjakan atau meninggalkan. Karena dasar pijakan rukhshah adalah udzur dan untuk menghilangkan kesulitan mukallaf. Tujuan tersebut hanya akan tercapai jika perbuatan yang dilarang dibolehkan untuk dikerjakan dan perbuatan yang diperintahkan dibolehkan untuk ditinggalkan. Contohnya adalah bolehnya tidak berpuasa ramadhan bagi musafir dan orang sakit, keduanya boleh meninggalkan kewajiban puasa ramadhan dengan mengamalkan rukhshah, atau tetap melaksanakan puasa dengan mengamalkan ‘azimah jika hal tersebut tidak membahayakan. Inilah yang disebut dengan rukhshah tarfiyah (dispensasi untuk meringankan) menurut istilah ulama Hanafiyah. Karena hukum asal tetap ada dan bisa berlaku, hanya saja mukallaf boleh mengambil rukhshah sebagai keringanan dan kemudahan.

Terkadang mengamalkan ‘azimah lebih utama daripada mengamalkan rukhshah, hal ini seperti terlihat dalam kasus bolehnya mengucapkan kata-kata kufur secara lisan tetapi tidak dalam hati ketika dipaksa mengucapkannya di bawah ancaman bunuh atau penghilangan anggota badan, akan tetapi yang lebih utama adalah mengamalkan ‘azimah. Karena hal itu menunjukkan kesungguhan dalam beragama, keteguhan memegang kebenaran, menghinakan orang-orang kafir dan melemahkan jiwa mereka serta menguatkan apa arti menjadi seorang mukmin. Hal ini seperti terlihat dalam peristiwa kelompok Musailamah al-Kadzab yang menculik dua orang sahabat, mereka membawanya, lalu Musailamah bertanya kepada salah satu dari keduanya, “Menurutmu, siapa Muhammad?”, dia menjawab, “Dia Rasulullah”, “Bagaimana denganku?”, “Engkau juga Rasulullah.” Musailamah membiarkannya dan tidak menyakitinya. Lalu dia bertanya kepada yang satunya lagi dengan pertanyaan yang sama, dia kemudian menjawab, “Dia Rasulullah.” “Bagaimana denganku?”, “Saya tidak tahu.” Musailamah mengulangi pertanyaan yang sama sampai tiga kali, tetapi dia tetap menjawab tidak tahu, Musalimah lalu membunuhnya. Ketika kabar tersebut sampai pada Rasulullah, beliau berkata, “Sahabat yang pertama, dia telah mengambil rukhshah yang telah diberikan Allah kepadanya, sedangkan yang kedua, dia telah memegang teguh kebenaran dan dia akan mendapat kenikmatan.”

Ammar bin Yasir juga pernah mengatakan kalimat kufur, mengatakan berpaling dari Rasulullah SAW dan memuji tuhan-tuhan kaum musyrikin saat diancam siksa yang berat. Maka ketika Ammar memberitahu apa yang terjadi padanya kepada Rasulullah, beliau lalu bertanya pada Ammar, “Bagimana dengan hatimu?”, “Hatiku tetap memegang teguh keimanan.” Lalu Rasulullah menanggapi, “Jika mereka berbuat demikian lagi, maka katakanlah hal yang sama.”

Hadits tersebut menunjukkan bolehnya mengucapkan kata-kata kufur dalam keadaan darurat atau dipaksa, sedangkan hadits yang pertama menunjukkan bahwa mengamalkan ‘azimah adalah lebih utama.

Juga seperti mengamalkan ‘azimah dalam menjalanakan amr bil ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar sekalipun dapat membuatnya terbunuh, hal tersebut lebih utama berdasarkan pada hadits Nabi SAW, “Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib serta orang yang terbunuh karena berkata benar di hadapan pemimpin lalim.”

Maka beramar makruf dan nahi munkar pada pemimpin dhalim yang berpotensi menggunakan kekerasan adalah lebih utama daripada membiarkannya, karena Nabi SAW memosisikan hal tersebut sebagai bukti tingginya derajat ke-syahid-an Hamzah bin Abdul Muthalib yang.

(24)

Yang menjadi perhatian di sini adalah bahwa meninggalkan amar makruf dan nahi munkar di saat keadaan darurat --seperti kepada pemimpin dhalim yang akan membunuh setiap orang yang beramar makruf dan nahi munkar kepadanya-- adalah rukhshah, tetapi melaksanakan ‘azimah adalah lebih utama. Hanya saja hukum ini berlaku parsial, tidak universal. Artinya, hukum ini khusus berlaku untuk sebagian umat saja, tidak seluruhnya. Tidak boleh semua umat melakukan amar makruf dan nahi munkar kepada pemimpin tersebut karena dikhawatirkan kelalimannya. Karena melaksanakan amar makruf dan nahi munkar adalah fardhu kifayah, maka sebagian umat wajib melaksanakannya, sekalipun hal tersebut dapat mengantarkan pada kematian. Hukum jihad adalah fardhu kifayah, sebagian umat harus menegakkannya sekalipun dapat menyebabkan kehilangan anggota badan dan kematian. Dalam hal ini, amar makruf dan nahi munkar merupakan satu dari bermacam bentuk jihad, maka umat tidak boleh meninggalkannya sama sekali, sekalipun resikonya adalah terbunuhnya sebagian umat.

Terkadang melaksanakan rukhshah adalah wajib. Seperti makan bangkai di saat darurat, jika dia tidak makan bangkai tersebut maka dia akan mati karena kelaparan. Jika demikian, maka dia berdosa karena menyebabkan kematian dirinya. Allah SWT berfirman, “…dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri…” (An-Nisa: 29), “Dan janganlah kamu (Al-Baqarah: 195).

Alasannya adalah: bangkai dan semacamnya adalah haram seperti halnya minuman keras, sebab keharamannya adalah karena dapat merusak jiwa dan akal. Akan tetapi jika hal itu menjadi jalan bagi terselamatkannya jiwa dan dapat menjauhkannya dari kematian maka memakan bangkai adalah wajib, karena menghilangkan jiwa bukanlah hak seorang manusia, tetapi merupakan hak penciptanya: Allah SWT yang telah menitipkannya di dalam diri manusia. Seorang yang dititipi tidak berhak mentransaksikan barang yang dititipkan kecuali atas seizin pemiliknya. Hal ini termasuk rukhshah yang wajib dilaksanakan. Ulama Hanafiyah menamakan hal tersebut dengan rukhshah isqath (dispensasi yang menggugurkan), karena dalam hal ini, hukum asal gugur dan hanya menyisakan satu hukum, yakni melaksanakan rukhshah.

________________________________ [1] At-Talwih, Juz. 2, hal. 127.

[2] Al-Mustasyfa, Juz. 1 hal. 98, Al-Amidi, Juz. 1, hal. 188. [3] At-Talwih, Juz. 2 hal. 127, Al-Amidi Juz. 1 hal. 188.

HUKUM WADL'I: SABAB - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul

al-Fiqh (11 Habis)

(25)

Secara etimologi: sesuatu yang dapat mengantarkan pada sebuah tujuan.

Secara terminologi: sesuatu yang oleh syara’ dijadikan penanda atas suatu hukum syariah, sekiranya jika ada sesuatu itu maka hukum ada dan jika sesuatu itu tidak ada maka hukum juga tidak ada.[1] Dengan demikian, secara etimologi sabab bisa diartikan: setiap hal yang keberadaannya dijadikan syari’ sebagai tanda adanya hukum, dan ketidakberadaannya sebagai tanda tidak adanya hukum. Seperti zina mewajibkan adanya had, gila mewajibkan adanya pengampuan, ghasab mewajibkan pengembalian barang yang dighasab jika barangnya masih utuh, atau mewajibkan membayar harganya jika barangnya sudah rusak.

Jika zina, gila, dan ghasab tidak ada maka tidak ada pula had, pengampuan, dan mengembalikan atau membayar harga barang.

Macam-macam Sabab

Dilihat dari apakah sabab itu adalah perbuatan atau bukan perbuatan mukallaf, terbagi dua macam: Pertama, sabab yang bukan perbuatan mukallaf dan di luar kemampuannya. Hanya saja jika sabab ini ada, maka hukum juga ada. Karena syari’ telah menghubungkan hukum itu dengan ada atau tidak adanya sabab. Sabab ini menjadi tanda keberadaan dan kejelasan hukum. Seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya shalat, masuk bulan Ramadhan sebagai sebab wajibnya puasa, keterpaksaan sebagai sebab dibolehkannya makan bangkai, dan gila serta usia belia sebagai sebab diwajibkannya pengampuan.

Kedua, sabab yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam kemampuannya. Seperti bepergian sebagai sebab dibolehkannya tidak berpuasa Ramadhan, membunuh dengan sengaja tanpa hak sebagai sebab adanya Qishash, bermacam-macam akad dan transaksi sebagai sebab bagi turunan-turunannya: seperti jual-beli sebagai sebab berpindahnya kepemilikan dan pemanfaatan barang.

(26)

Pertama, perbuatannya merupakan perbuatan mukallaf, maka masuk dalam kategori hukum taklifi dan berlaku sebagaimana hukum taklifi: dituntut untuk mengerjakan, dituntut untuk meninggalkan atau boleh memilih antara keduanya.

Kedua, kedudukannya yang oleh syari’ dijadikan tanda ada tidaknya hukum lain, maka termasuk dalam kategori hukum wadl’i.[2]

Contoh: menikah menjadi wajib jika dikhawatirkan terjerumus dalam perzinahan sedangkan dia mampu secara materi, padahal wajib adalah bagian dari hukum taklifi. Menikah juga menjadi sebab dari semua akibat syar’i yang timbul karena adanya pernikahan, seperti kewajiban mahar, nafkah dan hak mewarisi, padahal sebab adalah bagian dari hukum wadl’i.

Membunuh dengan sengaja tanpa hak adalah haram yang merupakan hukum taklifi dan menjadi sebab wajibnya qishash yang merupakan hukum wadl’i.

Jual beli adalah mubah yang merupakan hukum taklifi dan menjadi sebab bertukarnya kepemilikan antara penjual dan pembeli yang merupakan hukum wadl’i.

Dilihat dari akibat yang ditimbulkannya, sabab terbagi menjadi dua macam: Pertama, sebab dari adanya hukum taklifi. Seperti bepergian menjadi sebab adanya kebolehan berbuka dan memiliki harta yang mencapai nishab menjadi sebab adanya kewajiban zakat.

Kedua, sebab dari adanya hukum yang merupakan akibat dari perbuatan mukallaf. Seperti jual beli menjadi sebab beralihnya kepemilikan barang kepada pembeli, wakaf menjadi sebab hilangnya kepemilikan waqif atas barang yang diwakafkan, menikah menjadi sebab halalnya hubungan suami-isteri, dan talak menjadi sebab hilangnya kehalalan tersebut.

Hubungan Sebab dan Akibat

Akibat muncul menurut dan karena adanya sebab. Menurut syara’, akibat ada jika ada hukum yang ditimbulkannya. Kekerabatan misalnya, adalah sebab adanya hak mewarisi, syaratnya: muwarris (pewaris) sudah meninggal dan ahli waris masih hidup secara hakiki atau hukmi. Penghalangnya (mani’): membunuh dengan sengaja tanpa hak atau perbedaan agama. Jika sebab ada, syarat-syaratnya terpenuhi, dan tidak ada satu pun penghalang, maka muncullah akibatnya, yakni hak mewarisi. Akan tetapi jika syarat tidak terpenuhi atau ada penghalang maka sebab itu tidak menimbulkan akibat apa pun.

Akibat yang muncul karena adanya sebab syara’ tersebut adalah ketetapan syari’ dan tidak ada kaitannya dengan ada atau tidak adanya persetujuan mukallaf. Syari’ yang menjadikan sebab memunculkan akibat, baik mukallaf menginginkannya atau tidak dan dia setuju atau tidak. Anak misalnya, dia menjadi ahli waris ayahnya, karena status sebagai anak adalah sebab mewarisi berdasarkan hukum dan ketetapan syari’, sekalipun muwarris tidak menghendaki atau ahli waris menolak haknya. Atau pada saat menikah mengadakan kesepakatan untuk tidak membayar mahar dan tidak menafkahi isteri atau sepakat tidak ada hak saling mewarisi antara keduanya, maka kesepakatan itu sia-sia dan tidak berarti apa pun, karena syari’ telah menetapkan akibat-akibat yang muncul dengan

(27)

adanya akad nikah, dengan demikian mahar wajib dibayarkan pada isteri, suami wajib menafkahi isteri dan berlaku hak saling mewarisi antara keduanya.

Demikian pula sebab-sebab yang lain, dapat memunculkan akibat-akibat yang telah ditetapkan oleh syara’ sekalipun mukallaf tidak menghendakinya.

Sebab dan ‘Illat

Sesuatu yang oleh syari’ dijadikan sebagai tanda dari ada-tidaknya hukum, adakalanya mempunyai hubungan yang jelas dengan hukum itu, dengan kata lain hubungan keduanya masuk akal, dan adakalanya hubungan keduanya samar dan tidak masuk akal. Menurut sebagian ulama ushul (ushulliyyun), yang pertama disebut dengan ‘illat sekaligus sabab, sedangkan yang kedua hanya bisa disebut sabab, bukan ‘illat.

Contoh dari yang pertama: bepergian membolehkan seseorang tidak berpuasa, memabukkan menjadikan minuman keras haram, status sebagai anak kecil membuatnya harus berada dalam pengampuan walinya. Hubungan sebab-musabab masalah-masalah di atas masuk akal. Bepergian: membuat seseorang kesulitan sehingga dia mendapat rukhshah. Memabukkan: dapat merusak akal sehingga minuman keras diharamkan untuk menjaga akal dari kerusakan. Anak kecil: dia belum bisa bertransaksi yang menguntungkan dirinya, maka dia harus berada dalam pengampuan walinya untuk menjaga kebaikannya dan menolak bahaya yang mungkin menimpanya.

Bepergian, memabukkan, dan anak kecil adalah sabab sekaligus‘illat atas hukum-hukum yang ditimbulkannya.

Contoh dari yang kedua: masuk bulan Ramadhan mewajibkan puasa. Akal tidak dapat menjangkau hubungan antara sebab (masuk bulan Ramadhan) dan hukum (kewajiban berpuasa). Demikian pula terbenamnya matahari yang mewajibkan seseorang melaksanakan shalat maghrib, akal tidak dapat menjangkau apa hubungan sebab (terbenamnya matahari) dengan hukum (wajib shalat maghrib). Oleh karena itu, masuk bulan Ramadhan dan terbenamnya matahari hanya bisa disebut sabab, tidak bisa disebut ‘illat. Setiap ‘illat adalah sabab, tetapi tidak semua sabab adalah ‘illat.

Sedangkan ulama ushul yang lain membatasi ‘illat hanya pada hal-hal yang memiliki hubungan logis dan sabab hanya pada hal-hal yang tidak memiliki hubungan logis. Dengan kata lain, ‘illat bukan sabab, begitu pula sebaliknya.

Sebenarnya perbedaan dua kelompok ulama ushul tersebut terletak di permukaan. Kelompok yang mengatakan bahwa ‘illat juga bisa dikatakan sabab, mereka menggabungkan keduanya dengan sebutan sabab karena keduanya sama-sama sebagai tanda ada-tidaknya hukum, dan mereka memisahkan keduanya karena melihat segi hubungan antara keduanya dan hukum yang ditimbulkan, sehingga yang tidak mempunyai hubungan logis tidak mereka sebut dengan ‘illat, sekalipun keduanya masih mengandung nama sabab.

Referensi

Dokumen terkait