1
ARTIKEL
Identifikasi Pesarean Panembahan Senopati Sunan Kanjeng
Mataram (Embah Temon) di Kelurahan Gilimanuk, Melaya,
Bali sebagai Sumber Belajar Sejarah Kebudayaan Jurusan
Bahasa di SMA
Oleh:
I PUTU ANGGITA SUPRARENDRA NIM : 0914021070
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA
1
Identifikasi Pesarean Panembahan Senopati Sunan Kanjeng Mataram (Embah Temon) di Kelurahan Gilimanuk, Melaya, Bali sebagai Sumber
Belajar Sejarah Kebudayaan Jurusan Bahasa di SMA Oleh :
I Putu Anggita Suprarendra Nim 0914021070 Jurusan Pendidikan Sejarah
(e-mai: anggita_suprarendra1@gmail.com)
A
ABBSSTTRRAAKK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Sejarah keberadaan Pesarean
Panembahan Senopati Sunan Kanjeng Mataram (Embah Temon), (2) Struktur
bangunan Pesarean Panembahan Senopati Sunan Kanjeng Mataram (Embah Temon), dan (3) Aspek-aspek dari Pesarean Panembahan Senopati Sunan
Kanjeng Mataram (Embah Temon) yang dapat digunakan sebagai sumber belajar
Sejarah Kebudayaan di Sekolah Menengah Atas (SMA). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan tahap-tahap penelitian yang dilakukan yaitu (1) Penentuan Lokasi Penelitian, (2) Teknik Penentuan Informan, (3) Metode Pengumpulan Data melalui Observasi, Wawancara, dan Studi Dokumen, dan (4) Teknik Analisis Data. Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Sejarah keberadaan Pesarean
Panembahan Senopati Sunan Kanjeng Mataram (Embah Temon) yang
dilatarbelakangi oleh temuan batu nisan kembar oleh seorang Kawi Tuo bernama Bapak Mat Yasin, dari Melaya ketika kudanya yang lepas ditemukan sedang mencakar-cakarkan kakinya di batu nisan tersebut, dan didirikan gubug di
Pesarean tersebut akibat banyaknya pengunjung ke sana yang sampai kini terus
ditata. (2) Struktur pembangunan Pesarean Panembahan Senopati Sunan Kanjeng Mataram (Embah Temon) menggunakan konsep Dwi Loka yang terdiri atas Bagian Luar (Jabanan) meliputi Tiga buah gubug peristirahatan dan Situs kuda milik Panembahan Senopati Sunan Kanjeng Mataram (Embah Temon), dan Bagian Dalam (Jeroan) terdapat Makam (Pesarean) Embah Temon. Dan (3)
Pesarean Panembahan Senopati Sunan Kanjeng Mataram (Embah Temon) dua
aspek yang dapat dijadikan sumber belajar sejarah kebudayaan yaitu: Aspek Fisik meliputi Gapura Candi Pemedal Pesarean Embah Temon, Togog Candi Gapura
Pesarean Embah Temon, Kaligrafi Ong-Kara dan Kaligrafi Arab di Pesarean Embah Temon, Bentuk Punden Berundak Pelinggih Penunggu Pesarean Embah
Temon, dan Aspek Non Fisik meliputi Sejarah Panembahan Senopati Sunan
Kanjeng Mataram (Embah Temon), dan Pendidikan Karakter.
2 ABSTRACT
This study aims to determine (1) the History of existence Pesarean
Panembahan Senopati Sunan Kanjeng Mataram (Embah Temon), (2) Structure of Pesarean Panembahan Senopati Sunan Kanjeng Mataram (Embah Temon), and
(3) Aspects of Pesarean Panembahan Senopati Sunan Kanjeng Mataram (Embah Temon) which can be used as a learning resource of Cultural History in High School (SMA). This study is a qualitative research wich is conducted of some stages of research, namely (1) Determining the Research Location, (2) Technique of Informant Selecting, (3) Data Collection Method through Observation, Interviews, and Study Documents, and (4) Data Analysis Techniques. The results showed: (1) The historical existence of Pesarean Panembahan Senopati Sunan
Kanjeng Mataram (Embah Temon) was motivated by the findings of tombstones
twins by a Kawi Tuo person named Mr. Mat Yasin, from Melaya, when he found that his loose horse is kicking off its feet on the gravestone, and the hut in the
Pesarean was established due to the number of visitors which is until now
continuous to organized. (2) The construction structure of Pesarean Panembahan
Senopati Sunan Kanjeng Mataram (Embah Temon) using the Dwi Loka concept
consisting of Exterior (Jabanan) includes Three huts resting and Site horses owned by Panembahan Senopati Sunan Kanjeng Mataram (Embah Temon), and Interior (Jeroan) include the Tomb (Pesarean) of Embah Temon. And (3)
Pesarean Panembahan Senopati Sunan Kanjeng Mataram (Embah Temon) are
two aspects that can be used as a source of learning the Cultural History, namely: Physical Aspects include Gapura Candi Pemedal Pesarean Embah Temon, Togog
Candi Gapura Pesarean Embah Temon, Calligraphy Ong-Kara and Arabic
Calligraphy in Pesarean Embah Temon, the Form of Punden Berundak Pelinggih
Penunggu Pesarean Embah Temon and Non-Physical Aspects include History of Panembahan Senopati Sunan Kanjeng Mataram (Embah Temon), and Education
Character.
3 PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, yang memiliki keanekaragaman dalam berbagai hal mulai dari kebudayaan, adat istiadat, agama, suku dan ras. Kemajemukan dan keanekaragaman tersebut bukan unsur yang dapat memecah persatuan melainkan dipandang sebagai sumber kekayaan bangsa yang dapat digunakan sebagai alat untuk menjaga persatuan dan kesatuan seluruh bangsa Indonesia. Di kepulauan Indonesia terdapat kurang lebih tiga ratus kelompok atau suku yang berbeda dengan bahasa dan identitas kebudayaan tersendiri. Selain itu juga terdapat bermacam-macam kepercayaan agama, hampir semua agama dunia yang penting terdapat di sini, dan ditambah kepercayaan asli nenek moyang Bangsa Indonesia (Geertz,1981:1). Kebudayaan selalu menjadi juga cultural paradigm bagi seseorang yang akan menentukan bentuk dan sudut penglihatannya berdasarkan apriori kognitifnya dan sekaligus mempengaruhi jenis dan arah pilihan yang diambil berdasarkan prefrensi nilai yang dianut dalam kebudayaan yang bersangkutan (Kleden, 1987: 185).
Bali memiliki banyak tradisi dan adat istiadat yang bernafaskan kebudayaan Hindu. Bali merupakan “Museum Hidup Majapahit” sehingga pada daerah dataran
banyak kebudayaan atau upacara yang berbau kejawen karena seperti yang diketahui bahwa orang-orang Majapahit yang tidak mau memeluk agama Islam bermigrasi ke Bali (Bawa, 1981:5). Kebudayaan selalu disandingkan dengan upacara atau ritual, segala ritual memiliki maksud dan tujuan serta nilai-nilai religi didalamnya. Keikutsertaan dalam upacara keagamaan dapat menimbulkan suatu rasa “transendensi pribadi” (Personal
Transendence), suatu gelombang
keyakinan, rasa kenyamanan, atau bahkan rasa ekstase (ecstasy), atau rasa bersatu dengan semua yang beribadat (Haviland, 1993:197).
Salah Satu rangkaian upacara dalam hidup manusia adalah upacara kematian. Dalam konteks ini maka tempat penuburan atau peristirahatan terakhir adalah kuburan (makam) yang oleh beberapa orang menyebutnya sebagai
sarean. Berbicara tentang makam ternyata
di Bali makam-makam tua banyak tersebar di berbagai wilayah antara lain: (1) Makam Keramat Karang Rupit yang terletak di desa Temukus Kabupaten Buleleng, (2) Makam Jayaprana yang terletak di desa Teluk Trima Kabupaten Buleleng, (3) Makam Keramat Agung Pemecutan di Desa Pemecutan Denpasar, dan (4) Pesarean Senopati Sunan Kanjeng Mataram (Embah Temon) di Kelurahan
4 Gilimanuk Kabupaten Jembrana. Istilah sarean dalam tradisi Jawa dimaksudkan untuk menghormati arwah orang yang meninggal sebagai orang yang sedang ”tidur”. Sarean berarti tempat untuk tidur. Makam tempat orang suci umumnya disakralkan oleh masyarakat dengan kegiatan upacara tradsi nyekar atau
nyadran (Hartatik dkk, 2007:6).
Masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu, sudah barang tentu melakukan ibadah atau pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa melalui tempat ibadah yang bernama Pura. Namun selain pura, di masyarakat banyak dijumpai berbagai tempat pemujaan warisan tradisi pra Hindu. Hal tersebut dapat dipahami bahwa kebudayaan nenek moyang bangsa Indonesia yang mempercayai adanya kekuatan asing diluar manusia yang harus dihormati agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Dari beberapa makam keramat yang ada di Bali, terdapat makam keramat yang sangat unik yaitu Pesarean
Embah Temon di Kelurahan Gilimanuk,
Melaya, Jembrana Bali.
Pada umumnya prosesi
penyelenggaraan upacara ibadat dan keagamaan pada hari-hari keagamaan, dan ritual tersebut umumnya dipimpin oleh tokoh agama tertentu. Berbeda dengan
Pesarean Embah Temon, dimana
pemimpin upacara ritual lebih dari satu
pemimpin, menurut pada keyakinan masing-masing. Pesarean Embah Temon bergaya Tionghoa, sedangkan di dalam makamnya dihiasi ukiran-ukiran ayat Al-Quran dengan sebuah pelinggih yang bergaya Hindu lengkap dengan Canang Sari (salah satu simbol dari Agama Hindu). Simbol-simbol dalam Agama Hindu sangat terkait dan tidak dapat dipisahkan dengan ajaran ketuhanan (Teologi Hindu), karena simbol-simbol tersebut merupakan ekspresi untuk mendekatkan diri manusia kehadapan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa (Sidia, 2011:3).
Kajian tentang makam telah ada yang meneliti seperti dalam buku Sejarah Lokal di Indonesia (2005) memuat tulisan yang berjudul “Pemujaan Syaikh Yusuf di Sulawesi Selatan”, oleh A.A. Cense (2005), disinggung mengenai makam Syaikh Yusuf yang dipuja oleh masyarakat Sulawesi Selatan. Selain itu Iskandardinata (2006) yang mengkaji tentang “Upacara Slametan Masyarakat Rembitan di Makam Nyantoq Rembitan Pujut, Lombok Tengah, NTB”, namun penekanannya pada aspek upacara slametan yang dilakukan disebuah makam. Dua makam tersebut merupakan contoh dari pemujaan makam yang dilakukan oleh monoagama atau monoetnis (Asmara, 2012:4).
Asmara (2012) yang mengkaji tentang “Makam Keramat Karang Rupit
5 Syeikh Abdul Qadir Muhamad (The Kwan Lie) Desa Temukus Labuan Aji Banjar, Buleleng Bali (Perspektif Sejarah dan Pengembangannya Sebagai Objek Wisata Spiritual)”. Selain itu Adnyani (2013) yang mengkaji tentang “Makam Keramat Agung Pemecutan di Kelurahan Pemecutan, Kota Denpasar (Study Latar Belakang Sejarah, Fungsi dan Potensinya sebagai Sumber Belajar Sejarah Lokal)”. Merupakan contoh dari pemujaan makam yang dilakukan hanya oleh monoagama dan monoetnis. Sedangkan untuk Pesarean
Embah Temon, merupakan salah satu
contoh dari pemujaan makam yang dilakukan lebih dari satu agama dan bersifat multikultur. Meskipun sudah banyak yang mengkaji perihal tentang makam, namun belum ada peneliti yang mengangkat persoalan mengenai fungsi makam sebagai sumber belajar Sejarah Kebudayaan, terlebih lagi makam tersebut berada di Bali di Kelurahan Gilimanuk Kecamatan Melaya Jembrana yang penduduknya heterogen. Keberadaan
Pesarean Panembahan Senopati Sunan
Kanjeng Mataram (Embah Temon) di Kelurahan Gilimanuk sepengetahuan peneliti belum pernah dikaji. Banyak pengunjung yang melakukan ziarah makam atau mengajukan berbagai keinginan dalam bentuk do’a di Pesarean
Embah Temon namun belum ada
pengunjung yang menggunakan pesarean ini sebagai sebuah sumber belajar pada pendidikan baik formal maupun nonformal. Mengacu pada hal tersebut dan melihat keunikan-keunikan yang dimiliki
Pesarean Embah Temon tersebut di atas
mendorong penulis untuk mengkajinya secara khusus dengan mengambil judul: Identifikasi Pesarean Panembahan Senopati Sunan Kanjeng Mataram (Embah Temon) di Kelurahan Gilimanuk, Melaya, Bali sebagai Sumber Belajar Sejarah Kebudayaan jurusan Bahasa di SMA. Di samping itu, kajian ini perlu dilakukan mengingat selama ini guru sejarah tidak pernah mengambil contoh-contoh yang konstektual yang dekat dengan lingkungan siswa seperti pesarean Panembahan Senopati Sunan Kanjeng Mataram (Embah Temon), untuk mencapai sasaran Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) dalam kurikulum KTSP di kelas XI yang berbunyi: SK) Menganalisis perjalanan bangsa Indonesia pada masa negara-negara tradisional, KD) Menganalisis proses interaksi antara tradisi lokal, Hindhu-Budha, dan Islam di Indonesia. Atas dasar itu semakin besar dorongan penulis mengangkat judul ini sebagai karya tulis berupa skripsi.
6 METODE PENELITIAN
Dalam sebuah penelitian, keberhasilan penelitian sangat tergantung pada metode yang digunakan acuan dalam penelitian tersebut. Untuk itu metode sangat penting dalam kaitannya dengan penelitian tentang judul “Identifikasi
Pesarean Panembahan Senopati Sunan
Kanjeng Mataram (Embah Temon) di Kelurahan Gilimanuk, Melaya, Bali sebagai sumber belajar Sejarah Kebudayaan untuk Jurusan Bahasa di SMA”. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara jelas kepada pembaca, sehingga metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif-kualitaif. Adapun langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan antara lain sebagai berikut.
Penentuan Lokasi Penelitian
Dalam upaya untuk memecahkan masalah penelitian ini, maka dilakukan studi kasus pada Pesarean Panembahan Senopati Sunan Kanjeng Mataram (Embah
Temon) di Kelurahan Gilimanuk,
Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana. Pemilihan daerah ini sebagai objek penelitian karena objek ini dinilai penulis sebagai lokasi yang memiliki unsur budaya dan kurang dikenal oleh masyarakat luas. Selain itu, Pesarean ini juga memiliki perspektif sejarah yang unik bila
dibandingkan dengan pesarean bahkan makam lainnya.
Teknik Penentuan Informan
Penulis menggunakan teknik
Purposive Sampling, dengan informan
pertama ditunjuk sebagai informan kunci, dan terus dikembangkan dengan menggunakan teknik Snowbal Sampling, semua ini dilakukan agar informasi yang didapatkan lebih variatif dan lengkap dengan melibatkan banyak informan yang dianggap memahami fenomena yang ada. Jumlah informan tidak dibatasi jumlahnya karena tergantung dari kejenuhan data yang dikumpulkan. Maka dari itu, maka informan di posisikan sedemikian rupa agar mendapatkan data dengan berpedoman kepada pertanyaan penelitian.
Informan yang digunakan yaitu mereka yang dirasa mengetahui dan memahami permasalahan yang akan dikaji oleh penulis. Informan kunci dalam penelitian ini adalah I Gede Rai (62 tahun) selaku juru kunci Pesarean Panembahan Senopati Sunan Kanjeng Mataram (Embah Temon), I Gede Ngurah Widiada, S.H (41 tahun) selaku Lurah di Kelurahan Gilimanuk, I Wayan Swasta Swastika, S.Pd (45 tahun) selaku Kepala Sekolah SMA Gilimandala, dan Dra. Ni Nyoman Sarinaati (50 tahun) selaku guru mata
7 pelajaran sejarah di SMA Gilimandala dan Masyarakat Kelurahan Gilimanuk.
Metode Pengumpulan Data
Dalam rangka mendapatkan data untuk memecahkan persoalan dalam penelitian ini ada beberapa teknik pengumpulan data yang digunakan, yaitu: (1) Observasi, (2) Wawancara, dan (3) Dokumenter.
1. Teknik Observasi
Metode observasi merupakan salah satu metode untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam menyusun laporan penelitian. Metode observasi adalah suatu kegiatan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian. Penulis menggunakan metode observasi langsung, dimana penulis terjun langsung ke
Pesarean Panembahan Senopati Sunan
Kanjeng Mataram (Embah Temon). Aspek-aspek yang diobservasi oleh penulis antara lain:
a. Arsitektur bangunan Pesarean
embah Temon.
b. Struktur bangunan Pesarean Embah Temon.
2. Teknik Wawancara
Metode Interview atau Wawancara yaitu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya
atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide/panduan wawancara, adapun tujuan metode Wawancara adalah agar peneliti memperoleh informasi lisan baik langsung maupun tidak langsung.
Wawancara dalam penelitian ini dilaksanakan di tempat objek penelitian dengan mewawancarai beberapa tokoh yang terkait dengan dan sekitarnya. Wawancara dilakukan dengan 1) Juru kunci Pesarean, 2) Lurah Gilimanuk, 3) Kepala Sekolah SMA Gilimandala, 4) Guru Mata Pelajaran Sejarah di SMA Gilimandala, 5) Tokoh masyarakat di kelurahan gilimanuk.
3. Teknik Studi Dokumen
Studi Dokumen adalah suatu penyelidikan ilmiah yang datanya dicari dan diperoleh dari dokumen yang tertulis, baik yang bersifat resmi maupun yang bersifat tidak resmi baik yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan. Penulis dalam studi dokumen untuk Pesarean
Embah Temon menemukan beberapa
artikel yang menyangkut tentang Pesarean ini, antara lain:
1. Arsip di Kelurahan Gilimanuk (Profil Kelurahan Gilimanuk). 2. Beberapa sumber dari artikel-arikel tentang Pesarean ini
8 (surat kabar, majalah, dan lain sebagainya).
3. Buku data kunjungan
Pesarean Embah Temon. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. data ini dianalisis dengan melakukan berbagai kegiatan, yakni reduksi data, menyajikan, menafsirkan, dan menarik simpulan. Reduksi data meliputi berbagai kegiatan, yakni penyeleksian, pemfokusan, simplifikasi, pengkodean, penggolongan, pembuatan pola, foto dokumentasi untuk situasi, atau kondisi yang memiliki makna subjektif, kutipan wawancara yang memiliki maknasubjektif dan catatan reflektif. Penyajian data dan penafsiran berkaitan dengan penyusutan teks naratif dalam kesatuan bentuk, keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi, alur sebab akibat, dan proposisi. Sedangkan penarikan simpulan atau verifikasi antara lain mencakup hal-hal yang hakiki, makna subjektif, temuan konsep, dan proses universal. Kesemuanya ini tidak terlepas dari masalah yang ditelaah. Kegiatan pengumpulan data, reduksi data, penarikan kesimpulan, dan penyajian data,
merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dan bisa berlangsung secara ulang-alik sampai mendapatkan hasil penelitian terakhir.
PEMBAHASAN
Sejarah Pesarean Panembahan
Senopati Sunan Kanjeng Mataram (Embah
Temon ), dimulai dengan adanya seorang
Kawi Tuo (tokoh masyarakat) yang tinggal
di Melaya bernama Bapak Mat Yasin. Beliau mempunyai seekor kuda yang melahirkan anak dan diberi nama Si Manis
Kunci Sarwono, lahir pada tanggal 21
Maret 1952. Kuda tersebut tiba-tiba lepas menuju pada sebuah batu, pada batu itulah sang kuda mencakarkan kakinya kemudian ditemukannya 2 buah batu nisan kembar, yang selanjutnya tempat ini disebut “Ketemon”.Selanjutnya tempat itu banyak dikunjungi orang-orang yang ingin berdo’a baik dari umat beragama Hindu, Islam, Budha, Katolik, dan Protestan. Semakin lama semakin banyak yang berkunjung. Pada waktu itu Pesarean ini dihuni oleh orang-orang pengontrak ada 2 kampung yaitu Kampung Jawa dan Kampung Bali, dengan Kepala Lingkungannya yang bernama I Nengah Suwenden. Selanjutnya di Pesarean tersebut dibangunlah gubug darurat dan oleh masyarakat serta para pengunjung dijadikan tempat melakukan tapa semadi dengan nama Pesarean Datuk
9 konsep pembangunan tata ruang
mandala yang diterapkan di Pesarean Embah Temon adalah konsep Dwi Loka.
Konsep Dwi Loka melambangkan pembagian alam semesta menjadi dua yaitu alam atas (urterdhah) dan alam bawah (adhah) yaitu akasa dan pertiwi yang direalisasikan sebagai berikut. Jaba
Pura atau Jaba Pisan (halaman luar), dan Jeroan (halaman dalam) dan
masing-masing mandala dibatasi oleh tembok dalam hal ini adalah sebuah pondok yang dimaksudkan sebagai penyengker.
Pesarean Panembahan Senopati
Sunan kanjeng Mataram (Embah Temon) merupakan sebuah objek wisata religi yang memiliki aspek-aspek yang dapat digunakan sebagai sumber belajar Sejarah Kebudayaan di bangku pendidikan formal. Adapun aspek-aspek yang dapat digunakan sebagai sumber belajar Sejarah Kebudayaan adalah Aspek Fisik dan Aspek non fisik, dengan pembagian sebagai berikut:
1. Aspek fisik
a. Gapura Candi Peedal Pesarean
Embah Temon.
b. Togog Candi Gapura Pesarean
Embah Temon.
c. Kaligrafi Ong-Kara dan Kaligrafi Arab di Pesarean
Embah Temon.
d. Bentuk Punden Berundak
Pelinggih Penunggu Pesarean Embah Temon.
2. Aspek Non fisik
a. Sejarah Panembahan Senopati
Sunan Kanjeng Mataram
(Embah Temon).
b. Pendidikan Karakter
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab empat di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
Pesarean Panembahan Senopati Sunan
Kanjeng Mataram (Embah Temon)
ditemukan oleh seekor kuda yang bernama
Si Manis Kunci Sarwono milik Bapak Mat
Yasin seorang Kawi Tuo yang tinggal di Desa Melaya. Melalui temuan tersebut Bapak Mat Yasin melakukan Semadi dan beliau mendapat bisikan bahwa anak kuda miliknya merupakan jelmaan dari seekor kuda milik seorang prajurit tinggi berasal dari Mataram yang gugur di tempat tersebut dan meminta untuk di sarekan (diistirahatkan) dengan layak. Dari hasil bisikan tersebut Bapak Mat Yasin mengirimkan do’a agar Panembahan
Senopati dapat beristirahat dengan tenang.
Hal tersebut melatar belakangi didirikannya Pesarean Panembahan Senopati Sunan Kanjeng Mataram (Embah
10 dikunjungi oleh para peziarah yang ingin meminta sesuatu atau hanya sekedar untuk melakukan nyekar dan berdo’a di
Pesarean tersebut.
Konsep pembangunan tata ruang
mandala yang ditetapkan di Pesarean Panembahan Senopati Sunan Kanjeng
Mataram (Embah Temon) adalah konsep
Dwi Loka (Jaba Sisi dan Jaba Tengah)
melambangkan pembagian alam semesta menjadi dua yaitu alam atas (urterdhah) dan alam bawah (adhah) yaitu akasa dan
pertiwi.
Selain sebagai objek wisata spiritual, Kedudukan Pesarean Panembahan Senopati Sunan Kanjeng
Mataram (Embah Temon) juga dapat digunakan sebagai sumber belajar Sejarah Kebudayaan di tingkat pendidikan formal, kususnya Kelas XI jurusan Bahasa di SMA. Keberagaman budaya yang terdapat di Pesarean Panembahan Senopati Sunan
Kanjeng Mataram (Embah Temon) maka
dianjurkan kepada pendidik untuk menjadikan Pesarean tersebut sebagai salah satu sumber belajar yang dekat dengan lingkungan belajar siswa.
KATA PERSEMBAHAN
Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Drs. I Gusti Made Aryana, M. Hum selaku pembimbing I Dan juga
kepada Ibu Dr. Tuty Maryati, M.Pd selaku pembimbing II yang telah memberikan masukan dalam penulisan artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA Asmara, Amanda Destianty
Poetri.2012.Makam Keramat
Karang Rupit Syeikh Abdul Qadir Muhamad (The Kwan Lie) Desa Temukus Labuan Aji Banjar, Buleleng Bali (Perspektif Sejarah dan Pengembangannya Sebagai Objek Wisata Spiritual).Skripsi
Tidak Diterbitkan. Jurusan
Pendidikan Sejarah. Fakultas Ilmu Sosial Undiksha Singaraja.
Geertz,H. 1981.Aneka Budaya dan
Komunitas di
Indonesia.Jakarta:VIIS-FIS UI.
Hartatik, Endah Sri ,dkk,2007. Pengkajian
dan Penulisan Upacara Tradisi di Kabupaten Kebumen, Semarang:
Diknas Propinsi Jawa Tengah. Haviland, A.William. 1993. Antropologi
(Edisi Keempat). Jakarta: Erlangga.
Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah Dan
Kritik Kebudayaan. Jakarta:
Lembaga Penelitian, Pendidikan Dan Penerangan Ekonomi Dan Sosial.
Sidia, I Nyoman. 2011. Pelinggih Pak
Ginator Di Pura Bancingah, Desa Pakraman Lumbahan, Sukasada, Bali (Studi Tentang Sejarah, Struktur Dan Fungsinya). Skripsi
Tidak Diterbitkan. Jurusan
Pendidikan Sejarah. Fakultas Ilmu Sosial Undiksha Singaraja.
… . 2007. Purana Kwasan Suci Hutan Bali Barat. Jembrana: Pemkab