• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEDAGOGIK DALAM STUDI KULTURAL UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI ILMIAH DAN RELIGIUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEDAGOGIK DALAM STUDI KULTURAL UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI ILMIAH DAN RELIGIUS"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PEDAGOGIK DALAM STUDI KULTURAL UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI ILMIAH DAN RELIGIUS

Oleh

Ni Nengah Selasih

Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Email : nghselasih@gmail.com

Abstrak

Transformasi sosial sebagai akibat dari modernisasi, maka perlu diperhatikan bahwa perubahan sosial mempunyai banyak dimensi, yaitu dimensi spiritual, kultural, filsafat, sosial, moral, dan dimensi agama. Pendidikan bukan semata-mata transmini kebudayaan dan ilmu pengetahuan, bahkan merupakan proses dekonstruksi dan rekonstruksi kebudayaan. Pedagogik tradisional tidak mengembangkan manusia kritis dan segala sesuatu diterima sebagaimana adanya secara turun menurun. Kekuasaan (power) dalam pendidikan mempunyai konotasi berbeda dengan kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari. Jenis kekuasaan, yakni 1) kekuasaan transformatif; 2) kekuasaan transmitif. Kekuasaan dalam pendidikan adalah kekuasaan bersifat transformatif. Tujuannya adalah dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang lain, bahkan membangkitkan refleksi dan refleksi menimbulkan aksi. Aksi atau tindakan yang dilakukan peserta didik dalam pendidikan secara pedagogik kritis dan transformatif, untuk dapat menciptakan generasi ilmiah dan religius, melalui pengembangan ilmu, serta dapat menghadapi tantangan untuk reformasi Pendidikan Nasional menghadapi globalisasi.

I. Pendahuluan

Transformasi sosial sebagai akibat dari modernisasi, maka perlu diperhatikan bahwa perubahan sosial mempunyai banyak dimensi, yaitu dimensi-dimensi spiritual, kultural, filsafat, sosial, moral, dan dimensi agama. Menurut Soedjatmoko (dalam Tilaar,2003:36) agama dapat mempunyai kekuasaan positif dalam menggerakkan transformasi sosial, tetapi dapat menyebabkan konflik sosial apabila tidak disadari akan bahaya-bahaya inklusivisme yang menggunakan lambang-lambang agama untuk kepentingan masyarakat eksklusif.

Menurut Raymond (dalam Tilaar,2003:42) hubungan antara pedagogik dan studi kultural mempunyai sejarah yang sangat panjang, terletak pada kesatuan titik tolak, yaitu proses perubahan sosial. Studi kultural pada hakikatnya mencerminkan perubahan sosial dan terdapat suatu keinginan untuk menjadikan proses belajar sebagai bagian dari proses perubahan sosial. Keduanya merupakan ilmu praksis yang mengkaji dan merefleksikan praktik-praktik kebudayaan dan sebagai ilmu performatif.

(2)

II. Pembahasan

2.1 Pedagogik Tradisional dan Studi Kultural

Tilaar (2003:43) dalam pedagogik tradisional, tidak ada tempat bagi studi kultural. Proses pendidikan terbatas pada proses belajar yang bahkan dibatasi di ruang-ruang kelas. Proses pendidikan tidak lebih dari proses transmisi dari sebagian kebudayaan, yaitu ilmu pengetahuan yang disampaikan secara tradisional dan secara estafet dari generasi ke generasi berikutnya. Inilah fungsi reproduksi dari pedagogik tradisional yang pada hakikatnya mempertahankan atau menjadi legitimasi dari struktur kekuasaan yang ada di masyarakat. Pedagogik tradisional tidak mengembangkan manusia kritis dan segala sesuatu diterima sebagaimana adanya secara turun temurun. Dengan demikian, kebudayaan tidak berubah atau menjadi beku tanpa kreativitas. Hak untuk berbeda yang menjadi ciri dari suatu masyarakat demokrasi tidak hidup di dalam pedagogik tradisional. Di dalam sejarahnya, pendidikan pedagogik tradisional dikenal sebagai gerakan pendidikan progresif yang bertitik tolak kepada anak. Perkembangan anak dilihat sebagaimana adanya tanpa mendudukkannya dalam relasi di lingkungan masyarakat dalam kebudayaannya.

2.2 Studi Kultural dalam Pedagogik Kritis dan Pedagogik Transformatif

Tilaar (2003:43) pandangan mengenai proses pendidikan yang terisolasi dari masyarakat dan budaya yang dipunyai oleh masyarakat ditentang oleh pedagogik kritis dan pedagogik transformatif. Pendidikan tidak terpisahkan dalam struktur kebudayaan di mana proses pendidikan itu terjadi. Proses pendidikan bukanlah semata-mata transmisi kebudayaan dan ilmu pengetahuan bahkan merupakan proses dekonstruksi dan rekonstruksi kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan itu akan berkembang sesuai dengan kemampuan kreativitas manusia. Manusia dilahirkan dengan potensi-potensi yang dapat berkembang ke arah yang berjenis-jenis. Di sinilah letak peranan kebudayaan dalam menentukan makna hidup seseorang. Dengan kata lain, proses membangun masyarakat merupakan suatu proses pendidikan.

Suatu kekeliruan bahwa manusia dilahirkan bebas, tetapi sebenarnya manusia dilahirkan tanpa daya dan akan memperoleh kemerdekaan dalam rangka kebudayaannya. Pandangan kedua yang melihat seakan-akan manusia dilahirkan baik, nyatanya manusia lahir tidak baik dan tidak jelek, tetapi manusia dilahirkan dengan potensi-potensi yang dapat berkembang ke arah yang berjenis-jenis. Di sinilah letak peranan kebudayaan dalam menentukan hidup seseorang. Dengan kata lain, proses membangun masyarakat merupakan suatu proses pendidikan. Ketiga, pandangan yang menganggap manusia lahir dengan dunianya sendiri, sejak lahir hidup dalam suatu jaringan kehidupan yang ditentukan oleh orang-orang dewasa melalui kebudayaan. Oleh sebab itu, seorang sejak lahir telah dihadapkan kepada jaringan-jaringan kehidupan dari semua kelompok unsur manusia. Dalam perkembangan jaman globalisasi dewasa ini pengaruh-pengaruh dari luar ikut menentukan perubahan-perubahan kebudayaan suatu kelompok

(3)

Menurut Dewey (dalam Tilaar, 2003:45) bahwa sekolah sebenarnya telah berfungsi sebagai lingkungan yang telah memilih untuk anak. Artinya, sekolah bukanlah suatu lembaga yang netral, tetapi merupakan pelaksana dari sistem kekuasaan yang ada di masyarakat. Studi kultural menjadi sangat penting bagi para pendidik, karena studi tersebut memberikan dasar untuk menyimak masalah-masalah penting seperti pemerataan pendidikan, pendidikan seumur hidup, pendidikan dasar sembilan tahun.

2.3 Pedagogik dan Pemberdayaan (Empowerment)

Tilaar, (2003:58) pendidikan pada hakikatnya adalah proses menemukan identitas seseorang atau suatu kelompok. Oleh sebab itu, proses pendidikan yang benar adalah yang membebaskan seseorang dari berbagai lingkungan atau empowering atau penyadaran akan kemampuan atau identitas seseorang atau kelompok. Di sinilah letak afinitas dari pedagogik dan studi kebudayaan, yaitu membebaskan manusia dari ikatan-ikatan yang terdapat di luar dirinya. Meski demikian, pendidikan dapat pula membentuk sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang. Hal ini terjadi, apabila pendidikan dijadikan alat oleh sistem penguasa yang ada untuk mengungkung kebebasan individu. Pendidikan dan kekuasaan merupakan suatu kajian dari suatu kebudayaan bagaimana suatu rezim atau pemerintah melestarikan kekuasaannya melalui lembaga-lembaga pendidikan. Apabila suatu sistem kekuasaan memaksaan kehendaknya dan merampas kemerdekaan individu beserta kebudayaannya, maka pendidikan berubah menjadi alat opperesive bagi perkembangnan individu atau kelompok masyarakat.

Apabila berbicara masalah kekuasaan, maka yang tergambar adalah pemerintah dengan birokrasinya, ataupun kekuasaan yang dipegang oleh seseorang, kekuasaan konglomerat, ataupun kekuasaan-kekuasaan lainnya yang dikenal dalam kehidupan masyarakat. Patrick (1968, terjemahan 2000, dalam Tilaar, 2003:61) dalam studi kultural, posisi pendidikan mendapatkan tempat yang sangat istimewa, karena transformasi sosial tidak dapat terlaksana tanpa pendidikan. Oleh sebab itu, masalah kekuasaan, pendidikan, dan studi kultural mempunyai bidang garapan yang bersamaan, karena pendidikan adalah ilmu praksis yang diarahkan kepada suatu refleksi untuk mengubah praksis pendidikan menuju kepada transformasi kehidupan bersama yang lebih maju.

Simon (2001:139) kaitan antara pendidikan dan studi kebudayaan atau yang lebih khusus lagi kaitan antara pendidikan transformatif dan studi kultural. Praksis pendidikan dapat dibedakan antara pendidikan informal, pendidikan formal, dan pendidikan nonformal, yang merupakan keseluruhan dari proses pendidikan. Pendidikan informal berkenaan dengan seluruh aspek kebudayaan yang mempengaruhi perkembangan manusia. Manusia bukan hanya berada tetapi juga mengada, yaitu menjadi manusia. Dalam masyarakat yang sudah lebih maju, proses pendidikan sebagian besar dilaksanakan di lembaga pendidikan sekolah (formal) yang melaksanakan kegiatan yang lebih terencana, teratur dan terdeferensiasi. Di samping pendidikan informal dan formal, terdapat pendidikan nonformal yang terlaksana dalam lembaga-lembaga di luar struktur persekolahan

(4)

Ketiga proses pendidikan terjadi suatu proses yang diarahkan kepada transformasi sosial. Dalam masyarakat Indonesia, dikenal dengan ungkapan

guru ratu wong atua karo‖. Artinya, dalam masyarakat tradisional di

Indonesia dikenal adanya tiga sumber kekuasaan yang mengayomi masyarakat, yaitu 1) guru; 2) ratu atau pemerintah; 3) orang tua, yaitu pemimpin-pemimpin informal dalam masyarakat.

Jadi, ketiga sumber kekuasaan yang ada di masyarakat merupakan pimpinan atau sumber transformasi sosial yang ada. Moedjanto, (2001:vii) Peranan guru adalah menjaga dan melestarikan nilai-nilai kebudayaan yang hidup di masyarakat. Sang ratu atau raja atau disebut pemerintah di jaman modern yang mempunyai kekuasaan mengatur kehidupan bersama masyarakat. Sumber kekuasaannya mungkin saja berasal dari Tuhan atau mungkin berasal dari sumber-sumber transendental lainnya. Kekuasaan raja atau pemerintah ditopang oleh struktur birokrasi yang berjenis-jenis. Kerjasama antara guru sebagai pemelihara dan pengembang nilai-nilai kebudayaan beserta dengan sang ratu atau pemerintah biasanya sangat berat. Kekuatan yang ketiga yang tidak kalah pentingnya dari dua kekuatan yang pertama adalah peranan orang-orang yang dituakan yang dalam masyarakat modern adalah pemimpin-pemimpin informal yang dapat berbentuk kepala adat, pemimpin-pemimpin di berbagai bidang kehidupan, baik kehidupan politik, sosial, dan ekonomi. Bersama-sama guru dan ratu. Mereka merupakan sumber kekuasaan dalam mengatur dan menggerakkan masyarakat yang berbudaya.

Dalam masyarakat yang modern, peranan guru sangat penting, statusnya sangat tinggi, dan dihormati. Perubahan sosial atau transformasi sosial berjalan sangat pesat apalagi di kehidupan globalisasi, kemajuan teknoligi, khususnya teknologi informasi telah mempercepat transformasi sosial dalam masyarakat. Proses pendidikan bukan hanya memperhatikan manusia sebagai human being, tetapi memperlakukan manusia untuk menjadi manusia seutuhnya yang mengembangkan kebudayaannya dan mengembangkan hak asasi manusianya.

Keberadaan manusia sebagai makhluk yang spesifik karena meskipun dilengkapi dengan kemampuan biologis, tetapi tidak seluruhya diprogram oleh keberadaan biologisnya. Manusia mempunyai kemampuan untuk bertindak, maka manusia disebut homo egent, yaitu makhluk yang mempunyai self programming. Melalui tindakannya, manusia menentukan posisinya di alam ini. Dengan homo egent ditambah sifat-sifat manusia yang telah digambarkan sebagai homo faber, homo sapiens, homo ludens, dan sebagainya. Berbagai nama terhadap spesies manusia tersebut menunjukkan potensi-potensi yang ada pada manusia, yaitu potensi atau kapasitas untuk mengetahui, berbuat, berbicara, bermain, dan sebagainya. Potensi-potensi tersebut membuat manusia dapat melaksanakan sesuatu yang berbeda dengan yang lainnya, juga membuat manusia lain dari alamnya. Manusia menentukan keterbatasannya dalam menempatkan dirinya di dunia ini.

Dalam ajaran agama Hindu, manusia menempatkan dirinya di alam semesta ini dengan selalu menjaga hubungan yang harmonis, baik hubungan antara manusia dengan Tuhan (parhyangan), manusia dengan

(5)

dapat mencapai kesejahteraan. Di samping itu, manusia juga disebut sebagai makhluk religius, yaitu makhluk yang ber-Ketuhanan.

Tilaar (2003:100) pengertian kekuasaan (power) dalam pendidikan ternyata mempunyai konotasi yang berbeda dengan pengertian kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dibedakan antara jenis kekuasaan, yakni 1) kekuasaan transformatif; 2) kekuasaan yang berfungsi sebagai transmitif. Kekuasaan dalam pendidikan adalah kekuasaan bersifat transformatif. Tujuannya adalah dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang lain, bahkan membangkitkan refleksi dan refleksi menimbulkan aksi. Orientasi yang terjadi dalam aksi tersebut merupakan orientasi advokatif. Dalam proses kekuasaan sebagai transmitif terjadi proses transmisi yang diinginkan oleh subjek yang memegang kekuasaan terhadap subjek yang terkena kekuasaan itu. Orientasi kekuasaan itu bersifat legitimatif.

Kekuasaan dalam pendidikan memiliki batas-batas, yang dapat dilihat berbagai sumber kekuasaan dalam pendidikan termasuk praktik kekuasaan dalam menjalankan atau melaksanakan proses pendidikan, maka dapat dicatat beberapa hal yang penting, sebagai berikut.

1) Dilihat pendidikan sebagai suatu proses, menghasilkan manusia yang bebas, yang mempunyai akal-budi dalam mengambil keputusan menghadapi berbagai jenis situasi dan kondisi serta keterikatan manusia dalam lingkungan kebudayaannya. Dalam proses pendidikan berhadapan dengan individu yang ―sedang menjadi‖, berarti kekuasaan untuk memberikan kesempatan (opportunity) dari kebebasan manusia. 2) Menyimak mengenai kekuasaan dalam pendidikan akan berhadapan

dengan batas-batas kekuasaan itu sendiri. Salah satu keterbatasan kekuasaan dalam pendidikan terletak dalam makna kemerdekaan dari seorang individu. Dalam keterbatasan terletak kemerdekaan mengisi secara bersama-sama dengan orang lain, dalam lingkungan kebudayaan yang disebut performing practice. Artinya menghargai akan aktivitas, kreativitas manusia, dan mengakui akan keterbatasan individu serta keampuhan kehidupan bersama dalam kebudayaanya, dalam rangka partisipasi dengan sesama anggota masyarakat laninnya untuk penyempurnaan pengembangan kepribadiannya.

3) Pengakuan atas hak asasi manusia. Kekuasaan dalam pendidikan mengakui akan keterbatasan dan kebebasan manusia, yang merupakan suatu hal yang unik dalam hal kekuasaan ini. Tanpa pengakuan atas hak asasi manusia, tidak mungkin melaksanakan proses pendidikan yang memberdayakan. Setiap manusia diakui sebagai individu yang bebas dalam arti bebas untuk memilih tanpa dipaksakan oleh kehendak orang lain. Proses individualisasi terjadi dalam hubungan interaktif antara sesama manusia dengan menghormati hak masing-masing melalui kesepakatan bersama berpartisipasi untuk membagi pengalaman dalam lingkungan kebudayaannya.

4) Komunikasi pendidik dan peserta didik. Dalam proses belajar yang demokratis, dilihat suatu perubahan dalam komunikasi antara pendidik dengan peserta didik. Keduanya, meskipun berbeda pengalaman tetapi sama-sama mengambil pengalaman yang bermanfaat dari pertemuannya

(6)

pertemuan pendidikan dari keduanya, harus menantang dan memberikan kesempatan kepada refleksi serta kreativitas dari peserta didik. Dengan demikian, proses belajar akan bermakna dan bermanfaat bagi keduanya dan ini berarti pula perkembangan kebudayaan. Proses belajar bukan hanya merupakan proses transmisi ilmu pengetahuan, tetapi juga merupakan proses transformasi dari kelakukan dan pandangan dunia dari peserta didik maupun pendidik. Pada jenjang pendidikan yang semakin tinggi, perbedaan pengalaman menjadi semakin menipis, apalagi dalam kemajuan teknologi informasi yang sangat pesat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menjelahi pengalaman secara lebih leluasa secara independen, secara ilmiah untuk melakukan penyelidikan dan penemuan-penemuan. Fungsi pendidik dalam hal ini adalah semata-mata memberi jalan dan bukan menstranfer ilmu pengetahuan.

5) Kurikulum. Hubungan antara kurikulum dan kekuasaan berkaitan erat dengan epistemologi sebagaimana yang hidup dan berkembang dalam suatu masyarakat. Isi kurikulum ternyata ditentukan oleh perspektif dari mana seseorang memandang proses pendidikan. Dewasa ini, dalam rangka reformasi pendidikan nasional, orang memperbaiki kurikulum. Penyusunan kurikulum dewasa ini masih berpusat pada kekuasaan yang dipegang oleh negara, antara lain menentukan standar-standar dari proses pendidikan.

6) Pendidikan dan politik. Pendidikan tidak terlepas dari politik, namun bukan dalam arti politik praktis. Dalam kehidupan bernegara tersangkut dalam pelestarian kekuasaan negara melalui politik kebudayaan. Kemauan politik atau sistem kekuasaan secara tidak langsung berada dan merasuk dalam sistem pendidikan dengan bentuk ‖hidden

curriculum‖. Upaya untuk melestarikan kekuasaan negara dapat

dibedakan dalam beberapa sistem atau pendekatan, sebagai berikut.

- Moralisme religius, artinya negara memberikan arah kepada

pendidikan agar memelihara nilai-nilai moral religius yang dianut oleh negara. Dalam sejarah pendidikan dikenal pada zaman scholastic.

- Masa Aufklarung. Munculnya intelektualisme mendorong negara

mengarahkan pendidikannya kepada pengembangan kemampuan berpikir yang merupakan dasar dari kemajuan. Intelektualisme merupakan tujuan utama dalam pendidikan yang diarahkan oleh negara

- Perkembangan nasionalisme.

- Lahirnya Demokrasi.

- Pendidikan sebagai pengembangan sumber daya manusia.

7) Pendidikan dan ekonomi. Sistem Pendidikan di Indonesia yang hanya terarah kepada kepentingan sebagian kecil masyarakat dan tidak memberdayakan masyarakat banyak. Misalnya pelaksanaan wajib belajar 6 tahun dianggap sudah berhasil dan kini menuntaskan wajib belajar 9 tahun, yang ternyata hasil pendidikan rakyat tidak menambah secara signifikan perbaikan nasib rakyat.

(7)

2.4 Pendidikan Multikultural sebagai Tantangan Masyarakat Globalisasi

Tilaar (2003:170) menjelaskan bahwa masalah yang muncul dari pendidikan multikultural, yaitu 1) pendidikan multikultural merupakan suatu proses. Artinya, konsep pendidikan yang baru di mulai dalam dunia pendidikan di Indonesia memerlukan proses perumusan, refleksi, dan tindakan di lapangan sesuai dengan perkembangan konsep-konsep yang fundamental mengenai pendidikan dan hak asasi manusia; 2) pendidikan multikultural merupakan suatu multifaset oleh sebab itu meminta suatu pendekatan lintas disiplin.

Ada empat nilai inti atau core values dari pendidikan multikultural, yaitu a) apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat; b) pengakuan terhadap Harkat manusia dan hak asasi manusia; c) pengembangan tanggungjawab masyarakat dunia; d) pengembangan tanggungjawab manusia terhadap planet bumi.

Tilaar (2003:199) menjelaskan empat kekuatan yang perlu dicermati pendidikan nasional dengan mengidentifikasikan Catur Shantika Saruka, antara lain 1) kerjasama regional dan internasional; 2) demokrasi dan peningkatan kesadaran akan hak asasi manusia serta pemberdayaan masyarakat; 3) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi; 4) identitas bangsa dan internasionalisme. Tilaar menekankan dan memberikan rumusan yang lebih terarah sesuai dengan perkembangan kehidupan politik dan sosial budaya di era reformasi, antara lain a) arah pendidikan harus jelas; b) masalah wajib belajar Pendidikan Dasar; c) Konsep Feodalisme Intelektual untuk Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi; d) Pengembangan Program Pelatihan; e) Pengembangan Pusat-Pusat Riset dan Langkah Awal ke Arah Research University.

III. Penutup

Pendidikan tidak dapat terpisah dalam struktur kebudayaan di mana proses pendidikan itu terjadi. Pendidikan bukan semata-mata transmini kebudayaan dan ilmu pengetahuan, bahkan merupakan proses dekonstruksi dan rekonstruksi kebudayaan. Pedagogik tradisional tidak mengembangkan manusia kritis dan segala sesuatu diterima sebagaimana adanya secara turun menurun. Kekuasaan (power) dalam pendidikan ternyata mempunyai konotasi yang berbeda dengan pengertian kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dibedakan antara jenis kekuasaan, yakni 1) kekuasaan transformatif; 2) kekuasaan yang berfungsi sebagai transmitif. Kekuasaan dalam pendidikan adalah kekuasaan bersifat transformatif. Tujuannya adalah dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang lain, bahkan membangkitkan refleksi dan refleksi menimbulkan aksi. Aksi atau tindakan yang dilakukan peserta didik dalam pendidikan secara pedagogik kritis dan transformatif, untuk dapat menciptakan generasi ilmiah dan religius, melalui pengembangan ilmu, serta dapat menghadapi tantangan untuk reformasi Pendidikan Nasional menghadapi globalisasi.

(8)

IV Daftar Pustaka

Dewey, John. 1998. Budaya dan Kebebasan (terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Moedjanto, G, 2001. Konsep Kepemimpinan dan Kekuasaan Jawa Tempo Dulu

Simon, Roger. 2001. Gagasan-Gagasan Politik Gramci. Terjemahan Selection from the Prison Notebooks.

Sudarsana, I. K. (2015, June). Pentingnya Kearifan Lokal dalam Pendidikan Karakter bagi Remaja Putus Sekolah. In Seminar Nasional (No. ISBN : 978-602-71567-1-5, pp. 343-349). Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar.

Tilaar. H.A.R, 2003. Kekuasaan dan Pendidikan (Suatu Tinjauan dari

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Internal.. informasi akuntansi yang terintegrasi sistem ERP yang tepat akan memberikan kualitas output SIA yang berisi informasi yang tepat pula. Sistem informasi

Data primer dalam penenlitian ini adalah tanggapan yang akan dijawab langsung oleh subjek penelitian mengenai motivasi karir, motivasi kualitas, motivasi ekonomi

Hubungan Antara Kepribadian dan Minat Belajar anak Terhadap Prestasi Matematika.. Siswa Kelas VIII DI SMP Negeri 1 boyolangu Tahun

Hasil penelitian ini tidak dapat membuktikan bahwa perilaku earnings management yang semakin rendah seiring dengan perubahan life cycle perusahaan dikarenakan untuk

MANSUR IBRAHIM 3.12GI III E Senin 3 4 PEMBELAJARAN IPA SD ATOK MIFTACHUL HUDHA 6.16 III E. Jumat 12 14 KAJIAN PPKN SD I SUKO PRASETYO 4.12

Matematika sebagai pola pikir deduktif Matematika merupakan pengetahuan yang memiliki pola pikir deduktif, artinya suatu teori atau matematika dapat diterima kebenarannya

Bab 1 membahas tentang dasar dan argumentasi mengapa Pendidikan Agama Islam perlu diajarkan di level perguruan tinggi, dan bagaimana cara mengajarkannya. Dalam bab