BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Belajar dan Pembelajaran
Menurut Sudjana dalam Rusman (2012:1), belajar pada hakikatnya adalah suatu proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang diarahkan kepada tujuan dan proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar juga merupakan proses melihat, mengamati, dan juga memahami sesuatu.
Kegiatan belajar ini dilakukan oleh dua orang pelaku, yaitu antara guru dengan siswanya. Perilaku guru adalah pengajar dan sedangkan perilaku siswa adalah belajar. Perilaku mengajar dan belajar tersebut taklepas terkait dengan yang namanya bahan pembelajaran. Bahan pembelajaran dapat berupa pengetahuan, nilai-nilai kesusilaan, seni, agama,sikap, dan mengasah keterampilan siswa. Hubungan antara guru, siswa, danbahan ajar merupakan suatu yang sifatnya kompleks dan dinamanis, yang artinya satu sama lain saling berkesinambungan. Untuk mencapai keberhasilan dalam kegiatan pembelajaran terdapat suatu komponen-komponen yang dapat menunjang proses pembelajaran, yaitu diantaranyakomponen tujuan, komponen materi, komponen strategi belajar mengajar,dan komponen evaluasi. Masing-masing komponen saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain. Sehingga pembelajaran dapat diartikan hanya sebagai sistem, yang terdiri atas berbagai komponen yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
Menurut Gagne, Briggs, dan Wager dalam Rusmono (2012:6), pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa. Instuction is set of events that effect learners in such a way that learning is facilitated. Miarso (2004:545) mengemukakan bahwa pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja, bertujuan, dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relatif menetap pada diri orang lain. Usaha ini dapat dilakukan oleh seseorang atau suatu tim yang memiliki suatu kemampuan atau kompetensi dalam merancang dan atau mengembangkan sumber belajar yang diperlukan. Pembelajaran tidak harus diberikan oleh seorang guru,
karena kegiatan itu dapat dilakukan oleh perancang dan pengembang sumber belajar. Dalam pembelajaran, terdapat beberapa faktor-faktor eksternal seperti lembar kerja siswa, media dan sumber-sumber belajar yang lain direncanakan sesuai dengan kondisi internal siswa.
Dapat ditarik kesimpulan dari kedua tokoh di atas tersebut meskipun memiliki pandangan yang berbeda akan tetapi keduanya sepakat bahwasannya dalam pembelajaran memilki komponen penting yang harus terlibat dalam proses belajar mengajar yaitu, guru, siswa, dan materi (content). Selain itu, hal yang harus diperhatikan oleg guru adalah dalam memilih dan menentukan model-model pembelajaran apa yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran.
Hamalik (1999:57) mendefinisikan bahwa pembelajaran sebagai “suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi dalam kegiatan proses pembelajaran”. Lebih terperinci Hamalik menjelaskan bahwa unsur manusia yang terlibat dalam pembelajaran terdiri dari siswa yang belajar, guru yang mengajar, dan staf atau tenaga lainnya yang turut membantu kelangsungan dan kelancaran proses pembelajaran dalam mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan, sedangkan unsur material yang tercakup dalam pengertian pembelajaran adalah meliputi buku-buku atau bahan ajar, papan tulis, spidol atau kapur, slide, dan video. Sementara yang termasuk dalam fasilitas dan perlengkapan diantaranya adalah ruang kelas, perlengkapan audio visual termasuk komputer dan proyektor. Adapun yang tergolong prosedur dalam pembelajaran adalah jadwal dan metode penyampaian informasi, praktek, belajar, ujian, dan sebagainya.
Untuk mengkombinasikan berbagai macam unsur yang terdapat dalam suatu pembelajaran, menjadi suatu keharusan perlu adanya rencana dan prosedur pembelajaran yang disusun secara sistematis. Perencanaan intruksional yang sistematis sangat diperlukan agar para peserta didik dapat mempergunakan waktunya sebaik mungkin (Sumantri, 1988:107). Karena, baik dan buruknya proses pembelajaran yang terjadi sangat tergantung pada rencana dan prosedur yang ditempuh guru baik sebelum maupun selama
proses pembelajaran berlangsung. Pada gilirannya baik buruknya suatu proses pembelajaran akan berakibat pada mutu dan kualitas pencapaian hasilbelajar dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Perencana dan perancang proses pembelajaran paling utama adalah seorang guru, maka peran guru menjadi sangat penting dan strategis. Guru seyogyanya dapat membuat rencana pembelajaran, mendasain dan juga menciptakan pembelajaran yang baik dan bermutu, yaitu proses pembelajaran yang menyenangkan siswanya, sehingga dapat memotivasi siswa untuk terlibat dalam kegiatan belajar yang secara aktif. Sehingga dengan demikian, maka pada gilirannya semangat dan hasil belajar siswa pun diharapkan dapat meningkat.
Berkaitan dengan pembelajaran ini, Sumantri (1988:108) menegaskan bahwa guru harus menguasai paling sedikitnya enam kegiatan penting dalam pembelajaran, yaitu bahwa guru dapat:
1. Mengadakan diagnose kebutuhan peserta didik. 2. Mengadakan seleksi isi dan menentukan sasaran. 3. Mengidentifikasi tehnik-tehnik intruksional.
4. Merumuskan unit-unit dan merencanakan pelajaran.
5. Memberikan motivasi kepada peserta didik, dan mengadakan implementasi program.
6. Melakukan pengukuran, evaluasi dan melaporkan tentang kemajuan peserta didik.
Disamping menguasai keenam kegiatan penting tersebut, agar proses pembelajaran menjadi lebih bermakna dan berhasil bagi siswa, kiranya patut diperhatikan pendapat Porter (2000) yang dikutip oleh Ghozin (2003:27) yang menyatakan bahwa: guru adalah faktor penting dalam lingkungan belajar dan kehidupan siswa. Jadi peran anda lebih dari sekedar pemberi ilmu pengetahuan. Anda adalah rekan belajar, model, pembimbing, fasilitator tidak salah lagi, penggugah kesuksesan siswa.
B. Pendidikan Nilai Imtaq dalam Pembelajaran Biologi 1. Pengertian Nilai
Kata value (nilai), berasal dari bahasa latin valare atau bahasa prancis kuno valoir yang artinya nilai. Sebatas arti denotatifnya, vaoir, value atau nilai dapat dimaknai sebagai harga (Sumantri dan Sauri, 2006: 4). Menurut Mulyana (2004: 11) nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Rujukan itu dapat berupa norma, etika, peraturan undang-undang, adat kebiasaan, aturan agama dan rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga bagi seseorang. Sedangkan menurut Sumantri (2006: 5) nilai merupakan hal yang terkandung dalam hati nurani manusia yang lebih memberi dasar dan prinsip akhlak yang merupakan standar dari keindahan dan efisiensi atau keutuhan kata hati (potensi).
Nilai juga merupakan suatu pengertian yang banyak digunakan orang, baik dalam percakapan sehari-hari maupun dalam hubungannya dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil, dan lain sebagainya (Sanjaya, 2009:275).
Berdasarkan beberapa pengertian nilai, dapat dikemukakan kembali bahwa nilai merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannyadan dianut serta dijadikan sebagai acuan dasar individu dan masyarakat dalam menentukan sesuatu yang dipandang baik, benar, bernilai maupun berharga. Nilai merupakan daya pendorong dalam hidup, yang memberi makna dan pengabsahan pada tindakan seseorang. Oleh karena itu, nilai dalam setiap individu dapat mewarnai kepribadian kelompok atau kepribadian bangsa. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada hakikatnya nilai adalah merupakan “sesuatu” yang ada dalam benak atau fikiran seseorang, tersimpan dalam lubuk hati, yang sewaktu-waktu tercermin dalam prilaku dan perbuatan, dan muncul dengan adanya kekuatan komitmen emosi, sehingga pada akhirnya membentuk kepribadian seseorang.
2. Pendidikan Nilai
Pendidikan Nilai menurut Mulyana (2004:119) adalah pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar menyadari kebenaran, kebaikan, dan keindahan melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten. Pendidikan Nilai dimaksudkan untuk membantu peserta didik agar memahami, menyadari, dan mengalami nilai-nilai serta mampu menempatkannya secara integral dalam kehidupan.
Pendidikan Nilai menurut Winecoff (1985:1-3) adalah adalah pendidikan yang mempertimbangkan objek dari sudut moral dan sudut nonmoral, yang meliputi estetika yaitu menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi dan etika yaitu menilai benar atau salahnya dalam hubungan antar pribadi.
Winecoff (1985:1-3) mengungkapkan bahwa tujuan Pendidikan Nilai adalah sebagai berikut: Nilai adalah proses membantu siswa untuk mengeksplorasi nilai-nilai keluar melalui pemeriksaan kritis agar mereka bisa meningkatkan kualitas pemikiran dan merasa.
Pendidikan Nilai membantu peserta didik dengan melibatkan proses-proses sebagai berikut:
1) Identification of a core of personal and social values (Adanya proses identifikasi nilai personal dan nilai sosial terhadap stimulasi yang diterima).
2) Philosophical and rational inquiry into the core (Adanya penyelidikan secara rasional dan filosofis terhadap inti nilai-nilai dari stimulus yang diterima).
3) Affective or emotive response to the core (Respon afektif dan respon emotif terhadap inti nilai tersebut).
4) Decision-making related to the core based on inquiry and response (Pengambilan keputusan berupa nilai-nilai dan perilaku terhadap stimulus, berdasarkan penyelidikan terhadap nilai-nilai yang ada dalam dirinya).
Sasaran yang hendak dituju dalam Pendidikan Nilai adalah penanaman nilai-nilai luhur ke dalam diri peserta didik. Pendidikan Nilai seyogyanya
dikembangkan pada diri dan bersifat umum untuk setiap orang. Pendidikan Nilai merupakan proses membina makna-makna yang esensial, karena hakikatnya manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk mempelajari dan menghayati makna esensial, makna yang esensial sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia.
Pendidikan Nilai ditujukan untuk membantu siswa menjelajahi dan mengeksplorasi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Baik itu nilai dalam dirinya sendiri, maupun nilai-nilai budaya mereka. Proses tersebut dilakukan melalui pemikiran yang kritis, sehingga siswa memiliki kemampuan meningkatkan kualitas pemikiran dan perasaannya. Pendidikan ini paling sedikit meliputi empat dimensi, yaitu mulai dari identifikasi nilai-nilai inti personal, sosial, dan relegius, penemuan filosofi dan rasional tentang nilai-nilai inti, respon afektif atau emotif terhadap nilai-nilai-nilai-nilai inti tersebut, dan sampai kepada pembuatan keputusan berkaitan dengan nilai-nilai inti serta pada respons dalam diri seseorang. Melalui pembelajaran Biologi dengan pendekatan Pendidikan Nilai diharapkan siswa dapat merubah perilaku mereka, sehingga mereka berperilaku sesuai dengan tujuan pemebelajaran, harapan masyarakat, berperilaku produktif, dapat membuat pertimbangan yang adil, bertanggung jawab serta memiliki kematangan moral berhubungan dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain. Agar dapat mencapai harapan tersebut, siswa harus mendapatkan kesempatan melakukan aktifitas lebih dari sekedar mendengarkan dan berpikir tentang “nilai”. Untuk itu mereka harus aktif perpartisipasi dalam setiap kegiatan pembelajaran.
3. Keimanan dan Ketaqwaan
Secara operasional, antara keimanan dan ketaqwaan tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Tidaklah beriman seseorang tanpa adanya keimanan dalam diri orang tersebut, dengan demikian sebaliknya tidak akan bertaqwa seseorang jika orang tersebut tidak beriman. Orang yang beriman dan bertaqwa adalah orang yang bersikap dan berprilaku sesuai menurut ajaran Allah dan Rasulnya yang bersumber pada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.
Untuk mendeskripsikan pengertian keimanan dan ketaqwaan berkaitan dengan tulisan ini, secara lebih jelas dapat diperhatikan pada uraian berikut:
a. Keimanan
Iman dalam bahasa Arab artinya “at-tasdiqu bil qalbi”, artinya membenarkan dengan (dalam) hati. Secara syariat iman berarti” memadukan ucapan dengan pengakuan hati dan perilaku”. Dalam terminology iman adalah “mengikrarkan dengan idah akan kebenaran islam, membenarkan yang diikrarkan itu dengan hati dan tercermin dalam perilaku sehari-hari dalam bentuk amal perbuatan” (As-Shiqqieqy, 2001:18). Dalam pengertian umum kamus besar Bahasa Indonesia iman ialah “kepercayaan yang berkenaan dengan agama” atau “keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, Malaikat-malaikat Allah, Kitab-kitab Allah, Rasul-rasul Allah, Hari akhir (qiamat) dan Takdir (Qadha dan Qadar)”.
Keimanan berasal dari kata “iman” yang berarti: 1) kepercayaan (yang berkenaan dengan agama); kepercayaan dan keyakinan kepada Allah, nabi, kitab, dan sebagainya; 2) ketetapan hati; keteguhan batin; keseimbangan batin. Setelah mendapatkan imbuhan ke-an, sehingga menjadi kata “keimanan”, maka artinya menjadi keyakinan; ketetapan hati; keteguhan hati
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa iman adalah suasana batin yang meyakini bahwa hidup harus dijalani sesuai dengan ajaran Tuhan, dan hal itu diungkapkan hal hal ucapan dan prilaku, yang kesemuanya menggambarkan seseorang taat kepada Tuhannya.
b. Ketaqwaan
Taqwa secara harfiah berarti “takut, waspada, hati-hati” atau “menjaga diri dari sesuatu yang ditakuti”. Sedangkan secara terminoligi ialah “melaksanakan segala perintah Tuhan, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya”. Taqwa itu tidak meninggalkan sesuatu yang seharusnya dikerjakan dan tidak mengerjakan sesuatu yang seharusnya ditinggalkan . taqwa kepada Allah ialah tetap memelihara diri dari kemurkaan Allah, caranya dengan mengejakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. (Nashir, 2013:69).
Berdasarkan pengertian diatas, maka bisa ditarik kesimpulan pengertian taqwa yang pada hakikatnya taqwa mengandung ciri utama sebagai berikut: 1) berusaha dengan sungguh-sungguh penuh ketaatan dan kecintaan seorang hamba kepada Allah untuk senantiasa melaksanakan perintah-Nya; 2) berusaha dengan hati-hati dan penuh kesabaran untuk senantiasa menjauhi segala apa yang dilarang Allah, atau adanya perasaan takut yang luar biasa untuk melanggar perintah Allah.
Salah satu nilai yang ada yaitu nilai religious, dalam penelitian ini nilai Imtaq yang dikembangkan adalah nilai religious. Nilai religious merupakan pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan dan ajaran agamanya. (Aqib dan Sujak, 2011: 7).
Berdasarkan pendapat dari para pakar, nilai religious yaitu nilai yang membangkitkan rasa percaya diri, menambah keyakinan, dan keimanan seseorang sehingga seseorang tersebut selalu berperilaku baik dengan berpedoman pada nilai-nilai tersebut.
Aspek nilai-nilai ajaran Islam pada intinya dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu nilai-nilai aqidah, nilai-nilai ibadah dan nilai-nilai akhlak. Nilai-nilai aqidah mengajarkan manusia untuk percaya akan adanya Allah yang maha Esa dan maha kuasa sebagai sang pencipta alam semesta, yang akan senantiasa mengawasi dan memperhitungkan segala perbuatan manusia di dunia. Dengan merasa sepenuh hati bahwa Allah itu ada dan maha kuasa, maka manusia akan lebih taat untuk menjalankan segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan takut untuk berbuat dhalim atau kerusakan di muka bumi ini. Nilai-nilai ibadah mengajarkan pada manusia agar dalam setiap perbuatanya senantiasa dilandasi hati yang ikhlas guna mencapai ridho Allah. Pengamalan konsep nilai-nilai ibadah akan melahirkan manusia yang adil, jujur, dan suka membantu sesamanya. Selanjutnya yang terakhir nilai-nilai akhlak mengajarkan kepada manusia untuk bersikap dan berperilaku yang baik sesuai norma atau adab yang benar, sehingga akan membawa pada kehidupan manusia yang tentram, damai, harmonis, dan seimbang. Dengan demikian jelas bahwa nilai-nilai ajaran Islam merupakan nilai yang akan
mampu membawa manusia pada kebahagiaan, kesejahteraan, dan keselamatam manusia baik dalam kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat kelak (Muhtadi, 2004:4).
Nilai-nilai imtaq yang dikembangkan dalam penelitian ini antara lain: a) Keyakinan adanya Allah SWT (Fathurrohman, 2013: 127)
Keyakinan adanya Tuhan adalah percaya dengan adanya Tuhan sebagai maha pencipta seluruh alam semesta ini. Keyakinan dapat timbul dengan mempelajari tanda-tanda kekuasaan Tuhan yang ada di seluruh bumi ini. Dengan mempelajari tanda-tanda tersebut maka akan muncul keyakinan adanya Tuhan yang telah menciptakan seluruh alam semesta ini. Ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT adalah sebagai berikut:
Yang Telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka Lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? (QS. Mulk: 3).
Dan kami hamparkan bumi itu dan kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata. Untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah). Dan kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu kami
tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam. (QS. Qaaf: 7-9).
Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-An’am:165).
b) Kesadaran diri untuk besyukur atas nikmat Allah SWT (Fathurrohman dkk, 2013: 130)
Rasa syukur merupakan suatu bentuk keyakinan akan nikmat yang dirasakan adalah karunia dari Allah. Bersyukur kepada Allah merupakan suatu kewajiban bagi kita yang telah banyak merasakan berbagai nikmat yang telah Allah berikan. Salah satu nikmat terbesar yang telah kita rasakan adalah nikmat atas segala ciptaan Allah terhadap alam semesta ini. Ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan bersyukur atas nukmat Allah SWY adalah sebagai berikut:
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS. Al-Baqarah:152).
Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. (An-Nahl:14).
c) Kesadaran diri sebagai makhluk Allah SWT (Aqib dan Sujak, 2011: 51)
Manusia sebagai salah makhluk Allah yang paling sempurna, ditakdirkan untuk tinggal di bumi yang indah dan penuh dengan nikmat serta diwajibkan untuk beribadah kepada-Nya. Selain itu manusia juga sebagai khalifah (penguasa di muka bumi) bertugas untuk mengelola, merawat serta mengatur kehidupan di muka bumi supaya bumi tetap indah dan tidak rusak maka dari itu manusia mempunyai kewajiban untuk memakmurkan, menjaga, mengolah, dan melestarikan bumi. Ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan kesadaran diri sebagai nikmat Allah SWT adalah sebagai berikut:
Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. (QS. Al-Baqarah:205)
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-A’raaf:56).
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Rum:41).
Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, Maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi Kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, Kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. (Az-Zumar:21).
4. Indikator Nilai
Nilai sebagai sesuatu yang abstrak menurut Rath, et al (1966) dalam Adisusilo (2012: 58) mempunyai sejumlah indikator yang dapat kita cermati yaitu :
a. Nilai memberi tujuan atau arah (goal or purpose) kemana kehidupan harus menuju, harus dikembangkan atau harus diarahkan.
b. Nilai memberi aspirasi (aspirations) atau inspirasi kepada seseorang untuk hal yang berguna, yang baik, yang positif bagi kehidupan.
c. Nilai mengarahkan sesorang untuk bertingkah laku (attitudes) atau bersikap sesuai dengan moralitas masyarakat, jadi nilai itu memberi acuan atau pedoman bagaimana seharusnya seseorang bertingkahlaku. d. Nilai itu menarik (interest), memikat seseorang untuk dipikirkan, untuk
direnungkan, untuk dimiliki, untuk diperjuangkan, dan untuk dihayati. e. Nilai mengusik perasaan (feelings), hati nurani seseorang ketika sedang
mengalami berbagai perasaan atau suasana hati seperti senang, sedih, tertekan, bergembira, bersemangat, dan lain-lain.
f. Nilai terkait dengan keyakinan atau kepercayaan (beliefs and convictions) seseorang, suatu keprcayaan atau keyakinan terkait dengan nilai-nilai tertentu.
g. Suatu nilai menuntut adanya aktivitas (activities) perbuatan atau tingklah laku tertentu sesuai dengan nilai tersebut, jadi nilai tidak berhenti pada pemikiran, tetapi mendorong atau menimbulkan niat untuk melakukan sesuatu sesuai dengan niat tersebut.
h. Nilai biasanya muncul dalam kesadaran, hati nurani atau pikiran seseorang ketika yang bersangkutan dalam situasi kebingungan, mengalami dilema atau menghadapi berbagai persoalan hidup (worries, problem, abstacles).
5. Proses Pembentukan Nilai
Menurut Krathwohl (1964) dalam Lubis dan Zubaedi (2011: 19-21), proses pembentukan nilai pada anak dapat dikelompokan menjadi 5 tahap, yakni:
a. Tahap receiving (menyimak). Pada tahap ini seseorang secara aktif dan sensitif menerima stimulus dan menghadapi fenomena-fenomena, sedia menerima secara aktif; dan selektif dalam memilih fenomena.
b. Tahap responding (menanggapi). Pada tahap ini seseorang sudah mulai bersedia menerima dan menanggapi secara secara aktif stimulus dalam bentuka respon yang nyata.
c. Tahap valuing (memberi nilai). Kalau pada tahap pertama dan kedua lebih banyak masih bersifat aktivitas fisik biologis dalam menerima dan menanggapi nilai, maka pada tahap ini seseorang sudah mampu
menangkap stimulus itu atas dasar nilaia-nilai yang terkandung di dalamnya dan mulai mampu menyusun persepsi tentang objek.
d. Tahap mengorganisasikan nilai (organization), yaitu satu tahap yang lebih kompleks dari tahap ketiga diatas.
e. Tahap karakterisasi nilai (characterization), yang ditandai dengan ketidak puasan seseorang untuk mengorganisasir sistem nilai yang diyakininya dalam hidupnya secara mapan, ajek dan konsisten sehingga tidak dapat dipisahkan lagi dengan pribadinya.
6. Pelaksanaan Pembelajaran Menggunakan Imtaq
Pembelajaran sains berbasis IMTAQ dapat diberikan secara eksplisit maupun implisit. Pembelajaran sains berbasis IMTAQ secara eksplisit adalah mempelajari sains dengan sistem nilai dan moralnya dikaitkan dengan dalil-dalil ajaran Agama, seperti dikaitkan dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits yang relevan untuk melegitimasinya. Adapun pembelajaran sains berbasis IMTAQ secara implisit adalah menggali sistem nilai dan moral yang dikandung oleh setiap bahan ajarnya dikaitkan dengan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat untuk dianalogikan dalam kehidupan manusia. Dengan demikian pembelajaran sains bernuansa IMTAQ diharapkan dapat menghasilkan generasi yang memiliki wawasan IPTEK dan menghayati akan nilai-nilai dan moral yang dikandung oleh setiap bahan ajarnya (Yudianto, 2005:30-31).
Pelaksanaan pembelajaran menggunakan nilai, dibutuhkan suasana kondusif untuk menyadarkan peserta didik tentang nilai-nilai yang dikandung dalam pembelajaran. Menurut Yudianto (2009: 41-44) Ada empat tahap dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan nilai anatara lain :
a. Peserta didik diarahkan untuk belajar mengetahui (learning to how) dan mengembangkan wawasannya melalui metode iqra (membaca). b. Peserta didik dibimbing untuk menerima nilai-nilai kebenaran sains,
kebaikan, dan keindahan sains yang telah diyakininya agar diaplikasikan dalam tindakan sehari-hari sebagai pedoman hidupnya (learning to do).
c. Peserta didik dibimbing kearah pemilikan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan sains tersebut agar melekat pada diri siswa (learning to be).
d. Peserta didik perlu dibina untuk hidup bersama secara harmonis dengan lingkungannya, sehingga terwujud kehidupan manusia yang berbudaya yang beradab sesuai tuntunan agama.
7. Nilai-Nilai IMTAQ
a. Tawakal
Selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa, berusaha untuk mendapatkan ridho Tuhan Yang Maha Esa, bersyukur atas segala hal yang telah di capai, bersabar menerima cobaan, bersabar dalam melakukan sesuatu.
b. Bersyukur
Bentuk keyakinan akan nikmat yang dirasakan adalah karunia dari Allah.
c. Jujur
Mengatakan yang benar dan yang terang atau memberikan kabar sesuai kenyataan sesuai denga yang diketahui subjek atau tidak diketahui orang lain.
d. Bertanggung Jawab
Kesadaran dari dalam diri sendiri untuk melaksanakan tugas atau kewajiban.
e. Peduli
Memperlakukan orang lain dengan sopan, ingin terlibat dalam kegiatan masyarakat, dan menyayangi manusia dan makhluk lain. f. Kreatif
Mampu menyelesaikan masalah secara inovatif, memiliki ide baru, menampilkan sesuatu secara luar biasa (unik), dapat membaca situasi dan memanfaatkan peluang baru. (Samani, 2013: 51).
C. Model Pembelajaran Problem Based Learning 1. Pengertian Problem Based Learning (PBL)
Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat menolong siswa untuk meningkatkan keterampilan yang dibutuhkan pada era globalisasi saat ini. Problem Based Learning (PBL) dikembangkan untuk pertama kali oleh Prof. Howard Barrows sekitar tahun 1970-an dalam pembelajaran ilmu medis di McMaster University Canada (Amir, 2009:12). Model pembelajaran ini menyajikan suatu masalah yang nyata bagi siswa sebagai awal pembelajaran kemudian diselesaikan melalui penyelidikan dan diterapkan dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah.
Beberapa definisi tentang Problem Based Learning (PBL):
a. Menurut Duch (1995), Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran yang menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah ini digunakan untuk mengikat siswa pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud.
b. Menurut Arends Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa dihadapkan pada masalah autentik (nyata) sehingga diharapkan mereka dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuh kembangkan keterampilan tingkat tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan dirinya.
c. Menurut Smith & Ragan (2002:3), seperti dikutip Visser, mengatakan bahwa Problem Based Learning (PBL) merupakan usaha untuk membentuk suatu proses pemahaman isi suatu mata pelajaran pada seluruh kurikulum. (Rusmono, 2012:74)
Dari uraian mengenai pengertian Problem Based Learning (PBL) dapat disimpulkan bahwa PBL merupakan model pembelajaran yang menghadapkan siswa pada masalah dunia nyata (real world) untuk memulai pembelajaran dan merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif pada siswa. Problem Based Learning
(PBL) adalah pengembangan kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang menuntut siswa mendapatkan pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarnnya menggunakan pendekatan yang sistematik untuk memecahkan masalah atau tantangan yang dibutuhkan. (Amir, 2009:21).
Model Problem Based Learning (PBL) bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai suatu masalah yang harus dipelajari siswa. Dengan model PBL diharapkan siswa mendapatkan lebih banyak kecakapan daripada pengetahuan yang dihafal. Mulai dari kecakapan memecahkan masalah, kecakapan berfikir kritis, kecakapan bekerja dalam kelompok, kecakapan interpersonal dan komunikasi, serta kecakapan pencarian dan pengolahan informasi.(Amir, 2009:24).
Savery, duffy, dan Thomas (1995) mengemukakan dua hal yang harus dijadikan pedoman dalam menyajikan permasalahan. Pertama, permasalahan harus sesuai dengan konsep dan prinsip yang akan dipelajari. Kedua, permasalah yang disajikan adalah riil, artinya masalah itu nyata ada dalam kehidupan sehari-hari siswa.
Dalam PBL pembelajarannya lebih mengutamakan proses belajar, dimana tugas guru harus memfokuskan diri untuk membantu siswa, mencapai keterampilan mengarahkan diri. Guru dalam hal ini berperan sebagai penyaji masalah, penanya, mengadakan dialog, membantu menemukan masalah, dan memberi fasilitas pembelajaran. Selain itu, guru memberikan dukungan yang dapat meningkatkan pertumbuhan inkuiri dan intelek siswa. Model ini hanya dapat terjadi jika guru dapat menciptakan lingkungan kelas yang terbuka dan membimbing pertukaran gagasan.
2. Karakteristik Model Problem Based Learning (PBL)
Kegiatan siswa dalam pembelajarn PBL menurut Baron dalam Rusmono (2012:75) meliputi kegiatan kelompok dan kegiatan perorangan. Dalam kelompok siswa melakukan kegiatan-kegiatan: (1) membaca kasus, (2) menentukan masalah mana yang paling relevan dengan tujuan pembelajaran,
(3) membuat rumusan masalah, (4) membuat hipotesis, (5) mengidentifikasi sumber informasi, diskusi, dan pembagian tugas, (6) melaporkan mendiskusikan penyelesaian masalah yang mungkin, melaporkan kemajuan yang dicapai setiap anggota kelompok, dan presentasi dikelas.
Ciri yang paling utama dari model pembelajaran PBL yaitu dimunculkannya masalah pada awal pembelajarannya. Menurut Arends (Trianto, 2007), berbagai pengembangan pengajaran berdasarkan masalah telah memberikan model pengajaran itu memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Pengajuan Pertanyaan Atau Masalah
1) Autentik, yaitu masalah harus berakar pada kehidupan dunia nyata siswa daripada berakar pada prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu. 2) Jelas, yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak
menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa.
3) Mudah dipahami, yaitu masalah yang diberikan harusnya mudah dipahami siswa dan disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa.
4) Luas dan sesuai tujuan pembelajaran. Luas artinya masalah tersebut harus mencakup seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang, dan sumber yang tersedia.
5) Bermanfaat, yaitu masalah tersebut bermanfaat bagi siswa sebagi pemecah masalah dan guru sebagai pembuat masalah.
b. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin ilmu
Masalah yang diajukan hendaknya melibatkan berbagai disiplin ilmu. c. Penyelidikan autentik (nyata)
Dalam penyelidikan siswa menganalisis dan merumuskan masalah, mengembangkan dan meramalkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen, membuat kesimpulan, dan menggambarkan hasil akhir.
Siswa bertugas menyusun hasil belajarnya dalam bentuk karya dan memamerkan hasil karyanya.
e. Kolaboratif
Pada model pembelajaran ini, tugas-tugas belajar berupa masalah diselesaikan bersama-sama antar siswa.
Adapun beberapa karakteristik proses PBL menurut Tan (Amir, 2009:12) diantaranya:
1) Masalah digunakan sebagai awal pembelajaran
2) Biasanya, masalah yang digunakan merupakan masalah dunia nyata yang disajikan secara mengambang.
3) Masalah biasanya menuntut perspektif majemuk. Solusinya menuntut siswa menggunakan dan mendapatkan konsep dari beberapa ilmu yang sebelumnya telah diajarkan atau lintas ilmu kebidang lainnya.
4) Masalah membuat sisa tertantang untuk mendapatkan pembelajaran di ranah pembelajaran yang baru.
5) Sangat mengutamakan belajar mandiri (self directed learning)
6) Memanfaatkan sumber pengetahuan yang bervariasi, tidak dari satu sumber saja.
7) Pembelajaran kolaboratif, komunikatif, dan kooperatif. Siswa bekerja dalam kelompok, berinteraksi, saling mengajarkan (peer teaching), dan melakukan presentasi.
Dari beberapa penjelasan mengenai karakteristik proses PBL dapat disimpulkan bahwa tiga unsur yang esensial, dalam proses PBL yaitu adanya suatu permasalahan, pembelajaran berpusat pada siswa, dan belajar dalam kelompok kecil.
3. Beberapa Teori yang Melandasi Problem Based Learning (PBL)
Dalam perkembangannya, pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dilandasi oleh teori belajar konstruktivisme, teori perkembangan kognitif, dan teori belajar penemuan Jerome Burner.
a. Teori Belajar Konstruktivisme
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pembelajaran konstruktivisme. Teori konstruktivisme ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama, dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatunya sendiri, dan berusaha dengan susah payah dengan ide-idenya sendiri. (Trianto, 2009:28).
Menurut teori konstruktivisme ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini dengan memberi kesempatan siswa menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri dan mengajarkan siswa menjadi sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.
b. Teori Perkembangan Kognitif
Teori belajar kognitif pertama kali dikenalkan oleh Piaget. Menurutnya, perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan lingkungannya. Piaget yakin bahwa pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Sementara itu, berpendapat bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya beragumentasi dengan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran yang akhirnya memuat pemikiran itu lebih logis. (Trianto, 2009:29).
c. Teori Penemu Jerome Bruner
Teori belajar yang paling melandasi PBL adalah teori belajar penemuan (Discovery Learning) yang dikembangkan oleh Jerome Bruner pada tahun 1966. Bruner menganggap, bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik. Berusaha sendiri mencari pemecahan masalah serta
pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna.
Bruner menyarankan agar siswa-siswi hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, agar mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman, dan melakukan ekspreimen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.
4. Tahap-Tahap Dalam Problem Based Learning (PBL)
Pelaksanaan model Problem Based Learning (PBL) terdiri dari lima tahap proses, yaitu:
Tahap pertama, adalah proses orientasi peserta didik pada masalah. Pada tahap ini guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang diperlukan, memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah, dan mengajukan masalah.
Tahap kedua, mengorganisasi peserta didik. Pada tahap ini guru membagi peserta didik kedalam kelompok, membantu peserta didik mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah.
Tahap ketiga, membimbing penyelidikan individu maupun kelompok. Pada tahap ini guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan, melaksanakan eksperimen dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
Tahap keempat, mengembangkan dan menyajikan hasil. Pada tahap ini guru membantu peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan laporan, dokumentasi, atau model, dan membantu mereka berbagi tugas dengan sesama temannya.
Tahap kelima, menganalisis dan mengevaluasi proses dan hasil pemecahan masalah. Pada tahap ini guru membantu peserta didik untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap proses dan hasil penyelidikan yang mereka lakukan.
Kelima tahap yang dilakukan dalam pelaksanaan model PBL ini selengkapnya dapat dilihat pada table berikut:
Table 2.1 Tahap-Tahap Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Tahap Pembelajaran Kegiatan Guru Tahap 1 Orientasi peserta didik pada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang diperlukan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah.
Tahap 2
Mengorganisasi peserta didik.
Guru membagi peserta didik kedalam kelompok, membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah. Tahap 3 Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok.
Guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan, melaksanakan eksperimen dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
Tahap 4
Mengembangkan dan menyajikan hasil
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan laporan, dokumentasi, atau model, dan membantu mereka berbagi tugas dengan sesama temannya.
Tahap 5
Menganalisis dan mengevaluasi proses dan hasil pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap proses dan hasil penyelidikan yang mereka lakukan.
(Rusmono 2012:81)
5. Kelebihan dan Kelemahan Model Problem Based Learning (PBL) a. Kelebihan
Sebagai suatu model pembelajaran, Problem Based Learning memiliki beberapa kelebihan, diantaranya:
1) Menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa.
2) Meningkatkan motivasi dan aktivitas pembelajaran siswa.
3) Membantu siswa dalam mentransfer pengetahuan sisea untuk memahami masalah dunia nyata.
4) Membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab mendorong siswa dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Disamping itu, Problem Based Learning dapat mendorong siswa untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.
5) Mengembangkan kemampuan siswa untuk berfikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
6) Memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.
7) Mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir.
8) Memudahkan siswa untuk menguasai konsep-konsep yang dipelajari guru memecahkan masalah dunia nyata.
b. Kelemahan
Disamping kelebihan diatas, PBL juga memiliki kelemahan, diantaranya:
a. Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencobanya.
b. Untuk sebagian siswa beranggapan bahwa tanpa pemahaman mengenai materi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah mengapa mereka harus berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka akan belajar apa yang mereka ingin pelajari, (Warsono, 2012: 152).
1. Teori Hasil Belajar
Menurut Shaleh (2008: 207) belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan. Sedangkan menurut Sumani dan Mukhlas (2012: 9) belajar adalah suatu aktivitas atau suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan ketrampilan, memperbaiki prilaku, sikap, dan mengokohkan kepribadian. Berdasarkan definisi belajar di atas dapat dikatakan bahwa apabila adanya perubahan sikap, perilaku, ketrampilan dari diri siswa menandakan berhasilnya suatu pembelajaran, karena dalam proses belajar diperoleh suatu pengatahuan sehingga dari pengetahuan tersebut siswa memahami konsep yang diajarkan yang berdampak pada perubahan-perubahan yang positif dan lebih baik.
Menurut Sudjana (2012: 22) hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. terdapat tiga ranah yang menjadi Objek penilaian hasil belajar, yaitu :
a. Ranah Kognitif 1) Pengetahuan
Istilah pengetahuan dimaksudkan sebagai terjemahan dari kata knowledge dalam taksonomi Bloom. Pengetahuan hafalan atau untuk diingat seperti rumus, batasan, definisi, istilah, pasal, nama tokoh, dan nama kota.
2) Pemahaman
Tipe hasil belajar yang lebih tinggi daripada pengetahuan adalah pemahaman. Misalnya menjelaskan dengan susunan kalimatnya sendiri sesuatu yang dibaca atau didengarnya, memberi contoh lain dari yang telah dicontohkan, atau menggunakan petunjuk penerapan pada kasus lain.
Aplikasi adalah penggunaan abstraksi pada situasi konkret atau situasi khusus. Abstraksi tersebut mungkin berupa ide, teori, atau petunjuk teknis.
4) Analisis
Analisis adalah usaha memilah suatu integritas menjadi unsur-unsur atau bagian-bagian sehingga jelas hirarki dan susunannya. Analisis merupakan kecakapan yang kompleks, yang memanfaatkan kecakapan dari ketiga tipe sebelumnya.
5) Sintesis
Penyatuan unsur-unsur atau bagian-bagian ke dalam bentuk menyeluruh disebut sintesis.
6) Evaluasi
Evaluasi adalah pemberian keputusan tentang nilai sesuatu yang mungkin dilihat dari segi tujuan, cara kerja, pemecahan, metode, materi, dll.
b. Ranah Afektif
Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Ada beberapa jenis kategori ranah afektif sebagai hasil belajar. Kategorinya dimulai dari tingkat yang dasar atau sederhana sampai tingkat yang kompleks, yaitu : 1) Reciving/attending, yakni semacam kepekaan dalam menerima
rangsangan (Stimulasi) dari luar yang datang kepada siswa dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dan lain-lain.
2) Responding atau jawaban, yakni reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap stimulasi yang datang dari luar.
3) Valuing (penilaian) berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus.
4) Organisasi, yakni pengembangan dari nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan, dan prioritas nilai yang telah dimilikinya.
5) Karekteristik nilai atau internalisasi nilai, yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya.
c. Ranah Psikomotor
Hasil belajar psikomotoris tampak dalam bentuk keterampilan (skiil) dan kemampuan bertindak individu. Ada enam tingkatan keterampilan, yakni :
1) Gerakan refleks (keterampilan pada gerakan yang tidak sadar). 2) Keterampilan pada gerakan-gerakan dasar.
3) Kemampuan perseptual, termasuk di dalamnya membedakan visual, membedakan auditif, motoris, dan lain-lain.
4) Kemampuan di bidang fisik, misalnya kekuatan, keharmonisan, dan ketepatan.
5) Gerakan-gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana sampai pada keterampilan yang kompleks.
6) Kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non-decursive seperti gerakan ekspresif dan interpretatif.
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar Menurut Slameto (2003: 54) antara lain :
a. Faktor Internal (dari dalam individu yang belajar).
Faktor yang mempengaruhi kegiatan belajar ini lebih ditekankan pada faktor dari dalam individu yang belajar. Adapun faktor yang mempengaruhi kegiatan tersebut adalah faktor jasmaniah, faktor psikologis dan faktor kelelahan.
b. Faktor Eksternal (dari luar individu yang belajar).
Pencapaian tujuan belajar perlu diciptakan adanya sistem lingkungan belajar yang kondusif. Hal ini akan berkaitan dengan faktor dari luar siswa. Adapun faktor eksternal adalah faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor masyarakat.
E. Tinjauan Materi Dampak Pencemaran Bagi Kehidupan
1. Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (Khalifah, 2007). Tatanan lingkungan hidup (ekosistem) yang diciptakan Allah itu mempunyai hukum keseimbangan (equilibrium). Menurut Salim (1984), apabila terjadi gangguan terhadap salah satu tatanan lingkungan hidup karena perbuatan manusia atau oleh proses alam, maka akan terjadi gangguan terhadap keseimbangan dalam lingkungan hidup (ekosistem) secara menyeluruh, oleh karena itu agar tetap terpelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup demi kesejahteraan hidup manusia dan makhluk-makhluk lainnya, maka Allah swt telah memperingatkan kepada manusia di dalam Al-Qur’an surat Al-A’raaf ayat 56:
Artinya; “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.
Kata-kata ba’da islahiha dengan jelas menunjukkan adanya hukum keseimbangan dalam tatanan lingkungan hidup yang harus diusahakan agar tetap terpelihara kelestariannya. Perubahan lingkungan akibat semakin pesatnya perkembangan industri yang menyebabkan pencemaran lingkungan dari hasil limbah buangan industri. Limbah yang dibuang ke lingkungan tanpa pengolahan terlebih dahulu akan mengakibatkan pencemaran air, tanah dan udara, oleh karena itu Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 205 telah memperingatkan kepada mereka yang mengadakan kerusakan lingkungan:
“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk Mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”
Kata fasad artinya mengadakan kerusakan maksudnya Allah Swt. Tidak menyukai adanya kerusakan di muka bumi ini, sifat-sifat merusak bumi, tanaman tanaman dan binatang merupakan sifat yang keji (Gani, et.al, 1986: 178). Salah satu timbulnya kerusakan di muka bumi ini adalah akibat adanya pencemaran lingkungan. Pencemaran air dan tanah mengakibatkan binatang dan tumbuhan akan terakumulasi zat-zat beracun, sehingga berbahaya bagi binatang dan tumbuhan itu sendiri dan yang mengkonsumsinya. Apabila terjadi gangguan terhadap salah satu unsur (misalnya tumbuhan) dari lingkungan hidup, maka akan terjadi pula gangguan terhadap keseimbangan dalam lingkungan hidup, misalnya air bersih semakin sulit didapatkan, manusia terakumulasi logam-logam berbahaya, bahkan dapat menyebabkan longsor, banjir, dan lain-lain.
Pencemaran lingkungan adalah suatu keadaan yang terjadi karena perubahan kondisi tata lingkungan (tanah, udara dan air) yang tidak menguntungkan (merusak dan merugikan kehidupan manusia, binatang dan tumbuhan), hal ini disebabkan oleh kehadiran benda-benda asing (seperti sampah, limbah industri, minyak, logam berbahaya, dsb) sebagai akibat perbuatan manusia, sehingga mengakibatkan lingkungan tersebut tidak berfungsi seperti semula (Widhiyatna dalam Khalifah, 2007).
Penemuan manusia harus senantiasa diimbangi oleh kesadaran lebih tinggi tentang dampak negatif terhadap kesehatan dan kelestarian lingkungan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qu’ran surat Ar-Rum ayat 41, yang berbunyi:
Artinya; “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa telah terjadi kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab, sehingga menyebabkan berbagai masalah lingkungan hidup. Limbah hasil industri seringkali menimbulkan kerusakan lingkungan, hal ini disebabkan tidak diimbangi oleh analisis dampak lingkungan yang memadai. Alam raya ini telah diciptakan Allah dalam satu sistem serasi dan sesuai dengan kehidupan manusia tetapi manusia melakukan kegiatan buruk yang merusak sehingga terjadi ketidak seimbangan dalam sistem kerja alam.
Menurut Shihab (2002: 76), menyatakan bahwa kata zhahara pada mulanya berarti terjadinya sesuatu di permukaan bumi, sehingga karena dipermukaan, maka nampak dan terang serta diketahui. Sedangkan kata Alfasad menurut Al-Ashfahani dalam Shihab (2002: 76), dari keseimbangan, baik sedikit maupun banyak. Ulama kontemporer memahaminya dalam arti kerusakan lingkungan, karena ayat di atas mengaitkan fasad atau kerusakan dengan kata darat dan laut.
Keseimbangan dalam suatu lingkungan hidup (ekosistem), akan tetap berlangsung selama tidak tejadi gangguan luar biasa dalam bentuk bencana baik yang disebabkan oleh kegiatan manusia maupun oleh proses alam. Seperti dalam Al-Qur’an surat Al-mulk ayat 3:
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu Lihat sesuatu yang tidak seimbang?
Ayat di atas menjelaskan bahwa sesungguhnya apa yang telah diciptakan oleh Allah Swt. memiliki keseimbangan yang sempurna, akan tapi kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pada umunya bencana (ketidakseimbangan) itu terjadi selain yang berada diluar kekuasaan manusia, disebabkan oleh tingkah laku manusia sendiri. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dari waktukewaktu terlihat bahwa keberadaan teknologi tidak selalu membawa kebaikan. Apabila terjadi gangguan terhadap keseimbangan suatu lingkungan hidup, perlu segera diambil tindakan dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengembalikan atau memulihkan kembali keseimbangan itu. Usaha-usaha inilah yang dimaksudkan dengan pemeliharaan, pembinaan dan pengembangan lingkungan hidup, agar tetap terpelihara kelestariannya dan bahkan meningkat kualitasnya.
2. Peranan Manusia dalam Pemeliharaan Lingkungan Hidup
Manusia dengan hidayah akalnya, diberi kesempatan melakukan pengamatan (observasi), memikirkan dan mengadakan penelitian serta kajian terhadap fenomena-fenomena alam. Dengan menggunakan akal pikirannya dan melakukan penelitian tersebut, diharapkan manusia dapat memperoleh pengetahuan dan cara-cara untuk mengolah dan mengelola sumber-sumber kekayaan alam yang tersedia. Sehingga, keseimbangan alam yang telah diciptakan Allah swt tetap terjaga. Sebagai salah satu unsur lingkungan hidup, manusia adalah makhluk Tuhan yang paling baik dan mempunyai kedudukan serta martabat yang mulia di dunia. Salah satu kelebihan yang dimiliki manusia adalah akal anugerah Tuhan yang sangat berharga. Oleh karena itu, manusia diberi kesempatan dan kedudukan oleh Allah untuk menjadi khalifah-Nya dimuka bumi. Allah SWT berfirman dalam surat al-An’am ayat 165:
Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Manusia Sebagai khalifah di bumi mengemban amanat Allah mempunyai dua fungsi dan tugas utama yaitu: melaksanakan pengabdian kepada Allah yang telah memberikan kedudukan dan kehormatan sebagai khalifah dan pengemban amanatnya di muka bumi. Pangabdian disini mengandung pengertian yang luas, yaitu tunduk dan patuh melaksanakan segala peraturan dan ketentuan-Nya (perintah dan larangan) yang telah ditetapkan. Fungsi dan tugas manusia yang kedua adalah mengolah, mengelola dan memanfaatkan sumber kekayaan alam untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia dan makhluk-makhluk lainnya (Gani, et.al.,1986: 173).