• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI Toxocara canis PADA ANAK ANJING DI MAKASSAR PET CLINIC

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IDENTIFIKASI Toxocara canis PADA ANAK ANJING DI MAKASSAR PET CLINIC"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

DIAN FATMAWATI O 111 10 111

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

(2)

IDENTIFIKASI Toxocara canis PADA ANAK ANJING

DI MAKASSAR PET CLINIC

DIAN FATMAWATI

O 111 10 111

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Program Studi KedokteranHewan Fakultas Kedokteran

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

(3)

PERNYATAAN KEASLIAN

1. Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Dian Fatmawati

NIM : O111 10 111

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa : a. Karya skripsi saya adalah asli

b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab hasil dan pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku.

2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.

Makassar, 26 November 2014

(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Dian Fatmawati, dilahirkan pada tanggal 3 Desember 1992 di kota Kendari, Sulawesi Tenggara dari pasangan suami istri bapak Andi Muslim dan ibu Sukaria Sonri dan merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis merupakan istri dari Heryanto H. Bakrie, ST yang menikah pada tahun 2014.

Penulis mengenyam pendidikan di TK Melati Mekar, lulus tahun 1997. Kemudian menlanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 1 Punggaluku, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, lulus tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Lainea, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Lulus tahun 2007. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMA N 1 Lainea, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara selama 1 semester karena mengikuti perpindahan tugas dari sang ayah, penulis kemudian pindah di kota Makassar dan menyelesaikan pendidikan di SMA N 18 Makassar lulus pada tahun 2010. Tahun 2010 penulis kemudian berhasil diterima di Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin.

Selama perkuliahan penulis aktif dalam berbagai organisasi internal kampus diantaranya menjabat sebagai bendahara angkatan 2010 Program Studi Kedokteran Hewan. Aktif sebagai anggota divisi syiar dan dakwan di M2F (Medical Muslim Family) Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin tahun 2011. Aktif sebagai anggota divisi syiar dan dakwan di LDK MPM (Mahasiswa Pecinta Mushallah), Universitas Hasanuddin tahun 2011. Menjadi Anggota divisi kerohanian di HIMAKAHA ( Himpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan) Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin tahun 2011-2012. Penulis juga aktif di berbagai komunitas pecinta hewan kesayangan diantaranya di KPK (Komunitas Pecinta Kucing) Makassar dan Doggilicious (Komunitas Pecinta Anjing) Makassar. Penulis juga pernah menjabat sebagai ketua komunitas pecinta hewan kesayangan (COMPASS) tahun 2010-2013. Selain itu penulis juga aktif dalam dunia broadcasting, penulis pernah menjabat sebagai manager Humas di PT. Radio Suara Medika tahun 2012-2013 dan saat ini aktif sebagai penyiar di Radio Al-Aqhsa Makassar.

(5)

ABSTRAK

DIAN FATMAWATI. O11110111. Identifikasi Toxocara Canis pada Anak Anjing di Makassar Pet Clinic. Dibimbing oleh DWI KESUMA SARI dan MERIAM SIRUPANG.

Toxocariasis pada anjing disebabkan oleh infeksi cacing Toxocara canis. Kejadian penyakit ini kurang dikenali dan diperhitungkan oleh pemilik. Cacing Toxocara canis merupakan cacing gastrointestinal yang patogen karena larva cacingnya bisa menyerang organ dalam dan bisa juga menyebabkan diare pada hewan yang terserang bahkan sampai menimbulkan kematian apabila tidak ditangani secara serius. Toxocara canis tidak hanya berbahaya terhadap hewan tetapi juga dapat menginfeksi manusia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi Toxocara canis pada anak anjing di Makassar Pet Clinic. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli – Agustus 2014. Sampel feses diambil dari 31 ekor anak anjing di Makassar Pet clinic. Sampel feses diperiksa dengan metode natif dan metode apung untuk mengidentifikasi keberadaan telur Toxocara canis berdasarkan morfologinya. Hasil penelitian menunjukkan 5 sampel positif teridentifikasi Toxocara canis dan 26 sampel tidak teridentifikasi Toxocara canis.

(6)

ABSTRACT

DIAN FATMAWATI. O11110111. Identification of Toxocara canis on puppy in Makassar Pet Clinic. Suvervised by DWI KESUMA SARI and MERIAM SIRUPANG.

Toxocariasis in dogs is caused by infection of Toxocara canis.The disease is not recognized and often underestimated by the owners. Toxocara canis is a pathogenic gastrointestinal worm and the larva could rush internal organs, cause diarrhea and kill the animals if the disease is not seriously handled . Toxocara canis is not only danger to the animals but it could also infect the human being.

The purpose of this study was to identification Toxocara canis on puppy in Makassar Pet Clinic. Research done at July – August. Feces samples were collected from 31 puppies in Makassar Pet Clinic. Feces were examined by native method and floating method to detected eggs of Toxocara canis on the basis of there morphology. The result showed 5 samples were identified positive of

Toxocara canis and 26 samples were negative of Toxocara canis. Keywords:identification, Toxocara canis, Makassar Pet Clinic

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Identifikasi Toxocara canis Pada Anak Anjing Di Makassar Pet Clinic”. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alahi Wassallam yang telah mengajari manusia sampai akhir hayatnya dan membawa manusia dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang seperti saat ini. Shalawat juga penulis haturkan kepada keluarga Rasulullah, Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut, Tabi’ut tabi’in dan seluruh umat islam yang senantiasa berada di jalan islam ini.

Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian, dan disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan (SKH). Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

2. Prof. Lucia Muslimin, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Kedokteran Hewan 3. Kedua pembimbing penulis tercinta Dr. Drh. Dwi Kesuma Sari dan Drh.

Meriam Sirupang yang dengan sabar telah memberikan bimbingan, saran, serta nasehat dalam pelaksanaan penelitian, penulisan, dan penyusunan skripsi ini. Terkhusus kepada Dr. Dwi Kesuma Sari yang telah menjadi pembimbing akademik penulis sekaligus menjadi orang tua penulis di kampus selama ini. Semoga Allah membalas dengan yang lebih baik, aamiin. 4. Drh. Hadi Purnama dan Drh. Novi Susanty selaku dosen penguji, terima kasih

untuk saran-sarannya selama ini. Terkhusus untuk drh. Hadi Purnama yang telah menjadi penguji sekaligus menjadi tempat penulis untuk berdiskusi selama ini. Semoga Allah membalas dengan yang lebih baik, aamiin.

5. Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc dan seluruh dosen serta staf Kedokteran Hewan yang tidak sempat penulis tuliskan namanya satu persatu, terimakasih atas bantuan dan dukungannya selama ini kepada penulis.

6. Drh. Mona Kusuma dan seluruh pegawai Makassar Pet Clinic atas bantuannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

7. Drh. Fitri, drh. Faisal Zakariya, ibu Mina, Pak Andri dan seluruh pegawai dari BBVET Maros yang turut membantu selama melakukan penelitian. 8. Teman-teman seperjuangan yang telah menjadi saudara penulis selama 4

tahun terkahir ini dan telah membantu dalam penyusunan skripsi dan selalu mendoakan yang terbaik untuk penulis serta selalu setia mendengarkan cerita-cerita bahkan curahan hati penulis selama ini “V-GEN 2010”. Kalian semua luar biasa.

9. Adik Hasna dan Jane yang telah membantu penulis dalam penelitian.

10. Muh. Syukur yang sudah menjadi teman seperjuangan penulis dalam seminar hasil.

11. Titin Tambing dan Anna Anggriana yang menjadi teman seperjuangan dalam menempuh ujian meja.

12. Sahabat yang selalu memberikan semangat dengan berbagai kelucuannya geng “Camangers”, Ita, Ulfa, Nuni, Eka, Dita, Uci, Ayu dan Fatma.

(8)

13. Vivi Andrianty, Riska Wahyuni Alwi dan Yuliani Suparmin yang selalu menjadi tempat penulis untuk mencari solusi dan selalu setia menemani dan mendengarkan curahan hati penulis.

14. Keluarga besar bapak penulis, tante Hj. Nurcaya, BAC, om Ahmad, om Udin, kak Ikbal S. SKG, kak Ihsan S. SKG, kak dr. Mila S, kak dr. Isman S, dan semuanya yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu yang selalu mendoakan yang terbaik untuk penulis.

15. Keluarga besar ibu penulis, kak Siska Fitriani, tante Eba, nenek Intang, tante Bi, kak Ipul, om Syamsuddin Sonri, SE, kak Mita, dan semuanya yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu yang selalu mendoakan yang terbaik untuk penulis.

16. Keluarga suami penulis kak Herawati, S.Kep. Ners, kak Sunarti, S.Pd, kak Rahmawati, S.Pd dan semua keluarga di Bone yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu yang selalu mendoakan yang terbaik untuk penulis. 17. Kedua mertua penulis terkasih bapak H. Bakri L. S.Pd dan ibu Hj. Hasnah,

S.Pd terimakasih atas doa dan dukungannya kepada penulis selama ini. Semoga rahmat dan berkah senantiasa menaungi keduanya, aamiin..

18. Terkhusus kepada kedua orang tua penulis tercinta bapak Andi Muslim dan ibu Sukaria Sonri yang telah merawat dan membesarkan penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang serta selalu dengan ikhlas mendoakan yang terbaik untuk penulis, semoga penulis bisa membahagiakan keduanya di dunia dan di akhirat serta semoga rahmat dan berkah senantiasa menaungi kedua orang tua penulis, aamiin. Saudari penulis satu-satunya kak Sri Yanti dan kakak ipar Rutsan Asimoto San di Kendari terimakasih selalu memberikan penulis doa dan dukungan dari jauh. Terspecial kepada suami penulis terkasih Heryanto H. Bakri, ST yang selalu menemani dan memberikan penulis dukungan yang tiada henti sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah senantiasa menaungi keluarga kecil kita dengan berkah dan rahmat-Nya, aamiin.

19. Ucapan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini dan yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dan berharap dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan kesehatan masyarakat veteriner. Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, 26 November 2014

Penulis

(9)

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR i DAFTAR LAMPIRAN ii 1 PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 2 1.3 Tujuan Penelitian 2 1.4 Manfaat Penelitian 3 1.5 Hipotesis Penelitian 1.6 Keaslian Penelitian 1.7 Kerangka Konsep 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 2.1 Landasan Teoritik 4

2.1.1 Klasifikasi Toxocara canis 4 4

2.1.2 Morfologi Toxocara canis 5

2.1.3 Siklus Hidup Toxocara canis 7

2.1.3.1 Infeksi Langsung 7

2.1.3.2 Infeksi Intra-Uterus 8

2.1.3.3. Infeksi Trans-Mammaria 8

2.1.3.4 Infeksi Induk Pasca Kelahiran 8

2.1.3.5 Infeksi Melalui Hospes Paratenik 9

2.1.5 Patogenesis Toxocariasis 10

2.1.6 Gejala Klinis Anjing yang Terinfeksi Cacing 10

2.1.7 Diagnosis Toxocariasis 11

2.1.7.1 Pemeriksaan Feses 11

2.1.7.2 Pemeriksaan Patologi Anatomi 11

2.1.7.3 Pemeriksaan Klinik 12

2.1.8 Terapi Toxocariasis 12

2.1.9 Zoonosis Pada Manusia 12

2.1.10 Pencegahan Toxocariasis 13

3 METODOLOGI PENELITIAN 15

3.1 Waktu dan Tempat 15

3.2 Metode Pengambilan Sampel 15

3.3 Bahan 15

3.4 Alat 15

3.5 Metode Penelitian 15

3.5.1 Metode Natif 16

3.5.2 Metode Apung 16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 5.2 Saran DAFTAR PUSTAKA 18 LAMPIRAN ix ix ix 1 1 2 2 3 3 3 4 5 5 5 5 7 7 8 8 8 9 9 10 10 11 11 11 11 12 12 14 14 14 14 14 14 15 15 16 21 21 21 22 24

(10)

DAFTAR TABEL 1. Tabel Hasil Pemeriksaan Sampel

DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka Konsep

2. Telur Toxocara canis yang Tidak Berembrio 5

3. Telur Toxocara canis yang Berembrio 6

4. Cacing Dewasa Toxocara canis 6

5. Cacing Jenis Toxocara sp. 7

6. Daur Hidup Cacing Gelang 9

7. Mekanisme Penularan Toxocariasis pada Manusia 13

8. Skema Pengujian Metoda Natif 16

9. Skema Pengujian Metode Apung

10. Telur Toxocara canis Hasil Pemeriksaan dengan Metode Apung dan Metode Natif

11. Telur Toxocara canis Hasil Pemeriksaan Dibandingkan dengan Literatur

12. Telur Toxocara canis dan Telur Ancylostoma caninum pada Sampel 13. Anak Anjing yang Dipelihara Secara Bebas

DAFTAR LAMPIRAN 1. Data sampel 2. Dokumentasi penelitian 19 4 5 6 6 7 9 12 15 15 16 17 19 20 25 27

(11)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anjing adalah binatang yang setia, jujur, dan mudah untuk dijadikan teman (Budiana, 2006). Kehadiran anjing mampu mengurangi stres, meningkatkan kehidupan sosial dan menjadi kebanggaan bagi pemiliknya (Yusuf dan Purba, 2008). Di kota-kota besar termasuk kota Makassar, minat pemeliharaan hewan kesayangan semakin meningkat pada kurun waktu terakhir ini. Modernisasi berdampak munculnya fenomena sosial dalam masyarakat, di antaranya tingkat stres, individualisme, dan gaya hidup modern. Fenomena tersebut mendorong masyarakat untuk memberikan tempat kepada anjing (Canis familiaris) sebagai salah satu pilihan teman pendamping.

Di daerah yang padat penduduk seperti kota Makassar, kenaikan jumlah populasi anjing sebagai hewan peliharaan semakin meningkat. Kenaikan populasi tersebut juga menimbulkan masalah pada kontaminasi lingkungan oleh telur parasit cacing dan larva dari anjing. Di berbagai tempat dimana hewan peliharaan dan manusia hidup berdampingan, tumpukan feses adalah jalan utama penyebaran dari infeksi cacing yang melibatkan anjing dan dapat bersifat zoonosis (Rianto, 2011).

Kebanyakan parasit internal pada anjing adalah cacing dan organisme uniseluler yang berada di dalam usus anjing. Jenis cacing yang umum adalah ascaridida, Ancylostoma, Trichuris dan cestoda (Yusuf dan Purba, 2008).

Ascariasis merupakan penyakit terpenting dari penyakit cacingan oleh golongan ascaridida. Ascaridida yang paling banyak mengakibatkan kerugian pada anjing adalah Toxocara canis. Ascaridida lainnya, meskipun dapat menginfeksi anjing dan kucing, yaitu Toxascaris leonina tidak begitu mengganggu dibandingkan Toxocara canis (Subronto, 2006).

Toxocariasis adalah penyakit parasiter yang disebabkan oleh infeksi cacing Toxocara sp. Terdapat tiga spesies Toxocara yang sangat penting di dunia kedokteran hewan yaitu Toxocara canis menyerang anak anjing dan anjing dewasa, Toxocara cati menyerang anak kucing dan kucing dewasa, dan Toxocara vitulorium menyerang anak sapi dan anak kerbau beserta induknya (Sariego et al., 2012).

Toxocariasis tidak hanya terjadi pada anjing, tapi juga dapat menginfeksi manusia. Toxocariasis pada manusia adalah salah satu infeksi parasit yang paling umum pada manusia di dunia (Manurung dan Siahaan, 2012). Kejadian toxocariasis pada manusia sangat tergantung pada kejadian toxocariasis pada hewan peliharaan. Potensi terjadinya toxocariasis pada manusia sangat dimungkinkan mengingat anjing adalah hewan peliharaan yang umum pada sebagian orang.

Pada manusia, telah ditemukan bahwa hampir 14% dari populasi Amerika Serikat telah terinfeksi Toxocara sp. Secara global, toxocariasis ditemukan di banyak negara dan tingkat prevalensi dapat mencapai setinggi 40% atau lebih di seluruh dunia. Seseorang lebih mungkin terinfeksi dengan Toxocara canis jika mereka memiliki anjing (CDC, 2013).

(12)

Menurut WHO (2010), prevalensi ascariasis pada manusia di seluruh dunia adalah 55,83%, toxocariasis 16,67%, giardiasis 12,5%, strongyloidiasis 5,83% dan enterobiasis 3,33%. Lingkup epidemiologi dan klinis penyakit parasit terus berkembang terutama disebabkan oleh perubahan perilaku manusia dan lingkungan (WHO, 2010).

Toxocara cati dan Toxocara canis juga tersebar secara kosmopolit dan ditemukan di Indonesia. Di Jakarta prevalensi toxocariasis pada anjing 38,3% dan pada kucing 26% (Taniawati et al., 2008).

Sebuah penelitian di AS pada tahun 1996 menunjukkan bahwa 30% anjing yang usianya dibawah 6 bulan menyimpan telur Toxocara canis dalam kotorannya, penelitian lain menunjukkan bahwa hampir semua anak anjing yang lahir sudah terinfeksi Toxocara canis. Tingkat infeksi lebih tinggi untuk anjing yang dibiarkan bermain di luar rumah. Selain itu, lokasi geografis juga berperan, karena Toxocara canis lebih mudah hidup di tempat yang lembab di mana telur bisa bertahan di dalam tanah (CDC, 2013).

Toxocara canis sangat merugikan bagi kesehatan hewan maupun

kesehatan manusia. Kerugian ditinjau dari sudut ekonomi juga sangat besar, termasuk biaya yang harus dikeluarkan dalam rangka usaha pengendaliannya. Dengan melihat kerugian yang ditimbulkan, maka usaha pengendalian parasit merupakan suatu keharusan, sebab bila hal ini dibiarkan parasit akan terus merajalela (Sudardjat, 2012).

Penelitian mengenai identifikasi Toxocara canis pada anak anjing di kota Makassar belum pernah dilakukan, sedangkan warga di kota Makassar banyak yang memelihara anjing. Dengan melihat bahwa Toxocara canis pada anak anjing sangat berpotensi terjadi serta bersifat zoonosis dan sangat merugikan bagi kesehatan anak anjing serta menimbulkan kerugian ekonomi bagi pemilik, maka penelitian tentang “Identifikasi Toxocara canis pada Anak Anjing di Makassar Pet Clinic” sangat penting untuk dilakukan agar bisa mengidentifikasi adanya

Toxocara canis pada anak anjing sehingga bisa dilakukan tindakan pengendalian

sedini mungkin.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka dapat diambil rumusan masalah yaitu apakah ada telur Toxocara canis pada fesesanak anjing di Makassar Pet Clinic?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi adanya

Toxocara canis pada anak anjing di Makassar Pet Clinic. 1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini untuk mendiagnosa toxocariasis pada anak anjing di Makassar Pet Clinic.

(13)

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Pengembangan Ilmu

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat dalam pengembangan ilmu, yaitu:

- Menambah dan memperkaya ilmu kedokteran hewan khususnya pada hewan kesayangan di kota Makassar.

- Untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai infeksi Toxocara canis pada anak anjing.

- Untuk meningkatkan wawasan peneliti dalam melakukan penelitian Toxocara canis pada anak anjing.

- Sebagai masukan bagi pihak lain yang akan melanjutkan penelitian ini ataupun penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

1.4.2 Manfaat Pengembangan Aplikatif

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu kedokteran hewan khususnya pada hewan kesayangan dalam upaya meningkatkan kesehatan hewan peliharaan dan juga kesehatan manusia.

1.5 Hipotesis

Dari rumusan masalah di atas dapat diambil hipotesis penelitian yaitu terdapat telur Toxocara canis pada feses anak anjing di Makassar Pet Clinic.

1.6 Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai identifikasi Toxocara canis di Makassar Pet Clinic belum pernah dilakukan. Penelitian terkait Toxocara canis pernah dilakukan di Jakarta untuk mengetahui tingkat prevalensi Toxocara canis. Di Jakarta prevalensi toxocariasis pada anjing 38,3% dan pada kucing 26% (Taniawati et al., 2008).

(14)

1.7 Kerangka Konsep

Anak Anjing di Makassar Pet Clinic

Pengambilan Sampel Feses Anak Anjing

Pem. Mikroskopis Telur Cacing

Pemeriksaan dengan Metode Apung Pemeriksaan dengan Metode Natif Terdapat Telur (Positif) Tidak Ditemukan Telur (Negatif) Identifikasi Telur Cacing Toxocara canis Interpretasi

(15)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teoritik

Toxocara canis merupakan ascaridida yang umum pada anjing. Ini

merupakan salah satu parasit yang penting pada hewan tersebut, dan terutama sangat penting pada anak anjing. Infeksi kongenital dari Toxocara canis

merupakan hal yang biasa terjadi pada anak anjing (Levine, 1994).uyg

2.1.1 Taksonomi Toxocara canis

Kingdom : Animalia Filum : Nematoda Kelas : Secernentea Ordo : Ascaridida Superfamily : Ascaridoidea Family : Toxocaridae Genus : Toxocara

Spesies : Toxocara canis

(The Animal Diversity Web, 2014).

2.1.2 Morfologi Toxocara canis

Cacing Toxocara canis terdapat hampir di seluruh dunia. Cacing tersebut sangat sulit dihilangkan dari suatu daerah yang tertular, dikarenakan kulit telur kedua (lapis luarnya) tebal. Telur tersebut dapat tahan bertahun-tahun di feses anjing maupun serigala yang terinfeksi (Levine, 1994). Ukuran telur cacing

Toxocara canis 85 x 75 µm yang berbentuk oval dengan permukaan bergerigi, berwarna cokelat muda, dan berdinding tebal (Soedarto, 2003). Gambar telur cacing Toxocara canis dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2. Telur Toxocara canis yang tidak berembrio. Dikutip dari Cherles Hendrix dalam buku diagnostic parasitology for veterinary technicians

(16)

Gambar 3. Telur Toxocara canis berembrio. Dari Anonymus, 2007

Cacing Toxocara canis hidup di usus halus anjing dan merupakan nematoda yang terbesar. Seekor cacing betina Toxocara canis dewasa dapat menghasilkan kurang lebih 200.000 telur per hari (Subronto, 2006). Cacing

Toxocara canis jantan panjang tubuhnya berkisar antara 4 sampai 10 cm sedangkan Toxocara canis betina memiliki panjang 5 sampai 18 cm (Soedarto, 2003). Berikut gambar cacing jantan dan betina Toxocara canis.

Gambar 4. Cacing Toxocara canis jantan (ukuran lebih kecil) dan cacing Toxocara canis

betina (ukuran lebih besar).Dikutip dari Kimberly Bates, 2004

Tubuh Toxocara canis berwarna putih, dengan cervical alae yang panjang dan sempit (Levine, 1994). Bentuk ekor Toxocara canis untuk yang berjenis kelamin jantan ekornya berbentuk seperti tangan dengan jari yang sedang menunjuk (digitiform), sedangkan untuk yang berjenis kelamin betina bentuk ekornya bulat meruncing (Manurung dan Siahaan, 2012).

Cacing Toxocara canis memiliki bentuk yang sedikit berbeda dari jenis cacing Toxocara sp. lainnya. Dimana cacing jantan memiliki spikulum tidak sama besar, membengkok, bersayap dan panjangnya 750-1300 mikron (Levine, 1994). Berikut gambar Toxocara canis dibandingkan dengan cacing jenis Toxocara sp.

(17)

Gambar 5. Toxocara sp. anjing dan kucing. A. Toxocara mystax, ujung anterior, pengamatan dari ventral. B. Toxocara canis, ujung anterior, pengamatan dari ventral. C. Toxascaris leonina, ujung anterior, pengamatan dari

ventral. D. Toxocara mystax, ujung posterior cacing jantan, pengamatan dari ventral. E. Toxocara canis, ujung posterior cacing jantan, pengamatan dari ventral. F. Toxascaris leonina, ujung posterior cacing jantan, pengamatan dari ventral. (Dari Morgan dan Hawkins, 1949. Dikutip dalam

Levine, 1994)

2.1.3 Siklus Hidup Toxocara canis

Siklus hidup Toxocara canis berkaitan erat dengan metode infeksinya di dalam tubuh hospes. Subronto (2006) menjelaskan, secara umum siklus hidup cacing Toxocara canis terdiri atas infeksi langsung, infeksi intra-uterus, infeksi

trans-mammaria, infeksi induk pasca-melahirkan dan infeksi melalui hospes paratenik. Berikut penjelasan lebih lanjut siklus hidup Toxocara canis.

2.1.3.1 Infeksi Langsung

Telur infektif Toxocara canis yang mengandung larva stadium kedua dapat menginfeksi anak anjing sampai umur 4 minggu secara langsung. Di dalam usus anak anjing telur infektif Toxocara canis akan segera menetas dan menghasilkan larva stadium kedua, yang selanjutnya bermigrasi ke hati dalam waktu 2 hari. Di hati larva stadium kedua akan berubah menjadi larva stadium ketiga. Setelah berkembang menjadi larva stadium ketiga, larva tersebut akan bermigrasi ke paru-paru. Perjalanan migrasi tersebut memerlukan waktu 3 sampai 6 hari pasca-infeksi. Di paru-paru larva akan bermigrasi menuju alveoli,

bronchiole, bronchi dan selanjutnya menuju trachea. Setelah di trachea, larva akan pindah ke pharynx, yang selanjutnya menuju ke kerongkongan, lambung, dan akhirnya sampai di usus. Di usus larva akan berubah bentuk (moulting) menjadi cacing dewasa.

Periode prepaten Toxocara canis pada anak anjing sampai umur 3 bulan adalah 4 sampai 5 minggu. Telur cacing dapat ditemukan dalam jumlah besar pada 6 sampai 8 minggu pasca-infeksi.

(18)

Infeksi oleh telur infektif pada anjing dengan umur lebih dari 2 sampai 3 bulan tidak akan secara langsung berkembang menjadi cacing dewasa di dalam usus. Biasanya telur akan berubah menjadi larva stadium kedua dan ditemukan dalam bentuk kista di dalam jaringan somatik. Pada anjing betina kista tersebut dapat melanjut menjadi infeksi intra-uterus, sedang pada hewan jantan larva dalam kista tersebut tidak berkembang dan akhirnya mati.

2.1.3.2 Infeksi Intra-Uterus

Anjing betina yang berumur lebih dari 1 sampai 3 bulan, jika menelan telur cacing infektif, larva stadium kedua akan berdiam di dalam jaringan somatik dan tetap bersifat infektif sampai 1 tahun lamanya. Saat anjing tersebut bunting, larva yang infektif akan termobilisasi 2 minggu sebelum ia melahirkan. Larva

infektif akan menembus plasenta dan selanjutnya mencapai fetus. Pada saat dilahirkan anak anjing tersebut telah terinfeksi oleh larva stadium ketiga di dalam paru-parunya. Dalam waktu 1 minggu larva berkembang menjadi stadium keempat, berukuran 4 sampai 7 mm. Kadang-kadang larva stadium keempat tersebut juga ditemukan di usus anak anjing pada umur 3 hari. Dalam waktu 2 sampai 3 minggu larva stadium keempat berkembang menjadi stadium kelima atau sebagai cacing muda yang berukuran sampai 7 cm di usus halus. Pada saat anjing berumur 19 sampai 23 hari, dalam feses-nya telah ditemukan telur cacing dan jumlah telur akan meningkat sampai anak anjing berumur 6 bulan.

Periode prepaten minimum pada infeksi intra-uterus adalah 19 sampai 23 hari. Larva stadium kedua yang terdapat di dalam jaringan somatik, termasuk uterus tidak selalu serentak menjadi cacing dewasa. Sebagian larva yang masih tertinggal menginfeksi fetus pada masa kebuntingan berikutnya.

2.1.3.3 Infeksi Trans-Mammaria

Larva infektif telah dapat diisolasi dari air susu yang dikeluarkan pada laktasi hari ke-22, yang berarti infeksi lewat air susu dimungkinkan. Meskipun hal tersebut dimungkinkan, infeksi trans-mammaria sangat jarang terjadi pada anak anjing yang sedang menyusui.

2.1.3.4 Infeksi Induk Pasca Kelahiran

Anjing betina yang telah melahirkan akan mengeluarkan telur cacing dalam feses, meskipun sebelum kawin dan menjelang melahirkan anjing tersebut telah diberi obat cacing. Telur cacing tersebut bisa berasal dari larva dorman yang berkembang dan bisa juga telur tersebut berasal dari cacing dewasa yang hidup di dalam usus anak anjing, yang selanjutnya akan menghasilkan telur yang berkembang menjadi larva infektif yang dikeluarkan bersama feses. Feses anak anjing sampai saat penyapihan (4 sampai 6 minggu) akan dimakan oleh induknya, dan larva yang infektif akan menjadi dewasa dalam usus induk. Dengan demikian induk menjadi terinfeksi dan mampu memperpanjang keberadaan cacing di sekitar tempat hidupnya. Periode prepaten cacing melalui perkembangan pasca kelahiran adalah 4 minggu.

Telur cacing yang tidak infektif yang terdapat di dalam feses anak anjing dimakan oleh induknya akan dikeluarkan lagi melalui feses tanpa mengalami perubahan atau dapat berkembang di dalam usus induk. Dengan demikian adanya

(19)

cacing gelang di dalam kelompok anjing akan bersifat permanen, dan sangat sulit dihilangkan tanpa memotong daur hidup parasit tersebut.

2.1.3.5 Infeksi Melalui Hospes Paratenik

Infeksi cacing melalui cara ini terjadi bila anjing memakan karkas binatang pengerat (rodentia) misalnya tikus yang mengandung larva dorman di dalam jaringan tubuhnya. Binatang lain misalnya cacing tanah (lumbricits), kecoa, unggas, bahkan domba dapat pula bertindak sebagai hospes paratenik bagi

Toxocara canis. Larva dorman tersebut dapat langsung berkembang di dalam usus

anjing tanpa harus melalui migrasi di dalam tubuh anjing lebih dahulu. Periode prepaten infeksi dengan cara ini berlangsung selama 4 minggu. Secara skematis daur hidup cacing gelang pada anjing dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 6. Daur hidup cacing gelang pada anjingdikutip dari Subronto, 2006

2.1.4 Patogenesis Toxocariasis

Dalam usus halus, cacing dewasa mengambil nutrisi dari hospes definitif-nya dengan menyebabkan kelukaan dinding usus dan mengambil nutrisi dari sirkulasi. Berdasarkan siklus hidupnya, larva menyebabkan penyakit dengan fase migrasi yang meninggalkan lesi pada organ dan jaringan yang dilalui. Keparahannya bergantung kepada jumlah, baik pada cacing dewasa maupun larva (Agna, 2009).

Perjalanan larva infektif Toxocara canis melalui jaringan paru-paru dan hati dapat menyebabkan terjadinya edema pada kedua organ tersebut. Paru-paru yang mengalami edema mengakibatkan batuk, dispnoea, selesma, dengan eksudat yang berbusa dan kadang mengandung darah. Perjalanan larva lewat lambung, pada yang berat menyebabkan distensi lambung, diikuti oleh muntah, dan mungkin disertai keluarnya cacing yang belum dewasa di dalam bahan yang dimuntahkan (vomitus) (Subronto, 2006).

Supraptini (2013), menjelaskan bahwa infeksi cacing yang berat menyebabkan gangguan usus, yang antara lain ditandai dengan sakit perut (colic), obstruksi usus baik parsial maupun total, dan dalam keadaan ekstrim terjadi perforasi usus hingga tampak gejala peritonitis.

(20)

Adanya cacing yang banyak menyebabkan penurunan bahan makanan yang diserap, hingga terjadi hipoalbuninemia yang selanjutnya menyebahkan kekurusan dengan busung perut (ascites). Perut pada anjing muda yang terinfeksi

Toxocara canis jelas memperlihatkan pembesaran dan tampak menggantung (

pot-belly) (Agna, 2009).

2.1.5 Gejala Klinis Anjing yang Terinfeksi Cacing

Supraptini (2013), menyatakan bahwa gejala penyakit yang terjadi pada anjing yang menderita toxocariasis, mulai dari gejala klinis ringan, dimana hewan tidak menunjukkan gejala sakit sampai dengan gejala klinik yang berat. Tidak jarang kematian pada anjing, disebabkan anjing tersebut terinfeksi cacing

Toxocara canis.

Berdasarkan pada siklus hidup, gejala klinis yang muncul mencakup gejala yang muncul karena migrasi larva dan gejala klinis yang muncul karena cacing dewasa. Gejala klinis yang muncul juga tergantung kepada seberapa berat infestasi parasit, yang bergantung kepada jumlahnya. Gejala klinis dapat mencakup pembesaran abdomen, kegagalan pertumbuhan, muntah dan diare (Agna, 2009).

Penderita cacingan memperlihatkan gejala kelemahan umum. Hal tersebut juga terutama disebabkan oleh anemia yang diderita. Ekspresi muka tampak sayu, mata berair, dan mukosa mata maupun mulutnya tampak mucat serta gejala anoreksia juga sangat mencolok. Karena kelemahan yang diderita, hewan malas berjalan-jalan maupun bergerak. Pada hewan muda tidak jarang gejala konvulsi ditemukan akibat rangsangan syaraf pusat oleh toksin cacing. Migrasi larva juga menyebabkan batuk, dispnoea dan adanya radang paru ringan (verminous

penumonia). Hewan yang mengalami infestasi cacing yang berat dapat

menunjukkan gejala kekurusan, bulu kusam, dan gangguan usus yang ditandai dengan sakit perut (colic) (Subronto, 2006).

Gejala klinis pada anak anjing yang terinfeksi Toxocara canis terlihat adanya pneumonia akibat migrasi larva ke trachea dan bisa mengakibatkan kematian dalam waktu 2-3 hari . Pada anak anjing yang berumur 2-3 minggu, nafsu makannya menurun dan terjadi gangguan pencernaan akibat adanya cacing

toxocara dewasa yang berada dalam lambung atau usus . Tanda-tanda klinis lainnya adalah diare, konstipasi, muntah, batuk-batuk dan keluar lendir dari hidung (Overgaauw, 1997).

2.1.6 Diagnosis Toxocariasis

Soulsby (1982), menyatakan bahwa pada umumnya diagnosa toxocariasis yang dilakukan adalah berdasarkan gejala klinis yang ditunjukkan dan ditemukannya telur pada feses. Diagnosa dengan cara pemeriksaan feses adalah yang paling sering dilakukan, dapat juga diikuti dengan pemeriksaan patologi anatomi dan klinik. Diagnosa kecacingan kadang-kadang tidak selalu didasarkan ditemukannya telur atau larva cacing didalam pemeriksaan feses, baik secara visual, natif, metode apung atau pemeriksaan endapan. Berdasarkan gejala klinis anjing yang terinfeksi sering dapat digunakan sebagai pegangan dalam penentuan diagnosis antara lain batuk, pilek, anoreksia, kadang-kadang diare, perut membesar dan menggantung, bahkan konvulsi merupakan petunjuk kuat dalam

(21)

menentukan diagnosa. Diagnosa pascamati juga penting untuk menegakkan diagnosis. Cacing Toxocara sp. yang belum dewasa dapat ditemukan di dalam mukosa usus (Subronto, 2006).

2.1.6.1 Pemeriksaan Feses

Penemuan telur Toxocara canis pada feses dapat menggunakan metode natif, metode apung atau pemeriksaan endapan. Dalam pemeriksaan sangat sulit membedakan telur dari ketiga species Toxocara sp., oleh karena itu diperlukan ketelitian dalam pemeriksaan (Agna, 2009).

2.1.6.2 Pemeriksaan Patologi Anatomi

Agna (2009), menyatakan bahwa dalam pemeriksaan pasca mati, jaringan tampak anemis dan hidremis. Hati tampak pucat, membesar dengan beberapa bagian mengalami perdarahan titik atau ekimosa. Begitu juga dengan paru-paru tampak pucat. Jantung membesar, pucat, dengan kemungkinan terjadinva

hidroperikard. Saluran pencernaan pucat dengan di beberapa tempat terjadi perdarahan titik. Rongga perut berisi cairan transudat. Cacing dewasa ditemukan dalam lumen usus. Mukosa usus mengalami radang eosinofilik yang bersifat fokal.

2.1.6.3 Pemeriksaan Klinik

Perubahan patologi klinik yang ditemukan meliputi lekositosis,

eosinofilia, hipoalbuminemia, kadar β-globulin yang sangat meningkat serta adanya kenaikan serum glutamic piruvic transaminase (Agna, 2009).

2.1.7 Terapi Toxocariasis

Anjing yang berumur dibawah umur 6 bulan harus diobati untuk mengeluarkan cacing dari tubuhnya dengan pemberian piperazin sekali tiap bulan, dan bila berumur lebih dari 6 bulan maka diberikan obat cacing sekali setiap dua bulan (Harold, 1979). Albendazole adalah pengobatan pilihan bagi toxocariasis (Dickson, 2003).

Untuk mengobati toxocariasis pada hewan, berbagai obat cacing dapat digunakan (Soedarto, 2003). Hewan yang terinfeksi diobati dengan mebendazol atau ivermectin. Anak anjing atau kucing rutin diobati mulai usia 2-3 minggu hingga berusia 1 tahun. Untuk Anjing atau kucing dewasa diobati setiap 6 bulan sekali (Taniawati et al, 2008). Hetrazan efektif terhadap infeksi yang disebabkan oleh cacing (Koes, 2009).

Subronto (2006), menyatakan bahwa untuk membunuh cacing dewasa dapat digunakan obat-obat berikut.

1. Dietilkarbamasin (Caricide, Hetrasan, dll) : dosis 25 mg/bb atau 60 mg/kg. 2. Pyrantel pamoat, embonat, dan citrat.

3. Mebendazole 30 –50 mg/kg, selama 3 hari. 4. Fenbendazole 30 –50 mg/kg, selama 3 hari. 5. Ilium Pyraquantal.

(22)

2.1.8 Zoonosis pada Manusia

Estuningsih, (2005), mengungkapkan bahwa beberapa spesies Toxocara sp. dilaporkan tidak hanya berbahaya terhadap hewan tetapi juga dapat menginfeksi manusia. Pada manusia yang terinfeksi Toxocara sp., larvanya bisa menyebabkan visceral larva migrans yang mengakibatkan timbulnya gejala muntah-muntah dan ocular larva migrans yang menyebabkan kerusakan mata permanen pada manusia. Ocular larva migrans biasanya terjadi pada anak-anak umur 7 sampai 8 tahun, dan visceral larva migrans pada anak umur 1 sampai 4 tahun. Alasan perbedaan umur ini belum diketahui (CDC, 2013). Berikut skema bagaimana cara infeksi Toxocara canis ke manusia.

Gambar 7. Mekanisme penularan Toxocara canis ke manusia. Dikutip dari Dickson Despommier dalam jurnal PubMed Central

Pada kasus infeksi Toxocara ringan yang terjadi pada orang dewasa biasanya tidak menimbulkan gejala. Kasus yang parah dapat terjadi pada anak-anak, yang selalu bermain di tempat kotor atau memakan tanah yang terkontaminasi kotoran anjing yang mengandung telur Toxocara. (CDC, 2013).

2.1.9 Pencegahan Toxocariasis

Dokter hewan memainkan peran penting dalam mencegah penyebaran infeksi Toxocara sp. Dokter hewan sebaiknya merekomendasikan pemeriksaan tinja secara rutin dari hewan kesayangan dan pemberian obat cacing secara rutin. Hal ini telah terbukti efektif dalam mengendalikan infeksi toxocariasis (Dickson, 2003). Selain itu menurut Bariah (2007), pemberian antilhelmentik secara teratur dan terus-menerus pada anak anjing dan kucing dapat mencegah terjadinya infeksi toxocariasis.

Untuk menekan terjadinya kontaminasi telur Toxocara sp. di lingkungan bisa dilakukan dengan cara mencegah pembuangan feses anjing atau kucing

(23)

peliharaan secara sembarang terutama di tempat bermain anak-anak dan kebun sayuran (Taniawati et al, 2008). Selain itu, menurut CDC (2010), membersihkan kandang hewan peliharaan setidaknya sekali seminggu dan feses hewan peliharaan harus dikubur atau dikantongi dan dibuang di tempat sampah juga dapat menekan terjadinya kontaminasi telur Toxocara sp. di lingkungan.

(24)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan selama 1 bulan, dari bulan Juli hingga Agustus 2014. Pengambilan sampel akan dilakukan di Makassar Pet Clinic dan pemeriksaan sampel dilakukan dengan metode natif dan metode apung. Pemeriksaan sampel akan dilakukan di Laboratorium BBVET Maros.

3.2 Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan selama 1 bulan di Makassar Pet Clinic, dengan banyak sampel minimal 30 sampel. Sampel yang diambil adalah anjing yang berusia 1- 12 bulan (anak anjing) yang datang ke Makassar Pet Clinic.

Dalam pengambilan sampel, feses yang diambil adalah feses segar yang berasal dari pasien anak anjing. Feses yang diambil kemudian dimasukkan ke dalam plastik klip yang berisi kapas yang sudah diberikan larutan formalin 10%. Plastik klip yang berisi sampel feses kemudian dimasukkan ke dalam cool box

untuk menjaga agar feses tetap dalam kondisi yang baik dan tidak rusak yang selanjutnya akan dibawa menuju Laboratorium BBVET Maros untuk dilakukan pemeriksaan identifikasi telur cacing Toxocara canis.

3.3 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses segar dari anak anjing, akuades, NaCl jenuh, dan formalin 10%.

3.4 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cool box, plastik klip, tusuk gigi, pipet tetes, objek glass, cover glass, kain kasa, tabung, sentrifugasi, ose, dan mikroskop.

3.5 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan dua metode pengujian pada setiap sampel untuk mendapat hasil pengujian yang lebih akurat. Pengujian dilakukan dengan metode natif dan metode apung. Metode apung diambil karena telur cacing

Toxocara canis bersifat ringan, sehingga akan mudah untuk mengapung dalam pemeriksaan dengan metode apung.

3.5.1 Metode Natif

Akuades diteteskan di atas objek glass sebanyak dua tetes. Sampel feses diambil menggunakan ose dan oleskan di atas objek glass yang telah ditetesi

(25)

akuades. Sampel dan akuades dihomogenkan menggunakan tusuk gigi. Setelah feses dan akuades homogen, campuran homogen tersebut ditutup dengan kaca penutup. Preparat diperiksa di bawah mikroskop (Taylor et al., 2007).

Gambar 8. Skema pengujian dengan metode natif. Hernasari Putri Rezki, 2011

3.5.2 Metode Apung

Dua gram sampel dicampurkan dengan 10 ml larutan NaCl jenuh dan dihomogenkan (Taylor et al., 2007). Setelah homogen, larutan disaring menggunakan kain kasa berukuran 10×10 cm dan dituang ke dalam tabung

sentrifugasi. Tabung disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 1500 rpm. Setelah disentrifugasi, larutan yang terdapat pada permukaan diambil menggunakan ose dan diteteskan di atas objek glass. Kemudian ditutup dengan

cover glass dan diperiksa keberadaan dan jenis endoparasit di bawah mikroskop (Natadisastra dan Agoes, 2009).

(26)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian untuk mengidentifikasi Toxocara canis pada anak anjing di Makassar Pet Clinic telah dilakukan pada bulan Juli – Agustus 2014. Sebanyak 31 sampel telah dikumpulkan dalam penelitian ini, dimana sampel yang diambil berasal dari pasien anak anjing yang berumur 1 – 12 bulan.

Pemeriksaan sampel feses dilakukan dengan menggunakan metode apung di Laboratorium Parasitologi, BBVET Maros. Jumlah telur yang ditemukan dalam 2 gram feses dari setiap sampel yaitu berkisar 2 sampai 5 telur cacing dalam satu bidang pandang. Berikut adalah gambar telur Toxocara canis yang nampak di bawah mikroskop dengan pembesaran 10x.

[A] [B]

Gambar 10. Hasil Pemeriksaan sampel dengan metode apung [A] dan metode natif [B] (panah merah : telur Toxocara canis)

Dari hasil pemeriksaan dengan mikroskop pada gambar di atas terlihat morfologi telur Toxocara canis memiliki bentuk yang oval dan dinding telur memiliki permukaan yang tidak rata. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Soedarto (2003), yang menyatakan bahwa telur Toxocara canis memiliki morfologi berbentuk oval dengan permukaan bergerigi, berwarna cokelat muda, berdinding tebal dan memiliki ukuran 85 x 75 µm. Telur Toxocara canis dapat tahan bertahun-tahun di feses anjing maupun serigala yang terinfeksi, dikarenakan berdinding tebal (Levine, 1994), sehingga telur Toxocara canis sangat sulit untuk dibasmi dari suatu daerah yang tertular. Hasil tersebut jika dibandingkan dengan telur Toxocara canis dari Cherles Hendrix (2012) terlihat memiliki ciri dan morfologi yang sama. Berikut adalah gambar telur cacing Toxocara canis hasil pemeriksaan dibandingkan dengan literatur.

(27)

[A] [B]

[C]

Gambar 11. Hasil pemeriksaan telur Toxocara canis dengan pembesaran 10x [A] (panah merah : telur Toxocara canis), telur Toxocara canis dengan pembesaran 40x [B], dibandingkan dengan telur Toxocara canis dari literatur [C], (Cherles

Hendrix, 2012)

Pada pemeriksaan sampel, selain telur Toxocara canis, diidentifikasi juga telur nematoda jenis lain. Jenis telur cacing yang sering teridentifikasi pada pemeriksaan adalah Ancylostoma caninum. Ancylostoma caninum adalah salah satu jenis cacing yang banyak menginfeksi anjing. Ancylostoma caninum

merupakan cacing endoparasit yang umum ditemukan di usus halus anjing.

Ancylostoma caninum dan Toxocara canis termasuk dalam filum sama yaitu nematoda.

Telur Ancylostoma caninum dan telur Toxocara canis memiliki bentuk yang sama yaitu oval, tapi memiliki beberapa perbedaan antara lain telur

(28)

yang lebih kecil yaitu 52-79 × 28-58 µm. Berikut gambar telur Toxocara canis

dan Telur Ancylostoma caninum yang ditemukan dalam sampel.

Gambar 12. Telur Toxocara canis (panah merah) dan telur Ancylostoma caninum (panah kuning)

Pada anak anjing yang mengalami infeksi lebih dari satu jenis cacing menunjukkan kondisi fisik yang lebih lemah. Selain itu, dari kondisi feses sampel juga lebih encer dibanding dengan sampel yang mengalami satu jenis infeksi saja. Jumlah telur Ancylostoma caninum yang ditemukan dalam 2 gram sampel juga bervariasi yaitu antara 3 sampai 5 telur cacing dalam satu bidang pandang dan ini termasuk dalam kategori infeksi ringan. Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi Ancylostoma caninum pada anjing muda berupa anemia, membran pucat, diare, penurunan berat badan, kelemahan, pertumbuhan yang buruk dan bisa menyebabkan kematian (Sunandar, 2003).

Hasil pemeriksaan telur cacing Toxocara canis terhadap 31 sampel feses anak anjing di Makassar Pet Clinic yaitu terdapat 5 sampel feses anak anjing teridentifikasi telur Toxocara canis dan 26 sampel lain tidak ditemukan adanya telur Toxocara canis. Data hasil pemeriksaan sampel dapat dilihat pada tabel berikut.

(29)

Tabel 1. Hasil pemeriksaan sampel feses anak anjing

No Nama Sampel Toxocara canis

Positif Negatif 1. Yuki 2. Miko 3. Lucky 4. El 5. Gembul 6. Al 7. Momo 8. Mimi 9. Scooby 10. Nomi 11. Bona 12. Rambo 13. Leti 14. Gustev 15. Golden 16. Fey 17. Hitam 18. Husky 19. Flora 20. Harder 21. Mama 22. Hade 23. Mix 24. Pom 25. Key 26. Nino 27. Fino 28. Lenka 29. Dev 30. Rey 31. Win

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya kejadian toxocariasis pada pasien anak anjing di Makassar Pet Clinic yang didiagnosa dengan ditemukannya telur Toxocara canis di feses pasien. Dari 31 sampel pasien yang diperiksa, teridentifikasi 5 sampel positif telur Toxocara canis (16,12%).Hasil ini tidak bisa mewakili tingkat kejadian toxocariasis di kota Makassar karena jumlah sampel yang diambil tidak mewakili jumlah populasi anjing di kota Makassar. Hasil ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian tingkat kejadian toxocariasis pada anjing di Jakarta yaitu 38,3% (Taniawati et al., 2008).

Dari hasil pemeriksaan sampel, rata-rata sampel yang menunjukkan hasil yang positif terhadap toxocariasis terjadi pada anak anjing yang berusia di bawah 6 bulan (data lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran). Hal ini sesuai dengan hasil yang dirilis oleh CDC (2013), dimana sebuah penelitian di AS pada tahun

(30)

1996 menunjukkan bahwa 30% anjing yang usianya dibawah 6 bulan menyimpan telur Toxocara canis dalam fesesnya, penelitian lain menunjukkan bahwa hampir semua anak anjing yang lahir sudah terinfeksi Toxocara canis.

Menurut Subronto (2006), kejadian infeksi Toxocara canis dapat terjadi melalui beberapa rute, diantaranya adalah melalui intra-plasenta dan intra-mammari. Berdasarkan pada hal tersebut, maka sampel feses anak anjing yang positif terinfeksi Toxocara canis bisa akibat tertular oleh induk anak anjing yang terinfeksi. Namun hal ini belum bisa dibuktikan lebih lanjut, karena dalam penelitian ini sampel yang diperiksa hanya difokuskan pada anak anjing.

Selain faktor dari induk anak anjing yang berpotensi menularkan toxocariasis, pengaruh cara pemeliharaan dan lingkungan juga sangat berperan penting dalam terjadinya penularan toxocariasis pada anak anjing. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Afriansyah (2013), di Yogyakarta bahwa tingkat infestasi Toxocara sp. pada anjing yang dipelihara di dalam rumah lebih rendah (11%), dibandingkan dengan anjing yang dipelihara di luar rumah (27%). Telah dilakukan survei terhadap sampel yang positif dalam hal cara pemeliharaan. Dari hasil survei dapat dikatakan bahwa sampel feses anak anjing yang positif terinfeksi toxocariasis rata-rata dipelihara secara bebas untuk berkeliaran di lingkungan luar rumah oleh pemilik dan bebas untuk mencari makan sendiri. Hal ini sangat memungkinkan anak anjing tertular oleh anjing lain yang terinfeksi oleh toxocariasis melalui kontak secara langsung maupun melalui feses yang tersebar di lingkungan. Feses yang tersebar dapat mencemari lingkungan, sehingga anak anjing dapat terinfeksi secara langsung melalui tanah yang terkontaminasi maupun melalui hospes paratenik yang di dalam tubuhnya telah terdapat telur infektif Toxocara canis yang dikonsumsi oleh anak anjing. Gambar dari anak anjing yang dipelihara secara bebas oleh pemilik dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 13. Anak anjing yang dipelihara secara bebas di luar rumah

Salah satu faktor lain yang paling berpengaruh besar pada kejadian toxocariasis pada anak anjing adalah pemberian obat cacing pada anak anjing yang tidak teratur. Ke lima sampel feses yang positif terinfeksi toxocariasis, semuanya adalah anak anjing yang belum pernah diberikan obat cacing oleh pemilik. Sedangkan 26 sampel lainnya, adalah anak anjing yang rutin diberikan obat cacing oleh pemilik. Hal ini menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan terhadap hasil pemeriksaan antara anak anjing yang rutin diberikan obat cacing

(31)

dan yang tidak rutin diberikan obat cacing. Oleh karena itu, client education terhadap pemberian obat cacing kepada anjing menjadi hal yang sangat penting untuk dipahami oleh pemilik, mengingat bahwa toxocariasis juga bersifat zoonosis terhadap manusia.

Anak anjing yang terinfeksi toxocariasis, tidak dapat diidentifikasi dengan hanya melihat gejala klinis yang ditimbulkan. Dikarenakan gejala klinis yang tampak sangat tergantung dari tingkat keparahan infeksi toxocariasis yang terjadi, hal ini sesuai yang dinyatakan oleh Supraptini (2013), yang menyatakan bahwa gejala penyakit yang terjadi pada anjing yang menderita toxocariasis, mulai dari gejala klinis ringan, dimana hewan tidak menunjukkan gejala sakit sampai dengan gejala klinik yang berat. Namun demikian, gejala klinis yang diamati, pada anak anjing yang terinfeksi toxocariasis menunjukkan adanya tingkat pertumbuhan anak anjing yang terhambat, pembesaran abdomen, dan diare (Agna, 2009). Oleh karena itu, untuk melakukan diagnosa terhadap infeksi toxocariasis pada anak anjing tidak dapat dilakukan dengan hanya melihat gejala klinis yang tampak, tapi harus dilakukan dengan pemeriksaan feses, pemeriksaan klinik, dan pemeriksaam patologi anatomi (Sariego et al., 2012).

(32)

5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Teridentifikasi telur Toxocara canis pada anak anjing di Makassar Pet Clinic. 2. Dari 31 sampel feses anak anjing yang diperiksa 5 sampel ditemukan adanya

telur Toxocara canis.

5.2 Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah :

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap kejadian toxocariasis tidak hanya pada anak anjing namun juga dapat dikembangkan terhadap anjing yeng berumur dewasa dan induk anjing untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang mempengaruhi kejadian toxocariasis sebagai bahan untuk merancang program pengendalian toxocariasis.

2. Client education kepada pemilik mengenai pemeliharaan anjing dan

(33)

DAFTAR PUSTAKA

Agna. 2009. Toxocariasis pada Kucing, (on line), (http://dr-agna.livejournal.com/3275.html. Diakses pada tanggal 27 Januari 2014). Anonymus. 2007. Toxocara embryonated eggs.jpg. (on line). (http://commons.

wikimedia.org/ wiki/File:Toxocara_embryonated_eggs.jpg. Diakses pada tanggal 10 februari 2014).

Bates K. 2004. Toxocara canis. (on line). (http://course1.winona.edu/kbates/ parasitology/toxocara.htm. Diakses pada tanggal 10 februari 2014).

Brown H. 1979. Dasar Parasitologi Klinis. Edisi 3. Jakarta : Gramedia, 253-25. Budiana NS. 2006. Anjing. Jakarta : Penebar Swadaya.

(CDC) Control Desease and Prevention. 2013. Parasites - Toxocariasis (Also Known As Roundworm Infection). USA.(http://www.cdc.gov/parasites/ toxocariasis/. Diakses pada tanggal 26 Januari 2014).

Despommier D. 2003. Toxocariasis: Clinical Aspects, Epidemiology, Medical Ecology, And Molecular Aspects. Pmc Journal,: 16(2): 265–272 . (on line). (http://www.ncbi.nlm. nih.gov/pmc/articles/PMC153144/. Diakses pada tanggal 2 Februari 2014).

Estuningsih SE. 2005. Toxocariasis pada Hewan dan Bahayanya pada Manusia. Wartazoa Journal. (on line), Vol. 15 No . 3: 136-142, (http://bbalitvet. litbang.deptan. go.id/ind/attachments/152_14.pdf. Diakses pada tanggal 21 Januari 2014).

Hendrix C. 2012. Diagnostic Parasitology for Veterinary Technicians. Edisi IV. USA: Melby Elseviar.

Hernasari PR. 2011. Identifikasi Endoparasit pada Sampel Feses Nasalis

Laravatus, Presbytis Comata, dan Presbytis Siamensis dalam

Penangkaran Menggunakan Metode Natif dan Pengapungan dengan Sentrifugasi. Skripsi diterbitkan. Depok : Universitas Indonesia. (on line),

(http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20281269-S671-Identifikasi%20endoparasit.pdf. Diakses pada tanggal 20 Januari 2014). Ideham B. 2007. Helmintologi Kedokteran. Surabaya : Airlangga University

press, 29-33.

Irianto K. 2009. Parasitologi Berbagai Penyakit yang Mempengaruhi Kesehatan

Manusia.Bandung: Yrama Widya,89-90.

Levine N. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta : UGM Press.

Manurung RS, Lambok S. 2012. Infeksi Toxocara Sp. pada Hewan Peliharaan di Kelurahan Padang Bulan Tahun 2012. E-journal FK-USU. (on line),( http://jurnal.usu.ac.id/ index.php/ejurnalfk/article/view/1428/766. Diakses pada tanggal 26 Januari 2014).

Myers P, Espinosa R., Parr T, Hammond, Dewey. 2014. Toxocara canis. The Animal Diversity Web (on line), (http://animaldiversity.ummz. umich. edu/accounts/Toxocara_canis/classification/. Diakses pada 18 Mei 2014). Natadisastra D, R Agoes. 2009. Parasitologi kedokteran: ditinjau dari organ

tubuh yang diserang. Penerbit buku kedokteran EGC, jakarta : xxi+450 hlm.

(34)

Overgaauw PAM. 1997. Prevalence of intestinal nematodes of dogs and cats in the Netherlands . Vet . Quart . 19 : 14-17 .

Rianto S. 2011. Infeksi Dipylidium Caninum pada Anjing dengan Ctenocephalides Canis Sebagai Vektor. (on line) ( http://catatanakhir koas parasit.blogspot.com/2011/06/infeksi-dipylidium-caninum-pada-anjing. html. Diakses pada tanggal 18 Januari 2014).

Sariego et al. 2012. Toxocariasis in Cuba : A literature Review. PMC journal. (on line).(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3289590/?tool=pub med.Diakses pada 18 Mei 2014).

Soedarto P. 2003. Zoonosis Kedokteran. Surabaya: Air Langga University Press. Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated

Animals. New York: Academic Press.

Subronto. 2006. Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sunandar A. 2003. Prevalensi Kecacingan Ancylostoma Spp Pada Anjing (Studi Kasus di Rumah Sakit Hewan Jakarta Periode Januari-Desember Tahun 2000) [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Sudardjat S. 2012. Epizootiologi Parasit Cacing dan Kausa Bakteri. Jakarta: Gita Pustaka.

Supali T, Margono SS, Alisah SN, Abidin. 2008. Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Jakata: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 9-11

Supraptini J. 2013. Kasus Toxocariasis Pada Anjing Di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Universitas Airlangga. Jurnal klinik veteriner. Vol 2. No 1 : 12 – 15 ISSN : 2302-6499.

Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary parasitology. 3rd ed. Blackwell publishing Ltd. Oxford : xxvi + 874 hlm.

World Health Organization. 2010. Prevelance Toxocariasis. World Health Organization.

Yusuf S, Purba FZ. 2008. Semua Tentang Anjing. Yogyakarta: Media Pressindo. (on line). (http://books.google.co.id/books?id=oM9TNJzfQaIC&printsec= frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false. Diakses pada tanggal 28 Januari 2014).

(35)

1. Data Sampel dan Hasil Pemeriksaan Sampel

No Nama

Sampel

Jenis Kelamin Umur

(Bulan)

Kondisi Feses

Manajemen Pemeliharaan

Obat Cacing Toxocara canis Tujuan Ke

Klinik

Waktu Pengambilan

Sampel

Jantan Betina Pernah Belum Positif Negatif

1. Yuki 3 Encer Dikandangkan Rawatinap 14 Juli 2014

2. Miko 8 Encer Dikandangkan Grooming 14 Juli 2014

3.

Lucky 4 Encer Dikandangkan Beli obat

cacing

14 Juli 2014

4. El 6 Padat Dikandangkan Vaksinasi 16 Juli 2014

5. Gembul 12 Encer Dikandangkan Rawatinap 16 Juli 2014

6. Al 12 Padat Dikandangkan Grooming 16 Juli 2014

7.

Momo 2 Encer Tidak

dikandangkan Beli obat cacing 18 Juli 2014 8.

Mimi 2 Encer Tidak

dikandangkan

Beli obat

cacing

18 Juli 2014

9.

Scooby 2 Encer Tidak

dikandangkan

Beli obat

cacing

18 Juli 2014

10. Nomi 5 Padat Dikandangkan Vaksinasi 18 Juli 2014

11. Bona 12 Padat Dikandangkan Grooming 18 Juli 2014

12.

Rambo 3 Encer Tidak

dikandangkan

Beli obat

cacing

22 Juli 2014

13.

Leti 4 Padat Dikandangkan Beli obat

cacing

22 Juli 2014

14. Gustev 8 Encer Dikandangkan Penitipan 25 Juli 2014

15.

Golden 7 Encer Tidak

dikandangkan

Beli obat

cacing

25 Juli 2014

16. Fey 8 Encer Dikandangkan Grooming 4 Agustus 2014

17. Hitam 5 Encer Dikandangkan Vaksinasi 4 Agustus 2014

18. Husky 9 Encer Dikandangkan Konsultasi 4 Agustus 2014

19.

Flora 7 Padat Dikandangkan Pemeriksaan

kesehatan

6 Agustus 2014

20.

Harder 6 Encer Dikandangkan Beli obat

cacing

6 Agustus 2014

(36)

cacing 23.

Mix 3 Encer Dikandangkan Beli obat

cacing

8 Agustus 2014

24. Pom 11 Padat Dikandangkan Penitipan 8 Agustus 2014

25.

Key 12 Padat Dikandangkan Pemeriksaan

kesehatan

8 Agustus 2014

26.

Nino 11 Encer Dikandangkan Pemeriksaan

kesehatan

8 Agustus 2014

27. Fino 10 Padat Dikandangkan Grooming 8 Agustus 2014

28.

Lenka 11 Padat Dikandangkan Grooming 13 Agustus

2014 29.

Dev 9 Encer Tidak

dikandangkan Beli obat cacing 13 Agustus 2014 30.

Rey 7 Padat Dikandangkan Penitipan 13 Agustus

2014 31.

Win 7 Padat Tidak

dikandangkan

Grooming 13 Agustus

(37)

2. Dokumentasi Penelitian

(38)
(39)

3. Pemeriksaan sampel dengan metode apung dan metode natif

4. Hasil pemeriksaan sampel

Pembesaran 40 x Pembesaran 10 x Pembesaran 40 x Pembesaran 10 x Pembesaran 40 x Toxocara canis Ancylostoma caninum Toxocara canis Toxocara canis

Gambar

Gambar 2. Telur Toxocara  canis yang tidak berembrio. Dikutip dari Cherles Hendrix  dalam buku diagnostic parasitology for veterinary technicians
Gambar 4. Cacing Toxocara canis jantan (ukuran lebih kecil) dan cacing Toxocara canis  betina (ukuran lebih besar)
Gambar  5.    Toxocara  sp.    anjing  dan  kucing.  A.  Toxocara  mystax,  ujung  anterior,  pengamatan  dari  ventral
Gambar 6. Daur hidup cacing gelang pada anjing dikutip dari Subronto, 2006 2.1.4   Patogenesis Toxocariasis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam klasifikasi rentang orang, dilakukan proses menyeleksi kondisi untuk menangani kasus dimana saat orang sedang berjalan, maka lebar dari blob pun akan

Dengan menggunakan metode penjadwalan ini akan diperoleh feeding buffer dengan durasi 3 akan diperoleh project buffer dengan durasi 16 sehingga penjadwalan eksisting 120

Uji heteroskedastisitas adalah keadaan dimana terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain pada model regresi. Model regresi

Jenis fitoplankton yang ditemukan di sekitar keramba jaring apung selama penelitian di sekitar perairan Waduk PLTA Koto Panjang adalah 29 spesies dan 4 kelas yang

Implementasi perlindungan hukum terhadap tenaga kerja Indonesia sebagai korban tindak pidana perdagangan orang di Kabupaten Grobogan yang dilakukan oleh Pemerintah

Penggunaan media kartu bilangan juga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika kelas IV di MIN Pemurus Dalam Banjarmasin.. Hal ini

Oleh karena itu, pada paper ini diterapkan sebuah metode ekstraksi ciri pada citra digital x-ray paru diagnosis tuberkulosis menggunakan pendekatan statistis,

Setelah pasukan Majapahit dapat dikalahkan pada tahun 1481 M oleh pasukan Kadipaten Demak, para Walisongo menyarankan agar Raden Fatah menyerahkan pemerintahan