• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kebijakan Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Oleh Bank BUMN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Kebijakan Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Oleh Bank BUMN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Kebijakan Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22

Oleh Bank BUMN

Egie Bea Sekar Arum1, Adang Hendrawan2

1 Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politi, Universitas Indonesia 2 Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politi, Universitas Indonesia

 

egibeasekararum@gmail.com,  adang.hendrawan@gmail.com

Abstrak

Salah satu badan yang ditunjuk menjadi pemungut pajak penghasilan pasal 22 adalah bank BUMN. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan pertimbangan pemerintah dalam menentukan kebijakan pemungutan PPh pasal 22 oleh bank BUMN, proses formulasi kebijakan, serta implikasi yang timbul atas kebijakan tersebut terkait prinsip netralitas dan biaya ekonomi. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan teknik wawancara mendalam dengan jenis penelitian deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan utama penunjukkan bank BUMN menjadi pemungut adalah performa bank BUMN yang baik dalam perekonomian. Proses formulasi secara umum telah berjalan sesuai dengan proses formulasi yang ideal namun terdapat beberapa aktor kebijakan yang belum terlibat secara mendalam dalam proses formulasi. Implikasi yang timbul atas kebijakan ini adalah terkait biaya ekonomi yang menambah biaya yang signifikan bagi bank BUMN.

Kata kunci : Formulasi kebijakan, Pajak Penghasilan pasal 22, Bank BUMN, netralitas, biaya ekonomi.

Policy Formulation of Income Tax Article 22 Imposition by State Owned Bank

Abstract

State Owned Bank is one of the entity appointed as Article 22 Income Tax Withholding agent in Indonesia. This research describes the consideration of that policy, the process of policy formulation, and the implication arise by that policy related neutrality and cost of economy principal. This research is a qualitative-descriptive research with in-depth interview and literature review as data collection techniques. The result of this research shows that the main consideration of this policy is the good state owned bank performance in the economy sector. Formulation process is running with ideal process, but there are some actors of policy that has not deeply involved in the formulation. Implication of this policy is about economical cost that add some significant cost for State Owned Bank.

Keywords :Policy Formulation, Income Tax Article 22, State Owned Bank, Neutrality, Economy in Collection.

(2)

Pendahuluan

Di Indonesia, sektor perbankan menjadi salah satu sektor yang diandalkan untuk menyokong pembangunan kualitas perekonomian dan kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Yoko Dwi, ahli keuangan World Bank Indonesia menyatakan bahwa kualitas kehidupan perekonomian masyarakat Indonesia yang baik dapat terpenuhi apabila dalam realisasinya Pemerintah, pengatur sektor keuangan, sektor perbankan, sektor keuangan dan para mitra pembangunan Indonesia terlibat bersama-sama dalam menjalankan roda perekonomian bangsa. Peran penting perbankan ini menjadi tantangan bagi industri perbankan untuk terus mengembangkan performanya. Tantangan tersebut dapat dijawab dengan baik oleh perbankan di Indonesia. Performa perbankan terus mengalami peningkatan. Performa ini dapat dilihat dari berbagai indikator, seperti laba, loan to deposit ratio atau kemampuan mengelola simpanan dan kredit perbankan, jumlah asset yang dimiliki perbankan, dan sebagainya.

Tidak hanya memiliki performa yang baik, industry perbankan di Indonesia juga memiliki kontribusi yang baik bagi perpajakan di Indonesia. Kontribusi sektor perbankan dalam perpajakan selau mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009, penerimaan pajak dari sektor perbankan berjumlah Rp.81 Trilyun. Jumlah ini meningkat menjadi 84 Trilyun pada tahun 2010 dan terus meningkat hingga pada tahun 2013 menjadi berjumlah 113 Trilyun.

Pentingnya peran perbankan di perekonomian Indonesia, ditambah dengan kinerjanya yang baik dalam dnia perekomian menuntut pemerintah untuk harus semakin memperhatikan dan mendukung perkembangan industri ini. Di sisi lain, mengingat kinerjanya yang baik, pemerintah juga memberikan tanggung jawab kepada industri perbankan ini. Salah satu hal yang dapat diwujudkan pemerintah dalam rangka mendukung kinerja perbankan untuk perekonomian negara adalah dengan membentuk berbagai kebijakan dan aturan yang mendukung aktivitas-aktivitas perbankan. Dengan peraturan dan kebijakan yang mendukung aktivitas-aktivitas perbankan, maka perbankan Indonesia akan lebih mudah untuk mengembangkan industrinya dan performa perbankan Indonesia pun menjadi semakin lebih baik untuk menyokong perekonomian negara.

Salah satu produk kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk industri perbankan ialah kebijakan pajak. Di Indonesia saat ini telah diberlakukan berbagai aturan pajak yang mengatur

(3)

mengenai aktivitas dan pemajakan bank-bank di Indonesia, misalnya aturan perpajakan mengenai pencadangan piutang tak tertagih, kewajiban potong pungut perbankan, dan sebagainya. Kebijakan pajak yang dibuat pemerintah untuk industri perbankan diharapkan mendukung perbankan Indonesia, sehingga dalam melakukan aktivitas bisnisnya, perbankan tidak perlu takut kelangsungan usahanya akan tersendat oleh aturan dan kebijakan yang ditetapkan pemerintah.

Terkait kewajiban bank untuk melakukan kegiatan potong-pungut pajak, pada awal Maret 2013 lalu telah diberlakukan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.011/2012. Peraturan ini mengatur adanya pendelegasian tugas dari pemerintah kepada bank, yaitu bank Badan Usaha Milik Negara atau dikenal dengan bank BUMN, untuk menjadi pemungut Pajak Penghasilan pasal 22 sebesar 1,5% untuk kegiatan pembelian barang atau bahan untuk keperluan usaha bank dengan nilai di atas Rp.10.000.000,-.

Dalam sejarahnya di Indonesia, ketentuan penunjukkan bank BUMN menjadi pemungut pajak penghasilan Pasal 22 atas transaksi pembelian barang untuk kegiatan usaha itu sendiri telah mengalami beberapa perubahan. Pada 2001, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001, dimana aturan tersebut menetapkan pihak BUMN, termasuk Bank-bank BUMN untuk menjadi pemungut pajak penghasilan Pasal 22 atas transaksi pembelian barang dan bahan untuk keperluan usahanya.1 Pada tahun 2010, aturan ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan menetapkan aturan baru, yaitu PMK No 154/PMK.03/2010. Aturan ini tidak lagi menunjuk Bank-bank BUMN untuk menjadi pemungut PPh Pasal 22 atas transaksi pembelian barang atau bahan untuk keperluan industri, sehingga kewajiban pemungutan PPh pasal 22 tidak lagi melekat pada Bank BUMN. Pada tahun 2012, diterbitkan aturan baru yang menggantikan peraturan yang berlaku, yaitu PMK Nomor 224/PMK.011/2012. Aturan ini mulai berlaku efektif per tanggal 1 Maret 2013. Di dalam aturan ini, bank BUMN kembali ditunjuk oleh pemerintah untuk menjadi pemungut PPh Pasal 22.

Kebijakan pemungutan PPh pasal 22 ini hanya diberlakukan untuk bank BUMN, tidak diberlakukan pada bank non BUMN atau bank Swasta. Hal inilah yang dikeluhkan oleh pihak bank BUMN. Pihak Bank BUMN merasakan adanya ketidakadilan dari adanya aturan ini, karena                                                                                                                          

1KMK No. 254/KMK.03/2001 Pasal 1 angka 5.KMK ini kemudian diperbaharui dengan PMK

(4)

adanya kewajiban lebih yang ditanggung oleh bank BUMN, sedangkan bank BUMN dan bank swasta tetap harus bersaing dalam dunia bisnis. Bank BUMN menerima konsekuensi untuk mengeluarkan biaya lebih karena kewajiban menjadi pemungut atas PPh pasal 22 hanya diberlakukan pada bank BUMN dan tidak diberlakukan di bank swasta sehingga bank BUMN harus semakin berjuang untuk kelangsungan usahanya agar tetap dapat terus bersaing dengan bank swasta dalam hal mengejar keuntungan dengan tetap menjalankan kewajiban perpajakannya yang lebih banyak dibanding bank swasta.

Perubahan-perubahan yang terjadi atas peraturan PPh pasal 22 untuk bank BUMN, yaitu pencabutan bank BUMN menjadi pemungut PPh pasal 22 yang kemudian diubah dengan penunjukkan kembali bank BUMN menjadi pemungut PPh pasal 22 menjadi menarik untuk ditelaah,terutama mengenai hal apa yang menjadi alasan dan pertimbangan pemerintah dahulu ketika mencabut penunjukkan bank BUMN menjadi pemungut dan memberlakukannya kembali, serta apa hasil yang diharapkan dari pemerintah dengan menunjuk bank BUMN menjadi pemungut PPh pasal 22. Pertimbangan-pertimbangan tersebut tentunya memiliki keterkaitan dengan proses formulasi kebijakan pemungutan PPh pasal 22 oleh bank BUMN, sehingga ketika melihat apa yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam merumuskan kebijakan ini tentunya proses formulasi kebijakan menjadi elemen yang tidak boleh dilupakan begitu saja. Selain itu, bagaimana implikasi untuk bank BUMN dengan adanya kebijakan pemungutan PPh pasal 22 untuk bank BUMN ini juga menjadi hal yang menarik pula untuk dilihat lebih mendalam.

Tinjauan Teoritis

Proses Formulasi Pemungutan pajak penghasilan pasal 22 oleh bank BUMN dapat dilihat melalui beberapa konsep dan teori. Konsep yang digunakan dalam penulisan jurnal ini antara lain adalah formulasi kebijakan, pajak pemotongan dan pemungutan, serta prinsip perpajakan netralitas dan biaya ekonomi.

Formulasi kebijakan didefinisikan oleh Dunn sebagai suatu peramalan, yaitu tahap dalam kebijakan yang menekankan pada tersedianya pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari diambilnya alternatif

(5)

(Dunn, p.22). Menurut Anderson, formulasi merupakan tahap yang memfokuskan pada pertanyaan-pertanyaan seperti apa masalah yang terjadi dalam masyarakat, apa yang membuat kejadian itu menjadi masalah, bagaimana masalah tersebut akhirnya menjadi agenda pemerintah, serta siapa saja pihak yang berperan dalam formulasi kebijakan. Formulasi kebijakan memfokuskan pada bagaimana mengembangkan pilihan alternatif yang tersedia untuk memecahkan masalah yang terjadi di tengah masyarakat.

Dalam formulasi kebijakan, terdapat beberapa aktor yang dilibatkan. Hal ini penting untuk diperhatikan, karena aktor-aktor yang terlibat akan menentukan sejauh mana kebijakan mencakup kepentingan masyarakat secara menyeluruh. Menurut Anderson dalam bukunya, formulasi kebijakan akan ideal apabila melibatkan beberapa aktor, antara lain lembaga Pemerintah yang terdiri dari legislatif yang merupakan lembaga yang memiliki fungsi untuk merancang kebijakan, lembaga eksekutif, lembaga yudikatif yang merupakan lembaga yang berwenang untuk melakukan peninjauan hukum suatu kebijakan yang hendak diberlakukan, serta lembaga administratif yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah yang terbagi sesuai sektor atau fungsi. Di luar lembaga pemerintah, terdapat beberapa lembaga non pemerintah yang juga memiliki peran penting dalam proses formulasi kebijakan, seperti kelompok kepentingan, masyarakat, partai politik, lembaga penelitian dan media. (Anderson, p.47-67).

Formulasi kebijakan tentunya memiliki proses atau tahapan. Proses formulasi yang ideal menurut Patton dan Savicky terdiri dari beberapa tahap. Proses ini diawali dengan pendefinisian masalah. Dari masalah yang didefinisikan tersebut kemudian ditentukan beberapa alternatif kebijakan yang memungkinkan untuk diterapkan. Alternatif tersebut akan ditinjau melalui kriteria-kriteria yang ditetapkan para perumus kebijakan. Dari berbagai alternatif yang ditinjau kemudian dipilih satu alternatif yang paling ideal untuk diterapkan. Alternatif tersebut kembali diidentifikasi menggunakan beberapa tinjauan. Setelah melakukan identifikasi, alternatif tersebut apabila memang dapat diterapkan mulai dirumuskan dan disahkan menjadi kebijakan. Kebijakan tersebut kemudian diterapkan dan dimonitor oleh pemerintah.

Kebijakan pemungutan PPh pasal 22 juga dapat dilihat dari konsep sistem pembayaran pajak. Gunadi dalam bukunya menyatakan sistem pembayaran atau pelunasan pajak secara umum terbagi menjadi dua hal, yaitu pay as you go dan pay as you earn. Pay as you go system merupakan cara pelunasan pajak terutang yang dilakukan melalui Wajib Pajak itu sendiri. Sistem

(6)

ini dilakukan misalnya dengan angsuran. Contoh dari sistem ini antara lain PPh pasal 25 dan PPh pasal 29. Pay as you earn system merupakan cara pembayaran atau pelunasan pajak yang terutang melalui pemotongan atau pemungutan dari pihak ketiga, yaitu pihak yang ditetapkan oleh undang-undang. Sistem ini lebih dikenal dengan withholding system. Sistem ini diperkenalkan pada tahun1944 pada masa pasca perang dunia ke dua, dimana sistem ini diciptakan dengan tujuan untuk melancarkan arus kas masuk pemerintah tiap bulannya (Nightangale, p.12).

Pajak potong pungut atau biasa disebut withholding tax system merupakan penerapan sistem pelunasan pajak yang terutang, yaitu sistem dimana pajak yang dibayar seseorang atau badan melalui pemungutan oleh pihak ketiga. Sistem ini dibentuk untuk mempermudah pola pengawasan yang diterapkan dalam praktik pemungutan pajak di suatu negara. melalui sistem ini, para petugas pajak akan lebih terfokus dalam melakukan pengawasan kepada wajib pajak, karena mereka dapat fokus kepada pemungut, tidak perlu memfokuskan pengawasan kepada seluruh individu wajib pajak secara mendalam. (International Monetary Fund, p.1).

Withholding tax dalam pajak penghasilan pada awalnya hanya digunakan untuk

memotong penghasilan berupa gaji, bunga, dan dividen. Saat ini, teknik ini telah diterapkan dalam cakupan yang luas, yaitu terhadap penghasilan jasa professional, sewa, dan penghasilan usaha lainnya. Pihak ketiga yang dimaksud dalam konsep ini oleh Gunadi dibagi menjadi pihak penyedia penghasilan serta pihak tertentu yang ditetapkan pemerintah. Pihak penyedia penghasilan biasanya memungut PPh pasal 21/26 serta PPh pasal 23/26. Pihak tertentu yang ditunjuk pemerintah melakukan pemungutan untuk PPh pasal 22 (Gunadi, p.120).

Pemotongan pajak ini dilakukan dengan berdasar pada prinsip kemudahan perpajakan atau asas convenience. Selain itu, pelaksanaannya juga berdasarkan konsep ability to pay karena dilakukan saat seseorang menerima penghasilan. Witholding tax akan dapat meningkatkan kepatuhan dari penerima penghasilan. Hal ini dikarenakan penerima penghasilan harus melaporkan penghasilan yang diperolehnya dari pihak pemberi penghasilan yang melakukan pemotongan. Selain itu, walaupun tidak ada kewajiban untuk melaporkan pajak, penghasilan tersebut akan tetap dipungut oleh pemberi penghasilan yang berkewajiban melakukan pemotongan atas hasil tersebut sehingga kas negara akan lebih aman dari sisi penerimaannya. Sistem pemotongan dan pemungutan dalam pajak penghasilan ini juga akan menaikkan keadilan

(7)

dalam perpajakan meskipun penerima penghasilan tidak melaporkan penghasilan yang diterima ke dalam SPT, Karena penerima penghasilan tersebut telah membayar pajak atas penghasilan tersebut melalui pemotongan oleh pemberi penghasilan. Dari sisi petugas pajak atau administrator, sistem ini mengurangi tugas aparat DJP untuk melaksanakan pengumpulan pajak melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima. Sistem pajak penghasilan melalui mekanisme withholding sangat menganut paham convenience, dimana paham tersebut menekankan untuk mengenakan pajak pada saat Wajib Pajak menerima penghasilan. Hal ini mengacu pada asumsi bahwa Wajib Pajak akan cenderung lebih menyukai penghasilannya dipotong melalui mekanisme pemotongan oleh pemberi penghasilan. Namun dalam praktiknya sistem ini memiliki beberapa kelemahan. Pajak penghasilan yang menganut sistem pemotongan dan pemungutan akan memberikan konsekuensi adanya mekanisme kredit pajak. Mekanisme kredit pajak akan mengurangi jumlah pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Adanya konsekuensi ini juga memungkinkan pajak yang terutang akhirnya menjadi lebih kecil dari pajak yang telah dipotong atau dipungut karena kelebihan pemotongan (WHT lebih tinggi dari pajak terutangnya). Pajak penghasilan yang dipungut dengan sistem withholding juga dapat menimbulkan biaya tambahan yang harus dikeluarkan oleh pemotong, atau dengan kata lain, cost

of collection dari sistem ini menjadi lebih tinggi.

Implikasi yang timbul atas adanya kebijakan pemungutan PPh pasal 22 dapat ditinjau dari prinsip pajak. Pada dasarnya, prinsip pajak masih mengacu pada four canons yang diterapkan oleh Adam Smith, yaitu asas equality, asas certainty, asas convenience, dan asas economy. Namun dalam kepentingan menyesuaikan dengan perkembangan zaman, pada akhirnya asas-asas ini diperbaharui, salah satunya oleh AICPA atau American Institutr of Certified Public Accountant. Dalam penelitian ini, dua prinsip yang digunakan oleh peneliti adalah prinsip netralitas dan prinsip biaya ekonomi. Prinsip netralitas menekankan bahwa pajak harus bersifat netral, tidak memberatkan hanya sebagian pihak saja. Prinsip biaya ekonomi menekankan bahwa dalam pemungutan pajak, biaya yang timbul baik dari sisi pemerintah maupun wajib pajak hendaknya seminimum mungkin.

(8)

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dimana dari penelitian kualitatif akan didapatkan suatu gambaran dan pemahaman yang menyeluruh dan utuh atas terjadinya suatu fenomena sosial, yaitu mengenai adanya kebijakan pemungutan PPh pasal 22 oleh bank BUMN atas transaksi pembelian untuk keperluan usahanya yang dalam pelaksanaannya mengalami beberapa perubahan. Dalam penelitian ini, peneliti menggambarkan apa yang menjadi latar belakang dan pertimbangan adanya kebijakan pemungutan PPh pasal 22 hanya oleh bank BUMN, apa yang menjadi alasan perubahan-perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, yaitu atas pencabutan peraturan bahwa Bank BUMN menjadi pemungut PPh pasal 22 dan pemberlakuan kembali aturan tersebut, serta bagaimana tahapan-tahapan formulasi kebijakan ini dilakukan.

Penelitian ini berdasarkan tujuannya merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan secara rinci mengenai fenomena formulasi kebijakan PPh pasal 22 yang dalam perkembangannya mengalami perubahan-perubahan. Penelitian ini tidak diperbandingkan dengan penelitian lain sehingga merupakan penelitian cross sectional. Penelitian ini digunakan murni untuk kepentingan akademis. Pengumpulan data yang terkait untuk penelitian ini menggunakan teknik studi lapangan dan studi literatur. Studi lapangan dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam kepada pihak terkait dan ditambah dengan beberapa literature penunjang.

Pihak yang menjadi narasumber dalam penelitian ini antara lain Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Pajak sebagai perumus undang-undang, bank BUMN sebagai pelaksana, kementerian BUMN sebagai lembaga yang menaungi bank BUMN, serta akademisi perpajakan.

Penelitian ini menggunakan metode triangulasi data dari wawancara ke berbagai sumber sebagai bentuk keabsahan data.

Hasil dan Pembahasan

Kebijakan pemungutan Pajak penghasilan pasal 22 dibentuk dengan melihat fenomena yang terjadi di Indonesia. Pembentukan kebijakan ini berawal dari permasalahan target

(9)

penerimaan pajak. Peningkatan target penerimaan pajak tersebut menjadikan pemerintah harus mencari cara untuk menggali potensi penerimaan pajak. Di sisi lain, fenomena yang terjadi sekarang ini menunjukkan adanya pertentangan antara target pemerintah dengan sikap masyarakat Indonesia terkait pemenuhan kewajiban perpajakannya. Maraknya fenomena penggelapan pajak atau kasus penyelewengan pajak saat ini menjadi bukti masih rendahnya kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan dalam masyarakat Indonesia. Fenomena minimnya kesadaran dan kemauan masyarakat dalam membayar pajak dan menjalankan kewajiban perpajakannya ini pun memacu pemerintah untuk harus melaksanakan cara lain yang baik dan efektif untuk diterapkan agar masyarakat dapat menjadi semakin sadar untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Salah satu jalan yang pada akhirnya ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut ialah melalui pemungutan pihak lain. Sistem ini merupakan sistem pelunasan pajak yang terutang dimana pajak dibayar seseorang atau badan melalui pemungutan oleh pihak ketiga, yang dinilai efektif untuk menggali penerimaan pajak. Salah satu pemungutan pajak di Indonesia yang menggunakan sistem ini adalah PPh pasal 22. Bank BUMN menjadi salah satu badan yang ditunjuk menjadi pemungut PPh pasal 22. Penunjukkan tersebut berdasarkan beberapa pertimbangan :

a. Posisi bank BUMN sebagai lembaga yang dekat dengan pemerintah

BUMN termasuk bank BUMN pada dasarnya merupakan lembaga pemerintah, dimana pemerintah memiliki saham mayoritas dalam BUMN. Adanya porsi besar pemerintah dalam keberlangsungan usaha bank BUMN menjadikan BUMN juga harus mempertanggungjawabkan porsi tersebut. Hal ini menjadikan pemerintah merasa wajar apabila pemerintah memberikan suatu tanggung jawab dan tugas baru kepada BUMN untuk membantu pemerintah dalam menjalankan fungsi pemerintahan.

b. Faktor total belanja bank BUMN

Pajak penghasilan pasal 22 untuk BUMN termasuk bank BUMN menggunakan indikator pembelian. Penggunaan indikaor pembelian tersebut menjadikan faktor pembelian atau belanja BUMN menjadi indikator yang tepat untuk mengukur badan yang cocok digunakan untuk penunjukkan pemungut PPh pasal 22. Hal ini didasarkan anggapan umum dari Badan Kebijakan Fiskal bahwa dengan pembelian atau total belanja operasional yang besar, maka PPh pasal 22 yang dapat dipungut akan menjadi besar, sehingga pemungutan PPh pasal 22 akan menjadi efektif. Namun pada kenyataannya,

(10)

bank BUMN belum memiliki total belanja yang sangat besar seperti BUMN lainnya, sehingga faktor ini harus didukung faktor lainnya.

c. Kondisi internal bank BUMN

Pertimbangan lain yang perlu menjadi perhatian dalam penunjukkan pemungut PPh pasal 22 ialah dari sisi pemungut itu sendiri. Apabila keadaan pemungut tidak memungkinkan untuk dibebani kewajiban perpajakan yang baru, maka jalannya pemungutan akan menjadi tidak efektif. Jadi perlu dilihat dan ditelaah terlebih dahulu bagaimana kondisi internal suatu lembaga untuk menentukan apakah lembaga tersebut dapat diberikan kewajiban baru. Kondisi internal dari bank BUMN dapat dilihat dari beberapa sisi. Dari sisi Sumber Daya Manusia, bank BUMN yang memiliki banyak cabang dinilai memiliki kualitas SDM yang memadahi. Dalam praktiknya, SDM bank BUMN untuk bidang perpajakan hanya sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa dalam peninjuan mengenai SDM bank BUMN, pihak pemerintah tidak melakukan peninjauan secara mendalam. Sisi lain yang menjadi perhatian adalah kondisi finansial perusahaan. Bank BUMN dinilai memiliki kondisi finansial yang baik, yang diakui baik secara lokal di Indonesia maupun secara internasional.

d. Pola pengawasan otoritas pajak di Indonesia

Pihak pemerintah di Indonesia masih belum dapat mencakup banyaknya wajib pajak di Indonesia dengan baik. Dari segi sumber daya manusia, pola pengawasan yang ada masih belum memungkinkan untuk dilaksanakan pemungutan pada seluruh bank atau seluruh BUMN, sehingga pada akhirnya hanya bank BUMN beserta beberapa BUMN saja yang dipilih untuk melakukan pemungutan PPh pasal 22. Pola pengawasan yang ada di Indonesia terkait pemenuhan kewajiban perpajakan berbeda dengan pola pengawasan yang diterapkan di beberapa Negara maju. Di Belanda dan beberapa Negara lain, pola pengawasan yang diterapkan untuk perpajakan adalah dengan mengandalkan sektor perbankan. Hal ini tidak diterapkan di Indonesia, sehingga kebijakan ini menjadi konsekuensi pengganti untuk pendataan wajib pajak di Indonesia.

Pada tahun 2010, peraturan pemungutan PPh pasal 22 oleh bank BUMN dicabut. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa BUMN yang pada awalnya dianggap sebagai bendaharawan sehingga dibebankan pemungutan ini dinilai tidak lagi sama dengan bendaharawan pemerintah. BUMN merupakan lembaga yang terpisah secara hukum dengan

(11)

pemerintah. Karena itulah BUMN tidak dapat dikenakan kewajiban memungut PPh pasal 22 kembali. Di sisi lain, penambahan kewajiban untuk memungut PPh pasal 22 dinilai beberapa aktor dalam formulasi telah mengganggu keberlangsungan usaha bank BUMN dan BUMN lain yang dikenakan kewajiban ini.

Kebijakan pemungutan ini kembali mengalami perubahan di tahun 2012. Bank BUMN kembali dikenakan kewajiban pemungutan PPh pasal 22. Keputusan untuk memberlakukan kembali pemungutan PPh pasal 22 oleh bank BUMN dilakukan dengan pertimbangan bahwa dengan tidak dilakukannya pemungutan oleh bank BUMN, banyak data wajib pajak yang hilang, sehingga pemerintah tidak memiliki basis data yang cukup untuk memungut pajak. Hal tersebut berdampak pada turunnya penerimaan Negara. dengan tujuan untuk kembali menangkap data wajib pajak inilah pada akhirnya kebijakan pemungutan pajak penghasilan pasal 22 kembali diberlakukan.

Pemberlakuan kembali kebijakan ini dilakukan dengan mengubah beberapa ketentuan dalam kebijakan. Dasar penunjukkan kebijakan ini tidak lagi BUMN sebagai bendaharawan pemerintah, melainkan sebagai badan lain. Mengenai badan lain, terdapat hal yang menarik, karena pada dasarnya tidak ada ketentuan khusus yang mengatur kriteria badan lain secara spesifik, sehingga sebenarnya badan apapun dapat ditunjuk sebagai badan lain untuk memungut PPh pasal 22 sesuai kebutuhan pemerintah.

Selain perubahan mengenai dasar penunjukkan, terdapat beberapa hal administratif yang berubah dalam kebijakan pemungutan PPh pasal 22 ini, antara lain kenaikan batas minimum transaksi yang dipungut PPh pasal 22 dari sebelumnya bernilai Rp.1.000.000 menjadi Rp.10.000.000, penyetoran dan pelaporan yang sekarang dilakukan atas nama pemungut bukan lagi atas rekanan, kewajiban membuat bukti pungut, dan sebagainya. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan dengan maksud untuk meminimalisasi dampak negative bagi pihak yang terlibat. Namun pada praktiknya, terdapat beberapa perubahan yang tidak berdampak secara signifikan bagi pihak terkait.

Proses formulasi kebijakan pemungutan PPh pasal 22 oleh bank BUMN dilakukan dengan melibatkan berbagai aktor terkait. Dalam penelitian yang dilakukan, aktor yang memiliki peran dominan dalam proses formulasi kebijakan ini adalah Direktorat Jenderal Pajak dan Badan

(12)

Kebijakan Fiskal. Kedua aktor tersebut berfungsi sebagai perumus kebijakan. Mereka melakukan peninjauan dan kajian untuk menjadi bahan pertimbangan pemberlakuan kebijakan.

Pihak lain yang terlibat dalam proses formulasi kebijakan ini adalah kementerian BUMN. Kementerian BUMN berfungsi untuk mewakili pemungut atau bank BUMN dalam menyampaikan aspirasinya mengenai kebijakan ini. Namun dalam praktiknya, kementerian BUMN tidak terlibat secara aktif dalam formulasi kebijakan. Pihak kementerian hanya terlibat secara terbatas, yaitu saat kebijakan ini sudah siap disosialisasikan. Di lain sisi, kementerian BUMN merasa bahwa kebijakan pemungutan ini hanya bersifat administratif sehingga tidak memerlukan pembahasan mendalam dari kementerian BUMN, padahal dalam praktiknya banyak ketentuan dalam kebijakan ini yang memberatkan bank BUMN.

Pihak bank BUMN juga tidak dilibatkan secara aktif dalam proses formulasi kebijakan. Pihak bank BUMN hanya dilibatkan dalam ranah sosialisasi kebijakan, sama halnya dengan kementerian BUMN.

Tidak dilibatkannya semua aktor terkait secara optimal dalam proses formulasi kebijakan ini membuat kebijakan ini menjadi terkesan berat sebelah. Hanya kepentingan pemerintah yang diakomodir dalam kebijakan ini. Berdasarkan teori Anderson, seharusnya pihak Bank BUMN sebagai kelompok kepentingan, yaitu wajib pajak yang akan langsung melaksanakan kewajiban pemungutan PPh pasal 22 dilibatkan dalam proses formulasi. Pihak bank BUMN juga akan memahami dan nantinya merasakan dampak yang akan terjadi pada kelangsungan usaha mereka dengan berlakunya aturan pemungutan tersebut, sehingga memang sudah seharusnya pihak bank BUMN dilibatkan dalam proses formulasi. Pada kenyataannya, bank BUMN tidak dilibatkan dalam proses formulasi kebijakan. Pihak kementerian BUMN yang memahami kondisi internal bank BUMN juga seharusnya dilibatkan dalam proses formulasi kebijakan.

Dilibatkannya aktor-aktor selain BKF dan DJP dalam formulasi kebijakan pajak akan membuat kebijakan yang berlaku menjadi tidak berat sebelah dan aspirasi dari semua pihak dapat terakomodir dengan baik. Kebijakan pun tidak menjadi berat sebelah dan menjadi adil untuk semua pihak.

Proses formulasi kebijakan pemungutan PPh pasal 22 sesuai dengan konsep yang diungkapkan oleh Patton dan Savicky diawali dengan pendefinisian masalah. Masalah yang

(13)

teridentifikasi dalam proses awal formulasi kebijakan adalah adanya fenomena semakin meningkatnya target penerimaan pajak yang tidak dibarengi dengan meningkatnya kesadaran masyarakat di Indonesia dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Hal ini membuat pemerintah harus mencari cara agar penerimaan pajak dapat mencapai hasil.

Tahap kedua dari proses formulasi adalah meninjau alternatif menggunakan kriteria evaluasi. Alternatif yang diajukan untuk masalah yang terdefinisikan sebelumnya adalah melalui administrasi dan melalui kebijakan. Alternative administrasi ditempuh melalui penegasan-penegasan aturan administratif, seperti penyuratan kepada Wajib Pajak yang terlambat membayar pajak, penegasan sanksi-sanksi perpajakan, dan sebagainya. Alternatif dari sisi kebijakan adalah melalui perluasan sistem pemotongan dan pemungutan pajak. Dua alternatif ini ditinjau menggunakan kriteria evaluasi, yang menitik beratkan kepada criteria cost dan benefit. Dari segi cost, penegasan administratif membutuhkan biaya yang tidak sedikit, seperti biaya penerbitan surat, biaya pemeriksaan ke Wajib Pajak, dan sebagainya. Diperlukan usaha keras dari pemerintah untuk menegakkan kepatuhan masyarakat melalui administrasi. Cost yang timbul dari alternatif kedua tidak sebesar alternatif pertama, karena biaya yang timbul dari kebijakan pemungutan pajak dapat dialihkan atau digeser kepada pihak ketiga, yaitu pemungut. Segi benefit terkait erat dengan pola pengawasan yang diterapkan dalam perpajakan di Indonesia. Mengacu pada pola pengawasan yang diterapkan di Direktorat Jenderal Pajak saat ini, alternatif dari sisi administratif dirasa tidak cukup oleh pihak otoritas pajak. Tidak cukupnya alternatif ini untuk mencapai tujuan penerimaan dan pembiayaan rutin terkait dengan kesiapan pihak pemerintah dalam mengadministrasikan pajak. Alternatif kedua, yaitu kebijakan pemotongan pemungutan pajak berdasarkan wawancara mendalam diperkirakan akan lebih berhasil diterapkan. Apabila pajak ditagih tanpa metode tersebut, maka pihak pemerintah harus menyiapkan administrasi yang sangat matang untuk melakukan pengawasan atas penerimaan pajak terhadap semua Wajib Pajak yang ada. Jumlah Wajib Pajak di Indonesia terbilang sangat banyak, sehingga dengan Sumber Daya Manusia di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang terbatas untuk mencakup jumlah Wajib Pajak tersebut, pengawasan pun sulit untuk dijalankan secara optimal. Hal ini akan mengakibatkan banyak Wajib Pajak yang terlepas dan tidak terdeteksi oleh otoritas pajak, sehingga potensi penerimaan pajak menjadi menurun, mengingat masih rendahnya kesadaran membayar pajak masyarakat Indonesia. Dengan diterapkannya pemungutan dan pemotongan pajak melalui pihak lain, maka otoritas pajak hanya bertanggung

(14)

jawab secara detail mengawasi dari sisi pemungut saja, karena dengan mengawasi pemungut, pihak rekanan yang dipungut menjadi terdata oleh otoritas pajak, sehingga mereka menjadi mengetahui pihak mana saja yang seharusnya melakukan keajiban pembayaran pajaknya. Data Wajib Pajak pun semakin mudah didapatkan tanpa harus melakukan pengawasan menyeluruh ke semua Wajib Pajak di Indonesia. Melalui sistem yang demikian, penerimaan pajak diprediksikan akan meningkat dengan cara yang efektif. Berdasarkan criteria tersebut, maka pemungutan pajak menjadi alternative yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Selanjutnya sesuai dengan konsep pemungutan dipilihnya alternatif kebijakan PPh pasal 22 oleh bank BUMN.

Setelah alternatif ini dipilih, selanjutnya alternatif ini ditinjau dan diidentifikasi berdasarkan kajian tertentu. Pemungutan PPh pasal 22 oleh bank BUMN ini ditinjau dari tiga kajian, yaitu kajian ekonomis, kajian hukum, serta kajian risiko. Kajian ekonomis melihat biaya yang timbul dengan diterapkannya alternatif ini, dimana dari sisi pemerintah. Biaya yang timbul menjadi lebih sedikit dikarenakan fokus pengawasan kebijakan yang lebih kepada pemungut saja. Dari segi wajib pajak, beban yang dirasakan wajib pajak untuk membayar PPh badannya menjadi lebih ringan di akhir periode karena di setiap bulannya sudah dipotong PPh pasal 22. Dari segi pemungut, berdasarkan hasil penelitian, kajian ekonomis dari segi pemungut masih kurang diperhatikan karena pada praktiknya banyak biaya yang harus ditanggung oleh bank BUMN terkait pemungutan PPh pasal 22 ini. Kajian dari sisi risiko ditunjukkan melalui adanya penunjukkan BUMN mana saja yang ditunjuk sebagai pemungut. Apabila kebijakan ini diterapkan untuk seluruh BUMN, ditakutkan kebijakan ini tidak menjadi efektif karena tidak semua BUMN di Indonesia berada dalam kondisi yang baik. Hal yang sama pula apabila kebijakan ini diterapkan secara sektoral, yaitu atas seluruh bank di Indonesia. Kondisi bank non BUMN di Indonesia juga beragam, tidak semua memeiliki performa bisnis yang baik, sehingga ditakutkan penambahan kewajiban pemungutan kepada mereka justru akan menurunkan performa mereka. Dalam tahap formulasi kebijakan ini, sisi commucability masih belum ditinjau secara mendalam, karena banyak kebingungan BUMN termasuk bank bank BUMN yang timbul dari kebijakan ini, yaitu mengenai masalah objek pengenaan pemungutan, yang berbunyi

pembelian dalam rangka kegiatan usaha. Dalam aturan pemungutan, tidak diatur secara rinci

mengenai kegiatan usaha. Hal ini dikarenakan agar batasan pengenaan menjadi luas. Namun hal ini justru membuat banyak kebiongungan di lapangan.

(15)

Langkah selanjutnya yang ditempuh dari proses formulasi kebijakan adalah menyajikan alternatif yang dipilih untuk disahkan dan diterapkan. Kebijakan ini pada akhirnya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan. Penerapan kebijakan ini kemudian diawasi untuk melihat sejauh mana kebijakan ini mencapai target yang diharapkan. Pemonitoran kebijakan ini dilakukan melalui Direktorat Jenderal Pajak melalui sub divisi evaluasi kebijakan, dan melalui Kementerian BUMN per sektornya.

Dalam praktiknya, kebijakan ini memberikan dampak kepada bank BUMN. Secara umum, kebijakan pemungutan PPh pasal 22 baru disosialisasikan untuk diterapkan pada akhir Desember 2012, sedangkan 24 Februari 2013 kebijakan ini harus diterapkan. Hal inilah yang membuat bank BUMN agak kewalahan dalam menyiapkan sistemnya. Biaya penyiapan sistem pun karena mendadak menjadi lebih besar, dan pada awal praktik kebijakan, banyak terjadi kesalahan-kesalahan pada sistem yang diterapkan sebagaimana dinyatakan oleh pihak bank BUMN.

Secara lebih lanjut, terdapat dua prinsip yang dapat ditinjau untuk melihat dampak kebijakan ini bagi bank BUMN. Prinsip pertama adalah prinsip netralitas. Prinsip ini melihat bahwa kebijakan ini hanya diterapkan pada bank BUMN bukan seluruh bank di Indonesia, yang membuat kewajiban yang berbeda antara bank BUMN dan bank non BUMN di tengah persaingan mereka di industry bisnis di Indonesia. Meskipun terkesan tidak netral, karena kebijakan ini hanya dikenakan pada sebagian pihak, namun mengingat kondisi bank non BUMN yang sangat beragam dan ditakutkan akan menimbulkan ketidakefektifan dalam pemungutan, isu ketidaknetralan ini pun bukan menjadi masalah yang signifikan.

Prinsip kedua adalah prinsip economy in collection. Implikasi dari biaya ekonomi timbul dari beberapa fakta yang timbul dengan diterapkannya kebijakan ini, yaitu adanya pihak rekanan yang tidak dapat dipungut PPh pasal 22nya. Dalam praktik pemungutan PPh pasal 22 yang dilakukan oleh bank BUMN, terdapat beberapa pihak rekanan tidak mau dipungut PPh pasal 22nya. Hal tersebut terjadi karena terdapat rekanan bank BUMN yang transaksi-transaksinya menggunakan sistem otomasi, sehingga ketika transaksi pembelian dilakukan, tidak memungkinkan untuk dipungut PPh pasal 22nya. Rekanan tersebut antara lain Hypermart, Giant, Acehardware, dan sebagainya. Transaksi yang tidak dapat dipungut PPh pasal 22 oleh bank BUMN memberikan dampak bagi bank BUMN. PPh 22 yang tetap harus disetor ke Negara,

(16)

karena adanya pembelian, pada akhirnya ditanggung oleh bank BUMN, agar bank BUMN tidak terkena sanksi. Jumlah biaya yang timbul dari implikasi ini cukup signifikan, Karena transaksi yang tidak dapat dipungut PPh pasal 22nya cukup banyak di setiap bulannya, yaitu 10% dari transaksi sebulan yang dikenakan PPh pasal 22. Implikasi lain dari sisi biaya ekonomi juga timbul dari beberapa hal yang bersifat administratif. Hal tersebut terlihat dari beberapa hal. Pertama, dari sisi kenaikan batas minimum atau threshold atas transaksi yang wajib dikenakan PPh pasal 22. Pada tahun 2001, dalam PMK No 254/PMK.03/2001 disebutkan bahwa batas minimum transaksi yang dikenakan PPh pasal 22 adalah Rp.1.000.000. Batas minimum ini kemudian meningkat pada tahun 2013 saat kebijakan ini diberlakukan kembali menjadi Rp.10.000.000. Kenaikan batas minimum tersebut tersebut dilakukan dengan pertimbangan ekonomis dari sisi wajib pajak. Dari sisi wajib pajak yang merupakan pihak yang dipungut PPh pasal 22, pertimbangan threshold tersebut memang sesuai dengan prinsip biaya ekonomi. Apabila batas minimum transaksi adalah Rp.1.000.000, akan banyak pemungutan yang tidak efektif. Sebagai contoh, terdapat transaksi bernilai Rp.1.000.000, maka PPh pasal 22 yang dipungut ialah 1,5% x Rp.1.000.000 = Rp.15.000. Jumlah ini tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memungut jumlah tersebut, seperti biaya pencetakan bukti potong, pengiriman bukti potong ke rekanan, dan sebagainya. Lebih jauh lagi, sesuai dengan pernyataan pihak BKF, peningkatan batas minimum transaksi dilakukan untuk perlindungan rekanan-rekanan kecil bank BUMN. Dari sisi pemungut, Peningkatan batas minimum transaksi yang wajib dipungut PPh passal 22nya oleh bank BUMN juga pada awalnya diperkirakan akan membatasi jumlah transaksi yang wajib dikenakan PPh pasal 22, sehingga keperluan-keperluan administratif bank BUMN diperkirakan akan menurun juga dan usaha bank BUMN tidak terganggu. Pada kenyataannya, peningkatan batas minimum ini tidak memberikan perubahan signifikan atas jumlah transaksi yang wajib dipungut PPh pasal 22nya. Hal ini dikarenakan adanya kenaikan harga dalam kurun waktu 2001 hingga 2013.

Prinsip biaya ekonomi yang dipertimbangkan dalam formulasi kebijakan pemungutan PPh pasal 22 oleh bank BUMN dan BUMN juga dapat dilihat dari segi administratif. Berdasarkan aturan pelaksananya, yaitu PMK 254/PMK.03/2001, pelaksanaan pemungutan PPh Pasal 22 oleh bank BUMN dilaksanakan dengan cara pemungutan dan penyetoran oleh pemungut pajak atas nama Wajib Pajak (rekanan) ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro. Aturan ini berubah sehingga dalam PMK 224.PMK.011/2012 diatur bahwa pemungutan Pajak

(17)

Penghasilan Pasal 22 oleh bank BUMN, wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak. (pemungutan dilakukan atas nama Bank BUMN bukan Wajib Pajak / rekanan lagi.

Sekilas memang terlihat bahwa perubahan segi administrasi ini akan memberikan dampak berkurangnya biaya administrasi yang harus dikeluarkan. Pada tahun 2001 ketika aturan ini berlaku, bank BUMN wajib membuat SSP sebanyak jumlah rekanan yang mereka pungut PPh pasal 22nya, akrena SSP dibuat atas nama rekanan. Biaya administrasi untuk penerbitan SSP ini pun menjadi besar. Setelah aturan ini berubah dan di tahun 2013 kembali berlaku, bank BUMN tidak perlu membuat SSP untuk seluruh rekanannya, karena SSP dibuat atas nama bank BUMN sebagai pemungut. Namun kewajiban menerbitkan bukti potong untuk rekanan menjadi beban bagi bank BUMN yang memiliki nilai biaya yang hampir sama dengan penerbitan SSP atas nama rekanan.

Dengan adanya kewajiban membuat bukti pungut, maka berkas yang harus dipersiapkan untuk memenuhi administrasi kebijakan menjadi hampir sama dengan peraturan sebelumnya. Penyederhanaan administratif pun menjadi kurang terasa dalam masalah ini. Biaya yang harus dikeluarkan menjadi hampir sama dengan peraturan sebelumnya yaitu PMK No. 254/PMK.03/2001.

Pada dasarnya, merujuk pada prinsip biaya ekonomi, kebijakan pemungutan PPh pasal 22 yang dilakukan oleh bank BUMN ini memang memberikan tambahan beban baru bagi BUMN. Adanya penambahan beban ini tidak diimbangi dengan timbal balik atau sisi positif yang diterima bank BUMN sebagai pemungut. Hal inilah yang dirasakan oleh bank BUMN.

Implikasi yang timbul atas adanya kebijakan pemungutan PPh pasal 22 oleh bank BUMN yang telah diuraikan di atas memperlihatkan prinsip ekonomi yang dipertimbangkan untuk merumuskan kebijakan tersebut tidak dilakukan secara menyeluruh. Prinsip biaya ekonomi terkesan hanya terfokus pada sisi pemerintah.\

(18)

Simpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai kebijakan pemungutan PPh pasal 22.

a. Pertimbangan kebijakan ini adalah penerimaan pajak. Target penerimaan pajak di Indonesia cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya, sehingga pemerrintah menempuh sistem pemungutan pajak untuk mencapai target penerimaan tersebut. BUMN menjadi salah satu badan yang ditunjuk pemerintah sebagai pemungut atas PPh pasal 22 dikarenakan performanya yang bagus dalam perekonomian, total belanjanya yang besar, dan posisinya yang cukup dekat dengan pemerintah karena pemerintah memiliki saham mayoritas di dalam BUMN. Kebijakan ini kemudian dicabut dengan alasan ketidaksesuaian bank BUMN dan BUMN sebagai bendaharawan Negara. namun dengan pertimbangan data wajib pajak yang hilang dengan tidak dilakukannya pemungutan, bank BUMN kembali ditunjuk menjadi pemungut PPh pasal 22.

b. Aktor yang terlibat secara dominan dalam formulasi kebijakan ini adalah Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Pajak. Pihak kementerian BUMN dan bank BUMN tidak terlibat secara mendalam dalam proses formulasi kebijakan. Dari sisi proses formulasi kebijakan, berdasarkan konsep Patton dan Savicky, dalam tahap peninjauan alternatif terdapat beberapa kajian yang tidak diperhatikan secara mendalam dalam merumuskan kebijakan, yaitu sisi commucability atau penafsiran undang-undang. Namun secara uum, proses formulasi yang dilakukan dalam kebijakan ini telah sesuai dengan konsep Patton dan Savicky.

c. Implikasi netralitas tidak begitu signifikan dalam kebijakan ini, dikareakan kondisi bank non BUMN yang beragam sehingga tidak memungkinkan apabila kebijakan ini diterapkan di semua bank di Indonesia. Implikasi atas kebijakan ini lebih dominan terlihat pada sisi biaya ekonomi, dimana dalam praktiknya terdapat beberapa transaksi yang tidak dapat dipungut PPh pasal 22nya, dan bank BUMN harus menanggung beban pemungutan tersebut. Dari sisi administrasi pemungutan, meskipun sudah dilakukan beberapa perubahan kebijakan untuk meminimalisasi biaya yang timbul, namun perubahan tersebut tidak memiliki dampak signifikan untuk meminimalisasi biaya yang timbul untuk melakukan pemungutan PPh pasal 22.

(19)

Saran

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, saran yang peneliti ajukan terkait formulasi kebijakan pemungutan PPh pasal 22 oleh bank BUMN antara lain :

a. Terkait dengan proses formulasi kebijakan, sebaiknya pemerintah lebih melibatkan wajib pajak, dalam hal ini bank BUMN secara lebih aktif dalam proses formulasi. Dengan dilibatkannya bank BUMN lebih mendalam dalam proses formulasi, kebijakan yang akhirnya dirumuskan menjadi lebih luas cakupannya, mencakup kepentingan Negara dengan kepentingan wajib pajak. Selain itu, implikasi yang timbul dari kebijakan ini yang dapat memberatkan pemungut dapat diminimalisasi, seperti implikasi biaya ekonomi yang memberatkan bank BUMN.

b. Implikasi yang timbul atas kebijakan ini dari sisi biaya ekonomi seperti adanya rekanan yang tidak dapat dipungut PPh pasal 22nya sebaiknya diatasi bank BUMN dengan meminimalisasi transaksi pembelian kepada pihak rekanan yang tidak dapat dipungut PPh pasal 22. Dengan meminimalisasi transaksi kepada rekanan-rekanan tersebut, biaya yang ditanggung bank BUMN akibat emungutan yang tidak dapat dilakukan itu akan semakin berkurang.

Daftar Referensi

AICPA. Guiding Principles of Good Tax Policy. New York : American Institute of Certified Public Accountants, Inc. 2001

Alsah, A. Syariffudin. Pemotongan Pemungutan Pajak Penghasilan (Witholding Tax). Jakarta. Penerbit Karisma. 2003

Creswell, John W. Research Design, Qualitative and Quantitative Approaches. United State of America: SAGE Publications,Inc. 1994

Dunn, William N. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. 2011

(20)

Nugroho, Riant. Public Policy : Dinamika Kebijakan-Analisis Kebijakan-Manajemen Kebijakan. Jakarta : PT.Elex Media Komputindo. 2008

Nurmantu,Safri. Pengantar Perpajakan. Jakarta. Kelompok Yayasan Obor Indonesia. 2003 Palumbo, Dennis J. Public Policy in America, Government ini Action. Florida : Harcout Brace

and Company. 1994

Heeden, Koenraad Van Der. ”The Pay As You Earn Tax on Wages.” International Monetary Fund Journal. 15: 2 (1998). 1-33

Referensi

Dokumen terkait

Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan

Dari data di atas dapat dikatakan bahwa pengaruh Disiplin kerja (X1) terhadap Prestasi kerja karyawan adalah berpengaruh positif dan signifikan, jadi apabila disiplin kerja (X1)

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting demi kemajuan sebuah Negara, agar sumber daya alam yang ada bisa di kelola oleh tenaga-tenaga ahli yang handal

Seiring dengan berkembangnya teknologi elektronika komputer, teknologi metode FM yang murah serta minimnya gangguan interferensi di daerah-daerah pedesaan, maka sangat

Kontrol sosial adalah pengawasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mendorong orang lain atau kelompok lain untuk berperilaku yang sesuai

Menurut Fauzi dkk, (2008) hasil ikutan dari pengolahan TBS selain minyak sawit yang dapat digunakan sebagai makanan ternak antara lain minyak sawit kasar, bungkil inti

1) S (setting and scene), maksudnya berkenaan dengan tempat, waktu dan situasi psikologis tuturan atau pembicaraan itu. 2) P (participant), maksudnya adalah pihak-pihak yang

Pratama ini dikatakan sangat jelas dan terlaksana dengan baik, Herry menjelaskan bahwa pada tiap organ perusahaan telah tertulis terperinci masing- masing tugas