• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. usia yang muda dan tingkat fungsi premorbid yang tinggi (Kaplan dkk., 1997).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. usia yang muda dan tingkat fungsi premorbid yang tinggi (Kaplan dkk., 1997)."

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. LATAR BELAKANG

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang dalam kebanyakan kasus bersifat sangat serius, berkelanjutan dan dapat mengakibatkan kendala sosial, emosional, dan kognitif (pengenalan pengetahuan, daya membedakan) (Tjay dan Raharja, 2008). Penyakit skizofrenia tidaklah fatal kecuali jika pasien melakukan tindakan bunuh diri. Bunuh diri adalah penyebab umum kematian diantara pasien skizofrenia. Faktor risiko utama untuk bunuh diri adalah adanya gejala depresif, usia yang muda dan tingkat fungsi premorbid yang tinggi (Kaplan dkk., 1997).

Prevalensi penderita skizofrenia di dunia adalah sekitar 0,2-2% dari total populasi. Onset skizofrenia biasanya terjadi pada masa akhir remaja atau setelah umur 40 tahun. Angka kejadian skizofrenia pada wanita sama dengan pria, tetapi onset pada pria umumnya lebih awal (Ikawati, 2011). Data yang diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan satu hingga dua orang dari 1000 orang atau 1,7 per mil mengalami gangguan jiwa berat.

Keanekaragaman obat-obatan yang tersedia serta kompleksnya masalah keamanan dan efektivitas penggunaan obat menyebabkan pentingnya suatu usaha untuk memaksimalkan rasionalitas penggunaan obat sehingga pasien dapat menerima obat sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dengan dosis yang sesuai, dalam jangka waktu pengobatan yang cukup dan dengan biaya seminimal mungkin bagi pasien dan komunitasnya (Santoso, 1996). Pemilihan penggunaan

(2)

obat antipsikotik seharusnya dilakukan dengan pertimbangan rasio efikasi-efek samping dan kondisi pasien (Crismon dkk., 2008).

Peneliti memilih tempat penelitian di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang karena rumah sakit ini merupakan rumah sakit rujukan di Provinsi Jawa Tengah dan prevalensi skizofrenia di rumah sakit ini lebih banyak jika dibandingkan rumah sakit umum lainnya. Hal ini berkaitan dengan status dari rumah sakit yang merupakan rumah sakit khusus untuk menangani gangguan jiwa.

Rumah sakit tersebut berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti belum memiliki standar dalam pemilihan obat antipsikotik untuk pasien skizofrenia. Sampai saat ini, di Indonesia pun belum memiliki algoritma terapi skizofrenia yang seharusnya dapat digunakan sebagai acuan dalam pemilihan obat. Penilaian ketepatan penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia penting dilakukan agar pasien mendapatkan obat sesuai dengan kebutuhannya. Pemakaian obat yang tidak rasional merupakan masalah yang cukup serius dalam pelayanan kesehatanoleh karena kemungkinan dampaknya yang sangat luas (Wiedyaningsih dan Oetari, 2004).

Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui pola pengobatan pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang sehingga didapatkan informasi mengenai ketepatan pengguanaan antipsikotik dibandingkan dengan guidline terapi skizofrenia dari American Psychiatry Association tahun 2004.

(3)

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana karakteristik pasien skizofrenia yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang?

2. Bagaimana pola penggunaan antipsikotik pada pengobatan pasien skizofrenia yang sedang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang?

3. Bagaimana pola pengobatan pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang sudah tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, dan tepat dosis?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pola penggunaan obat antipsikotik pada pengobatan pasien skizofrenia yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.Soerojo Magelang.

2. Mengetahui ketepatan pola pengobatan pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang ditinjau dari aspek tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, dan tepat dosis.

(4)

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitiaan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan gambaran mengenai penggunaan antipsikotik dan pola pengobatan pasien skizofrenia yang sedang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang.

2. Sebagai bahan informasi, masukan dan pertimbangan bagi rumah sakit dalam pelayanan memberikan pelayanan medis bagi pasien skizofrenia 3. Menambah pengetahuan kepada peneliti tentang pola pengobatan

skizofrenia.

Memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya untuk dapat mengembangkan ilmu dan penelitian terkait pengobatan skizofrenia.

E. TINJAUAN PUSTAKA

1. Skizofrenia

a. Definisi Skizofrenia

Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang kronik, pada orang yang mengalaminya tidak dapat menilai realitas dengan baik dan pemahaman diri buruk (Kaplan, dkk 1997).

Skizofrenia merupakan bentuk psikosis fungsional paling berat, dan menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Dalam kasus berat pasien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran, dan perilakunya abnormal. Pada tahun 1911 Bleuler menciptakan nama skizofrenia untuk menandai

(5)

“terbelahnya” atau putusnya fungsi psikis yang menentukan sifat penyakit ini ( Ingram, dkk 1993).

b. Epidemologi

Berdasarkan National Institute of Mental Health, sekitar 1% dari penduduk Amerika mengalami skizofrenia. Angka kejadian pada pria dan wanita sebanding. Skizofrenia terjadi pada kisaran yang sama di seluruh etnik di dunia. Gejala seperti delusi biasanya dimulai antara umur 16 sampai 30 tahun. Gejala akan mucul lebih awal pada pria dibandingkan pada wanita. Selama ini, orang tidak menderita skizofrenia setelah berumur 45 tahun. Skizofrenia jarang terjadi pada anak-anak, tetapi kewaspadaan onset skizofrenia pada anak meningkat.

Data yang diperoleh dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, menunjukkan satu hingga dua orang dari 1000 orang atau 1,7 per mil mengalami gangguan jiwa berat, termasuk Skizofrenia (ODS).

c. Etiologi

Dalam publikasi National Alliance on Mental Illness (NAMI) tahun 2008, tertulis bahwa para saintis belum mengetahui secara pasti apa yang menyebabkan skizofrenia, tapi mereka tahu bahwa otak dari orang yang hidup dengan skizofrenia berbeda dibandingkan otak orang yang tidak hidup dengan skizofrenia.

(6)

Penelitian mengatakan skizofrenia memiliki hubungan dengan masalah kimia otak dan struktur otak.

Skizofrenia, seperti banyak penyakit kesehatan lain, seperti kanker, penyakit jantung, diabetes, merupakan penyakit kompleks karena terdiri dari kombinasi beberapa masalah, beberapa disebabkan faktor genetik dan lainnya terjadi saat masa pertumbuhan. Sebagai contoh, beberapa saintis berpikir bahwa skizofrenia disebabkan oleh infeksi virus yang menyerang otak di awal kehidupan atau karena kerusakan otak ringan dari komplikasi saat lahir.

Risiko terjadinya skizofrenia pada populasi umum adalah 0,6%-1,9%, akan tetapi pada saudara seayah dan seibu risiko bisa sampai 10%, dan pada saudara yang sama kakek dan nenek risikonya 3%. Jika kedua orang tua menderita skizofrenia, risiko terjadinya skizofrenia pada anak meningkat menjadi 40%. Pada anak kembar dizigot, jika salah satunya menderita skizofrenia, maka risiko kembar lain menderita skizofrenia sebesar 12-14%. Pada kembar monozigot risiko meningkat menjadi 48% (Crismon dkk., 2008).

d. Patofisiologi

1) Terdapat beberapa etiologi yang muncul.

2) Dilaporkan terjadi peningkatan ukuran ventricular, pengurangan ukuran otak, dan ketidaksimetrisan otak.

(7)

Volume hippocampal yang rendah manyebabkan ketidakcocokan hasil pada tes neuropsikologi dan respon rendah pada antipsikotik generasi pertama.

3) Hipotesis Dopamin.

Psikosis merupakan efek dari hiper- atau hipoaktivitas dari proses dopaminergik di bagian otak yang spesifik. Selain itu psikosis juga disebabkan adanya kelainan pada reseptor dopamin.

4) Gejala positif berhubungan dengan hiperaktivitas dari reseptor dopamin di mesocaudate, sementara gejala negatif dan gejala kognitif berhubungan dengan hipofungsi reseptor dopamin di prefrontal cortex.

5) Disfungsi Glutamat

Defisiensi aktivitas glutamatergik menyebabkan gejala seperti efek hiperaktivitas dopaminergik dan merupakan gejala yang mungkin muncul pada skizofrenia

6) Abnormalitas Serotonin (5-HT)

Pasien Skizofrenik dengan scans otak yang abnormal memiliki konsentrasi 5-HT di seluruh darah lebih tinggi, dan kondentrasi tersebut berhubungan dengan peningkatan ukuran ventricular (Crismon, dkk, 2008)

(8)

e. Tipe Skizofrenia

Kriteria diagnostik untuk subtipe skizofrenia menurut

DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, ed 4):

1) Tipe paranoid

Suatu tipe skizofrenia di mana kriteria berikut terpenuhi:

a) Preokupasi dengan satu atau lebih waham atau halusinasi dengar yang menonjol

b) Tidak ada dari berikut ini yang menonjol: disorganisasi berbicara, disorganisasi perilaku atau katatonik, atau afek datar atau tidak sesuai.

2) Tipe Terdisorganisasi

Suatu tipe skizofrenia di mana kriteria berikut terpenuhi:

a) Semua gejala berikut ini terlihat menonjol: b) Berbicara terdisorganisasi

c) Perilaku terdisorganisasi d) Afek datar atau tidak sesuai

e) Tidak memenuhi kriteria untuk tipe katatonik 3) Tipe Katatonik

Suatu tipe skizofrenia di mana gambaran klinis didominasi oleh sekurangnya dua berikut ini:

(9)

a) Imobilitas motorik seperti yang ditunjukkan oleh katalepsi (termasuk fleksibilitas lilin) atau stupor b) Aktivitas motorik yang berlebihan (yang tampaknya

tidak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)

c) Negativisme yang ekstrim (suatu resistensi yang tampaknya tanpa motivasi terhadap semua instruksi atau mempertahankan postur yang kaku menentang semua usaha untuk digerakkan) atau mutisme d) Gerakan volunter yang aneh seperti yang

ditunjukkan oleh posturing (mengambil postur yang tidak lazim atau aneh secara disengaja), gerakan stereotipik, manerisme yang menonjol, atau seringai yang menonjol

e) Ekolia atau akopraksia. 4) Tipe Tidak Tergolongkan

Suatu tipe skizofrenia di mana ditemukan gejala psikotik, tetapi tidak memenuhi kriteria untuk tipe paranoid, terdisorganisasi, atau katatonik.

5) Tipe Residual

Suatu tipe skizofrenia di mana kriteria berikut ini terpenuhi:

(10)

a) Tidak adanya waham, halusinasi, bicara terdisorganisasi, dan perilaku katatonik terdisorganisasi atau katatonik yang menonjol b) Terdapat bukti-bukti gangguan, seperti yang

ditunjukkan oleh adanya gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang tertulis dalam kriteria A untuk skizofrenia, ditemukan dalam bentuk yang lebih lemah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim).

f. Gejala

Diagnostic and Statistical Manual Mental Disorders, 4th ed., text revised, mengklasifikasikan gejala menjadi positif atau negatif.

1) Gejala Positif (yang sangat dipengaruhi oleh obat antipsikotik) termasuk di dalamnya delusi, disorganisasi berbicara (association disturbance), halusinasi, perilaku merusak ( disorganisasi atau katatonik), dan ilusi

2) Gejala negatif antara lain alogia (proverty of speech), avoliasi, affective flattening, anhedonia, isolasi sosial 3) Disfungsi kognitif adalah kategori gejala lain yang

termasuk perhatian, memori kerja, dan fungsi eksekutif yang terpecah (Crismon dkk., 2008).

(11)

g. Diagnosis

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder 4th Ed yang telah direvisi (DSM-IV-TR), tiga kriteria diagnosis berikut harus muncul untuk dikategorikan sebagai skizofrenia:

1) Gejala yang khas : dua atau lebih dari gejala berikut, masing-masing muncul dalam periode 1 bulan (atau kurang jika terapi berhasil):

2) Waham 3) Halusinasi

4) Pembicaraan yang janggal, yang merupakan manifestasi dari formal thought disorder

5) Perilaku janggal (seperti memakai baju salah, sering menangis) atau perilaku katatonik

6) Gejala negatif seperti afek datar, alogia, avolition.

Pasien dapat didiagnosa skizofrenia dengan satu gejala yaitu, waham bizarre atau halusinasi berupa mendengar satu suara yang mengomentari pasien atau ada dua lebih suara yang saling berbicara satu sama lain.

a) Disfungsi sosial atau pekerjaan.

b) Durasi gangguan minimal selama enam bulan terus menerus. Dalam periode enam bulan, gejala muncul

(12)

dalam periode 1 bulan (atau kurang jika terapi berhasil).

c) Disingkirkan dari gangguan skizoafektif atau gangguan mood.

h. Tatalaksana Terapi

Secara umum, terapi skizofrenia dibagi menjadi tiga tahap sesuai dengan yaitu terapi akut, terapi stabilisasi, dan terapi pemeliharaan. Tujuan dari terapi akut adalah selama tujuh hari pertama terjadi penurunan agitasi, hostilitas, ansietas, dan agregasi dan normalisasi pola makan dan tidur. Terapi stabilisasi pada minggu ke-2 dan ke-3, bertujuan untuk meningkatkan sosialisasi, memperbaiki kebiasaan, dan perasaan. Terapi pemeliharaan dilakukan selama minimal 12 bulan setelah remisi dari episode psikotik yang pertama. Antipsikotik generasi kedua, kecuali klozapin, merupakan agen lini pertama pengobatan skizofrenia. Klozapin digunakan jika pasien mengalami resitensi saat menggunakan antipsikotik lain (Crismon dkk., 2008).

(13)

Tahap 2

Gambar 1. Algoritma Terapi Skizofrenia (Crismon dkk., 2008)

Tahap 1: Episode psikosis yang pertama Antipsikotik tunggal

Lebih disarankan antipsikotik generasi kedua

Tahap 2

Antipsikotik generasi pertama ataupun generasi kedua tunggal selain yang telah

digunakan pada tahap 1

Tahap 3 Klozapin

Tahap 5

Antipsikotik tunggal selain yang telah digunakan pada tahap 1 dan 2

Tahap 4:

Klozapin + antipsikotik lain atau terapi elektrokonvulsif

Tahap 6 Terapi kombinasi

Respon parsial atau tanpa respon

Respon parsial atau tanpa respon

Respon parsial atau tanpa respon

(14)

Tidak ada riwayat Ada riwayat

kegagalan terapi AT kegagalan terapi AT

Olanzapine or Gunakan Olanzapine or Gunakan Stage 1 Quetiapin or salah satu Quetiapin or salah satu

Risperidon Risperidon

tidak ada respon

Stage 2 Gunakan yang lain

Haloperidol

dekanoat or Gunakan yang lain

tidak patuh

flufenazin

dekanoat tidak patuh

tidak ada tidak ada respon tidak ada

respon respon

Stage 3 Gunakan yang lain

Gunakan yang

lain Gunakan yang lain

tidak ada respon

Stage 4 Gunakan AP tipikal

tidak ada respon tidak ada respon tidak ada respon Stage 5 Klozapin Respon parsial

tidak ada respon Stage

5a Klozapin + obat pendukung AP tipikal/atipikal, mood stabilizer, ECT, antidepresan)

atau menolak klozapin

Tidak ada respon Stage

5b Kombinasi+tipikal, atau kombinasi tipikal, atau kombinasi atipikal, atau atipikal+ECT

Gambar 2. Algoritma Antipsikotik Menurut American Society Of Health-System

(15)

2. Obat Antipsikotik

a. Definisi obat antipsikotik

Obat antipsikotik adalah sekelompok obat yang termasuk psikofarmaka dan berkhasiat menghilangkan atau mengurangi gejala psikotik. Obat psikotik juga dikenal sebagai neuroleptika atau major tranquilizers, yaitu obat yang dapat menekan fungsi-fungsi umum, seperti berpikir dan kelakuan normal. Antipsikotik biasanya dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu obat tipikal dan obat atipikal (Dipiro dkk., 2008).

1) Antipsikotik Generasi Pertama (Antipsikotik Tipikal) Obat antipsikotik tipikal sebagai antipsikotik dikaitkan dengan kemampuannya menurunkan aktivitas dopamin. Obat antipsikotik tipikal dikaitkan dengan afinitasnya yang kuat terhadap D2 . Ia bekerja efektif, bila 80% D2 di otak dihambat. Bila hambatan terhadap reseptor D2 lebih besar, extrapiramidal symptom (EPS) dapat terjadi tanpa adanya penambahan efektivitas antipsikotik tipikal sebagai antipsikotik (Amir, 2010).

Dalam buku Farmakoterapi Dipiro (2008) Obat antipsikotik tipikal dibagi menjadi beberapa kelas:

a) Butryphenone : Haloperidol (Haldol) b) Dibenzoxazepine : Loxapine (Loxitane) c) Diphenylbutylpiperidone : Pimozide (Orap)

(16)

d) Indole : Molindone (Moban)

e) Phenothiazines : Chlorpromazine (Thorazine), Fluphenazine (Prolixin), Mesoridazin (Serentil), Perphenazine (Trilafon), Thioridazine (Mellaril), Trifluoperazine (Stelazin)

f) Thioxanthenes : Thiothixin (Navane)

Antipsikotik tipikal dengan potensi tinggi, yaitu thioridazine, mesoridazine, chlorpromazine. Sedangkan antipsikotik tipikal dengan potensi rendah adalah haloperidol, fluphenazine, thiothixine, and pimozide.

2) Antipsikotik Generasi Kedua (Antipsikotik Atipikal)

Antipsikotik atipikal memiliki afinitas lebih besar untuk reseptor D1 dan D2 sehingga lebih efektif daripada antipsikotik tipikal untuk melawan gejala negatif (Tjay dan Rahardja, 2008).

Antipsikotik atipikal juga dikenal sebagai antipsikotik generasi kedua, yang termasuk antipsikotik atipikal antara lain risperidone (Risperdal), olanzapine (Zyprexa), quetiapine (Seroquel), ziprasidone (Geodon), aripiprazole (Abilify), dan clozapine (Clozaril) (Dipiro dkk, 2008).

(17)

Tabel I. Perbedaan antipsikotik tipikal dan atipikal

Tipikal Atipikal

Generasi lama Generasi baru

Blokade reseptor dopamin D2 tinggi

Blokade reseptor dopamin D2 rendah

Blokade reseptor 5-HT2 (serotonin) rendah

Blokade reseptor 5-HT2 (serotonin) tinggi

Efek samping ekstrapiramidal besar

Efek samping ekstrapiramidal kecil

Efektif untuk mengatasi gejala positif

Efektif untuk mengatasi gejala positif dan negatif (Dipiro dkk., 2008)

b. Efek Samping Antipsikotik

Beberapa efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat antipsikosis adalah sebagai berikut:

1) Sedasi dan inhibisi psikomotor,

2) Gangguan otonom (hipotensi, antikolinergik/

parasimpatolitik), berupa mulut kering, kesulitan miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, dan tekanan intraokular meninggi, gangguan irama jantung),

3) Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akatsia, sindrom parkinson, tremor, brakinesia rigiditas),

4) Gangguan endokrin (amenore, ginekomastia), biasanya pada pemakaian jangka panjang (Mansjoer dkk., 1999).

(18)

c. Penggunaan Obat yang Rasional

Menurut WHO (1985) dalam Modul Penggunaan Obat Rasional, penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dan dengan harga yang paling murah untuk pasien dan masyarakat. Istilah penggunaan obat rasional dalam konteks biomedik mencakup beberapa kriteria, yaitu (Management Science for Health, 2012):

1) Tepat indikasi, dimana peresepan berdasarkan kepada pertimbangan medis

2) Tepat obat, mempertimbangkan keefektifan, keamanan, kecocokan obat dengan pasien, dan harga

3) Tepat dosis, pemberian dan durasi terapi

4) Tepat pasien, bahwa tidak ada kontra indikasi, dan kemungkinan terjadinya efek samping sangat kecil

5) Benar cara penyerahan obat, termasuk pemberian informasi yang tepat yang diberikan pada pasien berkaitan dengan obat yang diresepkan

(19)

F. KETERANGAN EMPIRIK

Beberapa aspek pengobatan yang rasional adalah ketepatan indikasi, ketepatan pasien, ketepatan obat, dan ketepatan dosis. Melalui penelitian ini diperoleh keterangan mengenai pola penggunaan dan ketepatan penggunaan obat antipsikotik berdasarkan guideline terapi skizofrenia dari American Psychiatric Association tahun 2004 pada pasien skizofrenia yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang.

Gambar

Gambar 1. Algoritma Terapi Skizofrenia (Crismon dkk., 2008)Tahap 1: Episode psikosis yang pertama
Gambar  2.  Algoritma  Antipsikotik  Menurut  American  Society  Of  Health-System  Pharmacist
Tabel I. Perbedaan antipsikotik tipikal dan atipikal

Referensi

Dokumen terkait