• Tidak ada hasil yang ditemukan

KWN - Kabinet Hatta, Natsir, Sukiman, Wilopo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KWN - Kabinet Hatta, Natsir, Sukiman, Wilopo"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951)

Kabinet Natsir merupakan kabinet Negara Kesatuan Republik Indonesia pertama setelah bentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan. Kabinet Natsir merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh Masyumi. Sedangkan PNI (Partai Nasional Indonesia) yang merupakan partai kedua terbesar saat itu lebih memilih kedudukan sebagai oposisi. PNI menolak ikut serta dalam kabinet, karena merasatidak diberi kedudukan yang sesuai dengan kekuatan yang dimiliknya.

Kabinet ini dipimpin oleh Muhammad Natsir dan mendapat dukungan dari tokoh-tokoh terkenal yang memiliki keahlian dan reputasi tinggi pada kancah politik Indonesia saat itu, diantaranya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Mr. Asaat, Mr. Moh Roem, Ir. Djuanda dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo.

Program kerja kabinet Natsir :

1. Menggiatkan atau meningkatkan usaha keamanan dan ketentraman.

2. Menguatkan konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.

3. Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.

4. Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat sebagai fondasi ekonomi nasional.

5. Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.

Irian Barat pada masa ini merupakan wilayah-wilayah negara Indonesia yang dijadikan boneka bentukan Belanda yang meski telah kembali ke pengakuan negara kesatuan, tetapi wilayah RI belum sepenuhnya utuh karena wilayah Irian Barat masih dikuasai Belanda. Oleh karena itu, pemerintah RI berupaya untuk merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda. Cara yang ditempuh oleh pemerintah RI adalah dengan cara diplomasi, konfrontasi ekonomi, dan militer.

Hasil kerja :

1. Memetakan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.

2. Masuknya Indonesia menjadi anggota PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)

3. Dilaksanakannya perundingan masalah Irian Barat dengan pihak Belanda. Kendala / Masalah yang dihadapi :

1. Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu

(kegagalan).

2. Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh

wilayah Indonesia, yaitu : a. Gerakan DI/TII

Gerakan DI (Darul Islam) dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang pada saat itu mempunyai keinginan yang tinggi untuk mewujudkan cita-citanya mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Bahkan cita-citanya ini diwujudkan melalui proklamasi yang dikumandangkan pada tanggal 7 Agustus 1949 di Desa Cisayong, Jawa Barat. Atas cita-citanya ini, gerakan ini banyak melakukan pemberontakan pada masa kabinet Natsir diberbagai wilayah Indonesia, seperti di Jawa Barat, Sulawesi Sealatan, Aceh, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan

(2)

Gerakan ini merupakan pemberontakan Andi Aziz di makassar (Sulawesi Selatan). Andi Aziz adalah kapten perwira Koninklije Nederland Indische Leger (KNIL) yang melakukan pemberontakan disana dengan menyerang APRIS karena menginginkan terbentuknya Negara Indonesia Selatan (NIT).

c. Gerakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil)

Gerakan ini dipimpin oleh Kapten Raymon Westerling yang merupakan bekas komandan pasukan KNIL bentukan Belanda di Indonesia. Tujuan gerakan ini adalah untuk mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan memiliki tentara tersendiri pada negara-negara bagian RIS.

d. Gerakan RMS (Republik Maluku Selatan)

Gerakan ini dipelopori oleh Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil (mantan jaksa Agung Negara Indonesia Timur). Gerakan ini diawali dari ketidaksetujuannya atas terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketidaksetujuannya ini dikarenakan adanya penggabungan daerah-daerah negara Indonesia Timur menjadi wilayah kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga ia berusaha melepaskan wilayah Maluku Tengah dar NIT (Negara Indonesia Timur) yang menjadi bagian RIS dan mendirikan RMS (Republik Maluku Selatan). Bahkan, pada tanggal 24 April 1950, Soumokil memproklamasikan berdirinya RMS.

Berakhirnya Kekuasaan Kabinet Natsir :

Penyebab jatuhnya Kabinet Natsir dikarenakan kegagalan Kabinet ini dalam menyelesaikan masalah Irian Barat, terjadi banyak pemberontakan diberbagai daerah dan adanya mosi tidak percaya dari PNI pada tanggal 22 Januari 1951 menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Kabinet Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden pada tanggal 21 Maret 1951.

Penyebab lainnya adalah seringnya mengeluarkan Undang Undang Darurat yang mendapat kritikan dari partai oposisi.Walaupun demikian terdapat beberapa prestasi yang sempat ditorehkan pada masa kabinet ini seperti di bidang ekonomi, ada Sumitro Plan yang mengubah ekonomi kolonial ke ekonomi nasional,keberhasilan Indonesia masuk PBB serta berlangsung perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.

Pergantian Kabinet Natsir ke Kabinet Sukiman :

Setelah kabinet Natsir mengembalikan mandatnya kepada presiden, presiden menunjuk Sartono (ketua PNI) menjadi formatur. Hampir satu bulan Sartono berusaha membentuk kabinet koalisi antara PNI dan Masyumi. Namun, usaha tersebut mengalami kegagalan, sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret-18 April 1951). Presiden kemudian menunjuk Sukiman (Masyumi) dan Djojosukarto (PNI) sebagai formatur. Walaupun mengalami sedikit kesulitan, namun akhirnya mereka berhasil membentuk kabinet koalisi anatar Masyumi dan PNI dan sejumlah partai kecil. Kabinet koalisi itu dipimpin oleh Sukiman dan kemudian dikenal sebagai kabinet Sukiman.

2.2.2 Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)

Kabinet Sukiman berdiri setelah Kabinet Natsir dibubarkan dan menyerahkan mandatnya kembali ke presiden. Awalnya presiden menunjuk Sartono (ketua PNI) menjadi formatur. Hampir satu bulan Sartono berusaha membentuk kabinet koalisi antara PNI dengan Masyumi. Nemun terus saja usahanya tersebut mengalami kegagalan,

(3)

mengingat Sartono merupakan bagian dari PNI saja dan tidak ada dari pihak Masyumi. Sehingga Sartono mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret – 18 April 1951).

Presiden kemudian menunjuk Sukiman (Masyumi) dan Djojosukarto (PNI) sebagai formatur. Awalnya kabinet ini banyak mengalami kesulitan namun akhirnya mereka berhasil membentuk kabinet koalisi antar Masyumi dengan PNI dan sejumlah partai kecil. Kabinet koalisi ini dipimpin oleh Sukiman, sehingga dikenal dengan kabinet Sukiman. Kabinet ini, memiliki 7 pasal yang hampir sama dengan kabinet Natsir, hanya saja beberapa hal mengalami perubahan dalam skala prioritas.

Program Kerja :

1. Bidang keamanan, menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk

menjamin keamanan dan ketentraman.

2. Sosial-ekonomi,mengusahakan kemakmuran rakyat secepatnya dan memperbaruhi hukum

agraria agar sesuai dengan kepentingan petani. Juga mempercepat usaha penempatan bekas pejuang di lapangan usaha.

3. Mempercepat persiapan-persiapan pemilihan umum.

4. Di bidang politik luar negeri: menjalankan politik luar negri secara bebas-aktif serta

memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.

5. Di bidang hukum, menyiapkan undang-undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian

kerja sama,penetapan upah minimum,dan penyelesaian pertikaian buruh.

Hasil Kerja :

Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan program Natsir hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman. Banyak hambatan dalam kabinet Sukiman membuat hasil kerja kabinet ini tidak maksimal.

Kendala / Masalah yang dihadapi :

1. Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan

Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security

Act (MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena

RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika.

Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.

2. Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap

lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah. 3. Masalah Irian barat belum juga teratasi.

4. Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik, yang menyebabkan keamanan dan

ketentraman semakin tidak stabil yang tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.

(4)

Berakhirnya kekuasaan kabinet :

Kegagalan kabinet Sukiman dianilai dalam penangganan masalah keamanan dalam negeri, memihaknya Indonesia kepada Blok Barat dengan menandatangani Mutual Security Act (MSA) dengan pemerintah Amerika Serikat. Hal ini memicu munculnya pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga mereka menarik dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.

2.2.3 Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)

Setelah kabinet Sukiman berakhir, pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno menunjukan Sidik Djojosukarto ( PNI ) dan Prawoto Mangkusasmito ( Masyumi ) menjadi formatur, namun gagal. Kemudian menunjuk Wilopo dari PNI sebagai formatur. Setelah bekerja selama dua minggu berhasil dibentuk kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo,sehingga bernama kabinet Wilopo. Kabinet ini mendapat banyak dukungan dari PNI, Masyumi, PSI.

Program :

1. Program dalam negeri : Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan

DPRD). Program untuk menyelenggarakan pemilu ini merupakan program yang diutumakan dalam kabinet ini.

2. Meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan taraf pendidikan rakyat, dan

pemulihan keamanan rakyat.

3. Program luar negeri : Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda,

Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta konsisten menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.

Hasil :

Kendala/ Masalah yang dihadapi :

1. Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat. Penerimaan negara menjadi menurun. Dengan keadaan ekonomi yang semikin silit dan upaya pembentukan militer yang memenuhi standart profesional, maka anggota militer yang tidak memnuhi syarat (berpendidikan rendah) perlu dikemablikan kepada masyarakat. Hal ini tentu menimbulkan protes dikalangan militer. Kalangan yang terdesak dipimpin oleh Kolonel Bambang Sugeng menghadap presiden dan mengajukan petisi penggantian KSAD Kolonel A.H. Nasution. Hal ini menimbulkan kericuhan dikalagan militer dan menjurus kearah kericuhan.

2. Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih

setelah terjadi penurunan hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras.

(5)

3. Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan

bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.

4. Munculnya sentimen kedaerahan akibat ketidakpuasan terhadap pemerintahan.

5. Terjadi Peristiwa 17 Oktober 1952. Adanya konflik ditubuh angkatan darat

yang diawali dari upaya pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang ditentang oleh Kolonel Bambang Sugeng sehingga ia mengirim petisi mengenai penggantian KSAD kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan parlemen sehingga menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan keamanan di Sulawesi Selatan. Keadaan ini menyebabkan muncul demonstrasi di berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen. Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah peristiwa demonstrasi rakyat terhadap presiden yang menuntuk untuk pembubaran parlemen serta meminta presiden memimpin langsung pemerintahan samapai diselenggarakannya pemilu. Sementara itu TNI-AD yang dipimpin Nasution juga menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen dibubarkan. Tetapi saran tersebut ditolak dengan alasan bahwa presiden tidak mau m,enjadi dikatator, tetepi khawatir juga apabila tuntutan tentara dipenuhi presiden akan ditunggangi mereka.

Dalam perkembangan selanjutnya muncul golongan yang anti peristiwa 17 Oktober 1952 dari Angkatan Dart sendiri. Menteri Pertahanan, Sekertaris Jendral Ali Budihardjo dan sejumlah perwira yang merasa bertanggung jawab atas peristiwa 17 Oktober 1952 diantaranya KSAP T.B. Simatupang dan KSAD A.H. Nasution mengundurkan diri dari jabatanya. Kedudukan Nasution kemudian digantikan oleh Bambang Sugeng. Walaupun peristiwa 17 Oktobert 1952 tidak menyebabkan jatuhnya kabinet Wilopo, tetapi peristiwa ini mengakibatkan menurunnya kepercayaan masdyarakat terahadap pemerintah.

6. Munculnya Peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera

Timur (Deli). Perkebunan tersebut adalah perkebunan milik orang asing, yaitu perkebunan kelapa sawit, teh, dan tembakau. Sesuai dengan perjanjian KMB pemerintah mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan mengembalikan lahan perkebunan mereka kembalai serta memiliki tanah-tanah perkebunan.

Pemerintah menyetujui tuntutan dari pengusaha asing ini dengan alasan akan menghasilkan devisa dan akan menarik modal asing lainnya msuk ke Indonesia. Tanah perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan pemiliknya selama masa Jepang telah digarap oleh para petani di Sumatera Utara dan dianggap miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953 muncullah aksi kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang dianggap telah mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Para petanipun melakukan protes kepada polisi dan disambut oleh tembakan polisi sehingga jatuh korban dikalangan rakyat.

Berakhirnya kekuasaan kabinet :

Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Peristwa Tanjung Morawa ini dijadikan sarana oleh kelompok yang antikabinet dan pihak oposisi lainnya untuk mencela pemerintah. Akibatnya Kabinet wilopo mengembalikan mandatnya kepada presiden pada tanggal 2 Juni 1953 tanpa menunggu mosi itu diterima oleh parlemen.

(6)

Masa Kabinet Mohammad Hatta

October 17, 2013

Soekarno memusatkan kendali kekuasaan ditangannya sendiri setelah Amir menyerahkan mandat. Partai-partai dinilai tidak terlalu kuat menjamin komitmennya dalam berkoalisi di kabinet. Pemimpin kabinet pun berulang kali gagal mengkonsolidasikan setiap kebijakan dan rencana atas langkah-langkah yang akan direalisasikan dengan partai lain yang tergabung dalam koalisi, terutama masalah perundingan dengan pihak Belanda. Kemudian Soekarno menunjuk wakilnya, Mohammad Hatta untuk membentuk kabinet baru yang bersifat Presidensiil pada 24 February.[1] Hatta menganggap kabinetnya ini adalah kabinet kawin silang karena mengembang dua tanggung jawab. Pertama, sebagai Perdana Menteri, Hatta bertanggung jawab kepada KNIP dan sebagai Wakil Presiden dia bertanggung jawab kepada Presiden Soekarno.[2]

Sesudah pelantikan kabinet pada 3 Februari, Hatta menjelaskan pokok-pokok kebijakan yang akan dijalankan dihadapan KNIP pada 16 Februari, antara lain berisi :

1. Menyelesaikan konflik Indonesia – Belanda

dengan menyetujui kesepakatan Renville

2. Usaha mempertahankan RI diubah menjadi

membentuk Negara Indonesia Serikat (NIS). 3. Rasionalisasi ke dalam karena perlunya

penyaluran tenaga kerja produktif ke bidang masing-masing

4. Rasionalisasi angkatan perang yang terbilang

buncit jumlahnya[3]

Suatu keanehan ketika Masyumi dan PNI menyatakan untuk ikut dalam koalisi. [5] Berarti, kedua partai tersebut keluar dari koalisi Amir silam bukan dikarenakan hasil mengecewakan perundingan Renville, tapi ketidaksukaannya pada Amir yang sudah condong ke arah kiri, komunis. Perihal rasionalisasi ketentaraan, Hatta mendapat dukungan dari Jenderal Soedirman karena saat ini persatuan benar-benar harus dikedepankan melihat posisi Indonesia yang sudah sulit bernafas. Selain itu juga dikarenakan pemusatan komando dan perbekalan memang harus dikerucutkan kepada pihak tentara murni, bukan tentara bentukan Amir.[6] Sementara itu insiden penolakan perundingan Renville terjadi dimana-mana. Bahkan ketika delegasi Belanda baru saja tiba di stasiun Tugu Yogyakarta, Abdulkadir dicaci sejadi-jadinya. Hal ini menjadi suatu ketidakenakan sehingga pemerintah RI secara resmi meminta maaf kepada Belanda.[7]

(7)

Memasuki bulan Mei 1948, golongan Amir dibawah organ bernama Front Demokrasi Rakyat (FDR)[8] yang dibentuk setelah cabutnya golongan Sjahrir dari PS, semakin kuat dan diisi oleh barisan buruh dan tani serta orang-orang komunis. Insiden-insiden yang terjadi terkait penolakan Renville diindikasikan didalangi oleh FDR yang ingin mengguncang pemerintahan Hatta. Kemudian, pada bertepatan dengan 40 tahun bangkitnya pergerakan nasional, FDR, PNI dan Masyumi membuat kesepakatan untuk bekerja sama dalam mensukseskan program nasional.[9] Berlanjut pada akhir bulan Mei, Hatta menemui pimpinan-pimpinan partai dengan agenda merubah kabinet presidensiil menjadi parlementer kembali. Setidaknya dengan me-reshuffle kabinet. FDR mengusulkan jalan agar kabinet dibubarkan, dan Amir kembali memimpin atau menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Masyumi yang sentimen terhadap golongan kiri terang-terangan menolak usulan tersebut.[10] Tanggal 31 Mei, pertemuan digelar antara Perdana Menteri dengan beberapa partai besar, diantaranya Masyumi, PNI, PS, PSI, PKI, PBI, GPII, BKRI, Parkindo serta Partai Katolik. Pertemuan tersebut membentuk suatu panitia kecil dibawah pimpinan Mr. Tambunan dari Parkindo (Partai Kristen Indonesia) untuk menyusun program nasional dan tiap partai harus bertanggung jawab untuk menyokong hasil rumusan tersebut. Panitia tadi tadi diisi oleh Amir Syarifuddin (PS), D.N. Aidit (PKI), Setiajit (PBI) Mr. Suyono Hadinoto (PNI), Maruto Nitimiharjo (Partai Rakyat), Saleh Suaidy (Masyumi) disamping Mr. Tambunan[11]. Pada tanggal 16 Juni, Panitia Penyusunan Program Nasional mengumumkan mufakatnya :

1. Pemerintah seharusnya menerima pengakuan dari negara-negara lain atas kedaulatan RI

tanpa memandang ideologinya[12]

2. Menggalang prinsip pertahanan rakyat, yaitu tentara dan rakyat bersama-sama

menyatukan kekuatan. Dalam rangka penyempurnaannya, rakyat diberikan pelatihan dan pengetahuan pertahanan (FDR mengusulkan untuk mempersenjatai rakyat, tapi digagalkan)

3. Membersihkan perekonomian domestik dari kekuasaan asing demi menghindari

keterlibatan Indonesia dalam perang dingin (FDR mengusulkan untuk memanfaatkan bantuan dari Amerika Serikat, kembali ditolak)

4. Mengusahakan agar petani dapat mengambil kepemilikan tanah yang disewakan. Selain

itu juga akan menghapusm mindring, ijon dll.[13]

Pada 5 – 14 July diadakan lagi pertemuan antara partai-partai yang lebih beragam dan akhirnya Permai, Gerakan Revolusi Rakyat, Wanita Rakyat, Acoma, PKI, Partai Buruh Merdeka, Partai Rakyat Jelata, PSII, BKPRI, Gerindo, Wanita Rakyat, PBI, BPRI, dan PKRI ikut menyetujui Program Nasional. Hatta, pada 26 July berbicara di depan para wakil partai yang telah sepakat (20 partai) bahwa Program ada yang langsung bisa direalisasikan dan ada juga yang baru bisa dilaksanakan di kemudian hari.[14] Meski secara teoretis persetujuan telah disepakati, namun terdapat banyak interpretasi dari masing-masing pihak terkait

(8)

pelaksanaan dari program itu sendiri. Seperti misalkan, Masyumi ingin mempertahankan kabinet yang ada di kala PNI mengidamkan suatu re-shuffle.

FDR, yang bisa disebut sebagai oposisi pun memainkan strategi unik karena tidak memperlihatkan sikap sebagai oposisi kental. Itu dapat dibuktikan ketika pencetusan Program Nasional, FDR turut didalamnya dan berjanji membantu pemerintah Hatta bersama partai-partai lain yang berkoalisi. Langkah lunak ini bertujuan agar mereka mendapat posisi kembali di kabinet. Pemogokkan buruh secara massal di Delanggu sejak 19 Mei (meminta pertanggungjawaban pemerintah atas inflasi yang mengakibatkan berkurangnya upah mereka) sebenarnya adalah salah satu scenario pihak FDR yang memiliki kepanjangan tangan di organ-organ buruh dan tani. Berlanjut pada 26 Mei, 17.000 anggota Sarbupri (Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) mogok kerja. Menanggapi hal ini, Menteri Kemakmuran (Masyumi) mengirim serikat tani afiliasinya, STII (Sarekat Tani Islam Indonesia) untuk bekerja di ladang-ladang yang terbengkalai. Namun, suatu bentrokan terjadi pada 10 July antara pemogok dengan STII. Kesatuan tentara dari Divisi Siliwangi[15] datang membantu STII dan menduduki beberapa desa di Delanggu.[16] Perdana Menteri pun mengabulkan para pemogok pada 18 July karena takut krisis akan membesar.[17]

Kebijakan Hatta mengenai Rasionalisasi tentara terutama komando wilayah Jawa mulai diterapkan pada 4 Mei 1948 dengan keluarnya Penetapan Presiden No. 14. Tujuan Hatta merasionalisasikan jumlah tentara juga untuk mengalihkan tenaga-tenaga produktif dari sector tentara ke sector produksi. Tiga cara yang dilakukan adalah :

1. Melepas mereka yang ingin kembali kepada pekerjaan

semula sebelum bergabung dalam divisi tentara

2. Menyerahkan eks tentara kepada Kementerian

Pembangunan dan Pemuda untuk dimanfaatkan lebih lanjut

3. Mengembalikan seratus ribu orang ke dalam masyarakat

desa[18]

Perlu diingat kembali bahwasanya sejak 1946 Amir telah menempatkan barisan perwira yang berpendidikan politik ke dalam satuan-satuan tentara. Hal itu mengakibatkan bahwa pengaruh FDR kuat di beberapa kalangan kelompok tentara. Hatta pun menyadari hal tersebut sehingga yang menjadi target rasionalisasi pada awalnya adalah kesatuan tentara yang lemah pengaruh FDR-nya. Divisi IV Panembahan Senopati (sekarang Diponegoro) berjumlah sekitar 5.000 personil dan 50%nya adalah anggota Pesindo, organ setia kepada Amir. Divisi ini menolak kebijakan pemerintah untuk dirasionalisasi hingga merujuk pada terbunuhnya Kolonel Sutarto Panglima Divisi IV Panembahan Senopati tersebut pada 2 July 19.30[19]. Perlu juga ditelisik lebih jauh bahwa kedatangan tentara Divisi Siliwangi pimpinan Nasution yang terkenal karena disiplin tinggi dan pro-pemerintah, ke Yogyakarta, menerbitkan gesekan-gesekan dengan tentara-tentara di Jawa Tengah yang beraliran kiri,

(9)

yakni golongan setia Amir Syarifuddin. Surakarta menjadi juga daerah rawan karena banyak perampokan oleh oknum-oknum berseragam.

Matinya Sutarto membuat tambah kacau suasana, ditambah penggantinya adalah seorang FDR layaknya Sutarto, yaitu Letkol Suadi[20]. Aksi culik-menculik antara Siliwangi dan Panembahan Senopati adalah titik didih benturan-benturan yang sangat berbau politis. Musso, sejak kedatangannya kembali di tanah air, langsung memainkan peran. Tokoh komunis kawakan ini langsung merombak struktur organisasi PKI dan menyatakan bahwa hanya boleh ada satu partai kaum proletar. Kemudian, FDR yang terisi oleh beragam organ, menggabungkan diri dengan PKI, dipimpin oleh Musso. Solo semakin mencekam hingga meledak pada 14 September 1948.[21] Tentara pro Amir yang sebagian besar anggota Panembahan Senopati semakin jelas posisinya dipihak oposisi pemerintah.

15 September Divisi Siliwangi dapat merebut dan meredamkan situasi. Musso dan kelompoknya menuju Madiun dan mengambil alih kekuasaan disana sejak 18 September. Musso menuduh Soekarno-Hatta akan menjual Indonesia kepada Belanda, Inggris, dan Amerika. Akhirnya Musso mendeklarasikan berdirinya negara Soviet Indonesia Di kota tersebut Musso mendeklarasikan berdirinya negara Soviet Indonesia. Gerakan eksplosif golongan kiri ini sering disebut Peristiwa Madiun 1948. Namun, kudeta yang masih premature ini dapat ditumpas oleh tentara yang setia pada pemerintah Hatta. Musso mati pada 31 Oktober saat pertempuran. Amir Sjyarifuddin dan orang-orang terdekatnya ditangkap di sekitar Gunung Wilis awal Desember, kemudian di hukum mati. Ribuan massa PKI yang ikut-ikutan pun banyak yang dibunuh oleh rakyat (terutama santri Masyumi).[22] Sejak peristiwa Madiun ini, PKI lumpuh dan baru bisa aktif lagi di arena politik mulai 1950 dengan pemimpin-pemimpin baru dan muda.

Republik Indonesia, setelah baru saja jeda angkat senapan, harus kembali meladeni operasi militer yang dilancarkan Belanda. 18 Desember Belanda menyerbu wilayah RI dan berhasil menguasai Yogyakarta (Ibukota) pada 19 Desember 1948. Petinggi negara ditangkapi. Soekarno, Hatta, Agus Salim dan tak terkecuali Sjahrir. Soekarno ditahan di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara bersama Sjahrir dan Agus Salim. Sedangkan Hatta dan menteri-menteri lainnya ditempatkan di Pulau Bangka Jenderal Soedirman, selaku Panglima Besar menyiapkan strategi gerilya untuk menyerang balik Belanda. Bersamaan dengan itu, tentara Divisi Siliwangi long march kembali ke wilayah Jawa Barat untuk persiapan menyerang balik.[23]Belanda mengira posisinya sekarang telah menumbangkan kedaulatan Republik. Padahal, Hatta telah memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Bukittinggi. Sepanjang Januari hingga Februari, pimpinan pemerintahan yang diasingkan sibuk di penahanannya. Dengan bermodalkan radio, mereka terus mendengarkan berita-berita mutakhir terkait kekalahan Belanda di ajang internasional. Dewan Keamanan PBB mengecam aksi Belanda yang kembali melanggar perjanjian gencatan senjata sejak perundingan Renville ditandatangani. Militer Belanda yang gilang-gemilang menaklukkan wilayah Indonesia dengan cepat, bernilai nol ketika karena kalah di meja PBB.[24] Sementara itu, tentara yang masih bergerilya di hutan-hutan terus

(10)

melakukan sabotase dan taktik hit and run. Tanggal 1 Maret 1949, tentara Republik berhasil merebut kembali kuasa atas Yogyakarta yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto[25]. Atas tindakan Belanda yang menyakitkan hati PBB, karena dulu telah disaranai untuk melangsungkan perundingan, akhirnya mengancam bahwa tidak akan memberikan bantuan dana pembangunan apabila Republik Indonesia tidak dibebaskan pada 1 July 1949. Belanda mengembalikan pimpinan Republik ke Yogyakarta 6 July dan meminta syarat kepada mereka bahwa harus diberlakukan gencatan senjata setibanya di ibukota. 7 July Soekarno mengindahkan tuntutan tersebut. Belanda pun berjanji akan menggelar perundingan baru, yaitu Konferensi Meja Bundar.[26] Syafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno- Hatta pada 16 July 1949.[27]

Republik Indonesia kembali membenahi situasi yang baru saja kacau diacak-acak Belanda. Konferensi Inter Indonesia digelar dari tanggal 19 – 22 July 1949[28] tanpa ada campur tangan pihak asing. Tujuannya adalah untuk menyiapkan diri menghadapi perang selanjutnya yang telah menunggu, yaitu Konferensi Meja Bundar. Kesimpulan dari Konferensi tersebut antara lain :

1. Negara Indonesia serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) yang

berdasarkan demokrasi dan federalisme.

2. RIS akan dipimpin oleh seorang presiden yang dibantu oleh menteri-menteri

3. RIS akan menerima kedaulatan, baik dari Republik Indonesia maupun dari Kerajaan

Belanda.

4. Angkatan Perang RIS adalah angkatan perang nasional, Presiden RIS adalah Panglima

Tertinggi Angkatan Perang RIS

5. Pertahanan negara adalah semata-mata hak pemerintah RIS, negar-negra bagian tidak

akan mempunyai angkatan perang sendiri.[29]

Sidang kedua Konferensi Inter Indonesia di selenggarakan di Jakarta pada tanggal 30 Juli dengan keputusan:

1. Bendera RIS adalah Sang Merah Putih

2. Lagu kebangsaan Indonesia Raya

3. Bahasa resmi RIS adalah Bahsa Indonesia

4. Presiden RIS dipilih wakil RI dan BFO Pengisian anggota MPRS diserahkan kepada

kebijakan negara-negara bagian yang jumlahnya enam belas negara. Kedua delegasi juga setuju untuk membentuk panitia persiapan nasional yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan Konferensi Meja Bundar. [30]

(11)

Mufakat antara Republik Indonesia dengan negara federal buatan Belanda pasca perundingan Renville adalah satu tonggak kembalinya persatuan secara utuh. Mengenai persiapan menuju KMB, Sjahrir menolak untuk menjadi ketua delegasi Indonesia yang berangkat ke Den Haag[31]. Soekarno pun dinilai lemah di meja perundingan, selain itu tidak terlalu mengenal delegasi-delegasi Belanda yang dulunya berkawan dengan Sjahrir dan Hatta semasa mahasiswa. Ronde Tofel Conferentie (Konferensi Meja Bundar) dibuka secara resmi di Den Haag, Belanda pada tanggal 23 Agustus dan diakhiri pada 2 November 1949. [32] Keputusan KMB di Den Haag adalah :

1. Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia kepada negara Republik Indonesia Serikat (RIS), kecuali Irian Barat.

2. Dibentuk Uni Indonesia – Belanda di bawah Mahkota Belanda.

3. Semua hutang Hindia Belanda beralih ke RIS.

4. TNI yang menjadi Angkatan Perang RIS menerima semua personil bekas tentara Hindia Belanda (KNIL) yang tidak turut ke Belanda.

Penyerahan kedaulatan kepada Indonesia sebagai hasil akhir dari KMB dilakukan di dua tempat dengan waktu bersamaan. Negeri Belanda Ratu Juliana, Perdana Menteri Willem Dress, dan Menteri Seberang Lautan, A.M.J.M. Sassen menyerahakan kedaulatan kepada pemimpin delegasi Indonesia (RIS), Drs. Moh. Hatta. Di Jakarta, Wakil Tinggi Mahkota A.H.J Lovink menyerahkan kedaulatan kepada wakil pemerintah RIS., Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Bersama dengan itu, di Yogyakarta Presiden Sukarno menerima penyerahan kedaulatan Republik Indonesia ke dalam RIS Pejabat Presiden Assaat. Lalu tanggal 28 Desember 1949 pusat pemerintahan RIS dipindahkan lagi ke Jakarta.[33] Adapun negara-negara federal baru hasil persetujuan KMB antara lain :

Republik Indonesia Serikat terdiri beberapa negara bagian, yaitu: 1. Negara Republik Indonesia (RIS)

2. Negara Indonesia Timur

3. Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta

4. Negara Jawa Timur

5. Negara Madura

(12)

7. Negara Sumatera Selatan

Di samping itu, ada juga wilayah yang berdiri sendiri (otonom) dan tak tergabung dalam federasi, yaitu:

1. Jawa Tengah

2. Kalimantan Barat (Daerah Istimewa)

3. Dayak Besar

4. Daerah Banjar

5. Kalimantan Tenggara

6. Kalimantan Timur (tidak temasuk bekas wilayah Kesultanan

Pasir) 7. Bangka

8. Belitung

9. Riau

KMB pun menuntut untuk mengaplikasikan Konstitusi bari untuk Indonesia, yaitu Konstitusi RIS, yang ditandatangani oleh setiap kepala negara bagian :

1. Mr. Susanto Tirtoprodjo dari Negara Republik Indonesia

menurut perjanjian Renville.

2. Sultan Hamid II dari Daerah Istimewa Kalimantan Barat

3. Ide Anak Agoeng Gde Agoeng dari Negara Indonesia Timur

4. R. A. A. Tjakraningrat dari Negara Madura

5. Mohammad Hanafiah dari Daerah Banjar

6. Mohammad Jusuf Rasidi dari Bangka

7. K.A. Mohammad Jusuf dari Belitung

8. Muhran bin Haji Ali dari Dayak Besar

9. Dr. R.V. Sudjito dari Jawa Tengah

10. Raden Soedarmo dari Negara Jawa Timur

11. M. Jamani dari Kalimantan Tenggara

12. A.P. Sosronegoro dari Kalimantan Timur

(13)

14. Radja Mohammad dari Riau

15. Abdul Malik dari Negara Sumatera Selatan

16. Radja Kaliamsyah Sinaga dari Negara Sumatera Timur

Dalam perjalanannya, RIS ternyata tidak bertahan lama. Banyak yang beranggapan bahwa sistem tersebut adalah cara Belanda yang baru untuk mengkoloni Indonesia secara halus. Pihak Tentara yang paling gencar insiatif untuk memerdekaan Indonesia secara penuh, seperti pada awal kemerdekaan. Usaha TNI di seluruh wilayah RIS difokuskan kepada usaha territorial, yaitu mempengaruhi rakyat agar bergabung kepada Republik Indonesia. Pengaruh keberadaan pasukan TNI sebagai dukungan usaha territorial itu sangat penting, terutama sikap prajurit TNI yang dekat kepada Rakyat dan berbeda dengan sikap KNIL yang sebagai tentara penjajahan menindas atau sekurang-kurangnya menjauhi Rakyat.[34]Usaha territorial TNI makin lama makin menunjukkan hasil. Rakyat negara boneka dapat mendesak para pemimpinnya yang menjadi anggota dewan perwakilan rakyat negara boneka itu. Makin banyak anggota DPR negara boneka bersuara agar negaranya bergabung kepada RI. Ketika terjadi keunggulan suara dalam DPR itu maka pimpinan negara boneka itu mau tidak mau harus menerima kehendak rakyat dan turut menyatakan kehendaknya agar negaranya bergabung dengan RI. Belanda dengan sangat mendongkol dan marah melihat proses itu, tetapi tidak dapat mengintervensi karena itu semua hasil dari proses demokrasi yang selalu oleh Belanda dijadikan ukuran kenegaraan.

Satu per satu negara bagian RIS menyatakan bergabung pada RI. Pada akhir Maret 1950 tinggal ada 4 negara bagian dalam RIS, yaitu RI, Negara Kalimantan Barat, Negara Sumatra Timur dan Negara Indonesia Timur. Dan pada akhir bulan April 1950 tinggal Republik Indonesia sebagai negara bagian. Dengan begitu secara de facto RIS sudah tidak ada dan RI satu-satunya negara di Indonesia. Maka pada tanggal 15 Agustus 1950 diadakan rapat gabungan DPR dan Senat RIS menetapkan berakhirnya Republik Indonesia Serikat dan menandatangani piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan pada tanggal 17 Agustus 1950 Republik Indonesia secara resmi terbentuk kembali sebagai Negara Kesatuan RI.[35]

[1]

Ricklefs hal. 475

[2]

Giebbels hal. 452

[3]

Harian Nasional 16 Februari 1948

[4]

Kepustakaan-presiden.pnri.go.id diakses tanggal 16 Mei 2013

[5]

Ricklefs hal. 475

(14)

[7]

Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia jilid VII hal. 20

[8]

FDR terdiri dari PBI, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh

Indonesia), BTI (Barisan Tani Indonesia) PKI, PS dan Pesindo.

Soegiarso Soerojo hal. 35

[9]

Arnold Brackman Indonesian Communism hal. 74

[10]

Nasution Ibid hal. 20

[11]

Soe Hok Gie hal. 186

[12]

Poin ini menanggapi misi Amir mengirim utusan yang bernama

Soeripno ke Uni Soviet. Sejak Hatta menjabat Perdana Menteri,

Soeripno dipanggil pulang bersama sekretaris pribadinya bernama

Soeparto, yang tidak lain adalah tokoh PKI kawakan, Musso yang

menyamar. Figur PKI tahun 1920-an ini berhasil masuk karena Soeripno

dipanggil secara resmi oleh pemerintah. Mereka sampai di Indonesia 11

Agustus 1948. Hatta menolak hasil kunjungan Soeripno dan

memperjelas bahwa Indonesia tidak berpihak kepada Moskow ataupun

Washington terkait Perang Dingin yang sedang berlangsung

Kabinet Natsir

A. Terbentuknya Pemerintah berdasarkan UUDS 1950

Dalam kurun waktu 9 tahun tepatnya pada tahun 1950-1959 setelah negara Indonesia menjadi sebuah negara kesatuan banyak hal yang terjadi di tubuh pemerintahan Indonesia. Pada tahun 1950 UUDS (undang-undang sementara) mulai di berlakukan sebagai pengganti Undang-undang yang sebebulmnya yaitu Undang-undang berdasarkan konstitusi RIS. Selama 9 tahun telah terjadi pergantian kabinet, sehingga dapat dikatakan kabinet itu belum bisa untuk melakukan progaram kerjanya karena waktu yang dimiliki sangat relatif pendek. Dalam pemerintahan berdasarkan UUDS tahun 1950 adalah pemerintahan dengan bentuk parlementer yang dalam menjalankan kabinetnya di pempppp

[erintahan posisinya tergantung parlemen sehingga jatuh bangunnya kabinet tergantung oleh Parlemen.[1]

Pada tabggal 27 Desember 1949, negeri Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan atas Indonesia, tidak termasuk Papua, kepada RIS, sebuah negara federal yang hanya bertahan secara utuh selama beberapa minggu saja. Ada beberapa sentimen pro-republik di negara-negara federal yang didirikan oleh Belanda.[2]

Tanggal 23 Januari 1950 Westerling dan sekitar 800 orang serdadunya merebut tempat-tempat penting di Bandung, tetapi komisaris tingginya mendesak agar mundur pada hari itu juga.[3] Hari berikutnya, Westerling merencanakan untuk menyerang kabinet RIS. Serdadu-serdadu Westerling memasuki Jakarta, namun dapat dipukul mundur. Pada bulan Februari, Westerling meninggalkan Indonesia.

Setelah ditangkapnya beberapa pemimpin Pasundan yang dicurigai sebagai bagian dari komplotan Westerling mendorong parlemen negara bagian meminta pada tanggal 27 Januari 1950 agar Pasundan dibubarkan. Sampai akhir bulan Maret sebagian besar negara

(15)

federal yang kecil telah memutuskan untuk membubarkan diri dan bergabung dengan republik. Kabinet Hatta merasa dibawa oleh suatu gelombang persatuan dan dipaksa melakukan persiapan-persiapan legislatif.

Pada bulan Mei dibentuklah suatu kabinet baru Indonesia Timur dengan tujuan membubarkan negara itu dan melebur diri kedalam sebuah negara kesatuan Indonesia. Akhirnya pada saat peringatan ulang tahun proklamasi kemerdekaan yang kelima pada tanggal 17 Agustus 1950 semua struktur konstitusional semasa tahun-tahun revolusi secara resmi dihapuskan. Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Republik Indonesia, serta di dalamnya terdapat negara-negara Sumatra Timur serta Indonesia Timur digantikan oleh suatu Republik Indonesia yang baru, yang memiliki konstitusi kesatuan (namun bersifat sementara).

Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 RI Melaksanakan demokrasi parlementer yang bersifat Liberal. Demokrasi liberal yang dilakasanakan oleh bangsa Indonesia menganut sistem parlementer barat. Indonesia dibagi manjadi 10 Provinsi yang mempunyai otonomi dan berdasarkan Undang - Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950. Pemerintahan RI dijalankan oleh suatu dewan mentri ( kabinet ) yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen ( DPR ). Perdana Mentri merupakan kepala negara, serta kebinet bertanggung jawab kepada perdana mentri.

Sistem politik pada masa demokrasi liberal yang bebas telah mendorong lahirnya partai-partai politik, karena dalam sistem kepartaian menganut sistem multi partai. Konsekuensi logis dari pelaksanaan sistem politik demokrasi liberal parlementer barat dengan sistem multi partai yang dianut, maka partai-partai inilah yang menjalankan pemerintahan melalui perimbangan kekuasaan dalam parlemen dalam tahun 1950 – 1959, PNI dan Masyumi merupakan partai yang terkuat dalam DPR, dan dalam waktu lima tahun ( 1950 -1955 ) PNI dan Masyumi silih berganti memegang kekuasaan dalam empat kabinet.

B. Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Kabinet Natsir

1. Pembentukan Kabinet Natsir

Dalam kurun waktu lima tahun dari tahun 1950 sampai 1955 terdapat empat kabinet yang bergantian memerintah pemerintahan Indonesia. Mulai dari kabinet Natsir, lalu berturut-turut kabinet Sukiman, kabinet Wilopo, dan kabinet Ali Sastroamidjojo. Dan dari kabinet-kabinet tersebut tidak ada kabinet-kabinet yang dapat melaksakan progamnya karena adanya kelompok oposisi yang saling menjatuhkan. Dalam setiap kabinet, kebanyakan menterinya merupakan orang yang ahli dalam bidangnya, dan didukung dengan koalisi partai.

Kabinet Natsir memerintah dari tanggal 6 September 1950 sampai tanggal 21 Maret 1951 adalah kabinet koalisi dengan berintikan partai Masyumi. Akan tetapi PNI tidak mendapat kedudukan dalam kabinet ini, kebanyakan dari kabinet ini adalah orang-orang dari partai Masyumi, walaupun didalam menterinya terdapat orang-orang non partai.

Impian dari Natsir sendiri adalah kabinet yang dipimpinnya bersifat nasionalisme dengan koalisi dari berbegai partai. Namun hal ini tidak dapat terlaksanakan karena adanaya perebutan kursi didalam susunan menteri didalam kabinet antana PNI dan Masyumi. Sehingga terjadi ketidak senangan dari pihak PNI sehingga adanya kesulitan untuk mengajak PNI masuk kedalam kabinetnya.

Dalam hal ini Natsir berpendapat bahwa partainya mempunyai lebih banyak hak dibanding partai lainnya. Namun PNI tidak setuju dengan hal tersebut karena baginya semua partai juga berhak atas kedudukan didalam pemerintah. Tuntutan dari pihak PNI yaitu agar orang-orang yang menduduki jabatan sebagai menteri dalam negeri, menteri luar negeri dan menteri pendidikan. Dalam hasil dari perundingan PNI bersetia melepas menteri luar negri diisi oleh orang Masyumi dan menteri pendidikan untuk partai lain. Namun keinginan PNI untuk mendapat kursi jabatan dalam negri harus pupus setelah ditentukkan menteri dalam

(16)

negri harus diserahkan kepada partai Masyumi. Hal ini dianggap dari pihak PNI tidak adil, karna perdana menteri sendiri sudah dipegang oleh partai Masyumi.

Selain mendapat kecaman dari pihak partai lain, kabinet Natsir juga mendapat kencaman dari partai sendiri yaitu Masyumi. Kencaman itu ditujukan untuk keputusan konggres Desember 1949 yang melarang ketua umum partai untuk menjadi menteri. Sebenarnya maksud dari isi konggres ini adalah adanya pengkonsolodasi partai, namun diubah oleh Dewan Partai di Bogor tanggal 3 sampai 6 Juni 1950 banha sistem federal tidak dapat dipertahankan lagi. Supaya keputusan konggres ini tidak terlalu dilanggar, maka Natsir dinonaktifkan dari ketua umum partai Masyumi.dan digantikan oleh Jusuf Wibisono.

2. Pelaksanaan Kabinet Natsir

Progam-progam kerja dari kabinet Natsir yang penting ialah : 1. menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman;

2. mencapai konsolidasi dan menyempurnakan sususnan pemerintahan;

3. menyempurnakan organisasi Angkatan Perang dan pemulihan bekas anggota-anggota tentara

dan gerilya kedalam masyarakat;

4. memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat secepatnya;

5. mengembangkan dan memperkuat kekuatan ekonomi rakyat sebagai dasar untuk

melaksanakan ekonomi nasional yang sehat. [4]

6. Mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan umum untuk Konstituante dalam waktu

yang singkat,

7. Mebantu pembangunan perumahan rakyat serta memperluas usaha-usaha meninggikan

derajat kesehatan dan kecerdasan rakyat.

Adapun susunan menteri dalam kabinet Natsir yaitu :

Catatan: 1. Pada tanggal 8 Desember 1950 Abdu l Halim mundur karena alasan kesehatan, perannya digantikan oleh Hamengku Buwono IX 2. Pada tanggal 18 Desember 195 0 mundur karena partainya (PSII) keluar dari kabinet

Kebijakan luar negeri dari kabinet Natsir ini adalah bebas dan netral, walaupun dalam kenyataanya masih bisa dibilang condong ke negara-negara Barat. Pada bulan September 1950, Indonesia diterima sebagai anggota PBB. Pemerintahan Natsir mengalami keuntungan ekonomi yang terjadi karena perang Korea,yaitu naiknya harga komoditi. Hal ini membuat

(17)

adanya pendapat tentang ekspor dan bea ekspor dari para politisi yang berkuasa dipemerintahan. Namun menteri perekonomian pada saat itu yaitu Syaffrudin Prawinegara menolak menggunakan hal-hal semacam itu untuk mendapatkan keuntungan. Kabinet Natsir lebih berkonsentrasi pada pemulihan kembali perekonomian dan pemuliahan keamanan negara.[5]

Kabinet Natsir sering disebut dengan Kabinet “dagang sapi” dengan sifat tawar menawar. Dalam hal ini yang dimaksud politik “dagang sapi” ini mencari yang ideal dalam membentuk kabinet koalisi. Natsir mendapat kesulitan dari partai-partai yang mempunyai wakil didalam kabinetnya karena ada pula kencaman dari dalam parlemen terhadap kabinet. Diantara beberapa tuntutan dari partai itu sendiri seperti diadakannya tindak lanjut terhadap kabinet dan bahkan ada yang meminta untuk membubahkan kabinet Natsir ini.[6]

Sifat tawar-menawar dari pembentukan kabinet Natsir ini hanya akan memperpanjang waktu dan memperlambat pembentukan kabinet. Sehingga terkadang banyak parti yang belum siap dengan calon menterinya. Selain itu pemilihan menteri juga didasarkan pada sifat suka tidak suka yang lebih bersifat keindividualan. Sehinggal hal ini membuat banyak diantara menteri yang menjadi menteri dulu baru memperdalam bidang yang bersangkutan yang diberikan kepada menteri ini.

Sukiman berpendapat terhadap kabinet Natsir merupakan zaken kabinet, karena

bukan kabinet yang terdiri dari berbagai partai politik. Sehingga membuat sifat koalisi yang diminta oleh Presiden dalam kabinet tidak terlaksana dengan baik, dan sistem koalisi juga tidak dapat dipertahankan.

Adanya campur tangan Presiden dan Tentara dalam kabinet Natsir. Walaupun peran Presiden tidak terlalu menonjol, namun beliau sering melakukan pembicaraan dengan waki-wakil partai didalam forum. Sedangkan keikut sertaan tentara dalam kabinet ini, seperti tuntutan dari tentara yang menginginkan adanya pergantian menteri pertahanan yang diganti oleh otrang nonpartai. Sehingga Natsir tidak mampu untuk menolak masalah itu.

Permasalahan yang sangat penting didalam kabinet Natsir yaitu tentang Irian Barat. Perundingan yang dilakuakan antara Indonesia dan Belanda pada tanggal 4 Desember 1950 tidak berjalan dengan baik. Dan hal ini membuat opsi tidak percaya dari pihak lain. Krisis ditambah lagi ketika Hadikusumo dari partai PNI sekitar pencabutan PP No. 39/1950 tentang pemilihan anggota perwakilan daerah supaya lebih demokratis.

C. Penyebab Runtuhnya Kabinet Natsir

Dalam sebuah negeri yang masih menunjukkan adanya kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan tradisi- tradisi otoriter, maka banyak hal bergantung pada kearifan dan nasib baik kepemimpinan negeri itu. Akan tetapi, sebagian sejarah bangsa Indonesia sejak tahun 1950 merupakan kisah tentang kegagalan rentetan pimpinan untuk memenuhi harapan- harapan tinggi yang ditimbulkan oleh keberhasilan mencapai kemerdekaan. Akan tetapi, pada tahun 1957, percobaan demokrasi pertama ini telah mengalami kegagalan, korupsi tersebar luas, kesatuan wilayah negara terancam, keadilan sosial belum tercapai, masalah- masalah ekonomi belum terpecahkan, dan banyak harapan yang ditimbulkan oleh Revolusi tidak terwujud.[7]

Suatu ketidakefisienan dalam suatu pemerintahan pastilah terjadi. Program- program yang telah direncanakan oleh pemerintah dan disusun dengan sebaik- baiknya, bisa saja dalam pelaksanaannya terjadi suatu ketimpangan. Atau bisa juga semua persiapan, perencanaan, dan pelaksanaan sudah sangat demikian baiknya, namun masih adanya ketidakpuasan yang dialami oleh masyarakat.

Sistem pemerintahan yang pernah ada di Indonesia tentunya pernah mengalami suatu masa kejayaan. Akan tetapi, setelah kejayaan tersebut diraih sesuai dengan siklus sejarah maka suatu pemerintahan akan mengalami suatu penurunan hingga tibalah saat- saat

(18)

keruntuhannya. Begitu pula dengan kabinet Natsir, setelah berhasil memimpin dan menata Indonesia, ada beberapa hal yang menjadi penyebab runtuhnya kabinet Natsir.

Penyebab jatuhnya kabinet Natsir dikarenakan kegagalan kabinet ini dalam menyelesaikan masalah Irian Barat dan adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan peraturan pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS.

Kabinet natsir didimisioner sejak 21 Maret 1951 dan mengundurkan diri setelah DPR menerima mosi S. Hadikusumo tentang pencabutan PP Nomor 39/1950 tentang pembekuan DPRD. Menteri Asaat ( Menteri Dalam Negeri) tidak menyetujui mosi tersebut dan kabinet sependapat dengan Asaat, maka kemudian mengundurkan diri. Kabinet Natsir mengundurkan diri karena tidak mau menerima mosi DPR, walaupun Kabinet belum di jatuhi Mosi Tidak Percaya dari DPR ini menjadi sifat dari Kabinet-kabinet pada masa UUDS 1950, walaupun sistem yang dianut oleh UUDS 1950 adalah perlementer, dimana parlemen dapat menggulingkan Kabinet, tetapi sepanjang 1950-1959 kabinet tidak hanya mosi tidak percaya , tetapi suara-suara luar kabinet sudah menyebabkan Kabinet mengundurkan diri. [8]

a.kabinet Natsir (6 september 1950-21 maret 1951)

Penyebab jatuhnya Kabinet Natsir dikarenakan kegagalan Kabinet ini dalam menyelesaikan masalah Irian Barat dan adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu

menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Kabinet Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.

b.KABINET SUKIMAN (27 April 1951 – 3 April 1952)

Kejatuhan Kabinet Soekiman merupakan akibat dari ditandatanganinya persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika Serikat kepada Indonesia atas

(19)

dasar Mutual Security Act ( MSA ). Peretujuan ini menimbulkan tafsiran bahwa Indonesia telah memasuki Blok Barat, yang berarti bertentangan dengan prinsip dasar politik luar negri Indonesia yang bebas aktif. Muncul pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga mereka menarik dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.

C.KABINET WILOPO (3 April 1952 – 3 Juni 1953)

Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni 1953.

D.KABINET ALI SASTROAMIJOYO I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)

NU menarik dukungan dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam kabinetnya inilah yang memaksa Ali harus mengembalikan mandatnya pada presiden.

E.KABINET BURHANUDDIN HARAHAP (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)

Setelah hasil pemungutan suara diumumkan dan pembagian kursi di DPR diumumkan, maka tanggal 2 Maret 1956, Kabinet Burhanuddin Harahap

(20)

mengundurkan diri, menyerahkan mandatnya kepada Presiden, untuk dibentuk kabinet baru berdasarkan hasil pemilihan umum. Sebenarnya kabinet ini seandainya terus bekerja tidak apa-apa selagi tidak ada mosi tidak percaya dari parlemen. Tetapi secara Etika politik demokrasi parlementer, kabinet ini dengan sukarela

menyerahkan mandatnya, setelah berhasil melaksanakan Pemilu baik untuk anggota DPR maupun konstituante.

Kabinet Natsir dalam Pembangunan

Ekonomi Indonesia

Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) merupakan kabinet pertama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kabinet pertama pada masa demokrasi liberal

(demokrasi konstitusional). Walaupun berumur singkat (sekitar 6 bulan), Kabinet Natsir adalah kabinet yang paling banyak memberikan perhatian pada usaha perbaikan di bidang ekonomi. Di bawah Kabinet Natsir, persoalan-persoalan ekonomi, moneter dan perbankan mulai dilihat dengan kacamata yang lebih teknis dan profesional. Pada saat itu, pemerintah langsung dihadapkan kepada masalah ekonomi-moneter seperti tingginya laju inflasi akibat meningkatnya jumlah uang beredar dan juga defisit ganda (APBN dan Neraca Pembayaran). Kabinet yang dibentuk berdasarkan UUDS 1950 ini merupakan zaken kabinet (kabinet ahli). Kabinet ini mencantumkan antara lain beberapa program ekonomi yaitu pertama, usaha yang berkaitan dengan mengembangkan dan memperkokoh ekonomi kerakyatan sebagai dasar ekonomi nasional yang sehat melalui pengaturan hubungan buruh dan majikan serta kedua usaha yang berkaitan dengan pembangunan perumahan rakyat.

Sjafruddin Prawiranegara yang pada saat itu menjabat sebagai menteri keuangan memiliki kebijakan yang konsekuen dan sejalan dengan konsentrasi kabinet Natsir terhadap kebutuhan-kebutuhan bagi pembangunan kembali perekonomian dan pemulihan keamanan. Begitu pun Sumitro Djojohadikusumo yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri dengan tegas mengatakan bahwa Ia ingin mengembangkan kekuatan ekonomi pribumi Indonesia di bidang perdagangan dan perindustrian. Dalam hal ini Sumitro mengatakan,“adalah suatu penyimpangan dari cita-cita kemerdekaan jika kekuatan ekonomi pribumi tidak mendapat prioritas untuk

dikembangkan”. Untuk tujuan ini, Kabinet Natsir kemudian meluncurkan Rencana Urgensi Industri sebagai upaya untuk mengembangkan industri nasional pribumi yang didahului dengan Program Benteng. Untuk memfasilitasi pelaksanaan program

pembangunan ini, pemerintah mendirikan Bank Industri Negara (BIN), menata kembali Bank Rakyat dan Bank Negara Indonesia (BNI).

Kabinet Natsir beruntung karena berhasil memanfaatkan situasi Perang Korea untuk kepentingan pembangunan. Kondisi eksternal yang menguntungkan tersebut melahirkan istilah Korean Boom, yaitu meningkatnya ekspor komoditas strategis Indonesia

(terutama karet) kepada Amerika Serikat sehingga mampu mengatasi kesulitan dalam anggaran pemerintah maupun neraca pembayaran Indonesia. Pada saat terjadi Perang Korea (Juni 1950), pendapatan Indonesia dari ekspor karet dan minyak bumi melonjak yang menyebabkan terjadinya surplus dalam anggaran belanja pemerintah tahun 1951. Natsir pernah dikecam oleh para politisi yang mengejar kekuasaan politik di Jakarta karena menolak untuk menggunakan pendapatan-pendapatan tersebut untuk keuntungan mereka. Sayangnya, pengaruh baik eksternal ini tidak bertahan lama. Tambahan kesejahteraan yang ditimbulkan oleh 'rezeki nomplok' akibat perang itu hanya berlangsung sesaat, karena kemudian diikuti oleh melonjaknya keinginan konsumtif (pemerintah dan swasta) untuk mengimpor barang yang menguras devisa yang ada. Melonjaknya impor yang disertai dengan kenaikan upah dan harga-harga telah

(21)

meningkatkan laju inflasi, sehingga ekspor pun tidak kompetitif lagi. Kondisi seperti ini merupakan suatu fenomena yang belakangan dikenal sebagai sindrom Dutch

Diseases (gejala perekonomian yang hanya bertumpu pada satu sektor). Pendapatan tambahan devisa ini begitu cepatnya menguap, sehingga anggaran belanja 1952 mengalami defisit lebih besar dari tahun 1950. Dengan demikian, setelah Korean

boom berakhir dan bertukar dengan Korean slump,kondisi ekonomi kembali mengalami

kemunduran karena harga bahan-bahan strategis termasuk karet Indonesia menjadi merosot tajam. Dengan kemunduran di bidang ekonomi itu, pemerintah mengahadap defisit hingga mencapai Rp 9 milyar (sebuah angka yang cukup besar pada saat itu). Untuk menghindari inflasi yang tinggi di dalam negeri, pemerintah melakukan liberalisasi impor dan pengetatan anggaran. Kredit yang diperketat untuk perusahaan asing, dan kemudahan memperoleh kredit untuk perusahaan pribumi nasional. Kombinasi kebijakan fiskal yang ketat dan penerimaan yang tinggi dari ekspor sempat menghasilkan surplus anggaran yang cukup besar pada tahun 1951. Akan tetapi, hanya pada tahun itulah APBN mengalami surplus. Seterusnya anggaran negara mengalami defisit, sekalipun beberapa kabinet berusaha keras untuk menguranginya. Dengan demikian, prestasi terbesar kabinet ini adalah pencapaian surplus anggaran dan perbaikan neraca pembayaran.

Enam bulan setelah mengucapkan sumpah sebagai perdana menteri, kabinet Natsir jatuh. Salah satu penyebab kejatuhannya yaitu bahwa isu mengenai masalah Irian Barat tidak hanya menjadi agenda utama kebijakan luar negeri Indonesia pasca pengakuan kedaulatan, tetapi juga telah dimanfaatkan oleh lawan-lawan politiknya di dalam negeri untuk melawan Natsir.

KABINET NATSIR (6 September 1950 – 21 Maret 1951) Merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi. Dipimpin Oleh : Muhammad Natsir

Program :

1. Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.

2. Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan. 3. Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.

4. Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat. 5. Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat. Hasil :

Berlangsung perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.

Kendala/ Masalah yang dihadapi :

– Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu (kegagalan).

(22)

– Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS. Berakhirnya kekuasaan kabinet :

Adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu

menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.

b. KABINET SUKIMAN (27 April 1951 – 3 April 1952) Merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI.

Dipimpin Oleh: Sukiman Wiryosanjoyo Program :

1. Menjamin keamanan dan ketentraman

2. Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.

3. Mempercepat persiapan pemilihan umum.

4. Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.

Hasil :

Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjtkan program Natsir hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman Kendala/ Masalah yang dihadapi :

Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatanMutual Security

Act (MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika.

Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.  Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap

lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.  Masalah Irian barat belum juga teratasi.

 Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan. Berakhirnya kekuasaan kabinet :

Muncul pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga mereka menarik dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.

(23)

Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam biangnya.

Dipimpin Oleh : Mr. Wilopo Program :

1. Program dalam negeri : Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD), meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan.

2. Program luar negeri : Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda, Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif. Hasil : –

Kendala/ Masalah yang dihadapi :

 Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.

 Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras.  Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa.

Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.

Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan upaya pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang ditentang oleh Kolonel Bambang Supeno sehingga ia mengirim petisi mengenai penggantian KSAD kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan parlemen sehingga menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan keamanana di Sulawesi Selatan.

Keadaan ini menyebabkan muncul demonstrasi di berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen. Sementara itu TNI-AD yang dipimpin Nasution menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen dibubarkan. Tetapi saran tersebut ditolak.

Muncullah mosi tidak percaya dan menuntut diadakan reformasi dan reorganisasi angkatan perang dan mengecam kebijakan KSAD.

Inti peristiwa ini adalah gerakan sejumlah perwira angkatan darat guna menekan Sukarno agar membubarkan kabinet.

Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di

Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan perjanjian KMB pemerintah mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan memiliki tanah-tanah perkebunan. Tanah perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan pemiliknya selama masa Jepang telah digarap oleh para petani di Sumatera Utara dan dianggap miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953 muncullah aksi kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang dianggap telah mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi bentrokan senjata dan beberapa petani terbunuh.

(24)

Intinya peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli).

Berakhirnya kekuasaan kabinet :

Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden.

1950-1951 - Kabinet Natsir

[sunting | sunting sumber] Program kerja kabinet Natsir :

1. Mempersiapkan dan menyelengarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan Konstituante 2. Menyempurnakan susunan pemerintahan dan membentuk kelengkapan negara

3. Menggiatkan usaha mencapai keamanan dan ketentraman 4. Meningkatkan kesejahteraan rakyat

5. Menyempurnakan organisasi angkatan perang 6. Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat

Akan tetapi, belum sampai program tersebut terlaksana, kabinet ini sudah jatuh pada 21 Maret 1951 dalam usia 6,5 bulan. Jatuhnya kabinet ini karena kebijakan Natsir dalam rangka pembentukan DPRD dinilai oleh golongan oposisi terlalu banyak menguntungkan Masyumi.

1951-1952 - Kabinet Sukiman-Suwirjo

[sunting | sunting sumber] Program kerja kabinet Sukiman :

1. Menjalankan berbagai tindakan tegas sebagai negara hukum untuk menjamin keamanan dan ketentraman serta menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan negara

2. Membuat dan melakukan rencana kemakmuran nasional dalam jangka pendek untuk mempertinggi kehidupan sosial ekonomi rakyat dan mempercepat usaha penempatan bekas pejuang dalam pembangunan

3. Menyelesaikan persiapan pemilihan umum untuk membentuk Dewan Konstituante dan

menyelengarakan pemilu itu dalam waktu singkat serta mempercepat terlaksananya otonomi daerah 4. Menyiapkan undang-undang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama, penetapan upah

(25)

5. Menjalankan politik luar negeri bebas aktif

6. Memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya

Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama dan jatuh pada bulan Februari 1952. Penyebab jatuhnya kabinet ini adalah karena diserang oleh kelompok sendiri akibat kebijakan politik luar negeri yang dinilai terlalu condong ke Barat atau pro-Amerika Serikat. Pada saat itu, kabinet Sukiman telah menendatangani persetujuan bantuan ekonomi, teknologi, dan persenjataan dengan Amerika Serikat. Dan persetujuan ini ditafsirkan sebagai masuknya Indonesia ke Blok Barat sehingga bertentangan dengan program kabinet tentang politik luar negeri bebas aktif.

1952-1953 - Kabinet Wilopo

[sunting | sunting sumber] Program kerja kabinet Wilopo :

1. Mempersiapkan pemilihan umum

2. Berusaha mengembalikan Irian Barat ke dalam pangkuan RI 3. Meningkatkan keamanan dan kesejahteraan

4. Memperbarui bidang pendidikan dan pengajaran 5. Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif

Kabinet Wilopo banyak mengalami kesulitan dalam mengatasi timbulnya gerakan-gerakan kedaerahan dan benih-benih perpecahan yang akan menggangu stabilitas politik Indonesia. Ketika kabinet Wilopo berusaha menyelesaikan sengketa tanah perusahaan asing di Sumatera Utara, kebijakan itu ditentang oleh wakil-wakil partai oposisi di DPR sehingga menyebabkan kabinetnya jatuh pada 2 Juni 1953 dalam usia 14 bulan.

Kehidupan Sosial Budaya Awal Kemerdekaan

Kehidupan Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya pada Awal Kemerdekaan. Semenjak diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia, kehidupan politik belum stabil. Hanya saja sebagian warga masyarakat Indonesia menyadari akan arti penting nya proklamasi tersebut, karena mereka berpikir saat itu adalah kesempatan untuk menjalankan kehidupan sendiri setelah mereka menganggap berabad-abad dikuasai oleh penjajah. Serta hal ini merupakan tonggak perjuangan bagi bangsa-bangsa lain di Asia-Afrika, karena Indonesia adalah negara yang pertama merdeka setelah Perang Dunia II. Karena peristiwa proklamasi ini dijadikan babak awal dalam kehidupan politik negera Indonesia, maka segala bentuk kegiatan yang bertujuan merancang pembentukan lembaga tanpa mengalami hambatan yang berarti.

(26)

Sementara, terjadi kekacauan yang sangat besar dalam bidang ekonomi terutama merupakan warisan dari pemerintahan Jepang. Dalam usia beberapa hari, negara Indonesia dilanda inflasi yang sangat berat akibat adanya peredaran mata uang rupiah zaman pendudukan Jepang ter sebar dengan tidak terkendalikan. Saat itu pemerintah tidak menyatakan mata uang zaman Jepang tidak berlaku, karena belum memiliki penggantinya, ditambah kondisi zaman itu negara tidak memiliki kas.

Untuk sementara, pemerintah memberlakukan tiga mata uang secara bersamaan, yaitu De Javashe Bank, uang pemerintah Hindia Belanda, dan uang yang dikeluarkan saat pendudukan Jepang, ketiganya dianggap sah sebagai alat pembayaran. Rupanya kondisi seperti itu dipengaruhi oleh perilaku Belanda yang telah menutup pintu keluar masuk jalur perdagangan di Indonesia, dan mengakibatkan barang-barang milik Indonesia senilai 200 juta rupiah tidak bisa diekspor. Adapun tujuan Belanda tersebut adalah agar timbul ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Indonesia.

Banyak berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintahuntuk mengatasi hal di tersebut. Pada Oktober pemerintah Indonesia berhasil mengeluarkan uang kertas yang bernama ORI (Oeang Republik Indonesia). Saat yang bersamaan juga, meski pendapatan Indonesia sangat minim tetapi masih memiki kelebihan beras seberat 200–400 ribu ton, dan pemerintah Indonesia berniat menyumbangkan kelebihan itu kepada negara India yang sedang dilanda kelaparan. Hal ini didasarkan atas pertimbangan kemanusiaan. Namun secara politik, hal ini dapat membuka jalur kembali yang telah diblok oleh Belanda, serta dapat meningkatkan hubungan yang erat antara Indonesia dan India. Negara tersebut adalah negara yang paling aktif dalam membantu Indonesia di tingkat internasional.

Kemerdekaan telah membawa pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan sosial budaya dalam masyarakat Indonesia. Semula telah terjadi diskriminasi atau pembedaan hak pada masyarakat Indonesia. Kini, masyarakat Indonesia tidak lagi berada pada golongan ketiga atau kedua, melainkan semuanya memiliki kedudukan yang sama sebagai warga negara.

Kegiatan di bidang pendidikan pun digiatkan kembali dengan lebih teratur. Apalagi tokoh pendidikan saat itu (Ki Hajar Dewantara) menjabat sebagai Menteri Pengajaran, beserta rekan-rekannya mengajarkan kepada semua muridnya pendidikan untuk menjadi warga negara yang baik. Selain itu, pendidikan luar sekolah pun di buka dengan menekankan pada aspek keterampilan dan kreativitas. Bahasa Indonesia yang sudah diikrarkan sebagai bahasa persatuan ternyata mengalami perkembangan yang sangat pesat. Ditambah lagi adanya pelarangan dalam menggunakan bahasa Belanda atau Jepang.

Pada awal kemerdekaan ini, muncul penulis-penulis yang berhasil membuat karya sastra yang dipelopori oleh Chairil Anwar dan Idrus yang terkenal dengan Angkatan 45. Dalam bidang seni pun berkembang. Sehingga bermunculan senimanseniman yang bergerak dalam seni drama, perfilman dan musik. Lagu-lagu baru yang bertemakan nasionalisme juga banyak bermunculan di bawah para komponis seperti Cornel

Referensi

Dokumen terkait