APLIKASI MARKA MOLEKULER UNTUK SELEKSI GALUR-GALUR PUP1 HASIL PERSILANGAN SITU BAGENDIT DAN BATUR
Abstrak
Indonesia memiliki potensi lahan kering masam yang cukup besar, dimana lahan tersebut memiliki kadar hara yang rendah, khususnya unsur P. Introgresi segmen Pup1 ke dalam genom padi modern Indonesia diharapkan bisa meningkatkan penangkapan P yang ada di larutan tanah, sehingga meningkatkan hasil pada kondisi kurang P. Untuk mencapai hal tersebut telah dilakukan kegiatan introgresi Pup1 dari tetua donor yang berasal dari IRRI (Kasalath dan NIL-C443) ke dalam varietas modern Indonesia (Situ Bagendit dan Batur) di rumah kaca dan Lab. Biologi Molekuler, BB-Biogen, dan sebagian di Molecular
Breeding Laboratory, IRRI, pada tahun 2006-2009. Metode yang digunakan
adalah silang balik sampai generasi BC2F3. Seleksi individu hasil persilangan menggunakan marka foreground, recombinant, dan background. Marka-marka tersebut diaplikasikan sejak tanaman F1, BC1F1, BC2F1, dan BC2F2. Seleksi dengan marka foreground dan recombinant menunjukkan seluruh tanaman BC2F2 telah mengandung segmen Pup1 dengan keadaan homozigot. Hasil analisis molekuler menggunakan marka background pada individu terbaik BC2F2 menunjukkan lokus-lokus homozigot yang dideteksi lebih banyak didapatkan pada persilangan dengan NIL-C443, dibandingkan dengan Kasalath. Segmen Kasalath yang masih tertinggal pada individu BC2F2 terbaik pada persilangan Situ Bagendit x Kasalath diperkirakan sebesar 31,7 cM (1,77%) sedangkan pada Batur x Kasalath diperkirakan sebesar 48,2 cM (2,6%). Segmen Nipponbare (dari NIL-C443) yang masih tertinggal pada individu terbaik BC2F2 persilangan Situ Bagendit x NIL-C443 diperkirakan sebesar 35,16 cM (1,96%), sedangkan Batur x NIL-C443 diperkirakan sebesar 28,8 cM (1,61 %). Penggunaan marka-marka molekuler ini terbukti lebih mempercepat dalam pengembalian genom individu hasil persilangan kepada genom tetua pemulih dibandingkan dengan teknologi konvensional.
Kata kunci : Pup1, padi, marka foreground, marka recombinant, marka background
Abstract
Indonesia has very large acid-dryland with low nutrient, especially P element. Introgression of Pup1 segment into Indonesian modern rice genome is expected to increase P uptake ability in the soil solution, wich insure to increase yield under low P condition. In order to achieve this, activity on the introgression of the Pup1 from donor parent derived from IRRI (Kasalath and NIL-C443) into Indonesian modern varieties (Situ Bagendit and Batur) was conducted in both, greenhouse and Biology Molecular Lab, Indonesia and small part in Molecular Breeding Laboratory, IRRI (2006-2009). Marker assisted backcrossing using foreground, recombinant, and background markers, were applied on F1, BC1F1, BC2F1, and BC2F2 plants. Selection of foreground and recombinant markers showed homozygote Pup1 locus at all of BC2F2 plants. The genetic background of
the recipient parents was recovered in plants at the BC2F2 generation, especially in NIL-C443 crosses, with only few loci from the donor parent others than Pup1 remaining. Kasalath segment which still remaining in the best BC2F2 plant of Situ Bagendit x Kasalath is predicted around 31.7 cM (1.77%), whereas Batur x Kasalath is 48.2 cM (2.6%). Nipponbare segment (from NIL-C443) which still remaining in the best BC2F2 plant of Situ Bagendit x NIL-C443 is predicted around 35.16 cM (1.96%), whereas Batur x NIL-C443 is 28.8 cM (1.96%). Application of these molecular markers demonstrated that technology can rapidly recover lines with genome back to recurrent parent (Situ Bagendit or Batur), if it is compared to conventional breeding.
Keywords : Pup1, rice, foreground markers, recombinant markers, background markers
Pendahuluan
Perakitan tanaman baru yang lebih baik mulai banyak dilakukan dengan memanfaatkan marka molekuler yang dikombinasikan dengan metode persilangan biasa. Kegiatan ini berkembang pesat karena perkembangan marka molekuler yang cukup handal dan sudah terbukti dapat membantu seleksi galur-galur hasil persilangan (Babu et al. 2004). Salah satu cara penerapan seleksi marka molekuler pada individu hasil persilangan adalah melakukan silang balik (MABC) yang dipadukan dengan pemanfaatan marka foreground, recombinant, dan
background untuk menyeleksi individu untuk setiap generasi (Semagn et al.
2006). Menurut Ribaut dan Hoisington (1998) dengan menggunakan metode MABC ini untuk mengembalikan genom tanaman 98% seperti tetua pemulih hanya dibutuhkan dua kali silang balik, sedangkan dengan cara konvensional (tanpa bantuan marka molekuler) diperlukan 4-5 kali silang balik.
Marka foreground sebetulnya sudah dikenal lama sebagai flanking marker (=marka pengapit), tapi berbeda dengan marka pengapit marka foreground ini merupakan marka yang jaraknya sangat dekat dengan gen target (tightly linked), bahkan kadang-kadang digunakan marka gen (atau kandidat gen) itu sendiri, sedangkan marka recombinant adalah marka di sekitar marka foreground yang bisa dipakai untuk memprediksi kondisi segmen gen target tersebut. Tahap selanjutnya dalam seleksi galur-galur hasil persilangan adalah dengan menggunakan marka sebanyak-banyaknya yang tersebar di seluruh kromosom
untuk melihat kondisi genom individu hasil persilangan. Tahap ini dinamakan seleksi background (background selection). Penggunaan seleksi background ini diperkirakan akan mempercepat pemulihan genom tetua pemulih. Individu yang memiliki kondisi genom homozigot mengikuti tetua pemulih terbanyak dipilih untuk tahap persilangan berikutnya. Seleksi background memiliki dua tujuan : (1) mengurangi proporsi genom donor pada kromosom pembawa segmen gen donor (2) mengurangi genom donor pada kromosom lain (Friscth et al. 1999).
Marka untuk Pup1 sudah dipetakan dengan baik sejak tahun 1998 sampai
sekarang, bahkan sudah banyak dibuat marka-marka yang spesifik untuk Pup1 (Wissuwa et al. 1998, 2002; Collard et al. 2006; dan Heuer et al. 2009). Oleh karena itulah dilakukan penelitian untuk memasukkan Pup1 ke dalam varietas padi Indonesia melalui metode seleksi silang balik (Backcross) dengan memanfaatkan marka spesifik untuk Pup1 sebagai marka foreground. Marka-marka Pup1 ini telah diperoleh dengan meneliti sekuen dari lokus yang mengatur toleransi terhadap defisiensi P, yakni pada ukuran 15,31-15,47 Mb pada Kasalath. Sekuen sebesar 278 kb dari Kasalath ini bersifat unik dan tidak didapatkan pada Nipponbare, sehingga diduga Pup1 terdapat di daerah tersebut (Heuer et al. 2009). Marka-marka mikrosatelit yang tersebar di seluruh kromosom padi dimanfaatkan sebagai marka background untuk mempercepat pengembalian genom individu hasil persilangan kembali seperti tetua pemulih.
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Biologi Molekuler dan rumah kaca Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen), Jalan Tentara Pelajar No 3A, Bogor 16111, mulai Agustus 2006 sampai dengan Mei 2009, dan di antaranya pada 20 Oktober 2007 sampai dengan 20 Januari 2008 dikerjakan di Molecular Breeding Laboratory, IRRI, Los Banos, Filipina.
Bahan Penelitian
Materi tanaman terdiri 2 varietas unggul padi gogo Indonesia (Situ Bagendit dan Batur) dan 2 genotipe sumber Pup1 dari IRRI (Kasalath dan
NIL-C443 [=Nil-Pup1]). Primer yang digunakan adalah 2 primer foreground, 2 primer
recombinant, dan primer-primer mikrosatelit (minimal 10 primer polimorfis tiap
kromosom) untuk seleksi background. Primer-primer foreground dan
recombinant yang digunakan dalam seleksi dapat dilihat dalam Tabel 6.
Primer-primer untuk seleksi background berbeda-beda pada setiap generasi dan tidak ditampilkan secara keseluruhan. Hanya primer-primer yang memberikan hasil homozigot saja yang ditampilkan dalam grafik genotipe masing-masing persilangan (Gambar 15 dan 16) Tanaman yang dipakai untuk analisis molekuler menggunakan primer foreground dan recombinant bervariasi untuk setiap generasi. Jumlah tanaman untuk seleksi background sama untuk semua generasi (20 tanaman tiap persilangan).
Tabel 6. Marka-marka yang digunakan dalam seleksi tanaman F1, BC1F1, BC2F1, dan BC2F2
a. Tanaman F1
StBgdt x Kas StBgdt x NIL Btr x Kas Btr x NIL
RM28102 RM28102 RM277 RM277
RM519 RM519 RM519 RM519
b. Tanaman BC1F1 dan Tanaman BC2F1
No Jenis Primer StBgdt x Kas StBgdt x NIL Btr x Kas Btr x NIL 1 Primer recombinant I RM28102 RM28102 RM277 RM277
2 Primer foreground SSR3 SSR3 RM1261 RM1261
3 Primer recombinant II RM519 RM519 RM519 RM519
c. Tanaman BC2F2
No Jenis Primer StBgdt x Kas St Bgdt x NIL Btr x Kas Btr x NIL 1 Primer recombinant I RM179 RM28067 RM1337 RM1337
2 Primer foreground Kas 1n-C*)
Kas19-C2 Kas 30-1n Kas1n-C Kas19-C2 Kas 30-1n Kas1n-C Kas5n-NK-C Kas 30-1n) Kas1n-C Kas5n-NK-C Kas 30-1n 3 Primer recombinant II RM 28102 RM28102 RM511 RM465
Ket.: *) Kas1n-C adalah marka dominan sehingga belum diketahui kondisi genotipe tanaman terpilih apakah AA atau Aa sehingga digunakan primer tambahan (Kas30n-1)
Metode Penelitian Pembentukan benih F1
Materi yang digunakan adalah varietas unggul Indonesia, yakni Situ Bagendit dan Batur (tetua betina) sedangkan padi dari IRRI adalah Kasalath dan
NIL-C443 (tetua jantan). Persilangan dilakukan antar kedua kelompok tersebut sehingga didapatkan 4 kombinasi persilangan. Untuk menghasilkan biji F1 dilakukan penanaman sebanyak 5 kali (tahap) dengan masing-masing tahap berselang 1 minggu. Setelah tanaman berumur 80-90 hari (tergantung jenis padi) maka dilakukan persilangan. Bunga yang telah dihibridisasi kemudian ditutup dengan kertas minyak.
Penggunaan marka molekuler untuk menghasilkan benih BC1F1
Masing-masing persilangan diambil biji F1 sebanyak 100 butir dan ditanam dalam 5 tahap/minggu (masing-masing tahap 20 biji). Benih padi F1 yang terpilih ditanam dalam bak plastik berisi tanah. Tiap kali penanaman dilakukan uji molekuler dengan menggunakan 2 primer (Tabel 6) untuk menentukan tanaman mana yang mengandung pita dari kedua tetua. Prosedur uji molekuler sama seperti pada kegiatan 1. Tanaman yang menghasilkan pita heterozigot (mengandung pita dari dua tetua) yang dipilih. Tanaman yang terpilih kemudian diambil dari bak plastik dan dipindahkan ke dalam ember berisi tanah. Tanaman dipelihara sampai besar dan kemudian dilakukan persilangan dengan salah satu tetua pemulih (Situ Bagendit atau Batur).
Penggunaan marka molekuler untuk menghasilkan benih BC2F1
Biji-biji generasi BC1F1 ditanam dalam bak plastik. Masing-masing persilangan ditanam sekitar 300 butir dalam 4 tahap penanaman (75 tanaman/tahap). Tiap tahap yang diuji dengan 3 primer (foreground dan
recombinant) dan kemudian dipilih 5 tanaman (total 20 tanaman tiap persilangan)
untuk digunakan dalam analisis molekuler menggunakan marka-marka
background. Dasar pemilihan 20 puluh tanaman ini adalah yang memiliki pita
heterozigot pada 3 primer tersebut. Dua puluh tanaman terpilih tiap persilangan ini kemudian dipindahkan ke dalam ember dan kemudian dilakukan amplifikasi menggunakan marka-marka untuk seleksi background sebanyak 48 primer. Dari dua puluh tanaman ini, hanya 2 tanaman (1 tanaman utama dan 1 tanaman cadangan) yang disilang balikkan ke tanaman pemulih. Dasar pemilihan adalah jumlah lokus homozigot ke tetua pemulih terbanyak.
Penggunaan marka molekuler untuk menghasilkan benih BC2F2
(seleksi foreground dan recombinant dikerjakan di BB-Biogen, seleksi background dikerjakan di IRRI)
Biji-biji dari tanaman BC2F1 (satu nomor tiap persilangan) sebanyak ± 200 - 300 butir ditanam dalam bak pertanaman. Masing-masing persilangan dilakukan uji molekuler menggunakan 1 primer foreground dan 2 primer recombinant. Masing-masing persilangan dipilih 20 tanaman yang secara molekuler mengandung segmen DNA dari tetua donor. Pada individu BC2F1 ini individu yang memiliki dua pita (heterozigot) yang dipilih untuk seleksi background. DNA dari keduapuluh tanaman ini kemudian diamplifikasi dengan menggunakan primer-primer polimorfik untuk seleksi background. Dua puluh tanaman ini dipelihara sampai panen untuk menghasilkan biji BC2F2. Pada akhirnya hanya dipilih 1 tanaman saja untuk diteruskan ke generasi berikutnya. Dasar pemilihan adalah jumlah lokus homozigot terbanyak ke tetua pemulih. Primer-primer yang
telah menghasilkan pita homozigot seperti tetua pemulih pada tanaman BC1F1
tidak digunakan dalam kegiatan ini.
Penggunaan marka molekuler untuk menghasilkan benih BC2F3
Biji-biji generasi BC2F2 (satu nomor tiap persilangan) sebanyak ± 200 - 300 butir ditanam dalam bak plastik. Masing-masing persilangan dilakukan uji molekuler menggunakan 2 primer foreground (= marka spesifik untuk Pup1) dan 2 primer recombinant. Sebanyak 20 tanaman dipilih berdasarkan kondisi pita yang dihasilkan tiap individu. Individu yang memiliki pita homozigot untuk keempat marka tersebut yang dipilih untuk seleksi background. DNA dari keduapuluh tanaman ini diamplifikasi menggunakan primer-primer polimorfik untuk seleksi background. Dua puluh tanaman ini dipelihara sampai panen untuk menghasilkan biji BC2F3. Generasi BC2F3 inilah yang digunakan dalam pengujian P di rumah kaca dan lapangan.
Seleksi foreground dan recombinant (tanaman F1, BC1F1, BC2F1, BC2F2) DNA dari masing-masing tanaman diisolasi dalam skala kecil menggunakan metode Dellaporta et al. (1983) yang dimodifikasi (Mercaptoetanol diganti
dengan SDS, dan ditambah Chloroform Isoamilalkohol). Reaksi PCR dilakukan pada 20 µl volume yang mengandung 1 x bufer PCR (10 mM tris-HCl (pH 8,3), 50 mM KCl, 1,5 mM MgCl2, 0,01% gelatin), 100 µM dNTPs (dATP, dCTP, dGTP, dTTP), 0,5 µM primer (F dan R), 1 : 10 DNA, dan 1 unit taq DNA polimerase (IRRI taq). Program PCR yang digunakan adalah 5 menit pada suhu 94oC untuk denaturasi permulaan, selanjutnya dilakukan 35 siklus yang terdiri dari: 60 detik pada suhu 94oC untuk denaturasi, 60 detik pada suhu 55oC untuk penempelan primer, dan 2 menit pada suhu 72oC untuk perpanjangan primer. Perpanjangan primer terakhir selama 7 menit pada suhu 72oC. Hasil PCR kemudian dipisahkan menggunakan gel poliakrilamid 5% (denaturing gel).
Denaturing gel adalah gel yang dalam penggunaannya memerlukan DNA yang
harus dipisahkan/didenaturasi terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam gel. Gel ini membutuhkan urea dalam proses pembuatannya. Pewarnaan DNA dilakukan dengan metode silver staining. Skoring hasil PCR dilakukan dengan melihat pola pita di atas kaca secara langsung.
Seleksi background (tanaman BC1F1, BC2F1, dan BC2F2)
(Seleksi background pada tanaman BC2F1 sebagian dilakukan di IRRI)
Nomor-nomor tanaman yang sudah terpilih berdasarkan seleksi
foreground dan recombinant digunakan sebagai template dalam proses
amplifikasi DNA menggunakan marka-marka mikrosatelit yang prosedurnya telah diuraikan sebelumnya. Proses pewarnaan hasil PCR menggunakan metode
silver staining. Untuk kegiatan di IRRI prosedur amplifikasi DNAnya sama,
sedangkan prosedur pewarnaan dan dokumentasi hasil PCR berbeda. Setelah dilakukan amplifikasi, pita DNA dipisahkan dengan menggunakan gel poliakrilamid 8% (non-denaturing gel). Non-denaturing gel adalah gel yang dalam penggunaannya memerlukan DNA yang tidak perlu dipisahkan/ didenaturasi terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam gel. Gel ini tidak memerlukan urea dalam pembuatannya. Setelah terjadi pemisahan DNA dalam gel ini, kemudian gel direndam dalam larutan Cyber safe selama 10 menit kemudian didokumentasi dalam alat Gel Doc. Skoring dilakukan dengan melihat pita-pita DNA di dalam layar komputer.
Hasil dan Pembahasan
Pembentukan Benih F1,BC1F1, BC2F1,BC2F2, dan BC2F3
Kegiatan pembentukan benih untuk membentuk galur-galur baru yang mengandung Pup1 dilakukan dengan metode persilangan biasa, namun untuk seleksi tanaman yang akan disilangkan menggunakan bantuan marka molekuler, terutama pada saat akan membentuk benih BC1F1, BC2F1, BC2F2, dan BC2F3. Untuk membentuk benih F1 tidak menggunakan marka molekuler. Hasil pembentukan benih yang telah dihasilkan selama penelitian ini dapat dilihat dalam Tabel 7.
Tabel 7. Jumlah benih yang dihasilkan tiap generasi
No Benih SB x Kas SB x NIL Btr x Kas Btr x NIL
1 F1 265 183 264 170 2 BC1F1 402 (6 F1) 307 (11F1) 230 (5F1) 403 (6F1) 3 BC2F1 #1082 = 181 #1143*) = 392 #1360 *)=165 #1429=120 #2032*)= 290 #2066 = 420 #2335 = 352 #2372*) =406 4 BC2F2**) >500 >500 >500 >500 5 BC2F3**) >500 >500 >500 >500 Ket. : SB = Situ Bagendit, Btr = Batur, Kas = Kasalath, dan NIL=NIL-C443 *) tanaman yang dipilih untuk kegiatan berikutnya.
**) masing-masing persilangan terdapat 20 nomor tanaman.
Benih F1 yang dihasilkan dari persilangan dengan Kasalath lebih banyak dibandingkan yang disilangkan dengan NIL-C443. Hal ini mungkin disebabkan perbedaan genom antara padi tipe indica (Kasalath) dengan padi tipe japonica (NIL-C443). Padi Indonesia yang digunakan sebagai tetua betina adalah tipe
indica sehingga saat disilangkan dengan Kasalath penyesuaian antar paangan
kromosom saat penyerbukan tidak mengalami kendala. Lain halnya dengan apabila disilangkan dengan padi tipe japonica (NIL-C443) terjadi ketidaksesuaian antar pasangan kromosom, sehingga sering terjadi kerontokan benih setelah terjadi penyerbukan. Perbaikan genetik pada persilangan indica vs japonica ini biasanya akan kembali normal pada generasi F4 atau F5. Kehampaan antara kedua subspecies ini sudah diteliti secara molekuler (Ikehashi 2009).
Benih-benih BC1F1 dihasilkan dari persilangan silang balik tanaman F1 dengan tetua pemulih. Pada kegiatan ini menggunakan beberapa primer pengapit
saja untuk memilih tanaman mana yang kondisi genotipenya heterozigot. Pada pembentukan benih BC2F1 mulai dilakukan analisis molekuler menggunakan primer foreground, recombinant, dan background. Tanaman BC1F1 sebagai tanaman material utama juga hanya dua yang digunakan, satu yang akan diteruskan untuk kegiatan selanjutnya, satu tanaman sebagai cadangan seandainya tanaman utama tidak menghasilkan benih yang cukup. Pada kegiatan ini dilakukan seleksi background tapi hanya menggunakan 4 primer/kromosom, mengingat waktu yang sempit sebelum tanaman harus mulai disilangkan. Benih-benih BC2F2 dan benih BC2F3 dihasilkan dari proses persilangan sendiri (selfing).
Pembentukan benih-benih untuk merakit galur-galur padi yang toleran terhadap defisiensi P menggunakan cara konvensional dan mengandalkan proses rekombinasi secara bebas, sehingga bagian Pup1 yang terintegrasi ke dalam tetua Indonesia akan bervariasi panjangnya. Satu individu akan mengandung segmen
Pup1 dengan tambahan segmen tetua donor (Kasalath atau NIL-C443) dengan
panjang segmen yang berbeda tiap individu. Segmen yang tidak diinginkan ini sering dinamakan dengan linkage drag. Dalam proses rekombinasi bebas tidak bisa diatur secara tepat individu yang terpilih hanya mengandung segmen gen/lokus itu sendiri. Berbeda dengan proses integrasi gen dalam rekayasa genetika dimana yang diintegrasikan dalam suatu tanaman adalah memang betul-betul satu gen saja tanpa adanya segmen-segmen tambahan yang tidak dinginkan.
Pada kegiatan pembentukan benih ini tidak dilakukan pengujian fenotipik karena secara teknis tidak mungkin dilakukan. Pada pengujian P diperlukan dua set tanaman, dimana satu set harus diberi pupuk P sedangkan satu set yang lain tidak diberi pupuk, kemudian peubah jumlah anakan produktif atau bobot kering total dibandingkan antara yang tidak diberi pupuk dengan yang diberi pupuk kemudian diskor. Skor yang memiliki nilai 0-0,19 dianggap sangat peka, 0,2-0,39 dinggap peka, 0,4-0,59 dianggap sedang, 0,6-0,79 dianggap toleran, dan 0,8-1 dianggap sangat toleran (IRRI, 1996). Oleh karena itu pengujian benih-benih yang mengandung segmen Pup1 hanya bisa dilakukan pada generasi BC2F3. Pada generasi ini segmen Pup1 sudah dalam keadaan homozigot dan jumlah benih yang dalam satu nomor sudah banyak dan bisa dibagi ke dalam dua set perlakuan. Pada percobaan perakitan galur-galur padi tahan blas, setiap generasi bisa dilakukan
seleksi blas dengan cara diinokulasi dengan jamur blas di dalam rumah kaca blas (blast nursery), atau saat perakitan padi toleran genangan padi seluruh individu yang akan disilangkan bisa diuji dulu dengan merendam seluruh tanaman dengan air dan langsung bisa diseleksi (Septiningsih et al. 2009).
Apabila pada pembentukan galur-galur toleran P ini tidak dibantu dengan marka molekuler maka metode yang digunakan akan lebih rumit. Untuk membentuk benih BC1F1 tidak banyak kesulitan karena tanaman F1 mudah dikenali dari bentuk daun, dan tinggi tanaman. Kasalath memiliki figur yang tinggi besar dan anakan banyak, NIL-C443 memiliki figur yang pendek dan anakan sedikit, sedangkan Situ Bagendit memiliki figur yang sedang (mirip IR64) dan Batur memiliki figur yang tinggi besar (lebih pendek dibanding Kasalath). Dari bentuk bulir juga mudah dikenali. Kasalath memiliki bulu pada bulir padinya, sedangkan NIL-C443 bentuk bulirnya seperti Nipponbare yang bulat dan kecil. Situ Bagendit dan Batur memiliki bulir yang tidak berbulu dan sedang. Kesulitan mulai dihadapi pada saat pembentukan benih BC2F1. Tanaman BC1F1 sulit dibedakan antara satu dengan yang lain apakah masih mengandung segmen
Pup1 atau tidak. Pengujian juga sulit dilakukan karena tidak ada dua set tanaman
yang sama. Apalagi komponen yang digunakan sebagai peubah skoring P adalah jumlah anakan dan bobot kering tanaman, dimana dua komponen ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Oleh karena itulah marka molekuler untuk sifat toleransi terhadap defisiensi P ini sangat bermanfaat untuk seleksi tiap generasinya.
Seleksi foreground dan recombinant
Seleksi foreground dan recombinant merupakan kegiatan yang pertama
dalam analisis molekuler. Kegiatan ini bertujuan untuk menyaring individu yang mengandung Pup1 di antara sekian ratus individu yang diuji. Analisis molekuler dimulai dengan melakukan amplifikasi menggunakan primer-primer seleksi
foreground dan recombinant secara bersamaan. Hal ini dimaksudkan agar
segmen Pup1 selalu bisa dipertahankan keberadaannya dalam individu hasil persilangan. Jumlah tanaman tiap generasi dapat dilihat dalam Tabel 8. Contoh
hasil seleksi dengan menggunakan primer foreground dan recombinant dapat dilihat dalam Gambar 12.
Tabel 8. Jumlah tanaman yang dipakai untuk analisis molekuler menggunakan primer foreground dan recombinant
No Persilangan Jumlah tanaman
F1*) BC1F1**) BC2F1**) BC2F2**) 1 Situ Bagendit x Kasalath 65 281 249 293 2 Situ Bagendit x NIL-C443 81 279 121 292
3 Batur x Kasalath 84 295 131 297
4 Batur x NIL-C443 85 299 272 299
Ket. : Benih F1 ditabur 5 kali, benih BC1F1 ditabur 4 kali, benih BC2F1 ditabur 1 kali, dan Benih BC2F2 ditabur 1 kali
*) seharusnya 100 tanaman **) seharusnya 300 tanaman
Untuk seleksi dengan primer foreground dan recombinant ini masing-masing individu tidak dilakukan skoring seperti pada kegiatan pemetaan QTL, tetapi hanya dicatat yang memenuhi syarat saja dipakai dalam analisis selanjutnya (seleksi background). Oleh karena setiap kegiatan analisis ini hanya memiliki waktu 2 minggu sebelum tanaman dipindahkan dari bak pembibitan ke dalam ember besar, maka sampel yang tidak muncul untuk satu atau semua primer yang digunakan diabaikan (tidak dilakukan pengulangan PCR). Hanya sampel yang memenuhi syarat untuk semua primer saja yang dicatat kemudian diambil secara acak (dilihat juga dengan kondisi tanaman di bak pembibitan) baru kemudian dilanjutkan dengan seleksi background menggunakan primer-primer mikrosatelit yang tersebar di seluruh kromosom padi. Untuk menyakinkan hasil seleksi awal tersebut keduapuluh sampel tanaman ini DNAnya kemudian diamplifikasi lagi dengan primer yang sama, baru kemudian dilakukan amplifikasi menggunakan primer background. Hal ini dilakukan pada tanaman BC1F1, BC2F1, dan BC2F2 terseleksi.
Dalam kegiatan seleksi foreground ini juga mengalami kendala, yakni berubahnya primer-primer yang digunakan. Pada awalnya primer-primer yang digunakan adalah primer yang sesuai dengan yang dipublikasikan oleh Collard et
al. (2006), dimana antara ujung ujung marka (RM277 – RM519) berjarak sekitar
5 cM (jika 1 cM = 250 kb, maka 5 cM setara 1250 kb atau 1,25 Mb[Durret et al. 2002]). Setelah dilakukan pembuatan primer-primer spesifik untuk Pup1, maka
p m b j p m h P p i ( p c m m primer yang masih di dal baru tersebu jarak antar k primer dari menjadi lebi segmen Pup (Garis putu heterozigot Pita yang tid pada primer individu BC Berd (kromosom panjang segm sebesar 1,22 cM), Batur menunjukka memiliki pa Primer 2 Primer1 (R Primer3 Gambar 1 K g digunakan lam daerah p ut berada di kedua marka 5 cM menj ih terarah lag p1 tetap dilak us-putus me pada ketiga dak keluar d r 3 tidak m C2F1.) dasarkan Ga 12) masih p men tersebu 2 Mbp (≈ 4, x NIL-C44 an kondisi P anjang segm 2 (F) R) (R) A B ---12. Contoh recom C443 Ket.: A = Situ n juga berub perkiraan po antara prim a adalah 0,1 njadi 0,6 cm gi. Sampai kukan di IRR enunjukkan primer (for diabaikan da muncul tapi ambar 15 panjang, yak ut 1,51 Mbp ,88 cM), Ba 43 # 2329 Pup1 lebih men lebih ---hasil amplif mbinant (R) p yang dipisah u Bagendit bah posisiny osisi Pup1 ( mer spesifik 5 Mbp (seta m membuat
saat ini pun RI. individu ya reground dan an tidak dila bisa diperk dan 16 se kni Situ Bag (≈ 6,04 cM) atur x Kasal sebesar 8, baik pada p pendek dib ----individu fikasi mengg pada individu hkan dalam B = NIL ya ke posisi (Gambar 4 d T5-4 dan B ara 0,6 cM). seleksi keb ekplorasi ge ang terpilih n recombina kukan pengu kirakan deng egmen yang gendit x Ka , Situ Bagen lath # 1946 03 Mbp (≈ persilangan bandingkan BC2F1 ---gunakan prim u BC2F1 Situ gel poliakril L=C443 i di luar RM dan Gambar Ba76H14_71 . Penyempit eradaan seg en-gen yang karena mem ant) secara b ulangan PCR gan melihat g mengand asalath # 960 ndit x NIL-C sebesar 6,25 ≈32,12 cM). Situ Bagen dengan Bat ---mer foregrou u Bagendit x lamid 5% M277, tapi 5). Posisi 154 dengan an wilayah gmen Pup1 g ada dalam miliki pita bersamaan. R. Tetua B t pola pita dung Pup1 0 memiliki C443 #1256 5 Mbp (25 . Hal ini ndit karena tur. Pada --- und (F) dan x
NIL-pembentukan padi toleran genangan segmen Sub1 yang tertinggal berkisar antara 0,8 sampai 3,7 Mbp pada generasi BC3 dari 5 persilangan (Septiningsih et al. 2009). Berdasarkan kondisi ini persilangan lebih baik diteruskan sampai BC3, namun galur yang akan digunakan sebagai materi genetik harus galur-galur yang sudah terbukti toleran terhadap defisiensi P melalui pengujian beberapa kali.
Dalam kegiatan seleksi menggunakan marka foreground dan recombinant, ada yang mengabaikan peran marka recombinant karena marka foreground sudah dianggap cukup ampuh dipakai sebagai alat seleksi. Dalam prakteknya mereka hanya menggunakan marka foreground (marka pengapit) lalu dilanjutkan dengan marka background (Gopalakhrishnan et al. 2008). Namun, dalam proses rekombinasi bebas setiap individu hasil persilangan belum diketahui secara pasti apakah mereka membawa segmen DNA secara utuh ataukah terpotong di ujung-ujungnya. Mungkin faham yang mengabaikan peran marka recombinant berpendapat bahwa marka foreground (=marka pengapit) sudah cukup dipakai karena belum spesifik ke gen, tapi dipastikan gen tersebut berada di tengah-tengah antara dua marka (biasanya bisa dilihat dari nilai LOD, umumnya minimal 3 untuk mencapai selang kepercayaan 99% [Ooijen 1999]). Jadi, tanpa marka
recombinant pun tidak menjadi masalah. Berbeda halnya apabila marka yang
digunakan adalah marka spesifik untuk gen target, dengan jangkauan segmen DNA yang sangat pendek (biasanya kurang dari 1 cM), maka dibutuhkan bantuan marka lain di luar wilayah marka spesifik untuk meyakinkan bahwa segmen DNA tersebut benar-benar telah mengandung gen target. Apalagi bila populasi yang digunakan sangat besar biasanya dilakukan dua kali seleksi. Seleksi pertama menyaring individu dengan marka foreground, dilanjutkan dengan seleksi tahap kedua dengan menggunakan marka recombinant. Untuk kegiatan ini marka
foreground dan recombinant digunakan sekaligus untuk menghemat waktu
pelaksanaan. Pada individu-individu yang sudah terseleksi bisa dilakukan dengan beberapa marka spesifik lainnya (biasanya marka-marka untuk gen spesifik banyak jumlahnya).
Pada kegiatan analisis molekuler menggunakan primer foreground dan
recombinant, jumlah individu yang terseleksi lebih mudah didapatkan pada
genotipe masing-masing individu adalah 50% heterozigot (Aa), 25% homozigot (AA), dan 25% homozigot (aa). Pada saat seleksi tanaman BC1F1 walaupun jumlah individu yang digunakan sangat sedikit (Tabel 8), namun seleksi tanaman untuk tahap selanjutnya tidak terlalu sulit karena persentase mendapatkan individu yang heterozigot masih besar (50%). Berbeda halnya saat dilakukan seleksi pada tanaman BC2F2, jumlah individu yang terpilih menjadi sangat sedikit karena harus memilih individu yang homozigot untuk segmen Pup1, padahal persentase kemungkinan segmen Pup1 yang homozigot hanya sekitar 25%. Berarti apabila menggunakan 300 tanaman kemungkinan mendapat tanaman yang dimaksud hanya sekitar 75 tanaman. Ini pun harus dicocokkan juga dengan kondisi hasil amplifikasi dengan primer recombinant. Oleh karena itulah pemisahan hasil amplifikasi dengan primer foreground dan recombinant dilakukan serentak pada gel poliakrilamid 4,5 % dengan menggunakan plate kaca yang panjang. Kemampuan multiload (4 kali loading tiap kaca) menyebabkan skoring masing-masing individu mudah dilakukan karena tinggal melihat hasil masing-masing-masing-masing individu pada primer foreground (2 primer) dan primer recombinant (2 primer). Dalam satu jalur (satu individu) akan berisi 4 pola pita yang mencerminkan kedua jenis primer tersebut. Hal ini akan memudahkan pada saat scoring hasil amplifikasi. Individu yang memenuhi syarat untuk semua jenis primer dicatat dan bisa dipilih untuk seleksi background (sebelumnya dilihat juga kondisi tanaman di bak perkecambahan).
Seleksi Background
Seleksi background menggunakan marka-marka mikrosatelit yang tersebar di seluruh kromosom padi mulai banyak dilakukan oleh pemulia tanaman. Seleksi
background ini bisa mempersingkat waktu mendapatkan tanaman yang homozigot
dibandingkan dengan cara persilangan konvensional dan metode ini sudah mulai digunakan dalam program pemuliaan menggunakan marka molekuler (Collard et
al. 2005; Semagn et al. 2006; Hospital 2005), bahkan seleksi background ini telah
dibuat perhitungan matematisnya oleh Hu dan He (2005), dan terbukti bisa meningkatkan pengembalian genom kembali ke tetua pemulih lebih cepat dibandingkan tanpa seleksi background. Sebenarnya untuk mempercepat
h d p d t t a k Kas homosigosit disilangkan petunjuk tan diinginkan tanaman bis tidak, dan bi atau aa. N sangat maha karena dibat Gambar Situ Bagend salath Batur NIL-C44 tas tanaman (bisa di BC naman hasi secara cepa sa dilacak k isa dilacak k Namun, tekn al karena me tasi waktu (s 13 Contoh mikrosatelit dalam gel p (dikerjakan saja (satu ba dit 1‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ Ind 43 1---bisa dilakuk C1 atau BC l kultur ant at. Dengan keadaan gen komposisi ge nologi denga emerlukan b sebelum pers seleksi bac t pada non-poliakrilami di IRRI). D aris 100 sam ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ dividu BC2F ---Individu B kan dengan C2). Namun, ter yang ma n teknologi nomnya, apa enotipe masi an menggun bahan-bahan silangan haru ckground in -denaturing d 8% dan d Dalam gel in mpel). RM237 ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ F1 Situ Bagen RM505 ---BC2F1 Batur cara kultur kultur ante ana yang m marka mole akah mengan ing-masing l nakan marka kimia yang us sudah ada dividu BC2F gel. Hasil diwarnai de i hanya bisa ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ ndit x Kasal ---x NIL-C443 anter setela er tidak bisa mengandung ekuler setia ndung gen lokus, apaka a backgroun g banyak, ten a hasilnya) F1 menggun l amplifikas ngan Cyber a dilakukan 1 ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐2 ath ---3 ah tanaman a memberi gen yang ap individu target atau ah AA, Aa, nd ini juga naga ekstra nakan prime si dipisahka rsafe solutio 1 kali loadin 20 -20 er an on ng
\ b t t p A k p h d t k d T S N Gamb Pada \pada saat background tetua pemuli tanam pada pada padi ya Akibatnya, m kromosom) sehingga ha pada tanama harus meng diulang lagi Berb setelah mem tanaman dit karena itula dilakukan p Tabulasi se seleksi back NIL-C44 Situ Bagend Situ Bagend NIL-C443 bar 14 Co mikrosa poliakri (dikerja baris be a kegiatan in menganalis harus seles ih. Padahal padi yang be ang lebih pe marka backg dan tidak d asilnya tidak an BC1F1 in ulang lagi d dari benih F beda dengan milih 20 tan tanam dalam ah seleksi b pengulangan luruh seleks kground juga 43 dit it 1---ontoh selek atelit pada d ilamid 5% akan di Indon erjumlah 100 ni seleksi ba sis tanaman sai dilakukan tanaman pa erumur 110-endek mulai ground yang dilakukan pen k terlalu bagu ni berjalan l dari awal. F1. n seleksi ba naman berda m ember be background n bagi samp si backgrou a dapat diliha ---Individu B ---Individu B ksi backgro denaturing g (denaturing nesia). Dala 0 sampel), te ackground y n BC1F1. n sebelum t adi mulai bu -120 hari (Si bunting pad g digunakan ngulangan u us (Tabel 9-lambat pers Apabila ben ackground p asarkan sele esar dan dib bisa dilaku pel-sampel y und dapat d at dalam Gam ---C2F1 Situ Ba RM5 ---C2F1Situ Ba RM222 ound indivi gel. Hasil g gel) dan am gel ini bi ergantung pa yang paling Pada tahap tanaman dis unting pada u itu Bagendit da umur 4-6 tidak banya untuk hasil a -12). Apabi silangan bis nih BC1F1 t pada tanama eksi foregro biarkan men ukan dengan yang tidak dilihat dalam mbar 13 dan ---agendit x NI ---agendit x NI du BC2F1 amplifikasi diwarnai d isa dilakukan anjang pende sulit dilakuk p ini seluru ilang balikk umur 8 ming dan Batur), minggu sete ak (hanya 4 amplifikasi y ila seleksi b a gagal dila idak mencu an BC2F1 d ound dan re nyerbuk send n lebih telit bagus hasi m Tabel 9-1 n 14. ---IL-C443 ---IL-C443 menggunak i dipisahkan dengan silv n loading 4 -eknya gel ya kan adalah uh seleksi kan dengan ggu setelah sedangkan elah tanam. marka tiap yang jelek, background akukan dan ukupi harus dan BC2F2, ecombinant diri. Oleh ti dan bisa l PCRnya. 12. Contoh ----20 ----20 kan primer n dalam gel ver staining -6 kali (satu ng dipakai. g
Berdasarkan Gambar 13 dan 14 setiap lokus (primer) akan menghasilkan individu dengan tipe genotipe berbeda-beda. Pada tanaman BC1F1 dan BC2F1 hanya akan ada dua tipe genotipe, yakni homozigot ke tetua pemulih (Situ Bagendit dan Batur) atau heterozigot. Tipe genotipe yang homozigot ke tetua donor (Kasalath dan NIL-C443) tidak mungkin ditemukan. Pada tanaman BC2F2 tipe genotipe ketiga ini akan bisa ditemukan dalam beberapa lokus (primer) dengan jumlah yang sangat kecil.
Setelah dilakukan tabulasi kondisi genotipe masing-masing nomor pada tanaman BC2F2 maka didapat data genotipe homozigot terbanyak yang juga dianggap sebagai tanaman terbaik berdasarkan analisis molekuler, kemudian dibuat grafik genotipenya berdasarkan lokasi marka-marka mikrosatelit yang dibuat oleh Temnykh et al. (2007).
Setelah dilakukan analisis molekuler sejak dari tanaman F1, BC1F1, BC2F1, dan BC2F2 terlihat tingkat pengembalian genom ke tetua pemulih lebih banyak pada persilangan Situ Bagendit x NIL-C44 (tertinggi sebanyak 154 marka pada individu BC2F2 nomor 1256) dibandingkan dengan persilangan Situ Bagendit x Kasalath (tertinggi sebanyak 143 marka pada individu BC2F2 nomor 960) (Tabel 9 dan 10). Gambar 15 merupakan gambar yang menunjukkan komposisi genotipe (perkiraan) dari satu individu terbaik dari persilangan yang menggunakan tetua Situ Bagendit berdasarkan pada jumlah terbanyak marka mikrosatelit yang homozigot untuk tetua pemulih.
Pada persilangan Situ Bagendit x Kasalath individu terbaik (nomor 960), walaupun sudah sampai generasi BC2F2 ternyata masih ada fragmen-fragmen dari tetua Kasalath, misalnya pada kromosom 1 (1 titik ≈ 0,5 cM), kromosom 4 (2 titik ≈ 5 cM dan 5 cM), kromosom 7 (1 titik ≈ 3 cM), kromosom 10 (1 titik ≈ 2 cM), dan kromosom 12 (1 titik setelah fragmen Pup1 ≈ 16,2 cM). Setelah dihitung total terdapat sekitar (perkiraan) 31,7 cM merupakan DNA Kasalath. Pada kromosom 1, 4, dan 7 kondisi segmen Kasalath masih heterozigot sehingga masih ada kemungkinan lokus-lokus tersebut akan berubah menjadi homozigot Situ Bagendit pada generasi berikutnya. Apabila dibandingkan dengan seluruh panjang kromosom padi (1795,7 cM), maka DNA Kasalath (selain segmen Pup1) yang masih terdapat pada individu terbaik persilangan Situ Bagendit x Kasalath
tersebut sekitar 1,77%. Menurut hitungan matematis pada generasi BC2 diperkirakan tingkat pengembalian ke genom tetua pemulih sekitar 82% bila menggunakan metode seleksi konvensional dan 87,5% apabila menggunakan metode seleksi menggunakan marka molekuler (Collard et al. 2005). Walaupun demikian karena keterbatasan marka polimorfik antara Situ Bagendit vs Kasalath, atau karena memang tidak ada marka yang tersedia, maka masih banyak daerah-daerah yang belum diketahui komposisi genomnya, seperti pada kromosom 1 (4 titik ≈ 25, 20, 30, 31 cM), kromosom 2 (3 titik ≈ 33, 22, 25 cM), kromosom 3 (1 titik ≈ 48,8 cM), kromosom 4 ( 0 titik), kromosom 5 (2 titik ≈ 25, 29 cM), kromosom 6 (2 titik ≈ 31,6 dan 38,9 cM), kromosom 7 (2 titik ≈ 21,6 dan 19,8 cM), kromosom 8 (1 titik ≈ 26,2 cM), kromosom 9 (1 titik ≈ 20,4 cM), kromosom 10 (2 titik ≈ 25,1 dan 26,8 cM), kromosom 11 (1 titik ≈ 32,7 cM), dan kromosom 12 (1 titik ≈ 28,72 cM).
Pada persilangan Situ Bagendit x NIL-C443 marka yang bisa dimanfaatkan lebih banyak karena perbedaan subspecies antara padi indica dan
japonica yang menjadikan tingkat polimorfismenya lebih tinggi. Pada
persilangan ini individu BC2F2 nomor 1256 memiliki marka mikrosasatelit yang homozigot sebanyak 154 marka dan segment NIL-C443 yang masih tertinggal tidak sebanyak persilangan Situ Bagendit x NIL-C443, misalnya pada kromosom 2 ( 1 titik ≈ 16 cM), kromosom 5 (1 titik ≈ 5 cM), kromosom 11 (1 titik ≈ 5 cM) dan kromosom 12 (3 titik ≈ 6,52, 1,16, dan 1,48 cM). Total panjang segmen NIL-C443 yang masih terdapat dalam individu BC2F2 nomor 1256 tersebut sekitar 35,16 cM (atau sekitar 1,96%). Pada kromosom 2, 5, dan 8 kondisi segmen NIL-C443 adalah heterozigot sehingga masih ada peluang untuk mendapatkan lokus yang homozigot ke tetua Situ Bagendit. Daerah-daerah yang belum diketahui kondisi genomnya adalah pada kromosom 1 (3 titik ≈ 26,2, 19,6, 21,3 cM), kromosom 2 (2 titik ≈ 31,2 dan 22,6 cM), kromosom 3 (2 titik ≈ 21,5 dan 25,1 cM), kromosom 4 (1 titik ≈ 32,3 cM), kromosom 5 (1 titik ≈ 25,3 cM), kromosom 6 (2 titik ≈ 30 dan 24,3 cM), kromosom 7 (1 titik ≈ 21,6 cM), kromosom 8 (1 titik ≈ 26,2 cM), kromosom 9 (1 titik ≈ 23, 4 cM), kromosom 10 (1 titik ≈ 26,8 cM), kromosom 11 (1 titik ≈ 27,2 cM), dan kromosom 12 (1 titik ≈ 30 cM).
Pada persilangan Batur dengan Kasalath dan NIL-C443 terlihat jumlah marka mikrosatelit yang homozigot ke tetua Batur lebih banyak dibandingkan dengan persilangan Situ Bagendit (Tabel 11 dan 12). Batur x Kasalath memiliki jumlah marka homozigot terbanyak pada individu BC2F2 nomor 1941 sebanyak 154 marka (Situ Bagendit x Kasalath hanya 143 marka). Batur x NIL-C443 memiliki jumlah marka homozigot terbanyak pada individu BC2F2 nomor 2329 sebanyak 162 marka, sedangkan Situ Bagendit x NIL-C443 hanya 154. Hal ini menunjukkan pada tetua Batur banyak marka yang bisa digunakan untuk seleksi
background.
Tanaman BC2F2 persilangan Batur x Kasalath pada individu terbaiknya (nomor 1941) masih terdapat beberapa segmen NIL-C443 yang belum hilang (Gambar 16), yakni kromosom 4 (3 titik ≈ 5, 5, dan 9 cM), kromosom 9 (3 titik ≈ 5, 3, dan 3 cM), kromosom 11 (1 titik ≈ 5 cM), dan kromosom 12 (2 titik ≈ 10 dan 3,2 cM). Total panjang segmen Kasalath yang masih terdapat dalam indiviudu tersebut sekitar 48,2 cM (2,6% dari total genom). Pada kromosom 4, 9, dan 11 kondisi lokus yang mengandung segmen Kasalath tersebut adalah heterozigot sehingga masih membuka peluang mendapat lokus yang homozigot pada generasi BC2F3nya. Selain itu masih banyak daerah yang belum diketahui kondisi genomnya, yakni kromosom 1 (3 titik ≈ 26,2, 20,3, dan 24,9 cM), kromosom 2 (2 titik ≈ 22,6 dan 24,9 cM), kromosom 3 (4 titik ≈ 23,6, 21,5, 23,1 dan 25,8 cM), kromosom 4 (1 titik ≈ 20 cM), kromosom 5 (3 titik ≈ 28,6, 28,8, dan 22,1 cM), kromosom 6 (2 titik ≈ 32,3 dan 40,1 cM), kromosom 7 (2 titik ≈ 24,2 dan 19,8 cM), kromosom 8 dan 9 (0 titik), kromosom 10 (1 titik ≈ 23,2 cM), kromosom 11 (1 titik ≈ 37,5 cM), dan kromosom 12 ( 1 titik ≈ 22,4 cM).
Pada persilangan Batur x NIL-C443 individu terbaik pada generasi BC2F2 (nomor 2329) masih memiliki segmen NIL-C443 yang belum hilang, yakni pada kromosom 5 (1 titik ≈ 5 cM), dan kromosom 12 (2 titik ≈ 11,04 dan 12,84 cM), dengan total 28,88 cM (1,61% dari total genom). Daerah-daerah yang belum diketahui komposisi genotipenya adalah kromosom 1 (1 titik ≈ 26,2 cM), kromosom 2 (2 titik ≈ 21,9 dan 22,6 cM), kromosom 3 (2 titik ≈ 65,5 dan 47,4 cM), kromosom 4 (3 titik ≈ 20, 28,3, dan 28,3 cM), kromosom 5 (1 titik ≈ 25,3 cM), kromosom 6 (1 titik ≈ 56,6 cM), kromosom 7 (1 titik ≈ 21,5 cM), kromosom
8 (1 titik ≈ 21,9 cM), kromosom 9 (1 titik ≈ 23,4 cM), kromosom 10 (1 titik ≈ 24,4 cM), kromosom 11 ≈ 27,2 cM), kromosom 12 (0 titik).
Apabila dilakukan tabulasi jumlah segmen tetua donor dan daerah yang belum diketahui kondisi genotipenya pada individu terbaik dari populasi BC2F2 masing-masing persilangan dapat disebutkan sbb : Situ Bagendit x Kasalath (segmen Kasalath : 6 titik, daerah tidak tahu : 20 titik), Situ Bagendit x NIL-C443 (segmen NIL-C443 : 6 titik, daerah tidak tahu : 17 titik), Batur x Kasalath (segmen Kasalath : 9 titik, daerah tidak tahu : 20 titik), Batur x NIL-C443 (segmen NIL-C443 : 3 titik, daerah tidak tahu 15 titik). Berdasarkan hal tersebut terlihat persilangan Batur x NIL-C443 merupakan persilangan yang terbaik karena segmen tetua donornya paling sedikit dan daerah yang belum diketahui juga paling sedikit. Namun, analisis molekuler ini tidak bisa dijadikan patokan bagaimana kondisi fenotipik dari tanaman tersebut karena fenotipik yang diperlihatkan oleh tanaman tidak semata-mata hasil ekspresi dari satu gen atau satu lokus saja tapi ribuan gen yang terletak pada ribuan lokus, sehingga masing-masing tanaman perlu diuji secara fenotipik. Yang terpenting adalah semua individu BC2F2 dari tiap persilangan sudah mengandung segmen Pup1 dalam kondisi homozigot saja, hanya tinggal dilihat apakah ekspresi segmen tersebut benar-benar terjadi (100% terekspresi) ataukah masih terhambat oleh gen-gen lain yang dimiliki oleh segmen tetua donor yang belum hilang atau justru dari tetua Indonesia itu sendiri yang menolak keberadaan segmen DNA yang baru.
Masih banyaknya lokus-lokus yang belum diketahui kondisi genotipe karena ada dua hal, yakni :
(i) Keterbatasan marka mikrosatelit yang polimorfis. Hal ini terutama pada persilangan yang menggunakan tetua Kasalath. Polimorfisme yang rendah antara Kasalath dengan Situ Bagendit atau Batur lebih disebabkan karena tanaman tersebut semuanya termasuk dalam kelompok padi indica (sebagian ada yang memasukkan Kasalath sebagai sub spesies Aus). Sifat-sifat yang mirip tersebut menyebabkan tingkat polimorfisme primer-primer menjadi lebih rendah.
(ii) Ada daerah-daerah pada kromosom padi yang memang belum ada primer-primer mikrosatelitnya, terutama pada daerah-daerah yang dekat dengan sentromer.
(iii) Keterbatasan koleksi primer yang ada laboratorium menyebabkan ada beberapa titik yang tidak bisa dilihat. Kualitas primer juga mempengaruhi dalam deteksi molekuler ini. Primer-primer yang (mungkin) rusak ternyata banyak yang tidak menghasilkan pita, walaupun sudah diulang sebanyak dua kali.
Namun demikian penggunaan marka molekuler untuk seleksi individu hasil persilangan ini terbukti bisa mempercepat pengembalian genom ke tetua pemulih dibandingkan dengan cara konvensional. Dengan cara konvensional untuk mendapatkan kondisi genom seperti yang dilakukan dalam penelitian ini dibutuhkan paling tidak 5-6 silang balik, baru kemudian dilakukan silang sendiri dan harus diseleksi lagi untuk mendapatkan individu dengan lokus
Pup1 dalam keadaan homozigot. Kadang-kadang diperlukan waktu lebih dari
Tabel 9. Tabulasi seleksi background untuk persilangan Situ Bagendit x Kasalath
No BC1F1 BC2F1 BC2F2 Juml kumulatif
lokus homozigot pada tan BC2F2***
No
Tanaman Waktu Tanam Juml lokus homozigot (dari 48 marka)
No
Tanaman Jmlh lokus homozigot (dari 98 marka)
No
Tanaman Jmlh lokus homozigot
(dari 60 marka) 1 901 I 9 1027 75 960** 42 143 2 912 I 9 1056 77 1056 37 138 3 913 I 10 1059 76 1073 37 138 4 1052 III 12 1062 77 1075 41 142 5 1067 III 14 1072 66 1076 38 139 6 1158 IV 15 1073 76 1079 38 139 7 932 I 16 1076 68 1098 41 142 8 992 II 18 1077 70 1110 42 143 9 1136 IV 18 1079 74 1115 38 139 10 927 I 19 1084 72 1126 38 139 11 986 II 19 1088 76 1132 38 139 12 998 II 19 1092 71 1136 39 140 13 983 II 20 1096 77 1141 37 138 14 1119 III 21 1097 57 1153 40 141 15 1141 IV 21 1098 73 1159 40 141 16 1101 III 22 1099* 78 1160 40 141 17 1082 III 23 1108 76 1161 38 139 18 1140 IV 23 1116 76 1170 38 139 19 1143* IV 23 1130 75 1176 41 142 20 999 II 26 1134 74 1181 35 136
Ket : Bagian yang ditebalkan menunjukkan tanaman yang dipilih untuk disilangkan dengan tetua Situ Bagendit, atau disilang sendiri. *= tanaman yang dipilih untuk generasi berikutnya (berdasarkan jumlah lokus homozigot ke tetua Situ Bagendit terbanyak)
** = tanaman yang terpilih untuk dibuat grafik genotipe ***= jml lokus kumulatif = Jml lokus homozigot BC
1F1 terpilih (23) + Jml lokus homozigot BC2F1 terpilih (78) + lokus homozigot
Tabel 10. Tabulasi seleksi background untuk persilangan Situ Bagendit x NIL-C443
No BC1F1 BC2F1 BC2F2 Juml kumulatif
lokus homozigot pada tan BC2F2***
No
Tanaman Waktu Tanam Juml lokus homozigot (dari 48 marka)
No
Tanaman Jmlh lokus homozigot (dari 98 marka)
No
Tanaman Jmlh lokus homozigot (dari 55 marka) 1 1209 I 3 1202* 85 1212 41 154 2 1262 I 5 1203 71 1235 37 150 3 1207 I 8 1204 78 1238 41 154 4 1208 I 8 1207 85 1256** 41 154 5 1343 II 10 1231 55 1273 39 152 6 1269 I 11 1235 81 1274 38 151 7 1307 II 13 1254 76 1282 40 153 8 1317 II 14 1257 74 1290 41 154 9 1320 II 14 1260 40 1313 38 151 10 1481 IV 14 1265 79 1320 40 153 11 1371 III 17 1276 55 1341 40 153 12 1416 III 17 1280 73 1378 40 153 13 1466 IV 18 1351 70 1407 41 154 14 1424 III 19 1352 44 1418 40 153 15 1302 II 21 1361 78 1450 38 151 16 1462 IV 21 1362 51 1454 36 149 17 1383 III 22 1370 71 1455 36 149 18 1427 IV 24 1376 75 1467 41 154 19 1429 IV 27 1378 75 1474 36 149 20 1360* III 28 1382 67 1500 40 153
Ket :Bagian yang ditebalkan menunjukkan tanaman yang dipilih untuk disilangkan dengan tetua Situ Bagendit, atau disilang sendiri. *= tanaman yang dipilih untuk generasi berikutnya (berdasarkan jumlah lokus homozigot ke tetua Situ Bagednit terbanyak)
**= tanaman yang terpilih untuk dibuat grafik genotipe
***= jml lokus kumulatif = Jml lokus homozigot BC
1F1 terpilih (28) + Jml lokus homozigot BC2F1 terpilih (85) + lokus
Tabel 11. Tabulasi seleksi background untuk persilangan Batur x Kasalath
No BC1F1 BC2F1 BC2F2 Juml kumulatif
lokus homozigot pada tan BC2F2***
No
Tanaman Waktu Tanam Juml lokus homozigot (dari 48 marka)
No
Tanaman Jmlh lokus homozigot (dari 100 marka)
No
Tanaman Jmlh lokus homozigot (dari 71 marka) 1 1849 I 8 1801 78 1801 49 152 2 1894 II 8 1816 67 1807 49 152 3 1837 I 10 1817 73 1812 47 150 4 1871 I 10 1818 71 1824 47 150 5 1867 I 12 1821 72 1830 50 153 6 1916 II 12 1824 77 1833 48 151 7 1926 II 13 1826 69 1837 48 151 8 1961 III 14 1829* 78 1857 50 153 9 1874 I 15 1837 66 1884 50 153 10 1909 II 17 1848 74 1910 48 151 11 2098 IV 17 1855 78 1941** 51 154 12 1887 II 18 1857 60 1950 50 153 13 1954 III 19 1863 66 1954 47 150 14 1998 III 20 1866 77 2001 46 149 15 1955 III 21 1867 70 2031 48 151 16 2033 IV 21 1870 72 2056 48 151 17 2031 IV 22 1878 74 2058 47 150 18 1958 III 23 1879 76 2094 47 150 19 2066 IV 24 1992 58 2080 48 151 20 2032* IV 25 2020 77 2086 47 150
Ket. : Bagian yang ditebalkan menunjukkan tanaman yang dipilih untuk disilangkan dengan tetua Bstur, atau disilang sendiri. *= tanaman yang dipilih untuk generasi berikutnya (berdasarkan jumlah lokus homozigot ke tetua Batur terbanyak)
**= tanaman yang terpilih untuk dibuat grafik genotipe ***= jml lokus kumulatif = Jml lokus homozigot BC
1F1 terpilih (25) + Jml lokus homozigot BC2F1 terpilih (78) + lokus
Tabel 12. Tabulasi seleksi background untuk persilangan Batur x NIL-C443
BC1F1 BC2F1 BC2F2 Juml kumulatif lokus
homozigot pada tan BC2F2***
No Tanaman Waktu
Tanam Jumlah lokus homozigot (dari 48 marka)
No
Tanaman Jmlh lokus homozigot (dari 117 marka)
No
Tanaman Jmlh lokus homozigot(dari 52 marka) 1 2107 I 8 2101 68 2113 37 160 2 2102 I 10 2108 95 2150 37 160 3 2128 I 11 2111 85 2161 37 160 4 2119 I 14 2116 99 2173 36 159 5 2212 II 14 2121 95 2176 35 158 6 2140 I 16 2128 85 2183 37 160 7 2191 II 17 2130 87 2191 35 158 8 2248 II 17 2137 92 2248 38 161 9 2250 II 17 2142 99 2262 37 160 10 2269 III 17 2156 83 2284 35 158 11 2274 III 17 2161 91 2299 37 160 12 2337 IV 17 2176 88 2322 37 160 13 2198 II 18 2178 78 2329** 39 162 14 2300 III 18 2184 89 2332 35 158 15 2363 IV 18 2186 96 2336 38 161 16 2253 III 20 2199 94 2353 38 161 17 2322 III 20 2205 93 2358 37 160 18 2353 IV 20 2216 93 2379 35 158 19 2335 IV 21 2225 89 2371 35 158 20 2372* IV 23 2235* 100 2374 38 161
Ket. : Bagian yang ditebalkan menunjukkan tanaman yang dipilih untuk disilangkan dengan tetua Bstur, atau disilang sendiri. *= tanaman yang dipilih untuk generasi berikutnya (berdasarkan jumlah lokus homozigot ke tetua Batur terbanyak)
**= tanaman yang terpilih untuk dibuat grafik genotipe ***= jml lokus kumulatif = Jml lokus homozigot BC
1F1 terpilih (23) + Jml lokus homozigot BC2F1 terpilih (100) + lokus
Gambar 15. Perkiraan Grafik genotipe individu terbaik tanaman BC2F2 persilangan Situ Bagendit x Kasalath no. 960 (kiri) dan persilangan Situ Bagendit x NIL-C443 no. 1256 (kanan)
= Situ Bagendit = Kasalath Segmen Pup1 X X X X X X X X X X X X = sentromer x
Gambar 16. Perkiraan grafik genotipe individu terbaik tanaman BC2F2 persilangan Batur x Kasalath no. 1946 (kiri) dan persilangan Batur x NIL-C443 no. 2329 (kanan)
= Batur = Kasalath Segmen Pup1 X X X X X X X X X X X X = sentromer x = Situ Bagendit = NIL‐C443 Segmen Pup1 X X X X X X X X X X X X = sentromer x = Batur = NIL-C443 Segmen Pup1 X X X X X X X X X X X X = sentromer x
Perkiraan genotipe tanaman BC2F2 terbaik yang ditampilkan dalam Gambar 15 dan 16 merupakan grafik yang sederhana. Grafik selengkapnya yang memuat primer, jarak antar primer, dan kondisi genotipe dapat dilihat dalam Lampiran 2.
Simpulan
1. Seluruh individu BC2F2 persilangan Situ Bagendit, Batur x Kasalath, NIL-C443 telah mengandung lokus Pup1 dalam kondisi homozigot.
2. Pada individu BC2F2 terbaik persilangan Situ Bagendit x Kasalath, segmen Kasalath yang masih tertinggal sebesar 31,7 cM (1,77% dari total genom), sedangkan pada individu BC2F2 terbaik persilangan Batur x Kasalath segmen Kasalath yang masih tertinggal diperkirakan masih 48,2 cM (2,6% dari total genom)
3. Pada individu BC2F2 terbaik persilangan Situ Bagendit x NIL-C443, segmen Nipponbare (dari NIL-C443) yang masih tertinggal sekitar 35,16 cM (1,96% dari total genom), sedangkan pada individu BC2F2 terbaik persilangan Batur x NIL-C443 segmen Nipponbare yang masih tertinggal diperkirakan sekitar 28,8 cM (1,61%).
Daftar Pustaka
Babu R, Nair SK, Prasanna BM, Gupta HS. 2004. Integrating marker-assisted selection in crop breeding-Prospects and challenges (Review). Cur Sci 87 (5) : 607-619
Collard BCY, Jahufer MZZ, Brouwer JB, Pang ECK. 2005. An introduction to markers, quantitative trait loci (QTL) mapping and marker-assisted selection for crop improvement : The basic concepts. Euphytica 142 : 169-196
Collard BCY, Thomson M, Penarubia M, Lu X, Heuer S, Wissuwa M, Mackill DJ, Ismail AM. 2006. SSR analysis of rice near-isogenic lines (NILs) for P-deficiency tolerance. SABRAO. J Breed Gen 38(2) : 131-138
Dellaporta SL, Wood J, Hicks JB. 1983. A plant DNA minipreparation: version II. Plant Mol Biol Rep 1(4): 19-21
Durret RT, Chen KY, Tanksley SD. 2002. A simple formula useful for positional cloning. Genetics 160: 353-355
Friscth M, Bohn M, Melchinger AE. 1999. Minimum sample size and optimal positioning of flanking markers in marker-assisted backcrossing for transfer of a target gene. Crop Sci 39: 967-975
Gopalakrishnan S, Sharma RK, Anand RK, Joseph M, Singh VP, Singh AK, Bhat KV, Singh NK, Mohapatra T. 2008. Integrating marker assisted background analysis with foreground selection for identification of superior bacterial blight resistant recombinants in Basmati rice. Plant Breed 127 : 131-139 Heuer S, Lu X, Chin JH, Tanaka JP, Kanamon H, Matsumoto T, Leon TD, Ulat
VJ, Ismail AM, Yano M, Wissuwa M. 2009. Comparative sequence analyses of the major quantitative trait locus phosphorus uptake 1 (Pup1) reveal a complex genetic structure. Plant Bio J 7: 456-471
Hospital F. 2005. Selection in backcross programmes. Phil Trans R Soc B 360: 1503-1511
Hu XS, He F. 2005. Background selection and population differentiation. J Theor Bio 235: 207-219
Ikehashi. 2009. Why are there Indica type and Japonica type in rice?---History of the studies and a view for origin of two types. Rice Sci 16 (1): 1-13
Ooijen JWV. 1999. LOD significance thresholds for QTL analysis in experimental populations of diploid species. Heredity 83 : 613-624
Ribaut JM, Hoisington D. 1998. Marker-assisted selection : new tools and strategies. Trends in Plant Sci 3 : 236-239
Semagn, K., A. Bjornstad, M.N. Ndjiondjop. 2006. Progress and prospects of marker assisted backcrossing as a tool in crop breeding programs. African J. Bio. 5 (25) : 2588-2603
Septiningsih EM, Pamplona AM, Sanchez DL, Neeraja CN, Vergara GV, Heuer S, Ismail AM, Mackill DJ. 2009. Development of submergence-tolerant rice cultivars: the Sub1 locus and beyond. Ann Bot 103: 151-160
Temnykh S, Decleck G, Lukashova A, Lipovich L, Cartinhour S, McCouch SR. 2007. Computational and experimental analysis of microsatellites in rice (Oryza sativa L.): frequency, length variation, transposon associations, and genetic marker potential. Gen Res 2001 11 : 1441-1452
Wissuwa M, Yano M, Ae N. 1998. Mapping of QTLs for phosphorus-deficiency tolerance in rice (Oryza sativa L.) Theor Appl Genet 97: 777-783
Wissuwa M, Wegner J, Ae N, Yano M. 2002. Substitution mapping of Pup1: a major QTL increasing phosphorus uptake of rice from a phosphorus-deficient soil. Theor Appl Genet 105 : 890-8