• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. 16 o C-24 o C. Sebagai pusat penangkaran satwa langka, Taman Safari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. 16 o C-24 o C. Sebagai pusat penangkaran satwa langka, Taman Safari"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Habitat ex-situ

Habitat ex-situ merupakan tempat tinggal satwa yang bukan alam aslinya, tetapi dibuat senyaman mungkin agar satwa merasa seperti berada di habitat aslinya. Habitat ex-situ berfungsi untuk melindungi satwa yang hampir punah di alam, dengan melalui proses pengembangbiakan, dan juga melakukan pendidikan. Kebun binatang, taman satwa, pusat penyelamatan satwa, pusat pelatihan satwa, dan penangkaran satwa merupakan habitat ex-situ.

Taman Safari Indonesia sebagai obyek wisata nasional yang diresmikan oleh Soesilo Soedarman, Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi merupakan salah satu habitat ex-situ bagi satwa liar. Lebih jauh, Taman Safari Indonesia I yang berlokasi di Desa Cibeureum Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor juga telah diresmikan menjadi Pusat Penangkaran Satwa Langka di Indonesia oleh Hasyrul Harahap, Menteri Kehutanan pada masa itu, pada tanggal 16 Maret 1990. Taman Safari ini dibangun pada tahun 1980 pada sebuah perkebunan teh yang sudah tidak produktif. Taman ini menjadi penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang terletak pada ketinggian 900-1800 m diatas permukaan laut, serta mempunyai suhu rata-rata 16oC-24oC. Sebagai pusat penangkaran satwa langka, Taman Safari Indonesia berperan dalam menangkarkan satwa endemik seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan juga menunjang perkembangbiakan berbagai spesies seperti elang jawa (Spizaetus bartelsi), macan tutul jawa (Panthera pardus melas), orang utan (Pongo pygmaeus), dan bekantan (Nasalis larvatus).

Taksonomi

Ordo primata dibagi ke dalam tiga subordo yaitu Prosimii, Tarsioidea dan Anthropoidea yang masing-masing memiliki ciri-ciri tertentu. Anthropoidea memiliki tiga super famili yaitu Ceboidea, Cercopithecoidea dan Hominoidea.

(2)

Super famili Cercopithecoidea (Old World Monkey) memiliki satu famili Cercopithecidae (Napier dan Napier 1985).

Bekantan merupakan primata endemik pulau Kalimantan yang termasuk ke dalam famili Cercopthecidae. Klasifikasi bekantan dalam Suradijono tahun 2000 adalah: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Primata Famili : Cercopithecidae Subfamili : Colobinae Genus : Nasalis

Spesies : Nasalis larvatus

Morfologi

Bekantan dikenal juga dengan monyet belanda, bakara, paikah, rasung, batangan, kahau atau dalam bahasa inggris disebut proboscis monkey. Bekantan memiliki ciri-ciri morfologi bentuk hidung yang unik dan panjang dimana hidung besarnya memiliki fungsi untuk memberikan daya tarik kepada betinanya. Muka bekantan dewasa berwarna merah muda pucat sedangkan pada bayi berwarna biru tua. Wajah bekantan memiliki wajah dengan sebuah profil lurus dan rahang yang jelas. Tulang hidung panjang dan lurus dibandingkan dengan genus Presbytis yang tulang hidungnya lebih pendek. Lekuk mata bagian dalam relatif sempit dibandingkan dengan jenis-jenis Colobinae lainnya kecuali genus Simias. Susunan gigi seri, taring, premolar dan molar (geraham) adalah 2/2; 1/1; 2/2; 3/3, jumlah 32 buah (Napier dan Napier 1967).

Warna bulu bekantan sangat bervariasi. Bagian bahu dan punggung atas berwarna cokelat kemerahan, ujung-ujung bulunya berwarna merah kecokelatan sedangkan dua pertiganya berwarna abu-abu, punggung berwarna kuning keabuan, perut berwarna kekuningan atau abu-abu kadang ada bagian yang berwarna kuning kecokelatan, tangan dan kaki putih kekuningan, kepala berwarna cokelat kemerahan dan leher berwarna putih keabuan. Ekor dan pinggul

(3)

keputih-putihan, terutama pada jantan dewasa (Payne et al. 2000). Ketika duduk di pohon ekornya bergantung vertikal ke bawah (Yasuma dan Alikodra 1990; Payne et al. 2000).

Umumnya bekantan memiliki badan yang ramping dan ekor panjang, ekornya lebih panjang daripada badan dan kepala. Bekantan jantan yang sudah lewat dewasa berperut buncit, hal ini dikarenakan daun-daun yang merupakan bahan makanan bekantan mempunyai nutrien yang rendah sehingga untuk memenuhi kebutuhan energi dan nutriennya, bekantan harus makan daun–daunan dalam jumlah yang banyak. Kebutuhan pakan bekantan adalah 900 g basah atau 270.252 g berat kering pakan dengan kalori 1.066,82 kcal/hari atau 120,68 kcal/kg bobot badan (Bismark 1994). Bekantan dewasa dapat mengeluarkan suara seperti sapi melenguh pendek.

Bekantan merupakan satwa sexually dimorphic yaitu jantan dan betina memiliki perbedaan ukuran dan bentuk tubuh (Bismark 1994). Bobot tubuh betina dewasa yaitu 8,650-11,790 kg, hampir setengah bobot tubuh jantan dewasa yaitu 11,700-23,806 kg (Napier dan Napier 1967), sedangkan bobot tubuh jantan setengah dewasa hampir sama dengan tubuh betina dewasa (Bismark 1994). Panjang kepala sampai badan pada jantan dewasa 555-723 mm dan pada betina dewasa dengan panjang kepala sampai badan 540-605 mm. Panjang ekor jantan dewasa 660-745 mm dan panjang ekor betina dewasa 570-620 mm (Napier dan Napier 1967). Hidung jantan dewasa berbentuk seperti ubi menggantung dan berukuran panjang, panjang hidungnya dapat mencapai 7,5 cm sedangkan betina dewasa hidungnya kurang berkembang dan agak mengarah keatas (slighty upturned).

Bekantan dewasa yang memiliki hidung paling besar berhak dinobatkan menjadi pemimpin kelompok. Tangan bekantan bersifat prehensile yaitu dapat memegang benda dengan jari tangannya, tangan digunakan dalam makan untuk memetik daun-daunan, dan memasukkannya ke dalam mulut selain itu tangannya digunakan sebagai alat lokomosi.

Yeager (1990) membagi bekantan berdasarkan parameter umur, yaitu: 1. Jantan Dewasa: Hidung besar (telah berkembang sempurna), alat kelamin

(4)

berbentuk segitiga pada bagian pinggul, lapisan lemak terlihat jelas di bagian punggung, dan berkembang otot paha yang kuat.

Gambar 1 Bekantan jantan dewasa

Sumber: Molon 2009a

2. Jantan setengah dewasa: Ukuran tubuhnya sama atau lebih besar daripada betina dewasa, alat kelamin luar tampak jelas, otot bagian paha lebih berkembang dibandingkan dengan betina dewasa, hidung mulai membesar, tidak ada lapisan lemak di bagian punggungnya.

3. Betina dewasa: Bobot badan relatif lebih kecil dibandingkan bobot badan jantan dewasa (10-12 kg), puting susu tampak jelas, hidung lebih kecil dan runcing.

(5)

Gambar 2 (a) Bekantan betina dewasa, (b) Bayi bekantan Sumber: Molon 2009b dan Molon 2009c

4. Betina setengah dewasa: Ukuran tubuh lebih dari ¾ dewasa hampir sama dengan betina dewasa.

5. Remaja: Ukuran tubuh setengah atau dua pertiga dari ukuran tubuh betina dewasa. Sudah dapat berdiri sendiri (dalam berjalan), tetapi masih tidur dengan induknya.

6. Anak/Bayi: Berumur 1,5 tahun atau kurang, bayi yang baru lahir memiliki warna yang lebih gelap dan muka berwarna gelap tetapi terus memudar, masih dekat dan bergantung dengan induknya.

(6)

Habitat dan Pakan

Habitat adalah kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwa liar (Alikodra 2002). Bekantan hidup pada habitat yang sangat terbatas pada tipe hutan rawa gambut, hutan bakau, dan hutan di sekitar sungai. Kehidupannya sangat tergantung pada sungai, walaupun sebagian kecil ada yang hidup di hutan dipterocarpaceae dan hutan kerangas, namun masih berada di sekitar sungai. Hutan bakau yang disenangi oleh bekantan adalah tipe riverine mangroove , dengan sungai yang cukup besar (Bismark 1995). Napier dan Napier (1967), menjelaskan bahwa bekantan memiliki habitat berupa hutan rawa dan hutan bakau, dan mudah ditemukan di dekat sungai, atau pada vegatasi nipah dan rawa bakau sepanjang pantai, teluk-teluk atau daerah pasang surut. Bekantan lebih suka berteduh di vegetasi bakau pada waktu siang hari dan beristirahat di pohon rambai pada waktu malam hari. Hutan di tepi sungai bagi bekantan adalah untuk tempat tinggal dan tempat berkomunikasi dalam kelompoknya, dimana pasokan makanan yang disukai bekantan terdapat di habitat tersebut. Daerah yang cenderung dihuni oleh bekantan berada di pedalaman, relatif tidak terganggu, dan jauh dari sungai-sungai tempat berkembangnya permukiman.

Pakan bekantan berupa daun-daunan dari pohon rambai atau pedada (Sonneratia alba), ketiau (genus Motleyana), beringin (Ficus sp), lenggadai (Braguiera parviflora), dan piai (Acrostiolum aureum) (Napier dan Napier 1985).

Traktus Pencernaan

Menurut Langer (1988) dalam Nijboerand Clauss (2006), anatomi sistem

pencernaan bekantan terdiri dari saccus gastricus, dengan atau tanpa presaccus yang dibatasi oleh cardiac glandular mucosa merupakan tempat terjadinya fermentasi. Kompartemen ini dihubungkan oleh sebuah tubus gastricus, bagian terakhir yang dilapisi dengan kelenjar mukosa lambung, adalah pars pylorica sebelum menuju duodenum. Selain mempunyai rangkaian perut yang telah dijelaskan sebelumnya, bekantan juga memiliki sekum dan kolon sebagai tempat

(7)

tambahan terjadinya fermentasi pakan oleh bakteri. Anatomi sistem pencernaan bekantan seperti terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Anatomi Traktus Pencernaan Bekantan

Sumber: J. Nijboer dan M. Clauss (2006)

Apabila dibandingkan dengan hewan lain yang mempunyai foregut fermented, perut colobinae merupakan perut dengan kapasitas yang kecil sehingga harus makan dengan frekuensi yang tinggi. Berat dari forestomach adalah 6-8% dari berat tubuh hewan. Hewan folivorous atau hewan yang mengonsumsi daun-daunan mempunyai forestomach yang lebih besar dibandingkan dengan hewan frugivorous yaitu hewan yang mengonsumsi buah-buahan. Derajat keasaman perut bekantan sekitar 5,0-7,0. Dari hasil pencatatan Nijboer dan Clauss (2006), derajat keasaman perut pada hewan yang mengonsumsi konsentrat dapat lebih rendah.

Tingkah Laku

Perilaku bekantan dapat terlihat dari tiga sikap kesehariannya yang menjadi tolak ukur perilaku bekantan, diantaranya adalah perilaku makan, tidur dan bersosialisasi. Bekantan makan di ujung-ujung cabang, duduk pada awak

Pars pylorica Saccus gastricus Esofagus Tubus gastricus Duodenum Jejunum Sekum Ileum Taenia coli Proksimal kolon Distal kolon

(8)

cabang atau ranting. Salah satu tangannya digunakan untuk berpegang pada cabang atau ranting pada bagian atas, sedangkan tangan yang lainnya meraih makanan. Kalau berada pada posisi yang sulit, kedua tangan akan berfungsi untuk berpegangan dan makanan diambil menggunakan mulut. Bekantan lebih menyukai pohon yang berada persis disamping sungai untuk tempat tidurnya. Dalam satu pohon bisa dihuni oleh satu kelompok yang kira-kira berjumlah 4-12 ekor. Pembentukan jumlah individu dalam kelompok tempat tidur tergantung pada keadaan pohon, seperti bentuk percabangan, tinggi pohon, kerimbunan pohon, serta jarak antar pohon (Alikodra 1997).

Bekantan aktif pada siang hari dan umumnya di mulai dari pagi hari untuk mencari makanan. Siang hari bekantan menyenangi tempat yang agak gelap atau teduh untuk beristirahat. Menjelang sore hari, kembali ke pinggiran sungai untuk makan dan memilih tempat tidur. Bekantan pandai berenang menyeberangi sungai dan menyelam di bawah permukaan air.

Persebaran

Ada dua sub spesies bekantan yaitu Nasalis larvatus larvatus dan Nasalis larvatus orientalis, persebaran bekantan di hutan-hutan sekitar muara sungai atau pinggiran sungai di Kalimantan, muara sungai Brunei dan Pulau Sebatik Sabah. Di Kalimantan Selatan, bekantan dapat ditemui di daerah hutan rawa, atau muara dan pinggiran sungai Pulau Kaget dan Pulau Laut. Di Kalimantan Barat satwa ini menempati daerah hutan bakau di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Palung, sedangkan di Kalimantan Tengah dapat di jumpai di Taman Nasional Tanjung Puting, atau di sekitar Sungai Mahakam. Bekantan juga dapat ditemukan di Taman Nasional Kutai serta rawa gambut dan hutan bakau di pantai Kalimantan Timur.

Dari kedua sub spesies bekantan Nasalis larvatus larvatus mempunyai daerah sebaran yang relatif luas, hampir di seluruh Kalimantan, kecuali bagian timur laut, Serawak bagian tengah dan Brunei. Sementara persebaran Nasalis larvatus orientalis hanya terbatas di bagian timur laut Kalimantan. Gambar 4 menunjukkan peta persebaran Bekantan di Pulau Kalimantan.

(9)

Gambar 4 Peta Persebaran Bekantan di Pulau Kalimantan. Titik-titik pada gambar merupakan daerah ditemukannya populasi bekantan, area yang diberi garis adalah daerah yang dilindungi. Angka 1-16 adalah daerah penelitian dari pustaka yang diacu.

sumber: Meijaard dan Nijman (2000)

Reproduksi

Reproduksi adalah suatu kemewahan fungsi tubuh yang secara fisiologi tidak vital bagi kehidupan individual tetapi sangat penting bagi kelanjutan suatu jenis atau bangsa hewan. Bekantan merupakan hewan yang menunjukkan sexual dimorphism yang sangat mencolok. Sexual dimorphism adalah perbedaan sistematis dalam bentuk antara individu-individu dari jenis kelamin yang berbeda dalam spesies yang sama, misalnya warna (khusus disebut sebagai dichromatism sexual), ukuran, dan ada atau tidak adanya bagian tubuh yang digunakan dalam menampilkan perilaku reproduksi atau perkelahian, seperti bulu hias, tanduk, atau taring. Pada bekantan, hewan jantan berbeda sekali dengan betina. Bekantan jantan berukuran lebih besar, hidung yang besar dan suara yang sengau. Alat kelaminnya terlihat jelas berwarna merah dan otot lengan dan pahanya

(10)

berkembang dengan baik. Bekantan betina tetap kecil meskipun sudah dewasa dan mempunyai puting susu yang memanjang.

Perilaku kawin

Bekantan betina mencapai kematangan seksual di alam liar atau habitat aslinya berumur sekitar 5 tahun (Murai 2004). Puncak seksual betina dapat dilihat dari warna alat kelamin menjadi merah muda atau merah (Gorzitze 1996; Murai 2004; 2006). Ada beberapa indikasi musiman reproduksi pada bekantan. Dalam satu populasi di Kalimantan Barat, ada indikasi puncak kawin dipertengahan tahun, tapi kawin terjadi antara bulan Februari dan November. Tingkat kelahiran sering terjadi antara bulan Maret dan Mei, mendekati akhir musim hujan (Rajanthan dan Bennett 1990).

Kopulasi adalah tindakan menaiki betina oleh jantan yang dilakukan pada saat kawin, pada bekantan biasanya terjadi rata-rata sekitar setengah menit (Yeager 1990a; Boonratana 1993; Murai 2004; 2006). Proses kopulasi dilakukan pada saat jantan menaiki betina dari belakang, dan menggenggam betina dengan kaki atau dada (Yeager 1990a; Boonratana 1993). Pada kebanyakan primata kedua jenis kelamin menunjukkan keinginan untuk kawin, tetapi lebih sering terjadi pada jantan. Setiap keinginan untuk kawin tidak selalu diakhiri dengan kopulasi (Murai 2006). Keinginan untuk kawin pada bekantan didahului oleh betina diikuti dengan wajah cemberut, mengeluarkan suara-suara agar didekati lawan jenis, dan melihat kebagian belakangnya. (Hollihn 1973; Rajanthan & Bennett 1990; Yeager 1990a; Boonratana 1993; Murai 2006). Betina kadang-kadang juga akan menggelengkan kepala mereka untuk menunjukkan keinginan kawin (Yeager 1990a; Boonratana 1993). Remaja seringkali mengganggu proses kawin bekantan dewasa (Rajanthan dan Bennett 1990; Murai 2006).

Kebuntingan

Kebuntingan adalah masa persiapan pertumbuhan yang terjadi di dalam uterus dimana perkembangan embrio terjadi pada lingkungan yang stabil pada saat yang sangat rentan. Faktor utama yang mempengaruhi lamanya kebuntingan adalah ukuran tubuh primata tetapi korelasi absolut masih dalam penelitian.

(11)

Sebagai contoh kebuntingan dari marmoset memakan waktu selama 145 hari sementara lemur ruffed yang lebih besar hanya 102 hari, pengecualian lain terjadi pada cercopitecin, talapoi mini yang memiliki masa kebuntingan 196 hari sedangkan babon 177 hari. Bekantan mengalami masa kebuntingan selama 166-200 hari (Napier dan Napier 1985; Bennett dan Sebastian 1988; Ankel-Simons 2007).

Plasentasi

Saat ovum yang telah dibuahi menempel pada dinding uterus, lapis bagian luarnya (korion), sangat kaya oleh vaskularisasi pembuluh darah, menembus jaringan maternal. Plasenta akan berkembang dan berfungsi untuk menyalurkan nutrisi kepada fetus dan membawa keluar kotoran dari fetus menuju sirkulasi maternal. Pada Anthropoide (dan Tarsius), bentuk plasentanya adalah haemochorial, yaitu kapiler dari korion berhubungan dengan pembuluh darah di dinding uterus sehingga membuat kontak langsung dengan darah induk. Karena penggabungan dua sirkulasi diatas membuat kondisi optimum bagi perkembangan fetus. Jalan masuk nutrisi dan pembuangan hasil metabolisme antara kedua sirkulasi ini sangat lamban, yang membuat distribusi nutrisi ke uterus sangat kurang, hal ini dinamakan non-deciduate. Pada tipe plasenta haemochorial, karena fetus bersatu dengan jaringan induk, banyak mukus mebran uterus dikeluarkan bersama dengan plasenta yang dinamakan decidate.

Kelahiran

Pada primata non manusia terdapat beberapa tanda mendekati waktu kelahiran. Stadium persiapan pada monyet sangat pendek sekitar 2 jam dan bayi selalu lahir pada malam hari. Kelahiran nokturnal menguntungkan bagi induk untuk menghindari serangan predator apabila induk tidak mampu bersama kelompok. Kera besar melahirkan pada kapanpun karena tidak ada ancaman serius dari serangan predator (Jolly 1972).

Pada kehidupan arboreal bayi akan lebih cepat dewasa sebelum waktunya karena mereka diahirkan dipohon dan selalu dibawa oleh induk mereka bergelantungan di pohon dan melompat dari satu pohon ke pohon lainnya.

(12)

Kebanyakan primata melahirkan satu anak saja, pengecualian bagi marmoset sejati yang secara alami melahirkan kembar. Perawatan bayi dilakukan oleh kedua orangtua bekantan.

Laktasi

Secara fisiologis laktasi dimulai saat estrogen dan progesteron tertekan, dan hormon laktogenik hipofise mengambil alih (dalam Napier dan Napier 1986). Laktasi bisa berlangsung setelah pertumbuhan gigi susu anak. Masa laktasi pada primata menyebabkan tidak akan terjadinya folikulogenesis dan ovulasi (Mc Nelly 1994) dan primata non manusia menjadi bunting dalam beberapa minggu setelah melahirkan. Pada marmoset ini terjadi karena adanya siklus estrus yang cepat setelah terjadinya kelahiran.

Perilaku Sosial

Masa remaja terjadi setelah pubertas yang ditandai dengan tingkah laku kenakalan remaja. Keberadaan individu menuju dewasa yang matang secara seksual akan memicu agresivitas dan perkelahian di dalam kelompok. Jarang ditemukan mamalia yang soliter. Meskipun beberapa akan menghabiskan waktunya untuk hidup sendirian, jantan dan betina harus bertemu untuk kawin, serta betina dan anaknya harus terus bersama selama laktasi. Pada primata masa pertumbuhan dari anak ke dewasa bergantung pada keterikatan hubungan anak dengan induknya.

(13)

Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Kegiatan studi ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai bulan Agustus 2010, dan bertempat di Taman Safari Indonesia.

Materi dan Metode

Pelaksanaan studi ini dilaksanakan dengan cara :

1. Wawancara dengan dokter hewan dan perawat satwa primata yang bekerja di Taman Safari Indonesia

2. Pengumpulan data primer melalui pengamatan langsung

3. Pengolahan data sekunder dari laporan studbook yang telah dilakukan di Taman Safari Indonesia.

Parameter yang diamati

Parameter yang dikaji dalam studi ini berupa reproduksi bekantan yang meliputi umur dewasa kelamin, lama kebuntingan, dan masa laktasi.

Gambar

Gambar 1   Bekantan jantan dewasa
Gambar 2   (a) Bekantan betina dewasa, (b) Bayi bekantan
Gambar 3   Anatomi Traktus Pencernaan Bekantan
Gambar 4   Peta  Persebaran  Bekantan  di  Pulau  Kalimantan.  Titik-titik  pada  gambar  merupakan  daerah  ditemukannya  populasi  bekantan,  area  yang  diberi  garis  adalah  daerah  yang  dilindungi

Referensi

Dokumen terkait