• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara anggota World Trade Organization (WTO)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara anggota World Trade Organization (WTO)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara anggota World Trade Organization (WTO) terikat untuk tunduk pada persetujuan-persetujuan multilateral terkait perdagangan internasional yang berada di bawah pengaturan WTO. Salah satu persetujuan perdagangan internasional tersebut ialah persetujuan tentang hambatan teknis perdagangan atau Technical Barriers to Trade (TBT) Agreement. Persetujuan TBT mengatur tentang standar, regulasi teknis, serta skema/prosedur penilaian kesesuaian untuk tidak menciptakan hambatan perdagangan yang tidak diperlukan, seiring dengan disepakatinya penurunan tarif perdagangan antar negara di dunia yang tergabung sebagai anggota WTO.5 Persetujuan ini menghormati hak-hak anggota WTO untuk menggunakan standar-standar kelayakan tertentu untuk melindungi manusia, hewan, tumbuhan, kesehatan, lingkungan, dan kepentingan konsumen.6

Persetujuan TBT di sisi lain juga tidak melarang negara anggota untuk membuat kebijakan-kebijakan guna memenuhi standar mereka. Bertujuan untuk mengurangi banyaknya perbedaan kebijakan yang diterapkan, Persetujuan TBT menganjurkan negara-negara anggota untuk mengacu pada standar-standar internasional dalam menyusun kebijakan nasionalnya, tanpa

5 Badan Standarisasi Nasional, “Technical Barriers to Trade”, http://tbt.bsn.go.id/, diakses pada 20

Juni 2016.

(2)

mengurangi tingkat perlindungan yang diberikan.7 Perdagangan internasional tidak jarang menimbulkan permasalahan-permasalahan antar negara terkait regulasi nasional yang diberlakukan yang dianggap merugikan ataupun menyalahi aturan; dalam pembahasan ini aturan yang terdapat pada TBT Agreement. Salah satu permasalahan terbaru pada perdagangan internasional sedang dihadapi Indonesia yang mendapat protes dari Negara Brazil. Brazil telah secara resmi mengadukan Indonesia ke WTO terkait aturan impor daging sapi yang diberlakukan Indonesia. Brazil menilai bahwa kebijakan yang diterapkan Indonesia perihal impor tersebut diskriminatif bagi produk dagingnya.8

Request for Consultations telah diajukan Brazil ke WTO pada tanggal 4 april 2016 dengan kode register Dispute DS506.9 Request for Consultation ini mengutarakan tentang langkah-langkah tertentu yang diberlakukan oleh Indonesia pada impor daging sapi dari sapi spesies Bos taurus, yang selanjunya disebut sebagai daging sapi (bovine meat).10 Brazil menyatakan dalam Request for Consultation tersebut bahwa:

“Indonesia imposes prohibitions or restrictions on the importation of bovine meat through (1) the maintenance by Customs of positive lists that do not include several Harmonized System codes for bovine products; (2) the imposition of quarterly import quotas, randomly defined by the

7 Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan Hak Kekayaan Intelektual Kementerian

Luar Negeri Republik Indonesia, 2010, Sekilas WTO, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 47.

8 Septian Deny, “Brasil Diminta Pahami Kebijakan Impor Daging RI”,

http://bisnis.liputan6.com/read/2481878/brasil-diminta-pahami-kebijakan-impor-daging-ri,

diakses pada 21 Juni 2016.

9 World Trade Organization, “Indonesia – Measures Concerning the Importation of Bovine Meat”,

https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds506_e.htm, diakses pada 21 Juni

2016.

10 Indonesia – Measures Concerning the Importation of Bovine Meat, Request for Consultations by

(3)

Indonesian authorities, which represent a quantitative restriction on the importation of products authorized in the positive lists; (3) discriminatory assignment of the mentioned quota among importers; (4) sanitary measures which are not based on international standards, guidelines or recommendations nor are scientifically justified, and which are also more restrictive than necessary for achieving a given appropriate level of protection; (5) technical regulations applied in a discriminatory manner and (6) non-transparent and restrictive import licensing requirements.”11 Yang artinya:

“Indonesia memberlakukan larangan atau pembatasan impor daging sapi melalui (1) emeliharaan oleh Pabean dari daftar positif yang tidak mencakup beberapa kode Sistem Harmonisasi untuk produk sapi; (2) Pengenaan kuota impor triwulan, yang didefinisikan secara acak oleh pihak berwenang Indonesia, yang mana merupakan pembatasan kuantitatif atas impor produk yang diotorisasi dalam daftar positif; (3) Penetapan kuota yang diskriminatif antara importir; (4) Tindakan sanitasi yang tidak didasarkan pada standar internasional, pedoman atau rekomendasi atau pembenaran secara ilmiah, yang mana lebih ketat daripada yang diperlukan untuk mencapai tingkat perlindungan yang sesuai; (5) Peraturan teknis yang berlaku secara diskriminatif; dan (6) Persyaratan lisensi impor yang tidak transparan dan ketat.”12

Terkait pernyataan Brazil yang menyatakan bahwa peraturan teknis yang berlaku secara diskriminatif, sebagaimana dikatakan pada poin ke lima di atas, Brazil menyebutkan pula bahwa peraturan teknis ini terkait dengan pengaturan halal Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa poin ke lima di atas memang berkaitan dengan pengaturan halal Indonesia. Hal ini sebagaimana disampaikan Brazil dalam Request for Consultations:

“Brazil also understands that Indonesia adopts technical regulations concerning the halal condition of bovine meat which are less-favorable to the products of foreign origin. While Brazil has no issue in what concerns the international standard for halal products in itself, it is concerned with the different treatment bestowed on bovine meat from different origins.”13

11 Ibid., hlm. 1.

12 Ibid. 13 Ibid., hlm. 2.

(4)

Yang artinya:

“Brazil juga memahami bahwa Indonesia mengadopsi peraturan teknis mengenai kondisi halal daging sapi yang kurang menguntungkan bagi produk asal luar negeri. Sementara Brasil tidak memiliki masalah dalam hal apa pun yang menyangkut standar internasional untuk produk halal itu sendiri, ini terkait dengan perlakuan berbeda yang diberikan pada daging sapi dari asal yang berbeda.”14

Direktur Perundingan Multilateral Kementerian Perdagangan, Jully Paruhum, mengatakan bahwa ada sejumlah permasalahan yang dikeluhkan Brazil kepada WTO terkait kebijakan impor daging Indonesia, di antaranya mengenai batasan impor area zona dan mengenai halal.15 Request for Consultation dari Brazil kepada WTO pun juga berisikan pernyataan Brazil bahwa beberapa peraturan perundang-undangan yang diterapkan Indonesia berikut ini dianggap mempengaruhi hak Brazil di WTO, di antaranya ialah:

1. Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

2. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 518 tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal Menteri Agama Republik Indonesia,

3. Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan 4. Undang-undang Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan

5. Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal 6. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor

58/Permentan/PK.10/11/2015 tentang Pemasukan Karkas, Daging, dan/atau Olahannya ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia, 7. Peraturan Menteri Perdagangan No. 70/M-DAG/PER/9/2015, 8. Peraturan Menteri Perdagangan No. 05/M-DAG/PER/1/2016.16

Bertujuan untuk memberi batasan penelitian, maka Penulis dalam penelitian ini mengkhususkan pembahasan mengenai peraturan halal Indonesia, yang mana beberapa peraturan mengenai halal di Indonesia

14 Ibid.

15 Septian Deny, Loc. Cit.

16 Indonesia – Measures Concerning the Importation of Bovine Meat, Request for Consultations by

(5)

dipermasalahkan oleh Brazil bersama dengan peraturan perundang-undangan lainnya, sebagaimana tersebut di atas.17 Pembatasan penelitian terhadap peraturan halal Indonesia ini bertujuan untuk mengetahui apakah benar atau tidak tuduhan Brazil dalam Request for Consultation yang menganggap peraturan mengenai halal Indonesia tersebut inkonsisten,18 dalam hal pemberian label halal ini ialah inkonsisten dengan TBT Agreement.

Brazil melalui Request for Consultations secara keseluruhan yang diajukan, menganggap Indonesia telah inkonsisten terhadap beberapa pasal dalam GATT 1994, SPS Agreement, TBT Agreement, Agreement on Agriculture, dan Import Licensing Agreement.19 Terhadap TBT Agreement, Brazil menganggap Indonesia inkonsisten dengan TBT Agreement pada Article 2.1, 2.2, 2.3, 2.4, 5.1, dan Article 5.2.20 Perihal label, dalam hal ini ialah label halal di Indonesia, jika terkait TBT Agreement dapat ditinjau melalui Pasal 2.1 TBT Agreement dan Pasal 2.4 TBT Agreement.

Ketentuan TBT Agreement di atas, pada Article 2.1 TBT Agreement menyatakan bahwa:

“Members shall ensure that in respect of technical regulations, products imported from the territory of any Member shall be accorded treatment no less favourable than that accorded to like products of national origin and to like products originating in any other country.”21 Yang artinya:

“Anggota harus memastikan bahwa sehubungan dengan peraturan teknis, produk yang diimpor dari wilayah Peserta mana pun harus

17 Ibid.

18 Ibid.

19 Ibid., hlm. 3-4. 20 Ibid.

(6)

diperlakukan tidak kurang menguntungkan daripada yang sesuai dengan produk asal nasional dan menyukai produk yang berasal dari negara lain.”22

Berdasarkan isi dari Article 2.1 TBT Agreement di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Article tersebut mewajibkan apabila berkenaan dengan peraturan teknis, maka terhadap produk impor yang sejenis harus mendapat perlakuan yang sama dengan produk nasional maupun yang berasal dari negara lain.23 Peraturan teknis mengharuskan dokumen dengan penetapan karakteristik produk atau proses terkait beserta metode produksinya. Peraturan teknis ini bersifat mandatory/wajib.24

Berikutnya ialah Article 2.4 TBT Agreement yang juga digunakan dalam meninjau perihal label halal Indonesia, yang berbunyi:

“Where technical regulations are required and relevant international standards exist or their completion is imminent, Members shall use them, or the relevant parts of them, as a basis for their technical regulations except when such international standards or relevant parts would be an ineffective or inappropriate means for the fulfilment of the legitimate objectives pursued, for instance because of fundamental climatic or geographical factors or fundamental technological problems.”25

Yang artinya:

“Apabila diperlukan adanya peraturan teknis sedangkan standar internasional yang relevan sudah ada atau penyelesaiannya sudah dekat, Anggota harus menggunakannya atau menggunakan bagian yang relevan darinya sebagai suatu dasar untuk peraturan teknisnya, kecuali jika standar internasional dimaksud atau bagian yang relevan darinya akan menjadi sarana yang tidak efektif atau tidak sesuai untuk pemenuhan tujuan sah yang ingin dicapai, misalnya karena faktor iklim yang mendasar, atau faktor geografis yang mendasar atau masalah teknologi yang mendasar.”26

22 Ibid. 23 Ibid.

24 Annex 1 of Agreement on Technical Barriers to Trade, Terms and Their Definitions for the

Purpose of This Agreement, Number 1.

25 Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT), Op. cit., Art. 2.4. 26 Ibid.

(7)

Berdasarkan isi Article 2.4 TBT Agreement di atas, maka dapat disimpulkan bahwa apabila diperlukan adanya peraturan teknis sedangkan standar internasional yang relevan sudah ada, maka anggota harus menggunakannya sebagai suatu dasar untuk peraturan teknisnya, kecuali jika standar internasional tersebut tidak efektif atau tidak sesuai.27 Persyaratan mengenai standar ini sendiri berdasarkan TBT Agreement menentukan bahwa standar harus disetujui oleh badan yang diakui, yang mana badan tersebut bertanggung jawab untuk menetapkan aturan, pedoman, atau karakteristik produk atau proses terkait maupun metode produksinya.28 Pemenuhan standar ini bersifat voluntary/sukarela.29 Baik regulasi teknis maupun standar, keduanya juga dapat mencakup perihal istilah, simbol, kemasan, persyaratan pelabelan yang berlaku untuk produk, dan proses atau metode produksi.30

Perihal standar halal yang menjadi syarat dalam pemberian label halal di Indonesia, di satu sisi bukan tidak mungkin berbeda dengan standar yang ditetapkan oleh negara-negara lain, sementara di sisi lainnya juga dapat memiliki kesamaan dengan negala lainnya pula. Hal ini disebabkan karena belum adanya sebuah badan/lembaga sertifikasi halal internasional yang diakui secara keseluruhan oleh negara-negara anggota WTO. Badan/lembaga yang demikian diharapkan untuk mengatur perihal standarisasi halal agar tidak ada lagi perbedaan, sebagaimana International Organization for

27 Ibid.

28 Annex 1 of Agreement on Technical Barriers to Trade, Terms and Their Definitions for the

Purpose of This Agreement, Number 2.

29 Ibid. 30 Ibid.

(8)

Standarization (ISO) yang menangani perihal standar pada barang dan jasa secara umum. Pengaturan standar yang ada pada ISO sendiri telah diadopsi oleh anggotanya yang telah berjumlah 163 badan standar nasional dari berbagai negara.31 Belum adanya badan/lembaga sertifikasi halal internasional yang memiliki kesepahamaan yang sama dalam menginterpretasikan perihal standar itu sendiri, mengakibatkan kebutuhan akan standar halal yang diakui oleh seluruh negara menjadi belum terpenuhi.

Indonesia dengan peraturan mengenai halal yang dimilikinya, di sisi lain telah mendatangkan 300 ton daging sapi beku Australia pada tahun 2016, sebagaimana disampaikan oleh Direktur Utama Perum Bulog di Gudang Bulog Jakarta pada Kamis, 9 Juni 2016.32 Kenyataan ini menunjukkan tanda tanya akan kemungkinan perbedaan perlakuan yang mana Indonesia menolak daging sapi impor dari Brazil akan tetapi mengimpor daging sapi dari Australia. Selain itu, sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa terdapat beberapa peraturan di Indonesia yang mengatur perihal kehalalan turut diajukan keberatan oleh Brazil karena dianggap sebagai pembatasan perdagangan dan distortif pada impor daging sapi.33 Pengajuan keberatan yang turut menyebutkan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur perihal kehalalan tentunya menjadi pertanyaan sendiri mengenai

31 International Organization for Standarization, “About ISO”, https://www.iso.org/about-us.html,

diakses pada 12 Juli 2017.

32 Feby Novalius, “Direstui Jokowi, Bulog siap Impor Daging Sapi New Zealand dan India”,

http://economy.okezone.com/read/2016/06/09/320/1410253/direstui-jokowi-bulog-siap-impor-daging-sapi-new-zealand-dan-india, diakses pada 18 November 2016.

33 Indonesia – Measures Concerning the Importation of Bovine Meat, Request for Consultations by

(9)

pengaturan label halal di Indonesia apakah bertentangan dengan TBT Agreement atau tidaknya.

Daging sapi asal Brazil sendiri telah diekspor ke negara-negara lain, di antaranya ke Brunei Darussalam dan Malaysia yang merupakan dua negara dengan persentase penduduk muslim terbesar kedua dan ketiga di Association of South East Asian Nations (ASEAN) setelah Indonesia. ASEAN sendiri adalah organisasi internasional yang beranggotakan Negara Brunei Darussalam, Cambodia, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.34 Sepuluh negara anggota ASEAN tersebut memiliki keragaman pemeluk agama dan keyakinan, namun hanya ada tiga negara dengan populasi muslim di atas 50% dari jumlah penduduk di negara tersebut.35 Ini berarti ketiga negara tersebut merupakan negara-negara dengan mayoritas muslim di ASEAN. Ketiga negara tersebut ialah Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia.36

Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di ASEAN dengan persentase sebesar 88% dari jumlah penduduknya37. Indonesia walaupun merupakan negara dengan mayoritas penduduknya adalah muslim, namun konstitusi Indonesia tidak hanya menjamin kebebasan beragama bagi pemeluk agama Islam saja. Konstitusi Indonesia menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

34 ASEAN, “ASEAN Member State”, http://asean.org/asean/asean-member-states/, diakses pada

21 Januari 2017.

35 Muslim Population, “Asia Muslim Population in 2014”,

http://www.muslimpopulation.com/asia/, diakses pada 19 November 2016.

36 Ibid. 37 Ibid.

(10)

agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya tersebut.38 Penjaminan bagi setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya tersebut memberikan kewajiban bagi negara untuk memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat.39 Berdasarkan hal itulah, kemudian Pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Berikutnya diikuti oleh Brunei Darussalam sebagai negara dengan populasi muslim terbesar kedua di ASEAN dengan persentase sebesar 67% dari jumlah penduduknya40, sekaligus negara yang memiliki agama resmi Agama Islam.41 Brunei Darussalam sebagai negara dengan agama resminya adalah Islam telah memberlakukan Hukum Syariah Islam sejak tahun 2014 lalu.42 Terakhir ialah Malaysia dengan persentase sebesar 60,4% dari jumlah penduduknya yang merupakan muslim43 sekaligus Islam adalah agama Federasi Malaysia, meskipun agama lain tetap dapat dipraktikkan dalam damai dan harmoni.44 Ini artinya, di Negara Brunei Darussalam dan Malaysia dengan Islam sebagai agama nasionalnya menerapkan aturan Islam dalam berbagai aspek, di antaranya pengaturan mengenai pemberian label halal. Indonesia sendiri meski bukan merupakan negara dengan konstitusi

38 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 29 (2).

39 Lihat bagian Pertimbangan dalam Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan

Produk Halal.

40 Muslim Population, Loc. Cit.

41 Brunei Darussalam’s Constitution of 1959 with Amandments through 2006, Art. 3 (1).

42 BBC News, “Brunei Country Profile”, http://www.bbc.com/news/world-asia-pacific-12990058,

diakses pada 08 April 2017.

43 Muslim Population, Loc. Cit.

(11)

berlandasakan Islam, namun memiliki pengaturan hukum mengenai jaminan produk halal sebagai wujud negara memberikan perlindungan dan jaminan kepada warga negaranya untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya.45

Itulah mengapa Brazil sebagai negara pengekspor daging sapi terhadap Brunei Darussalam dan Malaysia yang merupakan dua negara Islam dengan jumlah penduduk muslim terbesar kedua dan ketiga di ASEAN, keberatan dengan peraturan teknis mengenai kondisi halal terhadap daging sapi yang ditetapkan Indonesia. Selain itu, Indonesia, Brunei Darussalam dan Malaysia merupakan negara-negara anggota WTO dan sama-sama terikat pada TBT Agreement. Sejauh ini Brazil sebagai pengekspor daging sapi ke Negara Brunei Darussalam dan Malaysia tidak pernah mendapat penolakan dari kedua negara tersebut atas daging sapi yang diekspornya dengan standar yang ditetapkan oleh kedua negara tersebut dalam pemberian label halal. Ini terbukti dari tidak pernah adanya aduan protes dari maupun kepada kedua negara tersebut.46 Ekspor daging sapi Brazil sendiri pada periode Januari hingga Juli tahun 2016 telah mencapai 33 ton untuk Negara Brunei Darussalam dan sebanyak 79 ton untuk negara tujuan Malaysia.47 Berbeda dengan Indonesia yang juga memiliki standar sendiri mengenai pemberian label halal, Indonesia justru menolak daging sapi asal Brazil tersebut.48

45 Lihat bagian Pertimbangan dalam Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan

Produk Halal.

46 World Trade Organization, “Disputes by Country/Territory”,

https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/dispu_by_country_e.htm, diakses pada 7 September 2016.

47 Laporan ABIEC (Association of Brazilian beef exporters), periode Januari 2016 – Juli 2016.

48 Akrkhelus, “Indonesia Stop Impor Daging dari Brasil”,

https://m.tempo.co/read/news/2017/03/24/090859155/indonesia-stop-impor-daging-dari-brasil, diakses pada 07 Juli 2017.

(12)

Perihal ketentuan halal ini pun menjadi sangat penting bagi Indonesia sendiri sebab berdasarkan catatan The Pew Forum on Religion & Public Life pada tahun 2010 Indonesia merupakan negara dengan populasi muslim tertinggi.49 Persentase muslim di Indonesia mencapai hingga 12,7 persen dari populasi dunia.50 Jumlah populasi muslim yang tertinggi di dunia ini menjadi salah satu alasan penting untuk menetapkan ketentuan halal yang sesuai dengan kaidah Islam yang diadopsi oleh Indonesia maupun secara internasional, mengingat bahwa Indonesia merupakan salah satu anggota WTO yang terikat pula untuk tunduk pada TBT Agreement.

Keberatan Brazil tersebut sejak diajukannya Request for Consultations kepada WTO pada 4 April 2016 hingga sementara ini masih berstatus dalam konsultasi.51 Indonesia tentu harus bersiap untuk langkah-langkah yang perlu dilakukan terhadap pengajuan keberatan dari Brazil terkait penerapan ketentuan halal yang diterapkan. Hal ini agar di kemudian hari Indonesia tidak dirugikan terhadap hasil yang disepakati melalui tahapan mekanisme penyelesaian sengketa yang disediakan oleh WTO untuk kasus bovine meat dari Brazil. Lebih jauh, perlu diketahui bagi tiap negara yang terlibat dalam mekanisme penyelesaian sengketa ini; baik sebagai pihak penuntut, pihak yang dituntut, maupun pihak ketiga; mengenai pengaturan standar halal dalam pemberian label halal Indonesia sehingga menyebabkan bovine meat dari

49 Angga Indrawan, “Inilah 10 Negara dengan Populasi Muslim Terbesar di Dunia”,

http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/05/27/noywh5-inilah-10-negara-dengan-populasi-muslim-terbesar-di-dunia, diakses pada 28 Juli 2016.

50 Ibid.

51 World Trade Organization, “Dispute by Agreement”,

https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/dispu_agreements_index_e.htm?id=A22#,

(13)

Brazil ditolak, namun diterima oleh Brunei Darussalam dan Malaysia. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Penulis atas dokumen Request for Consultations yang diajukan oleh Brazil ini cukup penting untuk diteliti. Hal ini untuk mengetahui apakah benar atau tidak tuduhan Brazil dalam gugatan bovine meat-nya yang mana mengikutsertakan peraturan mengenai halal Indonesia sebagai bagian dari peraturan-peraturan yang dianggap inkonsistensi dengan TBT Agreement.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka Penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap kasus tersebut di atas, dan membahas permasalahan tersebut dengan judul “Pemberian Label Halal di Indonesia terkait Ketentuan Technical Barriers to Trade (TBT) Agreement oleh World Trade Organization (WTO) (Studi Kasus: Bovine Meat dari Brazil).”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan standar halal dalam pemberian label halal Indonesia sehingga bovine meat dari Brazil ditolak Indonesia, namun diterima oleh Brunei Darussalam dan Malaysia?

2. Apakah pengaturan label halal Indonesia sebagaimana diprotes dalam kasus bovine meat dari Brazil, konsisten dengan TBT Agreement?

(14)

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Obyektif

Secara obyektif, penelitian ini bertujuan untuk:

a. Mengidentifikasi dan menganalisis pengaturan standar dalam pemberian label halal Indonesia sehingga bovine meat dari Brazil ditolak Indonesia, namun diterima oleh Brunei Darussalam dan Malaysia.

b. Mengidentifikasi dan menganalisis apakah pengaturan label halal Indonesia konsisten dengan TBT Agreement.

2. Tujuan Subyektif

Penelitian ini juga dilakukan untuk memperoleh jawaban dari rumusan masalah di atas guna penyusunan penulisan hukum sebagai sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian ini bukan penelitian pertama yang membahas mengenai label halal kaitannya dengan TBT Agreement pada produk daging, namun rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini sangatlah berbeda. Berdasarkan hasil penelusuran judul penelitian yang ditelusuri oleh Penulis, telah ditemukan beberapa judul penelitian hukum terkait label halal maupun TBT Agreement pada produk daging, yakni :

(15)

1. Penelitian pada tahun 2012 di Universitas Gadjah Mada oleh Yosep Sudaryono (NIM: 06/193749/HK/17180); mahasiswa jenjang S1 Ilmu Hukum pada Departemen Hukum Dagang; dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Peredaran Dan Penyediaan Daging ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal) Oleh Unit Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Pertanian Kabupaten Klaten.” Penelitian ini membahas tentang bagaimana bentuk perlindungan bagi konsumen terhadap peredaran daging yang tidak ASUH oleh RPH Dinas Pertanian Kabupaten Sleman, dan upaya apa yang dilakukan oleh konsumen daging ASUH ketika mendapatkan daging yang tidak ASUH.

2. Penelitian pada tahun 2010 di Universitas Gadjah Mada oleh Adib Hasanudin (NIM: 05/185548/HK/16958); mahasiswa jenjang S1 Ilmu Hukum pada Departemen Hukum Dagang; dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Muslim Mengenai Prinsip Halalan Thoyyibah Pada Bahan Daging Ayam Yang Beredar Di Kota Yogyakarta Ditinjau Dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.” Penelitian ini membahas tentang bagaimana bentuk tanggung jawab pelaku usaha dalam memenuhi prinsip halalan thoyyibah pada bahan daging ayam yang dijualnya, bagaimana perann LPPOM-MUI dan Disperindagkoptan Bidang Pertanian Kota Yogyakarta dalam pemenuhan prinsip halalan thoyyibah pada bahan daging ayam yang beredar di Kota Yogyakarta, dan apa saja hambatan yang muncul dalam memenuhi prinsip

(16)

halalan thoyyibah pada bahan daging ayam yang beredar di Kota Yogyakarta.

3. Penelitian pada tahun 2015 di Universitas Gadjah Mada oleh Teti Indrawati Purnamasari (NIM: 08/273356/SHK/00118); mahasiswa jenjang S3 Ilmu Hukum; dengan judul “Pengaturan Bentuk-bentuk Perlindungan Konsumen Dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal dan Tayib di Indonesia.” Penelitian ini berfokus pada bagaimana formulasi bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib di Indonesia.

Penelitian yang telah dilakukan Penulis berbeda dengan ketiga penelitian di atas. Ketiga penelitian di atas belum ada yang membahas mengenai pemberian label halal di Indonesia terkait dengan ketentuan TBT Agreement oleh WTO, dengan membahas studi kasus bovine meat dari Brazil yang masih baru terjadi di tahun 2016 ini. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya dan sesuai dengan asas-asas keilmuan, yakni kejujuran, obyektif, terbuka, dan rasional. Jika ternyata terdapat penelitian serupa di luar sepengetahuan penulis, diharapkan penelitian ini dapat saling melengkapi dan bersifat membangun.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan berupa sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu

(17)

pengetahuan hukum, khususnya dalam hal hukum perdagangan internasional yang berkaitan dengan WTO.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat praktis dengan dapat dijadikannya penelitian ini sebagai bahan masukan dalam rangka menyelaraskan hukum terkait pemberian label halal di Indonesia dengan ketentuan TBT Agreement.

Referensi

Dokumen terkait

(Disertasi – Universitas Airlangga, 2005).48.. Hal ini berarti ada penerimaan dari hipotesis yang diajukan. Menurut hasil anaslisa di atas, impulsif buying mahasiswa

Perbaikan, pemugaran, dan pemeliharaan bangunan gedung dan lingkungan yang harus dilindungi dan dilestarikan harus dilakukan dengan memperhatikan nilai sejarah dan keaslian

9 Helius Sjamsuddin dan Ismaun, Pengantar Ilmu Sejarah.. Tesis ini berbeda dengan skripsi penulis. Tesis ini lebih menonjolkan ke pemanfaatan bangunan indis di

Namun sangat disayangkan dari dulu sampai saat ini belum mampu mencapai target yang harapkan karena selalu dihadapkan pada permasalahan yang sama, yaitu penempatan transmigran

Banyaknya usaha/perusahaan yang telah terdaftar berdasarkan UU No.3 Tahun 1982 di Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan Kabupaten Banggai Kepulauan (termasuk

Jack pemantauan headphone memberikan opsi untuk mendengarkan saluran penerima yang dipilih atau untuk mengakses dan memonitor audio dari perangkat Dante aktif di jaringan Anda.

Berdasarkan gambar 10 dapat diketahui bahwa nilai paling tinggi dalam tingkat kepuasan konsumen dalam pembelian produk kaki naga yaitu nilai 3 dipilih sebanyak

Dari surat dakwaan yang disusun oleh jaksa penuntut umum menunjukkan bahwa pasal 64 KUHP ini relevansinya adalah melihat keterkaitan antara peristiwa tanggal 12 September 1984