• Tidak ada hasil yang ditemukan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Pengantar Bab I. Bab ini menguraikan latar belakang penulis melakukan penelitian dalam tesis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Pengantar Bab I. Bab ini menguraikan latar belakang penulis melakukan penelitian dalam tesis"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Pengantar Bab I

Bab ini menguraikan latar belakang penulis melakukan penelitian dalam tesis ini. Latar belakang tersebut terdiri dari pengalaman penulis, tentang minimnya gerakan oikumene di gereja asal penulis yaitu HKI, yang bertetangga dengan HKBP dan GKPS. Sepanjang pengalaman penulis, ketiga gereja ini tidak mempunyai kerjasama sebagai wujud gerakan kesatuan gereja. Pengalaman ini dikontraskan dengan kebutuhan gereja yang sangat mendesak untuk bergerak bersama, sebagai perwujudan doa Yesus dalam Yohanes pasal 17. Penafsiran Yohanes 17:20-26 sangat relevan terhadap konteks ketiga gereja ini dalam meningkatkan gerakan kesatuan. Teks ini menjadi dasar Alkitab bagi PGI (Persekutuan gereja-gereja di Indonesia) dalam mewujudkan gerakan kesatuan gereja di Indonesia. Penulis sebelumnya telah terlebih dahulu melakukan pra penelitian untuk mendukung proses penelitian ini. Setelah seluruh latar belakang permasalahan diuraikan, bab ini akan menyajikan rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, ruang lingkup dan keterbatasan penelitian, metodologi penelitian, teori yang digunakan, rencana judul dan sistematika penulisan hasil penelitian.

B. Latar Belakang Permasalahan

Tema kesatuan gereja adalah tema yang sangat menarik. Ketertarikan penulis terhadap tema ini muncul ketika penulis mulai mempelajari dialog antar umat beragama di Fakultas Teologi, Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta. Saat itu, penulis mendapat tugas untuk menyajikan tulisan tentang pentingnya berdialog

(2)

2

terhadap agama lain dalam konteks Indonesia yang sangat plural.1 Sejak saat itu, ada

kegelisahan akan kondisi gereja asal penulis sendiri, yang masih sangat tertinggal jauh dalam pelaksanaan dialog antar umat beragama ini. Juga termasuk beberapa gereja yang berdekatan dengan gereja asal penulis. Sulit membayangkan gereja untuk berdialog dengan agama lain, jika untuk sesama gereja saja tidak ada dialog dan relasi sama sekali. Dengan kata lain, bagaimana mungkin gereja bisa berdialog dengan agama lain jika antar gereja saja belum bersatu.

Gereja asal penulis adalah Huria Kristen Indonesia (HKI). Sejak kecil, bersama dengan orangtua, penulis berjemaat di gereja HKI Panei Tongah, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Di areal yang saling berdekatan berdiri tiga bangunan gereja yaitu Gereja HKI Panei Tongah, berdekatan dengan HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Panei Tongah yang berjarak 100 meter ke arah Utara, GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) Panei Tongah berjarak 200 meter ke arah Barat. Penulis sebagai salah seorang anggota jemaat HKI, mengamati bahwa gereja-gereja yang saling berdekatan ini telah melaksanakan program pelayanannya masing-masing, namun tidak pernah bekerjasama sebagai wujud penghayatan kesatuan gereja.

Semasa kecil, penulis memiliki pengalaman yang menambah kegelisahan, sehubungan dengan relasi antar gereja. Ketika bersama-sama berangkat ke sekolah minggu, penulis dan teman-teman, saling mengejek gereja masing-masing sepanjang perjalanan. Anak-anak dari gereja HKI akan mengejek pendeta HKBP dengan

membuat kepanjangan dari HKBP.2 Sebaliknya anak-anak dari HKBP tidak mau

1 Indonesia terdiri dari beragam suku, etnis, budaya, tradisi agama dan kepercayaan. Inilah realitas

Indonesia yang sangat plural. Indonesia terdiri dari 17.5041 pulau, terdiri dari 740 suku bangsa (etnis)

dan terdiri dari 583 bahasa daerah. Selain itu, agama dan kepercayaan juga sangat beragam. Lihat www.wikipedia.indonesia, diunduh September 2011.

2 Kepanjangan yang dipakai untuk mengejek misalnya HKBP disebut “Hutunjang Kursi Balik

Pandita” yang artinya, Jika kursi ditendang maka pendeta HKBP akan terbalik atau terjungkal. Sebaliknya HKI disebut “Hurang acang Inang?” artinya ibu-ibu HKI kekurangan kacang. Masih banyak ejekan-ejekan lain yang saling dilontarkan oleh anak-anak, tujuannya hanya satu, merendahkan gereja lain di luar gerejanya. Ada pemahaman bahwa hanya gerejanyalah yang paling baik.

(3)

3 kalah, mereka juga membuat kepanjangan dari HKI sebagai ejekan. Tidak pernah terpikir mengapa ada tindakan saling mengejek, padahal tidak pernah diajari orangtua untuk melakukan tindakan tersebut, namun itulah yang terjadi. Yang lebih menarik lagi adalah bahwa, kepanjangan dari HKBP dan HKI yang dipakai sebagai ejekan tersebut, sudah ada dari generasi-generasi sebelumnya.

Mungkin sebagian orang akan mengatakan “namanya juga anak-anak, saling mengejek seperti itu sudah biasa”. Semasa kecil, kisah ini juga tidak bermakna apa-apa bagi penulis. Tetapi menjadi berbeda setelah penulis mencoba berefleksi dari pengalaman tersebut. Bagaimana mungkin anak-anak kecil saling mengejek sampai sedemikian, jika tidak ada sesuatu dibalik itu? Kenyataannya, setelah 20 tahun lebih

berlalu, kebiasaan saling mengejek tersebut belum berubah juga.3 Dari kebiasaan

tersebut, ada kecenderungan menganggap gereja lain berbeda, bahkan lebih buruk. Sikap ini membuahkan miskinnya relasi antar gereja bahkan dalam jemaat untuk kategorial anak-anak.

Sepanjang pengalaman penulis sejak sekolah minggu, remaja, katekisasi Sidi dan akhirnya menjadi pemuda, dalam rentang waktu tersebut, penulis tidak menemukan adanya kerjasama atau program pelayanan bersama, yang menggambarkan relasi antara HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah, yang saling berdekatan ini. Keadaan ini tentu saja sangat berlawanan dengan semangat kesatuan gereja yang seharusnya diwujudkan ketiga gereja ini.

Konsep kesatuan gereja sendiri, di Indonesia dibicarakan dalam terminologi

oikumene. Kata ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yakni dari kata όικος

yang berarti "rumah" dan μενειν yang berarti "mendiami", “menghuni” atau "tinggal",

3 Ketika liburan, penulis selalu menyempatkan diri mengajar sekolah Minggu, ternyata kebiasaan saling

mengejek tersebut masih penulis temukan sampai sekarang ini.

(4)

4 sehingga secara etimologi oikumene berarti mendiami rumah atau tempat tinggal

secara bersama.4 Chris Hartono mengatakan,

“..gerakan ekumenis berarti gerakan yang bersangkut-paut dengan ekumene, atau gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan dan menghayati keesaan gereja-gereja. Dengan perkataan lain dapat diungkapkan bahwa gerakan ekumenis adalah usaha gereja-gereja dalam mewujudkan keesaannya di dunia ini supaya hakekatnya yang asasi itu, yakni selaku gereja Kristus yang esa itu,

dapat dihayati dan dinampakkan dengan jelas”.5

Dari kutipan di atas, gereja harus bersama-sama bergumul sampai mencapai keesaan Injil melalui sikap, kegiatan dan aktifitasnya, untuk membuktikan keesaan

yang asasi dalam dunia pada masa kini. Pengertian oikumene6 tersebut dapat kita

maknai sebagai gerakan kesatuan atau kerjasama sebagai dinamika gereja Yesus Kristus dalam mewujudkan iman dan panggilannya di tengah-tengah dunia dimana gereja berada. Eka Darmaputera mengatakan,

“…Gereja yang satu itu baru mempunyai artinya di tengah-tengah gejolak dunia ini. Oikumene bukanlah hendak mempersatukan dan kemudian mengasingkan gereja, tapi mempersatukan untuk mengarungi dunia ini. Ia tidak boleh tinggal sebagai cita-cita yang mengawang atau rumusan-rumusan teologis yang abstrak, tapi harus menemukan maknanya di tengah-tengah dunia nyata setiap saat dan di setiap tempat.

..Oikumene karenanya bukanlah sekedar suatu keadaan tetapi harus merupakan suatu gerak yang aktif dan dinamis. Suatu gerakan karena dunia

juga terus bergerak. Di dalam Kristus, dunia sekaligus jalan juga tantangan”.7

Dari pernyataan di atas, jelas mengatakan bahwa gerakan kesatuan itu bukan sekedar kegiatan semata di dunia, tetapi harus bermakna. Dunia dimana gereja berada, adalah

4 Chris Hartono, 1984, Gerakan Oikumenis di Indonesia, PPIP UKDW, hal 1. 5 Ibid, hal 2.

6 Para ahli sejarah gereja memilih konferensi Pekabaran Injil Sedunia di Edinburgh 1910, sebagai titik

mula lahirnya gerakan oikumene Internasional. Walaupun sebenarnya gerakan oikumene sudah dirintis pada zaman Reformasi bahkan sebelumnya, di mana gereja-gereja di Eropa mulai mengadakan pendekatan untuk mewujudkan kesatuannya Tetapi jika diselidiki lebih jauh, sebenarnya sebelum konferensi Edinburgh 1910, pergerakan oikumene baru dirintis oleh beberapa negara dan belum dalam kategori Internasional. Barulah pada konperensi Edinburgh dikatakan Internasional, karena terdiri dari berbagai negara di dunia dan diikuti oleh 1200 delegasi dari 159 badan misi. Salah satu yang berhasil disimpulkan dalam konferensi itu yakni mengenai kerja sama dan pemupukan keesaan.6 Hal ini juga membawa gereja yang muda untuk memikirkan ke arah gereja yang dewasa. Hal-hal ini penting bagi gerakan keesaan gereja di kemudian hari, khususnya untuk gereja-gereja di Indonesia yang masih muda pada waktu itu.

7 Eka Darmaputera, 1974, Berbeda Tapi Bersatu, BPK Gunung Mulia, hal 34-37.

(5)

5 dunia yang terus bergerak, oleh karena itulah gereja harus bergerak dinamis. Di dalam Kristus, dunia sekaligus adalah jalan dan tantangan. Gereja perlu sadar bahwa dunia sedang menantang gereja itu sendiri untuk menyatakan keesaannya di dalam

usaha persekutuan, kesaksian dan pelayanannya.8 Gerakan kesatuan adalah

keprihatinan terhadap dunia, dimana kesatuan tersebut tidak menghasilkan persekutuan yang terasing dan eksklusif. Persekutuan tersebut di satu pihak didorong oleh karya Kristus yang mempersatukan, dan di pihak lain didesak oleh dunia yang menuntut gereja melakukan panggilannya menjadi nyata.

Abineno mengatakan, gerakan keesaan mencakup dua hal mendasar, yaitu pertama pewujudan diri gereja Yesus Kristus yang esa di dalam iman dan tugas

panggilannya di dunia.9 Kedua, panggilan untuk mempersatukan gereja yang telah

terpisah-pisah oleh perbedaan budaya, bahasa, ajaran, dan organisasi, agar gereja tetap esa di dalam Yesus Kristus. Dengan demikian, gerakan keesaan tidak hanya menekankan kesatuan lahiriah dan organisatoris, melainkan kesatuan dalam pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat dunia. Juga kesatuan dalam panggilan untuk melayani dunia ini dengan berlandaskan kasih. Dengan pemahaman ini, gereja-gereja yang berbeda seharusnya saling menerima perbedaan dan saling berrelasi atas dasar Iman kepada Kristus. Relasi tersebut ditujukan untuk menyatakan kasih Kristus dalam pelayanan yang nyata bagi orang-orang dalam dunia ini. Eka Darmaputera mengatakan,

“…Bayangkan sebuah proyek oikumenis! Dari luar, ia bisa memberi kesan yang menawan. Tapi sebenarnya yang terjadi di dalamnya, adalah suatu kerjasama untuk satu tujuan, ataukah suatu kerjasama untuk mencapai tujuan masing-masing? Janganlah kita menolak kegiatan-kegiatan oikumenis! Mau tak mau, kesadaran oikumenis memang harus melahirkan kegiatan-kegiatan nyata. Tapi janganlah mengartikan oikumene sekedar sebagai aktiftas. Sebab kalau begitu, ia hanya menjadi pakaian mentereng dalam sebuah pameran

8 Eka Darmaputera, Berbeda Tapi Bersatu, hal 37.

9 J.L. Ch. Abineno, 1984, Oikumene dan gerakan Oikumene, BPK Gunung Mulia, hal 10.

(6)

6 mode. Indah dipandang tetapi tidak cocok untuk dikenakan sehari-hari. Tidak mungkin tidak, oikumene memang harus mulai dari proses penyadaran. Dan kemudian bersedia untuk bergulat dalam proses yang panjang untuk

mengubah sikap serta keyakinan”.10

Mencermati pendapat Eka Darmaputera di atas, gerakan oikumenis diawali dengan kesadaran akan pentingnya gerakan tersebut. Kesadaran akan dilanjutkan dengan adanya bukti konkret dengan kegiatan-kegiatan oikumenis, untuk tujuan bersama. Gerakan itu bukanlah gerakan bersama untuk tujuan sendiri-sendiri. Dalam kenyataan hidup bergereja, ada atau tidaknya gerakan kesatuan yang diupayakan oleh sebuah gereja, akan terlihat dalam program-program yang disusun gereja tersebut. Jika gereja sadar akan pentingnya kesatuan, maka di dalam kesadaran akan diciptakan kerjasama dengan gereja-gereja lain khususnya relasi dengan gereja tetangga. Sejauh mana gereja mengangap penting kerjasama itu, maka akan terlihat pada program pelayanan yang akan dilaksanakan secara konkret dan rutin.

Dari beberapa pendapat beberapa di atas, dapat disimpulkan bahwa betapa pentingnya gereja-gereja bersatu. Emanuel Gerrit Singgih mengatakan pendapat senada, bahwa kebersamaan gereja-gereja merupakan suatu dimensi eklesiologis yang

tidak bisa diabaikan.11 Pemahaman akan kebersamaan ini harus terus dimasyarakatkan

sehingga tidak sekedar konsumsi akademis saja. Gereja-gereja perlu bersama-sama bergerak dalam aksi untuk mengatasi masalah-masalah keadilan, kemiskinan, perdamaian dan keutuhan ciptaan di dunia ini, bahkan dalam aras jemaat. Gerakan tersebut terlihat dalam satu iman, satu persekutuan, dan dinyatakan dalam ibadah, dalam kehidupan bersama dengan tujuan "supaya dunia percaya" sebagaimana Yesus berdoa bagi para pengikutNya (Yohanes17:21).

10 Eka Darmaputera, Berbeda Tapi Bersatu, hal 58-59.

11 Emanuel Gerrit Singgih, 2000, Berteologi dalam Konteks, BPK Gunung Mulia, hal 222-228.

(7)

7 Yohanes 17:20-26 adalah dasar Alkitab yang dipakai Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, dalam perwujudan gerakan kesatuan Gereja di Indonesia. Yesus sebagai anak Allah adalah pokok perhatian khas dalam Injil Yohanes. Beberapa kali Yesus ditampilkan dalam hubungan keAnakanNya dengan Bapa. Rencana penyelamatan diberlakukan oleh Bapa melalui Anak. Karena kasih Karunia untuk dunia, maka Allah mengaruniakan AnakNya (3:16). Pasal 13 sampai dengan pasal 17 adalah kisah Yesus, khusus bersama dengan murid-muridNya. Kisah ini merupakan satu rangkaian acara perpisahan sebelum Yesus ditangkap. Setelah pembasuhan kaki di pasal 13 berlanjut pada wejangan perpisahan. Pasal 17 adalah doa Yesus sebagai penutup dari seluruh acara perpisahan itu.

Isi doa Yesus terdiri dari pertama untuk diriNya sendiri, kedua doa Yesus untuk muridNya, dan ketiga doa Yesus untuk Gereja. Doa Yesus untuk Gereja tentu bisa diperluas, mencakup semua orang yang percaya dan yang akan percaya kepada Kristus melalui kesaksian para murid nantinya. Ungkapan “supaya mereka menjadi

satu” adalah pernyataan kesatuan, tidak membedakan antara mereka yang telah

mendengar Firman dari Yesus secara langsung atau mendengarNya melalui orang lain. Kesatuan itu digambarkan dalam kesatuan Bapa dan Anak serta dipertahankan dengan tinggal tetap dalam Bapa dan Anak. Tujuan dari kesatuan ini adalah supaya

dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.

Pesan dari teks inilah yang ditegaskan dalam Dokumen Keesaan Gereja (DKG) PGI. Setiap gereja adalah bagian dari gereja yang esa, kudus, am dan rasuli dan bahwa semua gereja di segala jaman dan tempat terpanggil untuk melaksanakan

tugas panggilan gereja yang sama dan satu, yaitu memberitakan Injil.12 Gereja-gereja

di seluruh dunia bertanggungjawab melaksanakan tugas panggilan itu di dalam

12 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 2010, Dokumen Keesaan Gereja, PGI, hal 57.

(8)

8 persekutuan dan kerjasama serta saling menghormati dan menghargai keberadaan masing-masing. Di dalam mengemban panggilan oikumene semesta, maka hubungan dan kerjasama perlu terus dibina. Dokumen Keesaan Gereja (DKG) PGI menguraikan, bahwa mempersatukan gereja artinya:

1. Memenuhi apa yang tertulis dalam Yohanes 17:21, yaitu menampakkan keesaan yang telah ada dalam Tuhan, yang satu secara nyata, sehingga dapat dilihat oleh dunia sebagai kesaksian. Hal itu berarti bahwa keesaan gereja tidak hanya dalam arti rohani saja, melainkan juga dalam bentuk yang nyata bagi dunia.

2. Keesaaan gereja perlu mengambil bentuk-bentuk yang terdapat dalam dunia. Gereja-gereja di Indonesia mula-mula lahir dalam bentuk keesaan di kalangan kehidupan suku-suku dan daerah tertentu. Sekarang ini, gereja-gereja kita sedang berusaha keras untuk mewujudnyatakan keesaan gereja di tengah-tengah kehidupan bangsa Indonesia.

3. Namun demikian, di sisi lain hakikat dan pola keesaan gereja tidak sama dengan hakikat dan pola kesatuan yang terdapat dalam dunia. Sebab keesaan gereja itu adalah keesaan yang sama dengan keesaan Allah dalam Bapa, Anak dan Roh Kudus, keesaan relasional yang sinergis.

4. Struktur keesaan gereja itu tidak disusun atas kekuasaan seperti yang terdapat di dalam dunia, melainkan atas persekutuan, pelayanan dan kasih. Struktur keesaan itu harus menjamin efisiensi dalam memahami dan menjalankan tugas panggilan bersama. Sehubungan dengan itu keesaan gereja harus berakar pada warga jemaat sehingga keesaan itu tidak sekedar dilihat sebagai masalah kelembagaan tetapi adalah pangilan menyeluruh bagi semua orang percaya.

5. Mempersatukan gereja-gereja di Indonesia yang dulu lahir dan tumbuh terpisah-pisah dan tersendiri-sendiri, tidak berarti menghilangkan segala anugerah dan karunia yang telah diterima dari Tuhan dalam sejarah gereja-gereja itu, dalam kerangka keesaan yang lebih besar sebagai kesaksian di tengah-tengah bangsa Indonesia. Itu berarti bahwa dalam kerangka keesaan itu terjamin adanya ruang gerak bagi keanekaragaman. Dalam kenyataan itu,

bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan harus dijunjung tinggi. 13

Mengacu pada pemaparan dari DKG PGI, sangat jelas bahwa kesatuan gereja harus direaliasasikan dalam bentuk yang konkret, dalam aksi yang dinamis seiring dengan konteks jaman yang terus dinamis pula. Dari berbagai pemahaman akan kesatuan gereja yang sudah diuraikan di atas, penulis kembali teringat dengan gereja HKBP, HKI dan GKPS terutama di Panei Tongah yang belum melaksanakan

13 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Dokumen Keesaan Gereja, hal 52-53.

(9)

9 kerjasama untuk tujuan bersama. Yohanes 17:20-26 menyerukan agar gereja-gereja berrelasi dengan konkret. Dengan demikian, studi terhadap Yohanes 17:20-26 sangat relevan bagi HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah, sehingga sumbangan pemikiran dari teks ini dapat merealisasikan perwujudan kesatuan yang relevan bagi ketiga gereja. Penafsiran akan diuraikan dalam bab 3 dari tesis ini.

Untuk mengawali penelitian dalam tesis ini, penulis telah melakukan pra-penelitian, dengan memulai percakapan dengan guru jemaat dari ketiga gereja ini. Adapun fokus percakapan penulis dalam pra penelitian ini adalah mengumpulkan informasi awal dari ketiga penanggungjawab gereja yaitu guru jemaat, tentang pemahaman dan pandangan mereka akan gerakan kesatuan gereja. Penulis mencoba menggali, sejauh mana gereja tersebut sudah melaksanakan gerakan kesatuan tersebut secara nyata, dengan melihat ada tidaknya kerjasama dengan gereja tetangga. Berikut penulis akan memaparkan pra-penelitian yang penulis lakukan terhadap ketiga gereja ini.

Secara umum, hasil percakapan dalam pra penelitian yang dilakukan oleh penulis, ketiga guru jemaat HKI, HKBP dan GKPS Panei Tongah, mengatakan, bahwa belum pernah ada kerjasama selama ini. Dalam percakapan, ada kesan, bahwa ketiga guru jemaat ini sebenarnya memahami bahwa gereja harus bersatu, namun pada kenyataannya belum ada realisasi dari pemahaman tersebut. Dalam percakapan dengan Guru jemaat GKPS mengatakan,

“..Gerakan kesatuan itu penting, tapi bagaimana membuat itu kalau yang lain tidak mau kerjasama? Di sini kita sangat terbuka untuk kerjasama dengan HKI, HKBP bahkan GPDI yang dekat juga di jalan Parsaguan sana. Tapi masih sulit. Dulu kita sudah pernah bicarakan itu, beberapa tahun lalu ada wadah untuk itu. Tapi beberapa tahun ini tidak ada lagi kabarnya. Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing, ya, beginilah akhirnya. Program tukar mimbar itu bukan hal baru sebenarnya di GKPS. Di tempat-tempat lain GKPS sudah melakukan itu, tapi di kampung kita ini masih sulit. Kalau sudah bicara kerjasama, langsung berpikir “Apa untungnya untuk aku?” jadi susah…dan sepertinya ada kecurigaan kalau sudah dibilang mau kerjasama.

(10)

10 Tukar mimbar itu sudah dari beberapa tahun lalu kita pikirkan, tapi gak jalan..yaitu, susah…kalau gereja yang kita ajak tidak mau, mana bisa? HKI sih mau, tapi yang lain tidak mau…gereja paling besar juga tidak mau…Bukan

kita yang tidak mau kerjasama….”14

Dalam percakapan di atas, ternyata tukar mimbar15 adalah salah satu program

yang sudah mereka pikirkan untuk menjalin relasi dengan gereja tetangga, yaitu HKI dan HKBP bahkan gereja lain, namun pada akhirnya pemikiran itupun masih sebatas wacana. Dalam program tahunan, GKPS telah mencanangkan adanya kegiatan oikumene melalui program tukar mimbar. Dari pihak GKPS sendiri, ada keterbukaan yang cukup baik untuk mewujudkan kesatuan gereja dengan rencana tersebut Tetapi lebih jauh, pihak GKPS merasa bahwa ada kendala untuk mewujudkan hal tersebut. Salah satunya adalah, kurangnya antusiasme gereja tetangga ketika ide itu disampaikan, secara khusus dari gereja terbesar di Panei Tongah, yaitu HKBP. Relasi GKPS dengan gereja HKI, cukup baik, termasuk rencana tukar mimbar ini direspon dengan baik oleh gereja HKI. Namun berbeda dengan respon dari HKBP. Karena kondisi inilah, pihak GKPS sendiri mengurungkan niatnya untuk merealisasikan rencana tukar mimbar tersebut.

Dalam percakapan berikutnya, Guru jemaat HKI mengakui, bahwa perwujudan kesatuan gereja itu penting, namun belum pernah terwujud dalam satu program konkret apapun.

“..Oh..kesatuan gereja? Iya, memang penting itu, tapi teori ajanya itu..karena susah melaksanakannya. Lihat aja, di sini kita dekat-dekatan tapi gak pernah ada kerjasama, itulah saking sulitnya. Semua tahu kalau itu penting dan harus dilakukan sebenarnya, tapi mana buktinya? Jadi memang masih cuman teori saja itu. Kalau untuk program tukar mimbar, bagus memang, kitapun sudah pernah membahas itu, tapi kalau untuk GKPS pasti maulah, kita dengan GKPS sama. Tapi untuk HKBP belum tentu mau. Susah disini, kalau kita yang

14 Percakapan dengan Bapak Purba, seorang camat dan sekaligus guru jemaat di GKPS Panei Tongah. 15Tukar mimbar sering juga disebut pertukaran pelayan gerejawi, yaitu sejenis kegiatan kerjasama antar

gereja, dimana pelayan gereja yang satu, melayani di gereja yang lain dan sebaliknya. Misalnya pelayan gereja HKBP melayani di gereja HKI dan sebaliknya. Pelayan gereja mencakup pendeta, guru jemaat dan penetua. Jadwal pertukaran pelayan ini dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan gereja-gereja yang bekerjasama tersebut.

(11)

11 kecil ini yang bikin, pasti gereja yang besar itu tidak mau ikut. Harus mereka duluan yang menggagas baru mereka mau ikut. Berapa kali ada kegiatan bersama dari kecamatan, kalau HKBP tidak ikut menggagas dari awal, pasti mereka gak ikut. Kalau sudah begini kan susah…Jadi program tukar mimbar itu belum pernah kita buat jadinya. Kerjasama yang lain pun belum pernah ada, paling Natal bersama dan paskah, itupun karena kita semua dapat surat dari kecamatan. Belum taulah kapan tukar mimbar dengan gereja tetangga itu bisa kita lakukan…tapi kita ingin kok melakukan itu, tapi memang sekarang

masih sulit”.16

Dari percakapan di atas, bagi guru jemaat HKI, kesatuan gereja tersebut masih hanya sebuah teori saja. Ketika isu program tukar mimbar menjadi diskusi diantara gereja-gereja tetangga, pendapat gereja HKI hampir sama dengan GKPS. Mereka setuju bahwa kesatuan harus diwujudkan dengan menciptakan relasi dan kerjasama antar gereja tetangga. Namun, sekali lagi, pihak HKI dengan berani mengatakan bahwa ada arogansi dari HKBP sebagai gereja terbesar untuk menolak program semacam itu. Menurut pihak HKI, program tukar mimbar tersebut sudah sejak beberapa tahun yang lalu digagas, namun dalam realisasinya sangat sulit, karena dari pihak HKBP sendiri tidak antusias dengan program tersebut.

Percakapan dengan guru jemaat HKBP terjadi beberapa kali. Secara pribadi, penulis tidak menemukan arogansi dari beliau. Inilah perkataan dari beliau,

“..iya..iya..kesatuan gereja itu memang penting. Tapi harus ada wadahnya. Penting itu, kalau ada wadah yang mengatur kan baru bisa berjalan kerjasama itu. Tukar mimbar?apa itu?oh iya…bagus memang itu…tapi ya susah. Di Panei Tongah ini masih susah. Orang-orang belum terbuka pikirannya. Kalu saya bikin nanti program baru seperti itu, saya yang disalahkan Sintua dan jemaat, jadi harus berhati-hati dalam membuat satu kegiatan baru. Di Kampung ini masih susah, kalau saya undang pendeta lain kotbah disini, jemaat bisa marah. Mereka akan bilang “memangnya pendeta kita mana? Kalaupun pendeta di sini berhalangan, belum tentu jemaat di sini mau kalau yang khotbah dari gereja lain. Kalau saya bilang pendeta kita sakit atau berhalangan pasti jemaat akan bilang “memangnya gak ada pendeta HKBP terdekat yang bisa diundang?” yang begini-begini yang susah ito….gak bisa sembarangan walaupun itu baik. Semua harus ada aturannya, kekmana

16 Percakapan dengan Guru Jemaat HKI , Bapak Siahaan, sebelum menjadi guru jemaat di HKI, pernah

menjadi guru jemaat di HKBP. Sejak masa perpecahan di tahun 90-an, beliau pindah ke HKI dan menjadi guru jemaat di HKI.

(12)

12 dibuatnya. Apalagi di kampung ini, masih tertutup pikiran di kampung

ini…kalau bisa, ya bagus…”17

Selama percakapan, kesan yang diperoleh penulis adalah, HKBP juga menyadari pentingnya kesatuan gereja, tetapi harus dipikirkan bagaimana pelaksanaan secara teknis di lapangan. Ketika sampai pada diskusi tentang program tukar

mimbar,18 beliau mengatakan rencana itu baik, tetapi belum tentu bisa direalisasikan

di HKBP. Menurut beliau, jemaat HKBP Panei Tongah belum siap menerima keadaan jika pendeta dari gereja lain yang berkotbah di HKBP. Jadi seakan-akan ada hukum tidak tertulis, bahwa di gereja HKBP, hanya pendeta dari HKBP saja yang diijinkan berkotbah, dari gereja lain tidak diperbolehkan. Jika ada kejadian-kejadian yang darurat yang membutuhkan pendeta di HKBP Panei Tongah (jika pendeta HKBP Panei Tongah berhalangan) maka lebih baik menunggu pendeta HKBP dari wilayah lain yang jaraknya jauh daripada mengundang pendeta HKI atau GKPS yang hanya berjarak beberapa ratus meter.

Berdasarkan percakapan dalam pra penelitian terhadap tiga guru jemaat di atas, penulis menemukan, program tukar mimbar adalah satu-satunya program yang telah dipikirkan oleh ketiga gereja ini, dalam 2 tahun terakhir sebagai perwujudan kesatuan gereja. Namun belum pernah terrealisasi. Dari hasil pra-penelitian ini, muncul pertanyaan-pertanyaan dalam benak penulis. Ketiga pemimpin gereja ini sadar bahwa kesatuan itu penting dan harus direalisasikan, tetapi mengapa dalam puluhan tahun sejak gereja tersebut bertetangga, belum juga ada realisasi? Mengapa ada keengganan dari ketiga gereja tersebut untuk saling bertemu, berdialog dan melakukan program bersama untuk tujuan bersama?

17 Guru Jemaat HKBP, Bapak Silalahi ini sudah hampir pensiun, Desember 2011 sudah pensiun dari

pelayanan sebagai guru jemaat, jadi beliau ini sudah sangat lama melayani di HKBP.

18 Penulis membahas isu ini karena sudah ada informasi dari guru jemaat GKPS dan HKI dalam

percakapan sebelumnya, tentang rencana ketiga gereja ini untuk bekerjasama melalui program tukar mimbar.

(13)

13

C. Rumusan Masalah

Kegelisahan penulis dari pengalaman di masa lalu, hasil pra penelitian yang menunjukkan minimnya perwujudan kesatuan, serta sumbangan pemikiran dari studi tafsir Yohanes 17:20-26 yang masih relevan bagi ketiga gereja, hal inilah yang mendorong penulis melakukan penelitian di gereja HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah. Dengan demikian, permasalahan dalam penelitian dirumuskan demikian: 1. Bagaimana pemahaman HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah tentang kesatuan

gereja?

2. Kesatuan gereja yang bagaimanakah yang relevan bagi konteks HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah menurut Yohanes 17:20-26?

D. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan :

1. Mengetahui pemahaman HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah tentang kesatuan gereja dan bagaimana perwujudan kesatuan tersebut .

2. Menemukan pemahaman kesatuan gereja yang relevan dari pembacaan Yohanes 17: 20-26 terhadap ketiga konteks gereja.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat berguna bagi HKBP, HKI, dan GKPS Panei Tongah sebagai evaluasi pelayanan selama ini. Sebagai gambaran sejauh mana gereja sudah mewujudkan gerakan kesatuan, melalui kerjasama dengan gereja tetangga. Hasil penelitian melalui penafsiran Yohanes 17:20-26 menjadi sumbangan pemikiran untuk perwujudan kesatuan bagi HKBP, HKI, GKPS Panei Tongah bahkan gereja-gereja di Indonesia.

(14)

14

E. Ruang Lingkup dan Keterbatasan

Pengertian gerakan oikumene dalam tesis ini, dibatasi dalam gerakan oikemene yang sempit yaitu panggilan untuk mempersatukan gereja-gereja yang telah terpisah-pisah oleh perbedaan budaya, bahasa, ajaran, dan organisasi, agar gereja tetap esa di dalam Yesus Kristus. Sebagai perwujudan dari pemahaman tersebut, gereja-gereja yang berbeda, akan saling bekerjasama untuk tujuan bersama. Kriteria perwujudan kesatuan gereja dalam tesis dibatasi pada ada tidaknya kerjasama dari gereja-gereja yang berbeda.

Kerjasama tersebut akan tercermin dalam program pelayanan yang direncanakan dan dilaksanan secara rutin dalam gereja tersebut. Penelitian ini dibatasi dalam ruang lingkup tiga gereja yang saling berdekatan yaitu, gereja HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah. Penulis membatasi penafsiran pada Yohanes 17:20-26, dalam menemukan kesatuan yang relevan bagi HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah.

F. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Data penelitian akan diperoleh dengan pengamatan langsung dan pembagian kuisioner kepada Sintua dan jemaat yang aktif melayani. Wawancara dilakukan dengan pimpinan dan pengambil keputusan yaitu guru jemaat dan pendeta. Sementara itu, penelitian pustaka dan tafsir dilakukan untuk memahami dan mendalami makna kesatuan gereja melalui studi naratif terhadap Yohanes 17:20-26.

G. Teori yang Digunakan dalam Penafsiran

Penulis akan menggunakan metode penafsiran narasi dalam menafsir Yohanes 17 : 20-26. Pendekatan narasi adalah pendekatan yang lahir dari perkembangan

(15)

15

pendekatan literer pada era awal tahun 70-an.19 Pendekatan narasi berbeda dengan

historis kritis. Jika historis kritis lebih berpusat pada sejarah penyusunan teks, maka pendekatan ini berpusat pada teks dan menekankan kesatuan pada teks secara keseluruhan. Jika dalam pendekatan historis kritis teks dianggap sebagai jendela, dalam pendekatan narasi, teks dianggap sebagai cermin. Pokok yang paling utama dalam pendekatan ini adalah tentang siapa pembaca tersirat, sebagaimana diandaikan dalam teks itu sendiri. Sementara pengarang dan pembaca nyata justru ada di luar teks. Tujuan dari pendekatan naratif adalah mencoba membaca teks seperti pembaca

tersirat diharapkan membacanya.20

Dalam pendekatan ini penting sekali memperhatikan gaya dan bentuk sastra, seperti narasi dan bentuk-bentuk sastra yang lain. Narasi dalam perikop tertentu dilihat dalam konteks narasi yang utuh dari sebuah kitab. Dengan demikian, perikop yang mendahului dan yang menyusul, harus diperhatikan dengan seksama untuk memahami konteks ayat atau perikop yang ditafsir. Singgih mengatakan bahwa dalam pendekatan ini, penafsir memerlukan komponen-komponen narasi untuk mendapatkan maknanya antara lain, plot/alur, penokohan, konflik, setting, atmosfer, ironi, sudut

pandang dan narator.21 Singgih menyimpulkan bahwa pendekatan narasi adalah

pendekatan yang menghormati dan mengikuti sekuat-kuatnya jalan pengisahan atau penuturan.

Drewers juga menekankan bahwa untuk mengerti metode ini, kita sadar bahwa narasi terdiri atas dua unsur, yaitu unsur cerita (isi, narasi, kisah, story) dan unsur

19 Martin Harun, 1995, Penelitian Literer, Majalah Dua Bulanan Ekawarta, Serba-Serbi Lembaga

Biblika Indonesia No.5/XV/1995, hal 380-381.

20 Ibid, hal 386.

21 Emanuel Gerrit Singgih, 2009, Dua Konteks : tafsir-tafsir Perjanjian Lama sebagai respons atas

perjalanan reformasi di Indonesia, BPK Gunung Mulia, hal xi-xii.

(16)

16

penuturan (cara isi ini diceritakan, discourse, retorika, konfigurasi).22 Kedua unsur ini

berbeda, namun tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling membutuhkan satu sama lain ibarat benang dan lungsin. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam unsur cerita adalah, peristiwa-peristiwa dalam cerita, tokoh-tokoh yang berperan, latar waktu, latar tempat, latar sosial dan alur dari cerita tersebut. Sedang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penuturan antara lain, gaya penuturan dalam cerita, sudut

pandang, pengarang tersirat dan pembaca tersirat.23

Robert Setio mengatakan bahwa narasi membentuk dua pertiga dari keseluruhan isi Perjanjian Pertama dan tidak kurang dari setengah Perjanjian Baru termasuk kitab-kitab Injil. Pendekatan tafsir naratif bersifat sinkronik yaitu memperhatikan teks yang sekarang yang dapat menghasilkan makna sebagai alternatif terhadap kritik sejarah. Makna cerita tidak selalu tunggal dan seringkali malah

bermacam-macam (polyvalent).24 Dengan demikian pendekatan narasi perlu

dikembangkan lebih jauh, secara khusus untuk meneliti setiap narasi yang ada dalam Alkitab untuk memperkaya makna dari setiap narasi tersebut.

Robert Kysar mengatakan, dalam studi terhadap Injil Yohanes perlu melakukan dua hal yaitu, menaruh perhatian utama pada sejarah dan latar

belakangnya dan menaruh perhatian pada alur cerita dari Injil itu sendiri.25 Injil

Yohanes harus dipahami sebagai cerita mendasar sebagai sebuah satu kesatuan narasi, sehingga pada akhirnya sampai pada penemuan, apa yang terdapat dibalik Injil itu sendiri. Dalam penafsiran narasi, memang sejarah dan latar belakang historis bukanlah fokus dari penafsiran, tetapi lebih kepada memahami cerita, bagaimana ia

22 B.F. Drewers, Penafsiran Naratif : Artikel dalam Pertemuan Dosen Alkitab V Juli 1995, Majalah

Dua Bulanan Ekawarta, Berita Lembaga Biblika Indonesia, No 01/XVI/1996, hal 7-8.

23 Ibid, hal 9-13.

24 Robert Setio, Metode Tafsir Naratif, Bahan Perkuliahan Teologi Hermeneutik (dalam bentuk power

point), tanpa tahun.

25 Robert Kysar, 1995, Injil Yohanes Sebagai Cerita : Berkenalan dengan Narasi Salah Satu Injil, BPK

Gunung Mulia, bagian kata pengantar.

(17)

17 mengalir, bagian-bagian mana yang saling terkait dalam cerita tersebut, apa yang membuat cerita tersebut berhasil, dan apa makna dalam alur cerita yang dimaksud

oleh narator sehingga pembaca memahami cerita itu.26 Namun demikian, untuk

menemukan pemaknaan yang dalam, perlu mengkombinasikan keduanya yaitu sejarah dan latar belakang, juga cerita dan alur penuturannya.

Dari latar belakang historis, Injil keempat yaitu Injil Yohanes masih mempunyai permasalahan yang cukup problematis. Mengenai pengarang misalnya, masih menjadi perdebatan apakah yang menulis ini Yohanes anak Zebedus atau Yohanes yang lain. Injil ini juga tidak secara lengkap melaporkan sejarah Yesus dari Nazaret. Oleh karena itu, dalam menafsir bagian teks seperti ini, pendekatan narasi menjadi alternatif yang lebih tepat. Karena pendekatan narasi akan menolong pembaca untuk memahami Injil Yohanes dengan memperhatikan apa yang dikatakan penulis Injil tentang Yesus tanpa harus menaruh perhatian banyak terhadap latar

belakang historisnya.27 Selain itu, Injil Yohanes jelas merupakan sebuah teks yang

bersifat narasi dimana narator menceritakan tentang Yesus dan tentang orang-orang

yang bereaksi atas Yesus.28 Alur cerita yang disajikan penulis akan menolong

pembaca memahami apa yang ada dibalik pemikiran penulis Injil dengan memperhatikan detail cerita itu sendiri. Memperhatikan bagaimana penulis memulai ceritanya, kata-kata apa yang sangat disukai penulis, bagaimana penulis menggiring pembaca kepada sebuah klimaks tertentu dan bagaimana penulis mengakhiri ceritanya.

Dari pendapat beberapa tokoh diatas, penulis menyimpulkan bahwa tafsir naratif yang sinkronik dari Injil Yohanes, memungkinkan untuk menemukan makna

26 Robert Kysar, 1995, Injil Yohanes Sebagai Cerita, bagian kata pengantar. 27 Ibid.

28 Theo Witkamp, 1993, Mengenal Narasi Yohanes, Majalah Gema Duta Wacana No. 46 tahun 1993,

hal 66.

(18)

18 baru dari teks ketika dibaca sekarang dan menyumbangkan makna yang relevan bagi konteks sekarang. Ketika teks dibaca sebagai cermin, artinya kita berrefleksi dari teks tersebut sehingga ada sesuatu yang dibawa dalam kehidupan untuk diterapkan dengan bercermin pada teks tersebut. Maka penulis akan melakukan Tafsir naratif dari Yohanes 17 : 20-26, yang akan didialogkan dengan konteks ketiga gereja untuk menemukan pemaknaan dan penghayatan kesatuan gereja yang relevan bagi HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah. Dengan meneliti lagi teks ini secara naratif, kiranya HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah dapat bercermin dan menghidupi sesuatu yang baru dari hasil studi dari teks ini.

H. Rencana Judul

Rencana judul tesis adalah:

SUPAYA MEREKA MENJADI SATU

(Studi Naratif Yohanes 17 : 20-26 dan Relevansinya bagi Gereja HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah dan Gereja-gereja di Indonesia)

I. Sistematika Penulisan BAB I. Pendahuluan

Bab ini akan menguraikan latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, ruang lingkup dan keterbatasan penelitian, serta teori yang digunakan.

BAB II. Konteks HKBP, HKI dan GKPS

Bab ini akan menguraikan konteks lahirnya HKBP, HKI dan GKPS di Indonesia. Kemudian akan diuraikan Konteks HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah

(19)

19 dan perkembangannya sampai sekarang ini. Bagian terakhir dari bab ini akan menguraikan pemahaman HKBP, HKI dan GKPS tentang kesatuan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan.

BAB III. Studi Naratif Yohanes 17:20-26

Bab ini akan diawali dengan pembimbing kritis ke dalam penafsiran naratif, dilanjutkan uraian Injil Yohanes sebagai cerita. Berikutnya akan disajikan penafsiran narasi perjamuan malam terakhir. Di bagian akhir akan diuraikan secara khusus penafsiran naratif Yohanes 17:20-26 serta kesimpulan dari seluruh penafsiran.

BAB. IV. Relevansi Studi Naratif Yohanes 17:20-26 terhadap konteks HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah.

Bab ini akan menguraikan makna dan refleksi kesatuan dalam Yohanes 17:20-26. Selanjutnya akan diuraikan relevansi penafsiran naratif 17:20-26 terhadap konteks HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah.

BAB. V. Penutup

Bab ini menguraikan kesimpulan dari seluruh rangkaian penelitian dan penafsiran yang relevan bagi HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah secara khusus, dan bagi gereja-gereja di Indonesia secara umum. Selain itu, bab ini juga akan menguraikan saran-saran yang membangun bagi ketiga gereja.

Referensi

Dokumen terkait

Atau jika anggota jemaat hanya mau berpartisipasi di komisi, namun tidak mau jika menjadi majelis, pertanyaan pun muncul, “Ada apa dengan majelis Gereja?” Asumsinya,

diabaikan begitu saja. Selain pengalaman, konteks yang dimiliki oleh penderita kanker pun juga membantu untuk memahami mengenai Allah. Situasi atau konteks yang sedang

program simpan pinjam di GKJW Jemaat Ngagel adalah apakah program simpan pinjam tersebut memang berangkat dari permasalahan yang terjadi di sekitar lingkungan gereja dengan

Beberapa gereja di bawah naungan GPIB telah mengalami perkembangan dalam bidang pelayanan musik, mulai dari segi aransemen yang dilakukan oleh pelayan musik

Demikian pula gereja yang berada oleh misi itu mesti menjadi suatu persekutuan yang tidak saja memberi dirinya dalam pelayanan bagi dunia dan bagi bangsa-bangsa serta

Berdasarkan beberapa pemaparan dari konteks zaman Revolusi Industri di Inggris dan juga zaman Pencerahan yang terjadi juga di Inggris, membuat penulis berpendapat bahwa

Pada bab ini penulis menguraikan dan menjelaskan proses perkembangan yang terjadi dalam praktik Pembinaan Warga Gereja yang ada dalam setiap komisi kategorial di Sinode

Dengan melakukan penelitian ini, diharapkan dapat menemukan bahan baku lain dalam pembuatan edible film, Menghasilkan plastik yang dapat digunakan sebagai