• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUKU PEDOMAN PENGGUNAAN PERJANJIAN LAMA OLEH PERJANJIAN BARU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BUKU PEDOMAN PENGGUNAAN PERJANJIAN LAMA OLEH PERJANJIAN BARU"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

198 BIBLIOGRAFI PILIHAN

*Hanson, A. T. Studies on Paul’s Technique and Theology. Grand Rapids: Eerdmans, 1974.

Hays, R. B. The Conversion of the Imagination: Paul as Interpreter of Israel’s Scripture. Grand Rapids: Eerdmans, 2005.

________. Echoes of Scripture in the Letters of Paul. New Haven: Yale University Press, 1989.

Jones, P. R. “The Apostle Paul: Second Moses to the New Covenant Community.” Di dalam God’s Inerrant Word, diedit oleh J. Montgomery, 219–41. Minneapolis: Bethany Fellowship, 1974.

Koch, D.-A. Die Schrift als Zeuge des Evangeliums: Untersuchungen zur Verwendung und zum Verständnis der Schrift bei Paulus. Beiträge zur historischen Theologie 69. Tübingen: Mohr Siebeck, 1986.

Litwak, K. D. “Echoes of Scripture? A Critical Survey of Recent Works on Paul’s Use of the Old Testament.” Currents in Biblical Research 6 (1998): 260-88. Malan, F. S. “The Use of the Old Testament in 1 Corinthians.” Neotestamentica

14 (1981): 134–70.

Michel, O. Paulus und seine Bibel. Beiträge zur Forderung christlicher Theologie 2/18. Gütersloh: Bertelsmann, 1929.

Moritz, T. A Profound Mystery: The Use of the Old Testament in Ephesians. Leiden: Brill, 1996.

Moyise, S. Paul and Scripture: Studying the New Testament Use of the Old Testament. Grand Rapids: Baker Academic, 2010.

Piper, J. “Prolegomena to Understanding Romans 9:14–15: An Interpretation of Exodus 33:19.” Journal of the Evangelical Theological Society 22 (1979): 203 16. Porter, S. E. “Allusions and Echoes.” Di dalam As It Is Written: Studying Paul’s Use

of Scripture, diedit oleh S. E. Porter dan C. D. Stanley, 29–40. SBL Symposium Series 50. Atlanta: Society of Biblical Literature, 2008.

Scott, J. M. Adoption as Sons of God: An Exegetical Investigation into the Background of Huiothesia in the Pauline Corpus. Wissenschaftliche Untersuchungen zum Neuen Testament 2/48. Tübingen: Mohr Siebeck, 1992.

*Silva, M. “Old Testament in Paul.” Di dalam Dictionary of Paul and His Letters, diedit oleh G. F. Hawthorne, R. P. Martin, dan D. G. Reid, 630-42. Downers Grove, IL: InterVarsity, 1993.

*Stanley, C. D. Arguing with Scripture: The Rhetoric of Quotations in the Letters of Paul. New York: T&T Clark, 2004.

________. Paul and the Language of Scripture: Citation Technique in the Pauline Epistles and Contemporary Literature. Society for New Testament Studies Monograph Series70. Cambridge: Cambridge University Press, 1993.

(2)

BIBLIOGRAFI PILIHAN 197

Yohanes

Barrett, C. K. “The Old Testament in the Fourth Gospel.” Journal of Theological Studies 48 (1947): 155-69.

Evans, C. A. “On the Quotation Formulas in the Fourth Gospel.” Biblische Zeitschrift 26 (1982): 79–83.

Freed, E. D. Old Testament Quotations in the Gospel of John. Supplements to Novum Testamentum 11. Leiden: Brill, 1965.

Glasson, T. F. Moses in the Fourth Gospel. Studies in Biblical Theology40. London: SCM, 1963.

Kimball, C. A. Jesus’ Exposition of the Old Testament in Luke’s Gospel. Journal for the Study the New Testament: Supplement Series 94. Sheffield: JSOT Press, 1994. Köstenberger, A. J. “John.” Di dalam Commentary on the New Testament Use of

the Old Testament, diedit oleh G. K. Beale dan D. A. Carson, 415–512. Grand Rapids: Baker Academic, 2007.

Meeks, W. A. The Prophet-King: Moses Traditions dan the Johannine Christology. Leiden: Brill, 1967.

Reim, G. “Jesus as God in the Fourth Gospel: The Old Testament Background.” New Testament Studies30 (1984): 158–60.

Schuchard, B. G. Scripture within Scripture: The Interrelationship of Form and Function in the Explicit Old Testament Citations in the Gospel of John. Society of Biblical Literature Dissertation Series133. Atlanta: Scholars Press, 1992. Young, F. W. “Study of the Relation of Isaiah to the Fourth Gospel.” Zeitschrift für

neutestamentliche Wissenschaft 46 (1955): 215–33.

Paulus

Aageson, J. W. Written Also for Our Sake: Paul and the Art of Biblical Interpretation. Louisville: John Knox, 1993.

Ellis, E. E. Paul’s Use of the Old Testament. Edinburgh: Oliver & Boyd, 1957. Repr., Grand Rapids: Baker, 1981.

Evans, C. A. “Paul and the Hermeneutics of ‘True Prophecy’: A Study of Romans 9–11.” Biblica 65 (1984): 560–70.

Evans, C. A., dan J. A. Sanders, eds. Paul and the Scriptures of Israel. Journal for the Study of the New Testament: Supplement Series 83. Studies in Scripture in Early Judaism and Christianity 1. Sheffield: JSOT Press, 1993.

*Hafemann, S. J. Paul, Moses, and the History of Israel: The Letter/Spirit Contrast and the Argument from Scripture in 2 Corinthians 3. Wissenschaftliche Untersuchungen zum Neuen Testament 81. Tübingen: Mohr Siebeck, 1995. Beale, G. K.

Buku Pedoman Penggunaan Perjanjian Lama oleh Perjanjian Baru: Eksegesis dan Interpretasi—Alih bahasa, Lena S. Tjandra—Cet. 1—Malang: Literatur SAAT, 2015

22 hlm. ; 22 cm

Judul asli: Handbook on the New Testament use the Old Testament–Exegesis ĂŶĚ/ŶƚĞƌƉƌĞƚĂƟŽŶ

ISBN

BUKU PEDOMAN PENGGUNAAN PERJANJIAN LAMA OLEH PERJANJIAN BARU

EKSEGESIS DAN INTERPRETASI Oleh: G. K. Beale

Diterbitkan oleh LITERATUR SAAT

Jalan Anggrek Merpati 12, Malang 65141 Telp. (0341) 490750, Fax. (0341) 494129

website: www.literatursaat.org Copyright © 2012 by G. K. Beale Originally published under title

Handbook on the New Testament use of the Old Testament: Exegesis and Interpretation

Published by Baker Academic, a division of Baker Publishing Group

P.O. Box 6287, Grand Rapids, MI 49516-6287, U.S.A. All rights reserved

Penulis : G. K. Beale Alih Bahasa : Lena S. Tjandra

Penyunting : Necholas David, Chilianha Jusuf Penata Letak : Necholas David

Gambar Sampul : Lie Ivan Abimanyu

Edisi terjemahan telah mendapat izin dari penerbit buku asli. Cetakan Pertama : 2015

(3)

vii W›Ù¦›Ý›ÙƒÄ^ç—çãWƒÄ—ƒÄ¦ã›Ù«ƒ—ƒÖ¦ƒÃƒ>ƒ®Ä

Daftar Isi

Kata Pengantar ix Singkatan-singkatan xiii Pendahuluan xvii

1 Tantangan dalam Menafsirkan Penggunaan PL oleh PB 1

2 Melihat PL di dalam PB: Definisi Kutipan dan "MVTJ serta Kriteria untuk Membedakannya 35

3 Sebuah Pendekatan untuk Menafsirkan PL di dalam PB 51 4 Cara-cara Utama PB Menggunakan PL 69

5 Praanggapan Hermeneutis dan Teologis Para Penulis PB 119 6 Relevansi Latar Belakang Yahudi bagi Studi PL di dalam PB 129 7 Studi Kasus yang Mengilustrasikan Metodologi Buku Ini 165

Bibliografi Pilihan mengenai Penggunaan PL oleh PB 185

194 BIBLIOGRAFI PILIHAN

Buku-buku dan Esai-esai mengenai Kitab-kitab Injil dan Kisah Para Rasul

Kitab-kitab Injil dan Kisah Para Rasul secara Umum

Doeve, J. W. Jewish Hermeneutics in the Synoptic Gospels and Acts. Assen: Van Gorcum, 1954.

*Evans, C. A. “Old Testament in the Gospels.” Di dalam Dictionary of Jesus and the Gospels, diedit oleh J. B. Green, S. McKnight, dan I. H. Marshall, 579–90. Downers Grove, IL: InterVarsity, 1992

________. To See and Not Perceive: Isaiah 6.9–10 in Early Jewish and Christian Interpretation. Journal for the Study of the Old Testament: Supplement Series 64. Sheffield: JSOT Press, 1989.

Evans, C. A., dan W. R. Stegner, eds. The Gospels and the Scriptures of Israel. Journal for the Study of the New Testament: Supplement Series 104. Sheffield: JSOT Press, 1994.

France, R. T. Jesus and the Old Testament: His Application of Old Testament Passages to Himself and His Mission. London: Tyndale, 1971. Repr., Grand Rapids: Baker, 1982.

Hays, R. B. “Can the Gospels Teach Us How to Read the Old Testament?” Pro ecclesia 11 (2002): 402–18.

Kline, M. “The Old Testament Origins of the Gospel Genre.” Westminster Theological Journal 38 (1975): 1–27.

Manson, T. W. “The Old Testament in the Teaching of Jesus.” Bulletin of the John Rylands Library 34 (1951-52): 312–32.

Moo, D. J. The Old Testament in the Gospel Passion Narratives. Sheffield: Almond, 1983.

Moyise, S. Jesus and Scripture: Studying the New Testament Use of the Old Testament. Grand Rapids: Baker Academic, 2011.

*New, D. S. Old Testament Quotations in the Synoptic Gospels, and the Two-Document Hypothesis. Society of Biblical Literature Septuagint and Cognate Studies Series 37. Atlanta: Scholars Press, 1993.

O’Rourke, J. J. “Explicit Old Testament Citations in the Gospels.” Studia Montis Regii 7 (1964): 37–60.

Thomas, K. J. “Torah Citations in the Synoptics.” New Testament Studies24 (1977): 85–96.

(4)

1 PERGESERAN SUDUT PANDANGTERHADAP AGAMA LAIN

1

Tantangan dalam Menafsirkan Penggunaan

Perjanjian Lama oleh Perjanjian Baru

Sebelum membahas panduan untuk mempelajari PL di dalam PB, secara umum para pembaca harus mengetahui beberapa perdebatan klasik yang sering muncul berkaitan dengan cara penulis-penulis PB dan Yesus menggunakan PL.

Berapa Banyak Kesinambungan atau Ketidaksinambungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru?

Perdebatan terpenting adalah apakah PB menafsirkan PL sejalan dengan makna asli PL. Apakah PB memperlihatkan pemahaman terhadap makna kontekstual dari referensi-referensi PL yang dirujuknya? Berapa banyak kesinambungan atau ketidaksinambungan di antara makna asli perikop-perikop PL dan penggunaannya di dalam PB? Para ahli memberikan berbagai jawaban yang saling bertentangan bagi pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Perdebatan mengenai Pengaruh Tafsiran Yahudi terhadap Penulis-penulis Perjanjian Baru

Satu sikap yang dipegang luas adalah Yesus dan para penulis PB menggunakan metode hermeneutik nonkontekstual sehingga mereka kehilangan makna asli dari teks-teks PL yang sedang mereka tafsirkan. Dengan demikian, mereka telah dipengaruhi oleh orang-orang Yahudi sezaman mereka, baik di dalam eksegesis midrashik rabinik yang ada sebelumnya, gulungan naskah-naskah Qumran, maupun literatur apokaliptik Yahudiah. Hari ini pada umumnya kita menganggap metode nonkontekstual tidak sah. Meskipun merujuk pada PL,

180 BAB 7

rungan tipologis, di mana para narator hanya menaruh perhatian pada feno-mena kebang kitan dan kegagalan yang cepat dari orang yang dipanggil. Di sini pun, dalam setiap kasus terdapat penggenapan, bukti dari karisma dan keme-nangan. Namun, tiba-tiba orang-orang ini disingkirkan, Yahweh tidak dapat lagi menganggap mereka, dan ceritanya berakhir dengan pembaca yang merasa bahwa Yahweh sudah tidak mampu menemukan instrumen yang benar-benar

cocok, misi itu menjadi tidak terlaksana. Bukankah kita dapat berkata bahwa masing-masing kisah menunjukkan bahwa rancangan-rancangan Yahweh jauh melampaui konteks historisnya? Bagaimana dengan penghargaan terhadap

aturan universal yang dibuat Yahweh bagi raja-raja Yehuda itu (Mzm. 2, 72, 110)? Memang mustahil para pembaca pascapembuangan dan orang-orang yang menyebarluaskan teks-teks Mesianik ini melihat semuanya itu hanya sebagai monumen-monumen sangat berharga dari masa lalu yang cemerlang tetapi telah sirna. . . . Orang-orang ini [hakim-hakim, Saul, Daud, dan lain-lain] semuanya telah tiada; namun tugas, jabatan, serta janji ilahi yang terkait dengan semuanya itu masih diteruskan atau dialihkan ke orang lain. Perikop

Sebna-Elyakim [Yes. 22:15–25] merupakan sebuah contoh yang sangat bagus mengenai peralihan semacam itu. . . . Kuasa-kuasa penuh yang nyaris bersifat Mesianik dari Sebna yang tak layak itu akan gagal. Oleh karena itu, jabatan “kunci Daud” tetap tidak diberikan sampai akhirnya diletakkan pada kaki Kristus. (huruf miring ditambahkan)11

Maka, ketika beragam segmen PL yang berisi kelompok narasi yang diulang-ulang mengenai penugasan Yahweh kepada orang-orang untuk memenuhi jabatan tertentu (mis., hakim, nabi, imam, raja), kegagalan dari orang-orang yang telah ditugaskan tersebut terulang lagi, dilanjutkan dengan penghakiman, dan diikuti dengan lingkaran kegagalan yang sama lagi dan lagi—semua ini adalah cara penutur mengarahkan pembacanya untuk berpikir tentang seseorang yang akan datang dan akhirnya memenuhi misi tersebut. Wajar jika sebagian pembaca mengambil perangkat naratif ini karena para pembaca tentunya juga menyadari adanya anggapan-anggapan di banyak tempat di dalam PL tentang teks-teks mesianik, yang menegaskan aturan universal dan final oleh seorang tokoh individual yang ideal dan akan memenuhi segala penugasan ini. Memang wajar jika Wahyu 3:7 mengambil petunjuk naratif yang sama dari konteks Yesaya 22:22 (khus. mengingat paralelisme sebelumnya di dalam Yes. 9:6–7 tentang Mesias yang akan datang) dan dengan demikian menerapkannya pada Yesus Sang Mesias.

11G. von Rad, KůĚdĞƐƚĂŵĞŶƚdŚĞŽůŽŐLJ (New York: Harper & Row, 1965), 2:372–73. Kita

telah mengemukakan bagian kutipan ini dalam bab 1 dan 4, tetapi karena von Rad mene-rapkan signifikansinya secara spesifik kepada penggunaan Yes. 22 di dalam Why. 3, tepat jika kita mengutip darinya lagi.

(5)

SEBUAH STUDI KASUSYANG MENGILUSTRASIKAN METODOLOGI BUKU INI 179

nubuat Yesaya 9. Seperti telah kita lihat, Allah tidak menganggap Elyakim sebagai tokoh tersebut, dan dengan demikian firman-Nya yang menentukan itu menyebabkan Elyakim jatuh dan tidak mencapai apa yang Yesaya 9 prediksikan. Sebagai kontrasnya, Allah berjanji bahwa pada suatu saat di masa mendatang pada akhirnya Dia akan menyelesaikan penggenapannya di dalam diri seseorang yang akan menyadari deskripsi profetis tersebut: “Kecemburuan TUHAN Semesta Alam akan melakukan hal ini” (Yesaya 9:7).

Jika hubungan yang ditarik antara Yesaya 9:6–7 dan 22:22 itu tepat, mungkin saja Yesaya sendiri sampai tahap tertentu telah menyadari kaitan itu dan melihat Elyakim bukan semata-mata sebagai orang yang gagal memenuhi nubuat sebelumnya, melainkan sebagai seseorang yang kegagalannya menunjuk pada keberhasilan dari seorang lainnya yang pada akhirnya akan menggenapi hal itu. Oleh sebab itu, Wahyu 3:7 melihat bahwa pola Yesaya 9—secara parsial dan temporer tercermin di dalam Elyakim dan dimengerti oleh Yesaya masih menunjuk ke orang lainnya yang akan datang—akhirnya digenapi di dalam diri Yesus.

Keempat, bahwa Yesaya 22:22 dipandang dengan pengertian profetis dan tipologis dapat dibuktikan lebih jauh melalui pengamatan alusi-alusi yang disengaja pada perikop-perikop mengenai Hamba yang bersifat profetis (Yes. 43:4; 45:14; 49:23) dalam konteks langsung Wahyu 3:9. Namun, alusi-alusi ini sekarang diterapkan pada gereja dan bukan pada bangsa Israel yang teokratis (seperti di dalam kitab Yesaya), meskipun dasar pemikiran untuk penggunaan itu berada di dalam pemahaman akan identifikasi perkumpulan gereja dengan Yesus sebagai hamba Allah dan Israel yang sejati10 (mis., Yes. 49:3–6 dan penggunaan 49:6 di dalam Luk. 2:32; Kis. 13:47, 26:23).

Kelima, Gerhard von Rad juga membahas pemahaman tipologis mengenai teks PL tersebut di dalam Wahyu 3:7. Meskipun atas dasar yang agak berbeda, pembahasannya tetap masuk akal sesuai dengan pembahasan dalam bab ini. Dalam kaitan ini, dia mengatakan,

Kisah-kisah penyelamatan dalam Perjanjian Lama menceritakan panggilan kepada pribadi-pribadi karismatik dan orang-orang yang terpanggil untuk jabatan-jabatan yang tinggi. . . . Dalam kasus deskripsi tertentu akan panggilan dan kegagalan para pemimpin berkarisma (Gideon, Samson, dan Saul), kita berhadapan dengan komposisi penulisan yang memperlihatkan

kecende-10Mengenai hal ini, lihat tulisan Beale, ZĞǀĞůĂƟŽŶ, 386–89. Ingat kembali bagaimana

Kristus dan gereja menggenapi apa yang dinubuatkan mengenai Israel di dalam PL, yang merupakan bagian dari alasan bagi praanggapan yang telah dibahas di bab 5 mengenai Yesus dan gereja sebagai pihak yang mewakili Israel sejati di akhir zaman.

2 BAB 1

mereka tidak menafsirkannya secara konsisten dengan makna asli PL tersebut.1 Misalnya, diyakini bahwa PB mengalegorikan beragam teks PL, menafsirkannya dengan makna berbeda sehingga menghilangkan sepenuhnya maksud penulis PL. Beberapa ahli menyimpulkan bahwa tafsiran-tafsiran yang tak terkontrol seperti itu hanyalah salah satu cara PB yang menunjukkan kemungkinan akan adanya kesalahan manusia.

Para ahli lainnya setuju bahwa di tempat-tempat tertentu para penulis PB telah kehilangan makna PL, namun tetap memercayai bahwa mereka dipimpin oleh teladan Kristus dan Roh Kudus dalam tafsiran mereka. Dengan demikian, walaupun prosedur interpretatif mereka dianggap cacat, makna yang mereka tuliskan itu tetap diinspirasikan. Oleh karena itu, meskipun hari ini kita tidak dapat meniru metode interpretatif mereka, kita dapat memercayai kesimpulan dan doktrin mereka.2 Hal ini sebanding dengan mendengarkan tafsiran perikop tertentu dari para pengkhotbah yang jelas-jelas meleset. Apa yang mereka sampaikan tetap merupakan ajaran yang baik dan dapat ditemukan di tempat lain di dalam Alkitab, meskipun bukan di dalam perikop yang sedang mereka uraikan.

Maka, banyak orang akan menyimpulkan bahwa studi induktif menunjukkan seringnya ketidaksesuaian makna antara tafsiran para penulis PB terhadap PL dengan makna asli teks PL tersebut. Contoh-contoh kesalahan tafsir yang dituduhkan semacam itu mencakup:3

1. Argumentasi ad hominem: peran malaikat dalam mengungkapkan hukum Taurat di dalam Gal. 3:19; tema “selubung” kitab Keluaran di dalam 2 Kor. 3:13–18; dan “keturunan” dari Kej. 12:7 dan 22:17–18 di dalam Gal. 3:16. 2. Perlakuan-perlakuan midrashik nonkontekstual: pengertian baptisan dan “batu karang rohani yang mengikuti mereka” di dalam 1 Kor. 10:10-4; Ul. 30:12–14 di dalam Rm. 10:6–8; Kej. 12:7 dan 22:17–18 di dalam Gal. 3:16; Mzm. 68:18 di dalam Ef. 4:8; Hos. 11:1 di dalam Mat. 2:15.

1Namun, mengingat pengaruh postmodern, saya menyadari bahwa ada beberapa

akademisi yang mengklaim bahwa hermeneutik Yahudi yang tak terkontrol merupakan pendekatan yang sah pada saat itu tetapi barangkali tidak bagi kita, meskipun sebagian dari mereka mungkin akan berkata bahwa hermeneutik Yahudi juga dapat menjadi panduan bagi para penafsir modern.

2Untuk penyajian yang jelas dan menarik mengenai pandangan semacam ini, lihat

tulisan-tulisan R. N. Longenecker, termasuk artikelnya “‘Who Is the Prophet Talking About?’ Some

Reflections on the New Testament’s Use of the Old,”Themelios 13 (1987): 4–8.

3Di sini untuk bagian terbesar saya menggunakan contoh-contoh R. N. Longenecker dari

tulisannya “Can We Reproduce the Exegesis of the New Testament?”Tyndale Bulletin 21 (1970): 3–38; dan idem, “Biblical Exegesis in the Apostolic Period” (Grand Rapids: Eerdmans, 1975).

(6)

TANTANGANDALAM MENAFSIRKAN PENGGUNAAN PL OLEH PB 3

3. Tafsiran yang bersifat alegoris: Ul. 25:4 di dalam 1 Kor. 9:9; penggunaan PL di dalam Gal. 4:24; Kej. 14 di dalam Ibr. 7.

4. Tafsiran yang terpisah-pisah dan tidak dapat dikendalikan oleh aturan interpretatif jenis apa pun: Yes. 40:6–8 di dalam 1 Ptr. 1:24–25.

Namun, beberapa ahli lebih optimistis mengenai kemampuan para penulis PB dalam menafsirkan PL.

Memang tidak seluruhnya jelas bahwa eksegesis midrashik nonkontekstual itu sama pentingnya bagi eksegesis Farisaik dan Qumran mula-mula seperti yang dikemukakan oleh para akademisi yang menyukai pendekatan yang telah kami jelaskan di atas. Pertama, mungkin tidak tepat untuk membicarakan metode rabinik nonkontekstual sebelum tahun 70 M karena kebanyakan contohnya berasal dari masa setelah itu, dan contoh-contoh lebih dini yang dapat diperkirakan itu tidak tampak merefleksikan pendekatan interpretatif yang tak terkontrol semacam itu.4 Kedua, kepedulian terhadap eksegesis kontekstual memang khas ditemukan baik di dalam naskah-naskah Qumran maupun apokaliptik Yahudi.5 Analisis ini berimplikasi sangat negatif terhadap argumentasi dari pihak yang meyakini bahwa para penafsir Kristen mula-mula telah dipengaruhi oleh hermeneutik Yahudi yang biasanya tidak memedulikan makna asli perikop-perikop PL.

Meskipun demikian, anggapan adanya pengaruh Yahudi pada eksegesis PB terhadap PL ini mungkin dipertanyakan. Kedengarannya wajar dan masuk akal bahwa prosedur interpretatif PB mirip dengan prosedur interpretatif Yudaisme kontemporer. Selain itu, karena kekristenan mula-mula memiliki perspektif yang unik dibandingkan Yudaisme mula-mula, orang tidak akan beranggapan bahwa pendekatan-pendekatan eksegetis Yahudi dan Kristen abad pertama kebanyakan

4Pada titik terakhir ini, David Instone-Brewer telah mengidentifikasi semua contoh

eksegetis yang mewakili periode awal ini (kira-kira 100) dari eksegesis protorabinik pra-70 M yang diakui. Beliau telah mencoba memeragakan bagaimana setiap contoh memperlihatkan bahwa, meskipun tafsiran-tafsiran Yahudiah ini mungkin tidak selalu berhasil, semuanya mencoba menafsirkan PL menurut konteksnya dan tidak pernah mengganti makna dasar dengan makna yang sekunder atau bersifat alegoris. Bahkan sekalipun kesimpulan-kesim-pulan beliau dinilai berlebihan, sebagaimana ditegaskan oleh beberapa orang, semua itu tetap mengungkapkan perhatian awal terhadap konteks hingga beragam tingkatan yang signifikan. Perhatian terhadap hal ini sebelumnya belum banyak dikenal. Lihat tulisan beliau

Techniques and Assumptions in Jewish Exegesis before 70 C.E, Texte und Studien zum Antiken Judentum 30 (Tübingen: Mohr Siebeck, 1992).

5Di dalam Qumran, misalnya 1QM 1; di dalam Apokaliptik Yahudiah, misalnya 1 Henoch

36–72; 4 Ezra (= 2 Esd.) 11–13; 2 Baruch 36–42; Testament of Joseph 19:6–12. Lihat tulisan G. K. Beale, The Use of Daniel in Jewish Apocalyptic Literature and in the Revelation of St.

John (Lanham, MD: University Press of America, 1984); L. Hartman, Prophecy Interpreted

(Lund: C. W. K. Gleerup, 1966).

178 BAB 7

sekadar diterapkan secara analogis, melainkan juga merupakan sebuah petunjuk tipologis tak langsung (disampaikan melalui narasi historis oleh Yesaya, bukan sebagai nubuat mesianik lisan langsung). Jenis analisis ini harus dilakukan ketika kita berusaha mengategorikan sebuah penggunaan PL sebagai bersifat tipologis daripada sekadar bersifat analogis, dan itulah salah satu alasan mengapa saya telah memilih perikop khusus ini sebagai ilustrasi penggunaan PL dalam PB untuk bab ini.

Pertama, kapan pun Daud disinggung dalam kaitannya dengan Kristus di dalam PB, biasanya terdapat nada-nada tambahan yang dapat dibedakan dan bersifat mesianik serta profetis (mis., bdk. Mat. 1:1; 22:42–45; Mrk. 11:10; 12:35–37; Luk. 1:32; 20:41–44; Yoh. 7:42; Kis. 2:30–36; 13:34; 15:16; Rm. 1:1–4; 2Tim. 2:8; bdk. tempat-tempat lain di mana penderitaan Daud menjadi tipe penderitaan Kristus: Mzm. 22:18 di dalam Yoh. 19:24, Mzm. 69:21 di dalam Yoh. 19:28). Satu-satunya kemunculan “rumah Daud” lainnya di dalam PB mempunyai nuansa profetis yang sama (Luk. 1:27, 69; demikian juga “tabernakel Daud” di dalam Kis. 15:16), demikian pula satu-satunya rujukan atas Daud yang masih ada di dalam kitab Wahyu. Keduanya merupakan alusi terhadap nubuat-nubuat mesianik Yesaya (Why. 5:5; 22:16 [bdk. Yes. 11:1, 10]).

Kedua, rujukan atas Elyakim sebagai “hamba-Ku” di dalam Yesaya 22:20 dengan mudah dapat dikaitkan dengan nubuat-nubuat mengenai Hamba mesianik oleh Yesaya dalam pasal 42-53 karena frasa tersebut muncul lima kali di sana berkaitan dengan hal ini.9

Ketiga, di dalam Yesaya 22 deskripsi mengenai “menaruh kunci rumah Daud [=tanggung jawab administratif terhadap kerajaan Yehuda] ke atas bahunya [Elyakim]”, penyebutan perannya sebagai seorang “bapa” bagi penduduk “Yerusalem dan bagi kaum Yehuda,” serta rujukan padanya yang “menjadi kursi kemuliaan”—semuanya tentu memfasilitasi pemahaman profetis akan Yesaya 22:22 karena ucapan ini merupakan paralelisme yang demikian tegas kepada nubuat akan pemerintahan Israel di masa mendatang yang tercatat di dalam Yesaya 9:6–7 (“lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: . . . Bapa yang Kekal” yang duduk “di atas takhta Daud”). Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, tampak bahwa Yesaya 22:22 dengan sengaja menerapkan ucapan mengenai raja mesianik yang akan datang itu kepada Elyakim untuk memperlihatkan dia sebagai seorang figur yang mungkin berpotensi menggenapi

9Frasa yang sama dalam bentuk tunggal muncul sembilan kali dalam Yes. 41–45 dengan

rujukan kepada bangsa Israel yang tidak setia. Hamba mesianik yang setia dikontraskan dengan bangsa Israel, namun Hamba ini menyimpulkan serta mewakili bangsa Israel; Selain muncul dalam Nyanyian-nyanyian Hamba dan Yes. 22:20, frasa “hamba-Ku” hanya muncul dua kali di kitab Yesaya—dalam rujukan kepada nabi itu sendiri (20:3) dan kepada Daud (37:35).

(7)

SEBUAH STUDI KASUSYANG MENGILUSTRASIKAN METODOLOGI BUKU INI 177

kualitas dan kuasa yang hakiki untuk berbuat demikian, tetapi Kristus yang memiliki atribut-atribut ilahi “kudus” dan “benar” (3:7) itu memilikinya.8 5. Sama seperti kemampuan Elyakim dalam memperlihatkan peran-peran politis dari jabatannya akan membawa kemuliaan sementara bagi sanak keluarganya secara fisik, demikianlah kemampuan Kristus berperan di dalam jabatan-Nya (kematian, kebangkitan, dan pemerintahan berikut-nya) akan memberikan hasil di dalam benih rohani-Nya yang dibagikan di dalam kemuliaan-Nya yang kekal (bdk. Why. 4:9–11; 5:12–13 dengan Why. 21:11; 23–26).

6. Sementara jabatan Elyakim dengan kuasa sebagai raja tidak berlangsung selamanya, pemerintahan Kristus berlangsung kekal.

Meskipun sulit untuk mengetahui apakah keenam ide kontekstual dari kitab Yesaya ada di dalam pikiran penulis hingga tahap tertentu, paralelisme ini bersama-sama memperlihatkan alasan mengapa perikop PL ini dapat menjadi begitu menarik untuk diaplikasikan kepada Kristus. Kesimpulannya, Yesaya 22:22 adalah sebuah gambaran tipologis-profetis mengenai Kristus sebagai pemerintah dan raja yang berdaulat dari kerajaan mesianik, yang merupakan penyempurnaan akhir dari apa yang hanya secara parsial digambarkan melalui figur dan jabatan historis Elyakim.

Keabsahan bahwa Yesaya 22:22 Adalah Sebuah Nubuat Tipologis Tak Langsung

Di dalam bab 5, kita telah membahas bahwa salah satu praanggapan yang menggarisbawahi penggunaan PL oleh PB adalah pola-pola yang sama dari peris-tiwa historis di masa lampau akan terjadi lagi dalam skala yang jauh lebih besar karena pemerintahan Allah berdaulat atas sejarah dan rancangan-Nya sehingga sejarah akan mempunyai kesatuan yang hakiki. Kita juga telah mengamati bahwa praanggapan ini merupakan dasar yang sangat hakiki bagi tipologi. Bahwa peri-kop mengenai Elyakim mengilustrasikan hal ini jelas dari pertimbangan berikut ini yang mengindikasikan bahwa penggunaan Yesaya 22:22 oleh Yohanes bukan

8Frasa “yang kudus, yang benar” menggambarkan sebuah atribut ilahi dalam Kitab Wahyu

;ĚĞŵŝŬŝĂŶ ũƵŐĂ ϲ͗ϭϬͿ ƐĞŚŝŶŐŐĂ ƉĞŶŐŐƵŶĂĂŶ ŬĂƚĂ ŝƚƵ Ěŝ ƐŝŶŝ ŵĞŶƵŶũƵŬŬĂŶ ŬĞŝůĂŚŝĂŶ zĞƐƵƐ͘ &ĂŬƚĂŶLJĂ͕ŚĂŐŝŽƐ;ŬƵĚƵƐͿĚŝŐƵŶĂŬĂŶƉĂĚĂzĂŚǁĞŚŚĂŵƉŝƌƐĞĐĂƌĂĞŬƐŬůƵƐŝĨĚĂůĂŵ<ŝƚĂďzĞƐĂLJĂ ƐĞďĂŐĂŝďĂŐŝĂŶĚĂƌŝƐĞďƵƚĂŶ͞zĂŶŐ<ƵĚƵƐĚĂƌŝ/ƐƌĂĞů͟;ŬŝƌĂͲŬŝƌĂĚƵĂƉƵůƵŚŬĂůŝͿ͘>ĂƚĂƌďĞůĂŬĂŶŐ zĞƐĂLJĂ ŝŶŝ ŵƵŶŐŬŝŶ ŵƵŶĐƵů Ěŝ ƐŝŶŝ ƐĞďĂŐĂŝ ĂŶƚŝƐŝƉĂƐŝ ĂĚĂŶLJĂ ŬƵƚŝƉĂŶ LJĂŶŐ ƐĞĐĂƌĂ ůĂŶŐƐƵŶŐ ŵĞŶŐŝŬƵƚŝzĞƐ͘ϮϮ͗ϮϮĚĂŶĂůƵƐŝzĞƐĂLJĂĚĂůĂŵtŚLJ͘ϯ͗ϵ͕ĚŝŵĂŶĂzĞƐƵƐŵĞŶŐĂŶŐŐĂƉƉĞƌĂŶ zĂŚǁĞŚƐĞƌƚĂƉĞŶŐŝŬƵƚͲƉĞŶŐŝŬƵƚͲELJĂŵĞǁĂŬŝůŝ/ƐƌĂĞůƐĞũĂƚŝ;ŵĞŶŐĞŶĂŝŚĂůŝŶŝůŝŚĂƚůĞďŝŚũĂƵŚ ĞĂůĞ͕ZĞǀĞůĂƚŝŽŶ͕ϮϴϳʹϴϵͿ͘ 4 BAB 1

sama.6 Untuk menilai masalah ini, kita perlu meninjau PB tanpa prasangka terhadap kesinambungan atau ketidaksinambungan metodologis. Meskipun hal ini adalah penilaian yang masih diperdebatkan, ini bukanlah tidak lazim. Misalnya, senada dengan ini Richard Hays mengemukakan:

Yudaisme Rabinik, tak kurang dari kekristenan mula-mula, mewakili (bersama komunitas Qumran dan Yudaisme Alexandria skolastik dari Philo) satu dari beberapa adaptasi berbeda dari warisan religius dan kultural yang disajikan oleh Kitab-kitab Suci orang Israel. Adaptasi-adaptasi yang berbeda ini harus dipelajari, paling tidak pada awalnya, sebagai fenomena paralel, kecenderungan yang berkaitan tetapi berbeda dengan warisan religius maupun kultural. Keliru jika kita mengatakan bahwa salah satu fenomena ini mencerminkan sumber pengaruh bagi yang lainnya, kecuali kita bisa menunjukkan beberapa keter-gantungan historis yang dapat didokumentasikan. Satu hal yang secara jelas dapat didokumentasikan adalah mereka semua dengan sengaja menganggap Alkitab sebagai sumber dan otoritas bagi perkembangan teologis mereka sendiri yang agak berbeda. Maka, kita sedang mencoba melakukan sebuah tugas yang sewajarnya dan seperlunya (sekalipun sebagai tahap awal) ketika kita secara bebas mempertanyakan cara mereka menggunakan teks-teks kitab suci.7

Ini bukanlah sebuah kesimpulan yang dihasilkan hanya oleh para akademisi Amerika atau Inggris yang lebih konservatif. Misalnya, Hans Hübner di dalam bukunya Biblische Theologie des Neuen Testaments menyimpulkan bahwa kunci penafsiran Paulus terhadap PL tidak ditemukan dengan melihat Yudaisme sebagai pengaruh determinatif atas dirinya. Tepatnya, cara para penulis PB menangani Kitab Suci mereka harus dianalisis pertama-tama dari tulisan mereka sendiri, terlepas dari metode penafsiran Yahudiah.8

Selanjutnya, contoh-contoh khas dari eksegesis nonkontekstual yang dikemukakan di atas belum tentu bersifat konklusif. Sejumlah akademisi telah menawarkan penjelasan yang masih bisa dikembangkan dan bahkan persuasif mengenai bagaimana semua contoh tersebut dapat menjadi kasus-kasus eksegesis

6Seperti misalnya, Longenecker secara mengejutkan tampaknya menganggap demikian

(“New Testament’s Use,” 7), sebab beliau menunjukkan jenis kekeliruan yang sama dan bersifat praanggapan dari bagian lainnya (ibid.,1). Baca pandangan Longenecker selanjutnya di catatan 10 di bawah.

7R. Hays, Echoes of Scripture in the Letters of Paul (New Haven: Yale University Press,

1989), 11.

8H. Hübner, Biblische Theologie des Neuen Testaments (Göttingen: Vandenhoeck &

Ruprecht, 1990), 1:258–59, di sini dia juga mengutip akademisi Jerman lain yang sepaham dengannya, meskipun dia akhirnya menyimpulkan bahwa fokus-fokus kristologis PB telah mengakibatkan ketidaksinambungan yang signifikan di antara makna teks PL dengan peng-gunaannya dalam PB.

(8)

TANTANGANDALAM MENAFSIRKAN PENGGUNAAN PL OLEH PB 5

kontekstual.9 Selain itu, seandainya semua contoh tersebut memang merupakan kasus-kasus hermeneutika nonkontekstual yang meyakinkan, tidak berarti itu merupakan representasi dari pola hermeneutis yang lebih luas di dalam PB.10 Itu harus dianggap sebagai perkecualian, bukan tipikal.

Sebuah argumen kuat dan kadang-kadang terabaikan yang melawan pandangan bahwa PB menggunakan PL dengan makna yang berbeda dari maksud aslinya itu disuarakan oleh C. H. Dodd dalam karya klasiknya, According to the Scriptures.11 Secara singkat, Dodd mengamati bahwa di sepanjang PB terdapat banyak sekali kutipan yang berasal dari sedikit konteks PL yang sama. Ia bertanya, ketika para penulis PB mengutip segmen PL yang sama, mengapa hanya sedikit kutipan yang identik dari ayat yang sama; dan kedua, mengapa ada ayat-ayat yang berbeda bisa dikutip dari segmen PL yang sama. Dodd menyimpulkan bahwa fenomena ini mengindikasikan bahwa penulis-penulis PB menyadari

9Tentang 1 Kor. 10 dan Gal. 3–4, lihat buku E. E. Ellis, Paul’s Use of the Old Testament

(1957; repr., Grand Rapids: Baker, 1981), 51–54, 66–73; R. M. Davidson, Typology in Scripture (Berrien Springs, MI: Andrews University Press, 1981), 193–297; dan D. A. Hagner,“The Old Testament in the New Testament,” di dalam Interpreting the Word of God: Festschrift in Honor

of S. Barabas, ed. S. J. Schultz dan M. A. Inch (Chicago: Moody, 1976), 101–2, yang melihat

pendekatan kontekstual yang luas dan bersifat tipologis di dalam teks-teks ini.

Tentang 2 Kor. 3, lihat tulisan W. J. Dumbrell, The Beginning of the End (Homebrush West, Australia: Lancer, 1985), 107–13, 121–28; dan tentang 2 Kor. 3:6–18, lihat tulisan S. J. Hafemann, Paul, Moses, and the History of Israel WUNT 81 (Tübingen: Mohr Siebeck, 1995); untuk argumentasi lebih lanjut yang mengklaim penggunaan PL yang nonkontekstual dalam perikop yang sama, lihat tulisan L. L. Belleville, Reflections of Glory: Paul’s Polemical Use of

the Moses-Doxa Tradition in 2 Corinthians 3.1–18, JSNTSup 52 (Sheffield: JSOT Press, 1991).

Tentang 1 Kor. 9:9 lihat tulisan R. E. Ciampa dan B. S. Rosner, The First Letter to the

Corin-thians, PNTC (Grand Rapids: Eerdmans, 2010), 404–7; bdk. A. T. Hanson, Studies in Paul’s Technique and Theology (London: SPCK, 1974), 161–66; S. L. Johnson, The Old Testament in the New (Grand Rapids: Zondervan, 1980), 39–51; D. J. Moo, “The Problem of Sensus Plenior,”

di dalam Hermeneutics, Authority, and Canon, ed. D. A. Carson dan J. D. Woodbridge (Grand Rapids: Zondervan / Academie Books, 1986), 179–211.

Tentang Rm. 10, bdk. M. A. Seifrid, “Paul’s Approach to the Old Testament in Romans 10:6–8,” Trinity Journal 6 (1985): 3–37, yang melihat penggunaan kontekstual dan tipo-logis.

10Namun, Longenecker beranggapan bahwa dari penulis-penulis PB kita hanya dapat

menemukan “beberapa eksegesis literalis langsung terhadap teks-teks alkitabiah”; bahwa metode penafsiran (yang dia maknai sebagai suatu pendekatan terpisah-pisah yang men-cakup tipologi) “mendominasi” kitab Matius, Yohanes, dan pasal-pasal awal dari Kisah Para Rasul dan 1 Petrus; dan bahwa tafsiran midrashik (yang juga dia pandang sebagai metode nonkontektual) “menandai” kitab-kitab Paulus dan Ibrani (“New Testament’s Use,” 6–8; bdk. bukunya Biblical Exegesis, 218–19). Dia membatasi hal ini dengan mengatakan bahwa para penulis PB menerapkan suatu “eksegesis terpisah-pisah yang terkontrol” (“New Testament’s Use,” 7), tetapi hal ini tidak jelas, dan dia tidak pernah menerangkan apa yang dia maksudkan dengan hal tersebut.

11C. H. Dodd, According to the Scriptures (London: Nisbet, 1952).

176 BAB 7

Konteks Yesaya 22:22 berikut ini secara langsung menyatakan lebih jauh korespondensi tipologis yang mungkin ada di antara Elyakim dan Kristus, yang dapat juga beresonansi di dalam pikiran Yohanes (Yesus):

1. Sebagaimana jabatan Elyakim dapat mencakup beberapa macam perma-salahan keimaman, demikian juga permaperma-salahan semacam itu pada skala lebih besar tercakup dalam jabatan Kristus sebagai raja.7

2. Sebagaimana Elyakim menjadi bapa bagi bangsa itu, demikianlah Kristus pada skala yang lebih besar (perhatikan rujukan kepada “Bapa yang Kekal” di dalam nubuat mesianik Yes. 9:6, seperti yang digemakan saat merujuk kepada Elyakim sebagai seorang “bapa” di dalam Yes. 22:21).

3. Sebagaimana kuasa Elyakim setara dengan kuasa raja, demikianlah kuasa Kristus setara dengan kuasa Allah.

4. Persis seperti jabatan Elyakim dibuat aman dan berhasil oleh TUHAN, demikianlah jabatan Kristus dibuat seperti itu, bukan hanya oleh Allah Bapa, melainkan juga oleh Kristus sendiri; Elyakim tidak mempunyai

7Kita melihat di atas bahwa parafrasa targumik Yes. 22:22, “Aku akan meletakkan kunci

ƚĞŵƉĂƚ ŬƵĚƵƐ ĚĂŶ ŬĞŬƵĂƐĂĂŶ ĂƚĂƐ ƌƵŵĂŚ ĂƵĚ Ěŝ ĚĂůĂŵ ƚĂŶŐĂŶŶLJĂ͕͟ ŵĞŵĂŚĂŵŝ ďĂŚǁĂ ũĂďĂƚĂŶ ůLJĂŬŝŵ ŵĞŵŝůŝŬŝ ŶĂƚƵƌ ŬĞŝŵĂŵĂŶ ;ĚĂŶ ĂLJ͘ Ϯϰ ĚĂƌŝ ƚĂƌŐƵŵ ũƵŐĂ ŵĞŵĂŶĚĂŶŐ ƐĂŶĂŬ ƐĂƵĚĂƌĂůLJĂŬŝŵƐĞďĂŐĂŝŝŵĂŵͲŝŵĂŵLJĂŶŐďĞƌŐĂŶƚƵŶŐŬĞƉĂĚĂŶLJĂƵŶƚƵŬŬĞŵƵůŝĂĂŶŵĞƌĞŬĂͿ͖ ĚĞŵŝŬŝĂŶũƵŐĂ͕LJĂŶŐŬĞŵƵĚŝĂŶĚĂƌŝDŝĚƌĂƐŚZĂďďĂŚdžŽĚƵƐϯϳ͗ϭŵĞŵĂŚĂŵŝůLJĂŬŝŵĚĂůĂŵ zĞƐ͘ϮϮ͗ϮϯƐĞďĂŐĂŝƐĞŽƌĂŶŐ͞ŝŵĂŵďĞƐĂƌ͘͟ĂŶďƵŬĂŶŶLJĂŬĞďĞƚƵůĂŶũŝŬĂĚŝĚĂůĂŵtŚLJ͘ϯ͗ϭϮ <ƌŝƐƚƵƐũƵŐĂƚĞƌůŝŚĂƚƐĞďĂŐĂŝƉŝŚĂŬLJĂŶŐŵĞŵƉƵŶLJĂŝŬƵĂƐĂĂƚĂƐŽƌĂŶŐͲŽƌĂŶŐLJĂŶŐŵĞŵĂƐƵŬŝ ďĂŝƚ ƐƵĐŝ ůůĂŚ ƐĞŚŝŶŐŐĂ ŵĞŶƵŶũƵŬ ůĞďŝŚ ůĂŶũƵƚ ŬĞƉĂĚĂ ĂƐŽƐŝĂƐŝ ŬĞŝŵĂŵĂŶ͗ ͞ĂƌĂŶŐƐŝĂƉĂ ŵĞŶĂŶŐ͕ŝĂĂŬĂŶ<ƵũĂĚŝŬĂŶƐŽŬŽŐƵƌƵĚŝĚĂůĂŵĂŝƚ^ƵĐŝůůĂŚͲ<Ƶ͘͟WĞƌŚĂƚŝŬĂŶũƵŐĂĚĞƐŬƌŝƉƐŝ ŬĞŝŵĂŵĂŶ LJĂŶŐ ŵƵŶŐŬŝŶ ŵĞŶŐĞŶĂŝ <ƌŝƐƚƵƐ ĚĂůĂŵ tŚLJ͘ ϭ͗ϭϯ͕ ŵĞŶŐĞŶĂŝ ŚĂů ŝŶŝ ůŝŚĂƚ '͘ <͘ ĞĂůĞ͕dŚĞŽŽŬŽĨZĞǀĞůĂƚŝŽŶ͕E/'d;'ƌĂŶĚZĂƉŝĚƐ͗ĞƌĚŵĂŶƐ͕ϭϵϵϵͿ͕ϮϬϴʹϵ͘ĂůĂŵtŚLJ͘ ϯ͗ϭϮ͕ƉĞŶĞŐƵŚĂŶƉĞƌŵĂŶĞŶƐĂŶŐƉĞŵĞŶĂŶŐƐĞďĂŐĂŝƉŝůĂƌĚŝďĂŝƚƐƵĐŝĚĂƉĂƚũƵŐĂŵĞůĂŶũƵƚͲŬĂŶ ŐĂŵďĂƌĂŶ zĞƐ͘ ϮϮ͗ϮϮʹϮϰ͕ Ěŝ ŵĂŶĂ ƐĂŶĂŬ ƐĂƵĚĂƌĂ ůLJĂŬŝŵ ŵĞŶĐĂƉĂŝ ŬĞŵƵůŝĂĂŶ ĚĞŶŐĂŶ ďĞƌŐĂŶƚƵŶŐ ŬĞƉĂĚĂŶLJĂ ƐĞƉĞƌƚŝ ƉĂĚĂ ƐĞďƵĂŚ ƉĂƐĂŬ LJĂŶŐ ĚĞŶŐĂŶ ŬƵĂƚ ŵĞůĞŬĂƚ ŬĞ ĚŝŶĚŝŶŐ͘ ĞďĞƌĂƉĂŬĞƐĂŬƐŝĂŶW>zƵŶĂŶŝũƵŐĂŵĞƌƵũƵŬŬĞƉĂĚĂůLJĂŬŝŵƐĞďĂŐĂŝŽƌĂŶŐLJĂŶŐĚŝƚĞƚĂƉŬĂŶ ŵĞŶũĂĚŝƐĞďƵĂŚ͞ƉŝůĂƌ͟ĚŝĚĂůĂŵzĞƐ͘ϮϮ͗Ϯϯ;sĂƚŝŬĂŶƵƐ͕KƌŝŐĞŶ͕ĚĂŶYŵĞŵďĂĐĂƐƚĤůŽƃ͕͞ŬƵ ĂŬĂŶ ŵĞŶĞƚĂƉŬĂŶ ƐĞďĂŐĂŝ ƐĞďƵĂŚ ƉŝůĂƌ͟ ĂƚĂƵ ͞ŬƵ ĂŬĂŶ ŵĞŶƵůŝƐŬĂŶ ƉĂĚĂ ƐĞďƵĂŚ ƉŝůĂƌ͕͟ ĚĞŵŝŬŝĂŶůĂŚ ĚĂůĂŵ ,͘ <ƌĂĨƚ͕ ŝĞ KĨĨĞŶďĂƌƵŶŐ ĚĞƐ :ŽŚĂŶŶĞƐ͕ ,Ed ϭϲĂ ΀dƺďŝŶŐĞŶ͗ DŽŚƌ ^ŝĞďĞĐŬ͕ϭϵϳϰ΁͕ϴϮ͖ďĚŬ͘:͘&ĞŬŬĞƐ͕/ƐĂŝĂŚĂŶĚWƌŽƉŚĞƚŝĐdƌĂĚŝƚŝŽŶƐŝŶƚŚĞŽŽŬŽĨZĞǀĞůĂƚŝŽŶ͗ sŝƐŝŽŶĂƌLJŶƚĞĐĞĚĞŶƚƐĂŶĚdŚĞŝƌĞǀĞůŽƉŵĞŶƚ͕:^Ed^ƵƉϵϮ΀^ŚĞĨĨŝĞůĚ͗:^KdWƌĞƐƐ͕ϭϵϵϰ΁͕ϭϯϬʹ ϯϯ͕ŵĞƐŬŝƉƵŶďĞƌƐŝĨĂƚƐŬĞƉƚŝƐƚĞŶƚĂŶŐƉĞŶŐĂƌƵŚ>yyͿ͘ĂůĂŵƉĞƌďĂŶĚŝŶŐĂŶŬŽŶƚƌĂƐĚĞŶŐĂŶ ƚĂŶŐŐƵŶŐĂŶͲƚĂŶŐŐƵŶŐĂŶ ůLJĂŬŝŵ LJĂŶŐ ŶĂŶƚŝŶLJĂ ĂŬĂŶ ŬĞŚŝůĂŶŐĂŶ ŬĞŵƵůŝĂĂŶ ĚĂŶ ƉŽƐŝƐŝ ŵĞƌĞŬĂĚŝŝƐƚĂŶĂƉĂĚĂƐĂĂƚĚŝĂĂŬŚŝƌŶLJĂĚŝƐŝŶŐŬŝƌŬĂŶ;ďĚŬ͘zĞƐ͘ϮϮ͗ϮϯʹϮϱͿ͕ƉĞŶŐŝŬƵƚͲƉĞŶŐŝŬƵƚ zĞƐƵƐƚŝĚĂŬĂŬĂŶĚŝƐŝŶŐŬŝƌŬĂŶĚĂƌŝƉŽƐŝƐŝŵĞƌĞŬĂĚĂůĂŵŝƐƚĂŶĂďĂŝƚƐƵĐŝŬĂƌĞŶĂzĞƐƵƐ͕DĞƐŝĂƐ ͞ƐĞũĂƚŝ͕͟ ƚŝĚĂŬ ĂŬĂŶ ŬĞŚŝůĂŶŐĂŶ ƉŽƐŝƐŝͲELJĂ ƐĞďĂŐĂŝ ƌĂũĂ Ěŝ ŚĂĚĂƉĂŶ ĂƉĂͲELJĂ ;ŵĂŬĂ ͞ƉŝůĂƌ͟ ďĞƌƐŝĨĂƚŵĞƚĂĨŽƌŝƐƵŶƚƵŬŬĞĂĚĂĂŶƉĞƌŵĂŶĞŶͿ͘

(9)

SEBUAH STUDI KASUSYANG MENGILUSTRASIKAN METODOLOGI BUKU INI 175

dalam pasal 1. Bagian kedua dari deskripsi diri dalam 3:7 ini didasarkan pada 1:18b, di mana Yesus mengklaim “memegang segala kunci maut dan kerajaan maut (Hades).” Dalam hal ini, kutipan Yesaya 22:22 lebih jauh menafsirkan apa yang dimaksudkannya bahwa Yesus kini “[memiliki] kunci-kunci maut dan kerajaan maut (Hades).” Bahwa penggambaran ini didasarkan atas 1:18b tampak jelas dari dua penyelidikan. Pertama, pada hakekatnya ekspresi yang tepat muncul di dalam kedua teks: bandingkan “yang memegang kunci” di dalam 3:7 dan “Aku memegang segala kunci” di dalam 1:18b. Kedua, seperti dicatat di atas, semua deskripsi diri pendahuluan lainnya mengembangkan frasa-frasa dari pasal 1 (juga frasa yang persis sebelumnya di 3:7b,“yang benar,” mengembangkan “yang setia” di dalam 1:5, seperti tampak jelas dari 3:14 di mana Kristus menyebut diri-Nya “Saksi yang setia dan benar,” yang juga mengembangkan 1:5).

Kunci-kunci ini disebut “segala kunci maut dan kerajaan maut” di dalam Wahyu 1:18b; kini di dalam 3:7b kutipan dari Yesaya 22:22 diganti: “yang meme-gang kunci Daud; apabila Ia membuka, tidak ada yang dapat menutup; apabila Ia menutup, tidak ada yang dapat membuka.” (perbedaan dalam bentuk tunggal “kunci” dan bentuk jamak “segala kunci” tampaknya tidak signifikan). Peng-gantian itu dimaksudkan untuk memperkuat gagasan mengenai frasa aslinya di dalam 1:18b dengan menggarisbawahi kedaulatan yang Kristus pegang atas wilayah “maut dan kerajaan maut.” Kedaulatan ini dijelaskan sebagai kerajaan Daud yang dijanjikan dan telah diwariskan serta dilaksanakan Kristus.

Tujuan kutipan Yesaya adalah Yesus memegang kuasa atas keselamatan dan penghakiman. Di dalam Wahyu 1:18 penekanannya pada kedaulatan-Nya atas maut dan penghakiman, sedangkan di dalam 3:7 penekanannya pada kekuasaan-Nya atas mereka yang memasuki kerajaan tersebut. Yohanes membandingkan situasi historis Elyakim dalam hubungannya dengan Israel dan Kristus dalam hubungan-Nya dengan gereja yang bertujuan membantu para pembaca lebih memahami posisi yang sekarang Kristus pegang sebagai Kepala dari Israel sejati dan bagaimana hal ini memengaruhi mereka. Selanjutnya, kekuasaan politis Elyakim diperluas atas Yerusalem, Yehuda, dan rumah Daud, sementara kedaulatan rohani Kristus yang diresmikan itu dirancang untuk diperluas atas semua orang (termasuk orang-orang non-Yahudi di gereja Filadelfia dan di mana pun). Menurut konteks lebih luas dari seluruh kitab Wahyu, kerajaan Kristus mulai dilaksanakan atas dunia yang bersifat rohani, tetapi pada saat penyempurnaan kerajaan mesianik-Nya, Dia akan memerintah secara rohani maupun fisik dari surga dan bumi yang baru (mis., lihat Why. 11:15; 22:3). Maka, pemerintahan Elyakim memberi tanda-tanda akan pemerintahan Kristus yang lebih besar.

6 BAB 1

keluasan konteks PL dan mereka tidak hanya berfokus pada ayat-ayat tunggal yang terlepas dari segmen rujukan tersebut. Ayat-ayat dan frasa-frasa tunggal hanyalah penunjuk arah bagi konteks PL secara keseluruhan yang dikutip. Lebih lanjut, Dodd menyimpulkan bahwa ini merupakan fenomena hermeneutis yang unik pada masa itu, yang sangat berbeda dengan eksegesis Yahudi. Selanjutnya, dia menegaskan bahwa karena fenomena hermeneutis ini dapat ditemukan di dalam strata tradisi-tradisi PB paling dini, dan karena inovasi seperti itu bukanlah ciri khas dari para penulis, maka Kristus merupakan sumber yang paling mungkin dari hermeneutik asli dan kreatif ini, dan dari Dialah para penulis PB mempelajari pendekatan interpretatif mereka.12

Sebagian kalangan tidak setuju dengan Dodd, dan sebenarnya banyak akademisi dalam bidang ini secara umum menegaskan bahwa penulis-penulis PB sering menerapkan metode eksegetis nonkontekstual.13

Namun, yang lainnya membenarkan tesis Dodd dalam hal ketaatan PB yang unik dan konsisten terhadap konteks PL.14

12Ibid., 110, 126–27.

13Demikianlah, misalnya B. Lindars, New Testament Apologetic (London: SCM, 1961); S. V.

Mc-Casland, “Matthew Twists the Scripture,” Journal of Biblical Literature 80 (1961): 143–48; S. L. Edgar, “Respect for Context in Quotations from the Old Testament,” NTS 9 (1962–63): 56–59; A. T. Hanson, The Living Utterances of God (London: Darton, Longman & Todd, 1983), 184–90; M. D. Hooker, “Beyond the Things That Are Written? St. Paul’s Use of Scripture”

NTS 27 (1981–82): 295–309; B. Lindars, “The Place of the Old Testament in the Formation of

New Testament Theology,” NTS 23 (1977): 59–66. Untuk referensi-referensi lain berkenaan dengan hal ini, silahkan baca bibliografi Longenecker dalam Biblical Exegesis, 223–30; C. D. Stanley, Arguing with Scripture (New York: T&T Clark, 2004); S. Moyise, The Old Testament in

the Book of Revelation, JSNT 115 (Sheffield: Sheffield Academic Press, 1995); idem, “The Old

Testament in the New: A Reply to Greg Beale,” Irish Biblical Studies 21 (1999): 54–58; idem,

“Does the New Testament Quote the Old Testament out of Context?” Anvil 11 (1994): 133–43.

Berbagai referensi tersebut berusaha mengambil kedua pandangan mengenai masalah ini menurut teori intertekstual, meskipun masih bersandar pada pendekatan nonkontekstual.

14Sebagai tambahan pada sumber-sumber yang dikutip di atas dalam hal ini, lihat juga,

misalnya S. Kistemaker, The Psalm Citations in the Epistle to the Hebrews (Amsterdam: Van Soest, 1961); R. Rendell, “Quotation in Scripture as an Index of Wider Reference,”

Evangeli-cal Quarterly 36 (1964): 214–21; Hartman, Prophecy Interpreted; R. T. France, Jesus and the Old Testament (Grand Rapids: Baker, 1971); idem, “The Formula-Quotations of Matthew 2

and the Problem of Communication,” NTS 27 (1980–81): 233–51; D. Seccombe, “Luke and Isaiah,” NTS 27 (1980–81), 252–59; Johnson, Old Testament in the New; D. J. Moo, The Old

Testament in the Gospel Passion Narratives (Sheffield: Almond, 1983); W. C. Kaiser, The Uses of the Old Testament in the New (Chicago: Moody, 1985); Moo, “Problem of Sensus Plenior”;

G. K. Beale, “The Influence of Daniel upon the Structure and Theology of John’s Apocalypse,”

JETS 27 (1984): 413–23; idem, “The Use of the Old Testament in Revelation,” in It Is Written: Scripture Citing Scripture; Festschrift in Honour of Barnabas Lindars, ed. D. A. Carson dan H.

Williamson (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 318–36; idem, “The Old Testament Background of Reconciliation in 2 Corinthians 5–7 and Its Bearing on the Literary Problem of

(10)

Referensi

Dokumen terkait