• Tidak ada hasil yang ditemukan

PONGKA PADANG SEBAGAI JEJAK TARI ELLO-ELLOQ DI KAYU ANGIN MAJENE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PONGKA PADANG SEBAGAI JEJAK TARI ELLO-ELLOQ DI KAYU ANGIN MAJENE"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PONGKA PADANG SEBAGAI JEJAK TARI ELLO-ELLOQ

DI KAYU ANGIN MAJENE

PONGKA PADANG AS A TRACE OF THE DANCE OF ELLO-ELLOQ IN KAYU ANGIN MAJENE

Sahajuddin

Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan Jalan Sultan Alauddin/ Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221

Telepon (0411) 885119, 883748, Faksimile (0411) 865166 Pos-el: saj.sahajuddin@yahoo.com

Ponsel: 081342630331

ABSTRACT

The dance of ello-elloq is a traditional dance which was born during the period of Pongka Padang and became a part of tradition in Kayu Angin, Majene Regency. Because the dance was interesting to reveal its traces in Mandar history, this study aimed to explain the traces of the dance of ello-elloq in Mandar history. The method used was history which explained the research problems based on the historical perspectives, starting from the heuristic process, source criticism, interpretation, historiography. The study result showed that the dance of ello-elloq was a traditional dance with a particular meaning for the formation of the unities in Ulunna Salu Mandar due to the historical traces of Pongka Padang. The dance of ello-elloq hunt the historical and cultural reality of Mandar at the time, especially in Kayu Angin. In this area, Pongka Padang and Torije’ne were considered as Mandar anchestors and the dance of ello-elloq was a part of the history of Pongka Padang as well as the starting point for the development of cultural values in Kayu Angin community in Mandar. The cultural values in the dance of ello-elloq were the value of obedience and loyalty through the votive of Pongka Padang, the value of communication between tradition and reality, and the value of gratitude and entertainment.

Keywords: Pongka Padang, the dance of ello-elloq, and Kayu Angin ABSTRAK

Tari ello-elloq merupakan tari tradisional yang lahir pada masa Pongka Padang dan menjadi bagian dari tradisi di Kayu Angin, Kabupaten Majene. Oleh karena tarian ini menarik untuk diungkap jejak-jejaknya dalam sejarah Mandar, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dan menjelaskan jejak tari ello-elloq dalam sejarah Mandar. Metode yang digunakan adalah metode sejarah yang menjelaskan dan menguraikan persoalan penelitian berdasarkan perspektif sejarah, mulai dari proses heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Hasil kajian menunjukkan bahwa tari ello-elloq merupakan tari tradisional yang memiliki makna tentang terbentuknya kesatuan-kesatuan di Ulunna Salu Mandar dari jejak sejarah Pongka Padang. Tari ello-elloq mengisyaratkan adanya realitas sejarah dan budaya Mandar pada masanya, terkhusus di Kayu Angin. Di daerah tersebut, Pongka Padang bersama Torije’ne dianggap sebagai nenek moyang orang Mandar dan tari ello-elloq menjadi bagian dari sejarah Pongka Padang sekaligus menjadi titik awal terbangunnya nilai-nilai budaya dalam masyarakat Kayu Angin di Mandar. Nilai-nilai budaya dalam tari ello-elloq adalah nilai kepatuhan dan nilai kesetiaan melalui nazar Pongka Padang, nilai komunikasi antara tradisi dengan realitas kekinian, serta nilai kesyukuran dan hiburan.

(2)

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki berbagai macam etnis, agama, dan bahasa, termasuk berbagai macam kebudayaan yang tersebar dari Saban sampai Merauke. Salah satu wujud kebudayaan Indonesia adalah tari-tarian yang juga tersebar banyak di semua suku bangsa Indonesia. Wujud kebudayaan itu telah ada sejak manusia mengekspresikan kehidupan dirinya melalui gerak tubuhnya. Apa lagi jika tarian diartikan sebagai ungkapan atau ekspresi jiwa; sebagai ungkapan perasaan; dan sebagai ekspresi tubuh manusia melalui gerak badan yang berirama dan diiringi dengan bunyi-bunyian (Novitasari. 2015:17). Ungkapan itulah dimaknai sebagai bentuk komunikasi, sementara gerakannya dapat dimaknai sebagai tari sesuai dengan konteksnya, sehingga tari dalam konteks tersebut memiliki fungsi komunikasi antara perasaan yang mereka rasakan dengan gerakan tubuh yang ia ungkapkan.

Pandangan tersebut mengisyaratkan bahwa tari sudah ada sejak lampau seiring dengan proses sejarah umat manusia. Maka, sepanjang itu pula tari-tarian sudah ada dan mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia. Tari dapat memberikan berbagai manfaat; apakah bermanfaat sebagai hiburan, sarana komunikasi dan sebagai ungkapan syukur melalui upacara atau ritual adat. Demikian juga pada masa kerajaan, sudah banyak tari-tarian yang tercipta dan masih eksis sampai sekarang, sebut saja tari Wayang Wong di Yogyakarta, Tari Kecak di Bali, tari Tortor di Sumatera Utara, Tari Pakarena di Sulawesi Selatan, tari Sayyang Pattuqduq di Sulawesi Barat, dan lain-lain. Tari-tari ini sudah melegenda sebagai bagian dari sejarah daerah dan masih eksis sampai sekarang karena memiliki nilai-nilai yang terkait dengan tradisi dan budaya. Tetapi ada tari-tarian yang memiliki makna kelampauan yang cukup tinggi dan dianggap masih fungsional pada masa kekinian tetapi tidak dapat berkembang dengan baik, yaitu tari Ello-Elloq.1 Tari

Ello-1.Pengertian Ello-Elloq secara harafiah tidak

ditemukan dalam istilah bahasa Mandar maupun

Elloq sebagai tari tradisional memiliki nilai dan makna yang cukup tinggi dalam sejarah dan budaya orang Mandar, khususnya masyarakat di Ulunna Salu, atau tepatnya di Kayu Angin, Majene. Tari ini dipercaya oleh masyarakat pendukungnya diciptakan oleh Pongka Padang sebagai perwujudan mattinja (janji/nazarnya), sekaligus sebagai ungkapan syukur Pongka Padang kepada Tuhannya pascagempah bumi (Wawancara dengan pak Ferdiansyah, 20 Juni, 22 dan 23 Juli 2019).

Menurut kepercayaan orang Kayu Angin bahwa tarian ini pertama kali ditarikan pascagempa bumi pada masa Pongka Padang (tidak berangka tahun) sekitar abad XIV. Dalam

lontaraq Mandar, Pongka Padang diceritakan

sebagai nenek moyang dalam kepemimpinan pemerintahan dan sebagai peletak dasar adat di tanah Mandar, baik di Pitu Ulunna Salu maupun di Pitu Babana Binanga sebagaimana hasil kajian Darmawan Mas’ud Rahman (1998: 165).

Walaupun demikian, Pongka Padang bukan sebagai manusia sempurna yang dapat terhindar dari berbagai persoalan dan cobaan. Namun, tercatat sebagai peletak dasar nilai di tanah Mandar serta memiliki kemampuan untuk keluar dari persoalan dan cobaan itu. Kemampuan itulah, ia semakin diakui oleh masyarakatnya sebagai panutan seperti pada saat terjadi gempa bumi. Hal ini menjadi menarik karena di Kayu Angin sering terjadi banjir dan gempa bumi. Sehingga gempah bumi yang terjadi pada Januari 2021 bukanlah gempa bumi yang baru pertama kali terjadi di sana. Tetapi juga pernah terjadi beberapa kali sebagaimana yang terjadi pada masa Pongka Padang. Namun yang tercatat di BMKG, hanya yang terjadi pada tahun 2021,

pada tahun 1979 dan tahun 1976 (Kompas.com). di Kayu Angin sendiri. Pengertian Ello-Elloq hanya dapat dipahami berdasarkan pengertian pemaknaan hasil wawancara kepada pak Aman, dan pak Ferdiansyah sebagai penerus tradisi di Kayu Angin; serta wawancara kepada beberapa anggota masyarakat yang menyebutkan bahwa Ello-Elloq dapat diartikan meliuk-liuk atau goyangan badan secara sederhana dengan mengutamakan gerakan tangan.

(3)

Kemudian tarian ini menjadi tarian tradisi karena sering dilakukan pada saat pelaksanaan tradisi paqbandangang Kayu Angin, walaupun tradisi itu tidak rutin dilakukan setiap tahun. Namun, biasanya dilakukan pada pasca atau sebelum terjadinya bencana alam dan atau adanya wabah penyakit. Kadang juga dilakukan ketika ada isyarat atau tanda-tanda yang diterima oleh sando (dukun adat), bisa juga atas inisiatif dari sando berdasarkan petunjuk dari Tuhannya atau masukan dari warga (Wawancara dengan Pak Ferdiansyah, 20 Juni, 22 dan 23 Juli 2019). Orang Kayu

Angin percaya bahwa melaksanakan upacara dan tradisi Kayu Angin yang di dalamnya ada tari Ello-Elloq dapat mewujudkan banyak doa dan banyak harapan warga. Apakah doa atau harapan akan berakhirnya bencana alam, berakhirnya wabah penyakit, atau terwujudnya cita-cita warga masyarakatnya. Itulah sebabnya, warga masyarakat Kayu Angin di mana pun mereka merantau dan memiliki biaya pulang ke Kayu Angin, mereka akan pulang jika diadakan upacara karena berharap akan mendapatkan berkah dan keselamatan.

Mengingat kedudukan tari itu, mestinya tari Ello-Elloq dapat hidup, tumbuh, dan berkembang sepanjang zaman sesuai dengan perkembangan kebudayaan. Namun, pada kenyataannya tari Ello-Elloq sebagai tari tradisional yang sudah ada sejak masa Pongka Padang dan Torije’ne belum dapat berkembang dengan baik. Padahal, tari ini mengandung nilai-nilai kelampauan sejarah Mandar sehingga wajib dilestarikan sebagaimana amanah UU No. 5 tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa Pemajuan Kebudayaan adalah upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui pelindungan; pengembangan; pemanfaatan; dan pembinaan kebudayaan.

Tari tradisional sebagai produk budaya mempunyai peran penting dalam masyarakat karena di dalamnya terkadung nilai-nilai luhur yang patut dipelajari dan dicontoh. Bukan hanya

sebagai wacana untuk dilestarikan, melainkan harus menjadi bukti nyata dalam pelestarian. Nilai-nilai itu harus ditransfer atau diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya agar tetap eksis dan menjadi identitas budaya daerah, serta diharapkan terhindar dari kepunahan. UU Pemajuan Kebudayaan menganggap bahwa pelestarian dan pewarisan menjadi wajib, karena di samping memiliki makna dan nilai-nilai, juga adanya kekhawatiran banyak pihak, mengingat generasi muda cenderung kurang tertarik pada tari-tarian tradisional tetapi tertarik pada tari-tarian modern atau moderen dance. Hal itu sangat disayangkan dan sangat miris kalau generasi muda mulai lupa akan budaya leluhur yang kita miliki.

Salah satu alasan sehingga tarian modern

dance banyak disukai oleh generasi muda karena

tidak mengharuskan memakai pakaian yang rumit atau gerakan-gerakan yang pakem, seperti

moderen dance, break dance, freestyle, dan

lain-lain. Di samping kebebasan yang dimiliki tarian moderen, juga adanya kebebasan berekspresi melalui kostum, menonjolkan estetika, serta tidak dibatasi pada golongan tertentu saja. Hal tersebut berbanding terbalik dengan tari-tarian tradisional yang mementingkan pakem-pakem yang ada, baik pakaiannya maupun gerakan tarinya. Apa lagi jika tari tradisional mewajibkan penarinya dengan syarat-syarat tertentu yang tidak gampang dipenuhi. Oleh sebab itu, tari itu biasanya jarang dipentaskan karena tidak semua golongan yang dapat menarikannya, seperti tari Ello-Elloq. Akibatnya, tarian ini terancam punah karena tarian ini jarang dipentaskan. Padahal tarian ini memiliki makna dan pesan budaya yang sangat mendalam. Hal itu menjadi keperihatinan beberapa pihak, termasuk menjadi alasan kajian ini dilakukan. Alasan lain, tarian ini penting dikaji karena tarian ini memiliki nilai dan pesan makna yang masih fungsional pada masa kekinian, sementara belum ada yang pernah meneliti secara khusus tari Ello-Elloq.

Tarian ini juga dianggap sebagai tarian syukuran sehingga tarian ini kadang dipentaskan setelah panen. Sering juga dilakukan setelah

(4)

terjadi bencana atau berakhirnya wabah penyakit. Sebagaimana yang dilakukan oleh Pongka Padang pada saat berakhirnya bencana alam. Namun, tarian ini timbul tenggelam karena tarian ini disaklarkan pada awal keberadaannya dan hanya pada momen-momen tertentu saja tarian ini dipentaskan. Sementara tari-tarian lain berkembang dengan cepat, terbukti banyaknya pagelaran atau suguhan tari pada berbagai acara. Oleh sebab itu, tari Ello-Elloq menjadi penting untuk diteliti dan dilestarikan agar semua kalangan dapat memahaminya. Tidak sekedar memahami unsur-unsur tarinya seperti gerak, ritme, musik, tata pentas, tata rias, busana dan unsur pendukung lainnya, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah proses penciptaannya yang menjadi roh dalam tarian Ello-Elloq. Karena itu, kajian ini lebih menitikberatkan pada jejak sejarahnya sehingga penting kira menjelaskan Pongka Padang dalam konteks terciptanya tarian Ello-Elloq. Selain itu, juga menjelaskan sejarah tari Ello-Elloq, serta perkembangan fungsi tari Ello-Elloq.

METODE

Tari Ello-Elloq sebagai tari tradisi tentu keberadaannya sudah lama ada dan mengalami dinamika sepanjang sejarah. Makanya, kajian menggunakan metode sejarah dengan pendekatan kualitatif melalui wawancara tetapi tetap mempergunakan data-data tertulis. Pendekatan ini dianggap pendekatan yang tepat untuk meneliti jejak tari Ello-Elloq, sebab tari ini dianggap tari tradisi dan memiliki fungsi kekinian. Sementara di sisi lain, tari ini tidak begitu populer dalam masyarakat Mandar, bahkan dalam masyarakat Kabupaten Majene sebagai kabupaten asal tarian ini. Oleh sebab itu, kajian ini hanya mengutamakan kajian sejarahnya agar terungkap proses nilai dan manfaatnya. Adapun langkah-langkah penelitian sejarah pada umumnya (Cottschalk, 1985:27) adalah: (1) heuristik, yaitu proses mengumpulkan data-data melalui studi pustaka dan studi lapangan dalam bentuk wawancara, pementasan tari dan dokumentasi; (2) kritik

sumber, karena tidak semua sumber yang diperoleh akan dipergunakan sebagai data analisis, tetapi diseleksi melalui kritik sumber; (3) interpretasi, sering disebut penafsiran sebagai sikap sejarawan atau penulis terhadap sumber-sumber yang diperoleh; dan (4) historiografi, sering diartikan sejarah penulisan sejarah secara luas. Maksudnya sebagai suatu kesatuan dari proses rekonstruksi yang kita sebut historiografi (Kartodirdjo, 1985:9). Melalui metode sejarah yang didasarkan pada data tertulis. Meski demikian, penelitian ini dilengkapi juga data kualitatif melalui wawancara, sehingga diharapkan dapat mengungkapkan dan memberikan penjelasan terkait dengan jejak sejarah tari Ello-Elloq.

PEMBAHASAN

Pongka Padang Penabur Jejak

Sulawesi Barat mengenal banyak kerajaan, setidaknya ada 14 kerajaan yang terbagi dalam 2 konfederasi. Konfederasi yang dimaksud adalah konfederasi yang tergabung dalam Pitu Ulunna Salu (7 kerajaan yang ada di hulu sungai/daratan tinggi) dan kedua adalah federasi Pitu Babana Binanga (7 kerajaan yang ada di muara sungai/pesisir pantai). Namun, pembentukan federasi Pitu Ulunna Salu dan Pitu Bababa Binanga memiliki proses yang berbeda-beda, terutama awal keberadaan setiap anggota federasi (Lihat Amir dan Sahajuddin, 2011). Walaupun memiliki perbedaan dalam proses pembentukannya, anggota kerajaan yang tergabung dalam federasi tersebut memiliki kesamaan dalam menarik hubungan geneologis nenek moyang mereka, yaitu Pongka Padang. Dalam banyak data disebutkan bahwa anak cucu Pongka Padang yang tersebar ke berbagai daerah atau kerajaan yang ada di tanah Mandar (Sulawesi Barat). Paling tidak ada sekitar 41 keturunannya yang menjadi pemimpin adat dan pemimpin pemerintahan di wilayahnya masing-masing (Darmawan Mas’ud Rahman, 1998: 164-166).

(5)

Sama halnya dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat juga memiliki proses integrasi kerajaannya melalui mitologis yang dikenal dengan Tomanurung. Termasuk Pongka Padang sebagai salah satu cerita mitologis yang dikenal sebagai Tomanurung dalam wilayah Pitu Ulunna Salu, khususnya di Tabulahan atau Hulu Sa’dang. Konsep mitologis ini sebagai awal sejarah orang-orang Mandar. Dimulai dari orang-orang yang berdiam di daerah Bulomappa (hutan bambu) daerah Tabulahan. Diceritakan bahwa pada suatu hari daerah ini kedatangan seorang perempuan cantik yang tidak diketahui asal usulnya. Perempuan cantik tersebut datang dengan memakai perahu kecil (sampan) dan disaksikan oleh warga Tabulahan di pinggir sungai. Masyarakat memperkirakan bahwa kehadirannya di situ bukan sebagai penduduk asli, melainkan pendatang melalui jalur air (sungai) karena menggunakan perahu hingga tiba di tempat tersebut. Sementara ada data menyebutkan bahwa orang yang tidak dikenal asal-usulnya tetapi memiliki kelebihan dibanding dengan orang pada umumnya, biasanya diberi nama Tomanurung. Itulah sebabnya masyarakat Tabulahan menyebut perempuan cantik itu dengan sapaan Tomanurung atau Torije’ne yang artinya orang dari air (Renggong, 1992:18).

Pengungkapan cerita itu sebagai sejarah berdasarkan fakta-fakta tertulis berupa dokumen sangat sulit ditemukan. Cerita itu hanyalah cerita yang bersifat turun temurun tetapi dipercaya atau diyakini oleh masyarakat bahwa memang pernah terjadi. Namun, tidak adanya dokumen tertulis di Ulunna Salu dapat dipahami karena masyarakat Ulunna Salu tidak mengenal tradisi tulis pada masa lampau, melainkan tradisi lisan yang disebut

pau-pau. Melalui pau-pau itulah mereka

menurunkan berbagai tradisi kepada anak cucunya. Kemudian, setelah kisah Torije’ne menjadi realitas sejarah di Tabulahan, tidak lama berselang, juga ada peristiwa lain yang terjadi dalam wilayah Tabulahan. Di dalamnya

diceritakan munculnya seorang laki-laki yang gagah berani, lengkap dengan kebeserannya. Ketika ditanya tentang asal-usulnya, laki-laki gagah berani langsung menjawab bahwa ia tidak mengetahui dari mana ia berasal, sehingga banyak orang juga menyebutnya Tomanurung sama dengan Torije’ne. Walaupun laki-laki yang gagah perkasa itu tidak mengetahui asal-usulnya tetapi ia mengaku bernama Pongka Padang. Ia juga memiliki pembawaan yang ramah, dan dari raut wajahnya menampakkan sinar keberanian, sehingga disambut dengan penghormatan yang tinggi oleh masyarakat.

Cerita tersebut menyebutkan bahwa di Tabulahan sebagai salah satu wilayah di Ulunna Salu memiliki dua sosok manusia yang luar biasa karena memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh orang lain pada umumnya. Kedua sosok ini selalu menjadi perbincangan oleh orang-orang yang berada di daerah tersebut. Ada yang membicarakan kecantikan Torije’ne dan ketampanan Pongka Padang; ada yang membicarakan budi pekertinya; ada yang membicarakan keberanian dan kekuatannya yang melebihi orang lain pada umumnya; termasuk ada yang membicarakan perjodohan di antara keduanya. Topik-topik perbincangan di atas selalu menjadi inspirasi masyarakat, namun yang paling berkembang di masyarakat adalah perjodohan di antara keduanya karena dianggap pasangan yang serasi dan ideal. Oleh sebab itu, masyarakat setempat berusaha melakukan perjodohan untuk menjadikannya sebagai pasangan suami istri (Renggong, 1992:18).

Atas usaha para penguasa Lembang-lembang, kedua sosok Tomanurung ini ternyata mau dijodohkan. Setelah menjadi pasangan suami-istri, maka masyarakat disibukkan kembali oleh salah satu di antara dua Tomanurung itu. Kesibukan itu bukan karena perjodohannya tetapi masalah kepemimpinannya, khususnya Pongka Padang. Ia dianggap sebagai calon pemimpin yang dapat mengayomi sehingga masyarakat mendaulatnya untuk mejadi pemimpin. Usaha

(6)

itu pun tercapai, dan dari pasangan inilah yang menurunkan keturunan di berbagai kawasan Mandar. Keturunan-keturunannya yang kelak menjadi pemimpin di kawasan itu, mulai dari pegunungan hingga ke pesisir pantai. Adapun anak cucu dari pasangan Pongka Padang dengan Torije’ne adalah: Lasimbalatu (pr) pergi keTubbi; Daeng Tamanan pergi ke Aralle; Makkadeng pergi ke Mamuju; Takarabatu pergi ke Limboro; Tabulibassi pergi Tappalang; Tomematakalakia pergi Mekanta; Takayang Pudung pergi Pambusuang; Batti Padang pergi Rantebulahan; Daeng Atana pergi ke Mambie; Daeng Maganna pergi ke Bambang; Talabinna pergi ke Mangki (Syah, 1998: 16-17)

Kesebelas orang bersaudara tersebut, diceritakan melakukan migrasi ke berbagai wilayah. Misalnya anak pertama yang bernama Lasimbadatu yang pergi dan menetap di Tubbi, tetapi tidak lama kemudian, ia melakukan pengembaraan. Dalam pengembaraannya ia bertemu dengan anak perempuan Lombensusu di Galumpang yang bernama Pullaju. Pertemuan itu membuat Lasimbadatu dan Pullaju saling mencintai, maka keduanya dipertemukan dan dikawinkan. Atas perkawinan itu, lahir lagi 11 orang anak, yakni: Taloajak (pr) pergi ke Tubbi; Tabitung Balanipa; Daeng Marae Taramanu; Takanatja Allu; Tandiri Tjenrana; Takanae Tappalang; Tasahanan pergi ke Mamuju; Daeng Malulun Ulumandar; Marimbu ke Matangnga; Taajoan ke Bulo; Salabi ke Sumarrang (Renggong, 1992:18).

Salah seorang dari 11 orang bersaudara tersebut yang bernama Tabitung memilih tinggal di Limboro dekat Napo untuk menjadi petani. Walaupun ia adalah seorang perempuan yang cantik tetapi tidak mengurangi niatnya menjadi petani yang berhasil. Namun, belum lama ia bertani di Limboro, Tabitung dilihat oleh seorang pemuda, yaitu anak dari Tomakaka Napo yang pergi berburu dan melihat Tabitung sedang berkebun. Menurut pemuda itu bahwa Tabitung sangat cantik. Setelah pemuda itu pulang ke rumahnya, ia menyampaikan perihal itu kepada ayahnya, sekaligus mendesak

ayahnya untuk menikahkannya dengan gadis yang bernama Tabitung. Atas permintaan anaknya, Tomakaka Napo berusaha mencari tahu siapa perempuan cantik dan dari mana asalnya. Setelah menelusuri jejak perempuan cantik itu, maka diketahuilah bahwa perempuan itu memang sangat cantik, cucu dari Pongka Padang. Dari fakta itulah yang membuat orang tua dari pemuda itu mengabulkan keinginan anaknya untuk dikawinkan dengan Tabitung cucu dari Pongka Padang. Hasil dari perkawinan itu melahirkan anak, dan salah seorang anaknya adalah laki-laki yang bernama I Manyambungi Todilaling sebagai peletak dasar Kerajaan Balanipa Mandar (Renggong, 1992:18).

Sementara dalam berbagai data disebutkan bahwa I Manyambungi Todilaling adalah raja pertama Kerajaan Balanipa yang menurunkan raja-raja berikutnya. Baik di Kerajaan Balanipa sendiri maupun di kerajaan yang tergabung dalam federasi Pitu Babana Binanga. Penjelasan tersebut memberi petunjuk bahwa Ulunna Salu dan Babana Binanga memiliki hubungan geneologis nenek moyang yang sama (satu rumpun) dari sebelas orang anak Pongka Padang dan Torije’ne yang menyebar. Baik yang berkembang di daerah pegunungan, maupun yang berkembang di pesisir pantai. Meskipun demikian, sumber-sumber di atas menyebut nama nenek moyangnya dengan sebutan yang berbeda. Namun, perbedaan itu sesungguhnya hanyalah perbedaan penuturan kata saja, tapi arti dan maksudnya sama. Pongka Padang berasal dari kata Pongka artinya “Pokok” dan

Padang artinya “tanah atau daerah”. Sedangkan

orang Pitu Babana Binanga menyebut nenek moyangnya dengan sebutan Banua Pong yang keturunannya berkembang dan tersebar di daerah pesisir. Jika diartikan secara harafiah, maka kata

banua berarti “wilayah atau daerah”, sedangkan Pong artinya “pokok”. Jadi, maksud kedua nama

nenek moyang suku Mandar sesuai dengan sumber-sumber, adalah sama, yaitu Pongka Padang walaupun penyebutan yang berbeda.

Perkembangan dan persebaran keturunan Pongka Padang dan Torije’ne, yang merupakan

(7)

awal terbentuknya kerajaan-kerajaan yang ada di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babana Binanga. Namun dalam perkembangannya, 2 federasi tersebut terjadi konflik yang berkepanjangan karena memiliki tradisi hukum yang berbeda. Tradisi hukum adat Ulunna Salu adalah Adaq

Tuho (Hukum Hidup), sementara tradisi hukum

adat Pitu Babana Binanga adalah Hukum Mati. Perbedaan hukum adat inilah sebagai penyebab konflik dan menjadi alasan terbentuk 2 federasi, sekaligus menjadi alasan terbentuknya persatuan antara 2 federasi tersebut. Dua federasi tersebut membuat perjanjian yang disebut Perjanjian Luyo yang melahirkan kata sipamandak/

sipamandar (saling memperkuat). Salah satu

isi perjanjian yang memiliki makna penyatuan antara Pitu Babana Binanga dan Pitu Ulunna Salu adalah ”neneq di Ulunna Salu, appo di

Babana Binanga” artinya bahwa nenek di Pitu

Ulunna Salu, sedangkan cucu di Pitu Babana Binanga. Walaupun memiliki dasar hukum yang berbeda tetapi mereka merasa menjadi satu kesatuan. Sebagai contoh konsep hukum hidup di Ulunna Salu yang diprakarsai oleh Londong Dehata dari Rantebulahan. Konsep hukum itu yang mempantangkan praktek hukum mati, termasuk meneteskan darah. Hal ini berangkat dari pesan leluhur nenek moyang mereka bahwa “Ia kenna toadoi rara litaq

matei adaq”, artinya Jika tanah ditetesi darah,

maka mati pulalah adat (Mandar, 1985: 30-31). Ulunna Salu sebagai nenek dalam konsep “sipamandaq/sipamandar” (saling menguatkan), dan Pongka Padang sebagai realitas historis dalam wilayah Ulunna Salu. Maka dari itu Pongka Padang adalah penabur kepemimpinan dan penabur tradisi di berbagai kerajaan, terutama terbentuknya dan perkembangan federasi Pitu Ulunna Salu. Dalam banyak kasus persekutuan antarkerajaan selalu dipicu oleh persoalan keamanan daerahnya, termasuk di daerah Ulunna Salu. Banyak diberitakan bahwa sering terjadi penyerangan kerajaan lain ke Ulunna Salu. Serangan-serangan itu tidak menyerang kerajaan Ulunna Salu secara khusus. Tetapi

penyerangan itu sifatnya pengejaran, yaitu pengejaran terhadap orang yang dianggap bersalah. Sementara orang-orang yang dikejar itu meminta perlindungan di daerah yang menganut hukum hidup.

Orang-orang yang dikejar tersebut kebanyakan berlari ke daerah Tabulahan, Rantebulahan, dan Aralle. Tiga wilayah kekuasaan itu sebagai penanggung jawab di daerah Ulunna Salu, sehingga tiga wilayah ini menjadi tempat pelarian pencari suaka dan sekalaigus menjadi sasaran pengejaran. Jadi meskipun hanya ditujukan ke 3 wilayah itu, kekuasaan di Ulunna Salu khawatir kalau kerajaan-kerajaan mereka diserang. Mereka juga tidak mau kalau tiga kerajaan leluhurnya diserang, jadi merasa bertanggungjawab atas keselamatan tiga kekuasaan leluhurnya. Apa lagi, Tabulahan sangat dihargai oleh kerajaan-kerajaan lain sebagai asal nenek moyang suku Mandar, yaitu Pongka Padang dan Torije’ne, sehingga daerah Ulunna Salu bersatu dan menyatukan diri membela mati-matian Tabulahan, sebab tiga wilayah itu adalah simbol kekuasaan di Ulunna Salu. Oleh sebab itu, tiga daerah ini diberi peran dan tanggungjawab yang besar. Disebutkan bahwa untuk memelihara persatuan dan keutuhan, Rantebulahan dan Aralle diangkat sebagai Ayah dan Ibu dalam istilah ”Sipobaine di Adaq (suami istri dalam persoalan adat), sementara Tabulahan diangkat sebagai orang tua atau yang tertua, pembagi pusaka, dan pemutus perkara seadil-adilnya (Mandar, 1985: 30-31).

Kenyataan masa itulah yang menjadi dasar kerajaan-kerajaan yang ada di pegunungan melakukan persekutuan dalam rangka mempertahankan wilayahnya dari serangan daerah pesisir dan dari daerah-daerah lainnya. Tetapi, dari berbagai sumber menyebutkan tentang latar belakang terbentuknya persekutuan Pitu Ulunna Salu karena banyaknya penyerangan. Banyak menduga karena terkait dengan peristiwa penghancuran Kerajaan Passokkorang yang dianggap zalim. Kerajaan Pasokkorang

(8)

diruntuhkan oleh pasukan I Manyambungi Todilaling, dimana sebagian besar pasukannya melarikan diri ke dearah pegunungan untuk meminta perlindungan. Dari kasus pengejaran itulah sebagai faktor terbentuknya persekutuan atau federasi Pitu Ulunna Salu. Selain itu, Todilaling juga berusaha untuk menyelesaikan konflik melalui perjanjian persahabatan. Sementara di Ulunna Salu mengambil momen tersebut sebagai alasan untuk menyatukan diri dan mengantisipasi kemungkinan adanya serangan-serangan berikutnya. Ada tujuh anggota kerajaan yang tergabung di dalam persekutuan tersebut. Ada pun anggota-anggota yang dimaksud adalah: Tabulahan, Aralle, Mambi, Rantebulahan, Matanga, Tabang, dan. Tuqbi. Sumber lain menyebutkan ada perbedaan nama kerajaan yang tergabung dalam Pitu Ulunna Salu. Namun, ada juga menyebutkan bahwa negeri-negeri yang masuk wilayah Pitu Ulunna Salu adalah semua daerah yang hadir dalam pertemuan khusus membentuk federasi, yakni Aralle, Bambang, Mambie, Tabulahan, Matanga, Tuqbi, Rantebulahan, Messawa, Malobo, Salu Banua, Botteng, Pamusung, Salu Durian, Salu Allo, Salu Maka, Keppe, Talipuki, Mahelaan, Banua Saha, Usango dan Mamasa (Renggong, 1992:37-38).

Banyaknya anggota kekuasaan di daerah Ulunna Salu, tentu menimbulkan pertanyaan, kenapa anggota persekutuannya hanya tujuh kerajaan padahal banyak anggotanya. Tetapi jika didasarkan pada pemahaman terhadap tujuan diadakannya pertemuan khusus kerajaan-kerajaan yang ada di Ulunna Salu, maka dapat diperkirakan bahwa pertemuan di Ulunna Salu bukan membentuk tujuh anggota federasi terlebih dahulu. Pertemuan khusus itu adalah penentuan tujuan dan fungsi pembentukan persekutuan nantinya. Hasil pertemuan khusus itulah menghasilkan 7 tujuan. Sementara angka 7 sebagai anggota Pitu Ulunna Salu, menurut penulis karena adanya 7 tujuan yang dihasilkan dalam pertemuan khusus Ulunna Salu. Dalam pertemuan itu disepakati bahwa setiap satu tujuan akan dipimpin dan dipertanggungjawabkan

oleh satu kerajaan Ulunna salu. Oleh sebab itu, hasil kesepakatan itulah yang menjadi alasan dari pertanyaan, kenapa hanya tujuh anggotanya padahal banyak anggota kerajaan yang ada di Ulunna Salu. Selain itu, di wilayah Babana Binanga, juga terbentuk 7 kerajaan yang melakukan persekutuan. Adapun 7 tujuan hasil pertemuan khusus tersebut adalah:

a. Tabulahan: tugasnya adalah Peanti

Sakkuanna Kadinge, Talao Rapaqna Kada Nene (yaitu menangani masalah

kesejahteraan di Pitu Ulunna Salu dan mengesahkan hasil musyawarah atau Indo Litaq/Ibu Negeri).

b. Aralle: Tugasnya adalah Tomaqkadanna Pitu Ulunna Salu, Toaaq Pau-paunna Pitu

Babana Binanga, maksudnya sebagai

juru bicara (ke dalam dan ke luar) Pitu Ulunna Salu.

c. Rantebulahan: tugasnya adalah To

Maqdua Takin, Tomaqtallu Sulekka,

maksudnya adalah bertanggung jawab dalam bidang politik, ekonomi, dan keamanan Pitu Ulunna Salu dan juga sebagai Indo Lembang artinya sebagai ketua dalam federasi Pitu Ulunna Salu. d. Mambi: tugasnya adalah Soqbena Pitu

Ulunna Salu, Lantang Kada Nene

(menangani bidang pertanian Pitu Ulunna Salu. Dan Mambi juga adalah tempat bermusyawarah hadat-hadat Pitu Ulunna Salu).

e. Tabang: tugasnya adalah Parahatangna

Pitu Ulunna Salu, Bubunganna Kada Nene (menjaga (menjamin) atas persatuan

dan kesatuan negeri-negeri Pitu Ulunna Salu dan juga sebagai pelindung hasil mausyawarah).

f. Matanga: tugasnya adalah Andiri

Tantipong, Sambo Langiqna Pitu Ulunna Salu, Andirinna Kada Nene (menangani

masalah Pertahanan dan keamanan di wilayah Pitu Ulunna Salu, dan sebagai penegak hasil musyawarah).

g. Tuqbi: tugasnya adalah Pangulu Bassinna

(9)

Nene: menjaga batas antara Pitu Ulunna

Salu dengan Pitu Babana Binanga, dan penghubung antara Pitu Ulunna Salu dengan Pitu Babana Binanga (Renggong, 1992: 38-40).

Jejak Tari Ello-Elloq

Tradisi merupakan adat kebiasaan yang turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih fungsional dalam masyarakat. Pengertian tersebut sejalan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yang salah satu objek pemajuan kebudayaan menyebut kata tradisi. Demikian juga 9 objek pemajuan kebudayaan lainnya dapat dikategorikan tradisi jika mengacu pada pengertian tersebut, seperti manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat dan olahraga tradisional. Objek pemajuan kebudayaan itu jika diuraikan dan dijabarkan satu persatu hampir melingkupi semua aktifitas manusia yang dilakukan secara turun-temurun. Salan satu objek kebudayaan itu adalah seni sebagai bentuk ekspresi yang dilakukan secara individu, kolektif, atau komunal yang berbasis pada warisan budaya maupun berbasis kreatifitas. Wujudnya pun bermacam-macam kegiatan dan atau medium, antara lain, seni pertunjukan, seni rupa, seni sastra, film, seni musik, dan seni media (UU No.5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan pasal 5).

Seni pertunjukan, juga bermacam-macam. Namun, fokus dari artikel ini adalah seni pertunjukan tari tradisi. Tari tradisi biasanya berfungsi sebagai sarana komunikasi

dan sebagai ungkapan syukur melalui upacara atau ritual adat. Salah satu tari tradisi yang memiliki fungsi tersebut adalah Tari Ello-Elloq. Tari Ello-Elloq diciptakan oleh Pongka Padang sebagai leluhur orang Ulunna Salu, dan Mandar pada umumnya. Ia dipercaya sebagai pencipta tarian tersebut saat terjadi bencana alam sekitar abad XIV. Kalau kita merunut jejak bencana alam di sana maka kita akan menemukan bahwa di Kayu Angin, Malunda sering terjadi

bencana alam dan banjir. Berdasarkan data BMKG, bahwa gempa bumi yang terakhir terjadi pada Januari 2021, sebelumnya terjadi pada Februari 1969, dan sebelumnya lagi terjadi pada April 1967 (Kompas.com). Bahkan

jauh sebelumnya masih sering terjadi gempa di Kayu Angin berdasarkan penjelasan pak Aman (Wawancara pada 25 Juli 2019). Ia menjelaskan

bahwa daerah Kayu Angin adalah daerah lereng gunung yang rawan longsor. Memiliki sungai besar yang berhulu (Pitu Ulunna Salu) di atas gunung, kemudian bermuara ke laut (Pitu Babana Binanga) yang sering banjir. Kondisi Sungai Kayu Angin saat penelitian berlangsung memang terlihat besar, luas dan lebar sehingga dapat menampung debit air yang banyak pula. Beberapa tahun terakhir, Sungai Kayu Angin ini dibuatkan bendungan dan dimanfaatkan sebagai sungai regulasi untuk pengairan pertanian. Berdasarkan sejarahnya, sungai ini sering meluap dan banjir, tetapi dengan alasan itulah di daerah ini sering dilakukan tradisi Kayu Angin yang di dalamnya terdapat tari Ello-Elloq.

Merujuk pernyataan tersebut, tarian ini tercipta pascabanjir bandang pada masa Pongka Padang. Pongka Padang sebagai pemimpin wilayah dan sekaligus pemimpin adat merasa bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Diceritakan bahwa penyebab surutnya air banjir bandang pada saat itu karena Pongka Padang

mattinja (Berjanji bernazar) kepada Tuhannya.

Nazar untuk melakukan sesuatu jika air bah surut sebagai tanda syukur dan sebagai tanda pengabdian kepada Tuhannya. Oleh sebab itu, wajar jika tari ini dianggap sebagai tari tradisi di Desa Kayu Angin, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat. Tarian ini masih dapat kita saksikan sampai sekarang, walaupun sangat sedikit jumlahnya yang dapat melestarikannya. Bahkan banyak orang Majene yang tidak mengenal dan mengetahui tarian ini.

Belakangan ini, tari Ello-Elloq juga mengalami perubahan, yang pada masa lampau ada persyaratan bahwa penarinya

(10)

harus keturunan sando (yaitu dukun/sanro adat yang dianggap sebagai keturunan Pongka Padang). Jika persyaratan itu tidak diubah maka tari Ello-Elloq diyakini akan punah karena keturunan sando sangat terbatas (sedikit). Akan tetapi sekarang persyaratan itu sudah ada perubahan untuk memberi peluang kepada orang lain (selain keturunan sando) untuk dapat menarikannya. Kecuali pada saat pelaksanaan upacara tradisi adat, maka salah satu penarinya wajib ada keturunan sando untuk menghindari terjadinya persoalan dan kejadian-kejadian yang tidak diharapkan (Wawancara dengan pak Ferdiansyah, 20 Juni, 22 dan 23 Juli 2019). Adanya perubahan itu karena beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa tarian ini akan punah jika tidak ada perubahan dan perhatian dari pemerintah. Apa lagi orang-orang Kayu Angin masih tetap mempertahankan tarian ini karena dipercaya masih fungsional sampai saat ini.

Tari Ello-Elloq dianggap tari tradisi karena memiliki perjalanan sejarah yang cukup panjang, disamping usianya yang sangat tua, juga masih dilestarikan sampai saat ini walaupun tidak sepopuler dengan tari “Sayyang

Pattuqduq” yang ada di daerah Mandar. Pak

Aman (Wawancara pada 20 Juni, 21 dan 25 Juli 2019) mengatakan bahwa tari Ello-Elloq adalah tari yang paling tua di Majene, bahkan di seluruh Provinsi Sulawesi Barat karena usiannya tidak jauh berbeda dengan kehadiran penciptanya, yaitu Pongka Padang. Proses penciptaannya pun dianggap sangat unik dan memiliki nilai sosial budaya dalam proses sejarah umat manusia di tanah Mandar. Kalau tari pada umumnya tercipta dalam kondisi suasana hati senang/bahagia atau karena sedang jatuh cinta, atau dalam kondisi sedih karena sedang putus cinta, dan lain-lain. Berbeda dengan tari Ello-Elloq tercipta dalam suasana mencekam karena terjadi banjir bandang. Walaupun demikian, tari ini tetap memenuhi syarat sebagai tari, misalnya adanya gerakan tari, adanya pelaku (penari dan pihak-pihak lainnya), musik iringan, ada pementasan, ada busana khusus, serta unsur-unsur lainnya yang dianggap penting. Namun, unsur-unsur

itu bersama pemaknaannya dalam tari Ello-Elloq tidak diuraian dalam artikel ini tetapi di artikel lainnya. Demikian juga terciptanya tarian ini karena memiliki unsur inspirasi, yaitu lingkungan alam kampung Kayu Angin; unsur kepercayaan dan keyakinan yang dimiliki oleh Pongka Padang masa itu. Juga terinspirasi pada unsur manusianya sebagai kelompok sosial yang selalu berinteraksi satu sama lainnya (Wawancara dengan pak Ferdiansyah, 20 Juni, 22 dan 23 Juli 2019).

Tari Ello-Elloq pada awalnya hanyalah salah satu bagian dari tradisi Kayu Angin dan menjadi ungkapan syukur Pongka Padang kepada Yang Maha Kuasa, Tuhannya. Pongka Padang sebagai nenek moyang orang Mandar; sebagai penabur sistem sosial budaya dan sistem politik di tanah Mandar. Selain itu, Pongka Padang menjadi pemimpin masyarakat bukan atas keinginan peribadinya tetapi atas permintaan warganya, kemudian kepemimpinan-kepemimpinan berikutnya di Ulunna Salu diteruskan oleh turunannya. Menilik dari jejak itu, orang Kayu Angin semakin percaya akan pentingnya warisan Pongka Padang kepada mereka. Demikian juga pada saat terjadi banjir bandang, ia merasa bertanggungjawab atas kehidupan warganya. Baik buruknya kehidupan, aman dan kacaunya lingkungan masyarakat, sejahtera dan miskin melaratnya anggota masyarakat, serta hidup matinya orang Mandar pada waktu terjadi banjir bandang (Wawancara dengan pak Ferdiansyah, 20 Juni, 22 dan 23 Juli 2019).

Tari Ello-Elloq adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi Kayu Angin yang diciptakan oleh Pongka Padang sebagai implementasi rasa syukur dan persembahannya kepada Tuhannya. Tradisi yang diciptakannya lahir dalam kondisi dan suasana yang memilukan, sebagai salah satu episode Pongka Padang dan warganya. Diceritakan bahwa pada masa itu terjadinya banjir bandang dan tsunami yang berlangsung selama 7 hari dan 7 malam. Diceritakan bahwa sejak hari pertama sampai beberapa hari berikutnya, air bukannya surut

(11)

tetapi semakin lama semakin pasang. Dimana air sungai meluap dan meninggi hingga menutupi seluruh perkampungan (Wawancara dengan pak Ferdiansyah, 20 Juni, 22 dan 23 Juli 2019; Maras, 2009: 25).

Sementara pada kasus lain, air laut meluap dan tumpah ke darat sehingga bertemu dengan air sungai yang juga meluap. Keadaan itu semakin diperparah dengan terjadinya hujan yang mengguyur Ulunna Salu selama berhari-hari tanpa henti. Tidak ada lagi tempat untuk menyelamatkan diri, kecuali mereka (para penduduk) yang mengambil inisiatif dan membuat rakit-rakit (perahu) seadanya. Apakah terbuat dari sebatang kayu atau lebih, serta benda-benda lainnya yang dianggap dapat mengapungkan dirinya ke permukaan sampai airnya surut. Kemudian sebagian di antaranya yang tidak sempat membuat perahu, terpaksa hanya mengandalkan kemampuannya berenang. Semua warga yang di Ulunna salu, khususnya di Kayu Angin pada saat bencana tersebut berusaha menyelamatkan diri dengan berbagai cara, sambil menunggu keajaiban Tuhan agar dapat diselamatkan dalam bencana alam tersebut.

Pada saat itu, Pongka Padang hanya bisa pasrah, sambil terus berdoa dan berharap agar peristiwa bencana alam itu dapat cepat berakhir. Selama 7 hari 7 malam, Pongka Padang bersama warga penduduknya diterjang badai alam. Di atas rakitnyalah mereka bertahan hidup sampai rakitnya terdampar pada sebuah daratan yang tidak terlalu luas, itu pun mereka tidak sadari karena ketiduran. Pada hari ketujuh itulah Pongka Padang bermimpi. Dalam mimpinya tersebut, Pongka Padang bertemu dengan Tomanurung yang dikenal dengan Torije’ne (sebelum mereka bertemu dan dijodohkan) yang melakukan percakapan. Inti pembicaraannya adalah membicarakan dan mencari solusi agar banjir bandang dan tsunami dapat berakhir, maka disarankan oleh Torije’ne kepada Pangka Padang agar Pongka Padang

mattinja (berhajat/bernazar). Dalam menjawab

percakapan itu, Pongka Padang mengatakan bahwa kami sangat berharap agar air bah ini

segera surut tetapi ketika saya mattinja, saya tidak tahu, apa yang harus saya lakukan.

Kemudian, Torije’ne mengatakan bahwa kamu (Pongka Padang) sebaiknya mattinja dengan berjanji bahwa kalau air bah surut, kamu akan melakukan suatu syukuran sebagai persembahan kepada Tuhan. Akhirnya Pongka Padang mattinja dalam tidur dan jaganya, walaupun Pongka Padang tidak tahu apa yang harus ia lakukan jika betul-betul air bah surut. Sebelum Pongka Padang betul-betul terjaga dalam tidurnya, ia masih melakukan percakapan dengan Torijen’ne. Torije’ne memberi isyarat tentang apa yang Pongka Padang harus dilakukan pada saat air bah surut. Torije’ne menjawab bahwa kamu (Pongka Padang) hanya mengerjakan sesuatu yang baru pertama kali kamu lakukan, yaitu melakukan sesuatu dengan apa yang kamu lihat pertama kali pada saat kamu membuka mata dari tidurmu (Maras, 2009: 25-26).

Setelah Pongka Padang betul-betul terjaga dan sadar sambil membuka matanya, ternyata orang yang ditemani berbicara beberapa saat yang lalu hanyalah mimpi alias tidak nyata. Keadaan yang nyata dalam pandangan matanya adalah air banjir bandang telah surut dan melihat sebuah pohon kayu Lita yang rimbun, kemudian di tangkai, di dahan dan di dedaunannya terdapat bermacam-macam jenis burung yang begitu indah sedang bertengger di sana. Selanjutnya, Pongka Padang memperlebar penglihatannya lagi, sehingga ia melihat deretan pegunungan. Pada saat itu, Pongka Padang mulai kebingungan karena mattinjanya dalam mimpi betul-betul nyata tentang surutnya air bah. Demikian juga ada sesuatu yang ia lihat setelah membuka mata di saat terjaga dari tidurnya, dan ia juga sudah terlanjur mattinja untuk melakukannya. Di situlah Pongka Padang bingung karena tidak tahu bagaimana menerjemahkan tentang apa yang harus ia lakukan. Melakukan sesuatu dengan atau sama dengan apa yang ia lihat pertama pada waktu membuka mata. Sementara yang ia lihat adalah pohon kayu Lita yang rindan, burung

(12)

yang berjenis-jenis dan deretan pegunungan. Sementara ia sudah mattinja untuk melakukan itu, lalu bagaimana cara melakukannya, itulah yang membuat Pongka Padang kebingungan (Wawancara dengan pak Ferdiansyah, 20 Juni, 22 dan 23 Juli 2019).

Selama berhari-hari, Pongka Padang dalam keadaan kebingungan. Namun, lambat laun ia menemukan solusinya, yakni tetap melaksanakan apa yang telah menjadi hajatnya (tinjanya) terhadap apa yang dilihatnya pertama saat membuka mata dari tidurnya. Ia percaya bahwa melakukan suatu kegiatan, misalnya berbuat bagaikan sebuah pohon kayu lita, dan di dahannya bertengger berbagai jenis burung, tidak mungkin bisa/dapat dilakukan. Tetapi jika pohon kayu Lita dibuatkan sebagai perumpamaan dengan cara menggantinya, maka hal itu dapat dilakukan. Misalnya berbagai jenis burung diganti dengan burung amitasi sebagai simbol burung yang terbuat dari kayu Lita. Sedangkan simbol untuk tangkai dan daun-daun pohon tersebut diganti dengan beberapa helai janur dari pohon kelapa yang tidak terbatas jumlahnya di Mandar. Sementara pohon itu sendiri, khususnya kayu Lita berusaha dihiasi dengan simbol-simbol yang telah disebutkan di atas. Tiang dan hiasan-hiasan itu yang diterjemahkan sebagai

bandangang2 untuk menyebut nama yang akan

dilakukannya sebagai wujud mattinja-nya.

Bandangang atau pohon yang sudah

dihiasi itu sebagai perwujudan dari mattinja Pongka Padang dengan harapan air bah menjadi surut sebagaimana hasil pembicaraannya dengan

2. Pengertian bandangang secara harafiah tidak

ditemukan dalam istilah bahasa Mandar maupun di Kayu Angin sendiri, termasuk dalam buku Maras yang menulis tentang upacara Paqbandangang

Pappio. Dalam Wawancara kepada pak Aman,

dan pak Ferdiansyah sebagai penerus tradisi di Kayu Angin, termasuk dalam bukunya Maras hanya memberikan pengertian simbol atau makna

bandangang, yaitu simbolisasi dari pohon Lita

yang sudah dihiasi sebagai satu kesatuan dari unsur-unsur yang pernah dilihat Pongka Padang dalam mimpinya. Bandangan inilah yang menjadi properti utama dalam tari Ello-Elloq.

Torije’ne. Realisasi mattinnya Pongka Padang, ternyata bukan hanya diwujudkan dalam bentuk

bandangang seperti gambar foto di samping dan

di bawah, melainkan juga kegiatan-kegiatan lainnya, seperti kegiatan peppio (mengayun ayunan) dengan mempergunakan media pohon kayu Lita yang dilihatnya dalam mimpi itu. selain itu masih banyak lagi kegiatan lainnya yang dilakukan oleh Pongka Padang bersama warganya, termasuk mangelle-elloq (tari Ello-Elloq). Mengapa tari-tarian dianggap penting dalam upacara ini karena sesungguhnya Tari Ello-Elloq merupakan abstraksi dari upacara tradisi Kayu Angin itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat dari properti yang penari bawa dan gerakan yang dilakukan oleh penari adalah properti dan gerakan yang ada dalam upacara tersebut. Dapat juga dianggap sebagai perwujudan dari

mattinja Pongka Padang melalui ekspresi

gerakan tubuh yang kemudian dikenal dengan sebutan tari Ello-Elloq.

Ket.: foto di atas diambil pada saat penelitian lapangan. foto itu adalah bandangang sebagai

properti tari Ello-Elloq untuk penari laki-laki.

Munculnya tari Ello-Elloq sebagai bagian dari tradisi Kayu Angin menunjukkan bahwa tari ini mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia karena dapat memberikan

(13)

berbagai manfaat. Itulah sebabnya tari dapat hidup, tumbuh, dan berkembang sepanjang zaman sesuai dengan perkembangan (Novitasari, 2014:17). Manfaat tradisi yang dimaksud dituangkan dalam 3 gerakan utama tari Ello-Elloq, yaitu gerakan mettodong-tedong, gerakan ello-elloq, dan gerakan peppio. Gerakan mattedong-tedong merupakan gerakan menunduk atau menurungkan badan dengan sikap bertahan seperti memasan kuda-kuda dalam belah diri. Salah satu gerakan mattedong-tedong yang dimasud seperti terlihat pada gambar di atas yang ditarikan oleh 3 penari perempuan dan 3 penari laki-laki secara berpasang-pasangan dengan penuh keserasian yang menandakan adanya kesetiaan.

Kedua adalah gerakan mengello-elloq merupakan gerakan meliuk-liukkan tangan, dimana kedua tangan penari perempuan tersebut menggambar seperti burung sedang terbang atau sedang bertengkar di sebuah pohon sebagaimana gambar di atas. Sedangkan gerakan ketiga adalah gerakan peppio atau gerakan seperti orang yang sedang mengayun. Penari perempuan terlihat seperti memegang tali ayunan, sementara penari laki-laki terlihat seperti orang yang sedang mendorong ayunan perempuan sebagaimana terlihat pada gambar di bawah.

globalisasi. Hal ini terjadi karena tari ini syarat dengan nilai kelampauan dan nilai tradisi. Sejak awal, tari ini berfungsi sebagai perwujudan

mattinja; sebagai ungkapan syukur dan sebagai

hiburan. Selain itu, juga berfungsi sebagai media komunikasi budaya dari tradisi masa lampau dengan generasi-generasinya. Fungsi pertama adalah wujud mattinja, dimana Pongka Padang dan warganya mewujudkan janjinya dengan membuat simbolisasi makna dari pohon yang dilihatnya dalam mimpi. Dalam upacara tradisi Kayu Angin, para peserta upacara (setiap keluaga) diwajibkan membuat dan memasan

bandangang di sapo-saponya (rumah-rumah

gubuk untuk tinggal sementara selama kegiatan upacara berlangsung). Bandangang tersebut dianggap penting dipasang di setiap sapo-sapo untuk mengetahui keadaan isi keluarga rumah tangganya, apakah keluarga utuh seperti ada ayah, ibu dan anak-anaknya atau menunjukkan keluarga suasana lainnya (Maras, 2009: 69).

Fungsi kedua dari tari Ello-Elloq sebagai ungkapan syukur dan hiburan yang dapat disaksikan pada saat peserta diwajibkan menyediakan sesaji dan adanya performa

pumbendang. Pumbendang adalah orang

yang berbuat jenaka dengan memakai kostum monyet untuk menguji kesyukuran peserta upacara dengan berbagi cara, sekaligus menghibur peserta. Kegiatan ini dilakukan setelah bangku ayunan dan bandangang beserta burung-burungnya sudah dilarung di sungai sebagai tanda akan berakhirnya upacara. Di sana setiap keluarga yang telah mendirikan

sapo-sapo diwajibkan menyediakan berbagai

jenis makanan yang digelar dalam kappar

kalasik manurung (semacam wadah) di atas

tikar tempat bekas sapo-sapo mereka dirikan. Di tengah kesibukan mereka tiba-tiba muncul

pumbendang memasuki lapangan dengan

tingkah laku yang aneh dan lucu alias jenaka.

Pumbendang ada dua orang berkostum ala

monyet atau orang hutan. Satu orang membawa ruas bambu yang berisi cairan berbau busuk yang akan disiramkan ke bagian tubuh peserta upacara jika tidak mau berbagi makanan.

Ket. Gerakan peppio

Menurut penjelasan pak Aman sebagai pewaris dan pelestari tradisi di Kayu Angin bahwa Tari Ello-Elloq adalah salah satu kegiatan dalam rangkaian upacara tradisi. Tari ini masih eksis di tengah gencarnya tari modern dan arus

(14)

Sementara satu orang lainnya membawa

kalamboti (anyaman/wadah) untuk menampung

makanan dari para keluarga setiap sapo (Maras, 2009: 69).

Fungsi ketiga dari tari Ello-Elloq sebagai media komunikasi, yaitu adanya komunikasi antara budaya tradisi masa lampau yang diwakili oleh sando melalui mengguliling (mengelilingi lapangan) dengan generasi-generasi berikutnya (peserta upacara). Menurut penjelasan dari pak Ferdiansyah (Wawancara pada 23 Juli 2019) bahwa pada saat dilaksanakan upacara, hampir semua keluarga yang memiliki hubungan geneologis dengan orang Kayu Angin datang. Mereka datang karena mereka merasa terikat dengan tradisi yang wajib mereka tunaikan, sehingga walaupun mereka berada di perantauan, mereka berusaha kembali. Bahkan, banyak di antara mereka sudah tidak saling kenal. Itulah sebabnya dalam rangkaian upacara tersebut ada tari Ello-Elloq dan

sitiro (saling tunjuk) adalah permainan yang

dilakukan pada malam hari. Kegiatan saling menunjuk sambil menyebut nama orang yang ditunjuk melalui syair-syair yang merupakan ajang perkenalan (komunikasi) kepada peserta upacara. (Wawancara dengan Ferdiansyah pada 23 Juli 2019; Maras, 2009: 69).

PENUTUP

Tari Ello-Elloq sebagai tari tradisional masih bertahan sampai saat ini karena mempunyai peranan penting dalam masyarakat. Tari Ello-Ellloq ini diciptakan oleh Pongka Padang. Pongka Padang dan Torije’ne dipercaya sebagai nenek moyang orang Mandar dan itu diakui oleh anggota kerajaan yang tergabung dalam federasi Pitu Babana Binanga dan Pitu Ulunna Salu. Anak cucunnya yang tersebar ke berbagai daerah atau kerajaan yang ada di tanah Mandar (Sulawesi Barat). Tidak sedikit keturunannya yang menjadi pemimpin adat dan pemimpin pemerintahan di wilayahnya masing-masing, termasuk proses penciptaan tari Ello-Elloq. Tarian ini diciptakan saat terjadi banjir bandang pada masa Pongka

Padang yang diciptakan bukan dalam suasana gembira atau sedih yang menjadi inspirasi terciptanya sebuah tari, tetapi tercipta dalam suasana yang mencekam untuk menyelematkan diri dari bencana alam yang berkepanjangan. Kemudian, Pongka Padang diberi petunjuk dalam mimpinya untuk melaksanakan mattinja agar banjir bandang berakhir. Sehingga mattinja itulah yang melahirkan tari Ello-Elloq.

Merujuk pada konsepsi di atas, tari Ello-Elloq dalam perkembangannya mengalami dinamika, dan dianggap hampir punah beberapa tahun yang lalu. Namun, ada salah satu perkampung di Majene, yaitu di kampung Kayu Angin, Kecamatan Malunda masih berusaha melestarikannya. Mereka sangat percaya bahwa tari Ello-Elloq itu adalah produk kebudayaan asli leluhur mereka. Tarian ini pernah menjadi tarian yang sangat terkenal pada masa lampau di daerah Ulunna Salu karena terintegrasi dengan nilai-nilai budaya yang ada di dalamnya. Namun, dalam sejarahnya mengalami persoalan tersendiri setelah wilayah Indonesia pada umumnya dan Mandar pada khususnya dikuasai oleh negara-negara penjajah, sehingga tidak memungkinkan tarian ini dapat berkembang dengan baik. Begitu juga pada masa kemerdekaan, tarian ini tidak dapat berkembang karena pergolakan politik di Sulawesi Selatan dan dianggap bentuk kemuskrikan sehingga tari ini nyaris punah.

Selain alasan di atas, juga tari jarang dipentaskan karena penarinya harus keturunan

sando, tetapi demi pelestarian, tarian ini

dimodifikasi sepanjang tidak ditarikan pada saat upacara tradisi. Pelestarian itu dilakukan karena tarian ini memiliki makna dan pesan-pesan budaya yang sangat mendalam. Syukurlah masih ada pelakunya walaupun masih terbatas jumlahnya. Juga ada segelintir orang yang prihatin atas kenyataan tersebut. Mereka berharap tari tradisional yang memiliki nilai-nilai dilestarikan kembali. Pentingnya tarian “Ello-Elloq” dilestarikan karena tarian ini memiliki nilai dan pesan makna sejarah dan budaya Mandar di dalamnya. Adapun makna dan pesan

(15)

yang terkandung dalam tarian tersebut adalah adanya sifat-sifat keserasian dan kesetiaan, baik kepada Tuhan, kepada pemimpin maupun kepada pasangan hidup masing-masing. Hal itu terlihat dengan dilaksanakannya mattinja yang dilakukan oleh Pongka Padang bersama warganya. Kedua adalah nilai dan pesan makna adanya rasa syukur dan hiburan, serta ketiga adalah nilai komunikasi antara tradisi masa lampau yang diperankan oleh sando dengan generasi-generasi berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Muhammad dan Sahajuddin. 2011.

Konfederasi Mandar: Sejarah Persekutuan Antarakerajaan Di Sulawesi Barat. Makassar: De La Macca

Gottschalk, Louis. 1985. Mengerti Sejarah, yang diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Kartodidjo, Sartono. 1985. Pemikiran dan

Perkembangan Historigrafi Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia.

Mandar, Abdul Muis. 1985. Tomanurung di Mandar Dalam Tinjauan Syari’at Islam. Ujung Pandang: Disertasi Fakultas Syari’at IAIN Alauddin.

Maras, Bustam Basir. 2009. Paqbandagang

Peppio: Upacara dan Rajutan, Sebuah Eksotisme Kebudayaan dari Kajuangin Sulawesi Barat. Yogyakarta: GoeBOeK.

Novitasari, Ayu. 2015. “Pembelajaran Tari Merak sebagai Upaya Pelestarian Tari Tradisi di Sanggar Ngudi Laras Desa Karangmoncol Kecamatan Randudongkal Kabupaten Pemalang” . Semarang: Skripsi Program Studi Pendidikan Seni Tari, Universitas Negeri Semarang.

Rahman, Darmawan Mas’ud. 1998. Puang dan Daeng Kajian Sistem Nilai Budaya Orang Balanipa Mandar. Ujung Pandang: Disertasi Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin .

Renggong, Arpan. 1992. Lahirnya Perjanjian Luyo (Suatu Studi Historis). Ujung Pandang: Skripsi Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.

Syah, H.M. Tanawali Azis. Sejarah Mandar

Jilid II. Ujung Pandang: Yayasan Al Azis.

Undang-Undang No.5 Tahun 2017 Tentang Pe-majuan Kebudayaan Republik Indonesia h t t p s : / / w w w . k o m p a s . c o m / s a i n s /

read/2021/01/15/200500823/bmkg- ungkap-sejarah-gempa-di-sulbar-gempa-majene-sebelumnya-pernah-terjadi

Referensi

Dokumen terkait