• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Jatibarang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Jatibarang"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Desa Jatibarang Letak dan Wilayah

Kecamatan Jatibarang di Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat memiliki sebuah desa yang namanya persis sama dengan nama kecamatannya, yang menjadi pusat keramaian dan kegiatan perekonomian Kecamatan Jatibarang. Desa Jatibarang mencakup luasan 144.079 Ha yang dibagi menjadi tujuh RW dan lima puluh enam RT. Dari luasan tanah tersebut dipergunakan untuk: pertokoan/perdagangan (termasuk pasar Jatibarang) luasnya 10.252 Ha, pemukiman/perumahan 6.144 Ha, tanah wakaf 1,5 Ha, sawah 75 Ha, pekarangan 0,175 Ha, perladangan 2.465 Ha dan lain 18 Ha. Di sebelah utara desa ini berbatasan dengan Desa Kebulen, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Jatibarang Baru. Di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Widasari dan disebelah timur dengan Desa Bulak. Jarak desa dari pusat kecamatan 1 km, kabupaten 17 km, provinsi 134 km dan dari ibukota negara 205 km (Monografi Desa, 2005).

Jatibarang merupakan jalur lintas pantura (pantai Utara Jawa), dimana jalur ini selalu ramai dilalui oleh berbagai macam kendaraan bermotor baik angkutan umum maupun angkutan pribadi. Pada hari pasar jalur ini selalu macet, bahkan sangat padat sebelum adanya pembagian kendaraan yang melalui jalur pantura ke Indramayu sejak tahun 2003. Sarana transportasi darat di Jatibarang umumnya mobil, motor, sepeda dan becak. Becak merupakan angkutan utama yang ada di desa tersebut dan dijadikan sebagai salah satu mata pencaharian oleh sebagian penduduk disamping bertani.

Pemukiman penduduk di Desa Jatibarang terdiri dari pemukiman biasa dan pemukiman perumahan, pemukiman perumahan BTN merupakan satu-satunya pemukiman perumahan yang ada, luasnya 5,6 Ha yang terdiri dari 650 unit. Pemukiman biasa terdiri dari rumah

(2)

permanen yang berjumlah 225 buah, rumah semi permanen 799 dan rumah non permanen 772 buah (Monografi Desa, 2005).

Kependudukan

Jumlah penduduk Desa Jatibarang pada tahun 2005 berjumlah 7109 jiwa, dengan jumlah kepala keluarga 1536 KK. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 3468 orang dan penduduk perempuan 3641 orang. Kepadatan penduduk berdasarkan jumlah penduduk dibagi dengan luas desa adalah 49 orang per km2.

Penduduk Desa Jatibarang tidak hanya penduduk asli tetapi ada juga yang berasal dari etnik lain seperti Minangkabau, Batak, Sunda, Jawa, Bali dan keturunan Cina. Mengenai jumlah dari setiap etnik tersebut secara pasti tidak ada data yang mendukung, namun demikian ciri-ciri sikap sosial dan pembawaan budaya dari setiap etnik ini tidak sulit dibedakan di lapangan.

Walaupun data tentang jumlah etnik di Jatibarang tidak tersedia karena memang tidak ada sensus kependudukan dengan kategori demikian. Gambaran tentang beragam etnik tersebut dapat diperoleh melalui pengakuan informan dari masing-masing etnik dan perkiraan dari aparat desa, serta pengamatan peneliti di lapangan. Menurut hasil wawancara dengan informan dan pengamatan peneliti di lapangan jumlah dari etnik Minangkabau sekitar 135 KK, Sunda 105 KK, Batak 24 KK, Jawa 53 KK, Bali 4 KK, keturunan Cina berjumlah 200 KK sedangkan penduduk asli sekitar 1236 KK.

Masyarakat Jatibarang mempunyai mata pecaharian yang berbeda-beda, sebanyak 574 orang sebagai karyawan pegawai negeri sipil, 23 orang prajurit TNI/POLRI dan 465 karyawan swasta. Mereka ini terdiri dari penduduk asli dan pendatang. Sedangkan kegiatan berdagang pada umumnya didominasi oleh etnik Minangkabau, Cina yang berjumlah 500 orang. Hanya 25 orang yang tercatat sebagai petani dan buruh tani sebanyak 8 orang (Tabel 1).

(3)

Tabel 1 Jumlah penduduk Desa Jatibarang menurut mata pencarian, 2005

No Jenis Mata Pencarian Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 Pegawai Negeri Sipil 574 26,5

2 Wiraswasta / Pedagang 500 23,1 3 Pensiunan 482 22,3 4 Pegawai Swasta 465 21,5 5 Pertukangan 87 4,0 6 Petani 25 1,2 7 TNI / POLRI 23 1,1 8 Buruh Tani 8 0,3 Jumlah 2164 100,0

Hampir setiap tahun di Jatibarang terjadi perpindahan penduduk, baik yang datang maupun yang keluar. Pada tahun 2005 tercatat jumlah orang yang datang ke Jatibarang berjumlah 35 orang laki-laki dan sebanyak 26 perempuan. Sedangkan penduduk yang pindah berjumlah 60 orang terdiri dari 30 orang laki-laki dan 30 orang perempuan. Data ini diperoleh karena pendatang dan yang pindah tersebut melaporkan diri, sedangkan yang tidak melaporkan diri jumlahnya mungkin lebih banyak.

Kondisi Ekonomi Masyarakat

Pendapatan masyarakat Jatibarang dapat dilihat dari jenis usaha yang dikerjakannya. Pada bidang pertanian padi sekali panen produksinya dapat mencapai empat ton/ha yang bernilai empat juta rupiah. Pada bidang industri kecil seperti, industri kecap setiap minggu dapat menghasilkan satu koma delapan juta per kelompok. Pendapatan dari industri kerupuk setiap tiga hari mencapai delapan ratus ribu per kelompok, dan dari roti murni dapat mencapai dua setengah juta per kelompok setiap harinya. Jenis usaha industri kecil ini hanya empat

(4)

kelompok yang mengusahakan dengan menggunakan tenaga kerja sebanyak tiga puluh delapan orang. Usaha perdagangan meliputi PKL, pedagang toko dan usaha rumah makan, yang setiap minggunya mencapai omset penjualan dua belas juta sampai dengan ratusan juta per pedagang. Omset penjualan semakin bervariasi diwaktu atau musim-musim tertentu. Pendapatan pada bidang jasa seperti hotel, wartel dan bengkel las serta sebuah minimarket belum diketahui.

Sektor perdagangan menjadi salah satu sumber mata pencarian masyarakat Jatibarang. Di desa Jatibarang terdapat sebuah pasar dengan dikelilingi oleh pertokoan yang tingkat penjualan atau transaksinya tinggi. Setiap hari pasar tidak pernah sepi pengunjung baik dari warga desa sendiri maupun dari luar desa. Pasar dan pertokoan merupakan sarana kehidupan ekonomi yang paling mencolok dalam kehidupan desa. Disamping itu terdapat sarana pendukung lain berupa stasiun kereta api dan terminal bis. Sarana dan prasarana ini berfungsi sebagai pendukung dan memperlancar kegiatan-kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat Jatibarang.

Sektor-sektor industri juga terdapat di desa ini, walaupun masih berskala kecil. Diantaranya adalah industri kecap, kerupuk dan roti. Sektor industri kecil ini umumnya diusahakan oleh penduduk asli Jatibarang. Sektor jasa yang dijumpai di desa ini meliputi, hotel, penginapan, bank, wartel, dan bengkel las.

Selain sektor-sektor di atas, sektor pertanian masih ditekuni oleh masyarakat Jatibarang, dengan jumlah dua puluh lima orang. Tanaman yang diusahakan adalah padi dan palawija. Tanaman palawija terdiri dari; ketimun, terong dan kacang panjang. Luas tanah pertanian di desa Jatibarang 98 hektar.

Sosial Budaya

Masyarakat Jatibarang merupakan keturunan Jawa dan Sunda. Heterogen. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah Jawa Indramayu. Hampir seratus persen penduduk asli Jatibarang beragama Islam. Agama

(5)

Kristen, khatolik, Hindu, dan Budha, umumnya dianut oleh perantau dan warga keturunan Cina. Masyarakat asli Jatibarang mempunyai kebiasaan setiap malam Jumat mengadakan tahlilan dan marhaban yasin yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan berdoa untuk arwah orang yang telah meninggal. Disamping itu masyarakat memiliki kebiasaan setiap bulan syura (bulan Muharam/ tahun baru Islam) untuk membuat bubur putih (bubur syura) dalam rangka menolak bala atau agar terhindar dari bahaya. Selain itu ada yang dinamakan bulan bala (sebelum bulan Ramadhan). Pada bulan itu masyarakat membuat kue apem, yang dimaksudkan untuk mempersatukan sesama masyarakat. Bagi masyarakat petani setiap panen raya diadakan pesta menyambut panen yang dikenal dengan ”mapag sri”, pesta ini dilakukan sehari sebelum pemanenan padi dengan mengadakan pertunjukan wayang kulit. Masyarakat Jatibarang masih mempercayai kekuatan dari sebuah benda seperti kekuatan keris dan jimat.

Masyarakat asli Jatibarang sangat menjaga kesopanan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun di lingkungan keluarga. Hal ini dapat terlihat dengan penggunaan bahasa yang berbeda antara orang yang lebih tua dengan teman sebaya. Kalau berbicara denga orang yang lebih tua diharuskan menggunakan bahasa Jawa Indramayu yang halus. Namun berbicara dengan teman sebaya atau dengan orang yang lebih muda usianya biasanya menggunakan bahasa Jawa Ngoko (bahasa pergaulan). Kesenian utama yang terdapat didaerah ini adalah tarling dan wayang kulit. Kesenian ini biasanya dipertunjukkan pada upacara-upacara khusus seperti: pernikahan, pesta menyambut panen raya, pemilihan kepala desa (kuwu) dan khitanan.

Kelompok-kelompok Etnik

Masyarakat Jatibarang terdiri dari penduduk asli dan pendatang. Penduduk asli adalah Jawa Indramayu yang telah ada dari dulu sebelum etnik lain datang. Sedangkan pendatang berasal dari beberapa kelompok etnik seperti Minangkabau, Batak, Sunda, Jawa, Bali, dan keturunan Cina.

(6)

Masing-masing dari etnik tersebut memiliki pekerjaan yang berbeda-beda. Orang Minangkabau umumnya bekerja sebagai pedagang dan Orang Batak sebagai pegawai negeri, tentara, dan tukang kredit. Orang Sunda umumnya adalah pegawai negeri baik swasta maupun pemerintah. Orang Bali menjadi Polisi dan pendatang dari Jawa sebagai penjual jamu, bakso, dan pangsit meskipun ada juga yang menjadi pegawai negeri (guru). Sementara itu keturunan Cina umumnya bekerja sebagai pedagang.

Tempat tinggal masing-masing kelompok etnik ada yang berpencar dan ada juga yang berkelompok. Etnik yang tinggal berkelompok dapat terlihat dari etnik Jawa, Batak, Minangkabau dan keturunan Cina. Meskipun berkelompok mereka tidak membentuk perkampungan sendiri tetapi membaur dengan yang etnik lain. Mereka dikatakan hidup berkelompok karena sebagian besar kelompok etniknya berada disatu tempat. Etnik yang dikatakan hidup berpencar karena mereka tersebar dimana-mana atau tidak tinggal disatu tempat dimana jumlah mereka dominan.

Pada awal kedatangan ke Jatibarang etnik Minangkabau tinggal secara berpencar tergantung dimana ada kontrakan. Setelah dibangunnya pemukiman warga BTN Jatibarang tahap kedua pada tahun 1998, maka orang Minangkabau memilih tinggal di pemukiman tersebut. Sebelumnya sudah ada orang Minangkabau yang tinggal dipemukiman tersebut, yang jumlahnya sekitar sepuluh KK. Saat ini sekitar sembilan puluh satu KK tinggal dipemukiman BTN, sedangkan jumlah yang berada diluar BTN sekitar empat puluh empat KK. Orang Batak juga hidup berkelompok di BTN tetapi ada juga yang tinggal diluar BTN. Orang Jawa hidup berkelompok di Blok Pulo (RW 6). Di blok ini umumnya mereka masih mengontrak. Warga keturunan Cina terdapat di sepanjang Jalan Mayor Dasuki (lintas pantura), Jalan Siliwangi dan Jalan A. Yani, ada juga yang tinggal di BTN. Umumnya tempat tinggal mereka digabung dengan tempat berusaha. Sedangkan orang sunda tidak berkelompok disuatu tempat.

Keadaan ekonomi dari setiap kelompok etnik berbeda-beda. Warga keturunan Cina termasuk kedalam tingkat ekonomi atas atau paling baik.

(7)

Hal ini dapat terlihat dari usaha perdagangan yang mereka usahakan. Mereka mendominasi perdagangan di Desa Jatibarang, seperti toko mas, elektronik, pakaian jadi, perlengkapan rumah tangga, photo studio, dealer motor dan lain-lain. Selain itu juga kondisi rumah mereka tergolong mewah.

Kelompok etnik Minangkabau umumnya melakukan usaha perdagangan seperti berjualan pakaian jadi, tas, sepatu, jam dan usaha rumah makan. Mereka ada yang telah memiliki toko/kios dan sebagian besar berjualan di kaki lima. Kondisi ekonomi perantau Minangkabau tergolong cukup baik. Hal ini dapat terlihat dari kondisi rumah dan fasilitas-fasilitas yang mereka miliki seperti mobil, motor dan lain-lain.

Lain halnya dengan etnik Jawa. Umumnya mereka berjualan jamu, bakso, es dan pangsit. Mereka hidup berkelompok di Blok Pulo dengan mengontrak rumah yang sederhana.

Perkembangan ekonomi etnik Batak tidak seperti etnik keturunan Cina dan Minangkabau. Mereka umumnya tidak beregerak pada sektor perdagangan melainkan pada sektor jasa seperti tukang kredit baik barang maupun uang. Selain itu ada juga yang berprofesi sebagai pegawai negeri. Sedangkan etnik Bali jumlahnya relatif sedikit hanya sekitar empat KK, ada dua orang yang menikah dengan orang asli Jatibarang dan keturunan Cina. Orang Bali berprofesi sebagai Polisi dan pedagang.

Pasar Tradisional Jatibarang

Desa Jatibarang merupakan pusat kegiatan perekonomian masyarakat Kecamatan Jatibarang, dimana di desa tersebut terdapat sebuah pasar tradisional yang ramai dikunjungi oleh masyarakat Jatibarang dan masyarakat sekitarnya, bahkan banyak juga dikunjungi oleh penduduk daerah lainnya yang datang dari luar kecamatan Jatibarang. Disamping untuk berbelanja para pengunjung tersebut ada juga yang datang untuk berdagang dengan memasarkan barang dagangan yang mereka bawa masing-masing, ini menambah ramai dan

(8)

semaraknya pasar tradisional Jatibarang, terutama di hari-hari pasar (Rabu dan Minggu).

Pasar Jatibarang terdiri dari dua lantai yang memiliki enam ratus kios, seratus toko, sembilan puluh delapan buah warung dan sejumlah

lapak PKL. Disekitar pasar Jatibarang, di sepanjang jalan Mayor Dasuki

yang merupakan jalan utama menuju pasar Jatibarang (jalur pantura), terdapat jajaran pertokoan. Toko-toko tersebut menjual berbagai kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan sekunder, primer maupun tersier. Toko, kios, warung dan lapak PKL dihuni oleh berbagai etnik, yaitu: Jawa Indramayu, Cina, Minangkabau, Sunda, Batak dan lain-lain. Jumlah pedagang di pasar Jatibarang berdasarkan etnik dapat dilihat pada Tabel 2

Tabel 2 Jumlah pedagang pasar jatibarang menurut etnik (data pengelola pasar Jatibarang, 2006)

No Etnik Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Jawa Indramayu 1104 51,6 2 Cina 487 22,8 3 Minangkabau 214 10,0 4 Sunda 209 9,8 5 Batak 53 2,5 6 Lain-lain 71 3,3 Jumlah 2138 100,0

Berdasarkan data dari pengelola pasar Jatibarang terdapat empat ratus PKL, namun jumlah PKL di pasar Jatibarang tidak ada catatan yang resmi. Jumlah PKL akan berlipat ganda bila dilakukan pendataan di hari-hari pasar. Berdasarkan informasi dari informan, jumlah PKL di pasar Jatibarang pada hari-hari ramai seperti menjelang lebaran adalah sekitar seribu lima ratus pedagang.

(9)

Letak Geografis dan Sejarah Pasar Jatibarang

Sebelum pasar Jatibarang dibangun, masyarakat Jatibarang telah memiliki tempat untuk melakukan transaksi yang hampir mirip dengan pasar. Para pedagang memanfaatkan lapangan disamping stasiun kereta api untuk menjual kebutuhan sehari-hari. Barang yang diperjual belikan terbatas hanya pada kebutuhan pokok seperti beras, sayur-mayur, ikan dan perlengkapan rumah tangga lainnya. Menurut penuturan informan pada saat itu sekitar tahun 80-an pedagang belum menjual pakaian. Baru pada tahun 1984 pemerintah daerah membangun pasar yang diberi nama pasar ”Inpres Jatibarang”. Pasar ini mulai beroperasi pada tahun 1989-an. Semakin meningkatnya kebutuhan hidup manusia maka kebutuhan akan adanya sarana penyedia kebutuhan seperti pasar tak dapat dielakkan, maka pemerintah daerah membangun sebuah pasar diatas tanah seluas dua hektar. Pembangunan pasar dikerjakan oleh PT Ciso Bima Sundawa. Pasar tersebut terdiri dari dua lantai yang memiliki 600 kios, 100 toko, 98 warung dan 400 PKL. Lantai bawah (satu) diperuntukkan untuk toko sedangkan lantai atas (dua) untuk kios, sedangkan warung dan PKL banyak memanfaatkan area parkir, tangga, jalan umum dan rumah-rumah penduduk yang berdekatan dengan pasar.

Komoditi Dagangan dan Kelompok Etnik Pedagang

Sebagaimana diketahui bahwa pasar merupakan tempat bertemunya antara penjual dan pembeli, dimana di pasar dijual berbagai macam kebutuhan manusia. Begitu juga dengan pasar Jatibarang yang menjual berbagai jenis kebutuhan hidup masyarakat. Jenis barang yang dijual sangat beragam yang meliputi: pakaian yang terdiri dari pakaian jadi (dewasa, anak-anak, perlengkapan bayi, perlengkapan muslim, pakaian dalam) dan bahan tekstil. Selain itu, dijual pula berbagai barang elektronik (TV, tape, jam, kipas angin dan radio), sayur mayur, sembako, alat-alat

(10)

atau perlengkapan rumah tangga, kue, jajanan (bakso, somay, mie ayam, soto, nasi, dan lain-lain), ikan, daging, kaset, VCD, dan alat-alat kosmetik.

Pengelola pasar telah mengatur tempat pedagang menjual barang dagangannya dengan kata lain ada blok-blok pedagang, di lantai bawah ada blok pedagang pakaian, barang kelontong dan makanan. Sedangkan dilantai atas ada blok pakaian, sayur-mayur, ikan dan daging. Blok-blok ini dibuat agar mempermudah pembeli dan menertibkan pedagang. Sedangkan PKL berada di pinggir-pinggir pasar, trotoar jalan raya, depan rumah penduduk dan di piggir bantaran kali yang dekat dengan pasar Jatibarang.

Dari jenis barang dagangan yang dijual di pasar tersebut dijual oleh suku yang berbeda. Pada umumnya penjual berasal dari etnis Cina, Jawa Indramayu (penduduk asli), Sunda, Jawa, Minangkabau). Menurut informasi dari petugas pasar, bahwa umumnya pedagang etnis cina menempati kios dan toko-toko yang strategis, mereka hampir menguasai seluruh sektor perdagangan dipasar tersebut. Etnis Jawa Indramayu banyak yang menempati kios dan ada juga yang menempati kaki lima. Sedangkan pedagang dari etnis Sunda pada umumnya menempati kios dan toko dan jarang yang di kaki lima. Pedagang dari etnis Jawa banyak menempati kios-kios dan kaki lima. Khusus untuk untuk pedagang etnis Minangkabau mereka lebih banyak yang menempati lokasi kaki lima dibandingkan dengan toko ataupun kios, kalaupun ada itu jumlahnya hanya 20 pedagang.

Berdasarkan daerah asalnya, orang Minangkabau di Jatibarang masing-masing memiliki kemampuan usaha tersendiri. Misalnya, orang Pariaman umumnya berdagang pakaian jadi baik anak-anak maupun dewasa. Orang ulakan umumnya memiliki toko di pasar Jatibarang dan ada juga yang mengusahakan rumah makan. Sedangkan orang Pesisir dan Solok umumnya menjual jam. Lain halnya dengan orang Bukittinggi mereka menjual tas dan sepatu.

(11)

Deskripsi Pedagang Kaki Lima di Pasar Jatibarang

Proses Kedatangan PKL

PKL perantau Minangkabau yang berada di Jatibarang berasal dari berbagai daerah di Sumatera Barat diantaranya dari Pariaman, Solok, Tiku, Pesisir Selatan, Bukit Tinggi, Ulakan dan Taluak. Kedatangan mereka ke Jatibarang dimulai tahun 1985. Sebagai perintis adalah seorang pedagang yang bernama Bahar yang ketika itu berdagang di Cirebon. Bahar adalah orang Minangkabau pertama yang datang dan berdagang ke Jatibarang, dimana kegiatan berdagang di Jatibarang dijalaninya dengan pulang pergi dari Cirebon.

Sebelum berdagang di Jatibarang dan Cirebon, Bahar berdagang di Jakarta. Jatibarang bukan tujuan Bahar untuk berdagang, namun kota Cirebon yang menjadi tujuan utamanya pindah dari Jakarta. Ketika masih berdagang di Cirebon, hampir setiap minggu Bahar melintasi dan melihat jumlah masyarakat Jatibarang yang banyak, bila pergi membeli barang dagangan ke Jakarta. Karena itu, Bahar berfikir bahwa daerah tersebut cukup memiliki potensi untuk berdagang. Seminggu sekali jika tidak berdagang di Cirebon, beliau mendatangi Jatibarang untuk berdagang yang saat itu belum ada pasar, hanya tempat berjualan yang mirip dengan pasar. Karena daya beli masyarakat yang cukup tinggi, akhirnya beliau memutuskan untuk berjualan tiap hari dan menetap di Jatibarang. Beliau juga mengajak keluarga dan sanak saudaranya untuk berjualan di sana.

Sekitar tahun 1990-an setelah pasar Jatibarang mulai dibangun, jumlah pedagang Minang semakin bertambah jumlahnya. Mereka mengetahui daerah Jatibarang diantaranya: (1) ketidaksengajaan mereka sewaktu melintasi daerah Jatibarang yang memang dilewati oleh jalur pantura. (2) diberitahu oleh kerabat yang sebelumnya sudah menetap terlebih dahulu di Jatibarang, (3) tergiur oleh informasi orang bahwa daya beli tinggi di Jatibarang. Pada awalnya orang Minangkabaukabau yang berdagang di Jatibarang adalah pindahan dari Jakarta. Namun beberapa waktu kemudian baru berdatangan dari berbagai daerah seperti daerah

(12)

asal Sumatera Barat, Medan, Pekan Baru dan Tanjung Pinang. Seperti yang diungkapkan oleh seorang informan (M).

“Orang Minangkabau yang sudah lama di Jatibarang ini semuanya pindahan dari Jakarta, karena berjualan di Jakarta butuh modal besar, tidak seperti disini berjualan sekantong plastik juga bisa hidup, makanya banyak yang pindah kesini. Sekarang saja banyak yang berdatangan dari kampung dan kota lain”

Jumlah pedagang Minangkabau yang datang ke Jatibarang semakin bertambah. Kondisi ini jelas terlihat setelah dibangunnya pasar tradisional Jatibarang pada tahun 1984 dan mulai aktif pada tahun 1989-an sebelum pasar ini dib1989-angun jumlah per1989-antau Min1989-angkabau h1989-anya lima kepala keluarga dan sekarang jumlah mereka mencapai seratus tiga puluh lima kepala keluarga.

Perkembangan ini terjadi karena daerah Jatibarang memiliki daya beli yang tinggi, biaya hidup murah, dan mudah untuk memperoleh tempat berdagang. Hal ini yang menyebabkan perantau Minangkabau baik yang berasal langsung dari Sumatra Barat maupun dari kota lainya, memilih Jatibarang sebagai tempat untuk berusaha.Perkembangan jumlah perantau Minangkabau di Jatibarang tidak dihitung berdasarkan jumlah kelahiran dan kematian, namun dilahat dari perkembangan kepala keluarga, karena tidak ada data yang mendukung.

Pada awal pasar dibangun perantau Minangkabau umumnya berdagang di kaki lima. Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki modal untuk menyewa atau membeli kios. Yang menempati kios atau toko umumnya masyarakat asli dan etnik China. Masa sulit pernah juga dialami oleh PKL Minang. Penggusuran demi penggusuran tak jarang mereka temui. Namun berkat kegigihan dan ketekunan mereka tetap bertahan.

Sekitar tahun 1997–an, pengelola pasar mulai memberikan kelonggaran kepada pedagang kaki lima. Mereka diperbolehkan berdagang di emper-emper toko atau diruas jalan menuju pasar dengan syarat harus membayar iuran restribusi dan sumbangan lainnya. Setelah periode itu pedagang kaki lima mulai mendapat angin segar. Diantara

(13)

mereka tak jarang membuat tempat yang permanen di sepanjang ruas jalan menuju pasar.. Melihat aktivitas pedagang kaki lima yang semakin semarak, membuat masyarakat pribumi ikut pula terjun menjadi pedagang kaki lima. Mereka berbaur dengan PKL dari Minang. Awalnya masyarakat pribumi yang berdagang, berasal dari daerah sekitar pasar. Namun sekitar tahun 2004 setelah kaki lima mulai direlokalisasi maka banyak masyarakat pribumi dari luar wilayah Jatibarang berdatangan. Menurut data dari pengelola pasar jumlah PKL yang berdagang setiap hari pasar sekitar lima ratus orang yang terdiri dari orang Minang dan penduduk asli. Namun jumlah ini bisa tiga kali lipat pada bulan-bulan ramai, seperti menjelang hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Tempat Bermukim

Pada awal-awal kedatangan orang Minangkabau di Jatibarang, mereka mencari tempat tinggal dengan mengontrak rumah yang relatif murah, disesuaikan dengan tingkat penghasilan, mereka ada yang sudah berkeluarga dan ada yang belum. Bagi yang sudah berkeluarga umumnya anak mereka masih kecil-kecil dan jumlahnya sedikit, sehingga mereka cukup mengontrak satu atau dua kamar. Tetapi ada juga yang mengontrak satu rumah. Sedangkan yang belum berkeluarga mereka mengontrak satu kamar atau mengontrak satu rumah secara bersama-sama.

Setelah banyak perantau Minangkabau yang tinggal di Jatibarang, memudahkan perantau baru untuk tinggal sementara waktu di tempat kerabat mereka baik yang sudah berkeluarga maupun yang belum. Setelah itu baru mencari tampat tinggal sendiri. Mereka yang masih bujangan tinggal di tempat keluarga mereka yang lamanya sesuai dengan waktu yang ditentukan oleh kerabatnya tersebut. Pekerjaan mereka membantu dan belajar berdagang tanpa digaji, tetapi akan diberi modal kalau sudah bisa berdagang dan dapat dipercaya. Berbeda halnya dengan perantau Minangkabau yang sudah berkeluarga, mereka tinggal sementara waktu paling lama sebulan.

(14)

PKL perantau Minangkabau yang awalnya mengontrak rumah atau menumpang dengan teman atau keluarga, setelah berhasil dalam perdagangan dan merasa cocok tinggal di Jatibarang, timbul keinginan memiliki rumah sendiri. Mulai ada PKL perantau Minangkabau yang memiliki rumah di BTN. Pemukiman perumahan BTN merupakan yang pertama didirikan dan dibangun di Jatibarang untuk masyarakat luas. Pembangunan perumahan BTN tahap kedua pada tahun 1998 banyak ditempati oleh PKL perantau Minangkabau yang berasal dari luar BTN. PKL perantau Minangkabau yang tinggal di BTN awalnya hanya dua KK, sekarang sudah sembilan puluh satu KK. Hampir seluruh PKL perantau Minangkabau Jatibarang pindah ke pemukiman perumahan BTN. Perumahan BTN yang tadinya sepi dan sunyi dari keramaian berubah semarak dengan kehadiran mereka. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu informan (M)

” pertama-tama pindah ke BTN sangat sepi, jam delapan malam sudah sunyi. Sekarang jam dua belas malampun masih ramai, apalagi malam jumat, dimana esoknya PKL perantau Minangkabau libur berdagang”

Perantau Minangkabau yang tinggal di BTN tidak seluruhnya memiliki rumah di BTN, tetapi sebagian masih mengontrak. Sewa rumah di BTN lebih mahal dibandingkan di luar, tetapi perantau Minangkabau lebih memilih tinggal di BTN karena merasa aman dan dapat berdekatan dengan orang Minangkabau lainnya dalam sebuah kelompok besar. Hidup dalam kelompok yang besar di BTN sebenarnya telah diawali dari kelompok-kelompok kecil di luar BTN berdasarkan kelompok keluarga, sebelum pemukiman perumahan BTN di bangun. Sebagaimana yang dipaparkan oleh salah seorang informan (M)

” Sebelum di BTN saya mengontrak di blok rengas, dengan saya ikut beberapa orang yang satu kampung dengan saya. Kalau PKL asal ulakan banyak tinggal dan mengontrak di gang Jaya. Asal Pasisir dan Solok tinggal di Blok Gudang ”

Hidup mengelompok bagi PKL perantau Minangkabau, bukan atas kesengajaan namun cenderung kepada sebuah kebutuhan dan kebetulan,

(15)

karena mereka memiliki kesamaan kegiatan dan aktivitas. Hal ini, juga didukung dengan adanya pemukiman perumahan BTN di Desa Jatibarang.

Berbeda dengan PKL penduduk asli mereka umumnya sudah memiliki rumah sendiri. Mereka tersebar di wilayah pemukiman penduduk. Tidak seperti PKL Minang yang tinggal mengelompok, PKL penduduk asli ada juga yang mengelompok namun lebih banyak hidup tersebar. Mereka tidak hanya tinggal di sekitar wilayah Jatibarang, tetapi juga dari luar Jatibarang seperti Tegal Gubuk, Kertasmaya, Eretan dan Indramayu.

Kegiatan Berdagang

PKL adalah profesi sebagian besar masyarakat perantau Minangkabau di Jatibarang. Hanya dua orang yang bekerja sebagai guru. Berdagang di kaki lima bukanlah pilihan mudah bagi mereka, bahkan bukan menjadi sebuah cita-cita. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya untuk menekuni dan menjalani profesi sebagai PKL. Seperti yang diungkapkan informan (J)

” Pada tahun 1976 saya pergi merantau ke Jakarta karena tertarik melihat orang yang pulang merantau pakaiannya bagus-bagus dan bergelang emas. Waktu itu saya berumur enam belas tahun dan baru duduk dibangku kelas lima sekolah dasar, umumnya anak-anak dikampung sudah besar-besar masuk sekolah. Dengan sedikit uang hasil menjual buah kelapa saya berangkat ke Jakarta bersama seorang teman. Di Jakarta saya tinggal dengan orang sekampung (masih satu famili) yang membuka kedai tailor, saya ikut membantu-bantu sambil belajar menjahit.”

Menjadi PKL bukan tujuan hidup mayarakat Minangkabau, begitu juga untuk merantau di Jatibarang bukan menjadi pilihan pertama sebagai daerah tujuan rantau. Hampir sebagian besar masyarakat perantau Minangkabau, terutama pendatang lama, sebelum bermukim dan menjadi PKL di Pasar Jatibarang mereka singgah atau merantau dulu ke Jakarta. Bahkan kalau mereka pulang kekampung halaman, seluruh sanak famili

(16)

dan kaum kerabat dikampung menyebut mereka pulang dari ”Jakarta”. Seperti yang diungkapkan oleh seorang subyek penelitian (H)

” Walaupun kami merantau dan berjualan di Jatibarang, kalau pulang kampung selalu dibilang pulang dari Jakarta. Orang kampung saya lebih mengenal Jakarta daripada Jatibarang. Makanya kami ngakunya merantau di Jakarta padahal di Jatibarang (sambil tertawa) ”

PKL perantau Minangkabau mengawali berjualan di kaki lima dengan modal kecil, jenis barang yang mereka jual adalah kaos kaki, pakaian dalam dan jam tangan yang harganya relatif murah. Baru kemudian setelah memiliki modal yang cukup mereka mengganti dengan jenis pakaian jadi dewasa dan anak-anak serta pakaian busana muslim. Seperti yang diungkapkan seorang subyek penelitian (B)

“Pertama datang ke Jatibarang hanya mengandalkan modal seratus ribu, Cuma bisa beli sekantong semen kaos kaki. Tapi berkat ketabahan uang segitu bisa menghasilkan seperti sekarang. Yang penting tekun, yakin dan sabar, tahan sakit senang hidup dirantau. Beda dengan perantau yang baru datang sekarang mereka maunya cepat maju saja

Berbeda dengan PKL penduduk asli mereka tidak melalui tahapan seperti yang dialami oleh PKL Minang. Mereka biasanya langsung berdagang dengan membawa barang dagangan secukupnya ke pasar Jatibarang setiap hari pasar. Padahal mereka di pasar lain seperti di Tegal Gubug memiliki toko atau kios. Dengan kata lain pedagang penduduk asli bukanlah pedagang kaki lima murni.

PKL perantau Minangkabau yang berdagang di pasar Jatibarang, sebagian besar berdagang pakaian jadi dewasa (pria/wanita), kemudian jenis pakain anak-anak. Umumnya PKL yang berjualan pakian jadi dewasa dan anak-anak adalah mereka yang telah memiliki modal besar dan sudah cukup lama berdagang di pasar Jatibarang. Sedangkan untuk jenis barang dagangan kaos kaki, pakaian dalam, jam tangan, dompet dan ikat pinggang umumnya dijual oleh PKL yang masih muda dan baru belajar mandiri. Sedangkan penduduk asli sebagian besar mereka

(17)

menjual pakaian jadi dewasa, pakaian muslim, kerudung, daster, seragam sekolah.

Selain berdagang di pasar Jatibarang pada ”hari pasar”, PKL perantau Minangkabau dan penduduk asli mencari pasar lain yang berjarak cukup jauh dari Jatibarang, diantaranya pasar Tegal Gubug di Arjawinangun, dan pasar Prapatan di Majalengka. ”Hari pasar” di pasar Tegal Gubug adalah hari Selasa dan Sabtu, sedangkan hari Senin dan Kamis merupakan ”hari pasar” di Pasar Prapatan. Dengan demikian hampir setiap hari selama seminggu para pedagang sibuk berdagang kecuali hari Jumat yang merupakan hari libur bagi PKL perantau Minangkabau. Di pasar tersebut umumnya mereka mempunyai tempat berdagang di kaki lima.

Menurut informan, PKL yang berdagang di pasar Jatibarang berusia diantara lima belas sampai dengan enam puluh tahun. Umumnya PKL Minang berusia muda sekitar dua puluh sampai empat puluh lima tahun. Sedangkan PKL penduduk asli umumnya berusia diatas empat puluh tahun, meskipun ada juga yang berusia muda, namun jumlahnya tidak banyak.

Untuk membawa barang dagangan ke pasar PKL perantau Minangkabau memiliki ciri khas sendiri yang berbeda dengan penduduk asli. Penduduk asli yang rumahnya dekat dengan pasar menggunakan jasa becak namun bagi yang jauh mereka menggunakan angkutan mini bus yaitu Kopayu. Tetapi bagi PKL Minang, mereka menumpangkan barang dagangannya dengan kendaraan temannya atau PKL lainnya yang memiliki kendaraan sebagai alat angkutan. mereka akan memberikan ongkos angkut yang besarnya tergantung kepada jumlah karung barang yang ditumpangkan, umumnya sebesar dua puluh ribu rupiah pulang pergi. Hal ini dilakukan karena mereka tinggal saling berdekatan atau hidup mengelompok.

Barang dagangan yang akan dibawa ke pasar Jatibarang sebelumnya telah dimasukkan kedalam karung-karung atau keranjang dari bambu dan diikat dengan tali rapia atau tali tambang agar tidak

(18)

berantakan ketika diangkut diatas mobil, begitu juga pulangnya. Umumnya setiap pedagang memiliki satu karung barang dagangan, tergantung kepada tingkat kemajuan pedagang bersangkutan, ada yang memiliki jumlah barang dagangan sebanyak lima karung yang memenuhi satu mobil mini colt diesel. Jadi kalau “hari pasar” para PKL perantau Minangkabau tersebut berusaha membawa barang dagangannya sebanyak mungkin, apalagi bagi mereka yang baru menambah barang dagangan atau habis ”belanja” dari Jakarta (Tanahabang, Cipulir atau Jatinegara).

PKL yang membawa jumlah barang dagangan dalam jumlah besar juga mempekerjakan beberapa orang ”anak buah” yang akan membantu proses pengangkutan barang ke pasar dan operasional kegiatan berdagang di pasar, seperti: memajang, menjualkan barang dagangan atau hanya sekedar menjaga barang dari pencuri. Jumlah ”anak buah” yang diperlukan berbeda-beda setiap PKL, tergantung banyaknya dan luasnya lokasi berdagang di pasar. Bahkan sebagian dari mereka sudah dibantu oleh anak-anak dan istri atau suami masing-masing. Orang yang dipekerjakan menjadi ”anak buah” juga berbeda-beda latar belakang etniknya, ada yang berasal dari etnik Minangkabau sendiri (bisa adik, ipar, kakak atau orang sekampung, bahkan mertua) atau penduduk asli Jatibarang. Upah yang diberikan atau yang diterima oleh ”anak buah” juga beragam, tergantung kepada besarnya tanggungjawab dan fungsi masing-masing ”anak buah”. Bagi ”anak buah” yang diberi beban ”bekerja penuh” untuk menyiapkan aktivitas perdagangan dari berangkat, memajang, menjualkan dan kembali kerumah biasanya lebih besar dibandingkan dengan ”anak buah” yang hanya bertugas untuk membantu menjualkan atau menjaga barang dagangan dari pencuri. Rata-rata setiap ”anak buah” menerima upah harian sebesar lima belas ribu rupiah. Ada tabungan untuk anak buah yang ”bekerja penuh” yang biasanya akan diberikan pada akhir tahun pembukuan (malam takbiran). Berbeda dengan PKL penduduk asli mereka tidak memiliki anak buah seperti PKL Minang,

(19)

karena jumlah dagangan mereka yang sedikit dan tempat berdagang juga kecil. Biasanya mereka hanya terdiri dari suami istri.

Kegiatan untuk menambah atau berbelanja barang dagangan ke Jakarta (Tanahabang, Cipulir, Jatinegara) umumnya dilakukan oleh PKL perantau Minangkabau pada hari libur berdagang (hari Jumat). Namun ada juga yang berbelanja diluar hari libur tersebut, terutama pada musim-musim ramai serta juga disesuaikan dengan tuntutan permintaan barang dan juga persediaan uang. Biasanya tidak semua dari PKL perantau Minangkabau akan berangkat ke Jakarta untuk berbelanja pada hari Jumat yang sama. Berbeda dengan PKL penduduk asli mereka umumnya belanja barang di pasar Tegal Gubuk dengan sistem grosir. Mereka tidak ada waktu tertetntu untuk membeli barang, karena bisa mereka lakukan setiap hari pasar di tegal Gubuk. Tergantung dari kebutuhan dan kemampuan dari mereka. Dari tiga puluh responden PKL penduduk asli hanya lima orang yang belanja barang ke Jakarta.

Karakteristik Responden

Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa umur responden yang berbelanja pada PKL Minang rata-rata berusia muda, sedangkan pada PKL penduduk asli berusia setengah baya. Berdasarkan pengamatan dilapangan memang terdapat perbedaan variasi mode yang dijual meskipun sama-sama menjual pakaian jadi dewasa. Pembeli pada PKL Minang umumnya sudah menikah dan belum menikah, sedangkan pada PKL penduduk asli rata-rata sudah menikah

Jika dilihat dari anggota keluarga, pembeli pada PKL Minang umumnya memiliki anggota keluarga tiga sampai lima orang sedangkan pembeli pada PKL penduduk asli rata-rata memiliki jumlah keluarga satu sampai tiga orang.

Tingkat pendidikan pembeli pada PKL Minang umumnya tamatan SMA sedangkan pada PKL penduduk asli juga tamatan SMA. Hal ini menandakan bahwa rata-rata lulusan semua responden baik PKL Minang

(20)

ataupun penduduk asli cukup berpendidikan. Jika dilihat dari intensitas kunjungan ke pasar Jatibarang pembeli pada PKL Minang rata-rata mereka berkunjung dua sampai lima kali perbulan bahkan lebih dari lima kali. Hal ini menunjukan intensitas mereka cukup tinggi, disamping itu juga rata-rata tempat tinggal mereka tidak jauh dari lokasi pasar demikian juga pembeli pada PKL penduduk asli.

Jika dilihat dari jenis pekerjaan pembeli pada PKL Minang beragam mulai dari PNS, pelajar, swasta, pedagang, dan lain-lain. Namun yang lebih banyak ialah yang memiliki pekerjaan lain-lain dalam arti kata bukan salah satu dari jenis pekerjaan yang disebutkan. Sedangkan pembeli pada PKL penduduk asli juga memiliki pekerjaan yang beragam namun yang terbanyak ialah sebagai ibu rumah tangga. Deskriptif responden dapat terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Deskripsi karakteristik responden

PKL Minang PKL Penduduk Asli

No Karakteristik Kategori Jumlah (orang) Presentase (%) kategori Jumlah (orang) Presentase (%) Laki-laki 17 56.66 Laki-laki 12 40 1 Jenis Kelamin Perempuan 13 43.33 Perempuan 18 60 Muda (17-26) 15 50 Muda (17-26) 11 36.7 Setengah Baya (27-36) 7 23.3 Setengah Baya (27-36) 13 43.3 2 Umur Tua (37-43) 8 26.7 Tua (37-43) 6 20.0 Kawin 14 46.6 Kawin 18 60.0

Belum Kawin 14 46.6 Belum Kawin 9 30.0 3 Status Janda 2 6.6 Janda 3 10.0 (1-2) 3 10.0 (1-2) 14 46.7 (3-5) 20 66.7 (3-5) 12 40.0 4 Jumlah Anggota Keluarga (6-7) 7 23.3 (6-7) 4 13.3 <1 0 0 <1 1 3.3 1-2 6 20.0 1-2 8 26.7 2-3 8 26.7 2-3 6 20.0 4-5 8 26.7 4-5 4 12.3 5 Rata-rata Kunjungan >5 8 26.7 >5 11 36.7

Tidak Sekolah 2 6.7 Tidak Sekolah 3 10.0 SD 4 13.3 SD 4 13.3 SMP 8 26.7 SMP 7 23.3 SMA 16 53.3 SMA 18 46.7 D3 0 0 D3 0 0.0 6 Pendidikan S1 0 0 S1 2 6.7 PNS 1 3.3 PNS 1 3.3 Swasta 2 6.7 Swasta 4 13.3 Dagang 8 26.7 Dagang 6 20.0 Buruh 1 3.7 Buruh 0 0.0 Petani 0 0.0 Petani 2 6.7 Pelajar 6 20.0 Pelajar 6 20.0 Ibu RT 3 10.0 Ibu RT 9 30.0 7 Pekerjaan

(21)

Strategi Komunikasi PKL di Pasar Jatibarang

Deskripsi Strategi Komunikasi PKL Minang dan Penduduk Asli

Seperti yang diketahui bahwa dipasar Jatibarang terdapat banyak pedagang yang memiliki identitas etnik tertentu begitu juga dengan PKLnya. Masing-masing pedagang tentu punya cara tersendiri bagaimana supaya dagangan mereka laku terjual. Dalam teori penjualan kita kenal dengan strategi komunikasi penjualan. Untuk itu dibahas mengenai stategi komunikasi penjualan yang dilakukan oleh PKL Minang dan penduduk asli .

Tabel 4 Rataan skor strategi komunikasi PKL Minang dan Penduduk Asli PKL Minang PKL Penduduk

Asli NO Uraian

Rataan Skor Rataan Skor 1 2 Strategi Verbal: Berteriak Menyapa Mempersilahkan Strategi Non Verbal Tersenyum Posisi Tubuh Memajang Bandrol Harga 2.6 3.8 3.2 2.8 3.2 3.7 2.4 2.0 3.0 3.3 2.9 3.1 3.1 2.3

Dari Tabel 4 terlihat bahwa PKL Minang sering melakukan strategi komunikasi baik secara verbal maupun non verbal. Begitu juga dengan PKL penduduk asli. Namun jika dilihat dari keseluruhan nilai rataan skor PKL Minang sedikit lebih sering melakukan strategi komunikasi verbal dan non verbal dibandingkan dengan PKL penduduk asli. Hal ini berarti PKL Minang lebih aktif dalam melakukan strategi komunikasi. Meskipun pada

(22)

mempersilahkan dan tersenyum PKL penduduk asli lebih sedikit sering dibandingkan dengan PKL Minang.

Meskipun sama-sama sering melakukan strategi komunikasi verbal dan non verbal, tetapi dalam berteriak PKL Minang hampir sering berteriak dibandingkan dengan penduduk asli. Pada PKL Minang berteriak sudah menjadi kebiasaan atau budaya. Jika PKL penduduk asli ada yang berteriak itu akibat dari terpengaruh dengan cara-cara PKL MInang. karena budaya mereka dalam berdagang tidak berteriak. Berdasarkan pengamatan dilapangan PKL penduduk asli jarang yang berteriak, mereka hanya menunggu pembeli datang sambil menyapa calon pembeli yang sedang lewat didepan mereka. Dalam hal memajang PKL Minang selalu memajang barang dagangannya. Apapun yang mereka jual tak luput dari memajang bahkan sampai pakaian dalam sekalipun. Alat yang mereka pergunakan cukup sederhana dan mudah diperoleh seperti tali dan kayu. Dengan memajang mereka telah memanfaatkan setiap sisi ruangan agar dagangan mereka terlihat ramai dan menarik. Berbeda dengan penduduk asli yang kurang suka memajang. Biasanya mereka meletakan barang dagangan diatas “amben “ atau alas yang terbuat dari bambu yang dibuat kira-kira sepuluh cm dari tanah. Diatas amben inilah mereka menyusun barang dagangan.

Menurut para pedagang penduduk asli, mereka yang tidak memajang dikarenakan sudah memiliki langganan. Pembeli sudah tahu apa jenis barang dagangan mereka. Selain itu, tempat berdagang mereka mengelompok sesama pedagang yang tidak memajang, sehingga kalau mereka memajang pedagang yang lain jadi terhalang. Disamping itu mereka merasa kesulitan untuk membawa barang dengan jumlah yang banyak dan membawa perlengkapan untuk memajang, karena umumnya mereka menggunakan angkutan umum dan berdomisili di luar wilayah Jatibarang seperti dari Tegal Gubug, Eretan, Kertasmaya dan daerah lain sekitar Jatibarang. Dalam hal memasang bandrol harga kedua PKL jarang yang menggunakan, karena pembeli di Pasar Jatibarang lebih suka

(23)

menawar dibandingkan dengan harga pas atau harga bandrol. Meskipun ada yang menggunakan diperuntukkan untuk menarik minat pembeli.

Analisis Perbedaan Strategi Komunikasi PKL Minang dengan PKL Penduduk Asli di Pasar Jatibarang

Masing-masing pedagang memiliki cara tersendiri untuk menarik pembeli agar mau membeli. Begitu juga dengan pedagang kaki lima yang ada di pasar Jatibarang. Analisis ini mengkaji perbedaan strategi komunikasi yang dilakukan oleh PKL Minang dengan penduduk asli. Seperti yang terlihat pada Tabel 5 dibawah ini.

Tabel 5 Perbedaan strategi komunikasi PKL Minang dengan Penduduk Asli

PKL Minang PKL Penduduk Asli

No Uraian p

N Mean N Mean

1 Verbal .515 30 17.9333 30 16.9667

2 Non verbal .000 30 24.1333 30 23.1667

3 Total komunikasi .004 30 42.0667 30 40.1333

Seperti yang terlihat pada Tabel 5, secara verbal ternyata tidak terdapat perbedaan antara PKL Minang dengan penduduk asli. Hal ini disebabkan karena masing-masing PKL melakukan strategi komunikasi verbal yang sama yaitu berteriak, menyapa dan mempersilahkan. Hal ini dibuktikan dengan nilai signifikansi sebesar 0,515. Meskipun pada kenyataannya di lapangan masing-masing PKL memiliki ciri tersendiri dalam mengaplikasikan atau menerapkan strategi tersebut. Seperti strategi berteriak, dimana PKL Minang sangat gemar berteriak, mereka tidak sungkan-sungkan atau malu untuk meneriakkan barang dagangan kepada calon pembeli, sepertinya mereka tidak perduli dengan lingkungan sekitar. Yang penting suasana menjadi ramai dan orang-orang yang berlalu lalang minimal memperhatikan mereka. Biasanya hal yang diteriakkan berkisar sekitar harga, jenis barang dagangan, kualitas, model dan tempat membeli. Namun lain halnya dengan PKL penduduk asli mereka sebenarnya jarang berteriak, kalaupun ada itu bersifat sekedar

(24)

senda gurau, karena mendengar PKL Minang berteriak, tetapi pada kenyataannya mereka tidak terbiasa dengan berteriak.

Begitu juga dengan menyapa dan mempersilahkan, meskipun mereka sama-sama menyapa pembeli yang sedang lewat tetapi pasti terdapat cara yang berbeda-beda. Seperti PKL Minang sering menggunakan sapaan dengan bahasa Indonesia, sedangkan PKL penduduk asli umumnya menggunakan bahasa daerah. Begitu juga saat mempersilahkan pembeli untuk sekedar melihat-lihat ataupun masuk ke tempat dagangan mereka, komunikasi yang mereka gunakan memiliki cara tersendiri. Namun pada dasarnya kedua PKL melakukan strategi verbal yang sama.

Dilihat dari strategi komunikasi non verbal terdapat perbedaan antara PKL Minang dengan penduduk asli, terbukti rata-rata (mean score) strategi non verbal PKL Minang (24.1) lebih tinggi dari PKL penduduk asli (23.1). Hal ini disebablan secara non verbal yaitu memajang, PKL Minang lebih suka memajang barang dagangan dibandingkan dengan penduduk asli. Karena memang kenyataannya pedagang Minang baik yang berdagang di toko, kios maupun di kaki lima tak pernah lepas dari memajang. Sampai-sampai ada celotehan kalau tidak memajang bukan pedagang Minang. Apapun jenis barang yang dijual mereka selalu memajangannya sampai ke pakaian dalam sekalipun, karena menurut mereka dengan memajang maka dagangan akan terlihat ramai dan bervariasi, diharapkan pembeli akan dapat melihat barang dagangan mereka bila dibandingkan dengan tidak dipajang. Alat-alat yang mereka gunakan juga sangat sederhana, seperti tali, kayu dan hanger/ gantungan. Mereka memasangnya sedemikian rupa sehingga akan tampak menarik meskipun dari jauh. Hal yang berbeda juga pada pemasangan bandrol harga, PKL Minang lebih suka menggunakannya. Bandrol harga ini bukan dipasang dengan stiker seperti yang biasa kita dapati pada harga di supermarket, namun mereka membuatnya dengan tulisan besar diatas kertas atau papan kira-kira berukuran 20cmx15cm. Bandrol harga ini biasanya digantung ataupun diletakkan diatas dagangan

(25)

yang menginformasikasn harga dari barang dagangan. Namun bandrol harga ini tidak digunakan pada semua jenis komoditas barang dagangan, hanya barang tertentu yang memang harganya merupakan harga pas yang tidak dapat ditawar. Biasanya harganya tidak terlalu mahal dan barangnya sejenis.

Secara keseluruhan terdapat perbedaan antara strategi komunikasi PKl Minang dan penduduk asli baik secara verbal maupun non verbal. Karena PKL Minang lebih banyak melakukan strategi komunikasi dibandingkan dengan penduduk asli. Hal ini disebabkan karena banyak faktor diantaranya budaya merantau, motivasi berdagang, dan lain-lain. Orang Minangkabau memang terkenal dari sejak zaman dulu dengan budaya merantau. Sehingga secara mental mereka siap bertarung dengan lingkungan baru, tidak ada kata malu yang penting bagaimana bisa hidup. Berdagang adalah salah satu pekerjaan yang banyak mereka jalani, karena berdagang tidak dituntut tingkat pendidikan, pengalaman dan keahlian tertentu, yang penting ada kemauan untuk belajar dan berusaha.

Kerasnya lingkungan menuntut mereka untuk selalu tegar, karena sumber penghasilan mereka tergantung dari usaha berdagang. Dari sinilah mereka dapat membiayai penghidupan keluarganya. Jadi dalam berdagang mereka benar-benar melakukannya secara maksimal, sehingga pembeli menjadi tertarik untuk membeli. Maka mereka tak segan-segan untuk berteriak agar pembeli manjadi tertarik, begitu juga dengan mereka menyapa pembeli dengan ramah, berdiri ketika ada calon pembeli yang mendekat ataupun membuat pajangan yang menarik. Itu semua mereka lakukan dalam rangka bertahan hidup. Karena kalau dagangan mereka tidak laku atau tidak terjual maka mereka tidak bisa makan. Maka dengan sendirinya akan membuat mereka lebih kreatif dalam berdagang.

Apabila strategi komunikasi dibedakan satu persatu ternyata tidak terdapat perbedaan dalam hal berteriak, menyapa, mempersilahkan, tersenyum, dan posisi tubuh pada kedua PKL. Kedua PKL melakukannya, tetapi dalam hal memajang dan memasang bandrol harga

(26)

terdapat perbedaan antara PKL Minang dengan penduduk asli. PKL Minang lebih suka memajang dibandingkan dengan penduduk asli, begitu juga dengan memasang bandrol harga. Seperti yang terlihat pada Tabel 6 Tabel 6 Perbedaan strategi komunikasi PKL Minang dengan Penduduk

Asli

PKL Minang PKL Penduduk Asli

No Uraian P N Mean N Mean 1 Berteriak .859 30 5.333 30 4.0667 2 Menyapa .949 30 6.1667 30 6.1333 3 Mempersilahkan .504 30 6.4333 30 6.7667 4 Tersenyum .944 30 5.6000 30 5.8333 5 Posisi tubuh .069 30 6.4000 30 6.2000 6 Memajang .000 30 7.5000 30 6.3333 7 Bandrol harga .011 30 4.8000 30 4.6333

Persepsi Pembeli Tentang Efektifitas Komunikasi PKL Minang dan Penduduk Asli

Setiap pedagang tentu menginginkan barang dagangan laku terjual. Untuk itu berbagai cara mereka lakukan agar tujuan mereka tercapai. Mereka harus dapat menarik minat pengunjung untuk datang dan akhirnya ada keputusan untuk membeli. Dari cara-cara yang dilakukan oleh pedagang tersebut tentu akan menimbulkan persepsi atau penilaian tersendiri bagi pengunjung dalam hal ini pembeli. Penelitian ini akan melihat sejauh mana persepsi pembeli terhadap strategi yang dilakukan oleh pedagang. Seperti yang terlihat pada Tabel 7.

(27)

Tabel 7 Persepsi pembeli tentang efektifitas komunikasi PKL Minang dan Penduduk Asli

PKL Minang PKL Penduduk Asli NO Uraian

Rataan Skor Rataan Skor 1 2 3 Pemahaman Daya Tarik Dorongan Membeli 3.7 3.9 4.3 3.7 3.9 4.5 Pemahaman

Pemahan disini berarti pembeli jadi tahu dan mengerti mengenai produk yang dijual oleh pedagang tersebut. Indikator yang digunakan pada tingkat pemahaman ini antara lain pengetahan tentang jenis barang yang dijual, tempat membeli barang, model yang sedang digemari, merek, harga, warna yang sedang trend, bahan dasar pakaian, ukuran dan pembeli dapat membedakan barang yang bagus dan jelek. Dari hasil perhitungan dapat terlihat bahwa PKL Minang dan penduduk asli sama-sama dapat menimbulkan pemahaman bagi pembeli. Berarti PKL Minang dan penduduk asli dapat memberikan informasi mengenai komoditas atau barang dagangan mereka kepada pembeli.

Meskipun dilapangan umumnya pedagang tidak memberikan informasi terlalu banyak mengenai produk mereka. Apalagi pada saat-saat suasana banyak pembeli. Menurut penuturan pedagang mereka tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan kepada pembeli mengenai produk mereka, dikarenakan jumlah pembeli yang banyak. Mereka umumnya menginformasikan mengenai harga barang dan ukuran barang. Kalau ada pertanyaan lebih lanjut dari pembeli baru mereka dapat menjelasakannya. Inilah letak kelemahan dari PKL Minang yang kurang memberikan informasi mengenai produk mereka. Padahal informasi mengenai produk seperti mengenai model, warna pakaian yang sedang trend saat ini apalagi dapat dijelaskan kualitas bahan, merek dan dimana

(28)

tempat membelinya akan memberikan dorongan tersendiri bagi calon pembeli untuk jadi membeli.

Daya Tarik

Berdasarkan hasil analisis ternyata strategi yang diterapkan oleh PKL Minang dan penduduk asli sama-sama memberikan daya tarik kepada pembeli. Dari sembilan item pertanyaan mengapa pembeli tertarik untuk datang seperti mendengar teriakan pedagang, keramahan, penampilan, menggunakan alat bantu, dialek, bentuk pajangan, variasi dagangan terlihat lengkap dan banyak, tempat mudah dijangkau. Pembeli memiliki pendapat bahwa hal diatas yang membuat mereka tertarik untuk datang atau sekedar untuk melihat-lihat.

Hasil pengamatan dan wawancara dengan beberapa pedagang dan pembeli memang pedagang Minang menonjol dalam hal memajang barang dagangan, sehingga tempat atau lapak mereka berdagang terlihat ramai meskipun barang yang dijual tidak banyak. Mereka sangat gemar memajang barang dagangan, apa pun jenis barang yang dijual mereka tak lepas dari memajang. Disamping itu mereka selalu aktif untuk menyapa pembeli agar pembeli tertarik untuk mendekat. Terkadang bujuk rayupun mereka lontarkan dengan dialek Minang. Intinya mereka tidak sungkan atau malu untuk berkomunikasi dengan calon pembeli.

Ada hal yang menarik yang di temukan di lapangan, dimana pedagang selalu tampak sibuk membereskan barang, dengan kata lain mereka tidak menunggu membereskan setelah pembeli pergi. Namun ada dan tidak ada pembeli selalu barang dagangan tersebut mereka rapihkan, membersihkan dari debu dan mengganti posisi pajangan. Hal ini mereka lakukan seolah-olah barang dagangan mereka tidak pernah sepi pengunjung.

(29)

Dorongan Pembeli

Sama dengan halnya daya tarik, pembeli memiliki dorongan membeli yang tinggi kepada PKL Minang dan penduduk asli. Hal hal yang mendorong calon pembeli untuk membeli diantaranya bahwa barang tersebut berguna, ada jaminan/garansi barang dapat dikemballikan atau ditukar apabila rusak atau tidak sesuai dengan ukuranya. Dengan adanya hal hal tersebut membuat pembeli terdorong untuk membeli. Namun ada hal juga yang menarik peneliti temukan dilapangan, umumnya pembelli sudah memiliki langganan tetap dengan pedagang, karena memang rata rata pembeli di pasar Jatibarang adalah “Bakulan” yaitu untuk dijual kembali. Ketika peneliti menanyakan kepada pembeli yang menjadi pelangan tetap bahwa mereka berlangganan dan tetap membeli kepada pedangang tersebut karena sudah percaya, barangnya terjamin dan harganya bisa dikurangi serta didukung pedagangnya ramah dan baik.

Apabila dilihat dari skor rata-rata, dapat terlihat bahwa PKL penduduk asli sedikit lebih mampu dibandingkan dengan PKL Minang. Berdasarkan pengamatan di lapangan hal lain yang membuat calon pembeli menjadi terdorong untuk membeli kepada penduduk asli adalah adanya kesamaan bahasa dari pedagang dengan pembeli sehingga pedagang dengan mudah untuk meyakinkan calon pembeli.

Hubungan Antara Strategi Komunikasi Dengan Pemahaman, Daya Tarik dan Dorongan Membeli

Dari masing-masing strategi yang dilakukan oleh PKL Minang dan penduduk Asli tentu akan berdampak atau menimbulkan pemahaman, daya tarik dan dorongan membeli bagi pembeli. Karena apapun yang dilakukan oleh pedagang tentu memberikan dampak tertentu bagi pengunjung atau pembeli.s eperti yang terlihat pada Tabel 8 dibawah ini.

(30)

Tabel 8 Hubungan antara strategi komunikasi verbal dan non verbal PKL Minang dan Penduduk Asli dengan pemahaman, daya tarik dan dorongan membeli

PKL Minang PKL Penduduk asli Strategi Komunikasi Pemaham

an Daya tarik Dorongan Pembeli Pemahaman Daya tarik Dorongan Membeli 0.096 0,333 0,421* 0,368* 0,559** 0,374* 0,007 0,394* 0,234 0,620** 0,516** 0,428* 0,210 0,215 0,282 0,200 0,172 0,115 Verbal: Berteriak Menyapa Mempersilahkan Non verbal: Tersenyum Posisi tubuh Memajang Bandrol harga 0,328 0,328 0,237 0,157 0,523** -0,148 -0,035 0,213 0,195 0,088 0,043 0,001 0,348 0,308 0,254 0,571** 0,483** 0,651** 0,288 0,302 0,196 0,231 0,307 0,240 Keterangan = ** taraf α = 0,01 * taraf α = 0,05

Strategi komunikasii PKL Minang secara verbal yaitu berteriak berhubungan dengan daya tarik. Artinya ketika seorang pedagang sedang berteriak akan membuat orang atau calon pembeli tertarik untuk mendekat. Berdasarkan pengamatan dilapangan memang PKL Minang sangat aktif menarik perhatian pembeli, mereka tak segan-segan untuk berteriak keras-keras untuk mencari perhatian para pembeli. Hal yang diteriakkan menyangkut komoditas atau jenis barang dagangan, harga, ukuran, dan kualitas. Dalam berteriak biasanya mereka tidak menggunakan alat bantu, tetapi hanya dengan mengeraskan suara dari biasanya. Berbeda dengan PKL penduduk asli, ternyata berteriak dapat menyebabkan pemahaman bagi pembeli. Meskipun sama-sama berteriak, PKL penduduk asli dalam berteriak menggunakan bahasa daerah setempat sehingga akan lebih mudah dimengerti oleh calon pembeli. Berbeda dengan PKL Minang umumnya mereka menggunakan bahasa nasional dengan dialek Minang. Meskipun ada yang menggunakan bahasa setempat namun kurang sesuai dialek dan pengucapannya. Jadi hal yang diteriakkan PKL Minang menarik bagi calon pembeli. Namun teriakan penduduk asli mudah dipahami oleh calon pembeli.

Strategi komunikasi menyapa pembeli yang dilakukan oleh PKL Minang berhubungan dengan daya tarik dan dorongan membeli. Ketika seorang pedagang Minang menyapa pembeli, pedagang tidak hanya

(31)

sekedar menyapa lalu terhenti komunikasi, namun komunikasi akan berlanjut dengan terus menggali apa sebenarnya yang diinginkan calon pembeli. Sikap aktif dan didukung dengan sikap yang ramah tersebutlah membuat pembeli tertarik untuk datang dan akhirnya kalau memang barang tersebut berguna dan dibutuhkan maka dengan sendirinya akan mendorong calon pembeli untuk jadi membeli. Mereka juga tak segan untuk menyapa pembeli dengan panggilan daerah seperti “yuk” untuk wanita dewasa ”nok” bagi yang masih remaja. Bagi yang sudah lama tinggal di Jatibarang umumnya mereka sudah menguasi bahasa setempat, namun bagi yang baru datang mereka mau tidak mau harus mau belajar karena pada umumnya pembeli menggunakan bahasa daerah setempat.

Berbeda dengan PKL penduduk asli, dimana ketika seorang PKL menyapa pembeli justru membuat pembeli menjadi paham mengenai komoditas yang dijual. Karena pada saat itulah kesempatan bagi mereka untuk lebih banyak menginformasikan barang dagangannya. Apalagi antara mereka dengan pembeli memiliki kesamaan bahasa, maka akan lebih mudah bagi mereka untuk berbicara dari hati kehati dan kemungkinan tidak akan terjadi kesalahan dalam komunikasi. Berdasarkan pengamatan di lapangan memang terjadi kelancaran komunikasi antara PKL penduduk asli dengan pembeli, mereka akan lebih mudah dalam menyakinkan pembeli karena adanya kesamaan bahasa.

Strategi komunikasi yang dilakukan oleh PKL Minang dalam mempersilahkan pembeli berhubungan dengan pemahaman dan daya tarik, sedangkan pada PKL penduduk asli hanya berhubungan dengan pemahaman. Artinya mempersilahkan yang dilakukan oleh PKL Minang selain pembeli paham mengenai komoditas yang dijual juga merupakan salah satu daya tarik bagi pembeli. Apalagi disertai dengan sikap yang ramah dan terbuka kepada calon pembeli. Pertanyaan yang diajukan kepada calon pembeli saat menyapa seputar kebutuhan calon pembeli, dan berlanjut membujuk calon pembeli untuk melihat dan berhenti di tempat dagangan mereka.

(32)

Secara non verbal, yaitu tersenyum yang dilakukan oleh PKL Minang dan penduduk asli sama-sama menimbulkan daya tarik. Hal ini berarti ketika seorang pedagang tersenyum ramah kepada pembeli, pembeli akan tertarik untuk datang. Pada posisi tubuh yang dilakukan oleh PKL penduduk asli menimbulkan daya tarik, artinya ketika seorang pembeli mendekat, pedagang langsung berdiri melayani pembeli hal ini akan menjadi salah satu daya bagi pembeli untuk mau mendekat. Meskipun kenyataannya PKL penduduk asli susah melakukannya, karena mereka umumnya menggelar lapak diatas amben. Namun mereka tetap berusaha berdiri ketika melihat pembeli datang. Begitu juga dengan memasang bandrol harga pada PKL penduduk asli dapat menimbulkan pemahaman bagi pembeli. Karena bandrol harga tersebut dipasang secara tepat dan mudah terlihat.

Arah hubungan strategi komunikasi dengan pemahaman, daya tarik dan dorongan membeli yang dilakukan oleh masing-masing PKL memiliki kecenderungan yang positif. Artinya apabila salah satu ditingkatkan akan menyebabkan yang lain juga meningkat. Seperti apabila strategi komunikasi secara verbal ditingkatkan akan meningkat juga dalam hal pemahaman, daya tarik dan dorongan membeli.

Strategi yang Efektif bagi PKL di Pasar Jatibarang

Pembahasan ini akan melihat atau merumuskan strategi apa yang efektif atau cocok diterapkan oleh PKL baik Minang maupun penduduk asli di Pasar Jatibarang. Berdasarkan pembahasan sebelumnya dan hasil pengamatan di lapangan memang banyak cara atau strategi yang dapat digunakan oleh pedagang khususnya PKL di sebuah pasar. Dalam penerapannya tidak terlepas dari pengetahuan akan medan tempur terlebih dahulu, dalam arti kata siapa yang akan kita hadapi makanya pengenalan atau pengetahuan akan sasaran itu penting.

Sebelum merumuskan strategi yang efektif bagi PKL di Pasar Jatibarang terlebih dahulu digambarkan pola perdagangan yang terjadi di

(33)

pasar Jatibarang. Pasar Jatibarang hanya ramai pada hari pasar yaitu Rabu dan Minggu, dimana hanya pada hari pasar banyak terdapat pembeli dan pedagang yang menjual pakaian, sedangkan pada hari-hari biasa hanya ramai untuk pasar sayur. Disamping itu pembeli yang berbelanja umumnya membeli untuk dijual kembali yang dikenal dengan

bakulan, kalaupun ada untuk dipakai sendiri itu jumlahnya sedikit

dibandingkan dengan bakulan. Pasar Jatibarang sangat ramai dikunjungi oleh pembeli pada saat-saat tertentu seperti menjelang lebaran, suasana berdesak-desakan kerap sekali menghiasi pemandangan kita. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh pencuri. Untuk itu pedagang yang memiliki banyak barang dagangan sengaja memiliki pelayan atau ”anak buah” lebih dari satu. Hal lain juga terlihat dari cara pedagang meletakkan barang dagangannya. Pedagang penduduk asli lebih suka atau sudah menjadi kebiasaan untuk meletakkan barang dagangan di atas amben atau dengan istilah gelar lapak. Mereka menggelar barang dagangannya

Untuk melihat strategi apa yang efektif bagi PKL tentu tidak hanya mempertimbangkan pola perdagangan yang terjadi di pasar Jatibarang. Ada aspek ilmiah yang dapat mendukung analisa tersebut. Seperti analisa tentang hubungan strategi komunikasi dengan efektifitas komunikasi dan hasil analisa pendapat responden mengenai perlu tidaknya masing-masing strategi tersebut digunakan. Dari pertimbangan-pertimbangan yang telah dikemukakan tentunya dapat diambil benang merah strategi apa yang cocok diterapkan bagi PKL di pasar tersebut.

Melihat kondisi diatas dan pendapat dari responden, maka untuk melihat strategi yang efektif untuk PKL tergantung dari tingkat efektifitasnya. Strategi komunikasi yang efektif untuk menimbulkan pemahaman bagi pembeli adalah berteriak, menyapa, mempersilahkan dan memasang bandrol harga. Pemahaman disini berarti bahwa pembeli menjadi tahu dan paham mengenai komoditas atau produk yang dijual oleh PKL. Analisis ini juga didukung oleh keinginan responden yang menjawab perlu dan sangat perlu PKL untuk menyapa, mempersilahkan pembeli dan memasang bandrol harga. Hal ini menandakan bahwa

(34)

pembeli ingin dihargai, bayangkan saja ketika kita lewat ataupun sedang melihat-lihat di depan dagangan, sipenjual acuh tak acuh. Tentu calon pembeli akan mengurungi niatnya untuk mendekat. Namun perlu diingat menyapa atau mempersilahkan pembeli jangan terlalu berlebihan seperti menarik ataupun memakasa mereka untuk berhenti. Hal ini akan membuat calon pembeli malah menghindar. Kedua strategi ini tidak menuntut usaha yang keras, yang dibutuhkan hanya ketulusan hati dan kemauan untuk menghargai orang lain. Begitu juga dengan memasang bandrol harga, tidak menuntut usaha yang keras. Pedagang cukup menuliskan diatas kertas atau papan dengan tulisan yang agak besar agar terlihat, kemudian mengagantungkannya atau meletakkan diatas dagangan. Yang perlu diingat adalah bandrol harga hanya efektif untuk produk yang tidak beragam atau harganya tidak banyak bervariasi.

Strategi komunikasi yang efektif untuk menimbulkan daya tarik adalah berteriak, menyapa, mempersilahkan, tersenyum dan posisi tubuh. Keempat hal ini juga menurut semua responden perlu dan sangat perlu PKL melakukannya. Sesuai juga dengan naluri manusia bahwa siapa yang tidak suka melihat orang tersenyum tulus dibandingkan dengan cemberut atau marah-marah. Apalagi ada pepatah pembeli itu raja, maka sudah sewajarnya penjual berlaku ramah kepada pembeli seperti tersenyum kepada mereka meskipun membeli dan tidak membeli. Tersenyum juga tidak memerlukan usaha yang keras, namun perlu yang diingat adalah ketika seorang pedagang tersenyum, maka jangan secara berlebihan yang nantinya akan ditafsirkan berbeda-beda oleh pembeli. Begitu juga dengan posisi tubuh, ketika melihat pembeli datang sebaiknya pedagang berdiri hal ini mendakan bahwa pedagang tersebut respek dan menghargai pembeli, dibanding dengan hanya duduk saja. Namun bagi pedagang yang menggelar lapak diatas tanah kondisinya bisa disesuaikan mereka tidak harus berdiri, namun dapat menunjukkan dengan ekspresi dan sikap tubuh yang ramah sehingga pembeli merasa dihargai. Jika keempat strategi komunikasi ini dilakukan dengan baik maka dengan sendirinya akan menarik calon pembeli untuk mendekat.

(35)

Berdasarkan hasil analisis hubungan strategi komunikasi dengan persepsi pembeli, ternyata strategi komunikasi yang dapat menimbulkan dorongan membeli hanya menyapa. Memang terlihat bahwa menyapa tidak hanya menyebabkan dorongan membeli, namun juga menyebabkan pemahaman dan daya tarik. Hal ini berarti bahwa pembeli di pasar Jatibarang lebih menyukai dan simpati atau respek kepada pedagang yang suka menyapa pembeli. Menyapa juga tidak menuntut usaha yang keras. Menyapa juga tidak hanya sekedar mengucapkan kata-kata seperti mau cari apa, namun lebih jauh dari itu, sambil menyapa juga dapat diinformasikan mengenai produk apa saja yang dijual, harga, kualitas, ukuran dan model. sehingga menyapa akan menimbulkan percakapan yang lebih banyak. Semakin pedagang banyak memberikan informasi mengenai produk dan mengetahui kebutuhan serta keinginan pembeli apalagi ditunjang dengan sikap yang ramah, mau tidak mau calon pembeli akan dengan sendirinya tertarik untuk mendekat dan akhirnya terjadi transaksi.

Ternyata memajang tidak efektif menimbulkan pemahaman, daya tarik dan dorongan membeli. Hal ini disebabkan pola perdagangan di pasar Jatibarang yang sedikit berbeda dengan di daerah lain, dimana pembeli umumnya adalah untuk dijual kembali. Sehingga pembeli sudah memiliki langganan masing-masing. Untuk mendapatkan langganan, pembeli tidak mengutamakan bentuk pajangan. Hal yang terpenting adalah bagaimana si penjual dapat meyakinkan calon pembeli untuk mau membeli, diantaranya adalah dengan menginformasikan produk yang mereka jual, bisa dengan berteriak, atau memasang bandrol harga ataupun menyentuh calon pembeli secara personal seperti dengan menyapa, mempersilhkan dan sikap yang ramah. Hal-hal seperti inilah yang dibutuhkan di pasar Jatibarang, mengingat pola perdagangannya yang berbeda. Meskipun memajang tidak efektif, namun berdasarkan pendapat responden, bahwa memajang perlu dilakukan oleh pedagang kaki lima. Jadi memajang sah-sah saja dilakukan oleh pedagang, dan

(36)

pedagang tidak harus merubah gaya mereka masing-masing, sepanjang tidak merugikan mereka (Tabel 9).

Namun yang perlu diperhatikan oleh pedagang adalah ketika mereka melakukan strategi komunikasi, maka jangan terlalu berlebihan. Jangan pembeli seolah-olah merasa terpaksa dan merasa tidak enak kepada pedagang. Pedagang harus dapat menciptakan nuansa kebebasan kepada pembeli untuk memilih dan mengambil keputusan. Namun juga pembeli tidak dilepas begitu saja. Mereka tetap diperhatikan dan diberi informasi. Karena kalau pembeli sudah merasa tidak nyaman, sudah dapat dipastikan mereka akan pergi meninggalkan pedagang tersebut. Untuk itu pedagang harus jeli membaca situasi dan karakter orang. Kuncinya adalah tampilkan barang dagangan sebaik mungkin, jaga kualitas dan kepercayaan serta pelayanan yang ramah. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa strategi komunikasi yang efektif bagi PKL di pasar Jatibarang adalah berteriak, menyapa, mempersilahkan, tersenyum, posisi tubuh dan memasang bandrol harga. Keseluruhan strategi komunikasi ini harus dilakukan optimal dan tidak berlebihan dengan tetap memperhatikan situasi dan kondisi pembeli.

(37)

Tabel 9 Tanggapan Pembeli mengenai strategi komunikasi PKL di Pasar Jatibarang

PKL Minang PKL Penduduk Asli no Strategi Komunikasi Kategori Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) Sangat perlu 1 3.3 5 16.6 Perlu 19 63..3 13 43.3 Tidak perlu 10 33.3 12 40 1 Berteriak Sangat tidak perlu 0 0 0 0 Sangat perlu 8 26.6 7 13.3 Perlu 19 63.3 22 73.3 Tidak perlu 2 6.6 1 3.3 2 Menyapa Sangat tidak perlu 1 3.3 0 0 Sangat perlu 10 33.3 16 33.3 Perlu 19 63.3 14 46.6 Tidak perlu 1 3.3 0 0 3 Mempersilahkan Sangat tidak perlu 0 0 0 0 Sangat perlu 5 16.6 12 40 Perlu 22 73.3 16 53.3 Tidak perlu 3 10 2 3.3 4 Tersenyum Sangat tidak perlu 0 0 0 0 Sangat perlu 9 30 14 46.6 Perlu 21 70 16 53.3 Tidak perlu 0 0 0 0 5 Posisi tubuh Sangat tidak perlu 0 0 0 0 Sangat perlu 15 50 18 60 Perlu 15 50 12 40 Tidak perlu 0 0 0 0 6 Memajang Sangat tidak perlu 0 0 0 0 Sangat perlu 1 3.3 4 13.3 Perlu 17 60 16 53.3 Tidak perlu 12 36.6 10 33.3 7 Bandrol harga Sangat tidak perlu 0 0 0 0

Gambar

Tabel 1 Jumlah penduduk Desa Jatibarang menurut mata pencarian, 2005
Tabel 2 Jumlah pedagang pasar jatibarang menurut etnik (data pengelola  pasar Jatibarang, 2006)
Tabel 3 Deskripsi karakteristik responden
Tabel 5 Perbedaan strategi komunikasi PKL Minang dengan Penduduk  Asli
+3

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menambahkan aplikasi ke layar Depan, sentuh dan tahan aplikasi tersebut sampai muncul layar Depan, kemudian geser aplikasi tersebut ke lokasi yang diinginkan1. Untuk

Transfer kalor sensibel di awal proses adalah besar karena adanya perbedaan temperatur yang tinggi antara dinding pipa dalam dengan PCM padat.. Walaupun konduktivitas termal

Berdasarkan hasil pengolahan data penelitian, maka dapat diambil simpulan yaitu dengan pemanfaatan Museum Tsunami sebagai sumber belajar dapat meningkatkan hasil

Berdasarkan uji validitas pengaruh atau uji t, terlihat bahwa variabel yang memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran di Provinsi Jawa Tengah

yang signifikan antara intensitas mengikuti kegiatan menghafal Al Qur’an dengan kemampuan kognitif anak didik dalam pembelajaran PAI di SD Islam. Cahaya

Hasil ini juga didukung oleh statistik deskriptif pada tabel 4, baik responden yang melakukan penghentian prosedur maupun yang tidak melakukan penghentian prosedur

penyelenggaraan pelayanan publik. Salah satu aasnya yaitu bahwa penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan persamaan perlakuan atau tidak diskriminatif, serta fasilitas

- Dengan berdiskusi membahas beberapa sub topik yang dipilih mengenai globalisasi, diharapkan siswa dapat mengidentifikasikan dampak positif dan negatif dari globalisasi