• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehidupan perkuliahan merupakan suatu pengalaman salah satu tugas dalam hidup yang dinamis dan memiliki banyak tantangan. Selain itu, kehidupan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kehidupan perkuliahan merupakan suatu pengalaman salah satu tugas dalam hidup yang dinamis dan memiliki banyak tantangan. Selain itu, kehidupan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Kehidupan perkuliahan merupakan suatu pengalaman salah satu tugas dalam hidup yang dinamis dan memiliki banyak tantangan. Selain itu, kehidupan perkuliahan juga mensyaratkan kemampuan adaptasi dan pengaturan waktu yang baik dari seorang mahasiswa. Terlebih, pada masa awal perkuliahan. Mahasiswa dituntut untuk dapat beradaptasi dalam waktu yang singkat terhadap kurikulum baru, kebudayaan kampusnya, serta relasi dengan teman baru. Kondisi ini akan semakin berat pada mahasiswa yang tinggal jauh dari keluarganya. Sebagai tambahan, kondisi permasalahan keuangan orang tua yang dialami juga menambah beban psikologis. Sebagai solusinya, mahasiswa bekerja dan harus menanggung beban tugas yang lebih berat dan dalam membagi waktu.

Dari wawancara terhadap beberapa mahasiswa strata dua yang ditemui secara acak didapat beberapa permasalahan yang sering terjadi. D mahasiswa s2 menceritakan pengalamannya selama menjalani perkuliahannya hingga memasuki masa pengerjaan tesis. D mengaku mengalami beberapa kali stres karena banyaknya tugas kuliah yang menumpuk. Membolos demi menyelesaikan tugas kuliah dan mengumpulkan tugas kuliah dalam keadaan belum selesai juga pernah dilakukan oleh D hingga merasa menyesal dan bersalah. Lebih lanjut, D sempat merasa kesal dengan teman sekelompok yang kurang dapat diajak bekerjasama dalam menyelesaikan tugas. Selain itu, D juga menceritakan kekecewaannya terhadap tuntutan dosen selama menjalani proses pengerjaan tesis. Adapun S, mahasiswa S2 juga mengaku pernah pingsan di kos dan pernah harus dirawat di rumah sakit karena takut tidak dapat menyelesaikan tugas kuliahnya tepat waktu. S menceritakan bahwa dosen yang memberinya tugas kuliah tersebut cukup kiler. S sering mengalami sakit selama menjalani perkuliahan. Masih serupa dengan dua subjek sebelumnya, P mahasiswa s2 juga mengaku sering mengalami sulit tidur. P merasa tegang dan kuatir memikirkan banyaknya tugas kuliah yang belum selesai. P juga menceritakan dirinya pernah sakit perut hingga diare dan kambuh maagnya saat sedang stres. P juga menceritakan memiliki permasalah keluarga yang semakin membebani pikirannya. Di sisi lain P mengaku ingin refreshing dengan teman namun seringkali tidak bisa karena beban tugas kuliah dan biaya. Kondisi ini membuat P sangat bosan. Berdasarkan penjabaran diatas dapat disimpulkan

(2)

bahwa mahasiswa rentan mengalami gangguan mental seperti kecemasan, stres dan sulit tidur yang diikuti oleh gangguan fisiologis.

Tingginya angka kejadian gangguan mental pada mahasiswa juga dinyatakan pada beberapa penelitian ilmiah sebelumnya. Penelitian oleh Tasic (2014) menunjukkan bahwa mahasiswa dengan gejala somatisasi memiliki hubungan dengan kecemasan atau gangguan mood yang dimiliki. Hal ini juga didukung oleh penelitian Cinarbas (2014). Adanya evaluasi akademis di tiap semester dan syarat kelulusan yang diberikan menimbulkan beban yang berujung pada stres dam kecemasan pada mahasiswa (Newman & Shaw 2014). Selain itu, banyaknya kecemasan dan gangguan mood yang dialami oleh mahasiswa disebabkan oleh pengerjaan tugas kuliah yang berlebih dan kelelahan. Asai & Kato (2014) juga menuliskan banyaknya kecemasan yang dialami oleh mahasiswa perempuan di jepang berkaitan dengan masalah dalam hubungan dengan teman kuliah. Adapun hasil penelitian Nyer; dkk (2013) menunjukkan bahwa banyak mahasiswa yang mengalami gangguan tidur. Disamping itu, mereka juga mengalami kecemasan dan gangguan somatisasi. Mounsey (2010) dan Perna (2010) menuliskan dalam penelitian mereka tentang tingginya kecemasan yang dialami mahasiswa karena permasalahan finansial sehingga harus bekerja. Meningkatnya gangguan mental pada mahasiswa karena stres merupakan alarm yang perlu diperhatikan. Meski demikian, hingga saat ini angka kesadaran mahasiswa didalam mencari pertolongan dari tenaga ahli terhadap gangguan psikologis yang dialami masih rendah (Kim, 2012). Mahasiswa dengan gejala depresi dan tingkat kecemasan yang tinggi memerlukan tritmen terapi (Armando dalam Kim, 2012). Pada akhirnya, dari hasil beberapa penelitian oleh para ahli diatas dapat dilihat bahwa Kecemasan merupakan gangguan mental yang hampir selalu dialami oleh mahasiswa dal menjalani kehidupan perkuliahan.

Kecemasan merupakan kondisi emosi tidak menyenangkan yang dapat terjadi pada setiap orang (Prato & Caroline, 2013). Kecemasan merupakan alaram yang memperingatkan seseorang untk melakukan perubahan atau penyesuaian baik dalam dirinya maupun lingkungannya. Dengan demikian, kecemasan dapat menjadi suatu kondisi emosi yang bermanfaat untuk mencegah seseorang dari

(3)

bahaya. Lebih lanjut, Grant (2008) mengatakan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan yang diliputi kondisi fisiologis tidak menyenangkan dan gejolak emosi. Hal ini yang biasanya disebabkan oleh kesadaran atau perhatian seseorang terhadap suatu konsekwensi, kondisi, ataupun pengalaman mengancam yang diterima. Secara neurofisiologis kecemasan juga dapat dialami dalam bentuk merinding, sensitivitas berlebih, dan sulit berkonsentrasi. Adapun secara autonomi, kecemasan dapat dialami dalam bentuk merasa kepanasan, keluar keringat berlebih, detak jantung meningkat, serta muka memerah.

Menurut Beck (dalam Clark & Beck, 2010) respon-respon fisiologis yang secara otomatis muncul saat bahaya/ ancaman dirasakan oleh individu disebut dengan respon pertahanan diri. Respon tersebut dilihat dalam konteks yang menimbulkan ketakutan pada organisme, meliputi gejolak yang secara otomatis muncul dalam rangka mempersiapkan diri untuk menyikapi bahaya dengan melarikan diri atau secara langsung menghadapinya (flight or fight respon). Adapun bentuk respon utama perilaku yang muncul yaitu melarikan diri atau menghindar merupakan suatu respon upaya mencari aman. Selanjutnya, faktor kognitif menunjukkan interpretasi yang bermakna terhadap kondisi dalam diri yang mengalami kecemasan. Terakhir, kondisi afeksi yang muncul merupakan dampak dari pengaktifan respon kognisi dan fisiologis dan merupakan pengalaman subjektif atas kecemasan yang dialami.

Beck mengasosiasikan kecemasan sebagai suatu keadaan perasaan kelemahan. Persepsi seseorang terhadap dirinya, ditujukan pada kondisi bahaya yang dirasakan baik didalam maupun diluar diri dimana individu tersebut merasa kurang memiliki kontrol atau kurang mampu menyelamatkan diri dari kondisi tersebut. Perasaan memuncak atas kelemahan diri merupakan bukti penyimpangan penilaian dan bukti adanya penilaian yang terlalu dilebih-lebihkan akan adanya bahaya yang akan dialami sebagai respon terhadap stimulus yang netral/ tidak berbahaya. Menurut Beck (dalam Eysenck, 1997), dengan memelihara skema maladaptif yang berada dalam ketidaksadaran, seseorang terbukti mengalami kelemahan kognitif yang mempengaruhi perkembangan kecemasan. Skema kognisi adalah suatu struktur fungsional pada diri seseorang yang merupakan

(4)

representasi dari pengetahuan dan pengalaman terdahulu yang dimiliki dan disimpan terus menerus (Beck & Emery dalam Eysenck, 1997). Seseorang yang berada dalam kondisi tersebut menerima bahwa penderitaan akan bahaya yang dapat dialami terlalu berlebihan. Disaat yang sama, seseorang yang mengalami kecemasan gagal dalam menerima/ mengenali aspek-aspek yang berguna untuk menyelamatkan dari suatu evaluasi terhadap situasi yang mengancam. Dengan demikian, seseorang cenderung meremehkan kemampuan dirinya untuk melakukan koping terhadap bahaya atau ancaman yang dirasakan. Dengan kata lain, seseorang yang mengalami kecemasan memiliki penilaian/ evaluasi yang salah terhadap bahaya dan diikuti dengan penilaian/ evaluasi yang salah terhadap kemampuan dirinya yang dirasakan sebagai suatu kelemahan atau ketidakberdayaan.

Kecemasan dapat dikatagorikan menjadi dua jenis, yang menurut Spielberger, Gorsuch, & Lushene (1970) adalah state anxiety and trait anxiety. State Anxiety atau kecemasan sesaat ditandai perasaan subjektif pada siatuasi tertentu dan bersifat sementara. Jika situasi tertentu hilang, maka kecemasan yang dialami individu tersebut juga menurun, sedangkan Trait anxiety atau kecemasan bawaan yang mengacu pada perbedaan individu yang cenderung stabil dalam tingkatan kecemasanya untuk mempersiapkan situasi sebagai bahaya atau ancaman. Kecemasan ini bersifat menetap dan mempengaruhi persepsi individu terhadap situasinya (Gorsuch, & Lushene 1970; Gupta, Shveta, empati, Sharma, & Bijlani, 2006; Vitasari, Wahab, Herawan, Othman, & Sinnadurai, 2011; Spielberger, 1970). Trait Anxiety akan memungkinkan seseorang mengalami kenaikan yang lebih tinggi pada state anxiety ketika berada dalam situasi tertentu (Spielberger, et al; 1970).

Berdasarkan penjelasan definisi dari beberapa ahli diatas dapat disimpulka bahwa kecemasan merupakan suatu sistem respon kompleks dari kognisi, fisiologis, afeksi dan perilaku yang dimunculkan saat kejadian atau situasi lingkungan yang dialami dianggap sangat tidak disukai. Hal ini karena kejadian atau situasi tersebut diterima sebagai sesuatu yang tidak terduga, tidak dapat dikontrol, dan dapat mengancam kepentingan vital dan kesejahteraan

(5)

seseorang. Selain itu, kecemasan dapat bersifat sementara atau sesaat dan dapat menjadi kronis atau menetap karena belum mendapatkan penanganan yang tepat, faktor bawaan kepribadian dan pengalaman traumatis masa lalu.

Kecemasan merupakan hal yang normal terjadi. Meski demikian, tidak seperti pengalaman kecemasan yang ringan dan hanya terjadi sementara saat mengalami kejadian stressful dalam keseharian, kecemasan dapat menjadi suatu masalah serius dan semakin memburuk dalam waktu singkat bila tidak terdeteksi atau tertangani. Dalam kondisi ini, seseorang mengalami sindroma kecemasan yang ekstrem, maladaptif, dan melemahkan fungsi dirinya baik secara mental, fisik, maupun perilaku. Kecemasan sebagai kondisi emosi yang normal dan berguna dapat menjadi sangat mengganggu dan membuat seseorang tidak mempu melakukan koping adaptif terhadap masalah yang dialami (Vanin, 2008; Clark & Beck, 2010). Dengan demikian, upaya skrining dengan alat ukur kecemasan manjadi perlu dan berguna dalam memberikan informasi yang sesuai untuk menangani gangguan kecemasan (Vanin, 2008).

Beberapa faktor yang melatarbelakangi timbulnya gangguan kecemasan (Prato & Caroline, 2013; Vanin, 2008) diantaranya faktor biologis, psikologis dan lingkungan sosial. Salah satu faktor psikologis adalah temperamen. Seseorang dengan temperamen tertentu cenderung lebih mudah mengalami gangguan kecemasan. Temperamen merupakan kombinasi dari beberapa reaksi emosional dan karakter intelektual, etika serta fisik yang cenderung stabil dari waktu ke waktu. Misalnya, sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak yang terlahir pemalu atau introvert cenderung mengalami reaksi psikologis dan kecemasan yang tinggi dala suatu situasi sosial yang baru. Disisi lain, menurut pendekatan psikodinamika, gangguan kecemasan terjadi karena lemahnya ego yang disebabkan trauma psikologis sehingga seseorang kehilangan kontrol emosinya. Dalam konsep Freud, ego digambarkan memiliki kekuatan dan ketahanan dalam menghadapi trauma. Ego mempu menekan memori-memori beserta perasaan-perasaan menyakitkan yang mengikutinya dan merubahnya menjadi sebuah defens dalam bentuk gejala psikoneurotik. Kecemasan merupakan manisfestasi dari adanya konflik psikologis yang dialami seseorang dan dapat dieksplorasi dan

(6)

diselesaikan. Lebih lanjut, faktor sosial dan lingkungan juga mempengaruhi timbulnya gangguan kecemasan pada seseorang. Faktor resiko dalam etiologi kecemasan pada anak diantaranya adalah sikap overprotektif orangtua, sering dikritik, kurang mendapatkan kehangatan kasih sayang, dikucilkan, kemiskinan, pengulangan pengalaman kehilangan orang yang dicintai, serta mengalami kekerasan. Disisi lain, penjelasan beberapa faktor diatas terhadap munculnya gangguan kecemasan telah dirangkum secara baik dan lengkap dengan pendekatan psikosintesa.

Dalam konsep psikosintesis oleh Assagioli (dalam Firman dan Gila, 2007), kecemasan terjadi karena individu mengembangkan pribadi yang tidak otentik sebagai upaya survive dari sub kepribadian yang tidak terintegrasi. Kondisi ini berawal dari adanya primal wounding, luka dasar dan mendalam yang berada dalam area ketidaksadaran karena preses penolakan pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu dan menimbulkan trauma. Primal Wounding yang tinggi akan semakin mempengaruhi area sub kepribadian seseorang dan menghalanginya untuk dapat menyatu dengan self hingga menjadi pribadi yang otentik. Dalam kondisi tersebut terjadi disintegrasi dan penolakan antara diri dan sub kepribadian itu sendiri. Dengan demikian, timbul perasaan teriosalasi, kosong, serta kecemasan pada individu (Firman & Gila, 2002; Firman & Russell, 1993).

Beberapa penelitian menunjukkan keberhasilan beberapa terapi dalam mengatasi kecemasan. Hasil penelitian Eisner, Johnson dan Carver (dalam Ramadhiyanti (2012) menunjukkan bahwa terapi possitive affect regulation memiliki pengaruh terhadap penurunan gangguan kecemasan. Selain itu, intervensi relaksasi dalam studi yang dilakukan oleh Prato & Yuca (2012) juga terbukti dapat menurunkan kecemasan. Adapun terapi meditasi mindfulness dengan pendekatan kognitif perilakuan diketahui efektif dalam mengatasi kecemasan pada pasien (Sharma, Mao & Sudhir, 2012). Hal senada juga dihasilkan dalam penelitian oleh Kim (2013) yang menggunakan intervensi olah tubuh dan pikiran (mindfulness and body exercise berupa yoga) terhadap kecemasan yang dialami oleh mahasiswa. Intervensi mindfulness banyak digunakan dalam menangani kecemasan karena pada umumnya seseorang yang

(7)

mengalami kecemasan mengalami hambatan dalam mengenali, merasakan, atau menyadari kebutuhan-kebutuhan dan potensi-potensi yang ada dalam dirinya pada saat itu. Hal ini karena seseorang dengan gangguan kecemasan terlalu terfokus pada ancaman atau bahaya yang dirasakan (Clark & Beck, 2010). Dalam intervensi mindfulness, seseorang diajak untuk dapat menyadari kebutuhan dan potensi dalam dirinya dan bagaimana mengendalikannya (Pozo, 2009). Adapun tehnik yang biasa digunakan dalam intervensi mindfulness dapat berupa relaksasi, guided imagery, empati, kebersyukuran, dan lainnya (Meriam, 1996; Firman & Gila, 2007).

Lebih lanjut, dalam studi ini peneliti memutuskan untuk menggunakan terapi psikosintesa empati cinta yang menggunakan tehnik intervensi relaksasi, mindfulness, empati, serta pembenahan kognisi dalam mengurangi kecemasan pada subjek penelitian. Bukti penelitian ilmiah tentang penerapan ELT belum peneliti temukan. Meski demikian, Terdapat sebuah penelitian intervensi psikosintesa ( yang juga merupakan teori utama dalam ELT ) terhadap subjek dengan pengalaman trauma kekerasan seksual di masa kecil (Brown, 1997). Dalam penelitian tersebut juga dikatakan bahwa tingkat kecemasan yang dialami subjek penelitian menjadi rendah. Dengan demikian, kondisi masih minimnya penelitian mengenai intervensi psikosintesa menarik peneliti untuk dapat menerapkan ELT dalam penelitian ini untuk mengetahui keefektifan ELT secara ilmiah dalam mengurangi kecemasan.

Cinta merupakan kekuatan utama dalam hidup yang dapat membuat seseorang tumbuh berkembang menjadi pribadi yang otentik (Firman & Gila, 2010). Cinta melalui proses empatik, yaitu proses tanpa syarat dalam memahami dan menerima, akan membantu seseorang untuk masuk ke dalam diri. Kemudian, seseorang dapat menemukan, merasakan semua aspek kepribadian, menghargainya dan memfasilitasinya dalam sebuah hubungan yang harmonis juga kreatif. Dalam kondisi ini, I sebagai pusat pemersatu internal mampu bergerak dinamis mengarahkan berbagai kekuatan aspek dan potensi diri kedalam kesadaran. I menjadi otentik untuk menemukan diri sebagai aku yang penuh kasih, empatik, serta utuh.

(8)

Metode terapi empatic love (ELT) menggunakan kekuatan cinta yang penuh kasih untuk dapat menguatkan kehendak diri, mengendalikan dorongan-dorongan, serta membangkitkan pertumbuhan spiritual, sesuai dengan prinsip utama psikosintesa (Assagioli, 1973). Sehingga, individu dapat menjadi pribadi yang lebih optimal dan adaptif dalam menghadapi tantangan pengalaman kehidupan. Dimana dalam penelitian ini, individu dapat mengendalikan dan tidak mengalami kecemasan yang signifikan saat dihadapkan dengan stimulus yang mengancam. Lebih lanjut, ELT dalam penelitian ini disusun berdasarkan tujuh konsep utama psikosintesis Assagioli (Firman, 2011) yaitu: 1) Disidentification, 2) Personal self or I, 3)Kehendak (good, strong, skillful), 4)The ideal model, 5) Sintesa, 6) The superconcious or higher unconcious, 7) Transpersonal self or Self. Dapat disimpulkan bahwa melalui ketujuh proses diatas, cinta yang penuh empati dibantu untuk tumbuh , berkembang, menjadi kuat melalui eksplorasi aspek-aspek psikologis dalam diri sehingga individu mampu mengambil jarak terhadap luka, memunculkan I yang sadar dan berkehendak, serta menemukan aspirasi atau esensi hidup tertingginya yang sesuai dengan diri transpersonal. Dengan kondisi tersebut, individu dapat menyadari, menerima, serta mencari cara untuk mengatasi kecemasan yang dialami.

ELT dapat diaplikasikan dalam bidang terapeutik (psikoterapi), integrasi pribadi dan aktualisasi (menyadari potensi yang ada di dalam diri), edukasi (psikosintesis oleh orangtua ataupun oleh guru yang mendidik individu di sekolah dengan tingkat apapun), interpersonal (pernikahan, pasangan, dll), sosial (relasi baik di dalam kelompok ataupun antar kelompok) (Assagioli dalam Firman & Gila, 2007).

Beberapa penelitian Mengenai kecemasan mahasiswa di fakultas psikologi UGM memang pernah dilakukan sebelumnya. Diantaranya, studi hubungan antara kenyamanan lingkungan dengan kecemasan mahasiswa oleh Sriyanto (1987). Kemudian, studi pengaruh kecemasan mahasiswa terhadap prestasi belajar oleh Atamimi; dkk. (1981). Terakhir, studi hubungan efikasi diri akademik dengan kecemasan dalam menghadapi ujian akhir oleh Amrizal dan Purnamasari (2014). Namun, dapat dilihat bahwa jumlah penelitian kecemasan terhadap mahasiswa psikologi UGM masih sedikit dan belum pernah ada penelitian dengan memberikan intervensi.

(9)

Anxiety

METODE

Gambar 1. Komponen ELT pada Anxiety Simtom Kognitif Simtom Perilaku Simtom Fisiologis Disidentifikasi - Mengalami kembali - Mengenali diri - Mengambil jarak

Personal self or I ; Synthesis Menyadari lebih dalam

Menerima dengan penuh cinta Integrasi diri

Will – good, strong, and skillfull; Ideal Model

- Menyadari kehendak dalam diri - Mengkonstruksi kehendak - Penerimaan kehendak diri - Menyadari kualitas diri

Menemukan aspirasi diri

Superconscious/ higher

unconscious; dan Transpersonal Self or Self

- Pemahaman konflik (pemahaman yang baru) - Syukur

- Plan of action Luka/Primal Wounding/

Anxiety prone Empathic Love Therapy

(10)

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk melihat efektivitas penerapan Emphatic Love Therapy (ELT) untuk menurunkan tingkat kecemasan pada subjek penelitian. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ELT dapat menurunkan tingkat kecemasan pada mahasiswa S1 Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Adapun kerangka pikir dalam penelitian dapat dilihat pada diagram 2 di bawah ini:

Gambar 2. Kerangka pikir penelitian Mahasiswa yang mengalami

primal wounding membentuk survival personality yang tidak otentik untuk mempertahankan diri (Anxiety prone  kecenderungan untuk mengalami kecemasan)

Lingkungan Tidak Empatik

Perlakuan tidak menyenangkan dari significant others (orangtua, pengasuh, saudara) pada masa kecil, seperti bad labelling, hukuman, ancaman, bullying sehingga individu mengalami primal wounding (perasaan terluka yang tidak dapat diterima diri dan mengendap dalam area ketidaksadaran). Trigger Stimulus/ pengalaman yang mengancam Muncul simtom kecemasan

Empathic Love Therapy (Psikosintesis), yang terdiri

dari:

1. Mengenal dan menyadari luka

2. Penerimaan yang penuh cinta

3. Integrasi dan sintesis peran/ subkepribadian 4. Mengenal potensi, aspirasi,

dan rencana untuk bertindak

5. Kontak dengan Self yang mengarahkan dan mendukung dalam kondisi apapun (sakit, terluka, dll)

Simtom kecemasan berkurang

(11)

Keterangan:

1. = Alur pemberian terapi

2. = Kondisi setelah pemberian terapi 3. = Kondisi sebelum pemberian terapi

Variabel Penelitian

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah empathic love therapy (ELT) dan variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kecemasan.

Definisi Operasional

ELT adalah sebuah terapi psikologi yang menggunakan pendekatan tujuh konsep utama psikosintesis Assagioli dengan tehnik empati dan kekuatan cinta yang dilaksanakan selama enam sesi pertemuan. Kecemasan adalah tingkat kecemasan pada subjek penelitian yang diukur berdasarkan BAI.

Sumber Data Subjek

Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa strata satu (S1) psikologi Universitas Gajah Mada (UGM) yang dipilih secara purposive berdasarkan kriteria yang dapat mendukung tujuan penelitian. Adapun kriteria yang ditentukan peneliti adalah mahasiswa dengan tingkat keparahan gangguan kecemasan sedang hingga tinggi. Peneliti mendapatkan subjek melalui proses seleksi terhadap 150 mahasiswa S1 psikologi UGM tahun angkatan 2011yang sedang mengambil skripsi. Adapun data mereka peneliti peroleh dari bagian akademik kemahasiswaan Psikologi UGM. Lebih lanjut, peneliti melakukan skrining menggunakan BAI untuk dapat memperoleh subjek berdasarkan kriteria yang ditentukan dan membaginya kedalam dua kelompok, kontrol dan eksperimen. Kemudian, setelah melalukan proses skrining dan pembagian kelompok

Referensi

Dokumen terkait