• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tulisan ini adalah catatan yang dapat dibagikan dari hasil pertemuan tersebut.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tulisan ini adalah catatan yang dapat dibagikan dari hasil pertemuan tersebut."

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Transisi energi Indonesia untuk pencapaian target energi baru dan terbarukan

dalam bauran energi primer tahun 2025: belajar dari program Energiewende di

Jerman

Oleh: Erina Mursanti. Ditulis September 2015.

Pada bulan September 2015, IESR dan METI mengadakan sebuah diskusi publik yang mendatangkan seorang narasumber tunggal dari Jerman. Narasumber tersebut diharapkan dapat membagikan cerita mengenai perjalanan program Energiewende di Jerman. Program ini bertujuan untuk melakukan transisi energi dari energi yang berbasis bahan bakar fosil menjadi energi yang rendah karbon, ramah lingkungan, dapat diandalkan, dan persediaan energi

yang terjangkau.

Diskusi ini diharapkan dapat memberikan bayangan bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan Indonesia apabila Indonesia ingin beralih ke sistem energi yang rendah karbon. Hal ini penting mengingat Indonesia memiliki target untuk meningkatkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan hingga 23% dalam bauran energi pada tahun

2025.

Tulisan ini adalah catatan yang dapat dibagikan dari hasil pertemuan tersebut.

Dimulainya program energiewende di Jerman

Semenjak kejatuhan PLTN Fukushima di Jepang pada 2011, terdapat tren dari negara-negara Eropa yang menunjukkan pengurangan bahan bakar fosil dan peningkatan penggunaan energi baru dan terbarukan. Pada bulan Maret 2015, Perancis mengeluarkan undang-undang energi yang mengurangi penggunaan PLTN dari 80% pada saat ini menjadi tinggal 50% pada tahun 2030, dan sisa 50%-nya berasal dari energi baru dan terbarukan.

Begitu pula dengan Jerman, Kanselor Angela Merkel bertekad untuk melakukan transisi energi di Jerman dan melakukan penghentian PLTN secara bertahap hingga sepenuhnya dihilangkan pada 2022. Hal ini merupakan satu target dari empat target yang ada di dalam konsep energiewende yang dalam bahasa inggris memiliki arti sebagai energy transition. Energiewende diresmikan oleh pemerintah Jerman pada 2011, namun ide dari konsep energiewende itu sendiri sebenarnya berakar dari gerakan anti nuklir pada era 1970-an. Tiga target yang lain adalah:

(1) pengurangan emisi greenhouse gas dengan baseline tahun 1990: 40% pada 2020, 55% pada 2030, 70% pada 2040, 80-95% pada 2050;

(2) pengembangan energi terbarukan dan peningkatan peranannya dalam konsumsi listrik: 40-45% pada 2025, 55-60% pada 2035, lebih dari 80% pada 2050;

(2)

(3) peningkatan efisiensi sehingga ada pengurangan konsumsi listrik dengan baseline tahun 2008: 10% pada 2020, 25% pada 2050.

Sebagai konsekuensi dari konsep energiewende ini adalah Jerman harus memenuhi kebutuhan energi listrik dari energi baru dan terbarukan. Hal ini merupakan suatu momentum yang sangat penting mengingat Jerman hingga Maret 2011 memperoleh seperempat listriknya dari energi nuklir. Lalu bagaimana Jerman dapat menjalankan konsep energiewende ini?

Menurut Lars Waldmann dari Agora Energiewende1, "hal pertama yang harus dilakukan dalam melakukan transisi energi di suatu negara yaitu pertemuan dalam satu ruangan yang dihadiri oleh sekelompok orang dari perwakilan bisnis, lingkungan, pemerintah (bisa dari beberapa kementerian) untuk melakukan satu diskusi sehingga pada akhir pertemuan memiliki pengetahuan dan perspektif yang sama mengenai bagaimana jalan keluar untuk dapat membuat hal ini lebih memungkinkan terjadi". Tentulah hal ini tidak mudah untuk dilakukan karena tentunya banyak pihak yang masih menginginkan proyek-proyek pembangunan yang kaya CO2 untuk tetap bertahan. Bahkan, dalam pengalaman Jerman, butuh waktu 30 tahun untuk dapat melakukan capacity building, memperkenalkan teknologi,

meyakinkan industri untuk menggunakan mesin baru dan dapat berproduksi seperti biasa. Tapi proses yang panjang itu akan membuahkan hasil ketika ada komitmen di dalamnya yang didukung dengan peraturan atau kebijakan pemerintah.

Pelaksanaan program energiewende di Jerman

Sebagai komitmen dalam mengurangi emisi CO2, Jerman melakukan efisiensi energi sehingga para insinyur di Jerman berlomba-lomba merancang dan memasarkan teknologi yang dapat meningkatkan tingkat efisiensi energi. Konsep efisiensi energi ini sebenarnya berangkat dari adanya pengenaan pajak pada konsumsi energi yang diperkenalkan pada 1986 yang dikenal dengan green fee. Pajak ini dikenakan dari pembangkit listrik, bahan bakar dan listrik yang dikonsumsi oleh masyarakat; yang kemudian hasil pajak ini dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan yang mendorong energi baru dan terbarukan.

Dapat dikatakan bahwa dalam 25 tahun terakhir, perkembangan industri energi baru dan terbarukan di Jerman berkembang sangat pesat, dimana tingkat efisiensi dari windmill meningkat 6-7 kali dan learning

curve ratio2 dari solar panel adalah 20% sehingga biaya produksi solar panel dapat turun jauh ketika

jumlah produksi meningkat. Oleh karena itu ketika terjadi banyak permintaan atas solar panel di seluruh dunia yang kemudian jumlah produksinya ditingkatkan dua kali, justru biaya produksinya turun 20-22%. Sebagai konsekuensi dari adanya penurunan biaya produksi dari solar panel, maka pada saat ini harga listrik dari solar panel di Jerman bisa turun hingga 8-9 cent euro/kwh. Dalam beberapa tahun ke depan,

1

Sebuah lembaga think-tank di Jerman yang fokus pada perumusan kebijakan energi menggunakan pendekatan secara scientific dan politik.

2 Learning curve ratio adalah persentase penurunan biaya produksi ketika jumlah produksi bertambah. Sebagai contoh, ketika produksi microchip di industri komputer meningkat dua kali, biaya produksinya justru menurun. Dalam contoh ini, dapat dikatakan bahwa micro chip memiliki learning curve ratio sebesar 20%.

(3)

diperkirakan, harga listrik dari solar panel akan terus turun hingga tinggal 2 euro cent/kwh yang pada akhirnya teknologi ini akan menjadi teknologi yang menghasilkan listrik paling murah di seluruh dunia. Perkembangan teknologi solar panel ini pun diikuti oleh perkembangan teknologi windmill. Saat ini, harga listrik dari windmill (di daratan) yaitu 6-9 cent euro/kwh. Dengan begitu, windmill (di daratan) dan

solar panel saat ini sudah sangat cost competitive jika dibandingkan dengan hard coal, gas, hard coal CCS. 3

Sebagai kesimpulan, masalah teknologi sumber pembangkit listrik dapat diatasi dengan teknologi pembangkit listrik solar panel mengingat biaya produksinya sangat kecil dan matahari ada dimana-mana.

Di samping itu, inti dari sistem listrik yang harus diperhatikan adalah jaringan dan juga storage. Jaringan menjadi penting karena mengingat tempat produksi listrik tidak selalu sama dengan tempat

konsumsinya. Dalam hal ini, Jerman memiliki jaringan listrik dengan voltase tingkat tinggi, voltase tingkat medium untuk distribusi listrik di area yang besar, dan voltase tingkat kecil untuk distribusi listrik ke rumah masyarakat. Storage juga memegang peranan penting untuk memenuhi kebutuhan listrik di daerah terpencil mengingat matahari hanya tersedia di siang hari dan pada malam hari kebutuhan listrik bisa mengambil dari storage. Namun, hal ini bukan permasalahan besar lagi karena Jerman sudah

integrated dengan european interconnected electricity grid dan Jerman bisa dengan mudah

mengenalkan semua jenis pembangkit listrik ke dalam jaringan. Oleh karena itu, Jerman dapat menyambungkan listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik baik dari solar panel maupun dari

windmill ke dalam european interconnected electricity grid; dan kemudian secara otomatis dapat

memenuhi kebutuhan listrik setiap saat, baik ketika matahari sedang tidak terlalu terik ataupun ketika kecepatan angin sedang tidak terlalu kencang.

Hal menarik yang dapat diambil pelajaran dari industri listrik di Jerman adalah pemerintah membuat situasi yang kondusif dimana investor dapat dengan mudah masuk ke dalam pasar dan konsumen dapat bebas memilih jenis sumber listrik yang akan digunakan, dalam artian supplier listrik dengan mudah dapat menyambungkan listrik yang dihasilkannya ke dalam jaringan listrik dan juga konsumen dengan mudah dapat memilih jenis listrik yang akan digunakannya.

Sistem feed-in tariff dalam industri listrik

Pemerintah Jerman memperkenalkan sistem feed-in tariff untuk mendukung pengembangan energi baru dan terbarukan, khususnya industri solar panel dan windmill. Sistem ini menawarkan pendapatan jangka panjang untuk investor, bisa individu atau perusahaan, yang memasang solar panel dan windmill yang menyambungkannya ke dalam jaringan listrik. Jadi selama masih tersambung ke dalam jaringan listrik dan masih menghasilkan listrik, maka investor akan mendapatkan uang untuk setiap kwh yang dihasilkannya. Perbedaannya dengan skema insentif pajak adalah investor akan mendapatkan uang di

3

(4)

depan dalam satu waktu dan tidak ada insentif lain untuk operasional selanjutnya. Selain sistem tarif ini, investor di Jerman pun memiliki jaminan dari pemerintah bahwa uang yang telah diinvestasi oleh mereka akan kembali dalam payback period. Saat ini solar panel yang sudah tersambung ke dalam jaringan mencapai 2,5 GW per tahun dan windmill yang sudah tersambung ke dalam jaringan mencapai 3,5 GW per tahun.

Di Indonesia, sistem feed-in tariff tidak untuk solar panel dan windmill karena masih banyak orang Indonesia yang berpikir bahwa kedua teknologi tersebut merupakan teknologi mahal; padahal teknologi tersebut tidak sepenuhnya mahal pada saat ini sebagai akibat dari peningkatan industri solar panel. Meskipun begitu, biaya instalasi di Indonesia menjadi relatif tinggi dibanding di Jerman dikarenakan tingginya biaya kapital di Indonesia sebagai akibat dari tingginya tingkat bunga yang dikenakan pada penyewaan lahan.

(5)

Program percepatan listrik di Indonesia

Indonesia saat ini memiliki program percepatan listrik 35 GB dalam lima tahun, teknologi yang manakah yang dapat ditingkatkan penggunaannya dengan cepat?

Jawaban menarik dapat dilihat dari pemerintah India yang memilih teknologi solar panel yang dapat diinstal dalam waktu yang singkat dan kemudian disambungkan ke dalam jaringan listrik. Pilihan teknologi ini dapat menambah kapasitas 8-10 GW per tahun di Indonesia. Contoh menarik lain adalah Jerman baru saja menginstal solar panel dengan kapasitas 8 GW dalam waktu 6 bulan.

Menurut perhitungan dari Agora, Indonesia yang memiliki luas lahan lima kali dari luas lahan Jerman membutuhkan lahan dengan luas maksimum 15.000 m2 untuk instalasi solar panel yang lengkap sehingga dapat menghasilkan listrik sebesar 40.000 MW (atau sekitar 7-8m2/KW). Namun dengan tingkat efisiensi yang sudah sangat tinggi dari solar panel saat ini, maka hanya dibutuhkan sekitar

11.000-12.000 m2 untuk menghasilkan jumlah listrik yang sama. Sebagai bandingan, diperlukan 300 km2 (hampir 2% dari luas gurun sahara) untuk dapat menyediakan listrik untuk seluruh dunia dengan

teknologi solar panel.

Di samping solar panel, windmill pun memungkinkan untuk diinstal dan dimasukkan ke dalam jaringan listrik dalam waktu yang singkat dibandingkan dengan pembangkit listrik skala besar mengingat ada banyak isu terkait dengan pembangkit listrik skala besar, seperti, isu tanah, isu teknologi, isu lingkungan, isu keamanan, isu jumlah investasi yang sangat besar, isu lamanya waktu yang diperlukan (butuh waktu 5 tahun untuk desain pembangkit listrik dengan kapasitas 5 atau 10 GW). Dan ratusan windmill dapat dilakukan dengan cepat. Secara teknis, potensial angin di dataran rendah di Indonesia adalah 2-5 meter per second wind speed (dimana kecepatan ini lebih stabil dibanding di Jerman). Apabila generator yang sangat kecil di daerah dengan kecepatan angin seperti itu, maka windmill akan terus bergerak dan menghasilkan listrik secara konstan. Dengan cara lain, generator tersebut dapat diinstal di rooftop (atap) gedung yang membutuhkan listrik); dan itu hanya membutuhkan biaya instalasi 8-9 USD.

Mengenai industri dan pasar listrik di Indonesia, hanya ada satu supplier listrik di Indonesia. Secara konstitusi, hanya satu perusahaan yang bisa menyediakan listrik di Indonesia, yaitu PLN; namun masyarakat tidak dibatasi dalam konstitusi untuk memilih listrik harus dari PLN. Jadi ketika ada pilihan

solar panel yang diinstal di atap bangunan yang dilakukan secara masif di Jawa Bali, maka PLN mungkin

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian stilistika ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan bentuk bahasa figuratif yang dominan dalam antologi puisi Melipat Jarak karya Sapardi Djoko Damono,

contingent asset (aset kontijensi) adalah aset yang mungkin timbul dari waktu lampau dan akan terjadi atau tidak akan terjadi tergantung pada kejadian yang akan terjadi pada masa

Dengan demikian pada level tiga tersebut akan diperoleh sejumlah angka indeks konsistensi yang banyaknya sama dengan unsur-unsur dalam level dua. Langkah selanjutnya adalah

Perairan Muara Badak memiliki 24 jenis plankton, dari hasil analisis indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi menunjukkan bahwa perairan ini

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Dengan analisis dengan menggunakan metode AASHTO (1993) didapat bahwa dengan kondisi lapisan eksisting dengan daya dukung lapis pondasi beserta tanah dasar yang ada sudah tidak

Kandungan protein pada pakan komersil (kontrol) belum cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi benih ikan nilem, sehingga menghasilkan nilai konversi pakan yang

Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Cipta Karya melalui Bidang Permukiman berupaya untuk selalu mereview dan memperbaharui status dari Database infrastruktur,