• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA KORELASI ANGKA INTENSITAS BIRAHI (AIB) PADA SAPI POTONG TERHADAP TINGKAT KBERHASILAN INSEMINASI BUATAN (IB) DI KABUPATEN KULON PROGO - DIY - UMBY repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "ANALISA KORELASI ANGKA INTENSITAS BIRAHI (AIB) PADA SAPI POTONG TERHADAP TINGKAT KBERHASILAN INSEMINASI BUATAN (IB) DI KABUPATEN KULON PROGO - DIY - UMBY repository"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

5 Sapi Potong

Sapi potong merupakan jenis sapi yang diarahkan untuk memproduksi daging, oleh karena itu penggemukan yang dilakukan bertujuan untuk mencapai bobot badan secara maksimal (Darmono, 1993). Produk utama peternakan sapi potong adalah daging. Tinggi rendahnya produksi penggemukan tersebut dipengaruhi oleh faktor genetis ternak itu sendiri dan faktor lingkungan. Sapi tipe pedaging memiliki ciri-ciri antara lain tubuh dalam, besar dan berbentuk persegi empat atau balok, kualitas dagingnya maksimum dan mudah untuk dipasarkan, laju pertumbuhannya cepat dan cepat mencapai dewasa serta efisiensi pakannya tinggi.

(2)

penggemukan sapi yang di tempatkan dalam kandang sepanjang waktu dengan pemberian pakan konsentrat sebagai porsi utama ransum yang diberikan.

Bangsa-bangsa Sapi Potong 1. Bangsa Sapi Tropis

Menurut Sugeng, Y. B (1992), Bangsa sapi yang termasuk sapi tropis adalah zebu (Bos indicus), yang pada saat ini telah menyebar hampir ke seluruh daerah tropis di seluruh dunia terutama di benua Asia dan Afrika. Penyebaran zebu (sapi berponok) di daerah tropis, khususnya di Asia jauh lebih banyak dibandingkan dengan sapi-sapi yang berasal dari Eropa walaupun secara umum sumbangan zebu sebagai hewan ternak konsumsi dirasa masih rendah. Karena secara genetis,produksi dagingnya rendah bila dibandingkan sapi-sapi Eropa.

Beberapa bangsa sapi tropis yang sudah cukup populer banyak terdapat di Indonesia sampai saat ini ialah sapi bali, sapi madura, sapi ongole, dan sapi peranakan ongole.

Sapi Bali

Sapi bali merupakan keturunan dari sapi liar yang disebut banteng (Bos bibos atau Bos sondaicus) yang telah mengalami proses penjinakan (domestikasi)

(3)

Sapi bali ini termasuk tipe pedaging dan kerja. Ciri-ciri yang dimilikinya, bentuk tubuh menyerupai banteng, tetapi ukuran tubuhnya lebih kecil akibat proses domestikasi. Dadanya dalam, badannya padat. Warna bulu pada masih pedet sawo matang atau merah bata. Akan tetapi, setelah dewasa, warna bulu pada betinanya bertahan merah bata, sedangkan jantan kehitam-hitaman. Dan pada tempat-tempat tertentu baik jantan maupun betina, di bagian keempat kakinya dari sendi kaki sampai kuku dan di bagian pantatnya berwarna putih. Kepalanya agak pendek, dahi datar. Tanduk pada jantan tumbuh agak ke bagian luar kepala, sedangkan betina agak ke bagian dalam. Kakinya pendek sehingga menyerupai kaki kerbau. Tinggi sapi dewasa 130 cm. Berat rata-rata sapi jantan 450 kg, sedangkan betina 300-400 kh. Hasil karkas 57 persen (Sugeng, Y. B, 1992). Sapi Madura

Sapi madura merupakan hasil persilangan antara Bos sondaicus dan Bos indicus. Daerah atau lokasi penyebarannya yang utama adalah pulau Madura dan Jawa Timur. Di Madura sapi tersebut diternakkan secara murni.

Sapi ini termasuk tipe pedaging dan kerja. Ciri-ciri yang dimiliki sapi madura sebagai salah satu kelompok bangsa sapi tropis pada dasarnya seperti sapi bali. Namun, sapi ini memiliki ciri khas yang menonjol sehingga dengan mudah bisa dibedakan dengan sapi lainnya, khusunya sapi bali.

(4)

dan ke atas. Tanduk pada betina kecil dan pendek. Panjangnya kurang lebih 10 cm, jantan 15-20 cm. Panjang badan mirip sapi bali, tetapi berponok kecil. Berat badan 350 kg. Tinggi badan kira-kira 118 cm. Hasil karkas 48 persen (Sugeng, Y. B, 1992).

Sapi Ongole

Sapi ongole adalah salah satu varietas sapi zebu atau sapi berpunuk, sapi ongole merupakan sapi yang berasal dari India tetapi banyak ditemukan di Indonesia. Sapi ongole umunya berwarna putih dan keabu-abuan, sapi ongole memiliki ciri punuk yang besar dan badan yang agak bergelambir dengan bobot badan sekitar 450 kg, kualitas daging ongole sebenarnya tidak terlalu baik dibandingkan jenis sapi lain tetapi harga daging sapi ongole terbilang relatif murah membuat sapi ini laku dipasaran masyarakay Indonesia. Sapi ongole banyak dikawinkan dengan sapi jawa sehingga ada istilah sapi PO (peranakan ongole) yang mirip dengan ongole walaupun agak sedikit kecil (Anonimus, 2016). Sapi PO (Peranakan Ongole)

Sapi ini adalah salah satu jenis sapi lokal asli Indonesia atau biasa disebut sapi jawa/sapi putih. Sapi ini hasil persilangan antara sapi ongole dari India dengan sapi jawa. Selain sebagai sapi pedaging juga dijadikan sapi pekerja biasanya dipakai untuk membajak sawah.

(5)

2. Bangsa Sapi Sub Tropis

Menurut Sugeng, Y. B (1992), apabila kita bandingkan dengan sapi tropis, maka kedua kelompok tersebut masing-masing memiliki ciri-ciri yang sangat berbeda akibat pengaruh genetis. Bangsa sapi subtropis memiliki ponok. Ujung telinga berbentuk tumpul atau bulat. Kepala pendek, dahi lebar. Kulit tebal yang rata-ratanya 7-8 mm.timbunan lemak pada sapi dewasa cukup tebal. Garis punggung lurus dan rata. Tulang pinggang lebar dan menonjol keluar. Rongga dada berkembang baik. Bulu panjang dan kasar. Kaki pendek sehingga gerakannya lamban. Sapi ini cepat menjadi dewasa karena umur 4 tahun bida dicapai pertumbuhan maksimal. Sapi ini tidak tahan terhadap suhu tinggi, relatif lebih banyak minum, dan kotorannya basah. Sapi yang sudah dewasa tumbuh besar, sapi jantan bisa mencapai 900 kg.

Beberapa contoh sapi subtropis yang juga banyak diternakkan di Indonesia misalnya shorthorn, charolais, simental dan limousin.

Sapi Shorthorn

(6)

Sapi Charolais

Sapi ini berasal dari Perancis. Tipenya adalah tipe potong. Ciri-ciri yang dimiliki sapi ini adalah warnanya krem muda atau keputihan. Tubuhnya besar dan padat, tetapi kasar. Berat badan sapi betina sekitar 750 kg dan jantan 1.000 kg (Sugeng, Y. B, 1992).

Sapi Simmental

Sapi ini berasal dari Swiss, sapi ini pertama muncul karena persilangan dari sapi jerman yang berperawakan besar dan sapi swiss yang memiliki bobot kecil. Di Indonesia popularitas sapi ini juga tidak kalah dengan sapi lainnya. Sapi betina memiliki rata-rata bobot badan sekitar 900 kg sedangkan sapi jantan memiliki rata-rata bobot badan sekitar 1300 kg (Anonimus, 2016).

Sapi Limousin

Sapi limousin ini berasal dari Perancis, tipenya adalah sapi potong. Sapi ini tinggal didaerah yang sangat dingin dan jarang ditumbuhi rerumputan, namun sapi limousin ini dapat tumbuh dengan baik. Berat rata-rata sapi limousin betina sekitar 650 kg sedangkan berat rata-rata sapi limousin jantan sekitar 1000 kg (Anonimus, 2016).

Inseminasi Buatan (IB)

(7)

kelamin jantan (spermatozoa) per hari, sedangkan untuk membuahi satu sel telur (oosit) pada hewan betina diperlukan hanya satu spermatozoa. Potensi seekor pejantan sebagai sumber informasi genetik, terutama yang unggul, dapat dimanfaatkan secara efisien untuk membuahi banyak betina.

Keberhasilan IB pada ternak ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu kualitas semen beku (straw), keadaan sapi betina sebagai akseptor IB, ketepatan IB, dan keterampilan tenaga pelaksana (inseminator). Faktor ini berhubungan satu dengan yang lain dan bila salah satu nilainya rendah akan menyebabkan hasil IB juga rendah (Toelihere, 1997).

Menurut Ihsan (1992), saat yang baik melakukan IB adalah saat sapi betina menunjukkan tanda-tanda birahi, petani ternak pada umumnya harus mengetahui tingkah laku ternak yang sedang birahi yang dikenal dengan istilah : 4A, 2B, 1C. 4A yang dumaksud adalah abang, abuh, anget, dan arep artinya alat kelamin yang berwarna merah membengkak kalau diraba terasa anget dan mau dinaiki, 2B yang dimaksud adalah bengak-bengok dan berlendir artinya sapi betina sering mengeluh dan pada alat kelaminnya terlihat adanya lendir transparan atau jernih, IC yang dimaksud adalah cingkrak-cingkrik artinya sapi betina yang birahi akan menaiki atau diam jika dinaiki sapi lain.

Menurut Ihsan (1992), keuntungan IB sangat dikenal dan jauh melampaui kerugian-kerugiannya jika tidak demikian tentu perkembangan IB sudah lama terhenti dan keuntungan yang diperoleh dari IB yaitu :

(8)

2. Terutama bagi peternak-peternak kecil seperti umumnya ditemukan di Indonesia program IB sangat menghemat biaya disamping dapat menghindari bahaya dan juga menghemat tenaga pemeliharaan pejantan yang belum tentu merupakan pejantan terbaik untuk diternakkan.

3. Pejantan-pejantan yang dipakai dalam IB telah diseleksi secara teliti dan ilmiah dari hasil perkawinan betina-betina unggul dengan pejantan unggul pula.

4. Dapat mencegah penyakit menular.

5. Calving Interval dapat diperpendek dan terjadi penurunan jumlah betina yang kawin berulang.

Menurut Ihsan (1992), selain manfaat dari IB ini sangat banyak terutama dalam meningkatkan mutu hasil ternak, akan tetapi juga diperhatikan kerugian-kerugian yang diakibatkan oleh teknik IB ini. Kerugian-kerugian-kerugiannya adalah : 1. Pelaksanaan yang terlatih baik dan terampil diperlukan dalam mengawasi

atau melaksanakan penampungan, penilaian, pengenceran, pembekuan dan pengangkutan semen dan inseminasi pada ternak betina untuk mencegah penyebaran penyakit-penyakit kelamin menular yang dapat menjangkiti kelompok-kelompok ternak.

(9)

3. Apabila persediaan pejantan unggul sangat terbatas, peternak tidak dapat memilih pejantan yang dikehendaki untuk mengikuti program peternakan yang diinginkannya. Dengan penggunaan seekor pejantan secara

terus-menerus, kemungkinan besar akan terjadi “inbreeding” yang merugikan.

4. IB masih diragukan manfaatnya dalam mengatasi semua infeksi atau abnormalitas saluran kelamin betina, kalaupun ada, jarang terjadi.

5. Inseminasi intrauterine pada sapi yang bunting dapat menyebabkan abortus. 6. IB tidak dapat digunakan dengan baik pada semua jenis hewan. Pada

beberapa spesies masih harus dilakukan penelitian sebelum IB dapat dipakai secara praktis.

Dalam praktek prosedur IB tidak hanya meliputi deposisi atau penyampaian semen ke dalam saluran kelamin betina, tetapi juga tak lain mencakup seleksi dan pemeliharaan pejantan, penampungan, penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengankutan semen, inseminasi, pencatatan dan juga penentuan hasil inseminasi pada hewan betina, bimbingan dan penyuluhan pada peternak (Ihsan, 1992).

Penilaian Hasil Inseminasi Buatan

(10)

angka konsepsi atau conception rate (CR) dan nilai inseminasi per konsepsi atau service per conception (S/C).

Angka Konsepsi Conception Rate (CR)

Conception Rate (CR) adalah persentase sapi betina yang bunting pada

inseminasi pertama. Angka konsepsi ini ditentukan dengan pemeriksaan kebuntingan. Angka ini dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kesuburan betina, kesuburan pejantan dan teknik IB (Feradis, 2010).

Rumus Conception Rate (CR) :

Menurut Ismaya (2010), nilai CR biasanya dihitung pada IB pertama, IB kedua, dan IB ketiga. Pada sapi nilai CR yang diharapkan 55 sampai 70 %. Semakin tinggi nilai CR semakin baik, sehingga efisiensi reproduksinya semakin baik pula. Kesulitan menghitung nilai CR di lapangan disebabkkan karena kurangnya tenaga pemeriksaan kebuntingan (PKB) sehingga induk ternak yang telah di-IB belum tentu dilakukan PKB setelah dua bulan sejak perkawinannya. Seharusnya setiap 5-6 inseminator didampingi oleh seorang ahli PKB. Bila perlu seorang inseminator sekaligus ahli PKB, sehingga data CR di lapangan lebih valid.

(11)

Service Per Conception (S/C)

Jumlah inseminasi per kebuntingan atau service per conception (S/C) adalah untuk membandingkan efisiensi relatif dari proses reproduksi diantara individu-individu sapi betina yang subur, sering dipakai penilaian atau perhitungan jumlah pelayanan inseminasi (service) yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan atau konsepsi. Nilai ini barulah berarti apabila dipergunakan semen dari pejantan yang berbeda-beda dan apabila betina-betina yang steril turut diperhitungkan dalam membandingkan kesuburan populasi ternak (Feradis, 2010).

Rumus S/C :

Menurut Dwiyanto (2007), nilai S/C yang ideal berkisar antara 1,6 dan 2,0. Makin rendah nilai S/C makin subur sapi tersebut, sebaliknya nilai S/C yang tinggi menunjukkan rendahnya tingkat kesuburan sapi tersebut. Direktorat Jenderal Peternakan (2010), memberikan pedoman dalam mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan (IB) dengan memberikan nilai standart CR 62,5% dan service per conception (S/C) 1,6,

Waktu Untuk Inseminasi

(12)

terlihatnya gejala birahi pertama. Periode birahi sapi potong biasanya terjadi lebih pendek daripada sapi perah. Gejala birahi sapi potong umumnya susah diamati.

Waktu paling baik untuk melakukan IB pada sapi dimulai pertengahan estrus sampai dengan ± 6 jam setelah estrus berakhir. Saat ovulasi sapi rata-rata terjadi 12 jam setelah birahinya berakhir. Keadaan birahi ini dapat ditentukan dengan cara palpasi rektal.

Angka kebuntingan (CR) yang tinggi bisa dicapai bila inseminasi dilakukan pada pertengahan sampai akhir masa birahi. Bila inseminasi dilakukan 6 jam setelah akhir atau dari awal masa birahi akan menghasilkan nilai CR yang rendah. Nilai CR yang tinggi dapat diperoleh dengan memberikan inseminasi ulangan dalam satu masa birahi dengan interval 10-24 jam. Tetapi cara ini kurang ekonomis bila ditinjau dari sudut komersil, karena membutuhkan dana dan tenaga yang lebih besar.

Walaupun spermatozoa mampu hidup 2-4 hari, tetapi biasanya akan kehilangan daya hidup membuahi sel telur antara 12-24 jam setelah ia tiba di tuba falopii. Hardijanto dkk. (2010) melaporkan bahwa IB pada awal, pertengahan dan akhir masa birahi sapi memberikan nilai CR 44 persen, 82 persen, 75 persen. Sedang IB yang dilakukan pada :

Tabel 1. Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan

Waktu IB Persentase Keberhasilan

6 jam sesudah akhir birahi 62,5 %

12 jam sesudah akhir birahi 32,0 %

18 jam sesudah akhir birahi 28,0 %

24 jam sesudah akhir birahi 12,0 %

36 jam sesudah akhir birahi 8,0 %

48 jam sesudah akhir birahi 0,0 %

(13)

Birahi

Siklus birahi pada setiap hewan berbeda antara satu sama lain tergantung dari bangsa, umur, dan jenis. Siklus birahi pada sapi berkisar 18-22 hari (Partodiharjo, 1992). Interval antara timbulnya satu periode birahi ke periode berikutnya disebut sebagai satu siklus birahi. Siklus birahi pada dasarnya dibagi 4 fase atau periode yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Hafez, 2000; Marawali, 2001; Sonjaya, 2005). Berdasarkan perubahan-perubahan dalam ovaria siklus estrus dapat dibedakan menjadi 2 fase, yaitu fase folikel, meliputi proestrus, estrus serta awal metestrus, dan fase luteal, meliputi akhir metestrus dan diestrus.

Fase 1. Proestrus (Prestanding Events). Fase ini hanya berlangsung 1-2 hari. Betina berperilaku seksual seperti jantan., berusaha menaiki teman-temannya, menjadi gelisah, agresif dan mungkin akan menanduk, melenguh, mulai mengeluarkan lendir bening dari vulva, serta vulva mulai membengkak (Bindon ; Piper, 2008).

Fase 2. Estrus (Standing Heat). Pada fase ini hewan betina diam bila dinaiki oleh temannya. Tetapi juga perlu diperhatikan hal lain seperti seringkali gelisah, mencoba untuk menaiki teman-temannya. Sapi betina menjadi lebih jinak dari biasanya. Vulva bengkak, keluar lendir jernih dari vulva, mukosa terlihat lebih merah dan hangat apabila diraba (Bindon ; Piper, 2008).

(14)

vulva induk (untuk cek silang saat mengawinkan inseminasi harus sudah dilakukan 12-24 jam sebelum keluarnya darah). Keadaan ini disebut pendarahan metestrus ditandai dengan keluarnya darah segar bercampur lendir dari vulva dalam jumlah sedikit beberapa hari setelah birahi. Pendarahan ini biasanya akan berhenti sendiri setelah beberapa saat. Yang perlu diingat adalah bahwa tidak semua siklus birahi pada sapi berakhir dengan keluarnya darah. Keluarnya darah tidak selalu berarti ovulasi telah terjadi dan tidak selalu menunjukkan bahwa bila diinseminasi ternak akan bunting atau tidak. Keluarnya darah hanya akan menunjukkan bahwa ternak telah melewati siklus birahi (Bindon ; Piper, 2008).

Fase 4. Diestrus. Berlangsung selama 12-18 hari setelah periode metestrus sampai periode proestrus berikutnya dan alat reproduksi praktis “tidak aktif”

selama periode ini karena dibawah pengaruh progesteron dari korpus luteum. Dengan tidak adanya kehamilan pada fase diestrus berakhir dengan regresi korpus luteum (Bindon ; Piper, 2008).

(15)

dari biasanya, bibir vulva nampak agak bengkak dan hangat, sapi nampak gelisah, ekornya seringkali diangkat bila sapi ada di padang rumput sapi yang sedang birahi tidak suka merumput, kunci untuk menuman yang mana diantara sapi-sapi yang saling menaiki. Birahi adalah sapi betina yang tetap tinggal diam saja apabila dinaiki dan apabila didalam kandang nafsu makannya jelas berkurang (Anonimus, 2011).

Penyebab Terjadinya Tanda-Tanda Birahi

Terjadinya tanda-tanda birahi abang, aboh, anget disebabkan karena hormon. Ismudiyono dkk. (2010) menyatakan bahwa pada masa periode proestrus atau yang disebut juga periode persiapan akan ditandai dengan pemacuan pertumbuhan folikel oleh FSH. Folikel yang sedang tumbuh menghasilkan cairan folikel yang mengandung hormon estrogen yang lebih banyak. Hormon estrogen inilah yang akan mempengaruhi suplai darah ke saluran alat kelamin dan meningkatkan pertumbuhannya. Vulva agak membengkak dan vestibulum menjadi berwarna kemerahan karena adanya kongesti pembuluh darah. Bagian vagina dan serviks membesar karena pembengkakan sel-sel mukosa dan dimulailah sekresi lendir dari saluran serviks. Proestrus pada sapi berlangsung selama 1-2 hari. Pada periode ini biasanya sapi akan menolak bila dinaiki pejantan maupun sesama betinanya, tetapi akan berusaha menaiki betina yang lainnya (Jumping heat).

(16)

tenang, nafsu makan dan memamah biak menurun vulva makin membengkak dan mukosa vulva berwarna merah tua, terlihat jelas pengeluaran lendir yang terang tembus. Selama periode ini folikel terus berkembang dengan cepat. Gejala fisik yang jelas tampak dari luar dan sudah diketahui oleh peternak adalah 3A (abang, abuh dan anget). Pada pemeriksaan vaginal, mukosa vagina merah dan oedematous. Lendir birahi yang cukup banyak 50 - 100 ml yang terdapat di dalam

vagina berasal dari sel-sel selaput lendir serviks di bawah pengaruh estrogen.

Lama Birahi

Estrus didefinisikan sebagai periode waktu ketika betina resesif terhadap jantan dan akan membiarkan untuk dikawini. Fase estrus ditandai dengan sapi yang berusaha dinaiki oleh sapi pejantan, keluarnya cairan bening dari vulva dan peningkatan sirkulasi sehingga tampak merah. Lama estrus pada sapi sekitar 12-24 jam (Achyadi, 2009).

(17)

Tabel 2. Siklus Estrus Pada Sapi

Karakteristik Keterangan

Pubertas* 12 (8 – 18 bulan)

Proestrus* 3 – 4 hari

Metestrus* 2 hari

Diestrus* 15 hari sampai musim kawin

Anestrus** 16 (6 – 20 jam)

Panjang siklus estrus** 12 (2 – 26 jam)

Saat ovulasi** 35 (16 – 90 hari)

Birahi setelah melahirkan**

Sumber : McDonald, 1969 ; widiyono, 2008

Lamanya birahi bervariasi pada tiap-tiap hewan dan antara individu dalam satu spesies. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh variasi-variasi pada saat estrus, terutama pada sapi dengan periode birahinya yang terpendek diantara semua hewan mamalia. Berhentinya estrus sesudah perkawinan merupakan indikasi yang baik bahwa kebuntingan telah terjadi (Achyadi, 2009).

Tabel 3. Lama Periode Siklus Birahi pada Ternak

Ternak Progesteron Estrus Metestrus Diestrus (hari) (hari) (hari) (hari) Sapi 3 12 – 24 jam 3 – 5 13 Kuda 3 4 – 7 3 – 5 6 - 10 Babi 3 2 – 4 3 – 4 9 - 13 Domba 2 1 – 2 3 – 5 7 – 10 Sumber : Marawali, 2001

Angka Intensitas Birahi (AIB)

(18)

transparan yang menggantung dari vulva atau terlihat di pangkal ekor (Achyadi, 2009).

Tampilan birahi pada masing-masing individu ternak berbeda, demikian juga antar breed pada sapi. Jimenez dkk. (2011) melaporkan bahwa sapi dari Bos indicus cenderung menunjukan intensitas birahi yang rendah dan durasi birahi yang pendek dibandingkan dengan breed sapi lainnya. Galina dan Orihuela (2007) menyatakan deteksi birahi akan sulit dilakukan pada sapi dengan intensitas birahi yang rendah. Ketidaktepatan dalam melakukan deteksi birahi menyebabkan kegagalan pelaksanaan perkawinan pada ternak. Hal tersebut disebabkan oleh waktu pelepasan ovum (ovulasi) atau waktu yang subur untuk perkawinan sapi. Untuk meningkatkan keberhasilan implementasi teknologi reproduksi pada sapi, dibutuhkan suatu kajian tentang intensitas birahi.

Intensitas birahi dapat diamati dengan memberi nilai (skor) berdasarkan gejala klinis seperti vulva bengkak dan merah, adanya lendir, menaiki, dan diam dinaiki, gelisah, dan nafsu makan menurun. Informasi akurat tentang perubahan yang terjadi selama siklus birahi normal dapat dihubungkan dengan konsep dasar proses ovulasi, regresi korpus luteum, kebutuhan hormon untuk manifestasi birahi, kebuntingan, dan kelahiran (Guilbault dkk., 1991).

Intensitas merupakan tingkatan birahi yang meliputi waktu mulainya birahi dengan memperlihatkan gejala birahi sebagai bentuk respon. Adapun respon birahi yaitu gejala-gejala birahi yang muncul pada ternak : (1) vulva merah, (2) vulva bengkak, (3) berlendir, (4) menaiki temannya (Marawali dkk., 2001).

(19)

Skor 4 = keempat gejala berahi muncul

Skor 3 = tiga dari empat gejala berahi yang muncul Skor 2 = dua dari empat gejala berahi yang muncul Skor 1 = satu dari gejala berahi yang muncul

Partodihardjo (1992) menyatakan bahwa intensitas birahi dipengaruhi oleh hormon-hormon reproduksi, maka secara tidak langsung angka intensitas birahi (AIB) juga sangat dipengaruhi oleh status nutrisi ternak itu sendiri. Intensitas birahi atau tingkatan birahi dilihat dari gejala birahi yang ada. Selanjutnya menurut Suharto (2003) pemberian ransum dengan kualitas yang baik dapat meningkatkan kejelasan penampilan estrus (Ferning, kebengkakan labia vulva, suhu vagina, pH lendir serviks, warna mukosa vagina dan kelimpahan lendir).

HIPOTESIS

Gambar

Tabel 1. Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan
Tabel 2. Siklus Estrus Pada Sapi

Referensi

Dokumen terkait