• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buruh bergerak : Semaun dan Suryopranoto dalam perjuangan gerakan buruh 1900-1926 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Buruh bergerak : Semaun dan Suryopranoto dalam perjuangan gerakan buruh 1900-1926 - USD Repository"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh :

NIM : 054314004

Dominikus Bondan Pamungkas

NIRM

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

(5)
(6)

vi

Skripsi yang berjudul “Buruh Bergerak; Semaun dan Soeryopranoto dalam Perjuangan Gerakan Buruh 1900-1926” berangkat dari 3 permasalahan. Pertama, faktor-faktor yang membawa Semaun dan Suryopranoto berjuang dalam organisasi perburuhan. Kedua, peranan Semaun dan Suryopranoto dalam gerakan perburuhan di Indonesia pada saat itu. Ketiga, faktor-faktor yang menjadi sebab terhentinya pergerakan buruh di Indonesia pada tahun 1926.

Untuk mengkaji masalah-masalah tersebut, skripsi ini mempergunakan teori kelas Karl Marx, di mana dalam teori tersebut dibahas mengenai kemunculan kesadaran kelas. Dalam mempergunakan teori kelas Karl Marx, diseimbangakan pula dengan dua perspektif lain, yakni perspektif konflik antara kolonial dengan pribumi dan pandangan tentang Ratu Adil sebagai tokoh yang membebaskan dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Metode ini digunakan untuk melihat perspektif konflik antara kekuatan kolonial dengan masyarakat pribumi.

Penelitian ini memperoleh hasil bahwa pergerakan buruh yang dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto memang terinspirasi dari kondisi ketertindasan atas nasib kaum pekerja saat itu. Dalam pergerakan buruh, Semaun terinspirasi atas gagasan Marxis yang dipelajarinya dari Sneevliet, sedangkan Suryopranoto menyadari perlunya perbaikan kesejahteraan kaum pekerja. Perjuangan mereka pada perjalanannya berhasil memberikan posisi tawar kaum buruh terhadap majikan. Namun, sifat kepemimpinan yang cenderung tunggal serta kurangnya kaderisasi serta penangkapan tokoh-tokoh gerakan buruh oleh pemerintah kolonial menjadikan gerakan ini melemah dan akhirnya ditumpas pada tahun 1926.

(7)

vii

Thesis entitled “Buruh Bergerak; Semaun dan Soeryopranoto dalam Perjuangan Gerakan Buruh 1900-1926” was formulated from three problems. First, the factors that brought Semaun and Suryopranoto struggling in the labor organization. Second, the role of Semaun and Suryopranoto in the labor movement in Indonesia at that era. Third, the factors that caused labor movement in Indonesia being terminated in 1926.

For reviewing these issues, this study used Karl Marx's theory of class, which discussed about the emergence of class consciousness. In the economic practices, there is a conflict happened between classes caused by a welfare imbalance between the owners of capital and its workers. In using the class theory of Karl Marx, the other two perspectives were well balanced; the perspective of conflict between the natives and colonial government, and the view of Ratu Adil

The study resulted on that the labor movement performed by Semaun and Suryopranoto was inspired by the conditions of oppression over the labors at that era. In the labor movement, Semaun was inspired by the Marxism that he had learned at Sneevliet, while Suryopranoto realized the need to repair the welfare of the labors. Their struggles succeed to give the labors a better bargaining position against the employers. However, the nature of leadership which tended to be dependent on single figure, the lack of succession planning and the arrest of the labor movement’s figures by the colonial government made this movement to be weakened and finally terminated in 1926.

as a liberating figure and creating prosperity. This method was used in order to see the perspective of the conflict between colonial powers and natives communities.

(8)
(9)

viii

banyak membantu dan menginspirasi saya dalam menuliskan serta membedah permasalahan buruh. Hal ini tentunya berguna untuk pembelajaran bersama gerakan buruh di Indonesia.

Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada Dr. I. Praptomo Baryadi selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. Penghargaan sebesar-besarnya serta ucapan terima kasih saya sampaikan pada seluruh staf pengajar Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. Kepada Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum, dosen sekaligus kaprodi Ilmu Sejarah; Dr. Anton Haryono, M. Hum., dosen sekaligus pembimbing skipsi saya, Drs.Ign. Sandiwan Suharso dosen sekaligus pembimbing akademik saya, Drs. Silverio R. L. Aji Sampurno, M. Hum dan Dr. FX Baskara T. Wardaya, SJ., keduanya selaku dosen dan peneliti yang saya sukai, dan mendiang Prof. Dr. P. J. Suwarno , S. H. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas segala pendidikannya untuk mengajarkan saya.

(10)

ix

sumbangannya dalam pola pikir penulis. Terima kasih atas kesediaan Bernadette Steari Saraswati atas koreksi penulisan serta bantuan terjemahan bahasa Inggris kepada saya, serta segenap Kabinet Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sanata Dharma 2009-2010 yang mendukung saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

(11)

x

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………ii

HALAMAN PENGESAHAN………iii

HALAMAN PERSEMBAHAN……….iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….v

ABSTRAK……….vi

ABSTRACT………..vii

KATA PENGANTAR………...viii

DAFTAR ISI………...x

DAFTAR SINGKATAN……….xiii

BAB I PENDAHULUAN………..……. 1

A. Latar Belakang………. 1

B. Rumusan Masalah……… 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 8

D. Metode Penelitian……… 9

E. Landasan Teori……… 11

F. Tinjauan Pustaka………. 15

(12)

xi

B. Peralihan Fungsi Tanah...……… 22

C. Transisi Lahan Pribumi Menjadi Lahan Swasta……… 26

D. Hadirnya Modernisasi………. 30

E. Awal Pergerakan Kaum Terdidik……… 39

BAB III SEMAUN DALAM PERJUANGAN PERGERAKAN BURUH………...………….. 41

A. Latar Belakang Semaun……….. 41

B. Awal Karir Politik……...……… 42

C. Semaun dan Pergerakan Buruh………..……… 44

D. Semaun dan Sikap Politiknya………. 47

E. Semaun dan PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh)…….. 51

F. Semaun dan PKI………... 52

G .Runtuhnya Pergerakan Politik………. 56

BAB IV SURYOPRANOTO DALAM PERJUANGAN PERGERAKAN BURUH………...…. 62

A. Latar Belakang Suryopranoto...……….. 62

B. Awal Karir Pergerakan……...………. 63

(13)

xii

Pergerakan Kaum Buruh PPKB...………..……… 72

D. Pertentangan Suryopranoto dan Semaun……… 76

E. Melemahnya Gerakan Buruh...………... 79

BAB V KESIMPULAN………..81

(14)

xiii

DAFTAR SINGKATAN

BO : Bodi Utomo

CSI : Central Sarekat Islam

HIS : Hollandsch Inlandsche Scholen

ISDV : Indische Sociaal-Democratische Vereeniging IP : Indische Partij

PFB : Personeel Fabrieks Bond PKI : Partai Komunis Indonesia

PPKB : Persatuan Pergerakan Kaum Buruh

PPPB : Persatuan Pergerakan Pegadaian Bumiputera SDI : Sarekat Dagang Islam

SI : Sarekat Islam

(15)

1

Setelah cukup lama Indonesia dijajah oleh VOC dan kemudian oleh Pemerintah Belanda, pada tahun 1870 muncul sebuah era baru. Sebelum 1870, melalui Culture Stelsel, pemerintah Hindia Belanda secara monopolistik bertindak sebagai pelaku, namun sejak 1870 dimulai sistem baru yaitu ekonomi liberal yang memberi kesempatan seluas-luasnya bagi investasi swasta asing, khususnya swasta Belanda. Sebagai contoh, Bila sebelum 1870 usaha perkebunan dikuasai oleh pemerintah kolonial, kini modal swasta diperbolehkan melakukan pengelolaan. Sistem ekonomi liberal menghapuskan kerja paksa dan rodi, serta memperkenalkan sistem kerja upahan.1

Pada era ekonomi liberal, modal swasta asing antara lain melakukan usaha dalam bidang pertambangan, perkebunan, dan usaha-usaha lain. Namun, modal asing ini tidak serta-merta menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat pribumi. Para pemodal swasta oleh Soe Hok Gie disebut berada dalam free fight competition to exploit Indonesian.2

1

Takashi Shiraishi. Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. PT Pustaka Utama Grafiti: Jakarta. hlm 10.

2

Soe Hok Gie. 2005. Di Bawah Lentera Merah. Bentang: Yogyakarta. hlm 11.

(16)

dalam Undang-Undang Agraria (Agrarisch Wet) 1870 yang sangat bermanfaat untuk membantu terlaksananya sistem ekonomi liberal.3

Penyewaan tanah seringkali dilakukan oleh pejabat desa (lurah). Sawah yang sebelumnya adalah milik desa (tanah kas desa) dan dikelola oleh petani disewakan kepada pihak swasta. Pihak swasta juga memanfaatkan sistem tradisional yang ada, termasuk di dalamnya keterikatan antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Setelah tanah milik tuan tanah disewa oleh swasta para petani penggarap menjadi buruh dalam perusahaan tersebut. Namun, untuk para buruh tani (petani penggarap) sering sekali tidak diperhatikan kesejahteraannya untuk menekan biaya produksi perusahaan. Sewa-menyewa tanah memposisikan para lurah seolah sebagai raja-raja kecil.

4

Sejak 1870 jalur kereta api sebagai sarana pengangkutan bertumbuh pesat, terutama di daerah Semarang dan Vorstenlanden. Dalam kurun waktu lima tahun jumlah barang dagangan yang dapat diangkut dengan kereta api naik hingga 270 persen. Kondisi ini menyatakan betapa tingginya pembangunan jalur transportasi guna pengangkutan barang perusahaan. Sejak tahun 1870-an pula meningkat secara

3

Bambang Sulistiyo. 1995. Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah. PT Tiara Wacana Yogyakarta, hlm 12. Tanah pribumi tidak diperjualbelikan melainkan dapat di sewa. Akibat dari harga sewa yang sangat murah dan para pemilik tanah beserta masyarakat sekelilingnya kehilangan alat produksi, secara terpaksa menjadi buruh dari industri tersebut, dengan pendapatan yang kurang dari penghasilan mereka bila mengolah lahan sebelum disewakan.

4

(17)

drastis jumlah tanah di daerah vorstenlanden yang disewakan kepada pihak swasta.5

Pertumbuhan pesat lahan tebu menciptakan penderitaan baru bagi masyarakat pribumi, seiring dengan terjadinya perubahan fungsi lahan pangan menjadi lahan industri. Hal ini menyebabkan terjadinya krisis bahan pangan, sehingga berdampak pada naiknya harga. Kesengsaraan pribumi semakin bertambah karena pengusaha senantiasa memegang prinsip untuk menekan upah sekecil-kecilnya guna menghasilkan keuntungan sebesar-bersarnya, yang antara lain diwujudkan dalam upah buruh yang rendah.

Hal ini turut mendorong pergerakan buruh kereta api dan pabrik gula dari tahun 1917 hingga tahun 1926.

Kondisi perekonomian Indonesia paska 1870 mengalami pertumbuhan sangat cepat karena masuknya investasi swasta asing secara besar-besaran. Namun hal ini juga berdampak pada kaum pribumi.

6

Tahun 1870 merupakan permulaan dari kolonialisme modern di Indonesia. Bila sebelumnya kekuasaan dilakukan dengan dominasi teritorial melalui kekuatan Kondisi buruk atas kelangkaan serta naiknya harga bahan pangan dan upah buruh yang sedemikian rendah memicu rasa ketidaksenangan masyarakat pribumi terhadap pemilik modal.

5

Takashi Shiraishi. op. cit., hlm 11. Pada tahun 1870 tanah merupakan milik elit pribumi, dan ketika tanah tersebut disewakan pada swasta asing maka tidak hanya tanah namun juga para pekerja yang ada di dalamnya ikut tersewa.

6

(18)

bersenjata serta pendudukan fisik, maka sejak 1870 sistem yang berkembang adalah eksploitasi dan penguasaan ekonomi oleh pemodal-pemodal swasta besar asing. Selain sumber daya alam, eksploitasi pemodal Belanda juga dilakukan atas sumber daya manusia, yakni kaum pribumi Indonesia.

Kritik terhadap praktik ekonomi liberal pun muncul, dan akhirnya kemudian lahir gagasan-gagasan etis, yang salah satunya adalah pentingnya pemerintah kolonial memberikan pendidikan dan pengajaran secara luas kepada penduduk pribumi.7

Meskipun demikian, kesempatan menempuh jalur pendidikan yang hanya sebatas pada segelintir orang ternyata mampu melahirkan tokoh pergerakan nasional dikemudian harinya, termasuk penggerak kaum buruh. Semaun

Namun dalam praktiknya, hanya anak-anak dari keluarga kaum elite pribumi sajalah yang mampu mendapatkan pendidikan dan pengajaran itu. Lagi pula, program Politik Etis ini kemudian bergulir tidak pertama-tama dalam rangka menciptakan pendidikan yang layak (berkualitas) melainkan terutama menciptakan buruh modern lokal yang murah. Penyelenggaraan pendidikan berubah dari upaya mencerdaskan, menjadi kepentingan ekonomi perusahaan swasta asing untuk memenuhi standar penguasaan alat-alat produksi industri modern.

8

dan Suryopranoto9

7

Takashi Shiraishi . op. cit., hlm 35. 8

Dalam beberapa buku penulisan nama yang digunakan adalah Semaoen, namun dalam penulisan ini digunakan ejaan Semaun.

9

Dalam beberapa buku penulisan nama yang digunakan adalah Soerjopranoto, namun dalam penulisan ini digunakan ejaan Suryopranoto.

(19)

sempat belajar di negeri Belanda, sedangkan Suryopranoto lulus hingga sekolah tinggi Belanda untuk pribumi di Hindia Belanda. Keduanya merupakan produk dari Politik Etis, namun mereka mampu memanfaatkan pendidikan itu untuk mensiasati ketertindasan kaum pribumi, terutama buruh.

Meningkat pesatnya usaha-usaha swasta Barat di Indonesia pada tahun 1900-1915 berdampak pada bertambah besarnya jumlah buruh pribumi. Pada masa ini mulai berkembang organisasi-organisasi maupun serikat-serikat yang berpihak pada kaum buruh, diantaranya adalah Sarekat Islam di Semarang pada saat kepemimpinan Semaun dan Adhi Darmo yang kemudian berkembang menjadi Personeel Fabrieks Bond yang digagas oleh Suryopranoto.10

Semaun, setelah kongres SI Semarang pada tanggal 6 Mei 1917, saat berusia 19 tahun, resmi menjadi presiden Sarekat Islam Semarang. Pada era kepemimpinannya berfokus pada situasi sosial yang relevan bagi kaum pribumi, yaitu persoalan buruh. Besarnya jumlah buruh di Semarang memberikan ruang kegiatan bagi SI Semarang antara lain berupa advokasi dan upaya-upaya pensejahteraan, baik melalui bantuan, aksi politik, pendidikan buruh, hingga mogok kerja guna menuntut perbaikan kesejahteraan buruh. Semaun dalam pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Henk Sneevliet11

10

Budiawan. 2006. Anak Bangsawan Bertukar Jalan, LKiS: Yogyakarta. hlm 13.

11

Soe Hok Gie. op. cit., hlm 18-20.

(20)

Sneevliet membawanya tertarik dengan gagasan komunisme, yang dianggapnya sesuai dengan kondisi pribumi saat itu.12

Berbeda dengan Semaun, Suryopranoto merupakan anak bangswan Yogyakarta.

13

Ia berhasil menyelesaikan sekolah yang diperuntukkan bagi kaum pribumi hingga tingkat akhir di Jawa. Kedekatannya dengan buruh dimulai sejak ia menjadi kleine Ambtenaar, Assisten Wedono Sentono serta perjumpaan secara langsung dengan kondisi perburuhan yang tidak layak di Jawa. Ia berjuang dengan inisiatif pribadi dan pandangan ke-Jawa-an yang diajarkan ayahnya bahwa tugas para priyayi adalah membantu serta menolong sesama masyarakat yang tertindas. Hampir

serupa dengan Semaun, ia juga memiliki panutan dari dunia pewayangan, yakni Bimo dan Kokrosono. Suryopranoto memimpikan dirinya dapat mendobrak masyarakat pribumi menuju kehidupan yang lebih baik.14

Semaun maupun Suryopranoto berpandangan bahwa hak atas kaum buruh tidak terpenuhi, sehingga mereka mengeluarkan sebuah sikap serta tindakan melalui pergerakan. Semaun bergerak melalui organisasi SI cabang Semarang guna membangun kesadaran buruh untuk melakukan perlawanan bilamana hak mereka tidak terpenuhi. Suryopranoto pun demikian, ia melakukan pendidikan serta membentuk lembaga-lembaga bantuan bagi kaum buruh15

12

Soewarsono. 2000. Bebareng Bergerak. LKiS. Yogyakarta. hlm 5. 13

Budiawan. op. cit., Hlm 17. 14

Ibid., hlm 45. 15

Ibid., hlm 78-97.

(21)

Melalui penelitian ini, hendak dicoba dilakukan sebuah kajian perbandingan antara pemikiran Semaun dan Suryopranoto. Keduanya adalah tokoh gerakan buruh sejaman tetapi dengan ideologi yang berbeda, meskipun latarbelakang kondisi sosial dan ekonomi yang dihadapi sama, masing-masing memiliki metode dan pemikiran tentang gerakan buruh yang berbeda. Semaun yang berhaluan Marxis menyatakan sebuah pergerakan massa secara politis revolusioner (bahkan dengan kekerasan sekalipun), sedangkan Suryopranoto yang berangkat dari realitas dan pemikiran ke-Jawa-an memilih pendidikan dan aksi massa tanpa perlu dengan tujuan politis.16

Hipotesis awal dari penelitian ini adalah belum terbangunnya kesadaran masyarakat atas posisi dan alat produksinya

17

16

Ibid., hlm 102.

17

Franz Magnis Suseno. Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2001. hlm 113. Dalam hal ini buruh hidup dari upah, kaum pemiliki modal hidup dari laba (modal), dan tuan tanah hidup dari rente tanah. Alat produksi dalam pengertiannya adalah media yang mampu menciptakan sebuah produk yang berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang. Dalam konteks kolonial di Indonesia alat produksi yang di maksud merupakan sawah ataupun lahan (semula di miliki petani pribumi namun terpaksa di sewakan akibat tekanan-tekanan tertentu) serta mesin industri. Tidak dimiliki dan dirampasnya alat produksi masyarakat pribumi pada tahun 1900-an menyebabakan terjadinya ketergantungan ekonomi yakni buruh dengan pemilik alat industri ataupun pemilik modal.

(22)

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang yang telah dipaparkan beberapa permasalahan yang akan di bahas antara lain:

1. Mengapa Semaun dan Suryopranoto berjuang dalam organisasi perburuhan? 2. Bagaimana Semaun dan Suryopranoto berperan dalam gerakan perburuhan di

Indonesia pada saat itu ?

3. Apa yang menjadi sebab terhentinya pergerakan buruh yang dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto di Indonesia pada 1926?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan akademis dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan dan menganalisis munculnya pergerakan perburuhan yang dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto.

2. Mendeskripsikan dan menganalisis metode yang dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto dalam pergerakan buruh.

3. Menganalisis faktor penyebab terhentinya pergerakan buruh yang dipimpin oleh Semaun dan Suryopranoto di Indonesia pada 1926.

(23)

Manfaat dari penulisan ini, yaitu:

1. Diketahuinya metodologi Semaun dan Suryopranoto dalam pergerakan buruh di Indonesia yang sesungguhnya berbeda dengan negara Eropa.

2. Tersedianya refrensi metodologis organisasi pergerakan buruh, serta menjadikanya sebuah referensi bagi pergerakan buruh bagi pergerakan buruh saat ini.

D. Metode Penelitian

Melakukan sebuah rekonstruksi sejarah bukan pekerjaan mudah karena peristiwa masa lalu tidak terekam secara utuh dan objektif. Dalam penulisan sejarah tidak dapat dipungkiri adanya faktor subjektif seorang penulis dalam melihat peristiwa melalui cara pandangnya secara pribadi. Cara pandang setiap orang berbeda-beda, dan dari perbedaan pandangan ini diharapkan muncul gagasan yang maksimal dalam membedah peristiwa tersebut.18

Dalam penulisan sejarah dikenal adanya langkah-langkah metodis, yang merupakan tahapan umum penyusunan historiografi. Secara berurutan sebagai berikut: pemilihan topik, pengumpulan sumber, kritik sumber, analisa, dan yang

18

(24)

terakhir adalah penulisan atau historiografi.19 Berdasarkan sistematisasi tersebut, penelitian ini menentukan topik perbandingan gagasan Semaun dan Suryopranoto tentang pergerakan buruh. Setelah topik ditentukan, langkah berikutnya adalah mengumpulkan sumber sejarah (heuristik), baik yang bersifat primer maupun sekunder. Sumber primer adalah sumber-sumber yang berasal dari pelaku langsung atau berupa dokumen (surat, karya tulis dan sejenisnya) dari situasi tersebut.20

1. Karya tulis, artikel di media massa, dan surat Suryopranoto yang dirangkum dalam buku Anak Bangsawan Bertukar jalan karya Budiawan.

Sedangkan sumber sekunder adalah kesaksian dari seseorang yang tidak terlibat dari peristiwa itu namun mampu menjelaskan serta mendokumentasikan data sumber primer. Penelitian ini berupa kajian pustaka yang didapatkan dari karya tulis, catatan dokumentasi maupun laporan penelitian dari, Semaun dan Suryopranoto dalam hal pergerakan buruh.

Setelah data-data tersebut terkumpul dilakukanlah kritik sumber baik secara eksternal maupun internal. Pemilihan sumber didasarkan pada kesesuaiannya dengan topik penulisan. Langkah berikutnya adalah analisis terhadap sumber yang telah teruji dan melalui analisis inilah kemudian ditentukan gagasan-gagasan yang terangkum. Tahap terakhir adalah penulisan.

Beberapa contoh sumber primer yang digunakan adalah:

19

Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya., hlm 91.

20

(25)

2. Hasil wawancara antara Soe Hok Gie dengan Semaun yang terangkum dalam buku Lentera Merah

3. Kumpulan tulisan, artikel di media massa, dan surat Semaun dalam buku Bebareng Bergerak karya Soewarsono.

4. Kumpulan data-data baik luas peralihan tanah dari petani kepada penguasaha swasta di beberapa tempat di Jawa Tengah, panjang rel serta jumlah beban angkutan kereta api di Semarang, jumlah produksi gula di Yogyakarta dan jumlah sekolah beserta muridnya dari tahun 1862-1920 dalam buku Zaman Bergerak karya Takashi Shiraishi.

Beberapa contoh sumber sekunder yang digunakan adalah:

1. Surat dan foto semaun di Belanda yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan ejaan modern dalam buku Di Negeri Penjajah karya Harry A. Poeze.

2. Hasil penelitian Soe Hok Gie mengenai Semaun dan SI.

3. Hasil penelitian dan sumber-sumber kajian mengenai Semaun karya Soewarsono.

4. Hasil penelitian dan sumber-sumber kajian mengenai Suryopranoto karya Budiawan.

E. Landasan Teori

(26)

sosial dalam penelitian tentang perbandingan gagasan Semaun dan Suryopranoto dalam pergerakan buruh berguna untuk menguji ataupun mengklarifikasi atas kondisi dari peristiwa yang diteliti.21

Dalam pembahasan mengenai perbandingan gagasan Semaun dan Suryopranoto dalam pergerakan buruh, dipergunakan teori yang mempengaruhi kedua tokoh tersebut, yaitu: teori kelas Karl Marx. Dalam teori ini diungkapkan terjadinya perbedaan kelas antara pemilik modal dengan tenaga kerja. Dalam pemahamannya, Marx menyatakan tentang klaim negara bahwa ia mewujudkan kepentingan umum padahal ia tidak lebih dari sekedar melayani kepentingan kelas berkuasa.22

21

Louis Gottschalk. op. cit., hlm 183. 22

Franz Magnis Suseno. op. cit., hlm 110.

(27)

tertindas dengan upah yang minim sedangkan mereka telah bekerja keras dan memberikan keuntungan bagi pemilik modal.23

Dalam praktik ekonomi terjadi pertentangan kelas. Ketidak-berimbangan kesejahteraan antara apa yang dinikmati oleh pemilik modal dan buruh adalah faktor utamanya. Pada satu sisi buruh tetap ingin bekerja demi memenuhi kebutuhan dirinya, namun pada sisi lain mereka tidak mendapatkan upah yang cukup. Sementara itu perusahaan (pemilik modal) amat diuntungkan karena hasil produksi mereka. Kesenjangan yang terjadi inilah yang melahirkan pemahaman bahwa peranan buruh sangat vital dalam perindustrian, sehingga para tokoh buruh memanfaatkan pemikiran Marx untuk diaplikasikan guna melakukan pembacaan terhadap kolonialisasi ekonomi dan penghisapan di tingkat buruh.

24

Menurut Marx, kondisi para buruh yang buruk dan tereksploitasi telah menciptakan sebuah kesadaran, yang kemudian dikenal dengan kesadaran kelas.

25

23

Ibid., hlm 112-115. 24

Linda Smith dan William Raeper. 2000. Ide-Ide Filsafat dan Agama, dulu dan sekarang. Yogyakarta: Kanisius. hlm116-120.

25

Franz Magnis. op. cit., hlm 120-121.

(28)

akan alat produksi akan melahirkan kesadaran kelas, dan hal inilah yang menyebabkan terjadinya pertentangan kelas di Eropa.

Dalam mempergunakan teori kelas Karl Marx, akan dicoba menyeimbangkan dengan dua perspektif lain, yakni perspektif konflik antara kolonial dengan pribumi dan pandangan tentang Ratu Adil26

26

Dalam konsepnya gagasan Ratu Adil lahir dari sebuah tekanan sosial masyarakat, di mana terjadi sebuah kolonialisme dan tidak adanya peranan dari elit pribumi untuk melindungi masyarakat. Terjadi sebuah transformasi ekonomi, di mana sebelumnya penguasaan ada di tangan elit pribumi, kini berada pada swasta asing. serta terlepasnya perlindungan dari kelompok elit pribumi atas rakyatnya meyebabkan sebuah konflik struktural antara masyarakat dan kolonial.

Terjadinya pemungutan pajak, penyewaan tanah dan kondisi perburuhan yang memprihatinkan. Pada kondisi tersebut hadir harapan pembebasan yang didorong oleh sosok Semaun dan Suryopranoto mengajak masyarakat bergerak untuk bebas serta melawan penindasan kolonial dan swasta asing.

(29)

pergerakan buruh menjadi pergerakan nasionalistis yang menentang penindasan kaum Belanda terhadap rakyat pribumi.27

Selain pandangan tentang konflik antara pemerintah kolonial dengan pribumi, muncul juga pandangan mengenai ratu adil sebagai tokoh yang membebaskan dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Banyak tokoh buruh di kalangan buruh sendiri dianggap sebagai ratu adil, kemudian setelah tokoh tersebut berjuang ternyata keadilan tidak pernah terwujud sempurna sesuai harapan. Namun harapan akan terciptanya sebuah kesejahteraan dan keadilan bagi buruh tetap melekat hingga saat itu. Hal ini menginspirasikan kaum buruh, bahwa ratu adil yang diharapkan bukanlah sosok jasmani tetapi sebuah gagasan tentang kesejahteraan buruh. Konsepsi ini juga diungkapkan oleh Emmanuel Subangun dalam perpektifnya tentang Ratu Adil, yang dipahaminya sebagai cita-cita. Ketika fisik, pikiran, dan tindakan sudah tidak lagi mampu menandingi pihak kolonial serta penjajahan senantiasa berlangsung, maka ratu adil bukan lagi cita-cita melainkan sebuah harapan belaka yang senantiasa dinantikan.28

F. Tinjauan Pustaka

Buku yang membahas tentang pergerakan buruh yang dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto, antara lain Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa

27

Aloliliweri, M.S. 2005. Prasangka & Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKiS. hlm 270-271.

28

(30)

1912-1926, karya Takashi Shiraishi29. Posisi penting buku ini adalah mampu memberikan data-data mengenai luas lahan yang disewakan, gaji buruh, serta tingkat pembakaran lahan perusahaan yang dilakukan oleh para buruh saat berunjukrasa serta beberapa data lainnya. Hampir serupa dengan Zaman Bergerak, buku Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah karya Bambang Sulistyo30, memberikan data-data mengenai jumlah hasil gula serta peranan Semaun dan Suryopranoto dalam pergerakan buruh. Di Bawah Lentera Merah, karya Soe Hok Gie31

Buku lainnya bersifat biografis dan pemikiran Semaun yakni Bebareng Bergerak karya Soewarsono, penerbit LkiS Yogyakarta. Dalam buku ini digambarkan

latar belakang, biografi, pemikiran serta perjuangan Semaun dalam membela hak buruh. Buku ini juga disertai surat, artikel dan catatan-catatan Semaun saat berjuang bersama SI, Suryopranoto dan PKI. Buku lainnya merupakan biografi dan pemikiran Suryopranoto, yakni Anak Bangsawan Bertukar Jalan, karya Budiawan. Buku ini berisi mengenai perjalanan hidup Raden Mas Suryopranoto, pergerakan dalam organisasi-organisasi yang mendukung kesejahteraan buruh, dan perseteruan Suryopranoto dengan Semaun. Dalam buku ini juga tertulis catatan pribadi, surat, dan tulisan Suryopranto di berbagai artikel.

juga memuat data-data tentang luas tanah, biaya sewa dan perseteruan pergerakan buruh dengan pemerintah Belanda maupun antar gerakan (Semaun dan Suryopranoto).

29

Takashi Shiraishi. op. cit., hlm 10-147. 30

Bambang Sulistiyo. op. cit.,hlm 9-159. 31

(31)

Untuk melihat kondisi perburuhan pra Semaun dan Suryopranoto secara umum digunakan beragam buku pembantu seperti buku Di Negeri Penjajah karya Harry A. Poeze32

G. Sistematika penulisan

yang memuat catatan dan artikel asli dari Semaun saat berada di negeri Belanda.

Berdasarkan buku-buku tersebut, penelitian yang memperbandingkan gagasan Semaun dan Suryopranoto ini diharapkan dapat memberikan pandangan serta gagasan mengenai gerakan buruh yang terjadi. Secara umum belum ada upaya ilmiah yang dengan tegas memperbandingkan pemikiran Semaun dan Suryopranoto, bukan untuk melihat siapa yang unggul melainkan melihat metode yang mereka gunakan. Studi perbandingan ini penting mengingat Semaun dan Suryopranoto berada pada waktu yang sama dan pernah berjuang bersama. Menarik untuk disimak mengapa keduanya kemudian saling bertentangan ketika kekuatan massa buruh sedang dalam masa matang, dan setelah 1926 keduanya saling tersingkir dari pergerakan perburuhannya

sendiri.

Hasil dari penelitian ini dituangkan dalam tulisan dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang berisiskan latar belakang dan hal-hal yang mendorong penelitian ini.

32

(32)

Bab II berisiskan latar belakang yang mempengaruhi Semaun dan Suryopranoto untuk melakukan pergerakan buruh.

Bab III berisikan biografi, pemikiran, peranan, serta perjumpaan dan konflik dalam pergerakan buruh yang dialami oleh Semaun.

Bab IV berisikan biografi, pemikiran, peranan, serta perjumpaan dan konflik dalam pergerakan buruh yang dialami oleh Suryopranoto.

(33)

19

Banyak hal yang memicu lahirnya pergerakan buruh. Dalam konteks ini adalah munculnya ekonomi liberal. Setelah ekonomi liberal dimunculkan pada tahun 1870, terjadi perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat Semarang dan Yogyakarta pada khususnya. Hal ini membawa dampak pada sektor industri, tanah dan tentunya buruh.

Hindia Belanda berubah menuju arah modernitas secara sistematis. Hal ini ditunjukkan dengan diperkenalkannya sistem gaji pada pribumi. Proses produksi yang sebelumnya dikuasai oleh negara kini dipercayakan kepada pihak swasta. Selain itu diatur pula alat produksi yaitu tanah dengan munculnya Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang memuat aturan penyewaan tanah dan Undang-Undang Pajak Kepala 1882 yang kemudian menjadi pendorong lahirnya pasar tenaga kerja bebas (wage labourer), sampai sistem mengenai hasil produksi swasta yang setiap tahunnya

meningkat hingga eksport ke Eropa, perbaikan infrastruktur berupa pelabuhan dan jalan.1

Perubahan menuju modernitas juga terlihat dari watak kolonial yang mulai memperhatikan permasalahan penyesuaian penduduk pribumi dalam sistem modern

1

(34)

kolonial, meskipun sesungguhnya pengenalan sistem modern tersebut adalah upaya menciptakan buruh yang mampu menjalankan dan memperkenalkan mesin-mesin modern. Berdasarkan laporan Mindere Welvaart Commissie, terjadi penurunan tingkat kemakmuran pribumi pada akhir abad XIX, sehingga memberikan solusi agar pemerintah kolonial membangun sistem modern ini yang kemudian dikenal dengan Politik Etis.2

Modernitas juga tampak dari lahirnya kelompok kelas menegah (middle class) pribumi yang jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya. Kelompok ini merupakan masyarakat prakapitalis yang menyandarkan penghidupannya dari gaji. Meski demikian, fungsi awal dari kelompok ini adalah pengisi pasar tenaga kerja yang memiliki keahlian. Namun kemudian, masyarakat kelas menengah yang sebagian besar adalah kaum terpelajar ini yang mengawali perubahan sosial dengan dilakukannya pergerakan.3

A. Kereta Api

Perubahan sosial dalam masyarakat pribumi salah satu penyebabnya adalah munculnya kereta api. Pesatnya pertumbuhan kereta api menjadi salah satu acuan modernisasi di Hindia Belanda terutama di pulau Jawa. Media transportasi merupakan sarana pendukung pertumbuhan ekonomi pengusaha lokal maupun Belanda. Pertumbuhan industri kereta api jalur Semarang-Vorstenlanden merupakan

2

Ibid., hlm 11.

(35)

contohnya. Semakin luas jarak tempuh dan meningkatnya jumlah angkutan membuat industri kereta api semakin membutuhkan banyak pekerja.

Fungsi lain dari hadirnya angkutan kereta api adalah sebagai sarana penunjang ekonomi dalam mengangkut barang. Dengan peningkatan jumlah barang maupun hasil bumi, maka diperlukan pula jalur kereta api yang memadai.

Tabel berikut ini adalah data untuk melihat perkembangan luas areal kereta api dan peningkatan jumlah angkutan baik manusia maupun barang. Data-data diperoleh dari Kolonial Verslag tahun 1896, 1901, 1906, dan 1916.4

Tahun

Tabel II.1

Peningkatan Jumlah Penumpang dan Barang Dalam Angkutan Kereta Api Kilometer Penumpang Penghasilan dari

Penumpang (dalam ribu gulden)

Barang (dalam ribu gulden)

1895 1.319 5.759.000 3.054 6.588

1900 1.609 9.738.000 4.022 9.743

1905 1.704 13.361.000 4.979 10.216 1910 2.174 28.420.000 8.825 15.738 1915 2.448 42.579.000 13.685 22.194 Sumber: Kolonial Verslag tahun 1896, 1901, 1906, dan 1916

4

(36)

B. Peralihan Fungsi Tanah

Pada tahun 1880-1915, produk terpenting dalam pertanian pribumi adalah beras atau padi. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat lokal mengkonsumsi nasi yang berasal dari padi. Selain itu, kondisi geografis serta iklim mendukung tanaman ini, sehingga para petani pribumi memilih padi sebagai tanaman pokok.

Ketertarikan pemodal swasta untuk menanam tebu di Hindia Belanda guna mendapatkan keuntungan besar dalam pasar Eropa didukung oleh pemerintah kolonial. Pada awal tahun 1910-an pemerintah kolonial memunculkan kebijakan berupa ketentuan harga maksimal pembelian padi dari petani dan ketentuan jumlah maksimal padi yang disimpan. Tentunya kondisi ini sangat menyudutkan petani, baik dari segi penghasilan maupun pemenuhan kebutuhan.5

Di lain pihak kebijakan ekonomi kolonial semakin menguntungkan pengusaha gula swasta. Dilakukannya perluasan lahan tebu mempersempit lahan pertanian padi. Kondisi ini menciptakan kesulitan baru bagi masyarakat pribumi. Harga beras yang rendah, membuat para pengusaha swasta melirik tebu sebagai solusi. Kondisi berbeda Kebijakan lainnya adalah dilakukannya monopoli pembelian dan penjualan padi sehingga mempersempit peluang pribumi kelas menengah untuk membangun pertumbuhan ekonomi. Hal ini membuktikan adanya sebuah upaya mencabut secara tidak langsung hak pribumi guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

5

(37)

dirasakan masyarakat pribumi yang kebutuhan hidup secara ekonomi ditempuh dengan menanam padi secara terpaksa lahannya disewakan sehingga terjadi kelangkaan padi yang berdampak pada naiknya harga beras. Para petani padi yang awalnya mengelola padi tetapi kemudian beralih menjadi buruh tebu, ternyata mendapatkan upah yang tidak mampu mencukupi pemenuhan atas naiknya harga beras di pasar. Di lain pihak, kurangnya bahan makanan berupa beras, tidak mempengaruhi kehidupan bangsa Barat di Indonesia kala itu. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah kolonial tidak merasa perlu untuk mempertahankan ataupun memperluas areal tanaman padi. 6

Kehidupan petani pada masa ini tidak lebih daripada saat mengelola lahan pertaniannya sendiri. Areal perkebunan swasta yang makin lama semakin meluas mengakibatkan penderitaan bagi petani pribumi, dari rendahnya penghasilan hingga krisis pangan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kehidupan petani semakin terpuruk.7

Peralihan fungsi lahan padi menjadi lahan tebu menjadikan harga beras naik. Para petani padi yang bekerja pada kelas menengah lokal beralih menjadi buruh di perkebuan tebu dengan gaji yang rendah sehingga kesulitan memenuhi kebutuhan untuk membeli beras yang semakin langka dan harganya terus melonjak. Pada tahun

6

Bambang Sulistyo, Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah. op. cit., hlm 61.

7

(38)

1918, akibat kelangkaan dan harga beras yang tinggi, di banyak tempat di Jawa muncul keadaan di mana masyarakat harus antri saat membeli beras. Di Pekalongan antrian terjadi sepanjang kira-kira satu kilometer, tidak jarang pula terjadi perkelahian dalam antrian karena berebut tempat untuk lebih dahulu mendapatkan beras.8

Kondisi tersebut juga menyebabkan terjadinya kematian semakin meluas pada tahun 1919. Sulitnya mendapatkan beras dan makanan layak mengakibatkan masyarakat terpaksa mengkonsumsi palawija, sayur-mayur dan bahkan ada yang memakan bonggol pisang. Secara umum, karena kesulitan ekonomi, buruh dan petani kecil banyak yang hanya makan satu kali sehari.9

Di samping kematian, hal lainnya adalah terjadinya penyakit akibat kekurangan gizi seperti beri-beri, TBC, dan influenza. Kondisi terburuk terjadi di Vorstenlanden terutama Yogyakarta,yang pada tahun 1919 angka kematiannya

mencapai 25.956 jiwa. Pada tahun tersebut penduduk Yogyakarta berjumlah 1.313.486 orang. Untuk melihat angka kematian penduduk Yogyakarta pada kuartal pertama tahun 1919 bisa diliihat pada tabel berikut ini .

10

8

Bambang Sulistyo, op. cit., hlm 62. 9

Ibid., hlm 62. Data dan informasi diambil dari surat kabar Neratja 8 November tahun 1919. Media ini merupakan Organ dari Sarekat Islam Cabang Jakarta. Weltevvreden.

10

Ibid. Data diperoleh dari buku Bambang Sulistyo didapatkan dari surat kabar Sri Mataram tahun Yogyakarta 4 September 1919.

(39)

Tabel II. 2

Jumlah Kematian Penduduk

Afdeeling Jumlah Penduduk Angka Kematian

Yogyakarta 755.472 10.623

Kulonprogo 281.216 5.436

Gunungkidul 276.798 9.897

Sumber: surat kabar Sri Mataram Yogyakarta 4 September 1919

Pada tabel II.2, meningkatnya angka kematian di Yogyakarta disebabkan karena kekurangan gizi yang disebabkan kurangnya jumlah beras dan munculnya wabah penyakit seperti beri-beri, TBC, dan influensa.

Pada kuartal kedua tahun 1919 terjadi penurunan jumlah kematian, hal ini desbabkan karena wabah penyakit telah mereda. Data selanjutnya adalah hasil penelitian kuartal kedua tahun 1919 berupa perbandingan antara jumlah angka kelahiran dan kematian di daerah yang sama, seperti pada tabel berikut:11

Afdeeling

Tabel II.3

Jumlah Kelahiran dan Kematian Penduduk

Angka kematian Angka Kelahiran

Yogyakarta 7.238 4.759

Kulonprogo 2.241 1.255

Gunungkidul 3.089 1.680

11

(40)

Sumber: surat kabar Sri Mataram Yogyakarta 4 September 1919

Melalui data mengenai jumlah angka kelahiran dan kematian pada tabel II.2 dan II.3 dapat memperlihatkan terjadinya peningkatan jumlah kematian masyarakat pribumi. Surat kabar Sri Mataram Yogyakarta pada 4 September 1919 melampirkan data tabel Tabel II. 2 berdasarkan penelitian pada kuartal pertama tahun 1919, sedangkan Tabel II.3 berdasarkan penelitian pada kuartal kedua tahun 1919. Meningkatnya kematian penduduk disebabkan karena daerah potensial penghasil pangan yakni Jogjakarta mulai beralih menjadi lahan perkebunan. Kulonprogo dan Gunungkidul merupakan daerah yang bergantung pada pasokan hasil pangan dari Yogyakarta. Namun, karena terjadi peralihan fungsi lahan di Yogyakarta dari lahan persawahan menjadi gula maka terjadi penurunan hasil pangan sehingga Kulonprogo dan Gunungkidul terkena dampak yakni krisis pangan.

Tentunya meningkatnya jumlah kematian masyarakat pribumi ini tidak dapat dilepaskan dari permasalahan kelangkaan bahan pangan dan kondisi kesejahteraan yang tidak layak. Krisis pangan yang terjadi menyebabkan gizi buruk dan masyarakat mudah terjangkit penyakit, yang paling mengenaskan adalah kondisi pada kuartal pertama tahun 1919 karena krisis pangan yang bersamaan dengan datangnya wabah penyakit.

C. Transisi Lahan Pribumi Menjadi Lahan Swasta

(41)

pasaran dunia bagi tebu.`12

Terbukanya pasar gula di Eropa menyebabkan pertumbuhan perkebunan tebu di Hindia Belanda meningkat secara signifikan. Banyak pengusaha swasta Belanda mengalihkan lahan perkebunan mereka dari non tebu menjadi tebu. Pertumbuhan ini pun kemudian menggusur lahan-lahan pertanian padi, sehingga berdampak pada kurangnya hasil padi guna kebutuhan pangan masyarakat pribumi. Berdasarkan data dari Koloniaal Verslag tahun 1891, 1901, dan 1911 terjadi peningkatan jumlah produksi gula di karesidenan Surakarta, Boyolali, Klaten, Sragen, Mangkunegaran dan Wonogiri.

Hal ini membuat para pengusaha swasta Belanda tertarik dengan keuntungan dari potensi Hindia Belanda yang mampu menghasilkan tebu dengan kualitas baik.

13

Tahun

Tabel berikut ini menunjukkan adanya peningkatan produksi gula secara bertahap.

Tabel II.4

Peningkatan Jumlah Produksi Gula Kota / Gula (dalam ribuan pikul)

Surakarta Boyolali Klaten Sragen Wonogiri Mangkunegaran

1890 - 103 203 26 - 48

1900 66 41 520 98 - 102

12

Takashi Shiraishi. op. cit., hlm 15. 13

(42)

1910 91 112 829 183 - 195 Sumber: Koloniaal Verslag tahun 1891, 1901, dan 1911

Kondisi pertumbuhan perkebunan tebu juga berdampak pada perluasan lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan tebu. Data berikut ini bersumber dari angka-angka sejak tahun 1862 hingga 1864 yang diambil dari Rossenschon, “De Westerse op Java,” halaman 450. Angka-angka dari tahun 1875 dan seterusnya

berasal dari Koloniaal Verslag 1876, 1881, 1891, 1901, 1911, 1916 dan 1921. 14 Tabel II.5

Jumlah Tanah Yang Disewakan di Yogyakarta

Pada data tersebut diperlihatkan sebuah kenaikan jumlah tanah yang disewakan secara signifikan. Bila melihat dari tahun 1880 sampai 1890 terjadi

14

Ibid., hlm 14.

Tahun Dalam bau

1880 88.000

1890 93.000

1895 93.000

1900 89.000

1905 85.000

1910 95.000

1915 97.000

(43)

kenaikan penyewaan lahan sejumlah 5000 bau. Meskipun jumlah ini tetap hingga tahun 1895 dan turun sejumlah 4000 bau pada tahun 1900 dan kembali turun kembali sejumlah 4000 bau pada 1905. Namun pada tahun 1905 sampai tahun 1910 terjadi kenaikan sejumlah 10.000 bau bahkan pada tahun 1920 terjadi kenaikan hingga 7000 bau.

Berdasarkan data jumlah tanah yang disewakan oleh masyarakat pribumi (yang secara umum difasilitasi oleh lurah) diketahui bahwa luas tanah milik pribumi yang dikelola secara subsisten guna kebutuhan pribumi sendiri semakin kecil. Berdasarkan data tersebut juga diketahui bahwa pertumbuhan swasta asing semakin meningkat.15

Salah satu faktor yang menyebabkan meningkat dan mudahnya penyewaan lahan pertanian kepada pihak swasta Belanda menjadi perkebunan tebu adalah melalui peranan lurah. Dengan cara menyuap para lurah dengan uang 2,50 gulden untuk setiap baunya terjadi kemudahan untuk mendapatkan lahan. Karena “suap” inilah di desa-desa banyak terjadi pemaksaan penyewaan tanah.16

Dalam masyarakat agraris tradisional, tanah sering dikonsepsikan sebagai milik raja. Tanah bukan semata-mata sebagai sumber nafkah namun juga sumber

15

Soe Hok Gie, op. cit., hlm 12. Dalam buku Di Bawah Lentera Merah terdapat pernyataan bahwa pada tahun 1919, para pengusaha perkebunan memberikan premi 2,50 Gulden untuk setiap bau kepada lurah yang dapat menyewakan tanah pertanian.

16

(44)

kekuasaan bagi pegawai raja (priyayi).17

Namun, dari data atas tingkat kematian, jumlah produksi gula hingga luas lahan yang beralih fungsi menunjukkan sejumlah besar tanah milik masyarakat adat sepenuhnya telah disewa oleh pihak swasta. Luas tanah pertanian pangan yang semakin sempit, dan luas perkebunan tebu yang semakin membengkak berakibat pada terjadinya kelangkaan pangan (krisis pangan) dan meningkatnya jumlah kematian penduduk pribumi.

Berdasarkan pengertian tersebut, Belanda yang datang dan melakukan kolonialisme mempergunakan sistem tersebut untuk menguasai tanah, yakni menguasai para raja dan secara sistematis tanah yang berada di bawah kekuasaan raja akan dikuasai oleh Belanda.

18

D. Hadirnya Modernisasi

Bersamaan dengan dimulainya abad ke XX, hadir sebuah zaman baru di Hindia Belanda, yakni zaman etis. Dalam periode ini muncul kata-kata “kemajuan”, seperti vooruitgang, opheffing (kemajuan), ontwikkeling (perkembangan), dan opvoedening (pendidikan).

Pada awal bulan Agustus 1899 Conrad Theodor van Deventer menulis sebuah artikel berjudul “Een Eereschlud” (“Hutang Budi”). Artikel ini diterbitkan oleh

17

Anton Haryono, “Dari Rakyat Legitimasi Dibangun, Kepada Rakyat Eksploitasi Diarahkan: Indonesia Pra-Kolonial, Kolonial, dabn Pasca-Kolonial”. Dalam Silverio R.L. Aji Sampurno dkk. 2003. Indonesia lternatif, Rakyat Sebagai Pemegang Kedaulatan ekonomi. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. hlm 6.

18

(45)

majalah De Gids. Melalui artikel tersebut dinyatakan bahwa bangsa Belanda telah memperoleh keuntungan dari bangsa Indonesia (Jawa) sejak 1867 hingga 1899 kira-kira sejumlah 200 juta gulden. Bagi van Deventer hal ini merupakan sebuah hutang kehormatan, sebuah hutang harus dibayarkan. Menurut van Deventer hutang tersebut dapat dibayarkan melalui cara memperbaiki kehidupan ekonomi dan memperhatikan nasib rakyat Hindia Belanda. berdasarkan pengamatannya, sejak 1885 penduduk bumiputera mengalami proses pemiskinan yang kian mendalam. Usulan van Deventer dalam artikel tersebut adalah mengembalikan utang melalui program pendidikan dan pembangunan ekonomi bumiputera.19

Kritik van Deventer hanyalah salah satu dari sekian kritik bagi pemerintah Belanda kala itu. Hal ini kemudian direspon oleh parlemen Belanda dengan memutuskan sikap melalui program Politik Etis. Hadirnya zaman etis ditandai dengan bermunculannya sekolah-sekolah. Kritik yang melahirkan Politik Etis ini awalnya berasal dari internal negeri Belanda, sebagai bentuk keprihatinan terhadap ketidaklayakan sikap pemerintah kolonial atas penduduk pribumi. Berdasarkan kritik tersebut, parlemen Belanda memutuskan untuk membentuk sebuah program balas budi. Namun, seiring berjalannya waktu, langkah kolonial ternyata tidak sebatas pada upaya balas budi yang beritikad baik, tetapi memanfaatkan program etis sebagai media pemenuhan tenaga kerja murah .

.

20

19

Bambang Sulistyo, Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah. op. cit., hlm 36.

Lagi pula, kelompok yang dapat

20

(46)

mengenyam pendidikan praktis terbatas pada kaum menengah yang umumnya memiliki cukup uang.

Awal pelaksanaan Politik Etis dapat dilihat dari pertumbuhan jumlah sekolah bagi masyarakat pribumi. Merebaknya sekolah secara tidak langsung juga dimanfaatkan oleh pihak swasta Belanda untuk mendapatkan buruh-buruh perindustrian yang dapat mengoperasikan teknologi modern. Pada 1893 pemerintah membentuk dua jenis sekolah dasar untuk bumiputera, Eerste Klass Inladsche Scholen (Sekolah Bumi Putera Angka Satu) untuk anak-anak priyayi , dan Tweede Klass Inlandsche Scholen (Sekolah Bumi Putera Angka Dua) untuk anak-anak

pribumi dari kelas sosial yang lebih rendah.21

21

Ibid., hlm 37.

(47)

Jumlah sekolah Bumiputera Angka Dua dan jumlah murid, berdasarkan data dari S. L. van der Wal, ed, Het Onderwijsbeleid in Nederlandsch-Indie, tahun 1900-1940 (Groningen: J.B. Wolters, 1963) dinyatakan sebagai berikut.22

Jumlah Sekolah

Tabel II.6

Jumlah Sekolah dan Jumlah Murid di Sekolah Negara dan Swasta Jumlah Murid Tahun Negara Swasta Total Negara Swasta Total 1900 551 836 1.387 64.742 36.431 98.173 1905 674 1.286 1.942 95.075 66.741 161.816

1910 1.021 2.106 3.127 133.425 99.204 232.629 1915 1.202 2.198 3.400 186.300 134.644 320.974 1920 1.845 2.368 4.213 241.414 116.556 357.970 Sumber: Onderwijsbeleid in Nederlandsch-Indie, tahun 1900-1940 (Groningen: J.B. Wolters, 1963).

Sedangkan berdasarkan data dari Koloniaal Verslag tahun 1896, 18906, 18911, dan 1916. Jumlah Sekolah Dasar Bumiputera di Jawa dan Madura sebagai berikut.23

22

Ibid. Data yang dipergunakan oleh Takashi Shiraishi berasal dari data dari S. L. van der Wal, ed, Het Onderwijsbeleid in Nederlandsch-Indie, tahun 1900-1940 (Groningen: J.B. Wolters, 1963).

23

(48)

Tabel II.7

Jumlah Sekolah Dasar Bumiputera di Jawa dan Madura

Tahun Jawa/Madura Surakarta Yogyakarta

1895 391 15 13

1905 722 19 40

1910 1.088 41 111

1915 1.237 61 109

Sumber: Koloniaal Verslag tahun 1896, 1906, 1911, dan 1916

Pada tahun 1900, Hoofden Scholeen yang mendidik para calon pegawai priyayi pribumi disempurnakan menjadi Opleiding School Voor Inladsche Ambtenaren (OSVIA). Pada waktu yang bersamaan, sekolah untuk dokter Jawa yakni

Indische Arsten dikembangkan menjadi Opleiding van Indische Arsten atau STOVIA.

Pada 1902, di Bogor didirikan sekolah pertanian menegah untuk pribumi bernama Inlandsche Lanbouw School. Pada 1907, jumlah sekolah dasar dengan sistem

pendidikan Barat berjumlah 675 sekolah, namun karena desakan kaum priyayi pribumi maka pemerintah kolonial menyatakan akan membangun lagi 700 sekolah. Pada tahun 1907, Sekolah Angka Satu atau Eerste Klasse School dikembangkan menjadi Hollandsch Inlandsche Scholen (HIS) dengan lama pendidikan 7 tahun.24

23

(49)

Jumlah sekolah dengan pendidikan tradisional tanpa pelajaran bahasa Belanda yang tercatat pada tahun 1912 sejumlah 2.500 buah.25

Program pokok Politik Etis adalah Irigasi, Transmigrasi dan Edukasi. Dalam konsepnya ketiga program tersebut merupakan upaya untuk peningkatan ekonomi, mendistribusikan kepadatan penduduk, dan penerapan pendidikan. Meskipun demikian, ternyata program-program tersebut juga hanya menjadi perpanjangan tangan perusahaan swasta. Program irigasi dalam implementasinya hanya menguntungkan perkebunan swasta bukan pribumi, transmigrasi (umumnya dari Jawa ke Sumatra dan Kalimatan) cenderung sebagai upaya pemenuhan tenaga kerja buruh perusahaan swasta daripada upaya distribusi kepadatan penduduk, dan edukasi secara umum dipandang sebagai usaha untuk mengenalkan teknologi industri kepada calon buruh. Namun, dari ketiga program itu, edukasi nampak mengalami kemajuan yang cepat.

26

Meningkatnya jumlah sekolah dan terbukanya pendidikan bagi masyarakat pribumi, meskipun masih sebatas kaum golongan atas dan menengah saja, memberikan harapan baru bagi masyarakat. Dampak program pendidikan tidak sebatas pada masyarakat bisa membaca, menulis dan berhitung, tetapi juga munculnya menjadi pegawai-pegawai administrasi kolonial dari kalangan pribumi

25

Robert van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia. Terjemahan. hlm 50-99.

26

(50)

baik di pemerintahan maupun perusahaan swasta. Program etis juga memunculkan kesadaran baru bagi masyarakat pribumi.

Pendidikan bagi publik memperkenalkan sebuah pandangan baru. Orang-orang pribumi mulai sadar dan peka apa yang disebut kolonialisme. Mereka semakin menyadari bahwa cara-cara yang dilakukan oleh pemerintah Belanda di Hindia Belanda sesungguhnya merupakan bentuk penindasan, yang oleh masyarakat Eropa sendiripun kolonalisme pada masa itu ditolak. Melalui pendidikan yang semakin meluas inilah kemudian masyarakat pribumi menemukan cara baru dalam melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.27

Dengan menjamurnya sekolah dan makin bertambahnya kaum terdidik, maka kesadaran masyarakat pun meningkat. Berdasarkan catatan yang diperoleh dari perkebunan tebu, terjadi penurunan angka protes dengan cara membakar lahan tebu menjadi protes melalui jalur keorganisasian, menjemur diri dan mogok kerja sebagai ungkapan perlawanan buruh terhadap majikan. pada tahun 1907, di luar daerah Vorstenlanden aksi pembakaran tercatat 2.300 kali, dengan areal yang dibakar seluas

4.700 bau lebih. Pada 1912 aksi serupa tercatat 2.700 kali dengan areal yang dirugikan sejumlah 6.650 bau. Setelah lahirnya organisasi serikat pekerja, aksi pembakaran mengalami penurunan. Pada 1913 jumlah aksi pembakaran turun menjadi 1.900 kali pada areal seluas 5.300 bau, kemudian pada 1914 turun lagi

27

(51)

menjadi 1.500 kali aksi dengan luas areal 4.100 bau. Jumlah ini terus menurun hingga pada 1917 hanya terjadi 886 kali pada areal seluas 1.925 bau.28

Dengan hadirnya era modernisasi inilah muncul kelompok menengah pribumi, melalui cara mendidik para calon tenaga kerja yang terlatih.

Dalam catatan perusahaan gula dinyatakan bahwa sejak hadirnya SI terjadi penurunan aksi. Lahirnya organisasi serupa bernama Boedi Utomo, dan sejenisnya (termasuk SI) menanamkan sikap baru dalam menyampaikan aksi. Mereka umumnya mengawali dengan menggunakan negosiasi. Bila hal yang diinginkan tidak terwujud, maka barulah aksi massa dikerahkan. Lahirnya organisasi-organisasi pergerakan awal ini merupakan embrio bagi lahirnya gerakan nasionalisme.

29

Politik Etis dapat dikatakan gagal, sebagai akibat dari munculnya kerjasama kolonial antara kekuatan ekonomi dan pemerintahan. Ekspansi dan konsentrasi kekuatan dipegang oleh beberapa pihak saja, sehingga pengaruh pemilik modal

Meskipun telah hadir sarana transportasi, pendidikan, dan organisasi massa bagi kaum pribumi, namun usaha dalam bidang ekonomi masih sulit. Kondisi ini disebabkan oleh kuatnya monopoli dan penguasaan modal oleh pihak Belanda.

28

Ibid.,hlm 40. Data yang dikaji oleh Bamabang Sulistyo berdasarakan Verslag van Algemeen Syndicaat van Suikerfabriekanten in Ned-Indie overhet 27e Jaar,1921, hlm 60-63.

29

(52)

terhadap pemegang kekuasaan cukup besar . Menjadi hal yang wajar ketika banyak kebijakan bersifat politis namun menguntungkan kaum pemodal.30

Mendekati akhir abad XIX, yaitu pada tahun 1897, mulai bermunculan organisasi perburuhan. Pada awalnya organisasi perburuhan ini sebagian besar diprakarsai oleh para buruh Belanda yang bekerja di Hindia Belanda. Beberapa organisasi tersebut adalah Cultuurbond, Handelsbond dan Zuikerbond. kemunculan mereka disebabkan karena para pegawai Belanda di negara asalnya memiliki hak atas pekerjaan, sehingga mereka bebas membentuk organisasi. Pada awalnya organisasi pekerja yang dibuat oleh pegawai tinggi Belanda bersifat ekslusif. Namun kondisi mulai berubah setelah tahun 1900-an. Pada awalnya pekerja Eropa mendominasi serikat pekerja. Namun, semakin bertambah banyaknya jumlah pekerja pribumi dan semakin sedikitnya jumlah pekerja dari negeri Belanda berpengaruh terhadap organisasi serikat pekerja. Para pegawai Belanda mengangap perlunya sebuah kesatuan yang sama serta memperkuat jumlah massa buruh dalam organisasi, sehingga dilibatkanlah buruh-buruh pribumi di dalamnya. Kondisi ini yang kemudian menjadi embrio bagi pergerakan buruh pribumi di Hindia Belanda.31

Pada periode 1900-1926 pergerakan buruh yang muncul umumnya menuntut perbaikan nasib (kesejahteraan) bagi para pekerjanya. Pada awal era Politik Etis muncul Semaun dan Suryopranoto dalam organisasi pergerakan pribumi yang

30

Ibid., hlm 27-28 .

31

(53)

kemudian dalam perjalanannya melakukan transformasi organisasi yang bersifat memperjuangkan nasib kaum pekerja pribumi secara politis maupun secara organisasi massa.

E. Awal Pergerakan Kaum Terdidik

Bila pada tahun 1900 hanya kelompok priyayi yang menjadi administrator, maka pada tahun 1914 kelompok elit baru bertambah dengan sejumlah pegawai pemerintah, teknisi dan cendekiawan. Hadirnya kaum elit baru ini sesungguhnya berkaitan dengan kebutuhan pemerintah kolonial akan penambahan jumlah tenaga kerja terdidik dalam setiap bidang pekerjaan.

Lahirnya kaum terdidik menciptakan perubahan baru. Tirto Adi Suryo seorang keturunan bangsawan yang merupakan lulusan STOVIA, tercatat sebagai pribumi pertama yang menerbitkan surat kabar.32 Ia menerbitkan Medan Prijaji, sebuah jurnal yang berisikan berita harian tentang kehidupan masyarakat. Namun kemudian, karena tergerak melihat situasi sosial yang kian buruk bagi masyarakat pribumi, ia menuliskannya dalam surat kabar tersebut. Dengan tulisan-tulisannya yang dimuat di Medan Prijaji banyak kaum intelektual pribumi lainnya tergerak untuk ikut dalam pergerakan. Melalui surat kabar ini, pergerakan nasional dimulai.33

32

Dalam Skripsi ini digunakan ejaan Tirto Adi Suryo, sedangkan dalam buku lain dituliskan dalam ejaan Tirto Adi Soerjo.

33

(54)

Tirto sendiri kemudian bergerak lebih dalam dengan membentuk Serikat

Dagang Islam di Bogor pada 1911. Pergerakan Tirto dilakukan bersama dengan rekannya asal Surabaya yaitu H.O.S. Tjokroaminoto. Mereka berdua mendirikan SDI (Sarekat Dagang Islam) yang kemudian berkembang pesat sebagai organisasi awal di Indonesia.34

Selain SDI, hadir pula organisasi priyayi Jawa bernama Budi Utomo (BO) di Jogjakarta pada 10 Oktober 1908. Organisasi ini masih bersifat kedaerahaan, namun merupakan organisasi yang memiliki struktur yang sesuai dengan organisasi modern. Organisasi ini terdiri dari mahasiswa asal Jawa yang berkumpul dan membicarakan masa depan masyarakat Jawa.35

34

M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern.Gadjah Mada University Press. Jogjakarta. 2005. hlm 251-252.

35

Akira Nagazumi. op. cit., hlm 95-100.

(55)

41

Tahun 1900 hingga 1919 merupakan awal pergerakan buruh di Indonesia. Kondisi ekonomi dan politik yang semakin menekan masyarakat pribumi pada masa tersebut menjadikan rasa perlawanan terhadap kolonialisme Belanda semakin menguat. Pada era 1900-an ini hadir pula tokoh-tokoh pergerakan buruh. Satu diantaranya adalah Semaun.

A. Latar Belakang Semaun

Semaun dalam beberapa catatan sejarah mulai dikenal ketika ia menjabat sebagai presiden Sarikat Islam (SI) Semarang pada tanggal 6 Mei 1917. Semaun lahir di kota kecil Tjurah Malang, Mojokerto, Jawa Timur sekitar tahun 1899.1

Semaun merupakan anak dari seorang pegawai rendahan bernama Prawiroatmodjo. Ayah Semaun merupakan pegawai rendah di jawatan kereta api, tepatnya seorang tukang batu. Semaun sempat bersekolah Tweede Klas (sekolah bumiputra kelas dua) dan memperoleh pendidikan tambahan bahasa Belanda dengan mengikuti semacam kursus sore hari. Setelah menyelesaikan sekolah dasar, ia tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Kondisi

1

(56)

tersebut mendorongnya untuk bekerja di Staatspoor (SS) Surabaya sebagai juru tulis (klerk) kecil. 2

Bermula dari usia 15 tahun, Semaun muda memulai karir politiknya. Tepatnya pada tahun 1914, Semaun mulai bergabung dalam organisasi Sarekat Islam (SI) cabang Surabaya dan segera menjadi sekretaris cabang tersebut. B. Awal Karir Politik

3

Dalam catatan Arnold C. Brackman dalam buku Indonesian Communism dinyatakan bahwa ada hal lain yang sesungguhnya terjadi, yakni sebuah kesulitan yang dihadapi oleh Sneevliet dalam melancarkan propaganda terhadap kaum Dalam organisasi ini Semaun kemudian menjadi aktif dalam serikat buruh kereta api. Aktivitas Semaun sebagai penggerak organisasi buruh kereta api membuatnya tertarik pada upaya kaum revolusioner Eropa atas nama kaum buruh Indonesia yang digerakan oleh Sneevliet. Perjumpaan Semaun diawali ketika Sneevliet menjabat di VSTP (Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel. Melalui perjumpaan tersebut ia kemudian bergabung dalam Indische Sociaal-Democratische Vereeniging, organisasi sosial demokrat Hindia Belanda (ISDV)

cabang Surabaya yang didirikan Sneevliet dan Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel, serikat buruh kereta api dan trem (VSTP) cabang Surabaya

pada tahun 1915. Satu tahun kemudian (1916), Semaun menjabat sebagai wakil ketua cabang ISDV Surabaya, saat itu usianya 17 tahun.

2

Ibid .

3

(57)

paham Marxisme mampu menembus organisasi SI. Dengan demikian, Sneevliet mencoba melakukan metode baru ,“bloc within” yakni keanggotaan ganda, baik dalam ISDV maupun SI.4

Tahun 1916, Semaun meninggalkan pekerjaannya di Staatspoor. Hal ini disebabkan karena Semaun diangkat menjadi propagandis di VSTP Semarang. Dengan kemampuan bahasa Belanda yang baik, Semaun berhasil memperluas hubungan dan pergaulannya melalui media massa. Kedekatan Semaun dengan Sneevliet juga menjadikan faktor yang menyebabkan dirinya menempati posisi penting pada organisasi tersebut.

Kondisi ini terbantu dengan hadirnya Semaun di Semarang pada 1916.

5

Kemampuan dan kepandaian Semaun dalam berbicara tentang organisasinya mendapatkan simpati luas dari banyak kalangan, terutama buruh. Pada saat yang bersamaan juga mulai bermunculan anggota muda SI yang bersimpati pada Semaun, karena selain anggota ISDV dan VSTP ia juga merupakan anggota SI Semarang. Dengan kemampuan bicaranya serta propaganda media massa milik organisasi SI, anggota SI bertambah jumlahnya. Pada 1916 jumlah anggota SI 1.700 orang dan pada 1917 berlipat hingga 20.000 orang.6

4

Soewarsono, op. cit.,hlm 2. Soewarsono mengutip catatan Arnold C. Brackman dalam bukunya Indonesian Comunism : A History, New York: Fredrick A. Praeger, 1963, hlm 7.

5 Ibid. 6

(58)

Saat berada di Semarang, Semaun menjadi redaktur majalah VSTP berbahasa Melayu. Selain itu ia juga menjadi redaktur di berbagai media massa lainnya seperti Sinar Djawa dan Sinar Hindia (keduanya Koran Sarekat Islam Semarang). Posisinya sebagai propagandis menjadikannya ahli dalam bidang pengorganisasian masyarakat melalui media massa. Kejelian dan kecerdasannya dalam melakukan kritik dan intrik serta keberaniannya berkomentar atas kebijakan-kebijakan kolonial membuatnya semakin dikenal.7

Pada tahun 1918, Semaun menjabat sebagai dewan pimpinan di Sarekat Islam. Kondisi perburuhan di Semarang yang umumnya sama dengan kondisi perburuhan lainnya di pulau Jawa menjadi perhatian khusus. Keprihatinan atas ketertindasan yang terjadi di dalam tubuh masyarakat buruh menjadikan Semaun berupaya melakukan advokasi serta menggerakkan pemogokan buruh. Pemogokan terbesar dan cukup berhasil dilaksanakan pada awal tahun 1918. Peristiwa tersebut dihadiri oleh 300 pekerja industri furnitur. Pada tahun 1920, pemogokan besar-besaran di kalangan buruh kembali terjadi, kali ini oleh para buruh industri cetak yang melibatkan SI Semarang, yang berhasil memaksa majikan untuk menaikkan upah buruh sebesar 20 persen dan uang makan 10 persen.8

Semaun, seorang pemuda yang sempat bekerja sebagai pegawai di perusahaan kereta Api Surabaya, sebuah perusahaan yang membawanya C. Semaun dan Pergerakan Buruh

7

Soewarsono. op. cit., hlm 7. 8

(59)

mulai mengikuti organisasi pekerja. Perhatiannya pada kaum pekerja awalnya tampak biasa-biasa saja, namun seiring dengan perjalanan waktu, di mana ia makin dewasa dan semakin kritis terhadap persoalan-persoalan kaum pekerja, Semaun terus bergerak aktif menyuarakan kondisi ketertindasan buruh. Semaun dari usia 14 tahun hingga 27 tahun, secara konsisten mengabdikan dirinya guna memperjuangkan nasib kaum buruh.9

Berdasarkan catatan Mas Marco Kartodikromo dalam tulisan “ Korban Pergerakan Rakyat” pada surat kabar Hidoep tahun 1924 diketahui bahwa, penampilan Semaun dalam berbicara politik adalah pada tahun 1915 di Vergadering dari perhimpunan VSTP Logegebouw Semarang.

10

Nama besar Semaun dimulai sejak masih muda. Pada 6 Mei 1917 ketika masih berusia 19 tahun, ia telah terpilih menjadi Presiden Sarekat Islam Semarang. Salah satu hal yang membuat Semaun terpilih sebagai ketua SI Semarang bermula dari permohonannya, sebagai propagandis, agar pengurus SI Semarang mengadakan debat terbuka mengenai posisi SI Semarang terhadap penahanan Mas Marco karena tulisan “sama rata sama rasa”. Dalam acara debat yang dilangsungkan pada 14 Maret 1917, terjadi perdebatan antara Semaun dengan Mohammad Joesoef selaku ketua SI Semarang di hadapan para anggota SI. Akhir dari perdebatan bukan hanya menghasilkan sebuah sikap bahwa SI Semarang akan mendukung Mas Marco melalui Commite voor de

9

27 tahun terhitung dengan peristiwa prambanan 1926. 10

(60)

Drukpersvrijheid, namun juga menjadi faktor penting yang menghantarkan

Semaun sebagai ketua SI Semarang.11

Di bawah pimpinan Semaun banyak anggota SI yang berasal dari kaum buruh dan rakyat kecil. Pergantian kepengurusan SI ini merupakan bagian pertama dari pergerakan Sarekat Islam Semarang, dari pergerakan kaum menengah menjadi gerakan kaum buruh dan tani. Hal ini menjadi penting, karena awal dari perubahan tersebutlah yang akan membawa Indonesia menuju arah gerakan Marxisme untuk pertama kalinya.12

Meningkatnya sifat revolusioner Sarekat Islam Semarang tidak saja dipengaruhi oleh pergantian kepengurusan saja, namun juga oleh kondisi sosial kemasyarakatan yang ada di Hindia Belanda kala itu. Sejak masuknya modal swasta asing ke tanah Hindia Belanda, maka mulai bermunculan perusahaan, pertambangan, perkebunan, dan pabrik-pabrik asing yang menyewa tanah pribumi dan menjadikan masyarakat di sekelilingnya menjadi buruh. Namun, hadirnya usaha-usaha swasta Barat tidak serta merta menciptakan kemakmuran bagi masyarakat yang bekerja sebagai buruh. Terjadinya transformasi lahan pertanian pangan menjadi lahan bahan baku industri telah menciptakan kelangkaan sumber pangan bagi pribumi. Kondisi memprihatinkan ini merupakan akibat dari sistem kebijakan yang menerapkan free fight competition to exploit Indonesian yang juga merupakan bagian dari liberalisme ekonomi. Kebijakan tersebut telah menjadikan

11

Ibid., hlm 45-46. Data diperloeh dari Soewarsono yang mempergunakan sumber dari majalah Hidoep dengan judul Marco, ”Korban Pergerakan”, halaman 17-21 tahun 1917.

12

(61)

keuntungan besar. Sementara para buruh pribumi terus dipaksa bekerja demi tuntutan produksi dan keuntungan bagi majikan-majikan Belanda. Kondisi buruk ini mendorong Semaun dan organisasinya bertindak kritis, dan melalui berbagai cara berusaha mensikapi ketertindasan masyarakat pribumi dan kebijakan tidak adil pemerintah kolonial. Sikap ini ditunjukkan melalui aksi-aksi massa maupun melalui tulisan-tulisan di media massa.13

Sejak 19 November 1917 Semaun mengambil alih kepemimpinan SI Semarang dan pengelolaan redaksional Sinar Djawa yang dijadikannya sebagai media propaganda. Pada 1 Mei 1918, nama Sinar Djawa diubah menjadi Sinar Hindia. Pengambil-alihan pengelolaan redaksional media massa dilakukan untuk

memperluas gagasan, mengkritisi situasi dan mengajak bertindak melalui organisasi SI Semarang. Hal ini bisa dikatakan berhasil. Perluasan dan penambahan jumlah anggota SI Semarang melonjak drastis. Bila pada tahun 1916 jumlah anggota baru 1.700 orang, maka pada 1917 berlipat ganda menjadi 20.000 orang.14

Sikap politik Semaun yang “keras” dan kepeduliannya yang tinggi terhadap kondisi ketertindasan masyarakat, membuatnya geram dengan perwakilan penduduk pribumi di Volksraad. Hal ini semakin menguat ketika perwakilan pribumi dalam tubuh Volksraad yang disebut Indie Weerbaar D. Semaun dan Sikap Politiknya

13

Soewarsono. op. cit., hlm 46. 14

(62)

hanyalah seperti “wayang” yang dikendalikan oleh Belanda. Ungkapan yang menyatakan bahwa Indie Weerbaar seperti “wayang”, berkaitan dengan sikap perwakilan pribumi dalam Indie Weerbaar tidak mampu memberikan perlawanan dan memperjuangkan nasib masyarakat Hindia Belanda dalam Volksraad.15

Peranan Semaun juga tampak dalam pertemuan Central Sarekat Islam. Dalam setiap kongres CSI, Semaun mengutarakan gagasan-gagasannya. Dalam kongres ke II CSI di Jakarta pada 20-27 Oktober 1917, ia menyampaikan gagasan-gagasannya tentang Marxisme. Dalam forum tersebut Semaun bersama dengan SI Semarang merekomendasikan perjuangan untuk melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan besar.16

Perjumpaan Semaun dengan para tokoh SI lainnya pun tidak selamanya baik. Salah satu perdebatan besar pernah terjadi pada Kongres Nasional Central Sarekat Islam ke-2 di Jakarta. Dalam kesempatan itu, Semaun dengan pandangan Marxisnya berdebat dengan Abdul Moeis yang merupakan utusan Indie Weerbaar tentang masa depan SI. Pada akhir kongres disepakati bahwa Sidang Kongres CSI ke-2 mengambil jalan tengah yaitu menentang kapitalisme jahat. Dalam hal ini berarti ada kapitalisme baik. Namun demikian dalam aturan anggaran dasar yang disusun kongres, jelas tampak adanya pengaruh sosialisme yang merupakan desakan dari kelompok Semaun. Hasil dari kongres CSI ke-2 berupa upaya perlawanan terhadap kolonialisme Belanda melalui hubungan antara agama,

15

Soe Hok Gie, op. cit., hlm 32. 16

(63)

Pada kongres CSI ke-3 disepakati keputusan mengenai sikap menentang kapitalisme dengan cara mengorganisasikan kaum buruh, yang disambut baik oleh SI Semarang. Sikap ini muncul karena SI dari daerah-daerah telah membentuk kesatuan gerakan buruh masing-masing. Kondisi ini juga memicu pertumbuhan akar perjuangan gagasan sosialis revolusioner hingga tahun 1926.

telah cukup matang . Hal ini terbukti dalam banyak perjumpaan ia mampu mempertahankan ideologinya.

18

Dalam kongres, Semaun mengusulkan didirikannya organisasi pusat serikat buruh (vakcentral), tujuannya adalah mempersatukan gerakan buruh di lingkungan serikat pekerja dinas pemerintah dan serikat pekerja Eropa.19

17

Ibid., hlm 37. 18

Ibid., hlm 49.

19

Soewarsono. op. cit., hlm 71.

(64)

Pembentukan Vakcentral yang diusulkan oleh Semaun baru dapat direalisasikan pada pertemuan di Jogjakarta pada 25-26 Desember 1919. Setelah diadakan banyak pertimbangan yang dianalisa tidak hanya dari sudut pandang pergerakan namun juga dampak politis yang dapat mempengaruhi organisasi, maka pada akhirnya disepakatilah nama PPKB (Persatoean Pergerakan Kaoem Boereoeh).20

Pada kongres CSI ke-4 bulan Maret 1921 di Jogjakarta, pembicaraan terfokus pada permasalahan internal. Salah satu pembicaraan yang cukup penting adalah mengenai pertikaian antara Semaun dan Suryopranoto dalam tubuh gerakan buruh.

21

Mensikapi perpecahan di atas CSI dalam kongres ke-4, pada bulan Oktober 1921 di Jogjakarta, setelah melalui perdebatan sengit, melahirkan rekomendasi penting, yakni perlunya disiplin partai (partij disiplince) dalam kepengurusan CSI. Keputusan itu berbunyi, pengurus CSI tidak dapat mera

Gambar

Tabel II.1
Tabel II. 2
Tabel II.4
Tabel II.5
+3

Referensi

Dokumen terkait