• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI (STUDI KOMPARASI HUKUM POSITIF DAN PEMIKIRAN SYEKH MUHAMMAD NAWAWI AL-BANTANI DALAM KITAB UQUDULLIJAIN FI BAYAN HUQUQ AZ-ZAUJAIN) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI (STUDI KOMPARASI HUKUM POSITIF DAN PEMIKIRAN SYEKH MUHAMMAD NAWAWI AL-BANTANI DALAM KITAB UQUDULLIJAIN FI BAYAN HUQUQ AZ-ZAUJAIN) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI

(STUDI KOMPARASI HUKUM POSITIF DAN PEMIKIRAN

SYEKH MUHAMMAD NAWAWI AL-BANTANI DALAM KITAB

UQUDULLIJAIN FI BAYAN HUQUQ AZ-ZAUJAIN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

Putri Isnaini

NIM : 21112014

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI

(STUDI KOMPARASI HUKUM POSITIF DAN PEMIKIRAN

SYEKH MUHAMMAD NAWAWI AL-BANTANI DALAM KITAB

UQUDULLIJAIN FI BAYAN HUQUQ AZ-ZAUJAIN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

Putri Isnaini

NIM : 21112014

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

- Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat begi orang lain.

- ﺪﺟو ﺪﺟ ﻦﻣ

PERSEMBAHAN

Untuk kedua orangtuaku tercinta, Saudara-saudaraku, para dosen Institut Agama

Islam Negeri Salatiga, Sahabat-sahabat seperjuanganku dan semua yang telah

(9)

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha

penyayang. Puji syukur ke hadirat-Nya yang telah memberikan taufiq, hidayah serta

inayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa halangan sesuatupun.

Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan memperoleh

gelar S1 Jurusan Ahwal Al Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam

Negeri Salatiga, selanjutnya dengan hormat penulis mengucapkan terima kasih yang

sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Dr. Rahmad Hariyadi, M. Pd selaku Rektor IAIN Salatiga yang telah

berjasa mengasuh penulis dan berkenan memberikan persetujuan dan pengesahan

terhadap skripsi ini.

2. Bapak Drs. Machfudz, M.Ag, sebagai pembimbing yang telah dengan ikhlas

mencurahkan ilmunya serta meluangkan waktu dan upayanya untuk membimbing

penulis menyelesaikan skripsi ini.

3. Seluruh dosen Institut Agama Islam Negeri Salatiga

4. Ibunda tercinta yang senantiasa memberikan do’a restunya dengan setulus hati

demi keberhasilan putra putrinya.

5. Sahabat-sahabat tercinta yang telah memberikan banyak dukungan dalam

(10)

6. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu

terselesaikannya skripsi ini.

Semoga amal baik dan bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT

sebagai amal saleh. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna,

untuk itu penulis mengharapkan saran serta kritik dari semua pihak. Semoga skripsi

ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun siapa saja yang membacanya. Amin.

Salatiga, 17 Januari 2017

Penulis,

(11)

DAFTAR ISI

SAMPUL... i

LEMBAR BERLOGO ... ii

JUDUL ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

PENGESAHAN KELULUSAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... vi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kegunaan Penelitian... 5

E. Penegasan Istilah ... 6

F. Telaah Pustaka ... 7

G. Metode Penelitian... 8

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan... 8

(12)

3. Metode Anlisis Data ... 10

4. Tahap-Tahap Penelitian ... 11

H. Sisematika Penulisan ... 11

BAB II HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM HUKUM POSITIF A. Pengertian Hak ... 12

1. Hak Suami isteri menurut Hukum Islam ... 12

2. Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam Hukum Positif ... 21

BAB III HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM KITAB UQUDULLIJAIN FI BAYAN HUQUQ AZ-ZAUJAIN A. Biografi Singkat Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani ... 34

1) Latar Belakang Kehidupan Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani . 34 2) Pendidikan Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani ... 36

3) Karya Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani... 38

B. Gambaran Umum Kitab Uqudullijain Fi Bayan Huquq Az-Zaujain ... 41

1. Hak Isteri atas suami ... 43

2. Hak Suami atas Isteri ... 52

BAB IV RELEVANSI HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM KITAB UQUDULLIJAIN TERHADAP HUKUM POSITIF 1. Hak Isteri Atas suami ... 63

2. Hak Suami Atas Isteri ... 70

(13)

BAB V PENUTUP

1. Kesimpulan ... 76

2. Saran ... 77

(14)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Islam membimbing manusia unuk meraih kebahagiaan, ketentraman jiwa

dan kedamaian. Dalam Al-Qur’an dan Hadits selain mengajarkan tentang

hablunminallah juga mengajarkan hablunminannas. Etika pergaulan antara

manusia dengan manusia lain.

Manusia di syariatkan untuk menikah apabila telah mampu melakukannya

baik secara lahir maupun batin. Perkawinan menurut UU No 1 Tahun 1974

Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang wanita dengan

seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dalam rumah tangga, setiap pasangan suami isteri perlu menyadari bahawa

masing-masing mempunyai hak tersendiri. Dalam Islam setiap suami wajib

melayani isterinya dengan baik dan setiap isteri juga wajib taat dan melayani

suami dengan sebaiknya. Islam adalah agama yang sempurna, setiap hukum dan

peraturan yang terdapat bukan hanya memihak kepada lelaki, tetapi juga kepada

isteri dan kesemua pihak. Islam telah menetapkan para suami bertanggungjawab

dalam memimpin rumah tangganya dan memenuhi hak-hak isterinya dan

memerintahkan supaya mereka berlaku baik terhadap isteri mereka sesuai dengan

(15)

Islam mengajarkan agar keluarga dan rumah tangga menjadi institusi yang

aman, bahagia dan kukuh bagi setiap ahli keluarga, karena keluarga merupakan

lingkungan atau unit masyarakat yang terkecil yang berperan sebagai satu

lembaga yang menentukan corak dan bentuk masyarakat. Institusi keluarga harus

dimanfaatkan untuk membincangkan semua hal, ada yang menggembirakan

maupun kesulitan yang dihadapi disamping menjadi tempat menjalin nilai-nilai

kekeluargaan dan kemanusiaan. Kasih sayang, rasa aman dan bahagia serta

perhatian yang dirasakan oleh seorang ahli khususnya anak-anak dalam keluarga

akan memberi kepadanya keyakinan dan kepercayaan pada diri sendiri untuk

menghadapi berbagai persoalan hidupnya.

Keinginan membangun sebuah keluarga yang bahagia dengan tetap

bersendikan agama merupakan dambaan setiap manusia, sehingga dalam

Alqur’an pun Allah SWT mengajarkan kepada hambanya yang tercantum dalam

surat Al-Furqon, ayat 74 yang artinya : “... Dan orang-orang yang berkata

“Wahai Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan

kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam dari

orang-orang yang bertaqwa ...”.

Selain itu, melalui perkawinan, dapat diatur hubungan laki-laki dan wanita

(yang secara fitrahnya saling tertarik) dengan aturan yang khusus. Dari hasil

pertemuan ini juga akan berkembang jenis keturunan sebagai salah satu tujuan

(16)

yang diatasnya didirikan peraturan hidup khusus dan sebagai konsekuensi dari

sebuah perkawinan.

Dalam mengarungi samudera kehidupan rumah tangga tidaklah semudah apa

yang kita bayangkan, tidak jarang sebuah rumah tangga terhempas gelombang

badai yang akhirnya berdampak bagi keharmonisan keluarga. Tidak sedikit

keluarga yang akhirnya tercerai berai tak tentu arah akibat hempasan gelombang

badai, namun tidak sedikit juga keluarga yang tetap kokoh melayari samudera

kehidupan rumah tangga karena mampu menjaga keharmonisan keluarga.

Keharmonisan keluarga merupakan dambaan setiap orang yang ingin

membentuk keluarga atau yang telah memiliki keluarga, namun masih banyak

yang kesulitan dalam membangun keharmonisan keluarga. Kitab Uqudulijain

karya Syeikh Muhammad Bin Umar An-Nawawi, yang berjudul asli Syarhu

Uqudullijain fi Bayani Huquqi Az-Zaujaini, merupakan salah satu kitab pegangan

atau panduan suami istri dalam dalam rumah tangga. Kitab ini berisi bagaimana

seorang suami maupun istri seharusnya menjalankan hak dan kewajibannya satu

sama lain. Kehadiran kitab ini tentu saja diharapakan mampu membekali

pasangan suami istri dalam menjalankan roda rumah tangga.

Sedangkan di Indonesia sendiri peraturan mengenai Perkawinan di atur

dalam Undang-undang No 1 tahun 74. Dasar pertimbangan yang digunakan

dalam mengeluarkan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

adalah sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum

(17)

berlaku bagi seluruh warga Republik Indonesia. Undang-undang perkawinan

terdiri dari 14 bab dengan 67 pasal. Dalam Undang-undang perkawinan mengatur

hak dan kewajiban suami isteri dalam bab V pasal 30 sampai dengan pasal 34.

(Subekti, 1984: 547-548)

Selain itu diatur pula dalam KHI, KHI adalah suatu himpunan kaidah-kaidah

hukum Islam yang di susun secara sistematis selengkap mungkin dengan

berpedoman pada rumusan kalimat-kalimat atau pasal-pasal yang lazim

digunakan dalam peraturan perundang-undangan. (Eman, 47)

Salah satu sebab kemunculan KHI adalah, karena hukum materiil dari

peradilan Agama masih variatif dalam berbagai kitab fiqih sebagai pedoman

dalam mengambil keputusan oleh para hakim. Hal ini membuka peluang bagi

terjadinya pembangkangan bagi orang yang kalah dalam berperkara seraya

menanyakan pendapat yang dipakai dengan menunjukkan kitab lain sebagai

penyelesaian perkara untuk memenangkan perkaranya. Inilah sebab kemunculan

KHI agar orang dalam berperkara memiliki hukum positif dan kongkrit, karena

pada hakekatnya peradilan Agama itu sendiri telah lahir dari lebih dari se-abad

lamanya. (Djamil, 1983: 9-10)

Berangkat dari sinilah penulis merasa tertarik untuk meneliti sejauh mana

kitab Uqudullijain mendeskripsikan apa dan bagaimana seharusnya hak dan

kewajiban suami istri dijalankan, sejauh mana kitab tersebut dan menjadi

referensi dalam menyelesaikan permasalahan-permasalah kerumah tanggaan.

(18)

Indonesia untuk itu penulis melakukan penelitian dengan judul “Hak Suami Isteri

(Studi Komparasi Hukum Positif dan Pemikiran Syekh Muhammad Nawawi

Al-Bantani dalam kitab Uqudullijain fi Bayan Huquq Az-Zaujain)”

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan pokok masalah

yang akan dikaji dalam penyusunan skripsi ini yaitu:

1. Bagaimana Komparasi Hak dan Kewajiban Suami isteri dalam kitab

Uqudullijain dan Hukum Positif?

2. Bagaimana Relevansi Hak dan Kewajiban Suami Isteri menurut Syekh

Nawawi dalam kitab Uqudullijain terhadap Hukum Positif?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan:

1. Menjelaskan Hak dan Kewajiban Suami isteri dalam kitab Uqudullijain dan

Hukum Positif.

2. Menjelaskan Relevansi Hak dan Kewajiban Suami Isteri menurut Syekh

(19)

D. MANFAAT PENELITIAN

Kegunaan atau manfaat dari penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu sebagai

berikut:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wacana mengenai kriteria

perempuan yang baik dalam pernikahan serta memperkaya bahan pustaka bagi

Institut Agama Islam Negeri Salatiga

2. Secara Praktis

Sebagai tambahan pengetahuan untuk umat islam mengenai kriteria

pemilihan isteri menurut pendapat kitab Uquddulijain fi Bayan Huquq Al

Zaujain Karya Syaikh Muhammad Bin Umar Nawawi Al Bantani. Hal ini

diharapkan dapat membantu para mahasiawa dan masyarakat muslim dalam

memahami hak-hak dan kewajiban yang ditimbulkan setelah diadakannya

akad perkawinan.

E. PENEGASAN ISTILAH

1. Hak

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia hak berarti sesuatu hal yang

benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan yang benar atas sesuatu atau

untuk menuntut sesuatu,derajat atau martabat.

(20)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kewajiban berarti sesuatu

yang wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu yang harus dilaksanakan).

3. Kitab Uqudullijain fi Bayan Huquq Az Zaujain

Menurut Wikipedia ‘Uqud al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain

merupakan salah satu kitab karya Syarh Muhammad Bin Umar Nawawi Al

Jawi yang terkenal. Kitab ini berisi tentang etika berumah tangga yaitu hak

dan tanggung jawab suami isteri.

F. TELAAH PUSTAKA

Sebelumnya, penelitian semisal juga pernah diadakan oleh beberapa peneliti.

Diantaranya, skripsi “Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Perspektif Hukum

Islam (Studi Nilai Keadilan Gender Terhadap Kewajiban Mendidik Anak)” oleh

Yeni Fauziyah (2005) yang mengupas pembahasan hak dan kewajiban suami istri

dalam Islam, konsep kesetaraan gender dalam Islam dan pembagian peran antara

suami dan istri dalam mendidik anak. Dalam penelitian tersebut, isi lebih

dititikberatkan pada kesetaraan gender serta pembagian peran dalam mendidik

anak.

Skripsi kedua yaitu “Seks dalam Islam (Studi Analisis Pemikiran Imam

Nawawi al-Bantani dalam Kitab Uqudullijain Perspektif Nilai Gender)” oleh

Lukman Fahmi (2004) yang mengupas tentang seks dalam perspektif Islam, seks

dalam perspektif Imam Nawawi, dan tinjauan nilai adil gender terhadap seks

(21)

Skripsi lain “Hak Dan Kewajiban Suami Istri Dalam Kitab Uqudullijain

Karya Syeikh Muhammad bin Umar an- Nawawi al-Bantany dan Aplikasinya Di

Dukuh Krasak, Ledok, Argomulyo, Salatiga” merupakan penelitian lapangan

(field research) dan menitikberatkan pada realita kerumahtanggan apa sajakah

yang ditemukan di masyarakat dan sejauh mana relevansi penerapan kitab

Uqudullijain dalam fenomena masyarakat tersebut. Sebagai tambahan, buku

semisal Uqudullijain yang berkaitan dengan membina kehidupan Rumah tangga

juga ditulis oleh M. Nipan Abdul Halim berjudul “Membahagiakan Istri Sejak

Malam Pertama” (2005).

Sedangkan skripsi penulis yang berjudul “Hak Suami Isteri (studi komparasi

Undang-undang dan Pemikiran Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam

kitab Uqudullijain fi Bayan Huquq Az-Zaujain) lebih membandingkan pendapat

dari ulama tersebut dengan Undang-undang yang ada di Indonesia.

G. METODOLOGI PENELITIAN

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian hasil kajian

pustaka (library research) terhadap Kitab Uqudullijain fi bayan Huquq Az

Zaujain Karya Syekh Muhammad Bin Umar Nawawi Al Bantani. Oleh karena

itu sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari

(22)

2. Sumber Data

a. Data Primer

Sumber data primer yaitu sumber data yang berkaitan langsung

dengan objek riset. (Dhahara, 1980: 60) Adapun sumber data primer ini

adalah kitab Uqudullijain karya Syaikh Muhammad Nawawi.

b. Data Sekunder

Dalam penelitian ini penulis tidak dapat terlepas dari sumber dan

karya penulis lain, meskipun yang diteliti hanya karya seorang tokoh saja.

Kitab dan karya orang lain ini berupa kitab-kitab fiqih, hadits, tafsir, karya

para ulama, serta literatur lainnya yang membahas tentang kesehatan

reproduksi.

3. Metode Anaisis Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa metode untuk

mendapatkan data yang bisa dipertanggung jawabkan. Metode-metode

tersebut diantaranya:

a. Content analisis

Content analisis adaah studi analisis ilmiah tentang isi pesan.

(Noeng Muhajir, 1993:49). Penulis melakukan analisis terhadap pendapat

kitab Uqudullujain fi Bayan Huquq Az-Zaujain tentang Hak-hak suami

isteri dalam perkawinan serta di kaitkan dengan Undang-undang di

(23)

H. TAHAP-TAHAP PENELITIAN

Ada beberapa langkah penelitian:

1. Mementukan tema penelitian.

2. Mencari sumber data kitab.

3. Mencari referensi buku yang berkaitan dengan penelitian.

4. Mengumpulkan data.

5. Melakukan analisis menggunakan referensi yang diperoleh.

I. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika pembahasan penelitian ini dibagi menjadi lima bab, yang berisi

hal-hal pokok yang dapat dijadikan pijakan dalam memahami isi penelitian ini.

Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bagian ini berisi uraian tentang Latar Belakang Masalah, Fokus Penelitian,

Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Metode Penelitian dan

Sistematika Penulisan.

BAB II HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM HUKUM POSITIF

Bagian ini berisi tentang teori-teori yang mendukung permasalahan berupa

penjelasan tentang Pengertian Hak-hak secara umum, Hak suami isteri.

BAB III HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM KITAB

(24)

Bagian ini berisi pendapat Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam

kitab Uqudullujain Fi bayang Huquq Az-Zaujain yang terdiri dari: biografi

singkat Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Pendapat Kitab Uqudulujain

terhadap hak-hak suami isteri dalam perkawinan.

BAB IV RELEFANSI HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM

KITAB UQUDULLIJAIN TERHADAP HUKUM POSITIF

Dalam bab ini akan di bahas mengenai perbandingan pendapat kitab

Uquduujain terhadap hak dan kewajiban dalam perkawinan dan hukum positif,

dan relevansinya dalam masa kini

BAB V PENUTUP

Bagian ini merupakan bagian terakhir yang terdiri dari kesimpulan,

(25)

BAB II

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM HUKUM POSITIF

A. Pengertian Hak

Secara etimologis hak berarti milik: ketetapan dan kepastian, seperti yang

terdapat pada surah yassin (36) ayat 7 yang artinya: “Sesungguhnya telah berlaku

perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak

beriman”.(Dahlan, 1997: 486)

Ada pula pengertian hak yang dikemukakan oleh beberapa ulama’ fiqih.

Menurut sebagian ulama’ muta’akhirin hak yaitu, suatu hukum yang telah

ditetapkan secara syara’. Lalu Syekh Ali Al-Khafifi (ahli fiqih asal mesir) juga

mengartikan bahwa hak adalah sebagai kemaslahatan yang diperoleh secara syara’.

(Dahlan, 1997: 486)

Jadi pengertian hak adalah kewenangan yang di miliki oleh semua orang, dan

orang itu dapat berbuat apa saja asal tidak bertentangan dengan Undang-undang

yang berlaku, ketertiban umum dan keputusan. Hak dan Kewajiban Suami Isteri

Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

1. Hak Suami Isteri menurut Hukum Islam

Perkawinan merupakan suatu cara yang disyari’atkan Allah SWT

(26)

hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang

positif dalam rangka merealisir tujuan perkawinan. (Sayyid, 1994: 486) Jika

akad nikah telah sah maka akan menimbulkan akibat hukum dan dengan

demikian akan menimbulkan pula hak dalam kapasitasnya sebagai suami-isteri.

Adapun hak suami isteri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Hak isteri atas suami

1) Mahar

Mahar merupakan pemberian yang dilakukan seorang calon suami

kepada calon isterinya dalam bentuk apapun baik berupa uang maupun

barang (harta benda). (Sulaiman, 365)

Allah berfirman:

ًﺊﻳِﺮَﻣ ﺎًﺌﻴِﻨَﻫ ُﻩﻮُﻠُﻜَﻓ ﺎًﺴْﻔَـﻧ ُﻪْﻨِﻣ ٍءْﻲَﺷ ْﻦَﻋ ْﻢُﻜَﻟ َْﱭِﻃ نِﺈَﻓًﺔَﻠِْﳓ ّﻦِِﺗﻬﺎَﻗُﺪَﺻَءﺎَﺴﱢﻨﻟا اﻮُﺗاَءَو

Artinya:”Berikanlah mas kawin mahar kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”.(Q.S An Nisa’:4)

Kuantitas mahar tidak ditentukan oleh syari’at Islam, hanya menurut

kemampuan suami yang disertai kerelaan dari sang isteri. (Sulaiman: 107)

Hal ini disebabkan adanya perbedaan status sosial ekonomi masyarakat,

ada yang kaya ada yang miskin, lapang dan sempitnya rezeki, itulah

(27)

status social ekonomi masyarakat berdasarkan kemampuan masing-masing

orang atau keadaan dan tradisi keluarganya.

2) Nafkah

Para ulama’ sependapat bahwa diantara hak isteri terhadap suami

adalah nafkah. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt:

ْﻟا ﻰَﻠَﻋَو

َو ﱠﻦُﻬُـﻗْزِر ُﻪَﻟ ِدﻮُﻟْﻮَﻤ

ِﻛ

ِفوُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ ﱠﻦُﻬُـﺗَﻮْﺴ

Artinya:”Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada

para ibu dengan cara yang ma’ruf”. (Q.S. Al–Baqoroh: 233)

Menurut Sayyid Sabiq, bahwa yang dimaksud dengan nafkah adalah

memenuhi kebutuhan makan tempat tinggal (dan kalau ia seorang yang

kaya maka pembantu rumah tangga dan pengobatan istri juga masuk

nafkah). (Sayyid, 1994: 115) Hal ini dikarenakan seorang perempuan yang

menjadi isteri bagi seorang suami mempergunakan segala waktunya untuk

kepentingan suaminya dan kepentingan rumah tangganya.

Nafkah rumah tangga merupakan hal yang sangat penting dalam

membentuk keluarga yang sejahtera, sehingga kebutuhan pokok manusia

terpenuhi. Adapun kuantitas nafkah yang diberikan suami kepada isterinya

(28)

ُﺚْﻴَﺣ ْﻦِﻣ ّﻦُﻫﻮُﻨِﻜْﺳَأ

ِﺪْﺟُو ْﻦِﻣ ْﻢُﺘْﻨَﻜَﺳ

ُﻛ

ْﻢ

Artinya:”Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu”. (Q.S.At-Thalaq: 6)

Nafkah diberikan suami kepada isteri dalam sebuah ikatan perkawinan

yang sah, yang masih berlangsung dan isteri tidak nusyuz (durhaka). Atau

karena hal-hal lain yang menghalangi istri menerima belanja (nafkah).

3) Memperlakukan dan menjaga isteri dengan baik

Suami wajib menghormati, bergaul dan memperlakukan isterinya

dengan baik dan juga bersabar dalam menghadapinya. (Sayyid, 1994;

126)Bergaul dengan baik berarti menjadikan suasana pergaulan selalu indah

dan selalu diwarnai dengan kegembiraan yang timbul dari hati kehati sehingga

keseimbangan rumah tangga tetap terjaga dan terkendali. (Abdul, 1990: 65)

Allah S.W.T. telah berfirman:

ْنِﺈَﻓ ِفوُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ ﱠﻦُﻫوُﺮِﺷﺎَﻋَو

َﻛ

َْﳚَو ﺎًﺌْﻴَﺷ اﻮُﻫَﺮْﻜَﺗ ْنَا ﻰَﺴَﻌَـﻓ ﱠﻦُﻫﻮُﻤُﺘْﻫِﺮ

ِﻪﻴِﻓ ُﻪﻠﱠﻟا َﻞَﻌ

اًﲑِﺜَﻛ اًﺮْـﻴَﺧ

(29)

Bergaul dengan cara yang baik berarti memperlakukan dan

menghormati dengan cara yang wajar, memperhatikan kebutuhan isterinya,

menahan diri dari sikap yang tidak menyenangkan iseteri dan tidak boleh

berlaku kasar terhadap isterinya. Hal ini telah diajarkan oleh nabi Muhammad

sebagai berikut:

َﻪْﺟَﻮﻟا ُبﺮْﻀَﻳ َﻻَو َﻲِﺴُﺘْﻛااَذِاﺎَﻫْﻮُﺴْﻜَﻳَو َﻢَﻌَﻃاَذِاﺎَﻬَﻤِﻌْﻄُﻳ ْنَا ِجْو ﱠﺰﻟا ﻲَﻠَﻋِةَءْﺮَﳌا ﱡﻖَﺣ

ِﺖْﻴَـﺒﻟا ِﰲ ﱠﻻِا ُﺮُﺠْﻬَـﻳ َﻻَو ُﺢﱢﺒَﻘُـﻳ َﻻَو

”Hak isteri kepada suami adalah memberi makan kepada isterinya apabila ia makan, memberi pakaian kepadanya jika dia berpakaian, tidak memukul pada muka dan tidak berbuat jelek serta tidak memisahkan diri kecuali dari tempat tidur”.

Seorang suami tidak boleh memarahi isteri sekalipun sang isteri

memiliki kekurangan-kekurangan, namun suami tidak boleh mengungkit

ungkit apa yang menjadi kelemahan isterinya karena dibalik

kekurangankekurangan yang ada pada isterinya terdapat kelebihan-kelebihan

yang dipunyai oleh isterinya. Di samping itu totalitas waktu isterinya

tercurahkan oleh ketaatanya kepada suami.

b. Hak suami atas isteri

(30)

1) Suami ditaati oleh isteri

Isteri wajib mentaati suami selama dalam hal-hal yang tidak maksiyat.

Istri menjaga dirinya sendiri dan juga harta suaminya, menjauhi diri dari

mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suaminya, tidak cemberut

dihadapan dan tidak menunjukkan keadaan tidak disenangi oleh suaminya.

(Sayyid, 1994: 134)Isteri hendaknya taat kepada suaminya dalam

melaksanakan urusan rumah tangganya selama suami menjalankan

ketentuan-ketentuan berumah tangga. (Huzaemah, 1990:80-81)Hal ini berdasarkan

firman Allah SWT sebagai berikut:

ُﻪّﻠﻟا َﻆِﻔَﺣ ﺎَِﲟ ِﺐْﻴَﻐْﻠِﻟ ٌتﺎَﻈِﻓﺎَﺣ ٌتﺎَﺘِﻧﺎَﻗ ُتﺎَِﳊﺎﱠﺼﻟﺎَﻓ

”…Sebab itu maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah, lagi memelihara diri dibalik pembelakangan suaminya oleh karena Allah telah memelihara”.(Q.S.An- Nisa’: 34)

Yang dimaksud taat dalam ayat ini ialah patuh kepada Allah SWT dan

kepada suaminya. Perkataan “taat” bisanya hanya digunakan oleh Allah.

Tetapi dalam ayat ini digunakan untuk suami juga, hal ini menggambarkan

bagaimana sikap isteri yang baik terhadap suaminya. Allah menerangkan

isteri harus berlaku demikian karena suami itu telah memelihra isterinya

(31)

Yang dimaksud menjaga dirinya di belakang suaminya adalah

menjaga dirinya diwaktu suaminya tidak ada, tanpa berbuat khianat

kepadanya baik mengenai diri atau harta bendanya. (Sayyid, 1994: 134)

Seorang isteri harus mentaati serta berbakti dan mengikuti segala yang

diminta dan dikehendaki suaminya asalkan tidak merupakan suatu hal yang

berupa kemaksiatan.

Isteri tidak memasukkan orang yang dibenci oleh suaminya kedalam

rumahnya kecuali dengan izin suaminya, isteri wajib memelihara diri di balik

pembelakangan suaminya, terutama apabila suami bepergian, jangan

sekali-kali isteri melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kecurgaan suami,

sehingga suami tidak merasa tenteram pikiranya dalam bepergian.

c. Hak bersama suami isteri

Diantara hak bersama suami dengan isteri adalah antara lain sebagai

berikut:

1) Halalnya pergaulan

Suami-isteri sama-sama mempunyai hak untuk menggauli sebagai

pasangan suami-isteri dan memperoleh kesempatan saling menikmati atas

dasar saling memerlukan Hal ini tidak dapat dilakukan secara sepihak saja.

(32)

Allah Swt telah berfirman:

ﱠﻦُﻫ

ٌسﺎَﺒِﻟ

َو ْﻢُﻜًّﻟ

َا

ٌسﺎَﺒِﻟ ْﻢُﺘْـﻧ

ﱠﻦَُﳍ

”Mereka (para isteri) adalah pakaian bagimu dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka”. (Q.S. Al- Baqarah: 187)

2) Hak saling memperoleh harta waris

Sebagai salah satu dampak dari perkawinan yang sah bila salah

seorang meninggal dunia, suami sebagai pemimpin yang bertanggung jawab

dan mencukupi nafkah serta keperluan hidup isterinya maka bila Istrinya

mati dengan meninggalkan harta pusaka, sang suami berhak mendapatkan

harta warisan. Demikian pula isteri sebagai kawan hidup yang sama-sama

merasakan suka-duka hidup berumah tangga dan berkorban membantu

suaminya, maka adillah kiranya bila isteri diberi bagian yang pasti dari harta

peninggalan suaminya. (Sayyid, 1994: 48)

3) Hak timbal balik

Dalam kehidupan rumah tangga, salah satu kriteria ideal untuk

mencapai keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah adalah suami

sebagai pemimpin bagi keluarganya memimpin istrinya untuk mendidik dan

(33)

bahwa Allah S.W.T. telah menyebut laki-laki merupakan sosok pemimpin

bagi perempuan, hal ini tersebut dalam firmanNya:

اﻮُﻘَﻔْـﻧَأ ﺎَِﲟَو ٍﺾْﻌَـﺑ ﻰَﻠَﻋ ْﻢُﻬَﻀْﻌَـﺑ ُﻪﱠﻠﻟا َﻞﱠﻀَﻓ ﺎَِﲟ ِءﺎَﺴﱢﻨﻟا ﻰَﻠَﻋ َنﻮُﻣاﱠﻮَـﻗ ُلﺎَﺟﱢﺮﻟا

”Laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.

Sebagai pemimpin bagi isteri dan keluarganya maka suami wajib

memberikan bimbingan dan pendidikan kepada isterinya dan keluarganya

agar tidak terjerumus ke dalam lembah kemaksiatan dan kehinaan. (Abdul:

62) Hal ini telah jelas diterangkan oleh Allah dalam firman-Nya:

ْﻢُﻜَﺴُﻔْـﻧَااْﻮُـﻗاْﻮُـﻨَﻣَا َﻦْﻳِﺬﱠﻟاﺎَﻬﱡـﻳَﺎَﻳ

ًرﺎَﻧ ْﻢُﻜْﻴِﻠْﻫَاَو

ا

”Wahai Orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.

Sedangkan isteri sebagai seorang yang dipimpin oleh suaminya

hendaklah taat dan patuh terhadap perintah suaminya (selama perintah

suaminya tidak dalam hal kemaksiyatan), isteri hendaknya mengerjakan

perintah suami dengan sabar dan tenang.(Abdul, 72)

Demikian timbal-balik antara suami-isteri dalam memperoleh haknya

(34)

Inilah kriteria ideal sebagai simbiosis mutualisme (hubungan ketergantungan

yang saling menguntungkan) dalam rumah tangga.

2. Hak dan Kewajiban Suami-Istri Menurut Hukum Positif

a. Menurut Undang-Undang Perkawinan

Negara Indonesia merupakan negara yang mendasarkan segala kegiatan

kehidupan pada peraturan perundang-undangan hukum yang berlaku dengan

ancaman akan dikenakan suatu sanksi atau tindakan apabila melanggarnya.

(Badri, 1985: 11) Salah satu produk Nasional adalah pada tanggal 7 januari

tahun1974, disahkannya Undang-undang perkawinan, yaitu Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 yang dimuat dalam lembaran negara

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, tambahan lembaran negara republik

Indonesia Nomor 3019 Tahun 1974. Undang-undang perkawinan tersebut pada

penerapanya dirasakan sudah mantap sekalipun masih di perlukan upaya lain

untuk mempertahankan eksistensinya dalam pengakuan hukum perkawinan.

(Badri, 1985: 208)

Adapun dasar hukum di keluarkanya Undang-undang nomor 1 tahun

1974 tentang perkawinan diantaranya adalah Undang-undang dasar 1945 pasal

5 ayat 1(satu), pasal 20 ayat 1(satu) pasl 27 ayat 1(satu) dan pasal 29. Selain itu

sebagai dasar hukum di keluarkanya undang-undang nomor 1 tahun 1974

(35)

garis-garis besar halauan negara (GBHN) yang berisi landasan, modal dasar

agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pembinaan keluarga

sejahtera dan hukum. (Kansil, 1982: 207)

Sedangkan dasar pertimbangan yang digunakan dalam mengeluarkan

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah sesuai dengan

falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional sehingga

perlu dikeluarkanya Undang-undang tentang perkawinan yang berlaku bagi

seluruh warga Republik Indonesia. Undang-undang perkawinan terdiri dari 14

bab dengan 67 pasal. Dalam Undang-undang perkawinan mengatur hak dan

kewajiban suami isteri dalam bab V pasal 30 sampai dengan pasal 34. (Subekti,

1984: 547-548)

Undang-undang perkawinan tahun 30 menyatakan: ”Suami-istri

memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi

sendi dasar dari susunan masyarakat”.

Undang-undang perkawinan pasal 31 mengatur tentang kedudukan

suami-isteri yang menyatakan:

(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam

masyarakat.

(36)

(3) Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga.

Inilah yang membedakan antara hukum perkawinan dengan

Undang-undang hukum perdata. Di dalam Undang-Undang-undang perkawian menyatakan

secara tegas bahwa kedudukan suami isteri itu seimbang, dalam melakukan

perbuatan hukum. Sedangkan dalam hukum perdata apabila izin suami tidak

diperoleh karena ketidak hadiran suami atau sebab-sebab lainya, pengadilan

dapat memberikan izin kepada isteri untuk menghadap hakim dalam

melakukan perbuatan hokum. (Lili, 1991: 185-186)

Undang-undang perkawinan mengatakan dengan tegas bahwa suami

adalah kepala rumah tangga, berbeda dengan hukum adat dan hukum Islam.

Menurut R. Wirdjona Prodjodikoro yang dikutip oleh Lili Rasjidi, menyatakan

bahwa dalam hukum adat dan hukum Islam tidak menyatakan secara tegas.

Kemudian pasal 32 Undang-undang perkawinan menerangkan:

(1) Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tepat.

(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini

ditentukan oleh suami-isteri bersama.Tempat kediaman dalam ayat (1)

dalam artian tempat tinggal atau rumah, yang bisa di tempati pasangan

suami-isteri dan juga anak-anak mereka.

Pasal 30 Undang-undang perkawinan merupakan prolog bagi pasal 32,

(37)

kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi

dasar dari susunan masyarakat. Oleh karena itu, mereka (suami-isteri) harus

mempunyai tempat kediaman yang tetap yang ditentukan bersama, di samping

mereka (suami-isteri) harus saling mencintai, hormat-menghormati dan saling

memberi bantuan secara lahir dan batin. Suami sebagai kepala rumah tangga

melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga

sesuai dengan kemampuan sang suami. Demikian pula isteri dia wajib

mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Kemudian apabila salah satu

dari keduanya melalaikan kewajibannya, mereka dapat menuntut ke

pengadilan di wilayah mereka berdomisili. (Lili, 1991: 127) Hal ini sesuai

dengan pasal 33 dan pasal 34 Undang-undang Perkawinan.

Pada pasal 33 Undang-undang perkawinan menerangkan bahwa

suami-istri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati, setia memberi

bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.

Sedangkan pasal 34 Undang-undang perkawinan menegaskan:

(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu

keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuanya.

(2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya

(3) Jika suami atau istrei melalaikan kewajibannya masing-masing dapat

(38)

Kewajiban suami dalam pasal 34 ayat (1) menegaskan suami wajib

melindungi isteri dan keluarganya, yaitu memberikan rasa aman dan nyaman,

dan isteri wajib mengurus urusan rumah tangga sebaik mungkin. Jika

keduanya malakukan sesuatu yang akibatnya melalaikan kewajibanya maka

baik isteri atau suaminya maka dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.

b. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Menurut HM.Tahir Azhari sebagai mana dikutip oleh Eman Sulaeman

dalam hasil penelitianya “hukum kewarisan dalam KHI di Indonesia-studi

tentang sumber-sumber hukum” bahwa yang dimaksud dengan KHI adalah

suatu himpunan kaidah-kaidah hukum Islam yang di susun secara sistematis

selengkap mungkin dengan berpedoman pada rumusan kalimat-kalimat atau

pasal-pasal yang lazim digunakan dalam peraturan perundang-undangan.

(Eman, 47)

Salah satu sebab kemunculan KHI adalah, karena hukum materiil dari

peradilan Agama masih variatif dalam berbagai kitab fiqih sebagai pedoman

dalam mengambil keputusan oleh para hakim. Hal ini membuka peluang bagi

terjadinya pembangkangan bagi orang yang kalah dalam berperkara seraya

menanyakan pendapat yang dipakai dengan menunjukkan kitab lain sebagai

penyelesaian perkara untuk memenangkan perkaranya. Inilah sebab

(39)

kongkrit, karena pada hakekatnya peradilan Agama itu sendiri telah lahir dari

lebih dari se-abad lamanya. (Djamil, 1983: 9-10)

Kemunculan Kompilasi Hukum Islam mengatur hak dan kewajiban

suami-isteri dalam bab VII pasal 77 sampai dengan pasal 84. Pasal 77

Kompilasi Hukum Islam menyatakan:

(1) Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan keluarga

yang sakinah, mawadah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan

masyarakat.

(2) Suami-istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan

memberi bantuan lahir batin yang satu dengan yang lain.

(3) Suami-isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara

anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun

kecerdasan dan pendidikan agamanya.

(4) Suami-istri wajib memelihara kehormatanya

(5) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibanya, masing-masing dapat

mengajukan gugatan ke pengadilan agama.

Adapun pasal 78 KHI menjelaskan:

(1) Suami-istri harus mempunyai kediaman yang sah.

(2) Rumah kediaman yang dimaksud oleh ayat (1) ditentukan oleh suami isteri

(40)

Dalam Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang kedudukan

Suami-isteri terdapat dalam pasal 79, yaitu:

(1) Suami adalah kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga.

(2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami

dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama masyarakat.

(3) Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.

Pasal 80 KHI menjelaskan tentang kewajiban suami terhadap isteri dan

keluarganya, yaitu:

(1) Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi

mengenai hal-hal urusan rumah- tangga yang penting di putuskan oleh

suami-isteri bersama.

(2) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan sesuatu keperluan hidup

berumah tangga sesuai dengan kemampuanya.

(3) Suami wajib memberikan pendidikan dan kesempatan belajar pengetahuan

yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.

(4) Sesuai dengan penghasilan suami menanggung:

a) Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.

b) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan

(41)

c) Biaya pendidikan anak.

(5) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut dalam ayat (4) huruf a dan

b diatas berlaku sesudah ada tamkin dari istrinya.

(6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya

sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.Kewajiban suami

sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.

KHI Pasal 81 terdiri atas empat ayat yang menjelaskan tentang tempat

kediaman yang menyatakan:

(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau

bekas isteri yang masih dalam masa iddah

(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam

ikatan atau dalam iddah talak atau iddah wafat.

(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari

gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram.

(4) Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan,

sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah-tangga.

(5) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya

serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa

(42)

Dalam pasal 82 KHI menerangkan tentang kewajiban suami yang beristeri

lebih dari seorang, yaitu:

(1) Suami yang mempunya isteri lebih dari seorang berkewajiban memberi

tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang

menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing

isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.

(2) Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isterinya

dalam satu tempat kediaman.

Pasal 83 dan pasal 84 KHI menjelaskan tentang kewajiban isteri terhadap

suaminya, yaitu:

(1) Kewajiban utama bagi seorang isteri adalah berbakti lahir dan batin di dalam

batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam

(2) Isteri menyelanggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga seharihari

dengan sebaik-baiknya.

Pasal 84

(1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika Ia tidak mau melaksanakan

kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan

(43)

(2) Selama isteri dalam keadaan nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya

tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal

untuk kepentingan anaknya.

(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah isteri

tidak nusyuz.

(4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan

atas bukti yang sah.

Agar tidak dianggap nusyuz maka isteri harus melaksanakan kewajiban

dalam rumah tangga yaitu, berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam

batas-batas yang di benarkan oleh hokum Islam. Di samping itu isteri berkewajiban

pula menyelenggarakan pula dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari

dengan sebaik-baiknya.

B. Terwujudnya Keluarga Sakinah dalam Pemenuhan Hak dan Kewajiban

Suami-Isteri

Tujuan utama kehidupan rumah tangga ialah mencapai ketenangan,

kedamaian, ketentraman dan kebahagiaan hidup lahir batin di atas jalinan kasih

sayang antara suami-isteri. Keluarga sakinah adalah sebuah keadaan rumah tangga

yang para anggotanya memperoleh ketenangan dan kebahagiaan lahir batin,

mengantar kemungkinan berkembangnya cinta dan sayang dalam keluarga.

(44)

ْﻦِﻣَو

ِﺴُﻔْـﻧَأ ْﻦِﻣ ْﻢُﻜَﻟ َﻖَﻠَﺧ ْنَأ ِﻪِﺗﺎَﻳاَء

َﺔَْﲪَرَوًةﱠدَﻮَﻣ ْﻢُﻜَﻨْـﻴَـﺑ َﻞَﻌَﺟَو ﺎَﻬْـﻴَﻟِإ اﻮُﻨُﻜْﺴَﺘِﻟ ﺎًﺟاَوْزَﺄْﻤُﻜ

َنوُﺮﱠﻜَﻔَـﺘَـﻳ ٍمْﻮَﻘِﻟ ٍتﺎَﻳ َﻵ َﻚِﻟَذ ِﰲ ﱠنِإ

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. Ar-ruum : 21)

Dalam pembentukan keluarga yang sakinah didasarkan pada dua unsur

pokok, yaitu moril dan materiil. Unsur moril menggambarkan sikap pergaulan

antara suami-isteri yang meliputi:

Pertama, Tahabub yakni sikap saling mencintai, mengasihi dan menghargai

satu sama lain, bila sikap ini ada maka segala beban yang harus di emban menjadi

ringan.

Kedua, Taawun yakni sikap tolong menolong, isi mengisi dan saling

melengkapi. Tidak ada manusia yang sempurna, maka suami-isteri harus

menyadari hal ini serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ketiga, Tasyawur yakni apabila suami-isteri akan berbuat sesuatu, mereka

hendaknya saling terbuka dan musyawarah dengan akal sehat untuk mencari kata

(45)

seharusnya dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan bertawakal kepada

Allah.

Keempat, Taaffi yakni saling memaafkan, di mana suami-isteri asalnya

sama-sama orang lain yang berbeda keinginan yang kadangkala satu sama lain

sering bertentangan. Agar bahtera rumah tangga berjalan dengan baik, maka

suami-isteri hendaknya tidak mengumpulkan perbedaan, akan tetapi memilih

persamaan-persamaan. Karena itu suami-isteri harus terjalin sikap saling

memaafkan.

Adapun unsur materiil banyak menggambarkan kebendaan yang dibutuhkan

dalam kehidupan rumah tangga demi terbinanya keluarga yang kekal, bahagia dan

sejahtera. Unsur ini meliputi pangan, sandang papan / tempat tinggal, pendidikan,

kesehatan dan hiburan. Semua orang pasti merindukan kebahagiaan, rumah tangga

yang ideal (sakinah) sebagaimana gambaran di atas, keluarga yang senantiasa

dihiasi gelaktawa, kemesraan, kelembutan, hubungan yang harmonis antara

suamiisteri, orang tua dan anak serta adanya kasih sayang yang satu dengan yang

lain. Namun betapa sering suasana rumah tangga telah menjadi ‘neraka’ dunia

sebab tidak ada persesuaian di dalam rumah tangga, tiada lagi sikap tahabub,

taawun, tasyawur dan taaffi, sehingga makin lama makin retak.

Banyak langkah yang bisa dipahami dan dilakukan untuk memperoleh

(46)

memegang peranan, yaitu dengan sopan santun dalam berkomunikasi, sebab

ketidak sopanan akan menimbulkan berbagai salah pengertian. Ketika masih

dalam taraf penjagaan, calon suami isteri sangat peka sakali dalam hal ini, mereka

berbicara sesopan mungkin jangan sampai menyinggung perasaan calonnya, sudah

semestinya kepekaan ini diteruskan dalam rumah tangga, jangan sampai menyakiti

suami atau isteri.

Pada keseluruhanya maka sakinah itu memang ketenteraman jiwa dan

ketenangan bathin. Jadi satu kondisi yang sangat dibutuhkan manusia agar ia bisa

hidup bahagia dan sejahtera, tenteram dalam kancah keluarga. Sebab untuk hidup

bahagia dan sejahtera manusia membutuhkan ketenangan hati dan jiwa yang aman

dan damai. Inilah hakekat perkawinan muslim yang disebut “sakinah”. Jad

tegasnya keluarga sakinah adalah keluarga yang bahagia dan sejahtera. Keluarga

yang berdiri di atas sendi kasih sayang atau mawaddah warahmah. (Rindang,

(47)

BAB III

PANDANGAN SYEKH MUHAMMAD NAWAWI DALAM KITAB UQUDULLIJAIN FI BAYAN HUQUQ AZ ZAUJAIN TENTANG HAK DAN

KEWAJIBAN SUAMI ISTERI

A.Biografi Syekh Muhammad Nawawi

1. Latar belakang kehidupan Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani

Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani (bahasa Arab: يوﻮﻧ ﺪﻤﺤﻣ

ﻲﻨﺘﻨﺒﻟا يوﺎﺠﻟا, lahir di Tanara, Serang, 1813 - meninggal di Mekkah, 1897) adalah

seorang ulama Indonesia yang terkenal. Ia bergelar al-Bantani karena ia berasal

dari Banten, Indonesia. Ia adalah seorang ulama dan intelektual yang sangat

produktif menulis kitab, yang meliputi

bidang-bidang fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis. Jumlah karyanya mencapai tidak

kurang dari 115 kitab. (Wikipedia)

Di kalangan keluarganya, Syekh Nawawi Al Jawi dikenal dengan sebutan

Abdul Mu’ti. Ayahnya bernama KH. Umar Bin Arabi, seorang ulama dan

penghulu di Tanara Banten. Ibunya Jubaidah, penduduk asli Tanara. Dari

silsilah keturunan ayahnya, Syekh Nawawi merupakan salah satu keturunan

Maulana Hasanuddin (Sultan Hasanuddin), putra Maulana Syarif Hidayatullah.

(Depag, 1992: 422).

Syekh Nawawi terkenal sebagai salah seorang ulama besar di kalangan

umat Islam internasional. Ia dikenal melalui karya-karya tulisnya. Beberapa

julukan kehormatan dari Arab Saudi, Mesir dan Suriah diberikan kepadanya,

(48)

ia tampil dengan sangat sederhana. Sejak kecil Syekh Nawawi telah mendapat

pendidikan agama dari orang tuanya. Mata pelajaran yang diterimanya antara

lain bahasa Arab, fikih dan ilmu tafsir. Selain itu ia belajar pada kyai Yusuf di

Purwakarta. Pada usia 15 tahun ia pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah dan

bermukim di sana selama 3 tahun. Di Makkah ia belajar pada beberapa orang

Syekh yang bertempat tinggal di Masjidil Haram, seperti Syekh Ahmad

Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Ia juga

pernah belajar di Madinah di bawah bimbingan Syekh Muhammad Khatib Al

Hanbali. Sekitar tahun 1248 H/1831 M ia kembali ke Indonesia. Di tempat

kelahirannya ia membina pesantren peninggalan orang tuanya. Karena situasi

politik yang tidak menguntungkan, ia kembali ke Makkah setelah 3 tahun

berada di Tanara dan menuruskan belajarnya di sana. Sejak keberangkatannya

yang kedua kalinya ini Syekh Nawawi tidak pernah kembali ke Indonesia.

Beliau menetap di sana hingga akhir hayatnya. Beliau meninggal pada tanggal

25 Syawal 1314 H atau tahun 1897 M. Beliau wafat dalam usianya yang ke-84

tahun di tempat kediamannya yang terakhir yaitu kampung Syiib Ali Makkah

(Depag, 1992: 423).

Silsilah Keturunan Syaikh Muhammad Nawawi dari ayahnya adalah Kyai

Umar bin Kyai Arabi bin Kyai Ali bin Kyai Jamad bin Janta bin Kyai Mas

Bugil bin Kyai Masqun bin Kyai Masnum bin Kyai Maswi bin Kyai Tajul

Arusi Tanara bin Maulana Hasanuddi Banten bi Maulana Syarif Hidayatullah

(49)

Jamaluddin Akbar Husain bin Imam Sayyid Ahmad Syah Jalal bin Abdullah

Adzmah Kha bin Amir Abdullah Malik bin Sayyid Alwi bin Sayyid

Muhammad Sahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali Qasim Bin Sayyid Alwi bi

Imam Ubaidillah bin Imam Ahmad Mubajir Ilalahi bin Imam Isya Al-Naqib bin

Imam Muhammad Naqib bin Imam Ali Aridhi bin Imam Ja’far Ash-Shadiq bin

Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidima

Khusain bin Sayyidatuna Fatimah Zahra binti Muhammad Rasulullah SAW.

Kemudian dari silsilah keturunan pihak ibunya adalah bahwa Nawawi Putra

Nyi Zubaidah binti Muhammad Singaraja. (Depag, 1992).

Jika dilihat dari silsilah keluarga dan latar belakang pendidikanya, Syekh

Muhammad Nawawi bukanlah keturunan orang biasa. Ia merupakan keturunan

dari Sunan Gunung Jati salah satu ulama Walisanga yang berpengaruh di Pulau

Jawa. Dalam masalah-masalah keagamaan keluarga Syekh Nawawi sangat

menguasai, ha ini membuka jalan untuk dirnya sukses di bidang keagamaan.

2. Pendidikan Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani

Di usia lima tahun beliau tumbuh di bawah asuhan ayahnya sendiri Umar

bin Araby, seorang ulama yang pertama membangun pondok pesantren di

daerahnya. Beliau belajar Ilmu pengetahuan khususnya pengetahuan agama

seperti Bahasa Arab, tauhid, fiqih dan tafsir dari ayahnya pula. Kemudian

beliau bersama kedua adiknya Ahmad dan Tamim beajar kepada ulama lain

(50)

Pada usia delapan tahun memulai perjuangannya menuntut ilmu. Tempat

pertama yang dituju adalah Jawa Timur, tiga tahun kemudian beliau hijrah ke

salah satu pondok pesantren di daerah Cikampek khusus belajar Lughot (bahasa

arab).

Syaikh Muhammad Nawawi adalah seorang ulama yang haus akan ilmu

pengetahuan. Setelah beliau belajar kepada orang tuanya sendiri dan beberapa

ulama di jawa, dalam usianya yang relatif muda, 15 tahun, Muhammad Nawawi

bersama kedua saudaranya Tamin dan Ahmad berangkat ke mekah untuk

menunaikan ibadah haji. Syaikh Muhammad Nawawi bermukim di sana selama

3 tahun. Setelah tiga tahun bermukim di Mekkah, ia kembali ke Tanara dan

mencoba mengembangkan ilmu yang didapatnya.

Di kalangan komunitas pesantren khususnya di tanah Jawi, Syekh

Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tetapi juga beliau

adalah maha guru sejati (the great scholar). Syaikh Muhammad Nawawi telah

banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi

keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk

keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren.

(WWW.biografyilmuwan.blogspot.com)

Hal ini terbukti bahwa para murid-muridnya setelah pulang ke Nusantara,

berkiprah sebagai pendiri Pesantren seperti: KH. Kholil Bangkalan, KH. Hasim

Asy’ari Tebu Ireng Jombang Jawa Timur, dengan bertujuan untuk

(51)

bahwa materi dan metode dalam pengajaran di pesantren tidak lepas dari jasa

guru besar Syaikh Muhammad Nawawi.

Lalu semua ikut berduka cita, beliau wafat pada tahun 1314 H atau

bertepatan pada tahun 1897 M. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa

khususnya di Banten, Umat Islam di Desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap

tahun di hari Jum'at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk

memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.

(www.biografyilmuwan.blogspot.com)

3. Karya-karya Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani

Kitab-kitab karangan beliau, diantaranya adalah:

a. Bidang tauhid

1) Tijan al-Durrar ‘ala Risalah al-Bajuri selesai ditulis 1927 H dicetak

pertama pada tahun 1301 H di Mesir

2) Al-Simaral-Yailah Fi al-Riyad al-Bad’ah ‘ala Mukhtasar al- Syaikh

Muhammad Hasbullah, cetak pertama 1299 di Mesir.

3) Zari’ah al-Yaqin ‘ala ummi al-Barahin, cetak pertama 1315 H di Mekkah

4) Fath al-Majid Fi Syarah al-Durr al-Fard, selesai ditulis 1294 H, cetak

pertama 1296 di Mesir.

5) Qami’al-Tuhyan ‘ala Manzumah Syu’ab al-Iman, cetak pertama di

Mesir.

6) Qahru al-Gais Fi Syarh Masa’il Abi al-Lays, cetak pertama 1301 H di

(52)

7) Al-Nahjah al-Jayyidah Li Hilli Tafawwut al-‘Aqidah Syarah Manzumah

al-Tauhid, cetak pertama 1303 H di Mesir.

8) Nur al-Zulam ‘ala Manzumah ‘Aqidah al-‘awwam, selesai ditulis 1277

H., cetak pertama 1303 H di Mesir.

b. Bidang Tarikh atau Sejarah

1) Al-Ibriz al-Dani Fi Mawlid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al- ‘Adnani,

cetak pertama 1299 H di Meesir.

2) Bugyah al-‘Awwam Fi Syarh Mawlid Sayyid al-Anam ‘Ala Mawlid

Ibn al-Juzi, cet pertama 1297 H di Mesir.

3) Targib al-Musytaqin Li bayan Manzumah Sayyid al-Barzah Fi Maulid

Sayyid al-Awwalin wa al-Akhirin, cetak pertama 1292 H di Mesir.

4) Al-Durrar al-Bahiyah Fi Syarh al-Khasa’is al-Nabawiyah Syarh Qissah

al-Mi’raj li al-Barzanji, cetak pertama 1298 di Mesir.

5) Madarij al-Su’ud ila iktisa’ al-Burud”, Syarh ‘ala Mawlid al- Barzanji

selesai ditulis pada tahun 1293 H, cetak pertama 1296 H di Mesir.

6) Syarh al-Burdah, cetak pertama 314 H, di Makkah.

7) Fath al-Samad al-‘Alim ‘ala Mawlid al-Syaikh ahmad ibnu Qasim,

selesai ditulis 1286 H., cetak pertama 1292 H di Mesir.

c. Bidang Tasawwuf

1) Al-Risalah al-Jami’ah Bayn Usul al-Din wa al-Fiqh wa al- Taswwuf,

(53)

2) Syarh ‘ala Manzumah al-Syaikh Muhammad al-Dimyati Fi al- Tawassul

Bi Asm’Allah al-Husna, cetak pertama 1302H di Mesir.

3) Misbah Zulm ‘ala Manhaj Atamm Fi Tabwib Hikam, Syarh

al-Minahaj li al-Syaikh ‘AH ibn Hisam al-Din al-Hindl, cetak pertama 1314

H di Makkah.

4) Nasa’ih al-‘Ibad Syarh ‘ala al-Mawa’iz Li Syitiab al-Din Ahmad bin

Hajar al-‘Asqalani, cetak pertama 1311 H di Mesir.

5) Salalim al-Fudala’ al-Manzumah al-Musammmah Hidayah al- Azkiya’ila

Tariq al-Awliya, cetak pertama 1315 H di Makkah.

6) Muraqi al-‘Ubudiyah Syarh Bidayah Hidayahkarya Abu Hamid

al-Ghozali terbit tahun 1881 M

d. Bidang Fiqh

1) Bahjah al-Wasa’il Bi Syarh al-Msa’il, Syarh ‘ala al-Risalah al Jami’ah,

cetak pertama 1292 H di Mesir.

2) Al-Tawsyih’ala Syarh Ibn al-Qasim al-Guzi ‘ala Matn al-Taqrib Li Abi

Syuja’, selesai ditulis awal abad 13 H cetak pertama 1314 di Mesir

3) Sulam al-Munajat ‘ala’ Safinah al-Salam Li Syaikh ‘Abd Allah bin

4) Suluk al-Jadah ‘ala al-Risalah al-Musammah bi Lum’ah al- Mufadah Fi

Bayan al-Jum’ah wa al-Mu’adah, cetak pertama 1300 H. Di Mesir.

5) Syarh ‘ala Akahs Manasik Malamah al-Khatib.

6) Al-’Iqd Samln, Syarh Manzumah Sittin Mas’alah Musammah

(54)

7) Uqud al-Lujjyn Fi Bayan Huquq al-Zawjayn, selesai ditulis 1294H, cetak

pertama 1296 H di Mesir.s

8) Fath al-Mujib Bi Syarh Mukhtasar al-Khatib Fi Manasiq al-Hajj, cetak

pertama 1276 H di Mesir.

9) Qut al-Habib al-Garib, Hasyiyah’, cetak pertama 1301 H di Mesir.

10) Kasyifah al-Saja bi Syarh Safinah al-Naja, selesai ditulis 1277 H cetak

pertama 1292 H di Mesir.

11) Mirqah Su’ud Tasdiq Bi Syarh Sulam Taufiq ila Mahbbah

al-Ilah ‘ala al-Tahqig, cetak pertama 1292 H di Mesir.

12) Nihayah al-Zayn Fi Irsyad al-Mubtadi’in Bi Syarh Qurrah al-‘Ayn Bi

Muhimmah al-Din, cetak pertama 1297 H di Mesir.

5. Gambaran Umum Kitab Uqudullijain fi bayan Huquq Az Zaujain

Kitab Uqudullijain adalah sebuah kitab terkenal, khususnya dikalangan

pesantren yang akrab disebut kitab kuning, kitab tersebut ditulis oleh Syaikh

Muhammad Nawawi, beliau adalah salah seorang tokoh ulama besar yang dimiliki

Negara Indonesia yang berasal dari provinsi Banten, beliau juga salah seorang

warga Indonesia yang bermukim di Arab. Kitab Uqudullijain ini ditulis pada tahun

1294 H. Syaikh Nawawi mengatakan bahwa kitab ini sangat penting bagi orang

yang mengehendaki keharmonisan dalam membina rumah tangga yang

berdasarkan Al-Qur’an dan hadist dan kisah-kisah para tokoh terdahulu yang

disusun dalam empat bab. Berikut ini gambaran umum kitab ini yang tersusun

(55)

B. Hak isteri atas suami

Dalam pembahasan ini terdapat beberapa tinjauan penting antara lain

adalah perlakuan baik suami terhadap isteri, nafkah, maskawin serta pemberian

lain dari suami. Selain itu juga kewajiban suami memberikan pelajaran tentang

pelajaran di bidang keagamaan sesuai dengan kebutuhan isteri baik mengenai

masalah-masalah ibadah wajib maupun sunnah meskipun tidak bersifat

muakkad. Kemudian mengenai maslah haid. hal lain yang harus diajarkan oleh

seorang suami adalah mengenai kewajiban isteri mentaati suami dalam

melakukan hal yang baik.

C. Hak suami atas isteri

Dalam hubungan ini tinjauan atas pembahasan terkait dengan

masalah-masalah seperti ketaatan isteri kepada suami di luar kemaksiatan, perlakuan

baik isteri kepada suami kemudian penyerahan diri isteri kepada suaminya.

Selain itu adalah mengenai kewajiban isteri untuk selalu berada di rumah

suami, di samping menjaga diri dari perzinaan. Tinjauan yang lain yaitu

mengenai menutup aurat serta kewajaran dalam meminta kepada suami dan

tidak menerima nafkah dari barang yang haram juga mengenai keadaan suci

dan haid.

D. Keutamaan shalat bagi wanita

Pembahasan ketiga yaitu mengenai keutamaan shalat bagi perempuan. Di

samping itu juga menyingggung pengaruh-pengaruh setan terhadap perempuan

(56)

yang bersifat glamour serta pengaruhnya terhadap orang banyak. Selain itu

menyinggung pula mengenai peringatan nabi terhadap perempuan dan

pandangan hukum terhadap perempuan.

E. Larangan bagi laki-laki untuk melihat perempuan lain dan sebaliknya.

Di bab ini tinjauan diarahkan pada persoalan laki-laki dan perempuan

terutama yang menyangkut hal-hal yang diharamkan seperti laki-laki melihat

perempuan yang bukan muhrimnya atau sebaliknya. Demikian pula halnya

laki-laki yang sudah beristeri atau perempuan yang sudah bersuami. Di luar itu

terdapat seperti analogi hukum terhadap remaja sehubungan dengan larangan di

atas dan masalah seperti berjabat tangan, berdua di tempat yang sepi serta

masalah-masalah lain yang tidak dibenarkan.

Berikut ini penjelasan singkat setiap bab dalam kitab Uqudullijain fi Bayan

Huquq Az Zaujain:

3. Hak-hak isteri atas suami

a. Perlakuan baik terhadap isteri.

Dalam bab ini Syaikh Muhammad Nawawi menjabarkan tugas-tugas

yang wajib dilakukan seorang suami terhadap isteri demi mewujudkan

keluarga yang harmonis. Seorang suami hendaklah mempergauli isteri

dengan baik sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa ayat 19:

(57)

ﹴﺔَﻨﱢﻴَﺒﱡﻣﹴﺔَﺸِﺤۤﻔِﺑﹶﻦْﻴِﺗﹾﺄَﻳْﻥَﺃﱠﻵﺇﱠﱠﻦُﻫ

,

ِﻑﻭُﺮْﻌَﻤﻟﺎِﺑﱠﻦُﻫﻭﹸﺮِﺷﺎَﻋَﻭ

,

ﺄْﻴَﺷﺍﻮُﻫَﺮْﻜَﺗْﻥَﺃﻰﺴﻌَﻓﱠﻦُﻫﻭُﻤُﺘْﻫِﺮَﻛْﻥِﺈَﻓ

ِﻓُﷲﺍَﻞَﻌْﺠَﻳَﻭﹰ

ﱠﺍﺮْﻴِﺜﻛﺍﹰﺮْﻴَﺧِﻪْﻴ

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali bagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”

Allah juga berfirman daam QS. Al-Baqarah: 228

ﱠﻦَُﳍَو

ُﻞْﺜِﻣ

يِﺬﱠﻟا

ﱠﻦِﻬْﻴَﻠَﻋ

ِفوُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ

ِلﺎَﺟﱢﺮﻠِﻟَو

ﱠﻦِﻬْﻴَﻠَﻋ

ٌﺔَﺟَرَد

ُﻪﱠﻠﻟاَو

ٌﺰﻳِﺰَﻋ

ٌﻢﻴِﻜَﺣ

“Dan mereka mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya”

Yang dimaksud patut dalam QS. An-Nisa adalah kebijaksanaan bahwa

laki-laki harus bijaksana dalam mengatur waktu untuk isteri bagi yang

memilik isteri lebih dari satu. Demikian pula dalam kaitannya dengan

masalah nafkah yang merupakan bagian dari hak isteri. Hak lain yang terkait

dengan masalah kepatutan disini adalah kehalusan dalam berbicara.

(Nawawi, 1999: 11-12)

Mengenai masalah keseimbangan antar hak dan kewajiban perempuan,

(58)

yang sama dalam menuntut kewajiban satu sama lain sebagai suami isteri.

Dalam masalah kelamin, hak mereka berbeda karena laki-laki berhak untuk

berpoligami. Bergaul dengan cara yang ma’ruf ialah yang baik menurut

pandangan islam, seperti bersopan santun, tidak diperolehkan saling

menyakiti.

b. Hak Nafkah

Selain itu, ada hal lain yang perlu disebutkan disini yaitu maksud ayat

yang menyatakan bahwa laki-laki mempunyai satu tingkat kelebihan

dibandingkan dengan isteri. Hal ini terkait dengan hak suami yang

diperolehnya atas tanggung jawab suami untuk memberikan maskawin dan

nafkah untuk isteri. Dengan demikian maka isteri wajib taat terhadap suami

sehubungan dengan tanggung jawabnya dalam mewujudkan dan memelihara

kemaslahatan isteri, di samping kesejahteraan hidupnya ditanggung suami.

(Nawawi, 1999: 12)

Mengenai kewajiban seorang suami terhadap memenuhi hak berupa

materi terhadap istri telah tetap ketentuan Islam yang adil, yaitu suami

memberi nafkah kepada istri, sebagai ganti dari ketidak bebasan istri

karenanya, ketaatan padanya, mengurus urusan rumah tangga dan suaminya.

Setip mereka mempunyai hak dan kewajiban. Seperti firman Allah pada QS.

Al- Baqarah 228:

(59)

“Dan mereka mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya”.

Dalam riwayat lain beliau menyatakan hal-hal mengenai hak-hak istri

baik di bidang sandang maupun pangan, di samping hak-hak memperoleh

pelajaran dari suami ketika melakukan nusyuz. Dalam hubungan ini beliau

bersabda:

ا ُبﺮْﻀَﻳ َﻻَو َﻲِﺴُﺘْﻛااَذِاﺎَﻫْﻮُﺴْﻜَﻳَو َﻢَﻌَﻃاَذِاﺎَﻬَﻤِﻌْﻄُﻳ ْنَا ِجْو ﱠﺰﻟا ﻲَﻠَﻋِةَءْﺮَﳌا ﱡﻖَﺣ

َﻪْﺟَﻮﻟ

ِﺖْﻴَـﺒﻟا ِﰲ ﱠﻻِا ُﺮُﺠْﻬَـﻳ َﻻَو ُﺢﱢﺒَﻘُـﻳ َﻻَو

“Hak wanita atas suaminya ialah bahwa suami memberikan konsumsi pangan kepada istri apabila dia mengkonsumsi bahan pangan. Di samping itu, memberikan sandang kepadanya apabila dia berpakaian. Dan janganlah suami itu memukul bagian wajah istri, mengumpatnya serta menghindarinya kecuali di dalam rumah." (HR. Abu Dawud). c. Pengajaran terhadap isteri

Dalam kasus tertentu, yaitu ketika istri melakukan nusyuz, suami boleh

memukul pada bagian badan di luar wajah istri. Sebab, hal ini merupakan

hak istri itu sendiri manakala ia melakukan kesalahan. Dan itu jelas

dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal lain yang harus diperhatikan

suami ialah bahwa istri tidak berhak mendapatkan penghinaan dari suami.

Sebab, Nabi Muhammad SAW dengan tegas melarangnya untuk mengumpat

istri, yaitu dengan melontarkan kata-kata yang tidak disukainya, seperti

mengatakan “dasar wanita jelek”

Kemudian masalah “menghindar” seperti yang telah dimaklumi, Nabi

(60)

dalam rumah, yakni di tempat peraduan. Inilah ketentuan yang boleh

dilakukan oleh suami manakala istri melakukan nusyuz. Adapaun hal lain di

luar itu, seperti menghindar dalam konteks komunikasi secara lisan, tidak

diisyaratkan di dalam hadis. Dengan demikian, suami tidak boleh

membungkam atau membisu dalam kasus ini. Apabila hal itu dilakukan,

berarti suami telah berbuat dosa, karena tindakan itu haram, kecuali karena

uzur (Nawawi, 1999: 16).

Dalam hadis lain Nabi Muhammad SAW. memberikan petunjuk yang

harus dilakukan oleh seorang laki-laki dalam memberikan segala sesuatu

yang merupakan hak-hak seorang istri. Hal ini tercermin dalam suatu hadis

yang menyatakan:

ﻪِﻠْﻫَﻷﹺْﻢُﻛﹸﺮْﻴَﺧْﻢُﻛﹸﺮْﻴَﺧَﻢﱠﻠَﺳﻭﹺﻪْﻴَﻠَﻋﹸﷲﺍﻰﱠﻠَﺻَﻝﺎَﻗَﻭ

“Rasulullah SAW. Bersabda: “Sesungguhnya orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya dan paling lembut sikapnya kepada keluarganya.” (HR. Turmudzi).

Akhlak dalam hadis tersebut adalah budi pekerti yang luhur. Semua itu

tentunya dimaksudkan sebagai realisasi dari kewajiban suami dalam

memenuhi hak-hak istri. Dengan demikian, walaupun kata “keluarga” di sini

memberikan pengertian yang luas karena melibatkan banyak unsur termasuk

di dalamnya anak-anak, suami, dan kerabat dekatnya, istri sudah barang

(61)

pendukung utama bagi terciptanya sebuah keluarga. Oleh sebab itu, kondisi

etik yang positif sebagaimana telah disinyalir di dalam hadis tadi perlu

mendapatkan penekanan khusus dalam pembicaraan mengenai kewajiban

suami untuk mewujudkan hak-hak istri sehubungan dengan fungsi itu sendiri

seperti tersebut di atas.

d. Sabar terhadap isteri

Syaikh Nawawi menjelaskan dalam menerapkan norma-norma akhlak

di dalam kehidupan rumah tangga, seorang suami harus memiliki pedoman

moral yang strategis. Untuk itu, Nabi Muhammad SAW memberikan

petunjuk agar seorang suami bersabar hati dalam menghadapi cobaan istri.

Dengan demikian, suami dapat melaksanakan kewajibannya secara baik

sesuai dengan ajaran agama untuk memahami cobaan dari Istri. (Nawawi,

1999: 19).

Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah, 153 :

ﯨِﺓﻮَﻠﱠﺼﻟﺍَﻭِﺮْﺒﱠﺼﻟِﺎﺑﺍْﻮُﻨِﻌَﺘْﺳﺍﺍْﻮُﻨَﻣﺍَﺀَﻦْﻳِﺫﱠﻟﺍﺎﻬﱡﻳَﺄۤﻳ

َﻦﻳِﺮِﺒﱠﺼﻟﺍَﻊَﻣَﷲﱠﻥِﺇ

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.

Syaikh Nawawi menjelaskan tentang beberapa hal yang dimana suami

Referensi

Dokumen terkait