Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
STRATEGI EFISIENSI PEMBIAYAAN PEMERINTAH UNTUK
MEMACU PELAKSANAAN KONSERVASI ENERGI PADA
SEKTOR KETENAGALISTRIKAN
Khalif Ahadi dan M. Indra Al Irsyad
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru
Terbarukan dan Konservasi Energi
lifahadi@yahoo.com
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Subsidi listrik telah menjadi salah satu permasalahan yang membuat ruang fiskal pemerintah menjadi terbatas. Subsidi listrik dimulai sejak tahun 2000 karena defisit arus kas PLN. Namun, sebagaimana pada Gambar 1, peruntukkan subsidi diperluas pada periode 2001 - 2004 menjadi subsidi konsumen terarah dan terus diperluas sejak 2005 hingga saat ini.
S A R I
Subsidi listrik telah menjadi salah satu permasalahan yang membuat ruang fiskal pemerintah menjadi terbatas. Subsidi listrik dimulai sejak tahun 2000 karena defisit arus kas PLN. Namun, peruntukkan subsidi diperluas pada periode 2001 - 2004 menjadi subsidi konsumen terarah dan terus diperluas sejak 2005 hingga saat ini. Sistem subsidi saat ini perlu dirubah karena sistem saat ini membuat PLN tidak mempunyai insentif dalam mengendalikan subsidi listrik. Perubahan sistem dilakukan dengan memberikan penambahan marjin sebesar 12% dari penghematan subsidi yang didapat. Sebaliknya bila alokasi subsidi terlewati, maka PLN perlu mendapat denda sebesar 5% tambahan subsidi. Aturan ini menguntungkan bagi pemerintah dan PLN. Berbeda dengan PLN, pemerintah selalu mempunyai keuntungan baik saat realisasi dibawah ataupun melebihi alokasi.. Kondisi tersebut akan memacu PLN untuk mengendalikan subsidi listrik karena total kehilangan marjin terlalu besar yaitu denda marjin 2% ditambah opportunity additional margin sebesar 5%. PLN sebagai pemain utama dipasar dapat menghitung apakah tambahan marjin sebesar 5% cukup untuk mengembalikan biaya investasi yang diperlukan dalam menekan biaya pokok penyediaan (BPP) dan volume penjualan.
Kata kunci : biaya pokok penyediaan, marjin, subsidi listrik, volume penjualan
Subsidi listrik konsumen terarah adalah subsidi listrik maksimum 60 kWh yang diberikan hanya untuk rumah tangga golongan maksimum 450 VA. Besaran subsidi pada periode ini masih dapat dikendalikan yaitu realisasi subsidi tidak melebihi alokasi subsidi. Pada regim subsidi listrik berikutnya pada 2005 - 2011, nilai subsidi listrik naik lebih dari 9,8 kali lipat. Realisasi subsidi listrik selalu melebihi alokasi subsidi listrik yang disediakan. Pada 2011, subsidi listriksebesar 3% dari APBN 2011 dan nilai ini perlu dilihat sebagai opportunity cost yang dapat digunakan untuk
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
pembangunan infrastruktur bagi 33% rakyatIn-donesia yang belum mendapat listrik.
Penyebab naiknya subsidi listrik adalah kenaikan biaya produksi penyediaan (BPP) yang tidak diiringi oleh kenaikan tarif listrik yang sesuai. Kenaikan BPP merupakan hal yang wajar mengingat pertumbuhan ekonomi baik nasional maupun global yang terus terjadi menyebabkan naiknya permintaan energi yang berarti naiknya harga energi. Sebagaimana pada Gambar 2,
Gambar 1. Perkembangan subsidi listrik
pembangkit listrik di Indonesia pada awalnya didominasi oleh pembangkit listrik tenaga diesel berbahan bakar minyak (BBM) sebesar 60% dan menyisakan 40% untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di 1971. Kondisi ini disebabkan oleh murahnya harga minyak dunia saat itu dan posisi Indonesia sebagai negara penghasil minyak. Seiring dengan proses industrialisasi di Indone-sia, jumlah PLTD terus meningkat sehingga di 1982, 76% listrik nasional berasal dari PLTD.
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Lonjakan harga minyak di oil shock kedua padatahun 1979 membuat pemerintah merancang ulang bauran energi pada sistem ketenagalistrikan. Pada 1984, pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) mulai berkontribusi sebesar 1 % dan pada tahun berikutnya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkontribusi 10% listrik nasional. Sejak saat itu, porsi listrik PLTD dan PLTA terus menurun yaitu hanya 9% dan 12% di 2010. Porsi listrik dari PLTG terus meningkat menjadi 43% di 1996 namun kemudian menurun dan dominasi digantikan oleh listrik dari PLTU. Walaupun porsinya sudah kecil, listrik dari PLTD sangat mempengaruhi subsidi listrik. Gambar 3 memperlihatkan 40% total biaya bahan bakar PLN berasal dari pembelian BBM. Perbedaan BPP yang terlalu tinggi antara PLTD dengan pembangkit listrik lainnya menjadi penyebabnya. BPP rata-rata di PLTD sebesar Rp 4.315,-/kWh sementara di PLTU sebesar Rp 559,-/kWh bahkan di PLTA hanya sebesar Rp 98,-/kWh sebagaimana pada Gambar 4 (PLN, 2011). Penurunan BPP idealnya dilakukan dengan mengganti PLTD dengan pembangkit jenis lain yang mempunyai biaya produksi lebih rendah seperti PLTA.
Gambar 3. Komposisi biaya bahan bakar
Namun upaya diversifikasi tersebut terhambat oleh biaya investasi yang tinggi sementara tarif listrik masih dibawah keekonomiannya. Kondisi ini menyebabkan pihak swasta enggan untuk investasi pembangkit listrik. PLN sendiri hanya diberi marjin 7% sehingga tidak mempunyai dana investasi yang cukup dan akibatnya investasi masih mengandalkan pemerintah.
Sistem yang ada saat ini tidak membuat PLN merugi sebab segala kerugian penjualan listrik telah ditanggung pemerintah. Akibatnya, PLN tidak berbuat maksimal untuk meningkatkan efisiensi biaya produksi. Dorongan agar masyarakat investasi energi baru terbarukan (EBT) hanya dilakukan oleh pemerintah. PLN sendiri memang membangun EBT namun terkesan enggan membeli listrik EBT dari masyarakat dengan dalih mengganggu kualitas listrik jaringan.
Kajian ini bertujuan untuk menganalisis insentif yang perlu diberikan kepada PLN agar mau berupaya lebih dalam mengurangi konsumsi
BBM di PLTD. Kajian dimulai dengan overview
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Gambar 4. Perbandingan biaya produksi dan jumlah produksi listrik tiap jenis pembangkit
(Sumber: PLN, 2011)
penurunan BPP oleh Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan serta skema subsidi listrik di
negara lain. Overview tersebut kemudian
dianalisis lebih lanjut untuk mendapatkan skema yang lebih baik.
1.2. Dasar Hukum
a. UU APBN terkait dengan alokasi subsidi listrik.
b. UU 30/2007 tentang Energi.
Pasal 7 ayat 2: Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan dana subsidi untuk masyarakat tidak mampu.
c. UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan. Pasal 4 Ayat 3 Butir a: Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana untuk kelompok masyarakat tidak mampu. d. PP 70/2009 Tentang Konservasi Energi.
Pasal 4 : Pemerintah bertanggung jawab secara nasional untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan, strategi dan program konservasi energi.
e. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/ PMK.02/2007 tentang Tatacara Penyediaan
Anggaran, Penghitungan, Pembayaran dan Pertanggung-jawaban Subsidi Listrik.
2. PERMASALAHAN DAN TANTANGAN PEMBIAYAAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK
Berbagai permasalahan dan tantangan harus dihadapi oleh pemerintah dalam upaya menekan pembiayaan pada sektor pembangkitan listrik. Beberapa permasalahan dan tantangan tersebut diantaranya adalah masih banyaknya pembangkit listrik yang menggunakan diesel, cara menurunkan biaya produksi, serta mekanisme subsidi listrik.
2.1. Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD)
Jumlah PLTD yang dimiliki PLN saat ini mencapai 4.619 unit dengan kapasitas total 3.268 MW. 96% PLTD tersebut berada diluar sistem jaringan Jawa - Madura - Bali (JAMALI). Provinsi dengan produksi listrik PLTD besar
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
adalah Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Sistem diluar JAMALI memang mempunyai karakteristik beban yang kecil dan terdistribusi di wilayah yang sulit. Dengan kondisi tersebut dan anggaran pemerintah yang terbatas, pembangkit skala kecil dan menengah semacam PLTD merupakan pilihan yang opti-mal dibandingkan harus investasi jaringan transmisi untuk menyalurkan listrik dari pembangkit skala besar seperti PLTU dan PLTA.
2.2. Skema Penurunan BPP
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan (DJK) telah menyiapkan beberapa skema penurunan BPP. Skema utama adalah diversifikasi energi melalui penyelesaian pembangunan infrastruktur gas untuk PLTG, percepatan pembangunan PLTU batubara,
penggunaan biodiesel, melakukan fuel
switching, pembangunan PLTA upper Cisokan serta pengembangan PLTP. Pemerintah juga menugaskan PLN untuk mengurangi susut jaringan, optimalisasi pembangkit listrik seperti
meningkatkan capacity factor PLTU dan
penghematan biaya operasi sebagaimana pada Gambar 5.
Gambar 5. Skema penurunan BPP
(Sumber: Kementerian ESDM 2011)
Target susut jaringan di tahun 2012 adalah 8,5% turun 0,05% dari target 2011. Susut jaringan distribusi ditargetkan sebesar 6,4% dan susut jaringan transmisi sebesar 2,1%. Penyebab besarnya susut distribusi adalah sifat material kabel jaringan (5,14%) yang sudah terjadi secara alami. Susut material dapat diturunkan dengan penggunaan bahan berkualitas yang mempunyai nilai impedansi rendah dengan alternatif lain:
–
Memperbanyak trafo distribusi sisipan baruuntuk mengurangi jatuh tegangan;
– Mengurangi transfer energi dengan mempercepat COD pembangkit baru untuk mengurangi susut material jaringan transmisi ;
– Penggunaan trafo distribusi low-losses untuk mengurangi susut trafo distribusi;
– Meningkatkan penertiban pencurian listrik, termasuk penerangan jalan umum (PJU) ilegal;
–· Mendorong penggunaan listrik prabayar. Selain skema penurunan BPP yang telah dijelaskan, masih banyak langkah optimasi lain yang bisa dilakukan. Hanya PLN yang mengetahui secara tepat langkah-langkah tersebut karena memiliki semua data teknis dan operasional pembangkit. PLN juga mengetahui
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
prosedur jual beli yang dapat disederhanakanagar pengusaha listrik energi baru terbarukan dapat menjual listriknya ke PLN. Sebagai balasan, pemerintah dapat memberikan sebagian penghematan subsidi listrik yang didapat ke PLN.
2.3. Subsidi Listrik
Subsidi listrik di Indonesia ada 2 jenis yaitu purchase power agreement (PPA) dan subsidi harga. PPA memberi jaminan kepada independent power producer (IPP) untuk membeli listrik yang dihasilkan pada harga yang disepakati. Jaminan tersebut membuat resiko IPP berkurang sehingga investasi menjadi lebih menarik. Subsidi jenis kedua adalah menanggung kerugian PLN akibat penjualan listrik dibawah harga keekonomian. Subsidi jenis ini dilakukan dengan harapan dapat meningkatkan kegiatan produktif masyarakat sehingga meningkatkan perekonomian nasional. Dengan tujuan tersebut, subsidi harga banyak digunakan oleh negara berkembang hanya saja dalam berbagai bentuk. Versi subsidi harga listrik di Malaysia dan Thailand adalah subsidi silang dari masyarakat kaya ke masyarakat miskin sehingga negara tidak terbebani subsidi. Filipina juga mempunyai versi sejenis hanya subsidi silang dilakukan dari industri ke masyarakat dan dari masyarakat di pulau besar ke masyarakat di pulau kecil. Hanya Vietnam yang masih mempunyai versi subsidi harga yang sama dengan Indonesia.
Sejak kerugian penjualan listrik telah dijamin dibayar pemerintah, maka PLN tidak perlu khawatir kerugian melebihi alokasi subsidi listrik sebagaimana telah berlangsung sejak 2005. Pemerintah tidak mempunyai pilihan lain selain membayar kerugian PLN sebagai monopoli retailer. Bila PLN tidak bisa beroperasi maka kerugian yang ditanggung pemerintah akan lebih besar.
Skema subsidi perlu dirubah dengan tujuan PLN mempunyai insentif tambahan untuk
mengopti-malkan segala potensi penurunan BPP. Insentif tersebut adalah dengan menaikkan marjin ataupun memberi sebagian penghematan subsidi listrik kepada PLN. Pemberian insentif tersebut dapat diserahkan melalui PLN pusat ataupun ke PLN region yang mampu menurunkan BPP. Pemberian insentif langsung ke PLN region akan bertindak sebagai bonus kepada karyawan sehingga meningkatkan motivasi karyawan sebagai pelaksana lapangan penurunan BPP. Permasalahan pemberian insentif langsung adalah pemantauan BPP lokal di setiap daerah yang membutuhkan waktu. Cara yang lebih sederhana adalah pemberian insentif ke PLN pusat dan menyerahkan sepenuhnya pembagian insentif tersebut kepada karyawannya di berbagai daerah.
3. SKEMA REWARD DAN PUNISHMENT
PADA SUBSIDI LISTRIK
Langkah awal pada skema pemberian insentif penurunan BPP adalah mengalokasikan subsidi listrik sebagaimana biasanya, misal pada 2012 sebesar 40,97 triliun rupiah dengan marjin 7%. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/ PMK/2007, subsidi listrik dihitung menggunakan rumus :
S = – (HJTL – BPP (1 + m)) x V
di mana :
S = subsidi listrik
HJTL = harga jual tenaga listrik rata-rata (Rp/ kWh) dari masing-masing golongan tarif
BPP = biaya pokok penyediaan tenaga listrik (Rp/kWh) pada tegangan di masing-masing golongan tarif
M = marjin (%)
V = volume penjualan tenaga listrik (kWh)
untuk setiap golongan tarif
Dari rumus tersebut, penurunan subsidi bisa diperoleh dari penurunan BPP, penurunan marjin, penurunan volume penjualan dan kenaikan harga jual listrik. Variabel yang bisa
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
dikendalikan langsung oleh pemerintah adalahharga jual listrik dan marjin. Bila pemerintah memutuskan harga jual tetap, maka variabel yang masih bisa diatur adalah marjin.
Berdasarkan kesepakatan alokasi subsidi yang dibuat sebelumnya, pemerintah menawarkan penambahan marjin apabila PLN mampu menurunkan subsidi listrik. Namun sebaliknya, marjin PLN akan dikurangi bila alokasi subsidi listrik terlewati sehingga penambahan anggaran pemerintah untuk subsidi listrik tidak terlalu banyak atau bahkan tidak ada. PLN mempunyai 2 variabel yang dapat dikendalikan untuk menurunkan subsidi yaitu volume penjualan dan BPP. Pengendalian volume penjualan harus dilakukan tanpa mengganggu kualitas layanan, mengurangi jumlah pelanggan ataupun menolak pelanggan baru. Pencegahan cara yang tidak baik tersebut perlu dilakukan pemerintah dengan
memeriksa indikator System Average
Interruption Duration Index (SAIDI), System Average Interruption Frequency Index (SAIFI), System Outage Duration (SOD), System Outage Frequency (SOF), jumlah pelanggan, daftar tunggu dan rasio elektrifikasi.
Salah satu cara yang bisa dilakukan PLN dalam mengurangi volume penjualan adalah mengkampanyekan penggunaan peralatan pemanfaat tenaga listrik yang hemat energi. PLN dapat bekerja sama dengan perusahaan leasing untuk menjual peralatan tersebut secara kredit di kantor pelayanan PLN. Cicilan pembayaran kemudian akan otomatis ditagih dalam rekening listrik. Cara lain adalah melakukan investasi konservasi energi di industri. Selama beberapa waktu, penghematan biaya listrik di industri tersebut akan menjadi milik PLN hingga seluruh biaya investasi ditambah keuntungan PLN lunas terbayar. Dengan kata lain, jumlah tagihan listrik industri akan sama besar sebagaimana biasanya untuk beberapa waktu dan setelah itu tagihan listrik akan berkurang sesuai pemakaian daya sebenarnya setelah konservasi energi.
Sedangkan contoh yang dapat dilakukan PLN untuk mengurangi BPP adalah mengendalikan
dan memodifikasi mesin PLTD sehingga efisiensi meningkat. PLN juga dapat
mempermudah prosedur power purchase
agreement (PPA) dan proses administrasi lainnya untuk mendorong penjualan listrik dari energi baru terbarukan. Masih banyak cara untuk menurunkan BPP dan volume penjualan, namun semua itu harus diserahkan ke PLN yang mengetahui kondisi sebenarnya di lapangan. Dalam skema ini, peran pemerintah hanya terbatas pada pengatur pasar (regulator) bukan
sebagai pemain di pasar (player). Pemerintah
tidak perlu lagi membangun pembangkit mikrohidro, PLTS dan pembangkit energi baru terbarukan lainnya. Intervensi seperti ini justru merusak pasar dimana masyarakat, dan PLN, akan selalu mengharapkan bantuan proyek energi baru terbarukan. Pasar menjadi sempit dengan hanya ada 2 pemain yaitu penjual dan pemerintah sebagai pembeli. Pasar yang sempit tersebut menurunkan minat penjual sehingga jumlah penjual menjadi sedikit dan cenderung menjadi monopoli. Akibatnya, harga teknologi energi baru terbarukan akan tetap mahal.
4. REKOMENDASI MODEL PEMBAGIAN PENGHEMATAN (SHARED SAVINGS MODEL)
Skema pembagian keuntungan penghematan subsidi terinspirasi dari shared saving model (SSM) yang setidaknya sejak 1998 telah diterapkan di 16 negara bagian Amerika Serikat termasuk di California. (Munns, 2008; Eom & Sweeney, 2009; CPUC, 2007). Bagi perusahaan listrik dan gas di California, efisiensi energi berarti penurunan volume penjualan yang ekuivalen dengan penurunan pendapatan perusahaan. Sementara itu, pemerintah yang berkepentingan untuk melakukan efisiensi energi memberi insentif pembiayaan. Insentif menjadi menarik mengingat bila tanpa efisiensi, perusahaan akan membutuhkan investasi baru untuk memenuhi permintaan listrik/ gas yang terus naik.
SSM dimulai dengan perhitungan bersama manfaat efisiensi energi dari pengurangan biaya
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
investasi infrastruktur dan biaya operasionalpembangkit pada waktu tertentu. Manfaat tersebut kemudian dikurangi biaya investasi efisiensi energi untuk mendapatkan nilai
penghematan netto (net savings). Pencapaian
penghematan netto ini yang dijadikan dasar
mengenai reward/ punishment yang akan
diberikan ke perusahaan. Sebagaimana pada Gambar 7, saat pencapaian target <65% maka perusahaan akan terkena denda; pencapaian target 65 - 85% maka perusahaan tidak mendapat bonus/ denda; saat pencapaian tar-get sebesar 85 - 100% maka perusahaan mendapat bonus sebesar 9% dari nilai penghematan dan bila pencapaian > 100% maka perusahaan mendapat bonus 12%.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, modifikasi SSM untuk mengurangi subsidi listrik di Indonesia adalah dengan menaikkan marjin saat realisasi subsidi listrik lebih rendah dan menurunkan marjin saat realisasi lebih tinggi dari alokasi yang disediakan. Perhitungan perubahan marjin memerlukan modifikasi formula subsidi menjadi berikut :
Gambar 7. Pembagian penghematan di SSM
(Sumber: Eom & Sweneey 2009)
m = ((S/V) + HJTL –BPP)/BPP
Berdasarkan formula tersebut, pemerintah akan bersifat indifference terhadap nilai m selama besar subsidi tetap. Bila PLN mampu menurunkan BPP dan volume penjualan masing-masing 50% maka pemerintah tidak akan rugi maupun tidak akan untung untuk memberi marjin sebesar 160%. Bila hanya salah satu variabel yang turun 50% dan lainnya tetap maka marjin indifference pemerintah adalah 30% untuk perubahan volume penjualan dan 114% untuk perubahan BPP. Sebaliknya jika volume penjualan dan BPP naik 50% dari yang diterapkan maka PLN harus dikenakan denda sebesar 34% agar subsidi listrik tetap. Grafik indifference pemerintah selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 8. Perhitungan tersebut menggunakan data asumsi makro perhitungan subsidi listrik 2012 yaitu nilai subsidi listrik (S) sebesar 40,97 triliun rupiah; BPP sebesar Rp 947,-/kWh; penjualan listrik (V) sebesar 173,77 TWh ditambah susut jaringan 8,5%; dan tarif listrik (HJTL) Rp 796,-/kWh.
Pada Gambar 9, range marjin masih terlalu luas dan tidak logis yaitu - 34% sampai dengan 160%. Hukuman marjin sebesar - 34% akan membuat PLN rugi besar dan tidak bisa beroperasi lagi,
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
dan sebaliknya pemberian tambahan marjin hingga 160% terlalu besar sementara tujuan penghematan anggaran subsidi listrik tidak tercapai. Untuk itu, analisis perlu dimulai dari target penurunan subsidi listrik dan marjin yang diperlukan PLN dengan kondisi ceteris paribus yaitu nilai variabel lainnya tetap. Gambar 9
Gambar 8. Grafik indifference pemerintah dalam penyediaan subsidi listrik
Gambar 9. Dampak perubahan subsidi pada marjin
mensimulasikan besar marjin saat alokasi subsidi berubah. Saat alokasi subsidi dikurangi 50% sementara nilai variabel lainnya tetap maka PLN akan merugi sebesar 4% sebaliknya bila subsidi ditambah 50% maka marjin PLN menjadi 18%. Kondisi ini menyebabkan salah satu pihak menang atas kekalahan pihak lain.
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Topik Utama
Untuk membuat kedua pihak menang makalogika kesimpulan perlu dibalik yaitu pada saat realisasi subsidi berkurang 50% maka marjin PLN naik menjadi 18% sebaliknya saat realisasi subsidi bertambah 50% maka PLN harus dikenakan marjin -4%. Kesimpulan ini kemudian perlu dimodifikasi kembali dengan membatasi marjin maksimum PLN sebesar 12% dan marjin minimum sebesar 5%. Garis biru pada Gambar 10 menjelaskan ketentuan pemberian tambahan dan penurunan marjin berdasarkan realisasi subsidi. Ketentuan ini berarti bahwa bila kreativitas PLN mampu menekan BPP dan volume penjualan hingga realisasi subsidi listrik < 80% maka diberikan marjin sebesar 12%; realisasi subsidi 80% - 90% mendapat marjin 9%; realisasi subsidi 90 - 100% tidak ada perubahan marjin (7%); dan jika realisasi subsidi melebihi alokasi maka marjin menjadi hanya 5%. Startegi ini pada dasarnya merupakan win-win solution bagi pemerintah dan PLN. Saat realisasi dibawah alokasi subsidi, pemerintah menghemat anggaran walau sebagian penghematan diberikan kepada PLN. Pada saat realisasi diatas alokasi, sebagian pengeluaran subsidi tambahan pemerintah akan ditanggung dari pengurangan marjin PLN. Kondisi tersebut diharapkan memacu PLN untuk mengendalikan subsidi listrik karena total kehilangan marjin terlalu besar yaitu 7% yang berasal dari denda
marjin 2% ditambah opportunity additional
margin sebesar 5%. Untuk itu, PLN akan memilih opsi investasi yang biayanya tidak melebihi alokasi tambahan marjin sebesar 5% namun dapat memenuhi target penurunan BPP dan volume penjualan.
5. PENUTUP
Dalam 5 tahun terakhir, realisasi subsidi listrik selalu melampaui alokasi yang disediakan. Penghematan subsidi listrik memerlukan peran aktif PLN yang mengetahui kondisi sebenarnya di lapangan. Pemerintah cukup bertindak sebagai regulator dengan menyediakan berbagai kebijakan yang membuat pasar lebih kompetitif.
Salah satu kebijakan yang perlu dipertimbangkan
adalah skema reward dan punishment. Pada
saat PLN mampu menekan BPP dan volume penjualan sehingga realisasi subsidi listrik turun, maka PLN layak mendapatkan tambahan marjin menjadi 12%. Sebaliknya bila alokasi subsidi
terlewati, maka PLN mendapat punishment
berupa pengurangan marjin sebesar 2% dari marjin awal 7%. Dalam hal ini, PLN sebagai pemain utama harus menghitung apakah tambahan marjin cukup untuk mengembalikan biaya investasi yang diperlukan dalam menekan BPP dan volume penjualan.
DAFTAR PUSTAKA
California Public Utilities Commission (CPUC).
2007. Interim opinion on phase I issues:
Shareholder Risk/ Reward Incentive Mechanism for Energy Efficiency Programs. Decision 07 - 09 - 043.
Eom, J., and Sweeney, J.L. 2009. Shareholder Incentives for Utility-Delivered Energy Efficiency Programs in Californis. Working Paper: Precourt Energy Efficiency Center -Stanford University.
Kementerian ESDM. 2011. Bahan rapat Forum
Eselon I - Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Tenaga Listrik. Jakarta.
Menteri Keuangan. 2007. Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 111/PMK/2007 tentang tatacara penyediaan anggaran, penghitungan, pembayaran dan pertanggungjawaban subsidi listrik. Jakarta. Munns, D. 2008. Modeling New Approaches for Electric Energy Efficiency. The Electricity Journal, pp 20 - 26.
Poerwoko. 2003. Analisis peran subsidi bagi industri dan masyarakat pengguna listrik. Jurnal Keuangan dan Moneter, Volume 6 Nomor 2.
PT PLN (Persero). 2011. PLN Statistics 2010.
Jakarta.
World Bank. 2012. World Development