• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KOMBINASI TERAPI LATIHAN RANGE OF MOTION, GENGGAM BOLA KARET DAN KOMPRES HANGAT TERHADAP KEKUATAN MOTORIK EKSTREMITAS ATAS DAN KADAR KORTISOL PADA KLIEN PASCA STROKE DI RSU Dr. WAHIDIN SUDIRO HUSODO MOJOKERTO Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGARUH KOMBINASI TERAPI LATIHAN RANGE OF MOTION, GENGGAM BOLA KARET DAN KOMPRES HANGAT TERHADAP KEKUATAN MOTORIK EKSTREMITAS ATAS DAN KADAR KORTISOL PADA KLIEN PASCA STROKE DI RSU Dr. WAHIDIN SUDIRO HUSODO MOJOKERTO Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
233
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PENGARUH KOMBINASI TERAPI LATIHAN RANGE OF MOTION, GENGGAM BOLA KARET DAN KOMPRES HANGAT TERHADAP

KEKUATAN MOTORIK EKSTREMITAS ATAS DAN KADAR KORTISOL PADA KLIEN PASCA STROKE

DI RSU Dr. WAHIDIN SUDIRO HUSODO MOJOKERTO

INDRAWATI NIM : 131614153032

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

(2)

PENGARUH KOMBINASI TERAPI LATIHAN RANGE OF MOTION, GENGGAM BOLA KARET DAN KOMPRES HANGAT TERHADAP

KEKUATAN MOTORIK EKSTERMITAS ATAS DAN KADAR KORTISOL PADA KLIEN PASCA STROKE

DI RSU Dr. WAHIDIN SUDIRO HUSODO MOJOKERTO

TESIS

Untuk memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) Dalam Program Studi Magister Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga

Oleh: INDRAWATI NIM: 131614153032

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

(3)
(4)
(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa yang melimpahkan karunia dan Rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini tepat waktu, dengan judul “Pengaruh kombinasi terapi latihan range of motion, genggam bola karet dan kompres hangat terhadap kekuatan motorik ekstermitas atas dan kadar kortisol pada klien pasca stroke”

Dalam penyelesaian tesis ini, saya berupaya semaksimal mungkin dengan standar ilmu pengetahuan dan logika serta prinsip-prinsip ilmiah yang tidak lepas dari bantuan yang telah diberikan dari berbagai pihak, maka peneliti mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya, yang terhormat kepada :

1. Prof.Dr. Nursalam, M. Nur (Hons) selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya yang telah mendukung penyelesaian tesis ini.

2. Dr.Tintin Sukartini, S.Kp.,M.Kes selaku Koordinator program studi Magister Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya yang telah mendukung sekaligus penguji dan membimbing dalam penyusunan tesis ini.

3. Dr. M.P. Soekowardhani, M.Si Selaku Direktur Rumah Sakit Umum Dr. Wahidin Sudiro Husodo Mojokerto yang telah mendukung penyelesaian tesis ini.

4. Prof. Dr. I Ketut Sudiana, Drs., M.Si sebagai pembimbing utama dalam penyusunan tesis pada program Studi Magister Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya yang dengan sabar membimbing saya dalam penyelesaian tesis ini.

5. Dr. Muhammad Sajidin, S.Kp., M.Kes sebagai pembimbing kedua dalam penyusunan tesis pada program Studi Magister Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya yang dengan sabar membimbing saya dalam penyelesaian tesis ini.

(7)

Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya dan dengan sabar membimbing saya dalam penyelesaian tesis ini.

7. Orang tua saya yaitu ibu, suami dan anak-anak saya tercinta yang telah penuh pengorbanan dan keikhlasan selalu menengadhakan kedua belah tangannya memohon kepada Allah SWT demi terselesaikannya tesis ini. 8. Kedua kakak saya yang saya sayangi yang telah memberikan motivasi,

semangat dan dukungan hingga terselaikan tesis ini.

9. Responden dan keluarga responden dengan kooperatif dan supportif luar biasa dalam membantu saya menyelesaikan penelitian tesin ini.

10.Teman-teman ditempat saya bekerja Stikes Dian Husada dan teman-teman Magister Keperawatan angkatan 9 serta semua pihak yang telah memberikn dorongan secara moril yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, sehingga penelitian tesis ini dapat terselesaikan.

Saya menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesemournaan, oleh karena itu peneliti mengharap saran dan kritik yang siftanya membangun sebagai masukan dalam perbaikan tesis ini.

Akhir kata peneliti berharap semoga penelitian ini nanti dapat bermanfaat bagi para pembaca dan penulis, Amin.

Surabaya, Juli 2018

(8)
(9)

RINGKASAN

Stroke didefenisikan sebagai defisit (gangguan) fungsi sistem saraf yang terjadi mendadak dan disebabkan oleh gangguan peredaran darah di otak" Stroke terjadi akibat gangguan pembuluh darah di otak, baik berupa tersumbatnya pembuluh darah otak atau pecahnya pembuluh darah di otak. Stroke dapat menimbulkan berbagai tingkat gangguan, seperti penurunan tonus otot, hilangnya sensibilitasi pada sebagian anggota tubuh, menurunnya kemampuan untuk menggerakan anggota tubuh yang sakit dan ketidakmampuan dalam hal melakukan aktivitas tertentu. Pasien stroke yang mengalami kelemahan pada satu sisi anggota tubuh disebabkan oleh karena penurunan tonus otot, sehingga tidak mampu menggerakkan tubuhnya (imobilisasi). Cara untuk meminimalkan kecacatan setelah serangan stroke (pascastroke) adalah dengan rehabilitasi. Rehabilitasi penderita pascastroke salah satunya adalah dengan terapi latihan. Peningkatan intensitas latihan sebanding dengan perbaikan kualitas hidup. Terapi latihan adalah salah satu cara untuk mempercepat pemulihan pasien dari cedera dan penyakit yang dalam pentalaksanannya menggunakan gerakan aktif maupun pasif.

Gerak aktif pada jari dapat dilakukan dengan cara latihan menggenggam bola yang sering disebut dengan terapi latihan aktif-asisitif. Untuk membantu pemulihan bagian lengan atau bagian ekstremitas atas diperlukan teknik untuk merangsang tangan seperti dengan latihan spherical grip yang merupakan latihan fungsional tangan dengan cara menggenggam sebuah benda berbentuk bulat seperti bola pada telapak tangan. Latihan mengenggam bola salah satu upaya latihan

Range Of Motion (ROM) aktif. Latihan ROM diberikan pada klien stroke dengan hemiparese oleh perawat untuk memperbaiki defisit neurologis terutama gangguan fungsi motorik. Latihan ROM menjadi salah satu intervensi keperawatan yang diberikan pada pasien gangguan mobilisasi fisik baik karena bed rest yang lama atau adanya gangguan pada fungsi saraf pusat seperti yang terjadi pada klien stroke dengan hemiperese. Latihan ROM dapat dilakukan pada semua persendian tubuh terutama pada daerah kepala, ekstremitas atas, dan ekstremitas bawah. Penggunaan fisioterapi dengan metode kompres juga merupakan bagian menejemen penanganan cedera persendian atau kekuatan otot. Terapi kompres hangat dengan menggunakan cold hot pack dapat membantu pelunakan jaringan fibrosa,membuat otot tubuh lebih rileks,menurunkan atau menghilangkan rasa nyeri, memperlancar aliran darah ke tubuh, mencegah kekakuan otot sendi dan spasme otot dimana panas tersebut dapat menyebabkan vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah) sehingga menambah masuknya oksigen, nutrisi dan leukosit darah yang menuju jaringan tubuh.

(10)

independen adalah kombinsi terapi latihan ROM,genggam bola karet dan kompres hangat, variabel dependen adalah kekuatan motorik ekstermitas atas (kekuatan otot lengan bahu, kekuatan otot genggam jari dan rentang gerak sendi) serta kadar hormone kortisol. Data dikumpulkan dengan lembar observasi dan ceklist. Intervensi terapi dilakukan 6 kali dalam satu minggu selama 4 minggu dianalisis menggunakan uji Wilcoxon, paired t-test dan MANOVA dengan α = 0.05.

Hasil uji statistik perbandingan kelompok perlakuan dan kontrol kekuatan otot lengan bahu dan genggam jari pre-post didaptakan p value= 0.00 menujukkan ada beda antar kedua kelompk, pada kortisol kelompok perlakuan p value= 0.10 dan kelompok kontrol p value= 0.268 menujukkan tidak ada perbedaan atar kedua kelompok. Uji MANOVA pada kelompok perlakuan dan kontrol di dapatkan

p-value kekuatan otot lengan bahu= 0.607, kekuatan otot genggam jari =0.535, kadar hormone kortisol =0.647 dan rentang gerak sendi ekstermitas atas dengan nilai signifikan α ≥0.05 yang artinya tidak ada perbedaan antara kelompok perlakuan dan kelompok control, akan tetapi pada uji selisih rerata didapatkan bahwa kelompok perlakuan lebih tinggi dibanding kontrol. Dimana untuk variabel dependen rentang gerak sendi ekstermitas atas terdapat subvariabel antara lain rentang gerak pada sendi bahu meliputi bahu fleksi, bahu ekstensi,bahu hiperekstensi, bahu abduksi, bahu adduksi, bahu rotasi dalam, bahu rotasi luar dan bahu sirkumduski, kemudian retang gerak sendi siku meliputi siku fleksi dan siku ekstensi, lengan bawah supinasi, lengan bawah pronasi lalu sendi pada pergelangan tangan meliputi pergelangan tangan fleksi, ekstensi, hiperekstensi, abduksi dan pergelangan tangan adduksi, kemudian rentang gerak sendi pada jari-jari meliputi jari tangan fleksi, ekstensi, hiperkestensi, abduksi dan jari tangan adduksi dan yang terakhir adalah rentang gerak sendi pada ibu jari yang meliputi ibu jari fleksi, ibu jari ekstensi, ibu jari abduksi dan ibu jari adduksi, dari semua rentang gerak telah di lakukan uji stistik dengan hasil P value= 0,000 yang artinya semua rentang gerak sendi kelompok perlakuan pada setiap sendi terdapat perbedaan antara pre-post

intervensi terapi latihan kombinasi range of motion, genggam bola karet dan kompres hangat demikian juga pada kelompok control juga terdapat perbedaan antara pre-post intervensi terapi latihan satndart rumah sakit yang dijadwalan kunjungan selam 3X/minggu selama masa pemantauan 4 minggu.

(11)

meningkatkan kekuatan otot serta rentang gerak sendi, akan tetapi latihan terapi tersebut kurang berpengaruh terhadap penurunan kortisol jika digunakan untuk mengukur kadar hormone kortisol sebab terapi kompres hangat merupakan terapi rileksasi secara fisioligis bukan psikologis sehingga tidak mempengaruhi kondisi psikis klien sehigga nilai kadar hormon kortisol tetap bahkan malah meningkat karena merasa penyakit yang diderita nya berakibat pada kematian.

(12)

SUMMARY

Stroke is defined as an impaired deficit in the functioning of the nervous system and is caused by impaired blood circulation in the brain. "Stroke occurs due to blood vessel disorders in the brain, either in the form of blocked blood vessels of the brain or rupture of blood vessels in the brain. , such as decreased muscle tone, loss of sensibility in some parts of the body, decreased ability to move sick limbs and inability to perform certain activities.Stroke patients experiencing weakness on one side of the limb caused by decreased muscle tone, so unable to move body (immobilization) .The way to minimize disability after a stroke (post-stroke) is to rehabilitate.People rehabilitation is one of them with exercise therapy.Enhanced intensity of exercise is proportional to the improvement of quality of life.Action therapy is one of the ca ra to accelerate the recovery of patients from injuries and diseases that in use active or passive movements.

The active motion of the fingers can be done by means of a ball-grasping exercise that is often referred to as active-asisitive exercise therapy. To help the recovery of the arm or upper extremity is required techniques to stimulate the hand as with spherical exercise grip which is a functional exercise of the hand by grasping a round object like a ball on the palm of the hand. Exercise to grab the ball one of the Range Of Motion (ROM) practice effort is active. ROM exercises are given on stroke clients with hemiparese by nurses to correct neurological deficits especially motor function impairment. ROM exercises become one of the nursing interventions given to patients with physical mobilization disorders either due to prolonged bed rest or impaired central nervous function as occurs in stroke clients with hemiperese. ROM exercises can be performed on all joints of the body especially in the head region, upper extremity, and lower extremities. The use of physiotherapy with compress method is also part of management of joint injury or muscle strength. Warm compress therapy using cold hot packs can help soften fibrous tissue, relax the muscles of the body, reduce or relieve pain, accelerate blood flow to the body, prevent muscle joint stiffness and muscle spasms where the heat can cause vasodilation (dilation of blood vessels) thus increasing the influx of oxygen, nutrients and leukocytes of blood that lead to body tissues.

(13)

The result of statistic test for comparison of treatment group and muscle strength control of shoulder arm and hand finger pre-post obtained p value = 0.00 showed that there was difference between the two groups, in cortisol treatment group p value = 0.10 and control group p value = 0.268 showed no difference atar both groups. MANOVA test in the treatment and control group got p-value of shoulder arm muscle strength = 0.607, finger hand muscle strength = 0.535, cortisol hormone level = 0.647 and range of upper ekstermitas joint motion with significant value α ≥0.05 which means there is no difference between groups treatment and control group, but in mean difference test found that treatment group is higher than control. Where for the dependent variable the range of motion of the upper extremity joints there are subvariables such as the range of motion in the shoulder joints including the shoulders of flexion, shoulder extension, shoulder hiperekstensi, shoulder abduction, adduksi shoulder, shoulder rotation inside, shoulder rotation outside and shoulder circusduski, then elbow joint motion including elbow flexion and elbow extension, supine forearm, lower arm pronation and joints on the wrist include flex wrist, extension, hyperextension, abduction and adduction wrist, then range of joint motion on the fingers including flexion fingers, extension, hyperkestension , abduction and adductive fingers and the last is the range of motion of the joints of the thumb including flexion thumb, extension thumb, thumb abduction and adduction thumb, of all ranges of motion has been done stistic test with the result P value = 0.000 meaning that all ranges of joint motion of the treatment group at each joint there is a difference between pre-post int interventions of combined range of motion therapy exercises, hand-held rubber balls and warm compresses as well as in the control group were also found to differ between pre-post interventional hospitalized exercise therapy interventions 3X / week during a 4-week follow-up.

(14)

and restore motion and body functions throughout the life cycle by using manual handling, physical, electroterapeutic and mechanical) function and communication training (Menkes, 2001). So in this case the research nurse collaborate with the rehabilitation team that is physiotherapy to provide exercise therapy in patients with upper extermity disorders because the action of Range Of Motion can be done by nurses as a collaborative role with medical rehabilitation in accordance with the reference to the NIC standard Specifically on the positioning and action settings Active passive ROM associated with Neurological problems (Gloria, 2013). To see the instrument or measuring instrument is also found in the NOC associated with the movement of the joint movement, the movement of the shoulder joints, the movement of the finger joints, passive movement of the joints, the movement of the joints of the hands and the movement of the elbow as a parameter (Sue Moorhead, 2013) and reinforced In the Act No. 38 of 2014 on nursing explained that one of the duties of nurses is nursing care. Nursing Care is a series of interaction nurses with clients and the environment to achieve the goal of meeting the needs and independence of clients in taking care of himself. In this case the provision of nursing care nurses authorized in point no.8 ie provide nursing consultation and collaborate with the doctor. So that the intervention of physiotherapy actions on combination therapy of range of motion, hand-held rubber ball and warm compresses can be continued as a collaborative action form for medical surgical nurses with physiotherapy team so as to optimize the rehabilitation program of paschthroke clients who have muscle strength and range of motion problems in the upper extremity in hospitals and at clients' homes.

(15)

ABSTRAK

PENGARUH KOMBINASI TERAPI LATIHAN RANGE OF MOTION, GENGGAM BOLA KARET DAN KOMPRES HANGAT TERHADAP

KEKUATAN MOTORIK EKSTERMITAS ATAS DAN KADAR KORTISOL PADA KLIEN PASCA STROKE

Oleh: INDRAWATI

Introduksi: Pasien stroke yang mengalami kelemahan pada satu sisi anggota tubuh disebabkan penurunan tonus otot, sehingga tidak mampu menggerakkan tubuhnya disebut imobilisasi. Cara untuk meminimalkan kecacatan setelah serangan stroke (pascastroke) adalah dengan rehabilitasi. Rehabilitasi penderita pasacstroke salah satunya adalah dengan terapi latihan. Metode: Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian Quasy Experimental Design dengan pendekatan Pretest

dan postest. Besar sampel didapatkan dengan tekhnik consecutive sampling sesui kriteria penelitian terdiri dari 32 responden (n-perlakuan=16 dan n-kontrol=16). Data dikumpulkan dengan lembar observasi dan ceklist. Intervensi terapi dilakukan 6 kali dalam satu minggu selama 4 minggu dianalisis menggunakan uji Wilcoxon, paired t-test dan MANOVA dengan α = 0.05. Hasil: hasil uji statistik perbandingan kelompok perlakuan dan kontrol kekuatan otot lengan bahu dan genggam jari pre-post didaptakan p value= 0.00 menujukkan ada beda antar kedua kelompk, pada kortisol kelompok perlakuan p value= 0.10 dan kelompok kontrol p value= 0.268 menujukkan tidak ada. Uji MANOVA pada kelompok perlakuan dan kontrol di dapatkan p-value kekuatan otot lengan bahu= 0.607, kekuatan otot genggam jari =0.535, kadar hormone kortisol =0.647 dan rentang gerak ekstermitas atas dengan nilai signifikan α ≥0.05 yang artinya tidak ada perbedaan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, akan tetapi pada selisih rerata didapatkan bahwa kelompok perlakuan lebih tinggi dibanding kontrol. Kesimpulan: Latihan terapi kombinasi dari terapi latihan range of motian, genggam bola karet dan kompres hangat yang dilakukan secara efektif dapat meningkatkan kekuatan otot serta rentang gerak sendi, akan tetapi latihan terapi tersebut kurang berpengaruh terhadap penurunan kadar hormone kortisol.

(16)

ABSTRACT

THE EFFECT OF COMBINATION OF TRAINING THERAPY OF RANGE OF MOTION, RUBBER BALL HANDBAG AND WARM COMPRESS ON

THE POWER OF MOTORCYCLE TO EXTERMITY AND CORTISOL CONTENT IN POST STROKE CLIENTS

By : INDRAWATI

Introduction: Stroke patients who experience weakness on one side of the limb due to decreased muscle tone, so unable to move the body is called immobilization. The way to minimize disability after a stroke (post sthroke) attack is by rehabilitation. Rehabilitation of patients with pasacstroke one of them is with exercise therapy. Method: In this study, researchers used Quasy Experimental Design research with Pretest and posttest approach. The sample size was obtained by consecutive sampling technique according to the research criteria consist of 32 respondents (n-treatment = 16 and n-control = 16). Data were collected with observation sheets and checklists. Treatment interventions were performed six times a week for 4 weeks analyzed using the Wilcoxon, paired t-test and MANOVA tests with α = 0.05. Result: statistic test of comparison of treatment group and muscle strength control of shoulder arm and hand finger pre-post obtained p value = 0.00 showed difference between two groups, on cortisol treatment group p value = 0.10 and control group p value = 0.268 showed no . MANOVA test in the treatment and control group got p-value of shoulder arm muscle strength = 0.607, finger hand muscle strength = 0.535, cortisol hormone level = 0.647 and range of upper ekstermitas motif with significant value α ≥0.05 which means there is no difference between treatment group and control group, but at the mean difference found that treatment group was higher than control. Conclusion: Combination therapy from range-motion exercises, hand-held rubber balls and warm compresses effectively can increase muscle strength and range of motion, but the therapy does not significantly affect cortisol.

Keywords: ROM, Handle Rubballs, Warm Compress, Motoric Power Upperity, Cortisol

(17)

DAFTAR ISI

2.1.2 Patofisiologi Stroke ... 14

2.1.3 Klasifikasi Stroke ... 15

2.1.4 Faktor Resiko Stroek ... 19

2.1.5 Manifestasi Klinis ... 22

2.1.6 Mekanisme pemulihan fungsi motoric ... 25

2.1.7 Faktor yang mempengaruhi pemulihan Neurologis dan fungsional ... 27

2.2 Terapi Klien Stroke ... 34

2.3 Konsep Kompres Hangat ... 37

2.3.1 Pengertian Kompres ... 37

2.3.2 Fisiologi Kompres Hangat ... 40

2.3.3 Indikasi Kompres Hangat ... 43

2.3.4 Kontra indikasi Kompres Hangat ... 44

(18)

2.4 Kekuatan Otot ... 48

2.4.1 Pengertian ... 48

2.4.2 Kekuatan Otot genggan tangan ... 49

2.4.3 Fisiologi genggam tangan ... 50

2.4.4 Kekuatan otot lengan... 51

2.4.5 Mekanisme umum kontraksi kekuatan otot ... 52

2.5 Rentang Gerak Sendi ... 61

2.6.5 Kontraindikasi latihan ROM (Range Of Motion)... 68

2.6.6 Prinsip dasar Latihan ROM (Range Of Motion) ... 68

2.6.7 Macam-macam gerakan latihan ROM (Range Of Motion) ... 69

2.7 Latihan Gerak Aktif Menggenggam bola ... 75

2.7.1 Pengertian ... 75

2.7.2 Jenis Bola ... 76

2.7.3 Langakah-langkah latihan Ekstermitas atas dengan bola 79 2.8 Konsep Kadar Kortisol ... 81

2.8.1 Konsep Kadar Kortisol ... 81

2.8.2 Fisiologi Hormon Kortisol ... 81

2.8.3 Pemeriksaan Kadar Kortisol ... 85

2.8.4 Pengaturan sekresi Glukokortikotiroid……… 91

2.8.5 Ritme Sirkardian dari sekresi Glukokortikotiroid... 92

2.8.6 Pemeriksaan kadar kortisol……….. 92

2.9 Keaslian Penelitian ... 94

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS ... 113

3.1 Kerangka Konsep ... 113

3.2 Hipotesis Penelitian ... 115

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN... 117

4.1 Desain Penelitian ... 117

4.2 Populasi, Sampel dan Sampling ... 119

4.2.1 Populasi ... 119

4.2.2 Sampel ... 119

4.2.3 Sampling ... 120

4.3 Kerangka Konsep ... 123

4.4 Identifikasi Variabel dan Defenisi Operasional ... 124

4.4.1 Variabel bebas (Independen)... 124

4.4.2 Variabel terikat (Dependen) ... 124

4.4.3 Definisi Operasional... 124

4.5 Alat dan bahan… ... 127

4.6 Instrumen Penelitian ... 128

4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 131

(19)

4.8.1 Pengambilan Data ... 131

4.8.2 Pengumpulan Data ... 132

4.8.3 Pengolahan Data ... 137

4.9 Analisa Data ... 137

4.10 Ethical Clearance ... 138

BAB 5 HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN... 140

5.1 Gambaran lokasi penelitian... 140

5.2 Hasil penelitian ... 142

5.2.1 Karakteristik responden ... 142

5.2.2 Hasil penilaian pre-post intervensi ... 145

5.2.3 Uji normalitas data ... 145

5.2.4 Uji perbandingan pre-post ... 149

5.2.5 Uji perbedaan MANOVA ... 155

BAB 6 PEMBAHASAN ... 161

6.1 Pengaruh Intervensi kombinasi terapi latihan range of motion, genggam bola karet dan kompres hangat terhadap otot lengan bahu 161 6.2 Pengaruh Intervensi kombinasi terapi latihan range of motion, genggam bola karet dan kompres hangat terhadap otot genggam jari 165 6.3 Pengaruh Intervensi kombinasi terapi latihan range of motion, genggam bola karet dan kompres hangat terhadap rentang gerak 169

6.4 Pengaruh Intervensi kombinasi terapi latihan range of motion, genggam bola karet dan kompres hangat terhadap kortisol ... 171

6.5 Pengaruh Intervensi kombinasi terapi latihan range of motion, genggam bola karet dan kompres hangat terhadap kekuatan motorik ekstermitas atas dan kortisol ... 174

6.6 Temuan penelitian ... 175

6.7 Keterbatasan penelitan ... 176

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 177

7.1 Kesimpulan ... 177

7.2 Saran ... 177

7.2.1 Saran bagi pelayanan keperawatan ... 177

7.2.2 Saran bagi pendidikan keperawatan ... 178

7.2.3 Saran bagi responden dan keluarga ... 178

(20)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Nilai normal kekuatan genggam boal tangan ... 44

Tabel 2.2 Latihan ROM pergerakan persendian dan nilai rentang gerak .... 49

Tabel 2.3 Gerakan Latihan ROM aktif dan pasif ekstermitas atas ... 56

Tabel 2.4 Keaslian Penelitian ... 81

Tabel 4.1 Desain penelitian... 106

Tabel 4.2 Definisi Operasional ... 112

Tabel 5.1 Karakteristik Klien ... 143

Tabel 5.6 Hasil uji pre-post kelompok perlakuan ... 154

Tabel 5.7 Hasil uji pre-post kelompok kontrol ... 155

Tabel 5.8 Hasil uji perbandingan pre-post kelmpok perlakuan ... 157

Tabel 5.9 Hasil uji perbandingan pre-post kelompk kontrol ... 160

Tabel 5.10 Hasil uji nilai selisih post kelompok perlakuan kontrol lengan bahu, genggam jari tangan, rentang gerak dan kortisol ... 163

Tabel 5.11 Hasil uji Univariat post kelompok perlakuan kontrol lengan bahu, genggam jari tangan dan kortisol ... 165

(21)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kantung panas dingin (cold hot pack) ... 34

Gambar 2.2 Otot bagian telapak tangan ... 41

Gambar 2.3 Alat ukur genggam jari (Handgrip Dynamometer) ... 42

Gambar 2.4 Otot bagian lengan ... 46

Gambar 2.5 Alat ukur rentang gerak (Geniometer) ... 48

Gambar 2.6 Gerakan latihan ROM pasif pada telapak tangan dan jari ... 60

Gambar 2.7 Gerakan latihan ROM pasif pada pergerakan lengan ... 61

Gambar 2.8 Genggam bola karet spherichal-Grip ... 67

Gambar 2.9 Diagram HPA Axis respon terhadap stress ... 74

Gambar 3.1 Kerangka Konsep ... 101

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat permohonan kelompok perlakuan ... 201 Lampiran 2 Surat permohonan kelompok control ... 203 Lampiran 3 Surat Pernyataan responden ... 205 Lampiran 4 Kuesioner data demografi ... 206 Lampiran 5 Kuesioner derajat kecacatan Stroke responden ... 208 Lampiran 6 Standar Prosedur Operasional kompres hangat ... 209 Lampiran 7 Standar Prosedur Operasional latihan ROM ... 210 Lampiran 8 Standar Prosedur Operasional Genggam bola ... 226 Lampiran 9 Standar Prosedur Operasional Penilaian

(23)

DAFTAR SINGKATAN

ACTH = Adrenocorticotraphine Hormon

ADL = Activity of Daily Living

ADP = adenosine difosfat

AHA = American Heart Association

ATP = adenosine trifosfat

CNS = Central Nervo System

CRF = Corticotrophine Releasing Factor

GCs = Glukokortikoid

fMRI = functional neuroimaging techniques

KepMenKes = Keputusan Menteri Kesehatan ROM = Range Of Motion

NCHS = National Center of Health Statistics

MANOVA = Multivariate Analysis Of Variance

TIA = Transient Ischemic Attack

HPA = Hipotalamus Pituytari Adrenal TIK = Tekanan Intrakranial

TMS = transcranial magnetic stimulation

(24)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stroke didefenisikan sebagai defisit (gangguan) fungsi sistem saraf yang terjadi mendadak dan disebabkan oleh gangguan peredaran darah di otak" Stroke terjadi akibat gangguan pembuluh darah di otak, baik berupa tersumbatnya pembuluh darah otak atau pecahnya pembuluh darah di otak. Otak yang seharusnya mendapat pasokan oksigen dan zat makanan menjadi terganggu. Sehingga memunculkan sel saraf neuron dan rnemunculkan gejala stroke (Brunner dan Suddarth, 2008). Stroke diklasifikasikan menjadi dua, yaitu stroke iskemik dan

stroke hemoragik. Sekitar 80-85% merupakan stroke iskemik dan sisanya adalah

stroke hemoragik (Price & Wilson, 2006).

(25)

prevalensi stroke di Indonesia sebesar 12,1 per 1.000 penduduk. Angka tersebut naik sebesar 8,3 % dibandingkan Rikesda tahun 2007. Dan di Indonesia penelitian berskala cukup besar dilakukan oleh survey ASNA (Asean Neurologic Association) di 28 rumah sakit di seluruh Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada penderita stroke akut yang dirawat di rumah sakit, dan dilakukan survey mengenai faktor-faktor risiko, lama perawatan dan mortalitas serta morbiditasnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan dan profil usia di bawah 45 tahun cukup banyak yaitu 11,8%, usia 45 - 64 tahun berjumlah 54,7 % dan di atas usia 65 tahun 33,5 %. Selama Tahun 2017 ditemukan sebanyak 471 pasien stroke yang berobat ke poli saraf dan menjalani terapi di poli rehab. Dan data pasien tersebut mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan tahun 2016 dimana hanya 321 pasien. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan bulan November diketahui 55 klien yang menjalani terapi latihan di Ruang Poli Rehab Medik RSU Dr.Wahidin Sudiro Husodo Mojokerto paling banyak mengalami kelumpuhan pada ekstermitas atas dan menjalani terapi selama 3 bulan belum juga sembuh atau belom menunjukkan ke peningkatan kekuatan otot dan peningkatan rentang gerak secara siknifikan, karena klien tidak teratur atau patuh pada jadwal terapi yang telah ditentukan. Berdasarkan wawancara dengan kepala ruangan Poli Rehab Medik diketahui setiap bulannya terdapat 1 sampai dengan 4 klien baru yang menjalani fisioterapi dan yang lama tiap bulanya antara 20 – 60 klien yang menjalani fisioterapi di poli rehab medik.

(26)

kemampuan untuk menggerakan anggota tubuh yang sakit dan ketidakmampuan dalam hal melakukan aktivitas tertentu. Pasien stroke yang mengalami kelemahan pada satu sisi anggota tubuh disebabkan oleh karena penurunan tonus otot, sehingga tidak mampu menggerakkan tubuhnya (imobilisasi). Imobilisasi yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat, akan menimbulkan komplikasi berupa

abnormalitas tonus, orthostatic hypotension, deep vein thrombosis dan kontraktur (Mubarak, 2008). Cara untuk meminimalkan kecacatan setelah serangan stroke adalah dengan rehabilitasi. Rehabilitasi penderita stroke salah satunya adalah dengan terapi latihan. Peningkatan intensitas latihan sebanding dengan perbaikan kualitas hidup. Terapi latihan adalah salah satu cara untuk mempercepat pemulihan pasien dari cedera dan penyakit yang dalam pentalaksanannya menggunakan gerakan aktif maupun pasif. Gerakan pasif adalah gerak yang digerakkan oleh orang lain dan gerak aktif adalah gerak yang dihasilkan oleh kontraksi otot sendiri. Pemulihan kekuatan ekstremitas masih merupakan masalah utama yang dihadapi oleh pasien stroke yang mengalami hemiparesis. Sekitar 80% pasien mengalami

(27)

peneliti akan berkolaborasi dengan tim rehabilitasi yaitu fisioterapi untuk memberikan terapi latihan pada pasien dengan gangguan ekstermitas atas karena tindakan Range Of Motion ini bisa dilakukan oleh perawat sebagai peran kolaboratif dengan rehabilitasi medik sesuai dengan acuan pada standart NIC Khususnya pada pengaturan posisi dan tindakan ROM aktif pasif terkait dengan maslah Neurologis (Gloria,2013). Untuk melihat instrument atau alat ukurnya juga terdapat di NOC terkait dengan pergerakan yaitu pergerakan sendi, pergerakan sendi bahu, pergerakan sendi jari jemari, pergerakan sendi pasif, pergerakan sendi tangan dan pergerakan siku sebagai parameternya (Sue Moorhead, 2013) dan diperkuat Dalam Undang-Undang No. 38 tahun 2014 tentang keperawatan dijelaskan bahwa salah satu tugas perawat adalah pemberi asuhan keperawatan. Asuhan Keperawatan adalah rangkaian interaksi perawat dengan klien dan lingkungan untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan kemandirian klien dalam merawat dirinya. Dalam hal ini pemberian asuhan keperawatan perawat berwenang dalam poin no.8 yaitu memberikan konsultasi keperawatan dan berkolaborasi dengan dokter.

(28)

terdahulu menunjukkan bahwa kepatuhan menjalankan terapi latihan akan meningkatkan kekuatan otot dan rentang gerak sendi yang mengalami kelumpuhan pada pasien pasca stroke.

(29)

perlakuan berupa latihan gerak aktif, yaitu menggenggam bola karet selama satu (1) bulan, kemudian kekuatan otot diukur menggunakan handgrip Dynamometer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh bermakna latihan gerak aktif menggenggam bola karet terhadap kekuatan otot tangan klien stroke (p=0,000). Dengan demikian Stroke masih merupakan masalah utama di bidang kesehatan pada umumnya. Kesembuhan pada penderita stroke dengan hemiparese sangat bervariasi. Ada yang bisa sembuh sempurna (100 %), ada pula yang hanya (50 %) saja. Kesembuhan ini tergantung dari parah atau tidaknya serangan stroke, kondisi tubuh penderita, ketaatan penderita dalam menjalani proses penyembuhan, ketekunan dan semangat penderita untuk sembuh, serta dukungan dan pengertian dari seluruh anggota keluarga penderita (Brunner dan Suddarth, 2008). Untuk mengatasi masalah krusial ini diperlukan strategi penangulangan Stroke yang mencakup aspek preventif, terapi rehabilitasi, dan promotif. Sehingga keberadaan unit Stroke di rumah sakit tak lagi hanya sekadar pelengkap, tetapi sudah menjadi keharusan, terlebih bila melihat angka penderita Stroke yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

(30)

pada klien stroke dengan hemiperese. Latihan ROM dapat dilakukan pada semua persendian tubuh terutama pada daerah kepala, ekstremitas atas, dan ekstremitas bawah (Doenges, 2002). Dengan demikian program Latihan ROM secara dini pada klien stroke yang tidak ada kontraindikasi adalah salah satu program mobilisasi fisik yang harus segera dilakukan. Dengan dilakukan latihan khusus tersebut diharapkan kekuatan otot akan segera meningkat sehingga klien lebih cepat beraktifitas secara mandiri. Penggunaan fisioterapi dengan metode kompres juga merupakan bagian menejemen penanganan cedera persendian atau kekuatan otot. Beberapa jenis dan teknik fisioterapi seperti terapi thermotherapy dan terapi dingin

coldtherapy dapat dipergunakan untuk mengatasi cedera persedian. Cara kerja terapi panas ini yaitu untuk meningkatkan aktivitas molekuler (sel) dengan metode pengaliran energi melalui konduksi (pengaliran lewat medium padat), konveksi (pengaliran lewat medium cair atau gas), konversi (pengubahan bentuk energi) dan radiasi (pemancaran energi). Pengertian terapi kompres panas hangat atau

(31)

mensuplai protein, nutrisi, dan O2 ke sekitar area cedera. Peningkatan suhu 1oC di jaringan menigkatkan kerja metabolisme di area lokal (tertentu) sebesar 10-15%. Saat penghentian proses peradangan melalui RICE (Rest, Ice, Compres, Elevation), pengobatan perlu diubah dengan bentuk terapi panas. Sirkulasi terapi panas yang meningkat pada daerah alat pelepas jaringan yang rusak dapat memperbaiki cedera pada tubuh tersebut. Hal ini membantu mengurangi kekakuan didaerah terjadinya cedera persendian. Pemanas dipakai selama 20 sampai 30 menit, tiga sampai empat kali sehari (Jhon M.Mayer,. et al ,2005).

Kecemasan pada klien yang mengalami stroke dengan hemiparese juga diartikan sebagai kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak berdaya (Ogce & Ozkan, 2013). Tingkat stress yang cukup tinggi yang mempengaruhi bagian hippotalamus diotak, bagian yang berperan penting dalam kemampuan berfikir dan mengalami tingkat kecemasan bahwa stroke yang dialami tidak akan sembuh. Hal ini dipengaruhi hormone kortisol, adalah hormon glukokortikoid utama dengan 21 atom karbon dibentuk dari kolesterol di korteks adrenal yang berada di suprarenal. Kortisol disebut juga sebagai hormon stress karena pembentukannya dapat dipicu dari stress baik emosional maupun biological (Brown, 2012).

Dari penjelasan tersebut di atas menunjukkan bukti secara empiris bahwa teknik terapi kompres hangat (thermotheraphy), latihan genggam bola dan latihan

(32)

otot (Bethesda Stroke Center, 2010). Dimana thermotherapy akan digantikan dngan terapi kompres hangat dengan menggunakan cold hot pack yang dapat membantu meredakan nyeri, kekakuan otot sendi dan spasme otot dimana panas tersebut dapat menyebabkan vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah) sehingga menambah masuknya oksigen, nutrisi dan leukosit darah yang menuju jaringan tubuh (Perry & Potter 2006). Latihan Menggenggam bola kare merupakan latihan untuk membantu pemulihan bagian genggaman tangan dan kekuatan lengan atau ekstermitas atas dengan modalitas rangsang sensorik raba halus dan tekanan dimana respon akan disampaikaan ke korteks sensorik melalui badan sel pada saraf C7-T1 secara langsung melalui sistim limbic menimbulkan respon cepat pada saraf untuk melakukan aksi atas rangsangan.

(33)

fibrosa,membuat otot tubuh lebih rileks,menurunkan atau menghilangkan rasa nyeri dan memperlancar aliran darah ke tubuh (Jhon M.Mayer., et al ,2005).

Kematian jaringan otak akibat stroke dapat menyebabkan menurunnya bahkan hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh jaringan tersebut. Salah satu gejala yang ditimbulkan adalah kelemahan otot pada bagian anggota gerak tubuh yang terkena seperti jari-jari tangan. Fungsi tangan begitu penting dala

m melakukan aktivitas sehari-hari dan merupakan bagian yang paling aktif, maka lesi pada bagian otak yang mengakibatkan kelemahan pada ekstremitas akan sangat menghambat dan mengganggu kemampuan dan aktivitas sehari-hari seseorang.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh dari pemberian terapi kombinasi Latihan Range of motion, genggam bola karet dan kompres hangat terhadap kekuatan motorik ekstermitas atas dan kadar kortisol pada klien pasca stroke di RSU Dr.Wahidin Sudiro Husodo Mojokerto.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

(34)

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengukur kekuatan otot lengan dan bahu, kekuatan otot genggam jari, luas rentang gerak ekstermitas atas dan kadar kortisol sebelum dilakukan tindakan terapi kombinasi latihan Range of motion, latihan genggam bola karet dan kompres hangat.

2. Mengukur kekuatan otot lengan dan bahu, kekuatan otot genggam jari, luas rentang gerak ekstermitas atas dan kadar kortisol setelah dilakukan tindakan terapi kombinasi latihan Range of motion, latihan genggam bola karet dan kompres hangat.

3. Mengidentifikasi perbedaan kekuatan otot lengan dan bahu,kekuatan otot genggam jari, luas rentang gerak ekstermitas atas dan kadar kortisol pre dan post terapi kombinasi latihan Range of motion, latihan genggam bola karet dan kompres hangat.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis

(35)

1.4.2 Manfaat praktis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan pelaksanaan terapi kombinasi latihan

(36)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan tentang konsep-konsep dan teori yang berhubungan dengan penelitian, diantaranya konsep dan teori stroke dan terapi ROM Genggam bola dan Kompres hangat untuk mengatasi kelemahan otot, keterbatasan rentang gerak ekstremitas atas dan kadar hormon kortisol.

2.1 Konsep Stroke 2.1.1 Pengertian

Stroke adalah suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan perubahan neurologis yang disebabkan oleh terhentinya suplai darah ke bagian otak. Stroke merupakan kerusakan saraf akibat kelainan pembuluh darah yang berlangsung lebih dari 24 jam (Black & Hawk, 2009). Menurut Price & Wilson (2005), stroke adalah penyakit serebrovaskuler yang mengacu kepada setiap gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat keterbatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak. Stroke diartikan sebagai suatu kondisi abnormal dari pembuluh darah otak yang disebabkan oleh adanya perdarahan pada otak atau adanya pembentukan embolus atau thrombus yang menghambat aliran darah dalam pembuluh darah arteri. Kondisi ini menyebabkan terjadinya iskemik jaringan otak yang seharusnya secara normal diperdarahi oleh pembuluh darah yang telah rusak tersebut.

(37)

tekan, konstipasi dan Tromboplebitis. Dalam hal paralisis adanya nyeri pada daerah punggung, dislokasi sendi, deformitas dan terjatuh.Dalam hal kerusakan otak terjadi epilepsy dan sakit kepala sera Hidrosefalus ( Muttaqin, 2008 :253).

2.1.2 Patofisiologi Stroke

(38)

iskemia, akhirnya terjadi infark pada jaringan otak. Emboli disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri karotis. Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologis fokal. Perdarahan otak dapat disebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.

Stroke hemoragik terjadi dimana pembuluh darah yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau ruangan subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intracranial yang seharusnya konstan. Adanya perubahan komponen intracranial yang tidak dapat dikompensasi tubuh akan menimbulkan tingkatan TIK yang bila berlanjut akan menyebabkan herniasi otak sehingga timbul kematian. Disamping itu, darah yang mengalir ke substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.

2.1.3 Klasifikasi Stroke

Stroke dapat diklasifikasi berdasarkan penyebab, stadium/pertimbangan waktu dan berdasarkan sistem pembuluh darah yang terganggu (Misbach, 2007).

2.1.3.1Klasifikasi Stroke Berdasarkan Penyebab 1) Stroke Iskemik

(39)

a) Stroke Lakunar

Infark lakunar terjadi karena penyakit pembuluh halus hipertensif dan menyebabkan sindrom stroke yang biasanya muncul dalam beberapa jam bahkan lebih lama, infark lakunar terjadi setelah oklusi aterotrombotik atau hialin lipid salah satu dari cabang penetrans sirkulasi Willis, arteri serebra media, atau arteri vetebralis dan basilaris b) Stroke Trombotik

Stroke yang disebabkan adanya lesi aterosklerotik yang menyebabkan stenosis atau penyempitan di arteri karotis interna, arteri serebra media, arteri vertebralis dan arteri basalis. Stroke ini sering terjadi saat tidur, dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun. c) Stroke Embolik

Stroke yang terjadi akibat embolus biasanya menimbulkan defisit neurologik mendadak dengan efek maksimun sejak awitan penyakit. Trombus mural jantung merupakan sumber tersering, fragmen embolus dari jantung mencapai otak melalui arteri karotis atau vertebralis.

d) Stroke Kriptogenik

Stroke yang menyebabkan oklusi mendadak pembuluh intrakranium besar tanpa penyebab yang jelas/sumber yang tersembunyi (Price & Wilson, 2005).

2) Stroke Hemoragik

(40)

a. Stroke Hemoragik Intraserebrum

Perdarahan intraserebrum kedalam jaringan otak akibat cedera vaskuler yang dipicu oleh hipertensi dan ruptur salah satu dari banyak arteri kecil yang menembus jauh kedalam jaringan otak.

b. Stroke Hemoragik Subarachnoid

Perdarahan subarachnoid yang disebabkan karena ruptur aneurisma vascular dan trauma kepala. perdarahan terjadi secara masif dan ekstravasasi ke dalam ruang subarachnoid (Lewis et al, 2007).

2.1.3.2Klasifikasi Stroke Berdasarkan Stadium/Pertimbangan Waktu, yaitu : 1. TIA (Transient Ischemic Attack)

TIA atau serangan iskemik transien adalah serangan defisit neurologis yang mendadak dan singkat akibat iskemik otak fokal yang cenderung membaik dengan kecepatan dan tingkat penyembuhan yang bervariasi tetapi biasanya dalam 24 jam.

2. Stroke-in-Evolution

Stroke in volution merupakan perkembangan stroke ke arah yang lebih berat yang terjadi secara perlahan yang dapat menyebabkan kelainan neurologis menetap (permanen) dengan karakteristik seperti pada gejala TIA, namun

yang paling menonjol adalah tanda dan gejala makin lama semakin bertambah buruk yang dapat terjadi selama beberapa jam sampai beberapa hari.

3. Completed Stroke

(41)

utamanya adalah berawal adari serangan TIA yang berulang diikuti oleh stroke in volution. Kelainan neurologi yang terjadi bersifat menetap.

2.1.3.3Derajat kecacatan Strok

Menilai tingkat kecacatan pascastroke dapa digunakan menggunakan Skala Rankin yang dimodifikasi ( The modified rankin scale) (Irfan, 2012), dengan skala sebagai berikut :

1. Kecacatan derajat 0

1) tidak ada gangguan fungsi 2. Kecacatan derajat 1

1) Hampir tidak ada gangguan fungsi aktifitas sehari hari 2) Klien mampu melakukan tugas dan kewajiban sehari hari 3. Kecacatan derajat 2 (ringan)

1) Klien tidak mampu melakukan aktifitas seperti sebelumnya. Tetapi dapat melakukan sedniri tanpa bantuan orang lain

4. Kecacatan derajat 3 (sedang)

1) Klien memerlukan bantuan orang lain tetapi masih mampu berjalan tanpa bantuan orang lain, walaupun mungkin menggunakan tongkat.

5. Kecacatan derajat 4 (sedang – berat)

1) Klien tidak dapat berjalan tanpa bantuan orang lain

(42)

6. Kecacatan derajat 5 (berat).

1) Klien terpaksa berbaring ditempat tidur dan buang air besar dan kecil tidak terasa (inkontinesia), selalu memerlukan perawatan dan perhatian.

2.1.4 Faktor Risiko

2.1.4.1Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi

1) Usia

Risiko terkena stroke meningkat sejak usia 45 tahun. Setelah mencapai usia 50 tahun, setiap penambahan usia tiga tahun meningkatkan risiko stroke sebesar 11 – 20 %. Orang berusia lebih dari 65 tahun memiliki risiko paling tinggi, tetapi hampir 25 % dari semua stroke terjadi pada orang berusia kurang dari itu, dan hampir 4 % terjadi pada orang berusia antara 15 dan 40 tahun. Stroke jarang terjadi pada anak berusia kurang dari 15 tahun.

2) Jenis Kelamin

(43)

3) Ras

Penduduk Afrika-Amerika mempunyai insiden terkena stroke dan meninggal karena stroke lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk berkulit putih. Stroke mengenai penduduk Maori dan kepulauan pasifik 10 – 15 tahun lebih awal dibandingkan dengan orang Eropa. Hal ini mungkin dihubungkan dengan tingginya kejadian hipertensi, obesitas dan diabetes mellitus pada orang Afrika- Amerika.

4) Riwayat Genetik

Genetik jarang menjadi penyebab langsung stroke. Tetapi berperan besar dalam beberapa faktor risiko misalnya penyakit hipertensi, diabetes mellitus, dan kelainan pembuluh darah. Riwayat stroke dalam keluarga, terutama jika dua atau lebih anggota keluarga pernah mengalami stroke pada usia kurang dari 65 tahun meningkatkan risiko terkena stroke.

2.1.4.2 Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi 1) Merokok

Merokok meningkatkan risiko terkena stroke empat kali lipat, merokok menyebabkan penyempitan dan pergeseran arteri di seluruh tubuh, sehingga mendorong terjadinya aterosklerosis, mengurangi aliran darah, meningkatkan pembentukan dan pertumbuhan aneurisma intrakranium. Risiko terkena stroke sekitar 20% lebih tinggi bagi wanita perokok daripada pria perokok. Perokok pasif meningkatkan kemungkinan terkena stroke hampir sebesar 80%.

2) Alkoholisme

(44)

risiko stroke, terutama stroke hemoragik beberapa kali lipat. 3) Hipertensi

Tekanan darah yang meningkat secara perlahan merusak dinding pembuluh darah dengan memperkeras arteri dan mendorong terbentuknya bekuan darah dan aneurisma yang akan menyebabkan stroke. Orang yang menderita hipertensi memiliki risiko tujuh kali lebih besar mengalami stroke dibandingkan orang yang normal. 4) Inaktivitas Fisik

Orang yang kurang aktif secara fisik memiliki hampir 50% peningkatan risiko terkena stroke dibandingkan dengan yang aktif. Inaktivitas fisik menyebabkan peningkatan berat badan dan tekanan darah, menyebabkan timbulnya aterosklerosis.

5) Penyakit Jantung

Embolus yang terbentuk dijantung karena penyakit jantung, terlepas dan mengalir keotak, bekuan darah tersebut menyumbat arteri dan menimbulkan stroke iskemik. Fibrilasi atrium yang tidak diobati meningkatkan risiko stroke empat hingga tujuh kali lipat.

6) Kadar Kolesterol Tinggi

Kadar kolesterol yang tinggi meningkatkan risiko aterosklerosis dan penyakit jantung koroner. Keadaan ini meningkatkan sekitar 20% risiko stroke iskemik atau TIA.

7) Diabetes Mellitus

(45)

dapat menimbulkan perubahan pada sistem vaskuler dan mendorong terjadinya aterosklerosis.

8) Kontrasepsi Oral

Kontrasepsi oral kombinasi meningkatakn risiko stroke iskemik, terutama pada wanita perokok yang berusia lebih dari 30 tahun. Kontrasepsi kombinasi meningkatkan tekanan darah, meneybabkan darah lebih kental dan lebih mudah membentuk bekuan/gumpalan.

9) Obesitas

Kelebihan berat badan meningkatkan risiko stroke sekitar 15% dengan meningkatkan hipertensi, penyakit jantung dan aterosklerosis, yang semuanya merupakan faktor risiko stroke (Feigin, 2006).

2.1.5 Manifestasi Klinis

Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi, ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral. Adapun tanda dan gejalanya yaitu :

a. Defisit Motorik

(46)

motorik. Karena neuron motor atas melintas, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak, terjadi hemiplegia atau paralisis pada salah satu sisi karena lesi pada sisi otak yang berlawanan dan hemiparesis (kelemahan pada sisi tubuh yang lain).

b. Komunikasi

Hemisfer kiri dominan dalam keterampilan berbahasa, ketidakmampuan berbahasa termasuk ekspresi, penulisan serta pengucapan kata. Pasien mengalami afasia dan disfasia. Stroke yang mempengaruhi area Werknicke menyebabkan

receptive aphasia, sedangkan pada area Broca menyababkan expressive aphasia. Pasien stroke juga mengalami disatria, gangguan pada otot bicara yang mempengaruhi cara berbicara seperti pengucapan dan artikulasi.

c. Afek

Pasien yang mengalami stroke sulit untuk mengontrol emosinya. Respon emosi berlebihan dan tidak terduga. Perasaan depresi dihubungkan dengan perubahan body image dan kehilangan fungsi, pasien juga terkadang frustasi karena gangguan mobilitas dan ketidakmampuan berkomunikasi dengan baik.

d. Fungsi Intelektual

(47)

e. Perubahan Spasial Persepsi

Stroke pada sisi sebelah kanan otak, sering mengakibatkan masalah pada spasial persepsi orientasi, meskipun juga terjadi pada belahan otak sebelah kiri. Masalah sapsial perceptual dibagi kedalam empat kategori. Kategori pertama berhubungan dengan persepsi pasien yang tidak tepat terhadap diri dan penyakitnya, hal ini berkaitan dengan gangguan pada lobus parietal. Pasien mungkin mengingkari penyakitnya dan bagian dari tubuhnya. Kategori kedua, persepsi pasien yang salah terhadap tempat/ruang, pasien mengabaikan semua input dari sisi yang terkena. Hal ini diperburuk dengan homonymous hemianopsia, dimana terjadi kebutaan yang sama pada kedua mata, setengah lapang pandang, pasien juga sulit berorientasi spasial terhadap jarak. Kategori ketiga agnosia, ketidakmampuan mengenali objek melalui penglihatan, sentuhan ataupun pendengaran. Kategori keempat apraksia, ketidakmampuan mengikuti perintah dalam gerakan. Pasien mungkin menyadari ataupun tidak perubahan spasial persepsinya.

f. Eliminasi

(48)

2.1.6 Mekanisme Pemulihan Fungsi Motorik

Stroke menjadi penyebab utama ketidakmampuan fisik. Kerusakan fungsi motorik menjadi salah satu efek sisa yang paling serius pada pasien stroke. Lebih dari 50% pasien stroke mengalami defisit motorik. Rehabilitasi pada stroke difokuskan pada aspek plastisitas otak, sehingga pemahaman tentang mekanisme pemulihan motorik memiliki implikasi yang penting terhadap rehabilitasi stroke karena dapat menyediakan dasar untuk merancang strategi rehabilitasi yang ilmiah pada pasien yang mengalami hemiparesis. Sejak diperkenalkannya transcranial magnetic stimulation (TMS) dan functional neuroimaging techniques (fMRI), telah banyak upaya yang dilakukan untuk menjelaskan mekanisme pemulihan fungsi morotik pada pasien stroke (Kun IKa Nur Rahayu., 2015). Walaupun mekanisme pemulihan motorik pasca stroke belum dapat diuraikan secara jelas, namun beberapa mekanisme telah pernah dikemukakan, yaitu:

a. Jalur Motorik Ipsilateral (Ipsilateral Motor Pathway)

(49)

b. Reorganisasi Peri-lesional (Peri-lesional Reorganization)

Status klinis pasien stroke yang mengalami pemulihan melalui jalur pemulihan peri-lesional tampak lebih baik jika dibandingkan dengan pemulihan melalui jalur motorik ipsilateral (Cramer et al, 2001). Reorganisasi pada korteks yang berdekatan merupakan aspek penting dalam mempertahankan kecekatan dan ketangkasan pada ekstremitas hemiplegik. Lebih lanjut, persistensi traktus kortikospinal penting untuk mekanisme pemulihan fungsional, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa status klinis pada pasien stroke yang mengalami pemulihan melalui reorganisasi peri-lesional berkaitan dengan mekanisme reorgarganisasi yang melibatkan perekrutan traktus kortikospinal dari area peri- lesional. Hal ini mungkin terjadi, karena traktus kortikospinal juga memiliki beberapa area yang menjadi pangkal korteks motorik utama. Area-area ini meliputi korteks premotorik, korteks parietal dan mediolateral yang mewakili korteks motorik utama (Jang, 2007).

c. Pemulihan Kortikospinal Lateral yang Rusak (Recovery of a Damaged Lateral CST)

Diantara mekanisme-mekanisme pemulihan motrik pada pasien stroke, pemulihan melalui mekanisme traktus kortikospinal yang rusak menunjukkan

(50)

lainnya adalah traktur kortikospinalis lateral, yang tidak melintas pada medula. Fungsi utama pada kortikospinal lateral adalah untuk mengontrol perototan (musculature) pada bagian distal yang digunakan untuk pergerakan morotik halus, dimana telah diketahui bahwa pada pasien pasca stroke tidak mampu melakukan aktivitas motorik halus pada tangannya setelah mengalami cedera pada traktus kortikospinal lateral. Oleh karena itu, traktus kortikospinal penting dalam memproduksi pergerakan jari yang mandiri dan individual (Brunner dan Suddarth., 2008).

d. Kontribusi Area Motorik Sekunder (Contribution of the Secondary Motor Area) Beberapa penelitian mengakui bahwa aktivasi area motorik sekunder pada pasien stroke dapat berperan pada pemulihan motorik (Cramer et al, 2001). Korteks premotorik dan korteks tambahan dapat diaktivasi melalui imajinasi pergerakan kompleks. Oleh karena itu, hal ini masih kontroversial apakah aktivasi area motorik sekunder berkontribusi pada pemulihan motorik pasien stroke. Area motrik lainnya yang diakui berkontribusi pada pemulihan motorik adalah serebelum. Aktivasi serebelum hemisfer yang berlawanan dengan traktus kortikospinal yang mengalami cedera menunjukkan pemulihan yang baik pada pasien stroke (Brunner dan Suddarth., 2008).

2.1.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemulihan Neurologis dan Fungsional a. Usia

(51)

fungsi organ secara keseluruhan sehingga akan memberikan dampak pemulihan yang berbeda antara pasien stroke usia muda dengan usia yang lebih lanjut (Kozier, Erb & Olivery, 1995).

b. Tipe Stroke

Stroke non hemoragik memiliki tingkat pemulihan yang lebih cepat jika dibandingkan dengan stroke hemoragik. Dilihat dari insiden bahwa stroke non hemoragik lebih tinggi dari stroke hemoragik namun dari tingkat mortalitas lebih banyak stroke hemoragik (AHA, 2010).

c. Jenis Kelamin

Jenis kelamin secara spesifik belum diketahui mempengaruhi pemulihan pasca stroke, namun insiden stroke jenis kelamin laki-laki memiliki insiden yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan. Adanya perbedaan insiden menandakan adanya gangguan neurologis pada jenis kelamin laki-laki sehingga akan memberikan dampak pada pemulihan neurologi maupun fungsional (AHA, 2010). d. Frekuensi Stroke

Pasien dengan serangan stroke yang berulang menandakan adanya kerusakan sistem neurologi yang lebih luas dibandingkan dengan orang yang baru terserang stroke yang pertama. Pada saat pemulihan orang dengan serangan stroke berulang membutuhkan waktu dan latihan yang lebih lama (Damush, 2007).

e. Faktor Risiko

(52)

juga akan mempercepat pemulihan pasien stroke dengan defisit neurologis berupa kelemahan motorik.

f. Admission Time

Admission time atau waktu masuk rumah sakit setelah serangan juga faktor yang mempengaruhi pemulihan pasien pasca stroke. Semakin cepat pasien mendapatkan pertolongan yang tepat maka terjadinya infark serebri semakin kecil dengan demikian defisit neurologis yang ditimbulkan lebih ringan. Pemulihan pasien stroke dengan infark serebri yang minimal akan lebih cepat dibandingkan dengan pasien stroke dengan infark serebri yang luas. Pada penderita stroke iskemik didapatkan hanya seperempat (25,5%) dari penderita yang dirawat ternyata masuk rumah sakit kurang dari 6 jam setelah serangan padahal pengobatan stroke akan memberikan hasil yang maksimal untuk mereperfusi serebral hanya dalam waktu kurang dari 6 jam dari

admission time (Misbach, 2007).

Waktu yang dimiliki oleh seseorang ketika terjadi stroke adalah 3-6 jam untuk segera mendapat pertolongan yang tepat di Rumah Sakit yang disebut dengan golden period (periode emas). Lebih dari 6 jam, pasien akan dapat mengalami kecacatan yang berat, karena berat ringannya kecacatan yang ditimbulkan akibat stroke ditentukan dengan penanganan awal yang tepat dengan memanfaatkan golden period tersebut dan jenis stroke yang dialami oleh pasien (Sutrisno, 2007).

g. Keadaan Neuromuskuloskeletal

(53)

kontraktur maka pasien akan merasakan nyeri saat dilakukan gerakan sehingga mempengaruhi proses pemulihan (Kozier, Erb, & Olivery, 1995).

h. Komplikasi Non Neurologis

Adanya komplikasi non neurologis seperti dekubitus, inkontinensia urin, infeksi saluran napas dapat menyebabkan terganggunya peroses pemulihan pada klien stroke (Sutrisno, 2007).

2.1.8 Gejala Stroke

Kelumpuhan/disabilitas adalah salah satu gejala umum yang dialami pasien stroke, kelumpuhan terjadi pada salah satu sisi tubuh yang berlawanan dengan sisi otak yang mengalami kerusakan akibat stroke, kelumpuhan dapat berupa hemiparesis atau hemiplegia. Keadaan ini dapat mempengaruhi wajah, lengan dan kaki atau seluruh sisi tubuh sehingga pasien mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari hari seperti berjalan atau memegang benda (National Institut of Neurological Dissorder and Stroke [NINDS], 2008). Gejala-gejalanya yaitu antara lain:

1. Pusing 2. Kejang

3. Gangguan penglihatan

4. Gangguan bicara yang bersifat sementara 5. Lumpuh/paresis pada satu sisi tubuh

(54)

2.1.9 Komplikasi stroke

Selain kematian, komplikasi stroke meliputi:

1. Aritmia (detak jantung tidak beraturan) dan infark miokardial (kematian sel-sel jantung)

2. Pneumonia dan edema paru

3. Disfagia (kesulitan menelan) dan aspirasi Kerusakan yang disebabkan oleh stroke dapat mengganggu refleks menelan, akibatnya partikel-partikel makanan bisa masuk ke dalam saluran pernapasan. Masalah dalam menelan tersebut dikenal sebagai disfagia Agar komplikasi yang berasal dari disfagia bisa dihindari, ketika makan, pasien stroke bisa dibantu dengan sebuah selang. Selang tersebut dimasukkan ke dalam hidung, lalu diteruskan ke dalam perut mereka. Namun adakalanya selang tersebut bisa juga langsung dihubungkan ke perut pasien melalui operasi. Lamanya pasien membutuhkan selang makanan bervariasi, mulai dari beberapa minggu hingga beberapa bulan. Namun jarang ada pasien yang harus menggunakan selang makanan selama lebih dari enam bulan.

4. Trombosis vena

(55)

akan meningkat. Hal ini meningkatkan risiko untuk terjadinya penggumpalan darah.

Jika Anda mengalami trombosis vena dalam, maka Anda membutuhkan penanganan yang cepat karena pembekuan tersebut kemungkinan dapat beralih ke paru-paru. Kondisi tersebut dikenal sebagai emboli paru dan dapat mengakibatkan kematian.Trombosis vena dalam dapat diobati dengan obat anti pembekuan. Dokter mungkin akan menyarankan Anda memakai stoking varises jika Anda berisiko terkena trombosis vena dalam di masa yang akan datang. Penggunaan stoking varises dimaksudkan untuk mengurangi tekanan darah pada kaki Anda.

5. Infeksi saluran kencing, tidak dapat menahan kencing (inkontinensia urine), dan tidak dapat melakukan kegiatan seksual (disfungsi seksual)

6. Perdarahan di saluran cerna

7. Mudah jatuh sehingga mengalami patah tulang 8. Depresi

9. Hidrosefalus atau tingginya produksi cairan serebrospinal

(56)

mengangkat kotoran dari sel-sel otak. Cairan serebrospinal mengalir secara terus-menerus melalui seluruh bagian dalam dan permukaan otak, serta saraf tulang belakang. Sisa cairan serebrospinal biasanya dibuang dari otak untuk selanjutnya diserap oleh tubuh.Hidrosefalus dapat diobati. Biasanya dokter akan memasang sebuah selang ke dalam otak untuk membuang kelebihan cairan tersebut.

2.1.10 Sistem Saraf

Sistem syaraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan serta terdiri terutama dari jaringan syaraf. Kemampuan untuk menstransmisi suatu respon terhadap stimulasi diatur oleh sistem saraf dalam tiga cara utama :

1. Input Sensorik, sistem syaraf menerima sensasi atau stimulus melalui reseptor, yang terletak di tubuh baik eksternal (reseptor somatik) maupun internal (reseptor viseral). Reseptor adalah organ sensorik khusus yang mampu mencatat perubahan tertentu di dalam organism dan sekitarnya serta menghantarkan rangsangan ini sebagai impuls. Reseptor merupakan organ akhir dari serat syaraf aferen.

2. Aktivitas integratif. Reseptor mengubah stimulus menjadi impuls listrik yang menjalar disepanjang saraf sampai ke otak dan medulla spinalis, yang kemudian akan menginterpretasikan dan mengintegrasi stimulus, sehingga respon terhadap informasi bisa terjadi.

(57)

2.2 Terapi Klien Stroke

Serangan stroke sering kali datang secara mendadak, tidak terduga sebelumnya, namun yang menyerupai gejala stroke adalah kelemahan pada tungkai atau lengan di sisi kiri atau kanan, kesulitan berbicara sefasih biasanya, kesulitan berjalan akibat kelemahan tungkai atau adanya gangguan keseimbangan, penderita tiba-tiba seperti orang kebingungan tanpa sebab yang jelas, tiba-tiba tidak dapat melihat pada salah satu atau kedua matanya, dan penderita merasakan nyeri kepala yang sangat kuat (Setyarini, 2014).

(58)

akibat lesi otak area 4 dan 6 atau lintasan proyeksinya, yaitu lesi traktus piramidal bersama dengan serabut-serabut ektrapiramidal yang berdekatan Junaidi, 2011).

Terapi latihan adalah salah satu cara untuk mempercepat pemulihan klien dari cedera dan penyakit yang dalam penatalaksanaannya menggunakan gerakan aktif maupun pasif. Gerak pasif adalah gerakan yang digerakkan oleh orang lain dan gerak aktif adalah gerak yang dihasilkan oleh kontraksi otot sendiri. Terapi aktif yang dapat dilakukan (Taufik, 2014) yaitu:

a. Latihan Aerobik

Para fisioterapis sering merekomendasikan latihan aerobik yang mampu menunjukkan manfaat yang signifikan bagi mereka yang menderita ketidakmampuan ringan atau sedang setelah terkena serangan stroke menurut sebuah studi pada jurnal Clinical Rehabilitation (Rehabilitasi Klinis). Latihan aerobik yang mungkin disarankan meliputi latihan berjalan, latihan melangkah, latihan berlari, atau latihan berbaris.Latihan mengayuh pada sebuah sepeda statis sangat berguna untuk pasien pasca serangan stroke yang memiliki keseimbangan yang kurang (Taufik, 2014). b. Latihan Rentang Gerak

(59)

Selama latihan rentang gerak pasif, seorang terpis akan menggerakkan anggota tubuh pasien ketika pasien tidak bisa menggerakkan anggota tubuh mereka sendiri (Taufik, 2014).

c. Latihan Koordinasi

Serangan stroke sering berdampak pada keseimbangan dan koordinasi tubuh pasien pasca serangan stroke. Latihan bisa dilakukan untuk meningkatkan keseimbangan tubuh pasien pasca stroke dan meningkatkan fungsi sehari-hari sepertiberjalan, duduk, atau membungkuk. Sebagai contoh latihan keseimbangan, pasien berdiri dan memindahkan bobot tubuh dari satu kaki ke kaki yang lain. Latihan koordinatif untuk pasien pasca stroke ini mengutamakan pada aktivitas yang melibatkan lebih dari satu sendi maupun otot seperti mengangkat sebuah benda menurut Merck. Berjalan di atas treadmill juga boleh dicoba (Taufik, 2014).

d. Latihan Penguatan

(60)

e. Latihan menggenggam Bola

Sering saya temui dalam kehidupan sehari-hari, bahwa seorang penderita stroke yang diminta latihan meremas-remas bola, baik itu bola karet berduri, bola Golf, bola Pingpong sampai bola Tenis. Bahkan mereka begitu telaten dengan membawa bola tersebut kemanapun mereka pergi. Namun banyak juga penderita Stroke yang justru mengalami kekakuan pada jari2 tangan yang dilatih dengan meremas-remas bola. Salah satu terapi gerak aktif yang dapat dilakukan dengan cara latihan menggenggam bola. Untuk membantu pemulihan bagian lengan atau bagian ekstremitas atas diperlukan teknik untuk merangsang tangan seperti dengan latihan spherical grip yang merupakan latihan fungsional tangan dengan cara menggenggam sebuah benda berbentuk bulat seperti bola pada telapak tangan (Prok, Gesal, & Angliadi, 2016).

2.3 Konsep Kompres Hangat

2.3.1 Pengertian Terapi Kompres Hangat

Kompres hangat adalah suatu cara yang dilakukan dengan mempergunakan buli-buli yang diisi air panas yang dibungkus kain yaitu secara konduksi dimana terjadi pemindahan panas dari buli-buli kedalam tubuh sehingga akan menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan akan terjadi penurunan ketegangan otot sehingga memberikan relaksasi pada pasien dimana kompres hangat diberikan dengan suhu 45 0

C–50,5 0C dapat dilakukan dengan menempelkan kantung karet yang diisi air hangat ke daerah tubuh yang nyeri( Perry & Potter, 2006).

(61)

dipergunakan dengan kombinasi dengan modalitas fisioterapi yang lain seperti

exercise dan manual therapy. Pemanas listrik, botol berisi air hangat, dan kompres panas merupakan sumber panas yang baik. Penggunaan terapi panas ini akan menyebabkan vasodilatation (pelebaran pembuluh darah), membiarkan darah mengalir lebih banyak pada daerah yang terluka akan membantu penyembuhan, pelunakan jaringan fibrosa, membuat otot tubuh lebih rileks.

(62)

Setelah otot rileks, rasa nyeri akan berangsur hilang. Kompres hangat merupakan salah satu cara terbaik mengatasi nyeri. Karena secara teoritis ujung-ujung saraf nyeri akan mengirimkan signal nyeri lebih sedikit ke dalam otak (saraf pusat) pada waktu dihangatkan. Aplikasi panas (kompres hangat) merupakan tindakan sederhana yang telah lama diketahui. Panas dapat melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan aliran darah lokal. Karena meningkatkan aliran darah, panas mungkin meredakan nyeri dengan menyingkirkan produk-produk inflamasi, seperti bradikidin, histamin, dan prostaglandin yang menimbulkan nyeri lokal. Panas juga mungkin merangsang serat saraf yang menutup gerbang sehingga transmisi impuls nyeri ke medulla spinalis dan otak dapat dihambat. ( Price & Wilson, 2006) Selain itu pemberian kompres hangat juga dapat memperlancar sirkulasi karena efek panas yang diberikan serta dapat menurunkan spasme dan kontraksi otot perut yang berlebihan selama menstruasi sehingga nyeri menstruasi yang dirasakan dapat berkurang (Potter dan Perry, 2006).

Gambar

Gambar 2.1: Kantung Panas dingin( cold Hot Pack) atau buli buli panas (Sumber: diunduh tanggal 20 Maret 2016)
Gambar 2.2: Otot Bagian Telapak Tangan
Gambar 2.3: Alat ukur genggam jari (Handgrip dynamometer)(Sumber: https://www.google.co.id/search gambar+Handgrip+dynamometer diakses tgl 20 Maret 2016)
Tabel 2.1 Nilai Normal Kekuatan Genggaman Tangan
+7

Referensi

Dokumen terkait