• Tidak ada hasil yang ditemukan

CATATAN TENTANG DRAFT RUU PENGENDALIAN DAMPAK ROKOK TERHADAP KESEHATAN Oleh: Gabriel Mahal, S.H*

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "CATATAN TENTANG DRAFT RUU PENGENDALIAN DAMPAK ROKOK TERHADAP KESEHATAN Oleh: Gabriel Mahal, S.H*"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

CATATAN TENTANG

DRAFT RUU PENGENDALIAN DAMPAK ROKOK TERHADAP KESEHATAN

Oleh: Gabriel Mahal, S.H*

Tim Ahli Badan Legislasi (Baleg) telah menyiapkan Draft RUU Pengendalian Dampak Rokok Terhadap Kesehatan. Ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan mengenai draft RUU ini, sebagai berikut:

Pertama, Penggunaan Frasa “Pengendalian Dampak Rokok” Penggunaan frasa “Pengendalian Dampak Rokok” pada nama/judul draft RUU ini memberikan makna bahwa yang dikendalikan dalam draft RUU ini masalah dampak rokok terhadap kesehatan.

Kenyataannya, ketentuan-ketentuan dalam draf RUU itu bukan soal pengendalian dampak rokok terhadap kesehatan, tetapi pengendalian rokok dan merokok. Pengendalian ini mulai dari aspek produksi, pelabelan dan pengemasan, penjualan, iklan, promosi, dan pemberian sponsor, harga dan cukai, dan kawasan tanpa rokok. Hal ini secara eksplisit juga dinyatakan pada bagian menimbang huruf a, b, c yang menggunakan frasa “pengendalian rokok”.

Kerancuan judul/nama dengan substansi draft RUU ini menunjukkan pembuatan draft RUU itu tidak taat pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Lampiran Nomor 207, yang menetapkan “hindarkan penggunaan kata atau frasa yang artinya kurang menentu atau konteksnya dalam kalimat kurang jelas.” Di samping itu, tidak ada

(2)

penjelasan tentang maksud dari “pengendalian dampak rokok” dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 draf RUU.

Kedua, Penggunaan Istilah “Rokok”

Tim ahli Baleg dalam presentasinya menjelaskan tiga alasan yang mendasari penggunaan istilah “rokok” dalam draft RUU ini. Pertama, merujuk kepada penggunaan istilah “rokok” dalam Pasal 114 dan 115 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; Kedua, merujuk pada UU No. 10 Tahun 2004 tersebut di atas dengan penjelasan bahwa istilah “produk tembakau” bermakna tidak jelas dibandingkan dengan istilah “rokok”, sebab produk hasil olahan tembakau tidak hanya rokok, tetapi juga ada produk untuk kesehatan atau bahan makanan. Ketiga, kesesuaian dengan batang tubuh draft RUU.

Ketiga alasan ini tidak hanya sumir, tetapi juga mengandung persoalan serius, yakni: pertama, tidak adanya kesinkronan dan tidak ada konsistensi penggunaan istilah dalam peraturan perundang-undangan nasional dalam hal regulasi tembakau. Jika alasan tersebut merujuk kepada UU No. 36 Tahun 2009, maka yang mestinya jadi rujukan adalah ketentuan Pasal 113 ayat (1) dan ayat (2) yang telah menetapkan bahwa tembakau, padat, cairan, dan gas merupakan zat adiktif; ketiga, alasan bahwa hasil olahan tembakau tidak hanya rokok, tetapi juga ada produk untuk kesehatan atau bahan makanan, memberikan gambaran bahwa produk tembakau selain rokok tersebut tidak ada pengendalian. Ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 113 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2009 yang menetapkan bahwa produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif, dalam pasal ini adalah tembakau, harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan.

(3)

Keempat, alasan ini menunjukkan suatu diskriminasi regulasi penggunaan tembakau antara industri rokok dengan industri kesehatan. Sementara WHO telah menetapkan bahwa tembakau mengandung nikotin dan nikotin itu adalah adiktif yang membahayakan kesehatan, karena itu harus dikendalikan. Konsekuensi logisnya, semua produk hasil olahan tembakau harus dikendalikan. Tidak hanya sebatas penggunaan tembakau sebagai rokok. Kelima, penggunaan istilah “rokok” dengan alasan-alasan tersebut menunjukkan suatu “niat/maksud tersembunyi” untuk mengakomodasi kepentingan industri farmasi atas tembakau dan pada saat bersamaan memberikan kesan kepada berjuta petani tembakau bahwa mereka tidak punya kepentingan atas RUU ini, sementara sejatinya di Indonesia rokok dan segala industrinya dengan petani tembakau mempunyai hubungan yang sangat erat, saling terkait, dan saling mempengaruhi. Kebijakan regulasi rokok pasti berpengaruh terhadap petani tembakau. Tidak bisa kita bicara rokok tanpa membicarakan petani tembakau. Bahkan juga petani cengkeh. Keenam, bagaimanapun juga draft RUU ini merupakan salah bentuk pelaksanaan agenda Prakarsa Bebas Tembakau (FTI) WHO dalam bidang regulasi di tingkat nasional. Dalam FTI dengan segala program kampanye dan produk hukum internasional FCTC, istilah yang digunakan adalah “tembakau”. Kita tidak lagi dapat “berpura-pura” menggunakan istilah yang berbeda dengan penekanan yang berbeda dari istilah yang digunakan dalam FTI dan FCTC ini.

Ini catatan mengenai nama/judul dan istilah “rokok” yang digunakan dalam draft RUU ini. Beberapa catatan penting lain mengenai draft RUU ini adalah, sebagai berikut:

(4)

Ketiga, Draft RUU adalah Pelaksanaan Agenda FTI

Semua produk hukum pengendalian/pengontrolan tembakau, termasuk rokok, merupakan bagian dari pelaksanaan agenda Prakarsa Bebas Tembakau (FTI) dengan Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) sebagai landasan hukum internasionalnya.

Agenda FTI ini jelas bukan merupakan agenda bangsa dan negara RI yang merdeka dan berdaulat penuh. Ini adalah agenda Badan Kesehatan Internasional WHO. Suatu agenda yang tidak bebas intervensi pengaruh kepentingan pihak-pihak lain dalam kebijakannya.

Jika menilisik sejarah lahirnya FTI ini, kita temukan bahwa terdapat kepentingan perdagangan produk obat-obat Nicotine Replacement Therapy (NRT) sebagai pengganti rokok dari korporasi-korporasi farmasi internasional. Hal ini nampak jelas sejak lahirnya FTI ini di tahun 1998 di bawah rejim Direktur Jenderal WHO, Dr. Brundtland, yang langsung mendapat dukungan dana dari korporasi-korporasi farmasi internasional.

Jauh sebelum lahirnya FTI ini, di Amerika telah terjadi persaingan perdagangan nikotin antara industri farmasi dengan industri rokok yang disebut sebagai “a strange bedfellow competition”. Dalam perkembangannya, industri rokok terpojok ketika masalah rokok berhasil digeser menjadi persoalan kesehatan publik (public health) semenjak Dinas Kesehatan Amerika yang dipimpin C. Everest Koop menyatakan bahwa nikotin merupakan zat adiktif pada tahun 1988. Karena rokok menjadi masalah kesehatan publik, maka negara harus campur tangan lewat regulasi pengontrolan atas tembakau.

(5)

Sementara itu kampanye anti tembakau gencar dilakukan dengan dukungan hasil riset-riset mengenai bahaya tembakau yang pendanaan risetnya didukung oleh korporasi-korporasi farmasi, baik langsung maupun tidak langsung. Hasil-hasil riset itu tentu saja memberikan justifikasi ilmiah terhadap apa yang disebut bahaya-bahaya merokok. Ini sesuai dengan kepentingan penyandang dana proyek-proyek riset tersebut.

Salah satu contoh hasil riset adalah mengenai bahaya asap rokok bagi orang yang tidak merokok atau perokok pasif. Hasil riset ini memberikan justifikasi bagi masalah rokok sebagai masalah kesehatan publik, bukan sebatas masalah pribadi para perokok.

Dalam perkembangannya selanjutnya, keberhasilan pengontrolan atas tembakau lewat rejim hukum di Amerika ini di bawah ke ranah internasional lewat penggunaan hukum internasional, yakni FCTC itu.

Ide menciptakan rejim hukum internasional FCTC tidak lahir di WHO. Ide ini lahir di University of California, Los Angeles (UCLA) pada tahun 1993 dari Prof. Ruth Roemer. Saat itu UCLA memiliki Program Riset Nikotin.

Pada tahun 1984 badan riset UCLA ini menghasilkan teknologi transderma, yakni pentransferan nikotin melalui kulit. Tahun 1990 mendapatkan hak paten pertama dari tiga paten teknologi. Kemudian perusahaan farmasi Ciba-Geigy mendapat lisensi “Nicotine Patch” dari UCLA of Techology Transfer. Tahun 1991, Ciba-Geigy meluncurkan “Habitrol Patch”. Dan kemudian di tahun 1996, Ciba-Geigy merjer dengan perusahaan Sandoz dan menjadi perusahaan farmasi raksasa Novartis. Dan tahun 1998 Novartis menjadi salah satu perusahaan farmasi yang mendukung

(6)

pendanaan proyek Prakarsa Bebas Tembakau WHO. Alasannya pemberian dukungan dana itu, seperti diungkapkan sendiri oleh Direktur Jenderal WHO, Dr. Brundtland, ialah korporasi-korporasi farmasi internasional ini menghasilkan dan menjual produk-produk NRT.

Jadi, ide yang diikuti dengan kampanye dan upaya menciptakan rejim hukum internasional yang dilakukan Prof. Ruth Roemer dan para pendukungnya lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan memenangkan persaingan perdagangan nikotin pada level internasional lewat hukum internasional.

Pada mulanya ide dan proposal Prof. Ruth Roemer kurang mendapat dukungan WHO. Tetapi, ketika Gro Harlem Brundtland terpilih menjadi Direktur Jenderal WHO pada tahun 1998, ide ini langsung mendapat dukungan dan menjadi salah satu proyek utama dari WHO yang disebut sebagai Prakarsa Bebas Tembakau (Tobacco Free Inisiative) yang merupakan landasan kebijakan FCTC.

Maka, tidaklah heran jika substansi FCTC itu adalah pengontrolan atas perdangangan atas tembakau yang bertujuan untuk mematikan industri tembakau, dan pada sisi yang lain mendukung perdagangan/penjualan produk-produk alternatif pengganti tembakau yang disebut NRT lewat hukum internasional dan nasional. Hal ini dapat dilihat dalam Article 14 juncto article 22 FCTC.

Ketentuan dalam Article 14 juncto article 22 ini mengharuskan negara-negara anggota yang meratifikasi FCTC untuk sarana dan prasarana yang membebaskan perokok dari apa yang disebut sebagai “adiktif rokok” itu. Yang telah menyiapkan sarana dan prasarana, termasuk obat-obat NRT itu, adalah

(7)

korporasi-korporasi farmasi internasional. Maka, baik secara langsung maupun tidak langsung, contohnya melalui WHO, negara perlu menjalin kerja sama untuk menyiapkan program-program, fasilitas-fasilitas, dan obat-obat NRT untuk menghentikan penggunaan tembakau. Setidak-tidaknya membuka akses seluas-luasnya bagi perdagangan/penjualan produk obat-obat NRT itu.

Tidak ada perdagangan yang lebih mudah dan lebih aman dibandingkan dengan perdagangan yang didukung oleh badan internasional, kebijakan negara, dan rejim hukum baik internasional maupun nasional. Itulah kesejatian dari FCTC dan produk-produk hukum nasional yang mengatur pengendalian tembakau.

Keempat, Draft RUU adalah Ratifikasi Diam-Diam FCTC

Jika kita memahami sejarah dan latar belakang lahirnya TFI dan FCTC, dan kemudian membaca ketentuan-ketentuan dalam Draft RUU, maka kita temukan bahwa Draft RUU tersebut tidak lain daripada suatu bentuk ratifikasi FCTC secara diam-diam, atau setidak-tidaknya merupakan pelaksanaan dari FCTC tersebut.

Penggunaan atau penggantian istilah “tembakau” menjadi “rokok” dalam draft RUU itu tidak dapat menghilangkan jejak pengratifikasian FCTC secara diam-diam atau penundukkan secara diam-diam pada FCTC itu. Sebab substansinya tetap sama.

Sebagaimana halnya dengan FCTC, draft RUU ini secara substansial mengandung dua hal utama. Pertama, mengendalikan perdagangan tembakau/rokok yang bisa berujung kepada kematian tembakau/rokok dengan segala industrinya. Kedua, di sisi lain mendukung perdagangan produk-produk alternatif

(8)

pengganti tembakau atau NRT yang dihasilkan dan dijual oleh korporasi-korporasi farmasi internasional.

Yang pertama dapat kita lihat dalam ketentuan mulai dari Pasal 8 sampai dengan Pasal 29, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34 huruf d dan e, Pasal 35 draft RUU, dengan ancaman pidana mulai dari Pasal 36 sampai dengan Pasal 46 draft RUU.

Hal kedua dapat lihat dalam ketentuan Pasal 30 huruf a dan b, Pasal 33, Pasal 34 huruf a dan b draft RUU. Untuk melaksanakan tugas Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 30 huruf a dan b draft RUU, maka Pemerintah harus menjalin kerja sama dengan korporasi-korporasi farmasi internasional yang telah mengembangkan dan menyediakan program-program, fasilitas-fasilitas, dan obat-obat NRT, baik langsung maupun tidak langsung di antaranya lewat program WHO. Ketentuan dalam Pasal 30 huruf a dan b secara substansial sama dengan Article 14 juncto Article 22 FCTC, atau setidak-tidaknya merupakan pelaksanaan dari kedua article tersebut.

Sedangkan Pasal 34 huruf a dan b draft RUU, memberikan dasar hukum bagi masyarakat, termasuk korporasi-korporasi farmasi internasional, baik langsung atau tidak langsung untuk melaksanakan dua hal yang ditetapkan dalam kententuan Pasal tersebut, yang tentu saja tetap dalam kerangka kepentingan perdagangan/penjualan produk-produk NRT tersebut. There’s no free lunch!

Kelima, Hak atas Informasi dan Edukasi yang Benar

Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah ketentuan Pasal 5 draft RUU tersebut. Pasal 5 menetapkan: “Setiap orang berhak

(9)

atas informasi dan edukasi yang benar mengenai rokok dan bahayanya bagi kesehatan.”

Ketentuan pasal ini menimbulkan pertanyaan yang lebih penting dan mendasar, yakni:

1.1. Apakah benar bahaya-bahaya rokok yang dikampanyekan selama ini yang telah menjadi “raison d’etre” lahirnya draft RUU ini? Atau hanya merupakan suatu propaganda untuk kepentingan perdagangan obat-obat NRT dari korporasi-korporasi farmasi internasional?

1.2. Apakah benar angka-angka kematian yang disebabkan oleh tembakau/rokok itu? Dimana beratus ribu orang yang mati setiap tahun karena tembakau/rokok itu?

1.3. Apakah dapat dipertanggungjawabkan integritas dan imparsialitas kebenaran hasil riset bahaya-bahaya tembakau/rokok ketika pihak-pihak yang melakukan riset tersebut mendapat dukungan dana riset dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan bisnis/dagang atas hasil riset tersebut? 1.4. Apakah benar harapan hidup perokok itu jauh lebih rendah

daripada orang yang tidak merokok? Bagaimana menjelaskan fakta-fakta para perokok yang usianya lebih panjang dan dalam kondisi yang sehat? Bagaimana menjelaskan orang-orang yang merokok bertahun-tahun tetapi tidak mengalami impotensi? 1.5. Apakah benar rokok merupakan faktor tunggal dari segala

macam penyakit yang disebut sebagai bahaya merokok itu atau hanya salah satu faktor?

1.6. Apakah hanya asap rokok yang menyebabkan udara tidak bersih sehingga orang kehilangan haknya atas udara yang bersih, dan sebegitu signifikannya sehingga harus dibuatkan suatu UU? Lalu bagaimana dengan polusi yang disebabkan oleh kendaraan bermotor?

1.7. Apakah benar dalam rokok itu terkandung 4000 (empat ribu) zat kimia yang mengandung racun berbahaya sebagaimana diungkapkan Penjelasan Umum draft RUU itu. Dan bisakah dengan benar disebutkan dan ditunjukkan 4000 zat kimia yang mengandung racun tersebut?

1.8. Apakah benar ketika seluruh rakyat Indonesia tidak merokok, maka akan bebas dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh rokok, dan rakyat Indonesia semuanya akan sehat dan memiliki harapan hidup yang lebih panjang? dst.nya – dst-nya.

Hal-hal tersebut di ataslah yang pertama-tama harus dijawab oleh pembuat RUU ini. Sehingga pencatuman Pasal 5 tersebut di atas, dan RUU itu sendiri didasarkan pada fakta-fakta yang benar, bukan didasarkan pada fiksi, prediksi atau asumsi.

(10)

Robert A. Levy dan Rosalind B. Marimont (1998) mengungkapkan bahwa dalam perang melawan tembakau, kebenaran menjadi korban pertama. Draft RUU ini merupakan senjata perang melawan tembakau/rokok. Maka, bukan tidak mungkin kebenaran dapat jadi korban pertama dari draft RUU ini.

Hal ini akan menimbulkan pertanyaan, bagaimana mungkin draft RUU ini memberikan hak kepada setiap orang atas informasi dan edukasi yang benar ketika draft RUU itu sendiri telah mengorbankan kebenaran?

Keenam, Landasan Filosofis draft RUU

Dalam presentasi tim Ahli Baleg yang menyiapkan draft RUU ini, diungkapkan bahwa landasan RUU dari aspek filosofisnya adalah “pengedalian dampak rokok memiliki peran strategis dalam mewujudkan lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi setiap orang”. Rumusan ini jelas bukan merupakan landasan RUU dari aspek filosofis. Rumusan lebih merupakan suatu landasan operasional draft RUU ini.

Agaknya tim Ahli Baleg sulit merumuskan landasan filosofis RUU ini. Hal ini dapat dipahami. Karena, seperti dijelaskan di atas, draft RUU ini merupakan salah satu bentuk pelaksanaan proyek Prakarsa Bebas Tembakau. Ini bukan agenda bangsa dan negara Indonesia. Karena itu sulit menemukan landasan filosofis yang tentu harus mengakar pada Volksgeist bangsa Indonesia (meminjam istilah Bung Karno).

Hukum, termasuk yang terkait dengan soal tembakau/rokok, ditentukan oleh karakter khas suatu bangsa dan oleh spirit nasionalnya. Bukan oleh karakter atau spirit bangsa-bangsa lain,

(11)

atau badan internasional, apalagi oleh kepentingan bisnis korporasi internasional.

Bangsa ini dalam perjalanan sejarahnya memandang tembakau dalam konteks kultur. Bukan sekedar gaya hidup. Tembakau dan rokok telah menjadi bagian hidup bangsa kita sejak Indonesia belum merdeka. Rokok menjadi semacam tali peneguh silahturahmi dan solidaritas sosial sehingga dengan begitu rokok menjadi bagian penting dalam ritus kolektif budaya masyarakat kita (Mohammad Sobary, 2010). Tembakau/rokok tidak hanya punya arti dari perspektif psikologis individual masyarakat Indonesia, tetapi juga punya arti dari perspektif psikososial masyarakat.

Dalam realitas nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia itulah berakarnya aspek filosofis yang mestinya menjadi landasan suatu UU yang merupakan produk hukum nasional. Ketika aspek filosofis sebagai landasan RUU ini berakar pada agenda dari luar bangsa dan negara ini yang bukan merupakan agenda kita, maka tidaklah mudah merumuskan landasan filosofisnya.

Pertanyaannya selalu, apakah kita menempatkan diri sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat yang berhak penuh dalam menentukan nasib sendiri, atau kita menjadi bangsa yang dalam istilah Bung Karno disebut “bangsa bebek

yang wekwekwek membebek saja”, termasuk dalam hal

membangun suatu rejim hukum nasional pengendalian tembakau. Pilihannya bukan pada kepentingan kesehatan publik. Sebab sejak kapan korporasi-korporasi farmasi internasional tulus tanpa pamrih memerhatikan kesehatan rakyat negeri ini?

(12)

Pilihannya adalah, apakah kita lebih mengutamakan kepentingan dagang obat-obat NRT dari korporasi-korporasi farmasi internasional yang tidak memberikan keuntungan bagi rakyat, bangsa dan negara Indonesia, lewat suatu rejim hukum atas nama kesehatan publik atau kita mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa dan negara atas tembakau dengan segala industrinya yang nyata-nyata telah memberikan kontribusi menghidupkan petani tembakau, menyerap tenaga kerja, dan menjadi salah satu sumber penerimaan negara. Pilihan itu ada di tangan Anda, wahai pembuat UU!

(13)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui masalah utama dari kejadian ME fase administrasi dan DTP pada pasien bangsal kelas III Rumah Sakit Bethesda yang menerima

28,29 Data from experimental models of chancroid suggest that these lesions should be responsive to azithromycin, 31 and therefore, that mass distribution of azithromycin for yaws

Penulis tidak hanya melakukan wawancara dengan informan yang telah menonton serial animasi “Toshokan Sensō (Library War)” yang memang dijadikan subjek dalam

D, terima kasih Bu atas semua bimbingan, motivasi, waktu, perhatian dan saran yang Ibu berikan selama membimbing diriku yang terkadang agak keras kepala

Industri minyak dan gas dalam kegiatan operasionalnya memiliki keunikan tersendiri, salah satunya adalah kegiatan eksplorasi (pencarian) yang dilakukan secara

Penggunaan tingkat diskon selalu memberikan keuntungan yan lebih besar kepada pemberi pinjaman (dalam kasus ini adalah bank) dibandingkan dengan penggunaan tingkat bunga yang

hak kebendaan yang bersifat memberikan jaminan. Jenis jaminan yang sesuai diterapkan pada hak cipta adalah jaminan fidusia karena proses pengalihan benda yang dijadikan

Pada dasarnya petai cina atau lamtoro memiliki aroma menyengat dan kurang sedap, untuk meminimalisir aroma tersebut dengan penambahan ketan hitam dan jahe sebagai