• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOTABARU 1942 1946 DARI MARKAS MILITER K

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KOTABARU 1942 1946 DARI MARKAS MILITER K"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

KOTABARU 1942-1946 :

DARI MARKAS MILITER KE PEMUKIMAN ELIT PRIBUMI

Achmad Sofyan

Sarjana Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

E-mail : Achmadsofyan819@yahoo.com

Abstrak

Kotabaru adalah sebuah kawasan yang menarik untuk dikaji. Bagaimana sebuah kota yang sengaja dibangun untuk masyarakat Eropa ini berubah fungsi menjadi markas militer tentara Jepang di Yogyakarta dan kemudian berubah menjadi pemukiman elit pribumi di Yogyakarta. Perubahan fungsi tersebut diikuti pula dengan dampak yang signifikan antara penguni Kotabaru dengan penduduk kampung sekitarnya. Melalui metode penelitian sejarah (Heuristik-Kritik-Intrepetasi-Historiografi) kajian ini akan membahas perubahan fungsi tersebut. Kotabaru dibangun sebagai sebuah pemukiman khusus orang Eropa di Yogyakarta. Kedatangan bala tentara militer Jepang ke Yogyakarta menjadikan Kotabaru sebagai markas militer, gudang amunisi dan penjara

interniran. Pada masa Revolusi Indonesia Kotabaru berubah fungsi menjadi pemukiman elit pribumi yang mampu membayar hak sewa atas tanah kraton Yogyakarta. Perubahan tersebut membawa dampak hubungan antara penghuni Kotabaru dengan penduduk kampung sekitarnya berubah. Selain hal tersebut kriminalitas dan kejahatan banyak terjadi di Kotabaru akibat dari perubahan tersebut.

KOTABARU 1942-1946 :

From Japanese Army Military To Elite Residental Indigenous

Abstract

Kotabaru is an interesting area to be studied. How does a town that was purposely built for the European society is changing functions to be military bases japanese army in Yogyakarta and then changed into the native elite settlement in Yogyakarta. The function changes in the follow also with a significant impact between the occupant Kotabaru surrounding villagers. Through the method of writing history (Heuristics - Criticism - Interpretation - Historiography) This study will discuss the changes in the function. Kotabaru built as a special settlement of Europeans in Yogyakarta. The arrival of the Japanese military troops to Yogyakarta makes Kotabaru as military bases, prisons and internment. During the Indonesian revolution, Kotabaru changed into residential indigenous elite who can afford the rent on land rights Kraton Yogyakarta. The changes take effect the relationship between the occupants Kotabaru surrounding villagers changed. Besides it is a lot of crime and crime occurs in Kotabaru result of the changes.

Keywords : Kotabaru, Changes, Effect, Settlement, Military

1.

Pendahuluan

Ketika sebuah kota mulai padat baik itu kota industri maupun kota metropolitan. Maka

(2)

kota. Hal ini terkait dengan kebutuhan untuk mengurangi kepadatan lalu lintas, mengurangi kepadatan penduduk atau kebutuhan akan sebuah pemukiman yang baru (Hariyono , 2010 : 126). Permasalahan tersbut juga terjadi di masa kolonialisme Belanda di Indonesia. Kotabaru (Nieuwe Wijk) adalah sebuah kawasan yang sengaja dibangun untuk menanggapi masalah pemukiman masyarakat Eropa di Yogyakarta. Pada tahun 1917 perluasan kota ke Utara kota Yogyakarta semakin luas. Termasuk kawasan Kotabaru. Kotabaru adalah sebuah kawasan yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda yang menganut politik segresi dalam hal pemukiman. Dalam hal ini pemerintah kolonial Belanda membuat wilayah atau kawasan tersendiri untuk warganya serta terpisah dengan penduduk pribumi dan etnis lainnya (Nurhajarini, 2012 : 52). Kota Yogyakarta dibangun dengan beberapa kawasan tertentu untuk etnis tertentu. Didaerah Kauman terdapat etnis Arab yang ada di Yogyakarta. Etnis Cina berada di wilayah perekonomian didaerah Malioboro. Sedangkan untuk pribumi tersebar di beberapa penjuru kota Yogyakarta.

Kotabaru dibangun secara khusus untuk pemukiman orang Eropa. Setelah adanya RUU Agraria yang memperbolehkan pihak swasta menanamkan modalnya di Indonesia. Sebelum Kotabaru dikembangkan, penduduk Belanda yang ada di Yogyakarta berjumlah 400 orang dan bermukim di sekitar Kraton dan benteng

Vradeburg. Selain kedua tempat tersebut ada juga yang bermukim di sebelah Timur benteng yang dikenal sebagai Loji Kecil (Surjomihardjo, 2008 : 21). Selanjutnya pemukiman untuk orang Eropa bergerak ke arah Utara Kraton. Kawasan Bintaran dijadikan sebagai pemukiman orang Eropa di Yogyakarta. Ketika Bintaran semakin sesak dengan kehadiran orang Eropa. Residen Belanda yang ada di Yogyakarta Cornelis Canne meminta ijin kepada Sultan untuk mengijinkan menggunakan lahan yang ada di sebelah Timur Sungai Code.

Permohonan ijin tersebut diatur dalam

Rijksblaad van Sultanaat Djogjakarta No. 12 tahun 1917. Peraturan ini membahas tentang pemberian lahan dan wewenang membuat bangunan, jalan, taman, dan perawatannya. Sedangkan untuk penggunaan tanah tersebut diatur oleh Commisie van Sultanaat Werken.

Pembangunan Kotabaru diketuai oleh Ir. L. VR. Bijleveld (Hudiyanto ,1997 : 71). Pembangunan Kotabaru dilakukan dari tahun 1917 sampai dengan 1924 dan menghabiskan biaya yang cukup besar untuk menambah fasilitas penunjang yang ada seperti bangunan, jalan, drainase, taman kota dan lainnya.

Perluasan kota (Bowplan) di Indonesia sudah dilakukan sejak dua dekade awal abad 20. Salah satu alasan perluasan kota tersebut adalah membangun pemukiman khusus yang dihuni oleh penduduk Eropa. Selain Kotabaru setidaknya terdapat dua kota yang dibangun sebagai usaha untuk pemukiman elit tersebut yakni Malang yang dibangun didaerah Tjelaket dan Rampai pada tahun 1917 dan Menteng Jakarta yang dibangun tahun 1919. Daerah Malang dipergunakan sebagai pemukiman pemilik perkebunan yang banyak terdapat di Malang. Menteng dijadikan sebagai pemukiman para pejabat Belanda yang menjalankan pemerintahannya di Batavia. Sedangkan Kotabaru dibuat dalam kedua hal tersebut. Hunian untuk pelaku bisnis perkebunan serta hunian bagi pejabat yang menjalankan pemerintahan Hindia Belanda di Yogyakarta.

Kotabaru berkembang tidak hanya sebagai kawasan pemukiman, tetapi merupakan sebuah perkotaan baru yang memiliki sarana penunjang yang lengkap seperti sekolah, tempat ibadah, sarana olahraga, fasilitas keamanan, sarana kebersihan lingkungan dan kenyamanan lainnya (Hudiyanto, 1997 : 79). Kotabaru atau yang sering disebut dengan Nieuwe Wijk merupakan sebuah produk dari perencanaan kota yang matang. Mulai dari kawasan dengan pola radial yang sangat rapi. Ditambah dengan jalan boulevard yang besar dan ditumbuhi oleh pepohonan yang rindang sepanjang jalan. Hingga infrastruktur yang terbaik di kota Yogyakarta.

Nieuwe Wijk berkembang sebagai sebuah pemukiman yang dapat berdiri sendiri tanpa perlu adanya hubungan dengan bagian kota Yogyakarta lama (Kartodirdjo, 1978 : CCLXVI). Pembangunan Kotabaru mengikuti konsep garden city nya Howard. Konsep ini dibuat sebagai imbas dari berbagai masalah yang ditimbulkan oleh revolusi Industri di Inggris pada akhir abad 19 (Marsitawati, 2007 : 45). Di Indonesia sendiri konsep garden city

(kota taman) mulai berkembang sejak tahun 1870. Pada tahun inilah titik awal perkembangan kota-kota besar di Jawa. Thomas Karsten, Maclaine Pont, Tillema dan lainnya adalah beberapa nama yang mengenalkan konsep tersebut di Indonesia.

(3)

Jepang, penjara interniran Belanda dan gudang amunisi tentara Jepang di Kotabaru. Salah satu tempat yang dijadikan sebagai gudang amunisi dan penjara interniran Belanda adalah Gereja San Antonius yang tidak lagi berfungsi sebagai gereja. Pada masa pendudukan bala tentara militer Jepang Kotabaru terjadi pertempuran antara Tentara Keamanan Republik dan bala tentara Jepang di stadion Kridosono Kotabaru.

Memasuki masa kemerdekaan Indonesia Kotabaru sekali lagi mengalami perubahan fungsi. Kotabaru berubah menjadi pemukiman elit pribumi yang mampu membayar sewa atas hak tanah Kraton. Penduduk pribumi mulai masuk ke daerah Kotabaru untuk melihat-lihat rumah yang kosong dan memilik yang cocok untuk ditinggali keluarganya (Fakih, 2008 : 1). Selain menjadi pemukiman elit, Kotabaru juga digunakan sebagai tempat tinggal pejabat pemerintahan dan kantor pemerintahan Republik Indonesia ketika Ibu kota Republik Indonesia berpindah ke Yogyakarta.

Dari uraian diatas sangat jelas bahwa Kotabaru merupakan sebuah wilayah yang mengalami tiga masa. Masa kolonialisme Belanda, masa pendudukan bala tentara militer Jepang dan masa kemerdekaan Indonesia. Kotabaru juga mengalami perubahan yang signifikan dalam tiga masa tersebut. Tentu saja perubahan-perubahan fungsi yang terjadi membuat dampak yang tidak kecil terhadap kampung sekitarnya. Kotabaru yang pada awalnya sebuah daerah tertutup dan memiliki penjagaan yang ketat. Berubah menjadi sebuah pemukiman yang terbuka dan memiliki tingkat keamanan yang tidak ketat.

Karena itu saya ingin menjelaskan bagaimana perubahan fungsi tersebut terjadi dan apa dampak dari perubahan fungsi Kotabaru tersebut. Selain hal tersebut saya juga akan menjelaskan bagaimana Kotabaru pada masa pendudukan bala tentara Jepang di Yogyakarta dan bagaimana pemanfaatan Kotabaru oleh bala tentara militer Jepang.

2.

Metode Penelitian

Dalam suatu penelitian ilmiah perlu didukung oleh suatu metode penelitian. Fungsi dari metode penelitian tersebut sangatlah penting karena merupakan faktor penentu dari proses pengumpulan informasi dan berperan penting dalam berhasil tidaknya suatu penelitian. Menurut Nugroho Notosusanto, metode sejarah adalah kumpulan-kumpulan prinsip-prinsip atau aturan yang sistematis, dimaksudkan untuk memberikan bantuan secara efektif didalam usaha mengumpulkan bahan-bahan bagi

sejarah, menilai secara kritis, dan kemudian menyajikan suatu sistem dari pada hasil-hasilnya dalam bentuk tertulis (Notosusanto, 1978 : 11)

Proses pertama adalah Heuristik, atau proses pencarian dan menemukan sumber-sumber atau data-data. Koleksi buku Perpustakaan Pusat UI, Universitas Gadjah Mada, Universitas Sanata Dharma, Jogjakarta Library Center, Perpustakaan Kolese Santo Ignatius, Arsip Nasional, dan koleksi pribadi. Pada tahap ini peneliti mengumpulkan bahan atau sumber-sumber yang menurut peneliti terkait dengan topik penelitian. Sumber tersebut bisa didapatkan baik secara primer ataupun sekunder yang berhubungan dengan sejarah Yogyakarta, kota kolonial dan Kotabaru Yogyakarta periode 1920-1950.

Setelah beberapa sumber didapatkan kemudian penulis melakukan kritik. tahapan ini bertujuan untuk mencari otentitas atau keaslian data-data yang diperoleh. Dalam tahap ini penulis melakukan pemilihan sumber-sumber yang layak atau tidak untuk dijadikan sumber referensi penelitian.

Proses selanjutnya adalah Interpretasi, yaitu pembeberan dan permaknaan dari semua data-data yang telah teruji itu. Pada bagian ini penulis berusaha untuk menganalisa masalah yang menjadi fokus penelitian. Pendekatan yang dilakukan penulis dalam menganalisa atau mengintrepetasikan sebuah fakta dalam penelitian ini adalah pendekatan ilmu Sejarah dan ilmu Sosiologi. Pada tahapan ini penulis akan melakukan analisis, yaitu mengurai beberapa fakta dari sumber-sumber yang ada. Dalam hal ini penulis menempatkan buku-buku dan Arsip Perpustakaan Museum Sono Budoyo Yogyakarta sebagai sumber analisis. Penulis melakukan analisis Arsip tersebut karena Arsip Perpustakaan Museum Sono Budoyo menggambarkan laporan yang dilakukan oleh pemerintah residen Belanda kepada pemerintah pusat Belanda.

(4)

Objek Penelitian dikumpulkan dari sumber-sumber otentik yaitu buku-buku yang membahas tentang Kota Yogyakarta periode 1942-1950 untuk menggambarkan bagaimana keadaan Kota Yogyakarta pada periode tersebut. Analisis terhadap Arsip Rijksblaad van Sultanaat Djogjakarta No. 12 tahun 1917 dan 1918 dilakukan untuk menambah penggambaran perkembangan Kotabaru sebagai pemukiman awal yang secara sengaja dibangun untuk kepentingan penduduk Eropa di Yogyakarta.

3.

Isi dan Pembahasan

Perkembangan perkebunan yang terjadi di Yogyakarta setelah berlakunya UU Agraria membuat pengusaha swasta yang berasal dari golongan liberal Belanda berdatangan ke Yogyakarta untuk mengembangkan usaha mereka dibidang perkebunan.

Tabel 1. Penduduk Yogyakarta tahun 1845

Penduduk Jumlah Penduduk

Eropa 664

Cina 1.063

Arab / Melayu 55

Pribumi 43.385

Vincent Houben : 1994 : 321

Dari tabel 1 bisa dilihat bahwa penduduk Eropa hanya berjumlah 664 orang dan mereka pada awalnya hanya menetap di dalam benteng Kraton dan Vredeburg. Sedangkan penduduk lainnya tinggal dan menetap di luar benteng Kraton dan Vredeburg.

Tabel 2. Penduduk Yogyakarta tahun 1920 dan tahun 1930

N o

Pendud uk

Tahun Kenaik

an 1920 1930

1 Pribum i

94.254 121.893 27.639

2 Eropa 3.730 5.603 1.873

3 Cina 5.643 8.894 3.251

Freek Colombijn : 2005 : 37

Dalam tabel 2 pertumbuhan penduduk Eropa dalam kurun waktu 10 tahun (1920-1930) naik

hingga lebih dari 1873 orang. Kenaikan penduduk Eropa dikarenakan perkembangan perkebunan di Yogyakarta yang mengakibatkan banyaknya perusahaan swasta asal Belanda di Yogyakarta.

Kemunculan pabrik gula dibuka dengan cara menyewa tanah negara atau dengan menyewa tanah penduduk selama 75 tahun. Tanah penduduk yang disewa oleh pengusaha perkebunan pada umumnya berupa lahan pesawahan. Hal ini dikarenakan tebu membutuhkan sistem pengairan dan kesuburan tanah yang hampir sama dengan padi (Sulistyo, 1995 : 16). Setidaknya ada 30 pabrik gula yang berkembang di Yogyakarta.

Tabel 3. Pabrik Gula di Yogyakarta

Daerah Perkebunan Keterangan

Bantul

Bantul Tebu

Gesikan Tebu

Pundung Tebu

Mengkang Rejo Nila dan Tebu

Sleman

Ngemplak Tebu

Klaci Tebu

Padokan Tebu

Cebongan Tebu

Ganjuran Tebu

Tegal Weru Tebu

Rewulo Tebu

Sonosewu Nila

Demak Ijo Nila

Kebon Agung Nila

Mlati Nila dan Tebu

Pendulan Nila

Duku Nila

Pisangan Nila

Mringin Nila

Kenayan Nila

(5)

Kalasan

Salakan Petorono

Nila

Salakan Lor Nila

Wanujoyo Nila

Muja-Muju Nila

Barongan Tebu

Plered Tebu

Tanjung Tirto Tebu

Rejo Sari Tembakau

Siluk Lanteng Tembakau

Majalah Prisma : 1983 : 78

Berkembangnya perkebunan-perkebunan di Yogyakarta membutuhkan transportasi untuk mendistribusikan hasil-hasil perkebunan. Pada 2 Maret 1872 Nederlandsch Indische Spoorwegmaatshapijj (NIS) mengajukan permohonan untuk membuka jalur kereta api. Realisasi dari permohonan tersebut adalah dibukanya stasiun Lempuyangan (Gunawan, 1993 : 26)

Kenaikan penduduk karena perkembangan perkebunan tersebut memaksa residen Cornelis Canne di Yogyakarta untuk membuat sebuah pemukiman yang sanggup menampung penduduk Eropa di Yogyakarta. Kotabaru Yogyakarta dibangun dengan suasana yang hampir mirip dengan kota di Belanda. Nieuwe Wijk yang semula adalah lahan kosong milik Sultan yang disewa oleh pemerintah kolonial Belanda. Lahan yang disewa ini memiliki topografi permukaan tanah yang bergelombang dan penuh dengan semak belukar (Yose, 2011 : 32).

Pemilihan lahan tersebut dinilai sangat strategis karena berada di sebelah Timur Sungai Code (Trisatya, 2011 : 1). Sebelah Selatan nya terdapat stasiun kereta api lempuyangan yang sering digunakan untuk transportasi darat menuju Semarang atau Solo. Kedua hal tersebut memenuhi kebutuhan air dan transportasi (Hudiyanto, 1997 : 71).

Gambar 1. Peta Kotabaru Yogyakarta tahun 1925 (Reza Hudiyanto : 1997 : 135)

Dari gambar tersebut Kotabaru memiliki letak yang strategis dan memiliki fasilitas didalamnya. Batas Kotabaru (Niuewe Wijk) sebelah Utara berbatasan dengan daerah Terban, sebelah Barat berbatasan langsung dengan Sungai Code, sebelah Timur berbatasan dengan Klitren dan sebelah Selatan berbatasan dengan Stasiun Lempuyangan.

Kedatangan bala tentara militer Jepang ke Indonesia dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan minyak yang akan digunakan sebagai bahan bakar dalam perang melawan Cina (Colombijn, 2010 : 36). Kebutuhan akan minyak bumi tersebut membuat negara-negara yang berperang melakukan ekspansinya ke negara-negara penghasil minyak bumi. Bala tentara militer Jepang dalam tahap ekspansinya melakukan propaganda awal terlebih dahulu. Toko-toko didaerah Ketandan, Malioboro dan Kranggan dibuka dengan harga yang sangat murah dan memiliki pelayanan yang sangat ramah. Berbeda dengan toko yang dibuka oleh orang Belanda dimana harga yang dipatok sangat mahal dan memiliki pelayanan yang tidak baik (Lienau, 1976 : 9).

(6)

mendapay perlawanan dari pihak Belanda (Lienau, 1979 : 21).

Pendudukan Jepang di Indonesia dimulai sejak 8 Maret 1942 dengan penyerahan tak bersyarat Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda Letnan Jenderal H. Ter Poorten kepada Letjen Hitoshi Imamura di Kalijati (Setyawati, 1993 ; 20). Penyerahan tersebut diikuti pula dengan penyerahan daerah-daerah lainnya dari pejabat Hindia Belanda. Di Yogyakarta penyerahan dilakukan pada tanggal 8 Maret 1942 di ruang tamu kediaman Gubernur L. Adam yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur Hindia Belanda di Yogyakarta (Lienau, 1976 : 22). Sejak penyerahan tersebut penduduk Yogyakarta menyaksikan tentara KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) keluar dari kota Yogyakarta. Tentara KNIL tersebut membawa segala macam peralatan perangnya dan bergerak ke arah Barat keluar Kota Yogyakarta (Lienau, 1976 : 23).

Ketika penduduk Hindia Belanda meninggalkan rumahnya di Kotabaru serta kedatangan Jepang ke Indonesia perumahan Kotabaru diambil alih oleh pemerintahan Yogyakarta dan disewakan kepada penduduk pribumi yang bersedia membayar sewa (Fakih, 2008 : 1). Sejak Jepang memerintah di Yogyakarta segala sesuatu yang menyangkut dengan Belanda dihapuskan. Balatentara Jepang menyuruh penduduk kampung untuk mencuri isi rumah Belanda yang telah ditinggalkan (Tashadi, 1991 : 12). Hal ini menimbulkan kekacauan karena penduduk kampung memasuki dan mengambil seluruh isi rumah dan gedung yang telah ditinggalkan penghuninya. Situasi ini kemudian dimanfaatkan balatentara militer Jepang untuk mengeluarkan Undang-undang yang melarang perampasan. Mereka bahkan memerintahkan agar semua barang rampasan dikembalikan dan dikumpulkan di suatu tempat yang ditentukan oleh balatentara Jepang (Tashadi, 1991 : 13 ).

Bangunan-bangunan yang ditinggalkan oleh pemerintahan kolonial Belanda mengalami perubahan fungsi ketika pemerintahan Jepang memerintah di Indonesia, termasuk kawasan

Nieuwe Wijk (kotabaru) Yogyakarta. Kotabaru yang pada masa kolonial Belanda dijadikan sebagai pemukiman khusus orang Eropa di Yogyakarta, berubah fungsi menjadi salah satu markas kekuatan militer di Yogyakarta selain benteng Vredeburg. Hal ini bisa di maklumi karena pada saat kolonialisme Belanda Niuwe Wijk adalah salah satu kawasan yang lengkap karena terdapat rumah sakit Petronella dan Gereja Santo Antonius. Selain itu Kotabaru memiliki wilayah strategis di Yogyakarta.

Selain dipergunakan sebagai salah satu markas militer Jepang di Yogyakarta, kawasan Kotabaru juga digunakan untuk kepentingan perkantoran, perumahan, tangsi, dan gudang. Bangunan-bangunan di kawasan Kotabaru yang besar dan luas seperti bangunan Gereja Santo Antonius dipergunakan oleh tentara Jepang sebagai gudang senjata dan amunisi tentara Jepang lainnya. Sebagai contoh markas militer Jepang, Kidobutai (markas tentara inti Jepang) terletak di sebelah Timur stadion Kridosono.

Gereja Katholik Santo Antonius Kotabaru (Nieuwe Wijk Katholieke Kerk) yang terletak di antara Jalan Abu Bakar Ali dan Jalan I Dewa Nyoman Oka. Gereja tersebut dibangun oleh Romo F. Strater pada tahun 1922 sampai 1926. Gereja ini dibuat untuk melayani ibadah Jemaah katolik di Kotabaru. pada masa pendudukan Jepang gereja ini berubah fungsi menjadi tempat penampungan suster-suster dan wanita-wanita interniran Belanda. Salah satu bangunan yang masih masuk dalam Gereja Santo Antonius yakni Seminari Tinggi dijadikan sebagai kantor tentara Jepang. Beberapa bangunan lainnya dijadikan sebagai gudang untuk menyimpan peluru serta amunisi lainnya (Trisatya, 2011 : 66). Setelah Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia tahun 1945 Gereja ini berfungsi kembali sebagai gereja seperti semula.

Gereja lainnya yang ada di Kotabaru adalah Gereja Protestan HKBP (Gereformeerde Kerk Djogja) yang terletak di Jalan I Dewa Nyoman Oka 1 Kotabaru ini dibangun oleh masyarakat Protestan berkebangsaan Belanda yang tidak bisa mengikuti ibadah di Gereja Kristen Jawa Gondokusuman yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar. Gereja ini pada masa pendudukan bala tentara militer Jepang digunakan sebagai penjara bagi para wanita

(7)

Berbeda dengan di Jakarta, para pemuda yang ada di daerah tidak bisa mengetahui berita proklamasi tersebut secara tepat dikarenakan kantor Radio Hosonkyuku dijaga dengan ketat oleh pasukan Jepang. Kemerdekaan yang telah di proklamirkan dilarang disebarluaskan oleh

Gunseikan Bu. Pemerintah Jepang berusaha merahasiakan kemerdekaan Indonesia (Nurhajarini, 2012 : 58). Namun tidak lama kemudian datanglah sekelompok pemuda dan mahasiswa dari Asrama Prapatan 10 yang dipelopori oleh Chairul Saleh dengan tujuan merebut gedung siaran tersebut. setelah berhasil melucuti penjaga gedung tersebut dengan tanpa persetujuan dan sepengetahuan pemerintah Jepang berita proklamasi itu segera disiarkan ke penjuru tanah air (Darto, 1990 : 7).

Bagi masyarakat daerah Yogyakarta pada umumnya berita mengenai proklamasi tersebut baru bisa diketahui sekitar jam 12.00 siang. Kantor berita Domei cabang Yogyakarta baru mendapat kabar dari kantor Domei pusat. Berita proklamasi akhirnya bisa sampai ke desa-desa walaupun dilakukan hanya dari mulut ke mulut. Proklamasi yang dibacakan pada hari Jumat pun sangat mungkin disampaikan oleh para pemuka agama setelah melakukan sembahyang Jumat, melaui Masjid Kauman dan Masjid Pakualaman mereka menyebarkan berita ini. Bahkan Ki Hadjar Dewantara bersama masyarakat lainnya menggunakan sepeda untuk berkeliling ke desa-desa untuk menyebarkan berita tersebut agar bisa diketahui oleh semua lapisan masyarakat yang ada di Yogyakarta (Nurhajarini , 2012 : 59). Pada tanggal 19 Agustus 1945 Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirimkan telegram dan ucapan selamat kepada Soekarno dan Hatta atas berdirinya Republik Indonesia dan terpilihnya kedua tokoh itu sebagai presiden dan wakil presiden. Pada tanggal 5 September 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan negeri Pakualaman yang bersifat kerajaan adalah daaerah istimewa dari negara Republik Indonesia (Nurhajarini, 2012 : 61). Antara kedua daerah tersebut dengan pusat negara Republik Indonesia bersifat langsung dan kedua penguasanya bertanggungjawab secara langsung kepada presiden Republik Indonesia.

Dukungan yang diberikan oleh kedua pemimpin Yogyakarta tersebut menyulut semangat yang besar bagi masyarakat Yogyakarta. Semangat kemerdekaan digambarkan dengan berkibarnya bendera Sang Saka Merah Putih di seluruh wilayah Yogyakarta. Pengibaran bendera di gedung Cokan Kantai pada tanggal 21

September 1945mendapat perlawanan dari bala tentara militer Jepang. Namun rakyat yang sudah terbakar emosinya melakukan perlawanan. Gerakan ini dibantu oleh satu kompi Polisi Istimewa dengan senjata yang lengkap (90 karabijn, 2 teki danto, 5 leuwis machine gun, 1 water mantel, dan 3 buah truk) (Nurhajarini, 2012 :65).

Dua hari berselang setelah peristiwa Cokan Kantai Polisi Istimewa yang bermarkas di Gayam dilucuti senjatanya. Pihak Jepang menganggap bahwa Polisi Istimewa berbahaya karena memiliki senjata yang lengkap. Perundingan antara Komandan Polisi Istimewa R,P Soedarsono dan Komandan tentara Jepang tidak menghasilkan kesepakatan antara keduanya. Sekitar pukul 21.00 WIB massa bergerak mengepung markas Jepang di Gayam dan merebut kembali senjata yang dilucuti bala tentara militer Jepang.

Setelah beberapa bentrokan fisik yang terjadi antara TKR, Masyarakat, Polisi Istimewa dengan bala tentara militer Jepang. Pengambilalihan kekuasaan Jepang di Kotabaru pun dilakukan. Gerakan yang dimulai dengan pengambilalihan gedung Kooti Zimu Kyoku di Kotabaru (bekas gedung Seminari Tinggi) yang merupakan kantor pusat pemerintahan Jepang di Yogyakarta (Suwarno, 1994 : 177). Pengambilalihan ini pun berlangsung dengan baik tanpa menimbulkan korban jiwa. Pengambilalihan kekuasaan ini berakhir sekitar pukul 20.00 WIB. Mereka berhasil merebut beberapa pabrik dan kantor yang sudah menjadi milik Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang telah direbut antara lain adalah pusat Nanyo Kohatsu, Jawatan Kehutanan, Daiken Sangyo,

Pabrik-pabrik gula di wilayah Bantul seperti Padokan, Gesikan, Pundong, Gondanglipuro, Pleret. Pabrik gula yang berhasil direbut di wilayah Sleman adalah pabrik gula Tanjung Tirto, Salakan, Beran, Cebongan, Rewulu, dan Medari. Serta satu pabrik gula yang berada di Kulon Progo yang berhasil dikuasai yakni pabrik gula Sewugalur (Darto, 1990 : 17).

(8)

dan dilucuti semua persenjataan yang ada di dalamnya.

Perundingan antara utusan tentara Indonesia yang terdiri dari Moh. Saleh, R.P Soedarsono, Bardosono, dan Sunjoto semuanya bertemu dengan pimpinan tentara Jepang di Kotabaru yang terdiri dari Budanco (Komandan Regu) Mayor Otsuka, Kem Pei Taico (Komandan

Kempetai) Sasaki, yang bertempat di rumah

Budanco Mayor Otsuka di Kotabaru. Dalam perundingan tersebut R.P Soedarsono meminta agar Mayor Otsuka menyerahkan senjata pasukannya kepihak Indonesia, namun perundingan tersebut berakhir dengan jalan buntu sehingga pimpinan BKR memutuskan bahwa pelucutan senjata tentara Jepang harus dilakukan melalui kekerasan (Marsudi, 1985 : 53).

Terhentinya perundingan ini ditandai pula dengan penghinaan yang dilakukan Jepang terhadap tentara Indonesia. Jepang memerintahkan satu regu Polisi Istimewa untuk masuk ke dalam gudang senjata Jepang dengan membawa truk yang digunakan sebagai pengangkut penyerahan senjata Jepang. Ketika satu regu Polisi Istimewa tersebut memasuki markas Kido Butai mereka hanya diberikan 5 pucuk senjata jenis karaben dan Mayor Otsuka ketika itu tidak dapat menerima tuntutan untuk menyerahkan senjata Jepang pada saat itu. Akan tetapi ia berjanji akan menyanggupi penyerahan senjata tentara Jepang pada keesokan harinya pada pukul 10.00 setelah mendapat ijin dari Jenderal Nakamura di Magelang (Marsudi, 1985 : 54).

Perundingan yang menemui jalan buntu dan penghinaan yang dilakukan tentara Jepang kepada tentara Indonesia mendapat tanggapan dari semua tentara dan rakyat yang sudah siap siaga disekitar markas tersebut. Polisi Istimewa, BKR, dan rakyat sudah siap bertempur di bawah pimpinan Umar Slamet yang menjabat sebagai ketua BKR. Kekuatan tentara Jepang yang ada di Kotabaru berjumlah sekitar 360 orang yang terlatih serta dibekali dengan senjata yang lengkap. Sekitar pukul 04.00 terdengar letusan granat yang menandai bahwa aliran listrik pagar berduri yang berada di sekeliling markas Jepang sudah dipadamkan. Semua lapisan rakyat dan tentara yang sudah siap siaga sejak sore bergerak menuju markas Jepang. Mereka mendapat perlawanan yang sengit dari tentara Jepang. Pasukan rakyat yang memiliki semangat pantang menyerah terus masuk kedalam markas yang menyebabkan terjadinya pertempuran jarak dekat dengan tentara Jepang dan berlangsung sampai siang hari (Suwarno, 1994 : 181).

Budanco tentara Jepang yang bermarkas di Pingit datang ke Kotabaru dan menyerahkan senjatanya kepada tentara Jepang dengan syarat anak buahnya tidak diganggu. Selanjutnya tentara Indonesia meminta agar Budanco Pingit menasehati Mayor Otsuka agar mengikuti jejaknya menyerahkan senjata. Mayor Otsuka tetap bersikukuh untuk tidak menyerahkan senjata-senjata tersebut. R.P Soedarsono dan Moh. Saleh kemudian memasuki markas Jepang dan menanyakan kepada Mayor Otsuka akan penyerahan senjata. Akhirnya Mayor Otsuka menyerahkan senjata tersebut kepada Yogyakarta Koo. Sekitar pukul 11.00 siang pasukan Jepang menyerah dan menghentikan pertempuran (Suwarno, 1994 : 181).

Setelah pertempuran berakhir, tentara dan rakyat bergerak masuk ke markas Jepang dan mengambil semua senjata yang ada di dalam markas tersebut. Satu truk sudah siaga menunggu serta memberikan pengumuman agar senjata api diserahkan dan dimasukkan kedalam truk untuk dikumpulkan oleh BKR. Akan tetapi ada saja yang tidak mengindahkan pengumuman tersebut dan membawa pulang senjata yang berhasil mereka rampas (Suwarno, 1994 : 182).

Pertempuran di Kotabaru membawa korban di pihak Jepang 9 orang gugur dan kurang lebih dua puluh orang luka-luka. Sedangkan di pihak Indonesia korban jiwa akibat pertempuran Kotabaru ini berjumlah 21 orang gugur dan 32 orang luka-luka. Mereka yang gugur disemayamkan di Gedung Nasional (bekas

Cokan Kantai) dan pada pukul 16.00 17 orang dimakamkan di Semaki (Taman Makam Pahlawan Yogyakarta), 3 orang di makamkan di Kauman, dan satu lagi di makamkan di makam keluarga Glagah Yogyakarta (Suwarno, 1994 : 182).

(9)

mempergiat penjagaan masing-masing (Suratmin, 1983 : 231).

Pertempuran Kotabaru membuat Jepang tidak lagi memiliki kuasa di Yogyakarta. Pada tanggal 10 Oktober 1945 tentara Sekutu yang membawa pasukan Belanda yang terdiri dari KNIL ( Koninklijk Nederlands Indisch Leger)

dan NICA (Nederlands Indies Civiel

Administration) mendarat di Jakarta. Kedatangan pasukan Belanda yang masuk kedalam tentara Sekutu tersebut didasarkan karena keinginan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Keinginan tersebut tercermin dalam Perdana Menteri Belanda Willem Schermerhorn sebagai berikut :

“Kalau tali yang mengikat Belanda dengan Indonesia diputuskan akan ada pengurangan secara permanen dalam penghasilan nasional negeri Belanda, yang akan mengakibatkan bahwa negeri Belanda akan jatuh miskin

(Reid, 1999 : 69).

Keinginan untuk menguasai Indonesia segera dilakukan. Kedatangan tentara KNIL di Jakarta menimbulkan kekacauan bahkan mengancam pemimpin-pemimpin Indonesia di Jakarta. Dengan mengendarai Jeep dan trucknya tentara KNIL menembaki mobil pemimpin-pemimpin Indonesia pada saat berpapasan di jalan (Pramoedya Ananta Toer : 1999 : 69). Salah satu contoh ancaman pasukan KNIL adalah pada tanggal 19 Desember 1945 pukul 12.30. Satu truk KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) yang berisi 5 serdadu Belanda menembaki mobil Perdana Menteri Sutan Syahrir yang sedang melaju di daerah Menteng. Dalam insiden ini Perdana Menteri Sutan Syahrir berhasil menyelamatkan diri. Insiden berikutnya terjadi ketika mobil Menteri Penerangan dan Keamanan Amir Sjarifudin yang berniat mengunjungi Presiden Soekarno di Pegangsaan Timur No. 17 (Nasution, 1993 : 180).

Berita mengenai insiden yang dilakukan terhadap Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan Menteri Penerangan dan Keamanan Amir Sjarifudin sampai juga ke Yogyakarta. Sultan Hamengku Buwono IX sangat prihatin akan insiden tersebut dan Sultan mengirimkan ucapan selamat dan ikut senang dengan lolosnya kedua pemimpin negara tersebut dari maut sebagai berikut.

“Paduka Perdana Menteri Sutan Syahrir Jakarta.

Berhubung dengan terhindarnya Paduka Tuan dari bahaya yang mengancam, kami menghaturkan turut bersenang dan mendoakan

Paduka Tuan selamat sejahtera seterusnya.” (Nasution, 1993 : 103).

Insiden-insiden yang terjadi di Jakarta menyebabkan satu pemikiran Ibukota harus segera di pindahkan ke Yogyakarta. Hal tersebut dibahas dalam rapat antara Presiden dan Menteri di Jakarta. Yogyakarta dipilih menjadi Ibukota RI sementara karena beberapa pertimbangan-pertimbangan yang telah dipikirkan. Paling tidak ada tujuh alasan yang menjadi pertimbangan tersebut, antara lain adalah :

1. Tawaran dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang diketahui memiliki wibawa yang besar dan kesetiaan yang tinggi terhadap RI.

2. Yogyakarta merupakan daerah yang secara organisasi dan proses demokratisasi pemerintahan paling maju dibandingkan dengan daerah-daerah lain di seluruh wilayah RI.

3. Stabilitas sosialnya dan letaknya yang berada di tengah-tengah Pulau Jawa. 4. Yogyakarta terletak di Jawa Tengah

bagian Selatan yang jauh dari jangkauan musuh.

5. Letaknya sangat strategis, sehingga hubungan Yogyakarta ke segala penjuru cukup mudah, baik lewat transportasi darat maupun udara. Disamping itu juga sarana komunikasi memadai (radio dan telegram).

6. Keberadaan markas besar Tentara Keamanan Rakyat dengan Jenderal Soedirman sebagai panglimanya dan Jenderal Oerip Soemohardjo sebagai Kepala Staff Umum TKR. Selain kedua hal tersebut di Yogyakarta juga terdapat markas berbagai kesatuan bersenjata. Diantaranya Laskar Rakyat Mataram pimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

7. Suasana Yogyakarta yang revolusioner dan Republiken (Wijayanto, 2011 : 44).

(10)

Pada tanggal 4 Juni 1946 sekitar pukul 19.00 rombongan yang terdiri dari Soekarno, Hatta, Mr. Amir Sjarifuddin (Menteri Penerangan dan Kemanan Rakyat), I Wangsa Widjaja (Sekertaris Wakil Presiden), Gaffar Pringgodigdo SH (Sekertaris Negara). Dikawal tiga belas orang polisi pilihan yang terdiri dari Sukasah, Winarso, Supandi, Mangil, Rasmad, Didi Kardi, Ramelan, Oding Suhendar, Suhardjo, Sukanda, Sudio, Karnadi, dan Muhammad Toha berangkat menuju Yogyakarta dengan menggunakan kereta KLB (Kereta Luar Biasa). Sekitar pukul 10.00 pagi rombongan sampai stasiun Tugu dengan selamat dan sudah ditunggu oleh Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VII.

Pemindahan Ibu Kota Republik Indonesia untuk pertama kalinya disampaikan oleh Presiden Soekarno di Yogyakarta pada tanggal 6 Januari 1946 yang dimuat dalam harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta sebagai berikut.

“Saudara-saudara pendengar sekalian lebih dulu saya menyampaikan kepada saudara-saudara sekalian di seluruh Indonesia – dari ujung Utara Aceh sampai ke ujung Timur kepulauan kita. Salam nasional yang keluar dari hati yang cinta merdeka. Saudara-saudara sejak kemarin saya dan saudara Hatta berada di Kota Yogyakarta, sebabnya saudara telah mengetahui dari saudara Mr. Ali Sastroamidjoyo dari Kementrian Penerangan telah memberitahukan hal itu kepada saudara” (Kedaulatan Rakyat, 6/6/1946)

Perpindahan Ibu Kota Republik Indonesia ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946 membawa permasalahan tempat tinggal bagi para pemimpin dan keluarganya. Perpindahan tersebut diikuti sekitar 50.000 orang ke Yogyakarta. Berbagai golongan penduduk datang dan menetap di Yogyakarta. Pusat kota Republik di Yogyakarta membuat Sultan memaksimalkan gedung-gedung yang ada untuk dijadikan kantor-kantor pemerintahan RI dan rumah pejabat pemerintah. Untuk memaksimalkan jalannya pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta. Sultan menjadikan Kotabaru dan bangunan-bangunan sepanjang Jalan Malioboro sebagai kantor pemerintahan dan pemukiman.

Beberapa gedung di Kotabaru yang dijadikan tempat tinggal dan kantor pemerintahan adalah gedung kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota yang berada di Jalan Suroto

11 dimanfaatkan sebagai tempat tinggal Letjen Urip Sumoharjo. Kemudian bangunan SMA 3 di Jalan Yos Sudarso No.7 dimanfaatkan sebagai tempat berkumpulnya atau markas para pelajar pejuang yang tergabung dalam Tentara Pelajar (TP). Selanjutnya bangunan SMA BOPKRI I di Jalan Wardani No.2 yang dimanfaatkan sebagai tempat mendidik para kadet Militer Akademi yang pertama. Bangunan SMP Negeri 5 di Jalan Wardani 1 sebagai asrama Militer Akademi.

Gedung Arsip dan Perpustakaan Daerah Propinsi DIY di Jalan Faridan M Noto 21 dimanfaatkan sebagai Kantor Kementrian Luar Negeri (Trisatya, 2011 : 130). Selain itu ada juga gedung Jiwasraya di Jalan Faridan M Noto dipergunakan sebagai tempat perundingan antara para petinggi tentara Jepang dengan pimpinan pejuang Indonesia sebelum pecahnya Pertempuran Kotabaru. Bangunan Seminari Tinggi di Jalan Achmad Jazuli dan bangunan Kolese Santo Ignatius di Jalan Abu Bakar Ali No.1 dimanfaatkan sebagai kantor Kementrian Pertahanan (Trisatya, 2011 : 131).

Dalam hal pemukiman Kotabaru berubah menjadi perumahan yang berbeda. Kehadiran pejabat-pejabat pemerintahan Republik, petinggi-petinggi TNI, mantan Bupati, dokter-dokter yang pindah dari luar Yogyakarta dan guru-guru menjadikan Kotabaru sebagai sebuah perumahan elit baru. Kotabaru mengalami perubahan yang sangat signifikan. Dari sebuah tempat tinggal yang dikhususkan untuk penduduk Eropa di Yogyakarta menjadi sebuah perumahan elit pribumi di Yogyakarta.

Dengan beberapa kali perubahan fungsi Kotabaru memberikan dampak yang signifikan terhadap penduduk kampung sekitarnya. Kotabaru awalnya adalah sebuah permukiman penduduk Eropa yang pada masa kini biasa disebut dengan Gated Communities,

sebuah hunian yang mampu berdiri sendiri tanpa perlu hubungan dengan bagian kota lainnya. Kotabaru dibangun sebagai pemisahan diri warga kulit putih dengan penduduk pribumi. Pemisahan diri tersebut terjadi setelah van Gorkom dan Tielma menyuarakan tentang bahaya penyakit tropis yang disebabkan oleh penduduk pribumi terhadap kesehatan warga kulit putih. Untuk itu Kotabaru merupakan kota yang ekslusif.

(11)

keamanannya. Sebagai sebuah huniah ekslusif kulit putih yang dilengkapi fasilitas sangat baik dan lengkap wajar saja Kotabaru menjadi sebuah kota yang terpisah dan tidak membutuhkan bantuan dari wilayah lain diluar Kotabaru. Ketergantungan dengan kampung sekitar Kotabaru hanya sebatas kebutuhan akan buruh rumah tangga, jongos, babu, supir dan tukang kebun. Hal itu pun sangat dibatasi dan diseleksi mengingat mereka menganggap pribumi yang berada diluar kawasan Kotabaru membawa penyakit karena pemukiman mereka yang tidak steril.

Disekitar Kotabaru Yogyakarta terdapat beberapa kampung yang berkembang mengikuti perkembangan Kotabaru itu sendiri. Kampung-kampung yang ada disekitar Kotabaru diakibatkan oleh pertambahan penduduk alamiah Yogyakarta. Selain itu kehadiran Kotabaru itu sendiri dapat dilihat juga sebagai hadirnya kampung-kampung yang ada disekitarnya (Faqih :2008 : 15). Ada dua kampung yang berdekatan dengan Kotabaru. Kampung ini berada disebelah Barat Kotabaru yang bersebrangan langsung dengan kali Code.

Gondolayu dan kampung Code adalah dua kampung yang secara langsung berbatasan dengan Kotabaru di Sebelah baratnya. Berbeda dengan Gondolayu yang merupakan kampung sejak jaman kolonial. Kampung Code baru muncul setelah pasca kolonial. Di seberang kampung Gondolayu terdapat kampung Terban yang sudah ada sejak jaman kolonial. Di bagian Selatan pemukiman Kotabaru terdapat kampung Krasak disekitarnya (Faqih, 2008 : 15).

Tertutupnya kawasan Kotabaru dari kawasan sekitarnya membuat penduduk kampung di sekitar Kotabaru takut untuk memasuki kawasan ini. Penduduk kampung takut karena kawasan Kotabaru hampir semua ditempati oleh orang Belanda dengan peliharaan anjing-anjingnya yang galak (Faqih, 2008 : 16).

Hanya beberapa penduduk saja yang berani masuk ke dalam Kotabaru. Mereka biasanya sengaja dipanggil oleh penduduk Belanda di Kotabaru untuk menjadi pembantu, tukang kebun, supir dan lainnya. Selain itu beberapa penduduk kampung yang biasa disebut dengan opas. Tugas dari opas tersebut adalah mengantarkan barang-barang pesanan dari luar Kotabaru. Barang-barang yang diantarkan biasanya untuk keperluan sehari-hari seperti roti, sayur mayur dan kebutuhan lainnya (Faqih, 2008 : 17).

Keterikatan hubungan yang terjadi antara penduduk kampung dengan penghuni Kotabaru pada masa kolonialisme Belanda tersebut hanya sebatas hubungan kebutuhan akan jasa bagi keberlangsungan hidup penghuni Kotabaru sebagai daerah mandiri yang terpisah dengan kampung sekitarnya. Banyak keluarga di Kotabaru mengirim pakaian suami mereka untuk dicuci oleh penduduk kampung. Mendapatkan jasa pembantu dan kebun dari kampung sekitarnya. Menggunakan supir-supir dari orang kampung dan mendapatkan kebutuhan sehari-hari mereka dari opas-opas yang berasal dari kampung sekitarnya (Faqih, 2008 : 21).

Pada tahun 1942 ketika Belanda meninggalkan Kotabaru. Penduduk disekitar wilayah Kotabaru banyak yang masuk ke dalam Kotabaru. Mereka melihat-lihat rumah-rumah yang ditinggalkan oleh penghuni Belanda. Perubahan komposisi penghuni Kotabaru pun berubah. Tidak ada lagi penghuni kulit putih yang mendominasi Kotabaru. Tentara Militer Jepang dan penduduk sekitar Kotabaru yang mampu membayar sewa kepada kesultanan menjadi penghuni baru Kotabaru menggantikan orang Belanda.

Perpindahan Ibukota Republik Indonesia ke Yogyakarta pada tahun 1946 membuat Kotabaru menjadi perumahan elit pribumi. Kotabaru dihuni oleh pejabat penting pemerintahan, petinggi-petinggi TNI, mantan Bupati, dokter-dokter dan guru-guru menempati rumah-rumah di Kotabaru. Kotabaru mengalami perubahan yang besar. Perubahan dari sebuah tempat tinggal yang mayoritas “kulit putih” ciptaan kolonial Belanda menjadi perumahan yang dihuni oleh masyarakat Indonesia.

(12)

pekerjaan penduduk kampung (Faqih, 2008 : 33).

Masyarakat Yogyakarta yang menjadi penghuni Kotabaru pada umumnya berasal dari golongan menengah ke atas. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya kehadiran pejabat pemerintahan dan orang-orang yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu sengaja memilih Kotabaru untuk dijadikan tempat tinggalnya. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka juga membutuhkan penduduk kampung untuk membantu mereka dalam pekerjaan rumah. Tidak sedikit juga penduduk kampung sekitar Kotabaru yang menjadi pembantu dan tinggal di rumah majikannya.

Hubungan antara penduduk kampung dan penghuni Kotabaru mengalami perubahan yang sangat signifikan. Hubungan antara penduduk kampung dan penghuni Belanda di Kotabaru merupakan sebuah hubungan yang formal. Sedangkan hubungan yang terjadi antara penduduk kampung dengan penguni pribumi bersifat tradisional (Faqih, 2008 : 34).

Hubungan formal yang terjadi disini adalah penempatan penduduk kampung dalam pekerjaan dibidang jasa. Selain bekerja penduduk kampung tidak terlibat komunikasi ataupun hubungan lainnya. Sedangkan hubungan yang terjadi antara penduduk kampung dengan penduduk pribumi di Kotabaru bergeser menjadi hubungan tradisional. Mereka tidak hanya berbaur sebagai sebuah majikan dan pembantu. Tetapi berbaur dan memiliki hubungan sosial masyarakat seperti halnya masyarakat lainnya di Indonesia.

Pekerjaan yang tersedia untuk penduduk kampung tidak hanya sebagai tukang kebun, pembantu, supir dan pemasok kebutuhan sehari-hari. Pekerjaan mereka adalah pekerjaan yang susah dilakukan oleh penghuni pribumi yang merupakan kelas menengah ke atas. Seperti guru ngaji, dan pekerjaan tradisional lainnya seperti ronda dan gotong royong.

Kesibukan penduduk pribumi kelas menengah Kotabaru menyebabkan adanya kesulitan dalam menemukan orang-orang yang dapat memenuhi fungsi tradisional tersebut. Penduduk kampung di sekitar Kotabaru lah yang dapat memenuhi peran tradisional tersebut. Sehingga hubungan yang terjadi antara penduduk kampung dan penghuni Kotabaru tetap terjaga dengan baik.

Selain dampak hubungan yang berubah antara penghuni Kotabaru dengan penduduk kampung sekitarnya tindak kriminalitas sering terjadi di wilayah Kotabaru. Perpindahan penduduk yang terjadi di Yogyakarta berasal dari stratifikasi sosial yang bermacam-macam. Statifikasi sosial yang terdiri dari pejabat, pegawai pemerintah, orang kaya, rakyat. Selain itu Yogyakarta kedatangan orang-orang yang tidak mampu seperti gelandangan, pengemis dan lainnya yang berasal dari penduduk setempat dan pendatang (Dito Wijayanto : 2011 : 86).

Semakin banyaknya pendatang dari daerah lain ke Yogyakarta, dan ditambah lagi dengan keadaan negara yang tidak stabil dalam perekonomian menjadikan kriminalitas berkembang di Yogyakarta. Harapan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik ternyata semakin sulit yang menyebabkan mereka mengambil jalan pintas untuk bisa mempertahankan hidupnya.

Kriminalitas berkembang di Yogyakarta. Aksi pencopetan, pencurian, perampokan dan kriminalitas lainnya semakin sering terjadi di Yogyakarta. Contohnya adalah aksi pencopetan yang berisi uang dan surat-surat penting lainnya. Pencopetan pada tanggal 17 Februari 1946 ini terjadi di sekitar daerah stasiun Lempuyangan.

Kriminalitas pun tejadi di wilayah Kotabaru. Praktek prostitusi, pencopetan, perampokan dan lainnya banyak terjadi di Kotabaru. Prostitusi banyak berkembang di sekitar Jalan Code dekat Kotabaru. Jalan-jalan sekitar Kotabaru yang gelap menjadikannya tempat yang rawan kejahatan. Pada tanggal 17 Februari 1946 telah terjadi pencurian sepeda perempuan dengan merek Raleigh yang memiliki nomor seri AC 68654. Sebuah sepeda yang lengkap dengan verseneling tersebut hilang di Gereja Katholik Kotabaru.

(13)

4.

Kesimpulan

Kotabaru adalah sebuah pemukiman yang dibangun berdasarkan politik segregasi kolonial Belanda. Thomas Karsten arsitektur asal Belanda menjadikan kawasan kotabaru terbebas dari pengaruh luar. Hal ini bisa dipahami mengingat ketakutan akan penduduk Eropa akan bahaya penyakit tropis yang banyak diderita oleh penduduk pribumi.

Kedatangan Jepang sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap keadaan Kotabaru Yogyakarta. Jepang menjadikan Kotabaru sebagai sebuah kawasan yang memiliki tiga fungsi sekaligus, yakni markas militer, pemukiman penduduk pribumi dan sebagai tempat tinggal pejabat militer Jepang.

Perpindahan Ibu Kota Republik Indonesia ke Yogyakarta pada tahun 1946 membawa pengaruh yang cukup besar. Kotabaru dan beberapa tempat disekitar jalan Malioboro dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan pemukiman pejabat pemerintahan. Perpindahan ini diikuti dengan perpindahan penduduk yang ada di sekitar Yogyakarta. Mereka bergerak masuk ke Yogyakarta untuk mencari tempat yang aman dari serangan militer Belanda. Pada masa revolusi Yogyakarta adalah benteng terakhir Indonesia atas serangan militer Belanda.

Pengungsi yang datang tersebut terdiri dari beberapa golongan yang ada. Mulai dari golongan menengah ke atas yang terdiri dari pejabat pemerintah, guru, dokter, petinggi TNI dan lainnya. Pengemis, pengangguran, bekas tahanan romusha Jepang juga hadir di Yogyakarta.

Kedatangan berbagai macam golongan tersebut membuat kebutuhan akan pemukiman meningkat. Kotabaru yang masih memiliki sisa-sisa fasilitas yang baik dan lengkap dipilih oleh golongan menengah keatas untuk dijadikan sebagai kawasan pemukiman mereka.

Berbagai macam fasilitas yang ada di Kotabaru mulai dari fasilitas keagamaan, olahraga, kesehatan, dan pendidikan menjadi salah satu alasan mereka untuk tinggal di Kotabaru. Kehadiran golongan menengah ke atas dan

lengkapnya fasilitas yang ada di Kotabaru menjadikan Kotabaru sebagai sebuah pemukiman elit pribumi yang ada di Yogyakarta.

Pergantian penghuni di Kotabaru dari penduduk Eropa menjadi penduduk elit pribumi membawa beberapa dampak terhadap penduduk kampung disekitarnya. Dampak yang paling terasa adalah perubahan hubungan sosial yang terjadi antara penghuni Kotabaru dengan penduduk sekitarnya.

Ketika penduduk Eropa tinggal di Kotabaru, penduduk kampung tidak ada yang berani masuk ke dalam. Hal ini dikarenakan ketatnya penjagaan di Kotabaru. Mereka yang bisa masuk ke dalam adalah mereka yang bekerja sebagai pembantu di rumah orang Eropa. Selain itu tidak ada yang berani untuk masuk ke dalamnya. Setelah penghuni Kotabaru berganti menjadi penduduk elit pribumi. Penduduk kampung mulai berani untuk masuk ke dalam Kotabaru.

Mereka melakukan pekerjaan yang bisa mereka lakukan. Seperti pemimpin pengajian, selamatan dan kerja sosial lainya seperti ronda. Walaupun masih ada jarang pemisah antara mereka karena Kotabaru adalah pemukiman elit pribumi, tetapi interaksi yang mereka lakukan jauh lebih sering dibandingkan ketika penduduk Eropa masih berada di Kotabaru.

Dampak lainnya yang terjadi akibat perubahan ini adalah masalah keamanan dan kriminalitas di Kotabaru meningkat. Kedatangan ribuan pengungsi yang berasal dari golongan bawah ditambah dengan inflasi yang tinggi pada masa revolusi membuat pengungsi yang tidak memiliki keahlian dalam pekerjaan melakukan tindakan kriminalitas untuk menyambung hidup mereka. Mereka melakukan pencopetan, perampokan, pencurian dan tindakan kriminal lainnya. Wanita yang tidak memiliki perkejaan tetap lebih memilih menjadi wanita penghibur disekitaran kali Code.

(14)

berkembang mengikuti perkembangan jaman dan tingkat kebutuhan hidup para pelakunya.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kepada pembimbing skripsi dan jurnal saya Tri Wahyuning M. Irsyam.

M.Hum. Kepada kedua orangtua yang telah membantu dan kawan-kawan seperjuangan.

Daftar Acuan

Colombijn, Freek, Kota Lama dan Kota Baru Sejarah Kota-Kota di Indonesia Sebelum Kemerdekaan, Yogyakarta : Ombak, 2005 Colombijn, Freek, Under Construction,

Leiden : KITLV Press, 2010

Gottschalk, Loiz, Mengerti Sejarah. Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1975

Gunawan, Ryadi, Sejarah Sosial Daerah-Daerah Istimewa Yogyakarta :Mobilitas Sosial Di Yogyakarta Periode Awal Abad Duapuluhan, Jakarta : Depdikbud Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1993

Houben, Vincent, Kraton and Kumpeni Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870, Leiden : KITLV, 1994

Kartodirdjo, Sartono, Memori Serah Terima Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur dan Tanag kerajaan), Yogyakarta : Arsip Nasional RI, 1978

Marsudi, Djamal, Yogyakarta Benteng Proklamasi, Yogyakarta : Badan Musyawarah Musea, 1985

Nasution, A.H, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 2 (Diplomasi atau Bertempur),

Bandung : Disjarah AD dan Angkasa, 1993

Notosusanto, Nugroho, Masalah Penelitian Sejarah : Suatu Pengalaman. Jakarta : Yayasan Idayu, 1978

Nurhajarini, Dwi Ratna, Retna Astuti, Titi Mumfangati, Hisbaron Muryantoro,

Yogyakarta Dari Hutan Beringin Ke Ibukota Daerah Istimewa. Yogyakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2012

Reid, Anthoni, Revolusi Nasional Indonesia,

Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996

Sedyawati, Edi, Anhar Gonggong, Sejarah Kebudayaan Jawa, Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1993

Sulistyo, Bambang, Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1995

Suratmin, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983

Surjomihardjo, Abdurrachman, Kota Yogyakarta Tempoe Doeloe Sejarah Sosial 1880-1930. Yogyakarta : Komunitas Bambu, 2008

Suwarno, P.J, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974 Sebuah Tinjauan Historis,

Yogyakarta : Kanisius, 1994

Tashadi, Harmoko Darto, Keterlibatan Ulama DIY Pada Masa Perang Kemerdekaan Periode 1945-1949, Jakarta : Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional, 1990

Toer, Pramoedya Ananta, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, Kronik Revolusi Indonesia , Jakarta : Kompas Gramedia, 1999

Makalah

Fakih, Farabi (2008), Benteng Kotabaru : Antara Ada Dan Tiada Di Jaman Poskolonial,

Diseminarkan di seminar umum Universitas Gadjah Mada

Skripsi

Hudiyanto, Reza, Perkembangan Pemukiman Masyarakat Eropa di Kota Yogyakarta (1917-1936). Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. 1997

Lienau, Sri Setyaningsih, Yogyakarta Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945. Jakarta : Universitas Indonesia. 1976

Mudaryanti, Tri Wahyuning, Priangan Shu Pada Masa Pendudukan Jepang : 1942-1945, Skripsi, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1979

Tesis

(15)

Pemukiman Menteng Jakarta Pusat). Depok : Universitas Indonesia. 2007

Trisatya, Wahyu Harry, Pelestarian dan Pemanfaatan Bangunan Indies di Kawasan Kotabaru. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. 2011

Wijayanto, Dito, Konflik Kekerasan dan Kriminalitas di Ibu Kota Republik Indonesia

Yogyakarta Tahun 1946-1950. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. 2011

Gambar

Tabel 3. Pabrik Gula di Yogyakarta
Gambar 1. Peta Kotabaru Yogyakarta tahun 1925 (Reza Hudiyanto : 1997 : 135)

Referensi

Dokumen terkait