• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mencari Akar Pemikiran Sastra Sunda Mode

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mencari Akar Pemikiran Sastra Sunda Mode"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Belanda pada paruh kedua abad ke-19

Mikihiro MORIYAMA Jurusan Studi Asia

Fakultas Bahasa-bahasa Asing Universitas Nanzan

Makalah ini dipresentasikan pada PERTEMUAN ILMIAH NASIONAL XIV, HIMPUNAN SARJANA KESUSASTRAAN INDONESIA

(2)

Pengantar

Dalam kehidupan sastra Sunda pada paruh kedua abad ke-19, rupanya terjadi perubahan yang cukup besar.1 Itu merupakan suatu bentrokan konsep kesusastraan yang disebabkan masuknya konsep Barat melalui orang Belanda. Pemikiran orang Sunda diguncangkan: orang Belanda berpendapat bahwa dari sudut pandang mereka tidak ada sastra di komunitas berbahasa Sunda. Itu terjadi karena konsep dan pemikiran tentang kesusastraan antara mereka berbeda. Tetapi bentrokan itu tidak mengakibatkan debat antara orang Sunda dan orang Belanda. Kiranya ada beberapa sebab: orang Sunda tidak pernah memikirkan sastranya sendiri secara sadar. Mungkin pula mereka merasa tidak perlu untuk memikirkannya. Ketika ada orang luar memasalahkan sesuatu di dalam, barulah orang dalam mulai menyadarinya dan merenungkannya. Proses penyadaran ini bisa dilihat secara analogis dalam uraian Michael Bakhtin tentang obyektivitas bahasa ketika suatu bahasa yang berkuasa mengintervensi bahasa setempat (1981: 62-65). Ada pula alasan soal situasi kolonial. Pihak penjajah tidak dapat ditantang oleh orang yang dijajah.

Pemerintah kolonial di Hindia Belanda mulai menyadari perlunya pendidikan untuk orang pribumi pada pertengahan abad ke-19. Pada tahun 1848 Gubernur-Jeneral menyiapkan anggaran khusus sebesar 25,000 gulden per tahun untuk mendirikan sekolah-sekolah bagi orang pribumi2 yang akan dijadikan pegawai pemerintah (AVSS 1853: 319-320). Semakin kepentingan ekonomi di Hindia Belanda meningkat untuk

mendukung ekonomi Kerajaan Belanda sendiri, khususnya hasil dari perkebunan. Untuk menjalankan sistim administrasi secara murah dan efisien pegawai pribumi dibutuhkan lebih banyak daripada sebelumnya. Sekolah-sekolah mulai didirikan dan buku-buku sekolah pun disusun. Untuk itu orang Belanda mulai mempelajari dan meneliti bahasa pribumi termasuk bahasa Sunda secara sungguh-sungguh.

Upaya belajar dan kegiatan penelitian orang Belanda menimbulkan pertanyaan: apakah orang Sunda punya tradisi penulisan? Apakah orang Sunda punya kesusastraan tanpa budaya tulis-menulis? Lama kelamaan orang Sunda pun ikut memikirkan kesusastraan mereka sendiri menurut konsep orang Belanda.

1

Saya ucapkan banyak terima kasih atas bantuan rekan saya Bapak Henri Daros untuk memeriksa naskah ini.

2 Kata aslinya ‘de Javanen’ (orang Jawa) dipakai, tapi yang dimaksudkannya ialah orang pribumi di

(3)

Tidak Ada Budaya Tulisan?

Orang-orang Eropa yang datang ke Hindia Belanda nampaknya mempunyai asumsi bahwa setiap kelompok etnis mempunyai bahasa dan budaya yang asli. Ada beberapa kebudayaan yang maju dan ada beberapa pula yang terbelakang; ada beberapa kebudayaan yang lebih tinggi dari kebudayaan lainnya. Kriteria yang digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan kebudayaan itu, antara lain, apakah kebudayaan itu punya ‘kesusastraan’ atau tidak.

Para sarjana Eropa yang dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Romantik pada abad 19 berharap bisa menemukan semacam kesusastraan yang khas dalam budaya tulis-menulis Sunda. Namun rupanya mereka tidak memiliki gagasan yang jelas mengenai apa itu ‘kesusastraan’. Asumsi mereka, ‘kesusastraan’ itu adalah sesuatu yang tinggi dan merupakan kumpulan karya yang dianggap kanon. Dan yang lebih penting lagi tentu saja bahwa yang disebut ‘kesusastraan’ itu harus terwujud dalam tradisi penulisan. Di bagian ini saya mencoba untuk menggambarkan alasan mengapa orang Eropa tidak menemukan ‘kesusastraan’ di wilayah tururan Sunda. Kegagalan itu disebabkan oleh dugaan yang sangat berbeda mengenai apa itu ‘kesusastraan’ yang dipertahankan oleh orang Eropa. Dari sudut pandang orang Eropa karya tertulis di Sunda nampaknya tidak memiliki dimensi-dimensi artistik. Lebih jauh lagi, orang Eropa yang berorientasi sepenuhnya pada budaya tulis-menulis, gagal menemukan tradisi sastra Sunda; penyampaian kesusastraan secara lisan atau konsep sastra lisan adalah pemikiran yang asing dan di luar kriteria kesusastraan mereka. Sunda tidak punya ‘kesusastraan’ dan mereka lalu menempatkannya pada tingkat kebudayaan yang kemajuannya rendah. Kebudayaan orang Sunda dinilai kurang berkembang dibanding kebudayaan orang Eropa.

(4)

demikian. Dia memang menyusun kamus Sunda-Inggris pertama setelah tinggal lama di Bogor Selatan sebagai pemilik perkebunan teh, namun dia menyatakan tidak menemukan kesusastraan Sunda. Dalam pengantar kamusnya dia menulis, “Masyarakat Sunda tidak memiliki sesuatu yang mengindikasikan adanya kesusastraan dan ini merupakan akibat dari bahasa yang semata-mata lisan, yang dituturkan oleh kurang lebih dua juta orang” (Rigg 1862: xiii). Jelas bahwa Crawfurd dan Rigg menganggap bahwa kesusastraan sejalan dengan tradisi penulisan, seperti halnya etimologi kata ‘literature’ bisa merujuk. Pemikiran bahwa bahasa yang artistik diwujudkan dalam bentuk lisan itu tak terbayangkan. Juga, kenyataan bahwa cukup banyak karya tertulis dalam bahasa Jawa yang dihasilkan oleh orang Sunda pada waktu itu mendukung pemahaman Rigg. Akhirnya, mereka berpendapat tidak ada ‘kesusastraan’ tanpa tradisi penulisan dan tidak ada ‘kesusastraan’ yang dapat ditulis dalam ‘bahasa yang semata-mata lisan’. Faktanya, mereka salah menginformasikan dan memahaminya. Pada kenyataannya, ada karya tertulis dalam bahasa Sunda yang dituliskan di atas lontar atau kertas asli yang dipelihara sejak lama.

Taco Roorda (1801–1874), seorang profesor bahasa dan sastra timur serta

filsafat di Amsterdam, juga tidak menemukan apa yang pantas disebut ‘kesusastraan’. Walaupun dia telah melegitimasi bahasa Sunda sebagai suatu bahasa yang mandiri di Jawa Barat, sepertinya dia tidak memikirkan bahwa orang Sunda memiliki khazanah kesusastraan:

Tuan De Wilde tak pernah mendapat informasi mengenai kesusastraan Sunda selama dia sekian tahun tinggal di wilayah Priangan. Jadi, tidak ada kemungkinan bahwa yang demikian itu ada (Roorda dalam De Wilde 1841: xi).

Dugaan Roorda mengenai kesusastraan Sunda dibentuk atas dasar bahan yang dikumpulkan oleh De Wilde.3 Karena Roorda tak pernah ke wilayah Hindia, cara inilah yang dia tumpuh untuk mendapatkan informasi. Di sisi lain, dia menganggap bahwa bahasa Jawa memiliki tradisi sastra yang tinggi dan dia sendiri mengenal baik naskah-naskah Jawa yang dikoleksi dan dikirim ke negeri Belanda. Oleh karena itu, dia menyimpulkan bahwa kebudayaan Jawa lebih tinggi dari kebudayaan Sunda, karena punya tradisi penulisan.

3 Ini aneh bahwa tidak ada karya tertulis Sunda yang ditemukan De Wilde, yang telah tinggal cukup lama

(5)

Bertolak belakang dengan De Wilde dan Roorda, ilmuwan kontemporer lainnya, H. Neubronner van der Tuuk, bersiteguh mempertahankan dugaannya yang berbeda mengenai kesusastraan. Dia adalah ahli dalam beberapa bahasa pribumi dari Hindia Belanda. Dia menegaskan bahwa bahasa Sunda adalah bahasa yang mandiri serta punya “menaak woorden” (kosakata menak) dan “koering woorden” (kosakata masyarakat biasa), sebuah perbedaan yang dia anggap sepadan dengan tingkatan bertutur kromo - ngoko dalam bahasa Jawa. Selama masa penyembuhan dari sakitnya di Buitenzorg

(Bogor), dia memperoleh naskah-naskah Sunda, termasuk buku-buku keagamaan, puisi epik, dan surat-surat. Dia mengkritik De Wilde sebagai berikut:

Bahwa secara mutlak tidak ada kesusastraan (litteratuur) Sunda, seperti yang dikatakan De Wilde, tidaklah benar sama sekali. Saya percaya bahwa kita tidak akan bisa berkata banyak mengenai hal ini selama (mereka yang paling saleh biasanya) Muslim yang berkeadaban tidak sudi menunjukkan pada kita para umat tak beriman (kafir) sejenis karya-karya sastra yang mereka miliki karena takut miliknya berpindah tangan atau dicemari (Tuuk 1851: 341).

Kritik ini ditulis 10 tahun setelah kamus De Wilde diterbitkan. Van der Tuuk nampaknya beranggapan bahwa di mana ada bahasa maka di situ ada kesusastraan. Namun apa yang dimaknai litteratuur oleh Van der Tuuk tidak bisa disamakan secara mutlak dengan kesusastraan, tetapi lebih kepada budaya tulis-menulis – sesuatu yang dituliskan dalam bahasa Sunda. Memang kata kesusastraan itu istilah yang rumit, sehingga tak akan mengejutkan bahwa bahkan seorang linguist yang terkemuka pada abad ke-19 pun tidak mampu memberi definisi yang jelas.

(6)

Hasil pekerjaan Karel Frederik Holle (1829 – 1896) menghadirkan sebuah titik balik.4 Dia datang ke Hindia Belanda pada 1843 serta mulai mempelajari budaya dan bahasa pribumi sejak dia menjadi pegawai pemerintah pada 1846. Dia mulai tertarik pada kebudayaan Sunda ketika dia mengundurkan diri dari tugas pemerintahan dan membuka sebuah perkebunan teh di Cikajang (sekarang Garut) pada 1856. Dalam pandangan Holle, bahasa Sunda digunakan masyarakat Sunda sebagai sebuah alat tuturan, sedangkan bahasa Jawa dipakai sebagai alat penulisan. Menurutnya, tradisi penulisan naskah di atas lontar sudah hilang bersama aksara Sunda aslinya setelah digantikan oleh akrasa Jawa. Dia berkeinginan untuk membangkitkan kembali bahasa Sunda sebagai sebuah bahasa yang melambangkan kebudayaan Sunda. Dia menulis:

Tradisi penulisan naskah tidak dikenal lagi untuk anak cucu sekarang, tetapi sejak beberapa tahun belakangan ini mereka menulis dalam bahasa Sunda, sebagai pengganti bahasa Jawa yang mengandung banyak kesalahan. Ya, saya masih ingat tanggapan seorang bupati ketika saya katakan padanya bahwa penghulu Garut telah mengarang sebuah puisi Sunda wawacan: “Itu tidak mungkin. Bahasa Sunda itu bukan bahasa!” (Holle 1867: 451).

Holle pun rupanya mempunyai ide bahwa setiap kelompok etnis patut memiliki budaya penulisan dalam bahasa mereka yang asli. Demi kebangkitan tradisi penulisan, Holle mulai mencurahkan perhatian untuk memajukan masyarakat Sunda. Dia menyarankan kepada para bangsawan Sunda agar mereka menulis cerita dalam bahasa Sunda. Sahabat karibnya, hoofdpanghulu Limbangan Moehamad Moesa (1832–1886), adalah yang paling produktif di antara orang yang menerima saran Holle. Teks-teks yang diseleksi dan diedit Holle, yang pada umumnya merupakan buku-buku sekolah dan bacaan, diterbitkan oleh kantor percetakan pemerintah, Landsdrukkerij, dengan dana pemerintah pula. Pada 1860-an, ada 23 judul buku yang diterbitkan oleh pemerintah di bawah pengawasan Holle.

Dalam usaha penerbitan itu tidak didiskusikan soal kesusastraan. Yang dipertanyakan adalah karya tertulis mana yang paling cocok untuk dipilih dan diterbitkan untuk digunakan di sekolah. Maksud penerbitan buku-buku bahasa Sunda, bukan untuk mengedit karya-karya tertulis dalam bentuk naskah yang ada di masyarakat, yang kiranya punya potensi nilai kesusastraan asli dan bisa bermanfaat untuk mempelajari kebudayaan Sunda bagi para ahli, tetapi semata-mata demi kepentingan

(7)

pendidikan di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial. Tujuan utama pemerintah Belanda adalah untuk mengawasi masyarakat dan mengangkat ‘tingkat peradaban’ mereka. Penelitian mengenai bahasa dan kesusastraan, oleh karena itu, dilakukan bukan untuk maksud akademis, tetapi lebih dimaksudkan untuk alasan-alasan praktis yang hasilnya bisa digunakan untuk menerapkan kebijakan-kebijakan kolonial.

Pada 1863 pemerintah menugaskan D. Koorders untuk mengevaluasi buku-buku sekolah yang sudah diterbitkan. Koorders adalah seorang sarjana dan langsung terlibat konflik dengan Holle yang autodidak, yang pragmatis dalam metodenya. Penilaian Koorders mengenai pekerjaan Holle sangatlah negatif: dia menganggapnya tidak cocok untuk tujuan mengajarkan bahasa Sunda kepada masyarakat Sunda dengan sejumlah alasan. Ia mengkritik, karena banyak buku ditulis dalam bentuk dangding, bentuk puisi tradisional, maka buku sekolah itu tidak cocok untuk mengajarkan bahasa yang baik

(Koorders dalam Meinsma 1869: 260–264). Koorders tidak berharap bahwa masyarakat pribumi Hindia punya ‘kesusastraan’ yang sepadan dengan kesusatraan Belanda. Kriteria penilaiannya terhadap buku-buku cetakan dalam bahasa Sunda adalah apakah isinya cukup didaktis atau tidak, serta apakah pemakaian bahasanya benar atau tidak. Dia tidak berusaha mengevaluasi buku-buku itu sebagai khazanah sastra: sebagai seorang pegawai kolonial ia merasa bahwa Belanda harus dan bisa mengajarkan orang Sunda bahasa Sunda yang baik. Ide itu tentu sangat aneh dan konyol, karena seolah-olah orang Belanda mengetahui bahasa Sunda lebih baik daripada orang Sunda sendiri (cf. Maier 1988).

Tidak Ada Kesusastraan?

Setelah usaha pertama menerbitkan buku-buku sekolah dalam bahasa Sunda, kalangan sarjana Belanda mulai mendiskusikan buku cetakan itu dari segi artistik. Pencarian ‘kesusastraan’ dalam karya tertulis itu sia-sia, karena pemikiran mereka mengenai ‘kesusastraan’ sangat berbeda. Mereka kemudian menyimpulkan bahwa karya-karya tertulis dalam bahasa Sunda dari sudut pandang ‘sastra’ tidaklah bernilai.

Adalah Grashuis yang mulai membicarakan kembali mengenai nilai sastra Sunda setelah topik tersebut diabaikan sejak pertama kali dimunculkan oleh Van der Tuuk. Ini patut diperhatikan karena Van der Tuuk, yang mengatakan bahwa secara teoritis kesusastraan atau tradisi penulisan dalam bahasa Sunda itu harus ada,

(8)

menggunakan istilah letterkunde dan litteratuur secara bergantian tanpa membedakan di antara keduanya. Memang pada awal abad ke-19, letterkunde adalah kata umum yang maknanya kurang lebih ‘kesusastraan’, walaupun konsep ‘kesusastraan’ sendiri masih samar-samar. Sementara litteratuur adalah kata baru yang dipinjam dari bahasa Prancis (litterature). Namun konsep kesusastraan itu sendiri relatif pendatang baru bagi peradaban Eropa pada abad ke-19. Dalam pandangan Belanda pada waktu itu, Prancis superior bagi mereka dalam bahasa dan kebudayaannya. Mereka menerima istilah litterature dari Prancis tanpa mencari definisi yang jelas, dan menganggap bahwa kata

itu adalah sesuatu yang terang dengan sendirinya. Akibatnya, di Belanda baik istilah letterkunde maupun litteratuur dipakai tanpa memiliki sebuah definisi yang jelas

mengenai kesusastraan. Kalangan sarjana Belanda mencoba menerapkan konsep mereka mengenai ‘kesusastraan’ untuk karya-karya tertulis pribumi tanpa memperjelas istilah itu. Akhirnya, baik Grashuis maupun Van der Tuuk, tidak bisa menemukan ‘kesusastraan’.

Grashuis yang awalnya dikirim ke Jawa Barat sebagai penerjemah Injil, kemudian dilantik sebagai dosen bahasa Sunda di Universitas Leiden pada 1877. Dia datang untuk menemukan litteratuur dalam budaya penulisan Sunda, tetapi gagal menemukan seninya. Seperti diungkapkan dalam kata-katanya, “[Karya-karya tertulis Sunda] kekurangan nilai artistik”. Kemudian ia melanjutkan argumentasinya dalam pengantarnya untuk sebuah antologi karya-karya dalam bahasa Sunda:

Walaupun karya-karya tertulis itu penting dari pandangan linguistik, tetapi karya-karya tersebut tidak bisa disebut sebagai karya sastra. Puisi-puisi itu hanya besajak, juga prosa yang nilainya rendah (Grashuis 1881: xi).

Pendapat Grashuis tentang karya-karya tertulis dalam bahasa Sunda itu tetap konsisten sejak antologi pertama diterbitkan pada 1874. Di situ dia menyebutkan bahwa puisi Sunda adalah pemalsuan belaka dari puisi Jawa dan hanya menunjukkan pengaruh Islam yang mendalam di dalamnya (Grashuis 1874: iv). Di samping puisi, ada pula beberapa karya tertulis dalam bentuk prosa yang dimaksudkan sebagai bahan pelajaran.

(9)

berperan sebagai patronase kesenian.5 Dia selalu membandingkan bahasa dan kesusastraan Jawa dengan Sunda, dan selalu menganggap yang terakhir inferior.

Patut disayangkan bahwa Grashuis tidak bisa menemukan nilai artistik dalam karya-karya bahasa Sunda dan tidak bisa menikmati apa yang dia temukan, meskipun dia sangat menguasai bahasa Sunda. Betapa tersiksanya jika harus membaca begitu banyak karya-karya tertulis tanpa emosi dan kegembiraan dan hanya menelitinya dari segi ilmu bahasa saja. Tetapi sikap para sarjana Belanda yang demikian pada saat itu dianggap sebagai sikap akademis yang wajar.

Walaupun Grashuis berpendapat bahwa kebudayaan Sunda tidak memiliki “karya seni sastra” (litterarisch kunstvoorbrengselen), dia sempat menyusun tiga antologi karya-karya Sunda yang berbeda dari korpus-korpus teks yang diperolehnya.6 Dia juga bekerja untuk tujuan memperkaya pengetahuan bahasa-bahasa pribumi di wilayah Hindia. “Bahasa Sunda tidak kurang layak sebagai sebuah objek studi seperti halnya bahasa Jawa,” demikian dikemukakannya dalam pengantar antologinya yang pertama (1874: xiii). Dia bermaksud menyusun buku itu untuk dijadikan buku pelajaran bagi siapa saja yang ingin mempelajari bahasa di Jawa Barat, khususnya untuk kebutuhan pejabat kolonial yang dilatih di Delft dan kemudian di Leiden. Pemilihan bahasa dalam buku pelajaran itu menekankan bahasa Sunda yang ‘murni’, yakni bahasa Sunda yang relatif bebas dari pengaruh bahasa lain seperti Jawa, Melayu, dan Belanda. Padahal bagi pendahulu-pendahulu Grashuis, kemurnian hanya masalah pemilihan dialek Sunda yang lebih halus dari beberapa dialek yang ada. Dia juga mengklaim telah memilih teks-teks yang ‘murni’ dalam gaya bahasanya, walaupun kriteria yang dia gunakan untuk menentukan kemurnian tidaklah jelas. Dengan kata lain, buku-buku itu tidak menyajikan pemakaian bahasa sastra yang sifatnya indah dan anggun, karena tidak layak untuk mendidik calon pegawai pemerintah.

Dalam antologinya itu, Grashuis juga menekankan keberagaman. Dia memilih surat-surat, dongeng dan cerita-cerita Islam dari sumber-sumber naskah, juga cerita dari buku-buku cetakan, termasuk sebuah terjemahan Sunda dari Robinson Crusoe karangan Defoe. Dia tidak memuat puisi dalam antologinya, karena dia berpendapat bahwa

5 Keraton memainkan peranan penting dalam memelihara kebudayaan lokal di kepulauan Nusantara.

Studi-studi bahasa pada abad ke-19 di Hindia Belanda dilakukan di dalam lingkungan dan di sekitar pusat-pusat kebudayaan seperti itu (Putten 1995: 53).

6 Antologi tersebut adalah

(10)

pelajar tidak dapat mempelajari penggunaan bahasa yang benar dari puisi. Namun dia memasukkan semacam puisi naratif yang disebut wawacan. Memang faktanya wawacan sangat populer di kalangan masyarakat Sunda pada paruh kedua abad ke-19,

dan pola serta gaya bahasanya sangat penting untuk mempelajari bahasa Sunda. Tetapi, Grashuis hanya memasukkan sedikit saja dari wawacan, yang pada dasarnya hanya untuk bahan perbandingan. Dia pun rupanya melihat kecil sekali nilai artistik yang terkandung dalam wawacan. Dalam pengantar untuk antologinya yang terakhir, dia mengatakan bahwa “Ini adalah sebuah ketimpangan yang dalam antara puisi kita dengan puisi Sunda” (welke eene diep klove er gaapt tusschen onze poëzie en die der Soendanezen), yang satu seni dan yang satunya lagi bukan (Grashuis 1891: v – vi).

Pemikiran ini tidak dibantah oleh kebanyakan sarjana Belanda lainnya.

Pendapat Grashuis mengenai khazanah tulisan Sunda akhirnya diterima secara umum. 7 Pendapat itu, misalnya, dimuat dalam Encyclopaedie van Netherlandsch Oost – Indië, yang diterbitkan dalam empat jilid pada tahun 1905, dan direvisi menjadi

delapan jilid dari 1917 hingga 1939. Ensiklopedi Hindia Belanda yang tebal itu melingkupi pandangan dan pengetahuan para pejabat dan sarjana Belanda yang mengamati Hindia Belanda, termasuk bahasa dan ‘kesusastraan’ Sunda. Ensiklopedi ini digunakan sebagai buku pedoman. Setiap orang dapat menemukan apapun dalam ensiklopedi besar ini. Ensiklopedi ini seolah-olah punya kekuatan magis untuk menyelesaikan berbagai masalah dan menjawab berbagai pertanyaan. Sekali sebuah paparan memperoleh penilaian yang sah dan otoritatif, maka akan terus dikutip dan dikutip, hingga diakui tanpa argumen. Di bawah kata entri Soendaneesch ensiklopedi itu menerangkan sebagai berikut:

Ini tidaklah mengherankan jika di masa lalu orang Sunda tidak bisa menghasilkan apa yang patut disebut kesusastraan. Pengarang-pengarang Sunda lama-kelamaan mulai menghasilkan beberapa puisi, dengan kata yang lebih tepat, tulisan yang berirama dengan meniru puisi gaya baru dari tradisi Jawa. Tetapi, dalam karya-karyanya itu tak terdapat nilai artistik yang sejati dan hanya layak diperhatikan sebagai bukti pengaruh Islam pada masyarakat Sunda di pulau Jawa selama lebih dari empat abad (Encyclopaedie 1921: jilid 4, 20).

Penjelasan pada kata entri dari edisi tahun 1905 tidak direvisi pada edisi tahun 1921: diulang kata per kata. Jadi, pendapat resmi mengenai kesusastraan Sunda tidak berubah,

7 Tetapi ada yang tidak sependapat dengan pemikiran Grashuis ini. Misalnya, seorang pendeta Protestan

(11)

mungkin karena kurangnya ahli-ahli Belanda untuk sastra Sunda, dan mungkin juga karena kurangnya pengetahuan mereka.

Pandangan yang cacat ini dimasalahkan oleh Memed Sastrahadiprawira, cendikiawan Sunda yang terkenal serta dihormati. Dia menentang pandangan mengenai kesusastraan Sunda dalam sebuah artikel yang dimuat di Djawa, jurnal Java Instituut, berjudul “Over de waardeering der Soendaneesche litteratuur” (Tentang evaluasi kesusastraan Sunda):

Pertama, penilaian Grashuis, […] bahwa orang Sunda tidak memiliki kesusastraan dalam arti yang patut menurut istilah itu, tidaklah sesuai dengan kenyataan;

Kedua, pernyataan bahwa puisi yang ada seluruhnya tidak mempunyai nilai artistik itu menunjukkan kekurangan pengetahuan para penilai, oleh karena itu tidak bisa mengapresiasi sesuatu yang indah, lagi pula dia memakai kriteria yang tidak cocok.

Dalam ensiklopedi, kesalahan bisa jadi berkepanjangan, tetapi kami tetap berharap bahwa sebuah penilaian, baiknya lagi apresiasi, akan dibuat berdasarkan pengetahuan yang mendalam dan pemahaman yang bersimpatik

(Sastrahadiprawira 1929: 21).

Perlu diperhatikan bahwa Sastrahadiprawira menulis artikel itu dalam bahasa Belanda, bukan dalam bahasa Sunda atau Melayu. Dia protes terhadap orang Belanda, pemegang kekuasaan yang nyata di Hindia Belanda waktu itu. Di sisi lain, dengan terlibat debat dengan para sarjana Belanda, dia menyuarakan dirinya keluar dari tradisi orang Sunda dan mengasingkan dirinya dari orang sebangsa. Dia mengemukakan pendapatnya memakai teori atau istilah studi Indonogi yang dibentuk oleh para sarjana Belanda, dan menggunakan paradigma yang sama dengan mereka.8

Sastrahadiprawira mengeluhkan bahwa evaluasi negatif mengenai kesusastraan Sunda tidak berubah sejak penerbitan pertama ensiklopedi dan menunjukkan asal-usulnya dari antologi Grashuis tahun 1874. Dia juga menunjukkan bahwa sekitar 150 buku Sunda telah diterbitkan sebelum 1921, tahun di mana ensiklopedi direvisi. Dia mendemonstrasikan kekayaan litteratuur Sunda dengan membuat daftar nama pengarang seperti Moehamad Moesa, Moehamad Soe’éb, dan Aria Bratadiwidjaja. Dia mengkritik penulis-penulis ensiklopedi karena penilaiannya yang cacat dan ketidakcukupan pengetahuannya. Namun apa yang dimasukkan ke dalam kategori litteratuur tidaklah jelas juga baginya. Sastrahadiprawira mendiskusikan ‘kesusastraan’ Sunda hanya dalam

(12)

konteks pemikiran Belanda mengenai litteratuur. Ini suatu ironi: dia tidak membahas kesusastraan Sunda dalam terminologi dan pemikirandari budaya seni sastra Sunda sendiri.

Konsep ‘kesusastraan’ Sunda inilah yang kemudian diambil alih oleh penerus-penerus Sastrahadiprawira yang juga gagal mendalami dan menuliskan seni sastra mereka sendiri dalam terminologi yang berbeda dari sarjana Belanda. Mereka hanya menggantikan istilah litteratuur dengan ‘kesusastraan’ tanpa mendefinisikan dengan jelas kriterianya. Tradisi penyamaran definisi ini diwariskan dari ‘tuan besar’ kolonial, dan dilanjutkan untuk mempengaruhi pemikiran kesusatraan Sunda modern.

Kepincangan pemikiran kesusastraan Sunda modern

Apakah benar lama-kelamaan orang Sunda sendiri kehilangan pemikiran mengenai seni sastra mereka yang asli atau berhenti memikirkannya? Mereka tentunya memiliki pemikiran kesusastraan mereka sejak zaman dahulu. Oleh karena masuknya pemikiran baru dan adikuasa dari Barat terjadi suatu retak dalam kontinuitas pemikiran sastra tanpa disadarinya. Proses itu diperkuat dan diteruskan oleh kaum intelek Sunda yang dididik dalam institusi pendidikan Belanda. Mereka menerima saja nilai atau pemikiran sastra yang diberikan dalam pelajaran di sekolahnya. Discourse mengenai dangding9, suatu bentuk sastra Sunda yang diimpor dari tradisi sastra Jawa, memberi suatu contoh yang menarik untuk meninjau pembentukan pemikiran kesusastraan Sunda modern.

Sejak pertengahan abad ke-19 pengetahuan mengenai bahasa dan ‘kesusastraan’ Sunda dikumpulkan dan diformasikan oleh pegawai pemerintah, sarjana dan pengusaha perkebunan orang Belanda secara serius. Pengetahuan yang diformasikan itu diterima begitu saja oleh orang Sunda, khususnya yang mendapat pendidikan di sekolah Belanda. R. I. Adiwidjaja adalah contoh yang baik. Dia menjadi guru bahasa Sunda dan Melayu di Sekolah Guru Bandung dan juga seorang tokok kritik sastra terkemuka pada paruh pertama abad ke-20 (Nataprawira [1955]). Dia memainkan peranan penting dalam hal penyebaran hasil pengetahuan mengenai kesusastraan modern ala Belanda terhadap orang Sunda. Dalam suatu tulisannya dia mencoba menjelaskan makna kata gedicht (puisi) yang berasal dari bahasa Belanda sebagai berikut:

9 Istilah ini pun tidak umum dipakai oleh sarjana Belanda pada abad ke-19. Mereka menyebutnya

(13)

Rupanya masih banyak orang Sunda yang belum mengerti benar apa arti kata gedicht (bahasa kebujanggaan) yang disebut oleh orang Belanda. Dikiranya gedicht itu hanya diartikan untuk tembang saja. Pemikiran begitu tidak salah sama sekali, karena puisi Sunda pada dasarnya terdiri dari dangding. […] Uraian yang mengandung pikiran bujangga, bagus susunannya, beres bersajaknya, ketat dan berhati-hati diatur kata-katanya, yaitu disebut gedicht (bahasa kebujanggaan, bahasa poetis).10

Koe panginten, masih keneh seueur oerang Soenda, anoe hanteu atjan tarerangeun leres, naon ari noe koe oerang Walanda disebat gedicht (basa kaboedjanggan). Njangkana gedicht teh moeng woengkoel kana tembang bae. Eta panjangka kitoe teh, henteu lepat-lepat teuing, margi kawen Soenda gelarna babakoena dina dangding. [...] Omongan anoe ngandoeng pikiran boedjangga, kawoewoeh sae bangoenna, beres gekgekanana, rapat raprapanana mamanisna basa, tah eta noe disebatna gedicht (basa kaboedjanggan, basa kawen) teh (Adiwidjaja 1926: 6-7).

Untuk mendefinisikan kata gedicht, sekaligus Adiwidjaja menerangkan puisi Sunda dan dangding. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa dangding tetap menduduki posisi

pusat dalam jenis-jenis bentuk puisi Sunda, tetapi juga Adiwidjaja mencoba mempersatukan pemikiran Belanda dan pemikiran Sunda serta menerangkan puisi dalam kerangka konsep orang Belanda. Ada kesan makna kata gedicht itu bagi Adiwidjaja tidak hanya terbatas pada puisi tetapi seni sastra secara keseluruhan, walau puisi itu ada di pusat dalam sejumlah seni sastra itu. Percobaan Adiwidjaja itu tidak bisa dikatakan berhasil karena seperti para intelektual lainnya dia pun tidak sadar betul akan adanya perselisihan pemikiran mengenai puisi antara orang Sunda dan orang Belanda. Tetapi Adiwidjaja rupanya merasa puas dengan pengetahuan yang dipelajarinya di sekolah seperti halnya dengan cendikiawan Sunda lainnya. Penjelasan dan definisi istilah tentang kesusastraan Sunda terus diulang secara persis untuk selanjutnya, atau dengan sedikit pertukaran kata-kata. Bahan yang sama digunakan dari zaman ke zaman sampai setelah Perang Dunia Kedua pula. Kritikus atau sastrawan Sunda yang menerima pendidikan Belanda menulis buku-buku pelajaran atau tulisan mengenai kesusastraan tanpa merefleksikan pemikiran seni sastra mereka sendiri.11

Tetapi ini tidak berarti semua orang Sunda tidak sadar dan puas dengan hasil formasi pemikiran kesusastraan modern. Ada yang merasa sesuatu yang tidak cocok dalam pemikiran itu menurut pemahaman dan konsep mereka mengenai seni sastra.

10 Kata ‘omonga’ di dalam kutipan ini berarti uraian, tetapi pada akhir abad ke-19 kata itu diartikan

(14)

Misalnya, kritikus Sunda terkemuka Ajip Rosidi mengungkapkan pendapatnya yang menarik tentang posisi dangding yang istimewa dalam khazanah kesusastraan Sunda sambil mengkritik generasi lama (dia menyebutnya ‘mereka’) yang menerima pendidikan Belanda sebagai berikut:

Dan bentuk puisi Sunda jang asli, warisan leluhur Sunda jang katanja sudah tinggi kebudajaannja, menurut mereka adalah...dangding! Dan bentuk sastra tertinggi warisan leluhurnja menurut mereka adalah....wawatjan! Dangdinglah jang paling tepat dengan susunan bahasa, perasaan dan alundjiwa orang Sunda. Dangdinglah jang mendjadi warisan karuhun Sunda. Dangdinglah bentuk puisi jang mutlak dalam kesusastran Sunda. […] Tadi sudah saja katakan, bahwa dangding bukanlah bentuk kesusastran Sunda jang asli. Dangdingpun pengaruh dari luar, jaitu diimpor dari ... kesusastran Djawa, kira-kira dimulai pada djaman Sultan Agung bertahta di Mataram (1613-1645 M.). Djadi usianja dalam kesusastran Sunda paling lama baru tiga abad sadja. Tidak mustahil dangding sebagai bentuk puisi baru umum dan diterima dalam masjarakat Sunda, dalam waktu satu atau satu setengah abad jang terahir sadja

(Rosidi 1966: 55).

Ajip Rosidi menolak pandangan dangding yang diformasikan dan dipertahankan sejak zaman kolonial sebagai hasil kreasi kolonial. Sedangkan, 30 tahun kemudian dia menunjuk lagi pengaruh konsep orang Eropa dalam khazanah kesusastraan Sunda secara jelas, tetapi kali ini dia tidak merasa aneh lagi.

Kata puisi itu bukan Sunda asli. Itu digunakan untuk menyebut suatu golongan ekspresi bahasa yang berbeda dengan bahasa sehari-hari yang disebut basa lancaran atau prosa. Pembagian ekspresi bahasa ke dua golongan, puisi dan prosa, mengikuti orang Belanda (Barat) yang membagi sastranya ke poezie dan prosa; […] Pembagian dua ke puisi dan prosa itu sekarang sudah menjadi lumrah dalam setiap bahasa dan lingkungan budaya.

Kecap puisi lain pituin Sunda. Digunakeun pikeun nyebut hiji golongan ésprési basa anu béda tina basa sapopoé nu disebut basa lancaran atawa prosa. Ngabagi ésprési basa kana dua golongan, puisi jeung prosa, téh nurutan urang Walanda (Barat) anu ngabagi sastrana kana poezie jeung proza; [...] Ngabagi dua basa kana puisi jeung prosa téh, ayeuna mah geus ilahar dina unggal basa jeung lingkungan budaya (Rosidi 1995: 3).

Jelas, Ajip Rosidi menyadari jejak-jejak pemikiran Belanda dalam pemahaman kesusastraan Sunda modern, dan seolah-olah terhenti usaha untuk memahami seni sastra dengan konsep dan istilah orang Sunda sendiri. Dikotomi antara prosa dan puisi yang diterapkan sejak pertengahan abad ke-19 itu sudah tidak asing lagi dalam pemikiran

(15)

kesusastraan orang Sunda. Memang, pada umumnya dikotomi itu dianggap baik dan berguna untuk memahami karya-karya tertulis selama ini. Tetapi masih tetap harus dimasalahkan apakah semacam pembagian sastra yang berasal dari Barat itu betul-betul relevan and cocok untuk menerangkan dan memahami budaya seni Sunda? Bagaimanapun, apakah pembagian karya tertulis ke dua golongan itu punya sifat kesewenangan?

Buktinya, pernah ada orang Sunda yang berpendapat lain daripada pembagian prosa-puisi itu. Dia memakai nama samaran sebagai Goeroe. Dalam suatu tulisan di sebuah majalah pada tahun 1926 dia membagi budaya seni sastra Sunda dalam tiga kategori sebagai berikut:

Kalau menurut peraturan bahasa, jadi kesusastraan Sunda dapat diatur 3 bagian: pertama prosa, kedua tembang (wawacan) dan ketiga semacam tembang tapi yang tidak begitu terikat oleh aturan banyaknya bunyi atau suara akhirnya: seperti sisindiran, kawih, doa nyawer dan kakawihan anak.

Lamoen noeroetkeun atoeran basa, djadi kasoesastran Soenda beunang diatoer didjieun 3 bagian: kahidji basa diladjoer, kadoea tembang (wawatjan) djeung ka tiloe sabangsa tembang noe teu pati katalian koe atoeran reana engang atawa sora toengtoengna, saperti: sisindiran, kawih, doa njawer djeung kakawihan baroedak (Goeroe 1926: 14).

Yang penting di sini adalah pernah ada pemikiran alternatif di masyarakat Sunda, walaupun pembagian tiga golongan ini tidak berkembang sesudahnya. Sementara itu, belum pernah dibuat suatu inventaris karya-karya sastra. Rupanya, orang Sunda tidak merasa perlu untuk mengklasifikasikan sejumlah karya-karya sastra.

Baru saja pada tahun 1980-an inventaris karya-karya sastra. Rupanya, orang Sunda tidak merasa perlu untuk mengklasifikasikan disusun suatu inventaris naskah-naskah Sunda yang ada sekarang baik di luar negeri maupun dalam negeri oleh Ekadjati. Terdapat 1831 buah naskah yang diinventarisasi menurut isi naskahnya, dan diberi keterangan tentang bentuk tulisannya, apakah puisi atau prosa. Tidak kurang penting adalah judul naskah masing-masing yang punya potensi untuk membantu memahami khazanah tulisan yang ada secara lebih mendalam.. 12 Untuk itu setiap kelompok

ditunjukkan oleh Amin Sweeney (1987: 291). 12

Kita bisa mendapat seperti kitab, suluk, wawacan, kawih, carios, carita, babad, parimbon or

paririmbon, dongeng, lalakon, pantun, serat or surat, sajarah or sejarah, silsilah, jampe, sawer, doa,

mantera, catatan, ilmu, mistik, risalah or risalat, buku, kidung, hikayat, layang, kanda, tarekat sebagai judul naskahnya. Ada pula istilah yang berasal dari sastra Jawa suluk, babad, parimbon/paririmbon,

(16)

mesyarakat yang menjadi pemilik dan pewaris dari budaya dan sastra lokal selayaknya mempunyai refleksi dan penilaian mandiri terhadap kesusastraannya.

Daftar Pustaka singkatan:

AVSS: Algemeen Verslag van den Staat van het Schoolwezen in Nederlandsch-Indie

Adiwidjaja, I., 1926. ‘Gedichten (Basa kaboedjangan, basa kawen)’, Poesaka-Soenda

4(1): 6-11.

AVSS onder ultimo december 1852,, 1853. Batavia: Landsdrukkerij.

Bakhtin, Mikhail Mikhailovich, 1981. The Dialogic Imagination, Austin: University of Texas Press.

Berge, Tom van den, 1993. Van Kennis tot Kunst, Soendanese Poezie in de Koloniale Tijd, Dissertation, State Universiteit of Leiden.

----, 1998, Karel Frederik Holle, Theeplanter in Indie 1829-1896, Amsterdam: Bert Bakker.

Crawfurd, J. F.R.S., 1820. History of the Indian Archipelago, 3 vols. London: Hurst, Robinson, and Co.

Ekadjati, E.S. ed. 1988. Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Tokyo: The Toyota Foundation. ----; Undang A. Darsa, 1999. Jawa Barat: Koleksi Lima Lembaga. Katalog Induk

Naskah-naskah Nusantara Jilid 5A, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia; Ecole Francaise D’Extreme-Orient.

Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië. 1905. 4 vols, s’-Gravenhage: Nijhoff, Leiden: Brill.

(17)

Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië. 1917-1939. 2nd. edition. 4 vols and 4 suppliments. [s’-Gravenhage: Nijhoff, Leiden: Brill].

Goeroe, 1926. ‘Kasoesastran Soenda’, Poesaka-Soenda 4 (1): 11-16. Grashuis, G.J. 1874. Soendaneesch Leesboek, Leiden: A.W. Sijthoff. ---. 1881. Soendanesche Bloemlezing, Leiden: A.W. Sijthoff.

---. 1891. Bijdrage tot de Kennis van het Soendaneesch, Leiden: A. W. Sijthoff.

Holle, K.F., 1867. ‘Vlugtig Berigt omtrent eenige Lontar-Handschriften, Afkomstig uit de Soenda-Landen, door Raden Saleh aan het Bataviaasch Genootschap van K. en W. ten geschenke gegeven, met toepassing van de inscriptiën van Kwali’, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 16: 450-470. Maier, H.M.J., 1988. In the center of Authority, Ithaca: Cornell University.

Meinsma, J.J., 1869. ‘Iets uit de Nalatenschap van Mr.D.Koorders’, Bijdragen tot de Taal- Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indië 4 (3): 253-397.

Moriyama, Mikihiro, 1996. ‘Discovering the 'language' and the 'literature' of West Java: an introduction to the formation of Sundanese writing in 19th century West Java’,

Southeast Asian Studies 34 (1): 151-83.

---, 2000. ‘Moehamad Moesa, print literacy, and the new formation of knowledge in nineteenth-century West Java’, Indonesia and the Malay World 28 (80): 5-21. ---, 2003. A New Spirit: Sundanese Publishing and the Changing Configuration of

Writing in Nineteenth-Century West Java, Dissertation, State Universiteit of Leiden.

Nataprawira, P., [1955]. Riwajat Opat Budjangga Sunda: Katut Tjutatan tina Karangan-karangan anu Marunel, Bandung.

Putten, Jan van der, 1995. ‘Taalvorsers en hun informanten in Indie in de 19e eeuw. Von de Wall als politiek agent in Riau?’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 151 (1): 44-75.

Rigg, J. 1862. A Dictionary of the Sundanese Language of Java. (Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen 29), Batavia: Lange. Rosidi, Ajip, 1966. Kesusastran Sunda Dewasa Ini, Bandung: Tjupumanik.

---, 1995. Puisi Sunda jilid 1, Bandung: CV Geger Sunten.

Sastrahadiprawira, Memed, 1929. ‘Over de waardeering der Soendaneesche literatuur’,

Djawa 9: 16-21.

Sweeney, Amin, 1987. A Full Hearing. Orality and literacy in the Malay world, Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.

Tsuchiya, Kenji, 1990. ‘Javanology and the Age of Ranggawarsita, An Introduction to Nineteenth-Century Javanese Culture’, in Reading Southeast Asia, pp. 75-108, Ithaca: Cornell University.

Tuuk, H. Neubronner, van der, 1851. ‘Varia, De Soendsche letterkunde’, Tijdschrift voor Nederlandsch Indië 13 (1): 340-342.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan rata-rata berat testis dan epididimis, penurunan rata-rata diameter tubulus seminiferus, penurunan rata-rata tebal epitel

Penggunaan bahan teras yang bersifat tahan panas dikombinasi dengan pendingin helium menyebabkan suhu pendingin dapat mencapai 900 0 C, efisiensi termal yang

Lampiran 14 Program peramalan ARlMA (1,0,0) untuk kasus khusus dengan menggunakan nilai parameter batas bawah selang kepercayaan hasil proses Bootstrap.. Lampiran

Penyusunan skripsi dengan judul ”pelaksanaan wakaf tanah berdasarkan undang-undang nomor 41 tahun 2004 ( studi kasus dikecamatan teras kabupaten boyolali tahun 2004 )

dan Pengenalan Pakan Komplit Fermentasi pada Kelompok Peternak Sapi Perah Andini Gotro dI Dusun Batang, Tambakrejo, Tempel, Sleman, Yogyakarta. 2016 Hibah

Kegiatanevaluasi kegiatan dilakukan secara langsung oleh tim pelaksana dengan berkoordinasi dengan mitra terkait dampak pelaksanaan Pelatihan Parenting bagi

PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENILAIAN KINERJA SISWA SMA PADA PRAKTIKUM LARUTAN PENYANGGA.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Dari hasil data tersebut dilakukan analisis data untuk mengetahui tingkat validitas produk, sehingga produk pengembangan model latihan long pass control yang