• Tidak ada hasil yang ditemukan

DRAMA KOMEDI LE TARTUFFE KARYA MOLIERE S

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DRAMA KOMEDI LE TARTUFFE KARYA MOLIERE S"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

DRAMA-KOMEDI LE TARTUFFE KARYA MOLIERE:

Sastra Sebagai Oposisi Agama dan Politik Perancis abad XVII

Tania Intan

Program Studi Sastra Perancis – FIB Unpad

Abstrak

Sebuah karya sastra haruslah bersifat dulce et utile, yaitu memberikan keindahan dan manfaat pada masyarakat pembacanya. Namun pada kenyataannya, sebuah karya drama-komedi tulisan Molière, Le Tartuffe, justru mengguncang tatanan kehidupan masyarakat bangsawan dan Gereja Perancis abad XVII, karena tekadnya untuk mempertanyakan dan melawan arus keimanan yang berlaku saat itu. Dibandingkan dengan penulis drama lainnya seperti Racine dan Corneille, Molière lebih berani melukiskan kebejatan dan kemunafikan kaum rohaniawan dan bangsawan yang memiliki status sosial tinggi dan hak-hak politik istimewa. Geger yang kemudian timbul harus dibayar Molière dengan mahal. Berlatarkan perjuangan dan intrik-intrik monarki absolut Louis XIV, Molière tetap berupaya untuk mempertontonkan adi karya ini hingga saat kematiannya di atas panggung.

Kata kunci : drama-komedi, sastra, agama, politik

1. Pembuka

Komedi atau drama ria pada dasarnya merupakan lakon ringan yang sifatnya menghibur, walaupun selorohan di dalamnya dapat bersifat menyindir, dan akhir ceritanya hampir selalu bahagia. Menurut Rendra (1993:108), komedi adalah sandiwara yang mengungkapkan cacat dan kelemahan sifat manusia dengan cara yang lucu, sehingga para penonton bisa lebih menghayati kenyataan kehidupan. Dengan demikian, jelas bahwa komedi tidak hanya berfungsi menyenangkan hati dan memancing gelak tawa pemirsa, tapi juga harus mampu membukakan kesadaran mereka pada kenyataan hidup sehari-hari. Hal ini sejalan dengan prakata Molière saat pementasan Le Tartuffe tahun 1669, yang menyatakan bahwa :

(2)

lapisan sosial, bahkan para agamawan, tanpa ada hak istimewa. (Voltz, 1964:215)

Molière, salah satu dramaturge (penulis karya drama) dan pemain drama-komedi terbesar Perancis dari abad XVII, memilih untuk mengekspresikan ide dan opininya mengenai kehidupan kaum borjuis atau kelas menengah Prancis pada masa itu dengan tawa dan sindiran. Situasi politik negara di bawah kepemimpinan raja monarki absolut, Louis XIV, tidak memungkinkan baginya untuk melakukan kritik secara langsung. Dengan cerdik, Molière bahkan mampu membuat sang raja berada

di pihaknya, namun tetap saja beberapa karyanya menjadi polemik dalam masyarakat, terutama yang menyinggung dan dianggap melecehkan pihak-pihak tertentu, seperti Gereja dan kaum bangsawan.

Sebagai seorang contemplateur (pengamat), Molière selalu berusaha merekam interaksi berbagai golongan masyarakat. Sebagai penulis, ia memanfaatkan pengalaman dan pengamatannya itu untuk mengetahui reaksi publik dan menganalisis adegan-adegan yang dapat menimbulkan tawa para penontonnya.

2. Riwayat Molière, sang Komedian Sejati

Jean-Baptiste Poquelin lahir di Paris pada tahun 1622 dalam sebuah keluarga borjuis kelas sosial menengah. Ayahnya adalah pembuat permadani bagi raja. Poquelin belajar di sekolah kaum jesuit dan kemudian pergi ke Orléans untuk mengikuti kuliah di bidang hukum. Sejak tahun 1644, dengan menggunakan nama samaran Molière, ia membentuk kumpulan seniman Illustre théâtre bersama Madeleine Béjart. Walaupun Molière menjalin hubungan yang serius dengan Madeleine, penulis drama itu malah menikahi Armande Béjart, saudari Madelaine, yang berbeda umur lebih muda 20 tahun darinya. Rombongan artis, pemusik, dan pemain drama ini berkeliling ke seluruh Perancis, namun tidak mendapat sambutan

(3)

dapat kembali ke Paris. Di sana ia menampilkan Nicomède dari Corneille dan beberapa lawakan yang ditulisnya di hadapan sang raja.

Selama periode tahun 1662-1669, berbagai konflik dan karya-karya utama Molière bermunculan silih berganti, misalnya L’Ecole des Femmes (Sekolah Kaum Wanita) yang memunculkan pertentangan antara kaum bangsawan, kalangan gereja, dan para penulis kerajaan yang bersatu melawan Molière. Namun demikian, ia tidak merasa gentar karena dilindungi oleh raja, yang juga merupakan bapak baptis bagi putra pertamanya. Karya-karya lain seperti L’Ecole des Maris (Sekolah para Suami),

L’Avare (Si Kikir), Les Précieuses Ridicules (Gaya Berbahasa yang Konyol), Le Misanthrope (Pembenci Manusia), dan George Dandin juga mencapai sukses yang luar biasa. Namun tidak demikian halnya dengan Le Tartuffe (Si Munafik) yang dipentaskan pertama kali pada tahun 1664, sebuah lakon yang mengetengahkan tema kemunafikan penganut agama Katolik yang sangat fanatik, serta kisah Dom Juan (1668), seorang pemikir bebas (libre penseur) yang menantang Tuhan dalam perjalanan asmaranya. Selain karya-karya drama-komedi ini, ternyata Molière pun menciptakan drama yang serius, misalnya Don Garcie de Navarre.

Pertunjukan Les Fourberies de Scapin (Akal Bulus Scapin) pada tahun 1671, Les Femmes Savantes (Wanita-wanita Pandai) dan beberapa pementasan hiburan bagi

keluarga raja ditulis oleh Molière dengan kolaborasi pemusik besar Jean-Baptiste Lulli. Namun demikian, terutama berkat Le Bourgeois gentil-homme (Orang Kaya Baru) pada tahun 1670 dan Le Malade Imaginaire (Pura-pura Sakit), Molière akhirnya benar-benar menjadi anak emas raja.

Pada akhir masa hidupnya, komedian besar ini mengalami kesendirian dan diterpa penyakit yang parah. Molière meninggal pada pementasan Le Malade

imaginaire pada suatu malam di tahun 1673. Saat itu pihak Gereja menolak untuk mengadakan pemakaman religius bagi Molière.

(4)

Pada awalnya, comédie berarti seluruh jenis teater (Bénac:1993), namun pada perjalanannya, komedi merupakan jenis drama yang tokoh-tokohnya berasal dari kelas sosial menengah dan ceritanya berakhir bahagia. Molière menciptakan comédie-ballet, yaitu suatu pertunjukan yang merupakan gabungan antara sandiwara, tarian balet, dan lagu.

Sebelum Molière, suatu pertunjukan komedi hanya bertumpu terutama pada kejutan-kejutan dalam jalinan kisah, seperti yang selalu dibuat oleh Corneille dan Racine. Molière sendiri memilih untuk kembali pada kesederhanaan intrik-intrik

komedi Itali, yaitu pola situasi sulit yang menimpa sepasang kekasih karena rintangan yang datang dari sang ayah, namun hubungan itu didukung oleh seorang pelayan yang cerdik yang akan menolong mereka. Molière lalu memperkaya skema tersebut dengan gambaran karakter yang sangat menonjol pada diri sang ayah, yang dibutakan oleh obsesi tertentu (misalnya pada uang, penyakit, penampilan, pengabdian pada agama, ilmu pengetahuan, dan lain-lain). Kelucuan-kelucuan yang menimbulkan tawa digunakan sebagai alat dalam pertentangan untuk membela akal sehat. Dengan mengikuti semboyan commedia dell’arte yang menjadi sumber inspirasinya, Molière menganggap bahwa misi dari sebuah drama komedi adalah mengoreksi manusia dengan cara menghiburnya (corriger les hommes en les divertissant). Kelucuan kata-kata, yang seringkali bersanjak, secara bervariasi mempengaruhi situasi di pentas, namun tetap kekonyolan muncul dari masing-masing peran yang ditampilkan setiap pemain. Molière sendiri adalah seorang aktor komedi yang luar biasa.

Para tokoh dalam komedi Molière diambil dari berbagai lapisan sosial dalam masyarakat, tapi selalu tokoh utama adalah seorang tua yang menyerang kaum muda. Bagi Molière, suatu pertunjukan komedi sekalipun harus merupakan representasi yang tepat dari kenyataan, sehingga ia selalu memperlihatkan secara cermat deskripsi gaya hidup dan karakter setiap tokoh sesuai masanya. Molière pun sangat cerdas

(5)

dengan tokoh Tartuffe yang hipokrit dan sekaligus sensual, dan bahkan tokoh Dom Juan, sang penganut kebebasan, yang sesungguhnya adalah seorang pria elegan dan sangat dermawan.

Kekuatan Molière adalah kesejatiannya sebagai pelaku drama. Sebagai aktor, ia melakukan pemilihan diksi yang sangat alami, dan sebagai pemimpin kelompok Illustre théâtre, ia mengerahkan segala trik pertunjukan untuk memancing reaksi

publik. Kelebihan Molière yang lain adalah keterampilannya menggambarkan kebobrokan masa itu dengan cara memberikan muatan universal. Namun demikian,

ternyata pertunjukan drama komedi Le Tartuffe dan Dom Juan ternyata menimbulkan reaksi yang cukup keras dari partai radikal agama karena dianggap melakukan pelecehan. Padahal sebenarnya, Molière tidak bermaksud untuk menghujat norma-norma keagamaan, karena fanatisme yang berlebihanlah yang sangat ia tidak sukai. Ia juga mengakui bahwa setiap orang akan menerima balasan yang sepadan dengan kesalahannya.

4. Le Tartuffe, Karya Sastra Kontroversial dari Abad XVII a. Ringkasan Cerita

Cerita diawali dengan situasi saat Madame Pernelle, ibu Orgon, memarahi seluruh anggota keluarganya yang tidak mematuhi perintah-perintah „suci‟ Tartuffe, tamu istimewa Orgon yang sangat fanatik terhadap agama. Orgon bertemu dengan Tartuffe di gereja dan kemudian mengundangnya untuk tinggal bersama. Orgon sendiri tidak lagi memperhatikan istrinya Elmire, putranya Damis, atau putrinya Mariane, karena terlalu terpesona dengan kata-kata mutiara religius yang disampaikan sang tamu padanya. Ia bahkan menutup kupingnya terhadap keberatan-keberatan yang diajukan Cléante, saudara iparnya, dan mulai berpikir ulang terhadap rencananya menikahkan Mariane pada Valère. (Babak 1)

(6)

Namun demikian, wanita ini tetap berjanji akan menolong Mariane dan kekasihnya. (Babak 2)

Ketaatan Tartuffe pada agama ternyata hanya kedok, yang kemudian tersingkap saat ia merayu Elmire dengan cara menjelek-jelekkan Orgon. Ketika tiba-tiba Valère muncul, Tartuffe berusaha membela diri di hadapan Orgon dan bahkan berhasil meyakinkannya bahwa Valèrelah yang bersalah. Oleh karena itu, Valère pun diusir dan batal menjadi menantu Orgon. Untuk membalaskan kekesalan Tartuffe pada pemuda itu, Orgon lalu menjadikan Tartuffe sebagai pewaris tunggal.(Babak 3)

Tartuffe yang berada di atas angin bersiap untuk menikahi Mariane. Elmire lalu berniat untuk membuktikan kemunafikan Tartuffe pada suaminya. Dengan bersembunyi di kolong meja, Orgon mendengar sendiri pernyataan-pernyataan Tartuffe yang penuh kebohongan dan selalu menjelek-jelekkan dirinya, hingga akhirnya ia mengusir penipu itu dari rumahnya. Tartuffe pun pergi sambil mengancam akan membalas dendam. (Babak 4)

Kemudian datanglah seorang sersan yang mengemban tugas untuk menyita rumah dan kekayaan keluarga Orgon atas perintah Tuan Tartuffe. Valère memberitahu Orgon bahwa Tartuffe telah menyerahkan pada raja kertas-kertas berharga yang telah diberikan Orgon sendiri. Sebelum dapat melarikan diri, Tartuffe merasa menang, namun ternyata raja kemudian memutuskan untuk menahannya karena ia telah dikenal sering terlibat penipuan.

b. Kritik bagi Le Tartuffe

Dalam karyanya ini, Molière memang menyerang secara tidak langsung perilaku beberapa tokoh yang memanfaatkan dengan nyata pengaruh Gereja yang kuat pada masa itu untuk keuntungan pribadi. Ia ingin membuat orang-orang itu tampak konyol di hadapan publik, sama halnya dengan cara ia mengejek suami yang

(7)

parasit kecil yang datang pada sebuah keluarga untuk mengguncang situasi ekonomi dan merusak kebahagiaan di dalamnya. Tartuffe adalah seseorang yang mampu melakukan tipu muslihat yang jahat pada manusia, dan bahkan pada Tuhannya, kemudian memanfaatkan prinsip dan kepercayaan pada dogma agama untuk disesuaikan dengan kepentingannya sendiri. Ia memainkan peran sebagai orang yang penuh keimanan dan kecintaan pada agama, sehingga mendapat rasa hormat yang berlebihan dari orang-orang naif dan fanatik seperti Orgon dan Madame Pernelle. Saat merayu Elmire pun, Tartuffe selalu membawa nama Tuhan sebagai penolongnya

dan bahwa tindakannya itu meningkatkan keyakinannya pada keberadaan Yang Kuasa.

Dalam karyanya ini, Molière menempatkan raja pada posisi yang sangat esensial, karena keputusan rajalah yang membuat situasi menjadi stabil, yaitu memerintahkan penahanan bagi Tartuffe dan mengembalikan supremasi hukum pada tempat tertinggi.

Molière pun ingin menunjukkan pada masyarakat, betapa berbahayanya apabila seseorang mempermainkan kekuasaan yang dimilikinya untuk kepentingan dirinya sendiri, dengan cara mengarahkan orang-orang yang percaya untuk menyerahkan diri dan hartanya. Namun demikian, Molière memperlihatkan bahwa kaum muda, dan yang memiliki akal sehat, akan mampu melawan orang seperti Tartuffe. Dalam hal ini, Elmire dan Damis harus mengerahkan kecerdasannya untuk mengimbangi kelicikan Tartuffe.

Sejak pementasan perdana Le Tartuffe pada tahun 1664, kontroversi dan keberatan muncul terutama dari kalangan Gereja yang merasa tersinggung karena tema drama-komedi tersebut mengarah dengan jelas pada mereka. Mereka merasa bahwa Molière dengan sengaja bermaksud memprovokasi mereka dengan memunculkan Tartuffe yang menganggap dirinya representasi dari Gereja. Karena

(8)

Menurut uskup Paris, Mgr. Beaumont de Hardoin de Péréfixe, mantan pengajar sang raja, Le Tartuffe adalah :

“Sebuah pertunjukan komedi yang sangat berbahaya, yang bahkan memiliki kemampuan untuk mengancam agama dengan alasan menghujat kemunafikan dan fanatisme palsu. Komedi ini memungkinkan terjadinya pelecehan secara semena-mena terhadap semua orang yang berada dalam lingkup profesi keagamaan dan terjadinya penyebaran kabar-kabar bohong secara terus menerus oleh para pemikir bebas.” (Ordonansi tanggal 11 Agustus 1667)

Molière tidak sanggup lagi bertahan menghadapi lawan-lawannya. Selama lima tahun ia berjuang agar Le Tartuffe dapat dipentaskan. Di istana Versailles pada tahun 1664, untuk menghibur keluarga raja, Molière mempersembahkan drama-komedinya yang terlarang. Karena didesak oleh banyak pihak, seperti penguasa Lamoignon dan uskup Péréfixe, raja Louis XIV terpaksa harus melarang pertunjukan Le Tartuffe bagi umum. Molière lalu mengirimkan untuk pertama kalinya Placet (permintaan khusus pada raja), namun karena terikat dengan perjanjian yang melibatkan Roma, raja tidak dapat membatalkan keputusannya.

Pada saat ibu suri wafat, Molière merasa ini adalah saat yang tepat untuk mementaskan Le Tartuffe. Pada tanggal 5 Agustus 1667 muncullah judul baru yaitu

l’Imposteur (Si Penipu), tokohnya bernama “Panulphe” yang tidak berlatar belakang Gereja dan tidak lagi mengenakan „topi putih kecil‟ sebagai simbol tokoh agama. Namun ternyata semua modifikasi besar-besaran itu tidak berguna karena raja harus pergi ke luar negeri, sehingga partai radikal agama mulai menguasai negara. Merasa putus asa, Molière mengirimkan dengan sia-sia Placet kedua selama raja bernegosiasi dengan Saint-Siège.

(9)

dicabut. Dalam prakata yang disampaikannya pada raja Louis XIV, Molière menyampaikan bahwa :

“Jika tujuan komedi untuk memperbaiki sifat jelek manusia, saya tidak melihat berdasarkan apa adanya hak-hak istimewa. Dalam pemerintahan hal ini berakibat lebih berbahaya dibandingkan dengan hal lain, dan kita telah melihat bahwa teater mempunyai kebajikan yang besar untuk suatu perbaikan. (Voltz, 1964:125)”

Sejak saat itu pada abad XVII Le Tartuffe dipentaskan 172 kali; pada abad

XVIII 791 kali, pada abad XIX dari keseluruhan pementasan 9553 kali, La Maison de Molière mementaskannya 1106 kali. L’Avare berada di urutan selanjutnya dengan 815 pementasan. Pada abad XX, Le Tartuffe ditampilkan lebih dari seribu kali oleh Comédie-Française, terutama pada tahun-tahun setelah perang. Dengan lebih dari 3000 pementasan, drama-komedi ini tetap dan tampaknya akan selalu menjadi cerita yang paling banyak dipentaskan di dunia teater Perancis.

5. Penutup

Dengan kepiawaiannya, Molière mampu menyajikan komedi yang menghibur dan sekaligus membuat para penonton berpikir. Tema kemunafikan yang dikemukakan dalam Le Tartuffe memang berhubungan dengan kelemahan manusia yang tidak dapat bertahan terhadap godaan untuk menyalahgunakan kekuasaan (kekayaan, pangkat, atau pengetahuan) yang dimilikinya. Dengan mengeksploitasi latar religius sang tokoh, Molière mengambil resiko yang besar untuk berhadapan dengan pihak Gereja. Ia harus menunggu selama bertahun-tahun untuk dapat menuai sukses dari penampilan karyanya tersebut, walaupun hingga akhir masa hidupnya ia harus dikucilkan dan meninggal tanpa upacara yang layak bagi seorang dramawan besar Perancis.

(10)

hingga saat ini, bahwa kemunafikan dan kezaliman akan selalu ada sepanjang manusia itu ada.

Pustaka Acuan

Blondeau, N. et Allouache, F, 2003. Littérature Progressive du Français niveau intermédiaire, Paris. CLE International.

De Ligny,C et Rousselot, 2002. M, Répères Pratiques : La Littérature française, Paris. Nathan.

Mercoyrol,Y, 1994. La Bibliothèque du littéraire, Paris. PUF.

Molière, 1992. Le Tartuffe ou l’Imposteur, Paris. Classique Hachette.

Ploquin, F, 2000. Outil : Littérature Française : les textes essentiels, Paris. Hachette. Rendra. 1993. Seni Drama untuk Remaja. Jakarta. Dunia Pustaka.

Referensi

Dokumen terkait