• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH MUATAN LOKAL JUDUL INSAN KAMIL M (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH MUATAN LOKAL JUDUL INSAN KAMIL M (1)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH MUATAN LOKAL

JUDUL : INSAN KAMIL (MANUSIA SEMPURNA)

DISUSUN OLEH :

1.

AHMAD RIFA’I

(XI IPA 1)

2.

EKA DAHLIANI

(XI IPA 1)

3.

M. LEO ANDRI I

(XI IPA 1)

4.

NORAZIZAH

(XI IPA 1)

5.

NORHIDAYAH F

(XI IPA 1)

6.

NOVEANI ANNISA RR (XI IPA 1)

KEMENTERIAN AGAMA

MADRASAH ALIYAH NEGERI KELUA

KABUPATEN TABALONG

(2)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya sehingga makalah yang bejudul “INSAN KAMIL” ini dapat diselesaikan.

Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada keharibaan junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW. Beserta keluarga, sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman. Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Muatan Lokal. Dalam penulisan ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan karena keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan serta kelancaran makalah selanjutnya sangat penulis harapkan.

Besar harapan penulis, makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan semoga amal baik yang telah mereka berikan mendapatkan balasan dari Allah swt. dengan berlipat ganda. Aamin.

Penulis

I

(3)
(4)

ii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam ilmu tasawuf terdapat konsep yang disebut dengan insan kamil. Insan kamil diartikan sebagai manusia sempurna atau manusia paripurna. Menurut ahli tasawuf falsafi Ibnu ‘arabi dan ‘Abd al-Jilli, insan kamil yang paling sempurna adalah Nabi Muhammad SAW.

Khalayak biasanya mengartikan "insan kamil" sebagai manusia sempurna, Sebagai aktualisasi dan contoh yang pernah ada hidup di permukaan bumi ini adalah sosok Rasulullah Muhammad Saw. Tapi sayang sosok Nabi yang agung ini hanya dilihat dan diikuti dari segi fisik dan ketubuhan beliau saja. Artinya Beliau hanya dilihat secara partial saja, padahal kita mau membicarakan kesempurnaan beliau. Lalu berduyun duyunlah "pakar" Islam dari masa ke masa menulis, menganjurkan, bahkan menjadi perintah yang hampir mendekati taraf "wajib", kepada umat Islam untuk mengikuti contoh "perilaku" Nabi Muhammad.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian insan kamil ?

2. Bagaimana insan kamil dalam Al-qur’an ? 3. Bagaimana proses munculnya insan kamil ? 4. Mengetahui Ciri-ciri Insan kamil ?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan umum yang ingin dicapai dalam makalah ini, yaitu : untuk mengetahui konsep Insan Kamil yang lebih spesifik.

Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam makalah ini, yaitu : 1 . Untuk mengetahui pengertian insan kamil.

2 . Untuk mengetahui insan kamil dalam Al-qur’an. 3 . Untuk mengetahuiproses munculnya insan kamil. 4 . Untuk mengetahui ciri-ciri insan kamil.

(5)

Metode penulisan atau metode kepustakaan adalah cara penulisan pengambilan bahan bacaan dari buku ke buku yang relevan dengan tema dan gabungan dalam satu ke satuan yang lain.

(Dikutip dari makalah Eka Dahliani)

1

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Insan Kamil

Insan kamil berasal dari bahasa arab,yaitu dari 2 kata: insane dan kamil. Secara harfiah, insane berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna.Dengan demikian insane kamil berarti manusia yang sempurna.

Menurut Jamil Shaliba bahwa kata insane menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya,bukan fisiknya. Dalam bahasa arab kata insane mengacu pada sifat manusia yang terpuji seperti kasuh sayang,mulia dan lainnya.sedangkan kata kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna, dan digunakkan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui trerkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu,dan sekalian sifat yang baik lainnya.

Kata insan juga dijumpai dalam alqur’an dan dibedakan dengan istilah basyar dan al-nas.Kata insane mempunyai 3 asal kata yaitu:

1. Berasal dari kata annasa yang mempunyai arti melihat,mengetahui dan meminta ijin. 2. Berasal dari kata nasiya yang artinya lupa.

3. Berasal dari kata al-uns yang artinya jinak,lawan dari kata buas. Dengan bertupu pada asal kata annasa maka insane mengandung arti

melihat,mengetahui,meminta ijin dan semua arti ini berkaitan dengn kemampuan menisia dalam bidang penalaran,sehingga dapat menerima pengajaran.Sedangkan yang bertumpu pada akar kata nasiya,insane mengandung arti lupa,dan menunjukkan adanya kaitan dengan kesadaran diri.Kata insane jika dilihat dari asalnya al-uns mengandung arti bahwa manusia sebagai makhluk yang dapat hidup berdampingan dan dapat dipelihara

(6)

Kata insane dalam alqur’an disebut sebanyak 65 kali dalam 63 ayat,dan digunakan untuk menyatakan manusia dalam lapangan kegiatan yang amat luas. Kata insane lebih mengacu kepada manusia yang dapat melakukan berbagai kegiatan yang bersif moral,intelektual,social dan rohaniah.unsur insaniyah disebut sebagai makhluk yang memiliki intuisi, sifat lahuf dan sifat ini pula yang dapat baqa dan bersatu secara rohaniyah dengan tuhan dalam tasawuf.

Istilah basyar digunakan untuk menyebut pada semua makhluk,mempunyai pengertian adanya persamaan umum yang selalu menjadi cirri pokok. Ciri pokok itu adalah kenyataan lahiriyahnya yang menempati ruang dan waktu,serta terikat oleh hokum-hukum alamnya. Manusia dalam pengertian basyar adalah manusia seperti yang tampakpad lahiriyahnya,mempunyai bangunan tubuh yang sama,makn dan minum dari bahan yang sama yang ada dialam ini.

Dalam alqur’an kata basyar disebut sebanyak 36 kali,dan digunakkan untuk menggambarkan 2

dimensi fisik manusia seperti kulit tubuh manusia.Pengertian basyar adalah manusia

dalamkehidupannya sehari-hari,yang berkaitan dengan aktifitas lahiriyahnya yang di pengaruhi oleh dorongan kodrat alamiyahnya.Unsur basyariyah inilah yang dalam kajian tasawuf diatas sebagai unsure yang dapat dilenyapkan dengan fana dalam rangka mencapai ittihad,hulul dan wahdatuj wujud.

Istilah al-nas digunakan dalan alqur’an untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan untuk mengenbangkan kehidupannya,dan apa yang dikemukakan alqur’an itu bahwa insan kamil lebih mengacu kepada manusia yang sempurna dari segi rohaniyah,intulektual,intuisi,social,dan aktifitas kemanusiaannya.

Insan kamil juga berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniyahnya sehingga dapat berfungsi secara oftimal dan dapat berhubungan dengan allah dan dengan makhluk lainnya secara benar menurut akhlak islami.

2.2 Konsep Insan Kamil menurut Al-Qur’an

Nabi Muhammad Saw disebut sebagai teladan insan kamil atau istilah populernya di dalam Q.S. al- Ahdzab/33:21:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.

(7)

“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia.” (QS. Al-Qolam:4)

Nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad adalah sebagai seorang Rasulullah Rahmatan Lil’alamin. Muhammad adalah nabi akhir zaman dan karena itu menjadi penutup semua nabi terdahulu yang diutus untuk menjadi saksi kehidupan manusia dan pembawa berita tentang kehidupan mendatang di akhirat sesuai dengan firman Allah SWT

“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan

keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap

gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke

3 jalan yang lurus.” (Al Maidah 15-16)

2.3 Proses Munculnya Insan Kamil

Munculnya insan kamil dapat ditelusuri melalui dua sisi. Pertama melalui tahap-tahap tajalli Tuhan pada alam sampai munculnya insan kamil. Kedua melalui maqamat (peringkat-peringkat kerohanian) yang dicapai oleh seseorang sampai pada kesadaran tertinggi yang terdapat pada insan kamil.

Tajalli Tuhan – dalam pandangan Ibn Arabi – mengambil dua bentuk: pertama tajalli gaib atau tajalli żāti yang berbentuk penciptaan potensi, dan kedua tajalli syuhūdi (penampakan diri secara nyata), yang mengambil bentuk pertama, secara intrinsik hanya terjadi di dalam esensi Tuhan tersendiri. Oleh karena itu, wujudnya tidak berbeda dengan esensi Tuhan itu sendiri karena ia tidak lebih dari suatu proses ilmu Tuhan di dalam esensi-Nya sendiri, sedangkan tajalli dalam bentuk kedua ialah ketika potensi-potensi yang ada di dalam esensi mengambil bentuk aktual dalam berbagai fenomena alam semesta.

Tajalli żāti, menurut Ibn Arabi, terdiri dari dua martabat: pertama martabat ahadiyah dan kedua martabat wahīdiyah. Pada martabat ahadiyah, Tuhan merupakan wujud tunggal lagi mutlak, yang belum dihubungkan dengan kualitas (sifat) apapun, sehingga ia belum dikenal oleh siapapun. Esensi Tuhan pada peringkat ini, begitu kata Ibn Arabi, hanya merupakan totalitas dari potensi (quwwah) yang berada dalam kabut tipis (al-‘amā’) yakni awan tipis yang membatasi “langit” ahadiyah dan “bumi” keserbagandaan makhluk, yang identik dengan nafs ar-Rahmān (nafas Tuhan yang Maha Pengasih).

(8)

Pada martabat wahidiyah Tuhan memanifestasikan diri-Nya secara ilahiah yang unik di luar batas ruang dan waktu dalam citra sifat-sifat-Nya. Sifat-sifat tersebut terjelma dalam asma Tuhan. Sifat-sifat dan asma itu merupakan satu kesatuan dengan hakikat alam semesta yang berupa entitas-entitas laten (‘a’yān sābitah). Bila sifat-sifat dan nama-nama itu dipandang dari aspek ketuhanan, ia disebut asma’ ilāhiyah (nama-nama ketuhanan), bila dipandang dari aspek kealaman (makhluk), ia disebut asma’ kiyāniyah (nama-nama kealaman). Aspek kedua, meski dipandang satu dengan aspek pertama, ia juga merupakan tajalli dari aspek pertama, karena pada asma’ kiyāniyah itu asma Tuhan mengambil bentuk entitas (‘ain). Oleh karena itu, setiap kali asma ilahi muncul, ia senantiasa berpasangan dengan asma’ kiyāniyah sebagai wadah tajalli-nya.

Adapun yang pertama kali muncul pada tajalli syuhudi ialah al-jism al-kulli (jasad universal) sebagai penampakan lahir dari nama Tuhan az-Zāhir (Yang Maha Nyata). Kemudian “jasad universal” tersebut mengambil bentuk asy-syakl al-kulli (bentuk universal) sebagai efek dari tajalli Tuhan dengan nama-Nya al-Hakīm (Yang Maha Bijaksana). Selanjutnya Tuhan dengan

4

nama-Nya al-Muhīth (Yang Maha Melingkupi), asy-Syakūr (Yang Maha Melipatgandakan pahala), al-Gāni (Yang Maha Kaya) dan Al-Muqtadir (Yang Maha Memberi Kekuasaan) masing-masing menampakkan diri pada arasy (singgasana) Tuhan, kursi, falak al-būrūj (falak bintang-bintang), dan falak al-manāzil (falak berorbit). Setelah falak al-manāzil, secara berturut-turut muncul langit pertama hingga langit keenam dan langit dunia. Kemudian muncul pula eter, api, udara, air, tanah, mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, malaikat, jin, manusia dan insan kamil. Masing-masing merupakan tajalli dari nama-nama Tuhan: ar-Rabb (Yang Maha Mengatur), Alīm (Yang Maha Mengetahui), Qāhir (Yang Maha Perkasa), an-Nūr (yang bersinar), al-Musawwir (yang membentuk rupa), al-Muhsī (yang mencatat), al-matīn (Yang Maha Kokoh), Qābid (yang membatasi), Hayy (Yang Maha Hidup), al –Muhyī (Yang Menghidupkan), Mumīt (Yang Mematikan), Azīz (Yang Maha Mulia), ar-Razzāq (Yang Memberi rezki), al-Mużill (Yang Menghina), al-Qawī (Yang Maha Kuat), al-Latīf (Yang Maha Halus), al-Jāmi’ (Yang Menghimpunkan), Rāfi’ ad-Darajāt (Yang Maha tinggi derajatnya). Pada peringkat insan kamil itu sempurnalah tajalli Tuhan pada makhluk, karena pada insan kamil telah termanifestasi segenap sifat dan asma-Nya.

Dari pembahasan di atas kelihatan bahwa hubungan antara tajalli bentuk pertama dan yang sesudahnya merupakan suatu bentuk peralihan dari sesuatu yang potensial kepada yang aktual dan ini terjadi secara abadi, karena tajalli ilahi tidak pernah berhenti pada suatu batas perhentian. Tujuannya ialah agar Tuhan dapat dikenal lewat nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada alam semesta. Akan tetapi alam semesta ini berada dalam wujud yang terpecah-pecah, sehingga tidak dapat menampung citra Tuhan secara utuh, hanya pada manusia citra Tuhan dapat tergambar secara sempurna, yaitu pada insan kamil. Martabat insan kamil ini baru dapat dicapai setelah melalui beberapa maqâm (tingkat-tingkat kerohanian, jamaknya: maqāmāt). Dalam perjalanan melalui tingkat-tingkat kerohanian itu sufi akan mengalami beberapa keadaan batin (hāl, jamaknya: ahwāl).

(9)

berhala terbesar dan karena itu kendala menuju Tuhan. Kerasnya perjuangan spiritual ini misalnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa seorang sufi kadang memerlukan waktu puluhan tahun hanya untuk bergeser dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Sedangkan “ahwāl” sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Di antara ahwāl yang sering disebut adalah takut, syukur, rendah hati, takwa, ikhlas, gembira. Meskipun ada perdebatan di antara para penulis tasawuf, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwāl dialami secara spontan, berlangsung sebentar dan diperoleh tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras seperti halnya maqāmāt, melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-kilatan ilahi (Divine Flashes), yang biasa disebut “lama’at.”

Al-Kalabadzi menyebutkan 10 maqāmāt yaitu: tobat, zuhud, sabar, kefakiran, rendah hati, tawakal, rida, cinta dan makrifat. Tahap-tahap puncak yang dicapai oleh sufi dalam perjalanan spiritualnya itu ialah ketika ia mencapai maqām makrifat dan mahabbah. Makrifat dimulai dengan mengenal dan menyadari jati diri. Dengan mengenal dan menyadari jati diri, niscaya sufi akan kenal dan sadar terhadap Tuhannya. Kesadaran akan eksistensi Tuhan berarti mengenal Tuhan sebagai wujud hakiki yang mutlak, sedangkan wujud yang selain-Nya adalah wujud

5

bayangan yang bersifat nisbi. Wujud bayangan, sebenarnya hanya image belaka, sehingga yang benar-benar ada ialah wujud Tuhan.

Setelah menempuh segala maqām sampailah sufi kepada keadaan fanā’ dan baqā’. Dalam keadaan demikian, insan kembali kepada wujud asalnya, yakni wujud mutlak. Fanā’ adalah sirnanya kesadaran manusia terhadap segala alam fenomena, dan bahkan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Tuhan (fanā’ ‘an sifāt al-haqq), sehingga yang betul-betul ada secara hakiki dan abadi (baqā’) di dalam kesadarannya ialah wujud mutlak. Untuk sampai kepada keadaan demikian, sufi secara gradual, harus menempuh enam tingkat fanā’ yang mendahuluinya, yaitu: 1. Fanā’ ‘an al-Mukhālafāt (sirna dari segala dosa). Pada tahap ini sufi memandang bahwa semua tindakan yang bertentangan dengan kaidah moral sebenarnya berasal dari Tuhan juga. Dengan demikian, ia mulai mengarah kepada wujud tunggal yang menjadi sumber segala-galanya. Dalam tahap ini sufi berada dalam hadrah an-nūr al-mahd (hadirat cahaya murni). Jika seseorang masih memandang tindakannya sebagai miliknya yang hakiki, ini menandakan ia masih berada pada hadrah az-zulmah al-mahd (hadirat kegelapan murni).

2. Fanā’ ‘an af’āl al-‘ibād (sirna dari tindakan-tindakan hamba). Pada tahap sufi menyadari bahwa segala tindakan manusia pada hakikatnya dikendalikan oleh Tuhan dari balik tabir alam semesta. Dengan demikian sufi menyadari adanya “satu agen mutlak” dalam alam ini, yakni Tuhan.

3. Fanā’ ‘an sifāt al-makhlūqīn (sirna dari sifat-sifat makhluk). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa segala atribut dan kualitas wujud mumkin (contingent) tidak lain adalah milik Allah. Dengan demikian, sufi menghayati segala sesuatu dengan kesadaran ketuhanan, ia melihat dengan penglihatan Tuhan, mendengar dengan pendengaran Tuhan, dan seterusnya.

(10)

5. Fanā’ ‘an kull al-‘alam (sirna dari segenap alam). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa segenap aspek alam fenomenal ini pada hakikatnya hanya khayal, yang benar-benar ada hanya realitas yang mendasari fenomena.

6. Fanā’ ‘an kull mā siwā ‘l-lāh (sirna dari segala sesuatu yang selain Allah). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa zat yang betul-betul ada hanya zat Allah.

Ketika sufi mencapai fanā’ tahap keenam ia menyadari bahwa yang benar-benar ada adalah wujud mutlak yang mujarrad dari segenap kualitas nama dan sifat seperti permulaan keberadaan-Nya. Inilah perjalanan panjang sufi menuju ke asal. Kesadaran puncak mistis seperti inilah yang dicapai insan kamil.

6 2.4 Ciri-Ciri Insan Kamil

Untuk mengetahui ciri-ciri insan kamil dapat ditelusuri pada berbagai pendapat yang

dikemukakan para ulama yang keilmuannya sudah diakui, termasuk didalamnya terdapat aliran-aliran. Ciri-ciri nya adalah sebagai berikut :

1. Berfungsi akalnya secara optimal

Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pda pendapat kaum Mu’tazilah. Menurutnya manusia yang akalnya berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa semua perbuatan baik seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan esensinya dan merasa wajib melakukan semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu. Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib

melakukan perbuatan yang baik. Dengan demikian insan kamil akalnya dapat mengenali

perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung pada esensi perbuatan tersebut.

1. Berfungsi Instuisinya

Insan kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi ini dalam pandangan Ibnu Sina disebut jiwa manusia. Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan.

1. Mampu Menciptakan Budaya

(11)

1. Menghiasi Diri Dengan Sifat-sifat Ketuhanan

Bahwa manusia termasuk makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). Manusia sebagai kholifah merupakan gambaran ideal. Yaitu manusia yang berusaha menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai kelompok masyarakat maupun individu. Yaitu manusia yang memiliki tanggung jawab yang besar, karena memiliki daya kehendak yang bebas. Manusia yang ideal disebut insan kamil, yaitu manusia yang dengan sifat-sifat ketuhanan yang ada pada dirinya dapat

mengendalikan sifat-sifat rendah yang lain. Sebagai kholifah Allah di muka bumi ia melaksanakan amanat Tuhan dengan melaksanakan perintah-Nya.

1. Berakhlak Mulia

Insan kamil adalah manusia yang berakhlak manusia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki 3 aspek, yakni aspek kebenaran , kebajikan dan keindahan. Dengan kata lain ia memiliki pengetahuan, etika dan seni. Semua ini dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreatifitas. Manusia yang ideal (sempurna) adalah manusia yang memiliki otak yang briliyan sekaligus memiliki kelembutan hati.

7 1. Berjiwa Seimbang

Menurut Nashr, sebagai dikutip Komarudin Hidayat bahwa manusia modern sekarang ini tidak jauh meleset dari siratan Darwin. Bahwa hakikat manusia terletak pda aspek kedalamannya yang bersifat permanen, immortal yang kini tengah bereksistensi sebagau bagian dari perjalanan hidupnya yang teramat panjang. Manusia modern mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar yang bersifat ruhiyah, sehingga mereka tidak akan mendapatkan ketentraman bathin, yang berarti tidak hanya keseimbangan diri, terlebih lagi bila tekanannya pada kebutuhan materi kian meningkat, maka keseimbangan akan semakin rusak. Kutipan tersebut mengisyaratkan tentang perlunya sikap seimbang dalam kehidupan, yaitu seimbang antara pemenuhan antara kebutuhan material dengan spiritual atau ruhiyah. Ini berarti pelunya ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan Syari’at Islam , terutama ibadah, dzikir, tafakur, muhasabah dan seterusnya.

(12)

8

BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa :

Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata Insan dan kamil. Secara harfiah, Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna.

Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal.

Dalam Al-Qur’an menerangkan bahwa nabi Muhammad adalah figur insan kamil yang patut dicontoh oleh umat manusia.

Insan kamil adalah wadah tajalli Tuhan yang berkedudukan sebagai khalifah dan sebagai wali tertinggi (qutb).

3.2 Saran

Saya berharap agar makalah ini dapat digunakan sebagaimana mestinya dan sebagai tunjangan untuk belajar bagi siswa-siswi tentang “INSAN KAMIL”

(13)

9

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Yunasril, Manusia Citra Ilahi, Jakarta: Paramadina, 1997

Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta:PT Raja Grafndo Persada, 2002

Asy’arie, Musa, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI, 2002

spi2010b.wordpress.com/2012/11/02/insan-kamil/,diakses pada 31 Mei 2013

http://wahdahal-islamiah.blogspot.com/2010/01/pembahasan-pai-dalam-membentuk-insan.html

http://fixguy.wordpress.com/insan-kamil/

http://irdy74.multiply.com/recipes/item/21

http://pusko4u.blogspot.com/2011/10/membentuk-insan-kamil.html

http://republika.co.id:8080/berita/8318/Insan_Kamil

(14)

Referensi

Dokumen terkait

Untuk bayi dan anak yang terpajan HIV saja dan tidak terinfeksi (dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium, baik PCR 2 kali atau antibodi pada usia sesuai),

Pada cerpen dari Filipina, dominasi terhadap perempuan lah yang lebih terlihat dengan tampilnya Inciang bocah perempuan belasan tahun yang putus sekolah untuk

Maka dapat dikatakan bahwa SD As-Syafiq adalah sekolah dasar swasta di DKI Jakarta yang membebaskan biaya pendidikan bagi para peserta didik mulai tahun 1992

III-1 Metode penelitian merupakan suatu cara yang digunakan oleh penulis dalam memperoleh suatu informasi yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian yang terkait

Perkap Nomor 7 Tahun 2005 pada Pasal 3 memperbolehkan seorang polisi untuk menjadi penasihat hukum namun sekedar mengingatkan kembali bahwa terdapat asas Lex

Saat ini dapat dibeli PLC berikut timer, counter, dan input analog dalam satu kemasan CPU (Central Processing Unit). d) Jumlah kontak yang banyak. PLC memiliki jumlah kontak yang

• Falsafah lebih berkaitan dengan pandangan hidup yang spontan ada pada diri kita semua dan sering tidak dieksplisitkan, tetapi tersirat?. Sebagai pandangan hidup,

Ia lebih banyak menonjolkan upaya berbagi budaya bersama (yakni natoni sebagai budaya orang Boti Dalam ) ketimbang proses transmisi pesan dari satu ke- lompok kepada kelompok