• Tidak ada hasil yang ditemukan

UU Sumber Daya Air Pasca Putusan MK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "UU Sumber Daya Air Pasca Putusan MK"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 PENGATURAN PENGUASAAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA AIR

PASCA PEMBATALAN UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 2004

TENTANG SUMBER DAYA AIR1

Ida Nurlinda2

A. Pendahuluan

Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 18 Februari 2015 melalui Putusan No. 85/PUU-XI/2013 telah membatalkan berlakunya UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Putusan ini merupakan puncak dari 2 putusan MK terdahulu mengenai UU SDAir tersebut, di mana sebelumnya MK telah dua kali memutus uji matriel atas UU SDAir. Sebelumnya MK telah mengeluarkan Putusan No. 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Putusan No. 008/PUU-III/2005 terkait uji materiel UU SDAir. Berulang-kalinya UU SDAir diuji materiel menunjukkan bahwa pada hakekatnya undang-undang tersebut mengandung masalah mendasar yang menyangkut syarat konstitusionalitas (conditionally constitutional) pemberlakuan suatu undang-undang. Syarat konstitusionalitas

terkait dengan pengelolaan SDAir oleh pemerintah yang harus dibangun di atas asas hukum hak menguasai negara sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 33 UUD 1945.

Faktanya, dalam perjalanan waktu 10 tahun terakhir sejak UU No. 7 tahun 2004 berlaku, syarat konstitusional yang dipersyaratkan dalam putusan MK tahun 2004 dan putusan tahun 2012, tetap dilanggar; bahkan peraturan pelaksanaan dari UU SDAir justru menghambat akses rakyat untuk memperoleh hak guna pakai air di satu sisi, dan di sisi lain membuka pintu liberalisasi pengelolaan air dengan melibatkan memperkenankan privatisasi pengelolaan air. Hal tersebut tampak dalam materi muatan beberapa peraturan pelaksanaan UU No. 7 tahun 2004, yaitu:

1. PP No. 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum;

2. PP No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi;

1

Disampaikan pada acara Unpad Merespon edisi Maret 2015, tema: “Bagaimana Setelah MK Membatalkan

UU Sumber Daya Air?”, Bandung, 30 Maret 2015 2

(2)

2 3. PP No. 42 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air;

4. PP No. 43 tahun 2008 tentang Air Tanah; 5. PP No. 38 tahun 2011 tentang Sungai; 6. PP No. 73 tahun 2013 tentang Rawa;

7. PP No. 69 tahun 2014 tentang Hak Guna Air.

Peraturan-peraturan pelaksanaan UU SDAir di atas, khususnya angka 1 sampai dengan 6 telah dibatalkan bersama-sama dengan dibatalkannya UU No. 7 tahun 2004; sementara PP No. 69 tahun 2014 tentang Hak Guna Air, tidak turut serta dibatalkan karena Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 meskipun baru diucapkan dalam Sidang Pleno MK tanggal 18 Februari 2015, namun hal itu diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim MK yang dilakukan pada tanggal 18 Maret 2014. Sementara PP No. 69 tahun 2014 tentang Hak Guna Air baru ditetapkan pada tanggal 17 September 2014. Meskipun demikian, karena PP Hak Guna Air merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 10 UU SDAir, sedangkan UU SDAir tersebut telah dibatalkan, maka peraturan pelaksanaan tersebut tidak berlaku dengan sendirinya. Apalagi materi muatan PP Hak Guna Air secara substansi bertentangan dengan syarat konstitusionalitas (conditionally constitutional) karena memungkinkan privatisasi pengelolaan air. Dengan

dibatalkannya pula peraturan pelaksanaan tersebut maka hilang pula payung hukum swastanisasi air dan karenanya segala bentuk swastanisasi air saat ini dapat dikatakan ilegal.

(3)

3 B. Pengaturan Penguasaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Air Pasca Putusan

MK

Selama 10 tahun lebih berlakunya UU No. 7 tahun 2004, beragam konflik terkait hilangnya akses rakyat atas SDAir banyak terjadi. Misalnya kasus di Kabupaten Klaten Jawa Tengah pada bulan Desember 2004. Petani di 15 kecamatan menolak privatisasi dan eksploitasi air yang dilakukan PT Tirta Investama. Penolakan itu disebabkan sejak perusahaan itu mengoperasikan sumur bor di Desa Ponggok, petani menjadi kekurangan pasokan irigasi. Kasus di Kecamatan Legonkulon, Pamanukan dan Pusakanagara Kabupaten Subang Jawa Barat pada bulan Agustus 2008. Puluhan petani dari 5 desa berunjuk rasa di Kantor Dinas Binamarga Subang dan Perum Jasa Tirta II Divisi III karena pasokan air tidak lancar dan mengakibatkan 1.580 hektar sawah mengering. Demikian juga kasus yang terjadi di Desa Timbrangan dan Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang Jawa Tengah pada bulan Agustus 2014. Sekitar 100 warga menolak pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia (SI) tbk di pegunungan Kendeng yang merupakan wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih3.

Konflik-konflik yang melibatkan petani dan rakyat kecil sebagai korban, harus segera diakhiri dengan menata kembali peran Negara dalam penguasaan dan pemanfaatan SDAir. Mata-mata air yang selama ini menjadi sumber konflik karena dikuasai perusahaan swasta berdasarkan Hak Guna Usaha Air harus segera diakhiri dengan menata kembali aspek penguasaan dan pemanfaatannya oleh Negara. Di Provinsi Jawa Barat misalnya, 45% warga Jawa Barat belum memiliki akses terhadap air bersih. Padahal di wilayah pegunungan dan DAS di Jawa Barat terdapat sekitar 55.000 mata air yang cukup untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga Jawa Barat4. Dengan demikian, Negara harus hadir kembali menjalankan hak penguasaannya atas sumber daya alam termasuk air.

Memberlakukan kembali UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan sebagai pengganti UU No. 7 tahun 2004 tentang SDAir, pada hakekatnya tidak menyelesaikan masalah, karena dalam banyak hal undang-undang itu sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Jumlah penduduk, tingkat konsumsi, sanitasi dan lingkungan serta aktivitas pembangunan (pertanian, infrastruktur dll) lainnya

3

Sumber Litbang Surat Kabar Harian KOMPAS, 3 Maret 2015

4

(4)

4 telah meningkatkan kebutuhan manusia atas air. Selain itu pola-pola kewenangan pengaturan atas penguasaan dan pemanfaatan SDAir pun berbeda sejalan dengan bergulirnya era otonomi daerah. Oleh karena itu, memberlakukan kembali UU Pengairan perlu disertai beberapa perubahan paradigma, terutama dalam memaknai hak menguasai Negara.

Ketentuan Pasal 2 (fungsi sosial dan penggunaan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat) dan Pasal 3 (penguasaan air beserta sumber-sumbernya oleh Negara) dalam UU Pengairan perlu dimaknai sejalan dengan tafsir hak menguasai Negara yang saat ini telah diperluas MK melalui berbagai putusannya atas judicial review berbagai undang-undang yang materi muatannya mengenai

sumber daya alam (tidak hanya UU SDAir saja). Perluasan kewenangan Negara tersebut meliputi:

1. Membuat kebijakan (belieid);

2. Membuat pengaturan (regelendaad); 3. Melakukan pengurusan (bestuursdaad); 4. Melakukan pengelolaan (beheersdaad); dan 5. Melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad).

Kelima fungsi kewenangan Negara di atas merupakan sarana (instrument) yang terintegrasi untuk mencapai tujuan Negara, yaitu kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, frasa “dikuasai Negara” dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, harus difahami dalam konsep hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun bidang ekonomi (demokrasi ekonomi), sehingga frasa

“dikuasai Negara” tidak berarti dimiliki Negara5 sebagaimana dimaksudkan dalam prinsip Domein Verklaring yang terdapat dalam Agrarische Wet 1870.

Pemahaman fungsi sosial dari SDAir sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 UU Pengairan harus tetap dikaitkan dengan keadilan sosial sebagai bentuk keadilan yang berfilosofi Pancasila. Dalam konteks ini, pemerintah harus menjadi pengawas dan sekaligus pengatur6. Tidak cukup sebagai pembuat kebijakan saja. Fungsi sosial atas air dalam terminologi ini tidak memungkinkan membuka

5

Yance Arizona, Konstitusionalisme Agraria, STPN Press, Yogyakarta, 2014: hlm. 335

6

(5)

5 peluang air menjadi komoditas ekonomi/barang komersil, karena hak atas air merupakan hak asasi manusia.

C. Hak Rakyat atas Air

Dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 ditegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh Negara. Dalam Putusan MK No. 001, 021, 022/PUU-I/2003 atas judicial review UU Ketenagalistrikan, dirumuskan kriteria cabang-cabang produksi tersebut, yaitu:

1. Cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak;

2. Cabang produksi yang penting bagi Negara, tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak;

3. Cabang produksi yang tidak penting bagi Negara, tetapi menguasai hajat hidup orang banyak.

. Dalam menentukan masuk kriteria cabang produksi tertentu, terpulang kepada Pemerintah dan DPR untuk menilainya apa dan kapan suatu cabang produksi penting bagi Negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Dapat saja cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi kemudian berubah menjadi tidak penting dan/atau tidak menguasai hajat hidup orang banyak7. Dengan demikian, politik hukum pemerintah atas pengelolaan sumber daya alam/airpun dapat mempengaruhi kriteria8 tersebut. Sudah seharusnya air termasuk ke dalam kriteria cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, tanpa dibatasi oleh suatu kurun waktu tertentu (digantungkan pada suatu syarat), karena Indonesia merupakan negara hukum dalam arti materiel (welfare state), di mana Negara dituntut berperan aktif/langsung terlibat dalam perwujudan kesejahteraan rakyat; bahkan Negara menjadi pemikul utama

7

Yance Arizona, op.cit.: hlm. 338

8

(6)

6 tanggung jawab dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat9. Jika hal ini tidak dilakukan, maka Negara telah gagal dalam memenuhi kebutuhan dasar warganya.

Dalam piagam pembentukan WHO 1946 dinyatakan bahwa penikmat tertinggi standar kesehatan manusia merupakan salah satu hak asasi setiap manusia. Selanjutnya, Article 25 Universal Declaration of Human Rights ditegaskan bahwa setiap orang berhak untuk standar hidup yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya. Selain itu dalam Article 12 (1) ICESCR (International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005, ditegaskan bahwa states parties to the present convenant recognize the right of everyone to the enjoyment

of the highest attainable standard of physical a nd mental health. Air terkait erat

dengan pemenuhan hak-hak kesehatan tersebut di atas. Kebutuhan rakyat akan air bersih merupakan tanggung jawab Negara/pemerintah untuk menyediakannya. Tidak hanya untuk kurun waktu sekarang, namun kesinambungannya pun harus dijamin Negara pula. Selain itu, mengingat sebagian besar rakyat Indonesia kehidupannya bertumpu pada pertanian, maka penyediaan air untuk mendukung kegiatan tersebut, seperti irigasi, menjadi tanggung jawab Negara pula.

Mengingat hak rakyat atas SDAir merupakan hak asasi, maka menjadi kewajiban Negara untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak rakyat atas air tersebut. Negara harus terlibat dan berperan aktif melakukan tindakan untuk memajukan hak-hak ekonomi dan sosial rakyat atas SDAir. Negara mempunyai res commune (sebagai personifikasi rakyat), yang memegang kekuasaan atas sumber daya alam10; sedangkan hak rakyat atas air adalah hak in persona yang melekat pada subjek manusia (absolute right). Dari hak atas air sebagai hak absolut inilah kemudian diturunkan

(derivatif) berupa hak guna pakai air (hak untuk memperoleh dan memakai air) untuk hidup dan kehidupan masyarakat.

Sementara itu, hak guna usaha air (hak untuk memperoleh dan mengusahakan air) dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 7 tahun 2004 dapat diberikan pada pihak perseorangan atau badan hukum dengan izin dari Pemerintah atau Pemda sesuai

9

Bagir Manan, Politik P erundang-undangan dalam rangka Mengantisipasi Liberalisasi Perekonomian, makalah pada Seminar Antisipasi Liberalisasi Perekonomian, Fakultas Hukum Unila, Lampung, 1996: hlm. 16.

10

(7)

7 kewenangannya. Pemberian izin ini hanya sebatas pengusahaan saja, bukan penguasaan atas sumber air dan/atau SDAir. Pengusahaan diberikan sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan Negara. Izin ini merupakan instrumen pengendali, dan bukan instrumen penguasaan. Demikian Putusan MK No. 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan No. 008/PUU-III/2005 tentang judicial review UU No. 7 tahun 2004 telah memberikan pertimbangannya. Namun faktanya, ketentuan UU SDAir ditafsirkan berbeda dari pertimbangan MK dalam putusan No. 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan No. 008/PUU-III/2005, sehingga berdasarkan syarat konstitusionalitas (conditionally constitutional), dalam Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 ditetapkan pembatasan yang sangat ketat untuk pengusahaan air sebagai upaya untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan ketersediaan air bagi kehidupan bangsa. Pembatasan pengusahaan air tersebut adalah11:

1. Pengusahaan air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, meniadakan hak rakyat atas air;

2. Negara harus memenuhi hak rakyat atas air karena akses terhadap air merupakan hak asasi;

3. Kelestarian lingkungan hidup juga harus diperhatikan karena hal itu juga merupakan hak asasi manusia;

4. Sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, maka pengawasan dan pengendalian oleh Negara atas air sifatnya mutlak;

5. Sebagai kelanjutan dari hak menguasai Negara, maka prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN/BUMD.

Pembatasan ini sifatnya kumulatif dan ketat. Namun implementasinya terpulang kembali kepada politik hukum Pemerintah dalam mengelola sumber daya air. Pembatalan UU SDAir tidak ada maknanya manakala Indonesia tunduk pada kepentingan kapitalisme, sebagaimana sejarah yang melatarbelakangi lahirnya UU No. 7 tahun 2004, yang merupakan konsekuensi dari diterimanya paket pinjaman bersyarat dari IMF sebesar 500 juta dolar US pada tahun 1999.

11

(8)

8 D. Penutup

Amar Putusan MK yang memberlakukan kembali UU No. 11 tahun 1974 harus disadari hanya sebagai upaya mengisi kekosongan hukum semata; karena banyak faktor yang dapat menjadi penghambat efektivitas UU Pengairan saat ini. Perlu upaya keras dari Pemerintah dan DPR untuk menyusun UU SDAir baru yang mengandung prinsip-prinsip pembaruan agraria sebagai ratio legis-nya. Prinsip demokratis, adil dan berkelanjutan sebagai prinsip inti pembaruan agraria sebagaimana terkandung dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, perlu dijadikan acuan agar rakyat dapat mendapat akses atas air untuk hidup dan kehidupannya.

Dalam UU No. 11 tahun 1974, secara khusus perlu dicermati substansi Pasal 2, 3 dan 4. Makna penguasaan Negara atas SDAir dan fungsi sosial atas air dalam pasal-pasal tersebut perlu ditafsirkan dengan makna penguasaan Negara yang kewenangannya telah diperluas melalui putusan-putusan MK namun sisi lain makna pengusahaan SDAir perlu dibatasi secara ketat oleh pembatasan-pembatasan yang telah dibuat MK melalui Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013. Selain itu, pemerintah perlu melakukan investasi pada fasilitas sarana, prasarana dan infrastruktur yang mendukung penyediaan air bersih. Langkah Kementerian PUPR menyiapkan 21 peraturan Menteri terkait pengelolaan SDAir patut diapresiasi meskipun belum memadai.

Daftar Pustaka

Bagir Manan, Politik Perundang-undangan dalam rangka Mengantisipasi Liberalisasi Perekonomian, makalah pada Seminar Antisipasi Liberalisasi Perekonomian, Fakultas Hukum Unila, Lampung, 1996

Ida Nurlinda, Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009

---, Membangun Struktur Hukum Reforma Agraria untuk Mewujudkan Keadilan Agraria, Orasi Ilmiah Penerimaan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum, Bandung, 9 Januari 2015

(9)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Wijana (1996) dinyatakan bahwa dalam komunikasi diperlukan berbagai cara untuk mewujudkan suatu pembicaraan dapat berjalan dengan baik. Permintaan sopan merupakan

Kulit bangunan dalam hal ini dinding merupakan elemen yang sangat berpengaruh pada kenyamanan termal, karena merupakan bagian yang secara langsung berhubungan dengan iklim

Pemberian beberapa konsentrasi ekstrak daun paitan pada tanaman kedelai berpengaruh nyata terhadap rerata waktu awal kematian, LT50 dan mortalitas kutu daun Aphis

Sel Myeloma dipilih sebagai objek uji karena berdasarkan beberapa penelitian yang sudah ada, hingga saat ini belum pernah dilakukan uji sitotoksik dan kinetika proliferasi

Berdasarkan tabel 5.5dari 45 responden menunjukkan bahwa yang tidak mendapat dukungan dari keluarga yang tidak aktif pada peran kader dalam revitalisasi posyandu sebanyak 3

Pertumbuhan gulma krokot pada awal pertumbuhan hingga panen dapat menekan jumlah umbi pada tanaman bawang merah karena pertumbuhan gulma krokot sangat kompetitif

tribunnews.com yang mengumpulkan perihal berita iklan politik dalam tautan (http:// www.tribunnews.com/tag/iklan-politik), yang memberitakan sulitnya menindak pelanggaran

Kebiasaan konsumsi kopi selama ini masih dianggap sebagai salah satu faktor yang berkaitan dengan terjadinya penyakit kardiovaskuler seperti hipertensi, tetapi banyak