• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Metodologi Interpretation Al Qur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sejarah Metodologi Interpretation Al Qur"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1

Sejarah metodologi interpretation Al-Qur‟an dan Al-Hadist merupakan kajian penelitian yang menjelaskan proses penafsiran pada permulaannya tercetusya penafsiran terhadap Al-Qur‟an dan Al-Hadist. Sejarah merupakan suatu peristiwa yang terjadi dizaman yang lalu dan berdampak pada banyak orang. Tidak semua peristiwa yang tejadi di masa lalu merupakan sebuah sejarah. Metodologi merupakan sebuah metode yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur‟an dan Al-Hadist setiap muffasir memiliki metode yang berbeda dan menggunakan pendekatan yang berbeda – beda pula. Al-Qur‟an merupakan kitabullah yang diturunkan berupa wahyu yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril di Gua Hira saat nabi Muhammad SAW sedang menyendiri untuk merenung sedangkan hadis merupakan pendukung dari Al-Qur‟an. Banyak sekali keistimewaan yang terdapat dalam Al-Qur‟an dari sajak Ayat – Ayatnya, bahasa yang digunakannya menggunakan bahasa Arab yang mendapat julukan Bahasa Syurga karena kehalusan dan kelembutan dialeknya, tidak hanya itu ayat – ayatnya berisi jawaban dari persoalan yang terjadi pada zaman itu dan tempatnya adalah tempat yang sedang di tinggali (dimana keberadaan Nabi Muhammad SAW). Penafsiran merupakan cara untuk mengartikan Al-Qur‟an karena Al-Qur‟an tidak bisa di mengerti dengan mentah – mentah dan tidak banyak orang yang boleh melakukan penafsiran pada Al-Qur‟an. Jika semua orang boleh melakukan penafsiran maka akan ada sangat banyak pendapat yang simpang isur dan tanpa teori mendasar, penafsiran hanya orang – orang tertentu yang boleh melakukannya setelah memenuhi syarat seorang muffasir. Penafsiran mengalami peningkatan secara bertahab dan mengaalmi kemajuan yang cukup pesat dari mulai penafsiran klasik, modern hingga Kontemporer. Penafsiran klasik merupakan penafsiran yang dilakukan pada zaman setelah kenabian, penafsiran modern merupakan

Kata Kunci: Sejarah, Interpretation, Al-Qur‟an dan Hadist

Abstract

(2)

2

SAW). The interpretation is a way to interpret the Qur'an because the Qur'an can not be understood by the raw - uncooked and not many people are allowed to do the interpretation of the Qur'an. If everyone is allowed to do the interpretation then there will be very many opinions intersections Isur and without fundamental theory, interpretation only people - certain people are allowed to do this after a muffasir qualify. The interpretation has increased bertahab and mengaalmi progress quite rapidly from the start interpretation of classical, modern to Contemporary. Classical interpretation of an interpretation made in the days after the prophethood, a modern interpretation

Keywords: History, Interpretation, Qur'an and Hadith

A. Pendahuluan

Islam merupakan salah satu agama samawi yang diyakini oleh pemeluknya sebagai

jalan hidup (way of life), tidak dapat dipungkiri transformasi mental dan sosial yang dibawah

oleh Islam telah menarik perhatian berbagai kalangan akademisi baik yang beragama Islam

(insider) maupun non muslim (outsider). Kajian Islam dalam istilah lain disebut studi islam

(Islamic studies) adalah sebuah disiplin ilmu yang membahas Islam, baik sebagai ajaran,

kelembagaan, sejarah maupun kehidupan umatnya. Studi Islam, dilihat dari ruang lingkup

kajiannya, berupaya mengkaji Islam dalam berbagai aspeknya dan dari berbagai perspektif dan pendekatan. Banyak ragam dan cara seseorang memahami al-Qur‟an atau tafhim al- Qur‟an. Hal ini dikarenakan kemampuan seseorang untuk memahami dan menjelaskan tentang esensi firmanAllah juga berbeda-beda, sesuai dengan kemampuan dan pemahaman seseorang itu sendiri. Perbedaan pemahaman ini juga tidak lepas dari berbagai faktor,

diantaranya tingkat kecerdasan, tingkat pendidikan, dan tingkat kefahaman agama yang

melatarbelakaninya.1

Karya-karya kaum muslim sangat mengagumkan dan mempunyai andil yang sangat

besar dalam penelitian, pengamatan, percobaan dan perhitungan. Sebagai contoh, sistem

desimal yang sekarang digunakan diseluruh dunia dikembangkan oleh ahli matematika

muslim Studi tentang agama-agama di kalangan muslim Indonesia mulai berkembang pada

dekade 40-an dan 50-an. Pada dekade ini muncul beberapa literatur tentang agama-agama

yang ditulis oleh beberapa intelektual muslim pada masa itu. Beberapa buku tentang agama-

agama yang beredar pada dekade ini di antaranya adalah Ichtisar Agama-agama Besar (1949)

karya Bustami Ibrahim, Perkembangan Fikiran terhadap Agama (1951) karya Zainal Arifin

Abbas, al- Adyan (1957) karya Mahmud Yunus, dan Filsafat Patristik Kristen (1958) karya

Hasbullah Bakry. Pada dekade 60-an, literatur tentang agama-agama yang ditulis oleh sarjana

1Ari Anshori, “

(3)

3

muslim semakin banyak bermunculan dengan tema-tema perbandingan dan ada yang sudah menggunakan kata ―perbandingan dalam judulnya.

Di antara buku yang terbit pada dekade ini adalah Nabi Isa dalam Al-Qur‟an dan Nabi

Muhammad dalam Bible (1960) karya Hasbullah Bakry, Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah

Pembahasan tentang Metodos dan Sistema) (1964) karya A. Mukti Ali, Yesus Kristus dalam

Pandangan Islam dan Kristen (1965) karya Hasbullah Bakry, Perbandingan Agama (1965)

karya Moh. Rifai, Muhammad dalam Perjanjian Lama dan Baru di Indonesia (1965) karya O.

Hashem, Sekitar Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan Kristologi (1965) karya Djarnawi Hadikusuma, Al-Qur‟an Sebagai Koreksi terhadap Taurat dan Injil (1966) karya Hasbullah Bakry, dan Agama Kristen dan Islam serta Perbandingannya (1968) karya Abuyamin Ruham.

( Ali 1996, 57- 58). Munculnya buku Mukti Ali yang berjudul Ilmu Perbandingan Agama

(Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistema) pada tahun 1964 menandai munculnya

gagasan tertulis mengenai kajian agama-agama dengan menggunakan perspektif ilmiah.

Munculnya gagasan mengenai perlunya melakukan kajian agama dengan

menggunakan perspektif ilmiah melahirkan kebutuhan mengenai metode dan pendekatan

ilmiah apa yang harus diaplikasikan oleh sarjana muslim ketika melakukan kajian terhadap

berbagai agama.2 Persoalan kemudian muncul ketika sejumlah sarjana muslim Indonesia

mempertanyakan validitas pendekatan ilmiah dalam memahami agama dengan benar tanpa

melibatkan perspektif teologis dan doktrin agama di dalamnya. Sebagian sarjana Muslim

bahkan menghendaki digunakannya pendekatan non-Barat dalam mengkaji agama terutama

mengenai Islam di Indonesia. Sarjana Muslim yang lain menghendaki metode penelitian yang

khas terhadap agama. Mulyanto Sumardi menyebutkan bahwa pada dekade 70-an telah

muncul dua kecenderungan di kalangan sarjana Muslim mengenai metode penelitian agama.

Ada sekelompok sarjana muslim yang menghendaki perlunya perumusan dan penggunaan

metode penelitian agama yang khas.

Kelompok ini beranggapan bahwa metode-metode yang selama ini yang digunakan

dalam penelitian agama sering kali kurang tepat sehingga tidak mampu menerangkan dengan

jelas apa sebenarnya makna di belakang fakta- fakta keagamaan itu. Kelompok yang lain

cenderung untuk mempertahankan metode yang selama ini telah digunakan. Mereka

berpandangan bahwa dalam penelitian agama tidak perlu membangun metode baru. Menurut

mereka, sebagaimana telah berjalan, para ahli bisa melakukan penelitian agama dengan

2 Dedi Wahyudi, Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif Pendidikan Akhlak Dengan

(4)

4

memanfaatkan metode berbagai disiplin yang sudah ada terutama dari disiplin ilmu-ilmu

sosial dan budaya. Mukti Ali sendiri menawarkan sintesis yang berusaha menggabungkan

kedua kecenderungan itu melalui gagasannya untuk menggunakan pendekatan

religio-scientific (ilmiah- agamais) atau religio-scientific-cum-doktrinair dalam studi agama. Perbincangan

mengenai aspek metodologi dan pendekatan dalam penelitian agama mulai marak sejak

dekade 70-an. Sebenarnya, Mukti Ali telah memulainya sejak dekade 60-an, tetapi dekade 70

dan seterusnya diskusi mengenai aspek metodologi semakin meningkat seiring dengan

semakin berkembangnya penelitian agama di Indonesia khususnya di kalangan sarjana

Muslim.

Mengingat pentingnya tema ini, pada dekade 70-an sejumlah sarjana yang merupakan

peserta Program Purna Sarjana (SPS) di kalangan dosen-dosen IAIN seluruh Indonesia yang

berkumpul di Yogyakarta secara bersama-sama berhasil menyusun naskah berjudul

Metodologi Penelitian Agama. Kemudian pada dekade 80-an muncul lagi buku tentang

penelitian agama yang di dalamnya juga membahas tentang metode dan pendekatan

penelitian agama, yaitu Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran (editor Mulyanto

Sumardi), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (A. Mukti Ali), dan Metodologi

Penelitiqan Agama Sebuah Pengantar (editor Taufik Abdullah dan Rusli Karim). Dua dari

tiga buku ini merupakan kumpulan tulisan dari sejumlah sarjana berkenaan dengan penelitian

agama. Pada dekade 90-an sejumlah literatur studi agama kembali bermunculan, diantaranya

adalah Metodologi Ilmu Perbandingan Agama yang ditulis oleh Romdon. Buku ini banyak

mengupas mengenai metode dan pendekatan penelitian agama dalam perspektif ilmu

perbandingan agama.

Kemudian buku Studi Agama Historisitas atau Normativitas? Karya Amin Abdullah

yang membahas masalah studi agama di dalamnya di samping Islamic studies dan studi

kawasan. Buku Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek karya M. Atho Mudzhar

juga banyak mengupas tentang studi atau penelitian agama meski diarahkan untuk studi

Islam. Kemudian pada dekade awal abad ke- 21, muncul lagi beberapa literatur studi agama

yang berisi pembahasan tentang metodologi studi agama, di antaranya adalah Metode

Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Metodologi Penelitian Agama Teori

dan Praktik, dan Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner. Beberapa di antara buku

yang disebutkan di atas berasal dari kumpulan tulisan dari berbagai pakar atau sarjana

Muslim di berbagai seminar dan pertemuan ilmiah lainnya berkaitan dengan studi agama.

Buku- buku itu sengaja diterbitkan untuk disebarkan dalam rangka memperkenalkan

(5)

5

Adanya literatur studi agama yang memperbincangkan dimensi metodologis dalam

studi agama sebagaimana yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa dimensi

metodologis merupakan bagian tak terpisahkan dari diskursus studi agama yang dirumuskan

secara berkesinambungan sejak dekade 60-an hingga kini di kalangan sarjana muslim. Itu

artinya bahwa perbincangan mengenai dimensi metodologis dalam studi agama telah

berlangsung selama setengah abad jika dihitung mulai dari buku Mukti Ali: Ilmu

Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan tentang Metodos dan Sistema) yang terbit pada

tahun 1964.

Konsistensi perbincangan mengenai metodologi dalam literatur studi agama di

Indonesia tidak hanya disebabkan oleh tujuan untuk memperkenalkan metode-metode dan

pendekatan-pendekatan studi agama yang selama ini berkembang di Barat tetapi juga upaya

untuk menemukan metode dan pendekatan yang lebih tepat dalam melakukan studi agama

yang objektif dan ilmiah di kalangan sarjana Muslim. Gagasan metodologis yang

berkembang dalam banyak literatur studi agama cenderung menganjurkan pendekatan ilmiah

dan memperkecil penggunaan pendekatan teologis- apologetik. Objektivitas memperoleh

penekanan yang kuat sementara unsur subyektivitas dianggap bisa menimbulkan sikap

apalogis dan penghakiman terhadap keyakinan agama lain. Gagasan metodologis yang telah

berkembang selama setengah abad itu tidak sepenuhnya disepakati. Sejumlah sarjana Muslim

justru keberatan dengan penggunaan pendekatan Barat dalam studi agama sebagaimana telah

disinggung sebelumnya. Sebagian mereka yang keberatan menganggap bahwa metode dan

pendekatan yang ditawarkan berasal dari Barat, yaitu metode yang diterapkan oleh kaum

orientalis dan bersifat agnostik- metodologis serta mengarah pada relativisme kebenaran

agama-agama. Mereka juga sangat meragukan kemungkinan diterapkannya sikap objektif dan

netral dalam mengkaji agama sebagaimana yang ditekankan dalam pendekatan ilmiah.

Perbedaan pandangan dan kritik terhadap berbagai pendekatan ilmiah tidak hanya

terjadi di kalangan sarjana muslim tetapi juga hal yang sama telah terlebih dahulu terjadi di

kalangan sarjana Barat, baik di kalangan sesama ilmuwan agama maupun antara teolog

(agamawan) dengan ilmuwan sosial. Kalau gagasan dan perdebatan metodologis dalam studi

agama di Barat telah dikaji dan dipublikasikan di Indonesia, gagasan dan perdebatan

mengenai metodologi studi agama di Indonesia khususnya di kalangan sarjana muslim

tampaknya belum dilakukan sehingga apa saja yang disepakati dan apa saja yang belum

mendapat titik temu serta bagaimana dinamika pemikiran di seputar metodologi studi agama

itu belum mendapat kajian yang semestinya. Demikian pula mengenai sejauhmana

(6)

6

bagaimana gagasan orisinal sarjana muslim Indonesia mengenai dimensi metodologis dari

studi agama menjadi aspek yang menarik untuk dikaji lebih dalam.

Penelitian ini memanfaatkan data mengenai pemikiran sarjana muslim Indonesia

tentang metodologi studi agama melalui sejumlah literatur studi agama yang terpublikasi

dalam rentang waktu antara tahun 1964-2012. Penggunaan literatur dalam bentuk buku

pustaka sebagai bahan utama penelitian ini menunjukkan bahwa penelitian ini merupakan

jenis penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini membahas mengenai dinamika

pemikiran sekelompok sarjana muslim yang terdokumentasikan dalam buku-buku

terpublikasi dalam rentang waktu setengah abad (sejak 1964). Dengan demikian, penelitian

ini bersinggungan dengan sejarah pemikiran (kontemporer). Karena itu penelitian ini

merupakan penelitian kepustakaan yang menggunakan pendekatan sejarah pemikiran yang

merupakan salah satu varian dalam penelitian sejarah. Dalam sejarah pemikiran (history of

thought, history of ideas atau intellectual history) dikenal adanya pelaku (penulis) sejarah

pemikiran, yaitu perorangan, gerakan intelektual, dan pemikiran kolektif.3

Tafsir al-Qur‟an telah melewati fase-fase pertumbuhan dan perkembangan yang cukup panjang , sejak dari mula pertamanya pada masa nabi SAW sampai sekarang. Oleh karena itu

perlu diketahui priodesasi pertumbuhannya, agar dapat dimengerti pasang surutnya, sumber

dan metodenya, serta oreantasi dan sistematikanya. Para pakar menjelaskan sejarah tafsir al-Qur‟an dalam tiga kategori utama yaitu kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan. Pertama : Masa Kelahiran ; Pertama kali al-Qur‟an turun, ia langsung ditafsirkan oleh Allah yang

menurunkan al-Qur‟an tersebut. Artinya sebagian ayat yang turun itu menafsirkan

(menjelaskan) bagian yang lain sehingga pendengar atau pembaca dapat memahami

maksudnya secara baik berdasarkan penjelasan ayat yang turun itu. Sebagai contoh :

Ayat yang pertama kali turun (bacalah dengan nama tuhanmu) kita tidak tahu siapa

tuhanmu yang dimaksud, lalu Allah menjelaskan selanjutnya bahwa tuhanmu (yang telah

menciptakan) kalimat ini masih sangat umum lalu Allah menjelaskan (yakni menciptakan

manusia) hal inipun masih samara lalu dijelaskan. Sekiranya tafsir ini tidak diturunkan maka

tidak mustahil pembaca bahkan nabipun akan salah memperepsikan tuhan. Kedua : Masa

Pertumbuhan : Masa pertumbuhan dapat dikelompokkan dalam beberapa periode : 1. Periode

Nabi Muhammad Saw dan Sahabat (abad I H/VII M) pada waktu rasul masih hidup maka

penafsiran langsung dilakukan oleh beliau berdasarkan wahyu Allah Swt, sebagai contoh :

3Rahmadi ,Abd. Rahman Jaferi dan Nurul Djazimah, “Dinamika Pemikiran Sarjana Muslim tentang

(7)

7

para sahabat bingung dan gelisah dengan kalimat zulm (kezaliman) dalam firman Allah

dalam surat al-An‟am ayat 82 (Orang- orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan

iman mereka dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan

mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk), lalu rasul menjelaskan bahwa yang

dimaksud zulm disini adalah kesyirikan sesuai dengan firman Allah pada Surat Luqman:

(sesungguhnya mensekutukan Allah adalah kezaliman yang besar). Pada masa ini sumber

tafsir terkategorikan pada empat ; Al-Qur‟an Karim, hadits-hadits Nabi, Ijtihad dan istinbath

(melalui adat, budaya dan kebiasaan arab), dan cerita ahlul kitab baik dari yahudi maupun

nasrani. Periode ini berakhir dengan meninggalnya seorang sahabat yang bernama Abu

Thufail al- Laisi pada tahun 100 H di Kota Makkah 2. Periode Tabi‟in dan Tabi‟it tabi‟in ( abad 2 H / VIII M ). Sumber-sumber tafsir pada periode ini adalah : al-Qur‟an, hadits-hadits nabi, tafsir para sahabat, cerita-cerita dari ahli kitab, ra‟yu dan ijtihad. Pusat pengajian tafsir menyebar di kota Makkah diantaranya dipimpin oleh Abdullah bin Abbas ( w. 63 H ), Sa‟id Bin Jubair ( w.93 ), di kota Madinah berada dibawah pimpinan Ubay bin Ka‟ab, Zaid bin Aslam dan di Irak dibawah pimpinan Abdullah bin Mas‟ud, diantara ciri-ciri tafsir masa ini adalah memuat banyak cerita israiliyat, meriwayatkan dari riwayat yang disenangi saja dan

sudah muncul benih-benih fanatisme mazhab. Periode ini berakhir dengan ditandai meninggalnya tabi‟in yang bernama Kholaf bin Khulaifat (w. 181 H) dan sedangkan masa tabi‟it tabi‟in berakhir pada tahun 220 H. Ketiga : Masa Perkembangan : Perkembangan tafsir dapat dikelompokkan dalam beberapa periode : Periode Ulama Mutaqaddimin (abad

III–VIII H/1X-XIII M), periode ini dimulai dari akhir zaman tabi‟it tabi‟in sampai akhir

pemerintahan dinasti Abbasiyah kira-kira dari tahun 150 H/782 M sampai tahun 656 H/1258

M atau mulai abad II sampai VII H. Sumber tafsir pada masa ini berupa : al-Qur‟an, hadits

Nabi Saw, riwayat para sahabat, riwayat para tabi‟in, riwayat para tabinat tabi‟in, cerita ahlul

kitab, ijtihad dan istinbath mufassir.

Diantara para mufassir tersebut adalah Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H), Syu‟bah Ibn

Hajjaj (w. 160 H), Periode Ulama Muta‟akhirin (abad IX- XII H / XII-XIX M), periode ini

muncul pada zaman kemunduran Islam, yaitu sejak jatuhnya Baghdad pada tahun 656

(8)

H-8

XIX M s/d Sekarang ), zaman ini bermula sejak abad XIV H atau akhir XIX Masehi sampai

sekarang, yaitu sejak dimulainya gerakan modernisasi Islam di Mesir Oleh Jamaluddin

al-Afghani ( 1254 H/ 1838 M ), Muhammad Abduh ( 1266 H / 1845 M ) diantara produk tafsir

pada masa ini adalah : Syeikh Ahmad Mustafa Maraghi ( w. 1952 M ) penulis tafsir

al-Maraghi tafsir ini sangat modern dan praktis, Sayyid Qutb penulis tafsir Fi Zilalil Qur‟an dan

Ali al-Shabuni pengarang tafsir Rawa‟i al-Bayan, Tafsir ayatul ahkam minal Qur‟an dan

kitab Sofwatu al-Tafasir.4

B. Alqur’an dan Hadist

Sebagai kitab suci ummat Islam, al-Qur‟an, memiliki segenap mu‟jizat yang sungguh luar biasa. Ia diturunkan pada saat di mana masyarakat sangat gemar dan cenderung dengan

sastera dan syair-syair Arab. Masyarakat Arab pada saat itu sangat kagum dan apresiatif

terhadap orang-orang atau pihak-pihak yang mampu untuk menggubah syair-syair indah.

Perlombaan tahunan dilakukan untuk mencari siapa pujangga Arab yang paling mahir pada

saat itu yang begitu dielu- elukan. Di tengah eforia masyarakat Arab terhadap sastra pada saat itu turunlah al- Qur‟an yang isinya sungguh luar biasa yang tidak bisa ditandingi oleh seorang pujanggapun pada saat itu bahkan hingga akhir zaman. Turunnya al-Qur‟an membuat para

pujangga Arab terkesima dan merasa kagum terhadap isinya yang belum pernah mereka

temukan sebelumnya. Tidak sedikit dari mereka yang bertanya-tanya, ada apa dibalik

kekaguman mereka. Bagi mereka yang memperturutkan keingin-tahuan mereka, berusaha

mencari apa sebenarnya al-Qur‟an itu. Ternyata setelah mereka mengetahui al-Qur‟an adalah

firman Allah, baru mereka paham mengapa isi al-Qur‟an itu demikian hebat dan agung. Hal

inilah yang membuat sebagian besar mereka beriman dan mengikuti orang yang membawa

al-Qur‟an itu, yaitu nabi Muhammad SAW.5

Upaya penghampiran manusia terhadap al-Qur‟an merupakan sesuatu yang belum final

atau bahkan mungkin tidak dapat menggapai kematangan.6 Al-Qur‟ān adalah kitab suci umat Muslim yang terdiri dari 114 bab (sūras) dan lebih dari 6.000 ayat. Bagi saudara-saudara Muslim, al- Qur‟ān lebih dari sekadar sebuah buku, ia diimani sebagai perkataan Allah yang

diwahyukan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW pada tahun 611 M saat beliau berada dalam sebuah gua di gunung Hira„ sekitar 3 mil dari kota Mekah pada malam

4Ahmad Soleh Sakni, “Model Pendekatan Tafsir Dalam Kajian Islam,” JIA 2, no. XIV (Desember

2013): 63–65.

5Muhammad Amin, “Kontribusi Tafsir Kontemporer Dalam Menjawab Persoalan Ummat,”

Jurnal Substantia Vol. 15, No. 1, 15, no. 1 (April 2013): 1.

6Ani Umi Maslahah, “Al

-Qur‟an, Tafsir Dan Ta‟wil Dalam Persepektif Sayyid Abu Al-A‟la Al

(9)

9

al-Qadr (the night of power). Pewahyuan al-Qur‟ān sendiri diyakini berlangsung kurang lebih

selama 23 tahun. Lamanya kurun waktu pewahyuan memberikan kekhasan tersendiri bagi al-Qur‟ān. Kekhasan pertama terletak pada pembagian periode dalam al-Qur‟ān yang dikaitkan dengan daerah di mana Nabi Muhammad SAW berada ketika ayat tertentu diturunkan.

Secara umum periode pewahyuan dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu Surah

Makkiyah, Madaniyah, dan yang diperlisihkan Surah Makkiyah umumnya dimengerti

sebagai surah yang diturunkan saat Nabi Muhammad SAW masih merada di Mekah atau

sebelum hijrah ke Madinah. Sebaliknya surah Madaniyah adalah surah-surah yang diturunkan

ketika Nabi sudah berhijrah ke Madinah. Sementara itu, sebagian surah yang lain disebut

surah yang diperselisihkan karena adanya ketidaksepahaman tentang kapan dan di mana

surah tersebut diturunkan.

Meskipun Surah Makkiyah dan Madaniyah dibedakan secara jelas, tetapi tetap saja

ditemukan ayat-ayat Madaniyah dalam surah-surah Makkiyah dan demikian pula sebaliknya.

Madaniyah terdiri dari 20 surah: (1) al- Baqarah; (2) Ali ‚Imran; (3) an-Nisa‟; (4) a l-Ma‟idah; (5) al-Anfal; (6) at-Taubah; (7) an-Nur; (8) al-Ahzab; (9) Muhammad SAW; (10) al-Fath; (11) al-Hujurat; (12) al-Hadid; (13) al-Mujadalah; (14) al-Hasyr; (15) al-

Mumtahanah; (16) al-Jumu‟ah; (17) al-Munafiqun; (18) at-Talaq; (19) at- tahrim; dan (20)

an-Nasr. Sementara itu yang diperselisihkan berjumlah 12 surah: (1) al-Fatihah; (2) ar-Ra‟d;

(3) ar-Rahman; (4) as-saff; (5) at- Tagabun; (6) at-Tatfif; (7) al-Qadar; (8) al-Bayyinah; (9)

az-Zalzalah; (10) al-Ikhlas; (11) al-Falaqi; dan (12) an-Nas. Dan sisanya, yaitu 82 surah,

digolongkan sebagai surah Makkiyah (Sirry, 2013; Amal, 2013). Mengetahui pembagian

periode itu menjadi penting sebagai alat bantu dalam menafsirkan al-Qur‟ān mengingat

masing-masing periode memiliki kekhasan tertentu.

Dalam kaitannya dengan umat beragama lain yang bersinggungan dengan Nabi

Muhammad SAW saat proses pewahyuan al-Qur‟ān masih berlangsung Mun‟in Sirry

mengulas secara menarik tentang kekhasan dua periode tersebut (Sirry, 2013: 11-33).

Menurutnya di Mekah, al-Qur‟ān kebanyakan mengarahkan gugatannya (baca: bersikap

negatif) terhadap agama Arab pagan. Situasi ini terkait dengan keyakinan orang-orang Arab

pagan yang menyembah banyak allah (politeisme). Selama berada di Mekah, Muhammad

SAW berhadapan dengan tantangan untuk berdakwah kepada orang-orang Arab pagan agar

(10)

10

yang terdapat dalam surah al-Haj (22):30-31.7 Maka bersujudlah Para Malaikat itu semuanya bersama-sama, kecuali iblis. ia enggan ikut besama-sama (malaikat) yang sujud itu.8

Jika al-Quran yang “berbahasa langit” tidak terlepas dari dinamika budaya (muntaj al -ṡaqāfah),1 maka apalagi hadis yang jelas-jelas merupakan “bahasa bumi” dari Nabi atas peristiwa sosial pada masanya. Tentu saja ada keterikatan- kerikatan ruang-waktu yang

membelenggunya. Itu sebabnya, dibutuhkan kreatifitas-negosiatif untuk “menghidupkan”

hadis dalam kehidupan kekinian. Kenyataan hadis yang tidak sama dengan al-Quran, baik pada tingkat kepastian hadirnya teks (qaṭ„ī al-wurūdah) maupun pada taraf kepastian argumen (qaṭ„ī al-dalālah), dihadapkan pada fakta tidak adanya “jaminan otentik” yang menjamin kepastian teks dan maknanya. Hadis bersifat ẓannī, tidak qaṭ„ī sebagaimana al-Quran. Tidak adanya jaminan otentisitas ini memaksa disiplin ilmu hadis, melalui para pengkajinya,

bersusah payah merumuskan secara swadaya (tanpa kepastian dari Tuhan) konsep yang bisa

menjamin otentisitasnya, seperti rumusan untuk menguji sanad-nya, matan-nya, sebab

hadirnya, berikut derivasinya. Akan tetapi, pembacaan sosio-historis terhadap masa pembukuan dan pembakuan hadis (yang “mematenkan” struktur bahasa dan periwayatan hadis) tampaknya belum mendapat kajian yang memadai. Itu sebabnya, demi menemukan

otentisitas teks dan ketepatan maknanya, ruang kosong tersebut perlu mendapatkan “perhatian khusus”. 9

Alquran adalah kitab induk, rujukan utama bagi segala rujukan, sumber dari segala

sumber, basis bagi segala sains dan ilmu pengetahuan. Alquran adalah buku induk ilmu

pengetahuan, di mana tidak ada satu perkara apapun yang terlewatkan, semuanya telah diatur

di dalamnya, baik yang berhubungan dengan Allah (hablum minallah) sesama manusia

(hablum minannas) alam, lingkungan, ilmu akidah, ilmu sosial, ilmu alam, ilmu emperis,

ilmu agama, umum dan sebagainya. Sebagai kitab suci ummat Islam, al-Qur‟an, memiliki segenap mu‟jizat yang sungguh luar biasa. Ia diturunkan pada saat di mana masyarakat sangat gemar dan cenderung dengan sastera dan syair-syair Arab. Masyarakat Arab pada saat itu

sangat kagum dan apresiatif terhadap orang-orang atau pihak-pihak yang mampu untuk

menggubah syair-syair indah. Perlombaan tahunan dilakukan untuk mencari siapa pujangga

Arab yang paling mahir pada saat itu yang begitu dielu- elukan. Di tengah eforia masyarakat

7Wahyu Nugroho, “Orang Kristen Dalam Al-Qur‟an Belajar Dari Tafsir Surah Al-Baqarah (2):62 Dan

Al-Ma‟idah (5):82-83,” Gema Teologi 39, No. 2 (Oktober 2015): 208.

8 QS. Al Hijr: 30-31, n.d. 9Kholis Hauqola, “

(11)

11

Arab terhadap sastra pada saat itu turunlah al- Qur‟an yang isinya sungguh luar biasa yang

tidak bisa ditandingi oleh seorang pujanggapun pada saat itu bahkan hingga akhir zaman.

Turunnya al-Qur‟an membuat para pujangga Arab terkesima dan merasa kagum terhadap

isinya yang belum pernah mereka temukan sebelumnya. Tidak sedikit dari mereka yang

bertanya-tanya, ada apa dibalik kekaguman mereka.

Bagi mereka yang memperturutkan keingin-tahuan mereka, berusaha mencari apa

sebenarnya al-Qur‟an itu. Ternyata setelah mereka mengetahui al-Qur‟an adalah firman

Allah, baru mereka paham mengapa isi al-Qur‟an itu demikian hebat dan agung. Hal inilah

yang membuat sebagian besar mereka beriman dan mengikuti orang yang membawa al-Qur‟an itu, yaitu nabi Muhammad SAW. Pasca al-al-Qur‟an turun muncul beberapa persoalan, di antaranya adalah persoalan pemahaman terhadap ayat-ayatnya (tafsir). Semasa Nabi

Muhammad masih hidup persoalan ini tidak terlalu mengemuka. Hal ini disebabkan oleh

orang-orang di sekeliling beliau (para sahabat) selalu bertanya terhadap segala persoalan yang menyangkut dengan pemahaman terhadap ayat al-Qur‟an. Di samping itu mereka juga menyaksikan proses turunnya dan para sahabat adalah orang-orang yang sangat paham

dengan bahasa Arab itu sendiri.

Dengan demikian, Alquran dan Hadits merupakan sumber ilmu yang dikembangkan

oleh umat Islam dalam spektrum yang seluas-luasnya. Lebih lagi, kedua sumber pokok Islam

ini memainkan peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan ilmu-ilmu. Peran itu

adalah: Pertama, prinsip- prinsip semua ilmu dipandang kaum Muslimin terdapat dalam Al Qur‟an. Dan sejauh pemahaman terhadap Alquran, terdapat pula penafsiran yang bersifat esoteris terhadap kitab suci ini, yang memungkinkan tidak hanya pengungkapan

misteri-misteri yang dikandungnya tetapi juga pencarian makna secara lebih mendalam, yang

berguna untuk pembangunan paradigma ilmu. Kedua, Alquran dan Hadits menciptakan iklim

yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan

menuntut ilmu, pencarian ilmu dalam segi apa pun pada akhirnya akan bermuara pada

penegasan Tauhid.

Karena itu, seluruh metafisika dan kosmologi yang lahir dari kandungan Alquran dan

Hadits merupakan dasar pembangunan dan pengembangan ilmu Islam. Singkatnya, Alquran

dan Hadits menciptakan atmosfir khas yang mendorong aktivitas intelektual dalam

konformitas. Wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW berasal dari Allah SWT,

merupakan sumber pengetahuan yang paling pasti. Namun, Alquran juga menunjukkan

(12)

12

melengkapi kebenaran wahyu. Pada dasarnya sumber-sumber itu diambil dari sumber yang

sama, yaitu Allah SWT, asal segala sesuatu.

Namun, karena pengetahuan yang tidak diwahyukan tidak diberikan langsung oleh

Allah SWT kepada manusia, dan karena keterbatasan metodologis dan aksiologis dari ilmu

non-wahyu tersebut, maka ilmu-ilmu tersebut di dalam Islam memiliki kedudukan yang tidak

sama dengan ilmu pengetahuan yang langsung diperoleh dari wahyu. Sehingga, di dalam

Islam tidak ada satupun ilmu yang berdiri sendiri dan terpisah dari bangunan epitemologis

Islam, ilmu-ilmu tersebut tidak lain merupakan bayan atau penjelasan yang mengafirmasi

wahyu, yang kebenarannya pasti. Di sinilah letak perbedaan epistemologi sekuler dengan

epistemologi Islam. 10

C. Sejarah Metodologi Interpretetion Al-Qur’an dan Hadist

Secara etimologi kata tafsir berasal dari bahasa Arab yang berbentuk mashdar dari kata

fassar-yufassiru-tafsiran yang berarti al- bayan atau al-idhah (penjelasan, uraian, keterangan,

interpretasi dan komentar). Ada juga yang mengatakan kata tafsir berasal dari kata fasr dan

tafsirah yang berarti pengamatan dokter terhadap air (al-fasr) dan urine yang digunakan

sebagai indikator penyakit (tafsirah). Secara umum perkataan tafsir mengandung arti

menjelaskan, menguraikan atau dapat dikatakan bahwa tafsir mengandung arti penjelasan

atau penafsiran. Sementara itu, secara konseptual tafsir sering didefiniskan sebagai kasyf al-murad „an al-lafdh al-musykil (menjelaskan apa yang dimaksudkan dari kalimat yang sulit) Dalam bahasa teknis, tafsir lalu digunakan dalam arti penjelasan, penafsiran dan komentar

terhadap al-Quran yang berisi langkah-langkah untuk memperoleh pengetahuan yang

berperan membantu memahami al Quran, menjelaskan makna dan mengklarifikasi

implikasi-implikasi hukumnya. Karena itu, para praktisi tafsir mendefenisikan tafsir sebagai ilmu yang

berhubungan dengan upaya memahami atau menjelaskan makna al-Quran dalam batas

kapasitas manusia.

Tafsir secara bahasa berarti menerangkan dan menjelaskan. Manna‟ Khalil al-Qatthan

menjelaskan bahwa arti tafsir secara bahasa adalah menyingkap. Sedangkan menurut istilah

tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad

Saw, menjelaskan makna-maknanya, serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya. Abu

Hayyan dalam al-Bahrul Muhith menjelaskan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara menjelaskan lafazh-lafazh al-Qur‟an, maksud-maksudnya, berbagai hukumnya

10Sayid Qutub, “

(13)

13

dan makna yang terkandung di dalamnya. Salah satu persoalan dasar dalam studi hadith

adalah masalah keaslian hadith, disebabkan karena sedikitnya sumber data dalam bentuk

tulisan dari abad pertama Islam. Di antara perkembangan paling baru dalam studi hadith

adalah tentang makna hadith bagi masyarakat. Salah satu di antaranya adalah munculnya

ketertarikan dalam perdebatan tentang otoritas hadith di kalangan Muslim, yang sudah mulai

muncul dari waktu ke waktu dalam sejarah Islam tetapi menjadi lebih intensif pada masa

sekarang.

Di beberapa negara Islam banyak karya yang mempertanyakan posisi hadith dalam

pemikiran keagamaan Islam yang ditandai dengan pembatasan peran hadith.11Dari abad ke-9,

kekuatan untuk menafsirkan dan memperbaiki hukum di masyarakat Islam tradisional ada di

tangan para ulama (fuqaha ), As-Sunnah terutama terkandung dalam hadits atau periwayatan

berisi sabda Nabi Muhammad (saw), tindakan diam- diamnya sebagai sikap persetujuannya.

Sementara hanya ada satu al-Quran, ada kompilasi banyak hadis dengan menyusun sistem

kompilasi yang paling otentik selama periode 850-915 Masehi. Enam diakui oleh Sunni

sebagai koleksi yang disusun oleh Muhammad al-Bukhari, Muslim bin al-Hajjaj, Abu

Dawud, Tirmidzi, Al-Nasa'i, Ibnu Majah (sesuai urutan periodisasi). Koleksi oleh al-Bukhari

dan Muslim dianggap paling otentik, masing-masing mengandung sekitar 7.000 hingga

12.000 hadis, meskipun sebagian besar berupa deretan pengulangan. Hadis telah dievaluasi

pada keasliannya, dan biasanya dengan menentukan ke-„adalahan (kapabilitas dan

kredibilitas) perawi yang disilsilahkan mereka Sedang bagi Syiah, as-Sunnah juga termasuk

bersumber dari dua belas Imam.12

D. Klasik, Modern dan Kontemporer

1. Kontemporer

Penggunaan al-Qur‟an sebagai sumber tafsir pada masa kontemporer mengalami

pergeseran dibandingkan dengan masa sebelumnya. Shahrur yang dikenal sebagai pemikir

liberal dan bermazhab subyektifis mengajukan sejumlah pembaharuan dalam penggunaan al-Qur‟an sebagai sumber tafsir, namun bagi Shahrur, al-Qur‟an merupakan sumber pertama dan utama sehingga dalam hubungannya dengan sumber lain seperti al-sunnah.13

11Luluk Fikri Zuhriyah, “Metode dan Pendekatan Dalam Studi Islam Pembacaan atas Pemikiran Charles

J. Adams,” Islamica 2, no. 1 (September 2007): 38.

12Syafaul Mudawam, “Syari‟ah-Fiqih-Hukum Islam Studi tentang Konstruksi Pemikiran Kontemporer,”

Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum 46, no. II (Juli 2012): 408–500.

13Nur Mahmudah, “

(14)

14

Kontemporer berarti sezaman atau sewaktu. Di dalam kamus Oxford Learner‟s Pocket

Dictionary dijelaskan, ada dua pengertian dari contemporary. Pertama belonging to the same

time (termasuk waktu yang sama), dan yang kedua, of the present time; modern (waktu

sekarang atau modern). Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kontemporer adalah pada masa

kini atau dewasa ini. Menurut Ahmad Syirbasyi yang dimaksud dengan periode kontemporer

adalah yaitu sejak abad ke 13 hijriah atau akhir abad ke-19 Masehi sampai sekarang ini.

Dari berbagai definisi dan pendapat para pakar di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir

kontemporer adalah penafsiran al-Qur‟an yang muncul dan berkembang dimulai semenjak

akhir abad ke-19 sampai saat ini. Pengertian ini sejalan dengan pendapat az-Zahabi dalam Tafsir wa al-Mufassirun yang menyebutkan tafsir kontemporer dengan at-Tafsir fi al-„Ashr al-Hadits yaitu tafsir di masa modern. Tafsir kontemporer mulai muncul berkenaan dengan

istilah pembaharuan yang sangat gencar dipopulerkan oleh beberapa ulama yang menginginkan Islam sebagai agama yang sudah sejak 14 abad silam. Pemahaman al-Qur‟an yang terkesan “jalan di tempat” ini sungguh menghilangkan ciri khas al-Qur‟an sebagai kitab yang sangat sempurna dan komplit sekaligus dapat menjawab segala permasalahan klasik

maupun modern. Ada dua poin penting seruan Muhammad Abduh tentang penafsiran

modern (kontemporer) yaitu: pertama, membebaskan pikiran manusia dari belenggu taqlid

dan yang kedua, mereformasi susunan bahasa Arab dalam redaksi

Ada tiga sumber penafsiran yang sudah masyhur di kalangan para mufassir yaitu bil Ma‟tsur, bil Ra‟yi dan bil Isyaari. Sayyid Rasyid Ridha mengatakan bahwa tafsir kontemporer memiliki perpaduan bentuk antara bil Ma‟tsur dan bil Ra‟yi atau yang disebut dengan Shahih al-Manqul wa Sharih al- Ma‟qul (menggunakan riwayat yang benar dan nalar

yang bagus). Nasruddin Baidan menyebutnya sebagai izdiwaj yaitu perpaduan antara bentuk bil Ma‟tsur dan bil Ra‟yi. Dalam hal ini kita akan melihat salah satu contoh perpaduan tersebut dalam al-Qur‟an. Sebagaimana penafsiran Abul Kalam Azad tentang kesatuan Tuhan

dan kesatuan agama sebagai prinsip moral dan cita sosial al-Qur‟an. Pada surat al-Fatihah

ayat pertama, beliau memahami adanya aspek kemanusiaan yang terdapat di dalam surat

al-Fatihah. Beliau melanjutkan bahwa pujian yang dimaksud di sini ditujukan secara ketat hanya

kepada Allah semata, tidak kepada yang lain. Pembatasan tersebut secara manusiawi

bertujuan mengingatkan hati dan pikiran manusia akan kekuatan luar biasa yang mengatasi

seluruh makhluk, sehingga seluruh aktivitas kehidupan tertuju pada-Nya. Penafsiran ayat ini

kemudian dikuatkannya dengan QS. Ali Imran ayat 191.

(15)

15

penjelasan lebih lanjut. Artinya ada keterkaitan antara nalar yang disampaikannya dengan al-Qur‟an. Hal ini merupakan suatu usaha menafsirkan ayat al-Qur‟an sebagaimana penafsiran nabi. Yaitu menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an. Akan tetapi, Nabi tidak menggunakan

nalarnya dalam menafsirkan al-Qur‟an, melainkan wahyu yang Allah turunkan.14 Adapun metode yang kerap kali digunakan oleh para mufassir kontemporer adalah metode maudhu‟i dan metode kontekstual. Quraish Shihab mengatakan pakar yang pertama sekali merintis metode maudhu‟i adalah seorang guru besar dari Universitas al-Azhar yaitu: Ahmad Al-Kuuny. Sedangkan metode kontekstual dirintis oleh Fazlur Rahman. Sedangkan corak dari

tafsir kontemporer, Muhammad Husein Az-Zahabi dalam at-Tafsir wa al-Mufassirun

menjelaskan bahwa corak yang berkembang pada masa kontemporer ini ada lima, yaitu: corak„ilmi, madzhabi, ilhadi, falsafi, dan adabi ijtima‟i.

a) Corak „Ilmi

Dalam corak penafsiran „ilmi seorang mufassir dalam memahami ayat-ayat al-Qur‟an cenderung menyelaraskan antara teori ilmiah atau aspek metafisika alam dengan ayat al-Qur‟an. Al-Qur‟an yang bersifat universal telah memberikan gambaran seluas-luasnya tentang fenomena alam semesta, yang ternyata setelah dicocokkan sangat berkesesuaian

dengan teori ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia pada masa ini. Di antara kitab-kitab

tafsir kontemporer yang menggunakan corak ini adalah sebagai berikut : (a) Kasyf al-Asrar

an-Nuaraniyyah al-Quraniyyah karangan Imam Muhammad bin Ahmad al-Iskandari tahun

1297 H, (b) Muqaranah Ba‟dhu Mabahits al-Haiah bi al-Warid fi an-Nushuus asy- Syari‟ah

karya Abdullah Basya Fikri tahun 1315 H, (c) Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur‟an al-Karim karya

Syeikh Thanthawi Jauhari, (d) Karya-karya harun Yahya (Adnan Oktar). Corak Madzhabi

Menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan nuansa atau kecenderungan seorang mufassir

terhadap madzhab aqidah yang diyakininya. Perlu diperjelas bahwa di sini bukan madzhab

yang beroperasi dalam ruang lingkup fiqh tetapi mazhab dalam ruang lingkup aqidah. Di

antara mazhab-mazhab tersebut adalah: ahlussunnah waljama‟ah (sunni), Syi‟ah, Khawarij, Mu‟tazilah, Jabariyah, Shifatiyah, dan Murji‟ah.

Az-Zahabi berkomentar setidaknya ada tiga golongan yang mempengaruhi penafsiran

mereka antara lain ; Golongan yang tidak memahami definisi tajdid (pembaharuan) secara

kompleks. Mereka terkesan memahaminya dengan parsial dan tidak menyeluruh. Oleh sebab

itu mereka meninggalkan seluruh pendapat ulama salaf terdahulu dan menafsirkan ayat-ayat

14 Dedi Wahyudi dan Tuti Alafiah, Studi Penerapan Strategi Pembelajaran Berbasis Multiple

(16)

16

al-Qur‟an sesuai dengan keinginan mereka sendiri dan penafsiran mereka tergolong fasid

sebagai- mana pernyataan Hafizh Imam Jalaluddin as-Suyuthi di dalam kitabnya

al-Itqan. Golongan yang tidak memiliki keilmuan tafsir secara penuh. Sehingga mereka secara langsung merusak “keotentikan” pemahaman al-Qur‟an dengan pendapat-pendapat mereka yang sesat lagi “menyesatkan”. Golongan yang tidak memiliki kapasitas keimanan yang sempurna. “yang menjadi salah satu syarat mufassir”. Dan juga tidak berjalan di atas aqidah yang benar. Terlebih lagi mereka menafsirkan al-Qur‟an dengan akalnya yang sesat dan yang

tidak diridhai oleh agam.

Corak Adabi al-Ijtima‟i Dalam corak ini mufasir dalam menjelaskan al-Qur‟an cenderung meng- gunakan maknanya dari sudut pandang konteks status sosial untuk

menjawab segala permasalahan ummat pada saat ini. Setidaknya ada beberapa perintis di

dalam corak ini. Seperti Muhammad Shahrur, Riffat Hasan, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu

Zayd, Muhammad Arkoun, Abul Kalam Azad, Fazlur Rahman, John Wansbrough, Farid

Essack, dan Sayyid Qutb. Adapun karakteristik dari tafsir kontemporer yang menjadi

keistimewaan tafsir masa ini adalah sebagai berikut: Tidak mengandung kisah-kisah

israilliyat dan nashraniyat. Bersih dari berbagai hadits maudhu‟ (hadits palsu) yang

disandarkan kepada Rasulullah SAW atau kepada sahabat-sahabat beliau. Memadukan

antara teori kekinian atau kontekstualis dengan kaedah teori al-Qur‟an, sehingga terdapat

koherensi antara keduanya. Menyingkap dengan lugas aspek keindahan bahasa al-Qur‟an,

dan sangat singkat dan penjelasannanya tidak membosankan. Dari aspek ini nantinya akan melahirkan corak tafsir adabi ijtima‟i. Tidak ada unsur penafsiran pembelaan terhadap sekte mazhab tertentu. Lebih tepatnya karena permasalahan penafsiran terhadap sekte mazhab

hanyaterjadi pada masa klasik (salaf), sedangkan teori ini sangat bertentangan dari definisi

tafsir kontemporer.

Tafsir kontemporer adalah penafsiran al-Qur‟anul karim yang muncul dan berkembang

dimulai semenjak akhir abad ke-19 sampai saat ini. Munculnya dilatar-belakangi oleh

adanya gerakan pembaharuan (tajdid) Islam. Para ulama (mufassir) yang sangat masyhur

dalam merintis tafsir kontemporer di antaranya adalah Fazlur Rahman, Muhammad Abduh, Sayyid Rasyid Ridha, Muhammad Amin al-Khuli, Fathuimah binti Syathi‟dan lain-lain. Adapun ciri khas dari tafsir kontemporer adalah: bersih dari kisah Israilliyat dan Nashraniyat,

(17)

17

tafsir ini adalah al-Laun al-„Ilmi, al-Madzhabi, al-Ilhadi, adabi al-Ijtima‟i, dan Falsafi. Tafsir

kontemporer telah memberikan kontribusi yang sangat banyak terhadap berbagai persoalan

ummat di era modern. Di antaranya memunculkan metode-metode baru dalam penafsiran al-Qur‟an yang menghasilkan berbagai konstruksi pemikiran baru dalam khazanah keilmuan Islam baik dalam bidang aqidah, fiqih (mu‟amalah) maupun akhlak (etika). Lebih dari itu para mufassir kontemporer juga berupaya memunculkan gagasan-gagasan baru dalam

lapangan politik, ekonomi, militer dan sosial masyarakat.

Lebih dari itu, perubahan kehidupan masyarakat kontemporer mengandaikan perlunya

pengkajian ulang terhadap proses pembukuan (serta pembakuan) hadis, tanpa harus

menafikan muatan spiritualitas Islam yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah. Itu sebabnya, formula yang menyatakan Islam itu “sesuai untuk setiap waktu dan tempat” (ṣāliḥ li kulli zamān wa makān), sebenarnya lebih menunjukkan fleksibilitas dan elastisitas Islam, bukan ortodoksi yang ketat dan kaku. Suatu pandangan yang lebih menekankan pandangan

ke depan (progresif), bukan ke belakang (regresif). Untuk itu, proses pembakuan

(tekstualisasi-normatif) dan dinamisasi (kontekstualisasi-historis) ajaran Islam memang harus

berjalan bersama-sama, seiring dengan gegap-gempita perubahan masyarakat dengan

pelbagai tantangannya. Teks tidak akan mendapatkan maknanya tanpa konteks, begitupun

konteks tidak menemukan signifikansinya tanpa teks.

2. Klasik

Beliau menjelaskan bahwasanya metode klasik sudah banyak menyebabkan

perselisihan antara para ulama. Antara kaum salaf (ortodoks) dan kaum khalaf (kontemporer).

Sehingga dibutuhkan sebuah reformasi ilmu. Penjelasan ini sejalan dengan penjelasan

Kuntowijoyo yang menyeru islamisasi pengetahuan. Artinya mengislamkan ilmu

pengetahuan secara komplit dan abstrak tanpa dikendalikan oleh kekakuan yang memperkecil

ruang lingkup berfikir ummat muslim. Kemudian Rasyid Ridha yang kita kenal sebagai

reformis dalam bidang keilmuan agama dan sosial juga sebagai murid dari Muhammad

Abduh juga menyerukan, serta mendukung aktivitas gurunya sebagai reformer. Semenjak

tahun 1326 H, Rasyid Ridha melakukan perjalanan ke negeri Syam untuk menyumbangkan

ide-ide cemerlangnya tentang keislaman dan permasalahan penting. Tidak kalah pentingnya

Fazlur Rahman, seorang sarjana dan ilmuan dari Pakistan yang sudah menghabiskan

(18)

18

Dalam paradigma tafsir klasik, menurut mereka, asumsi tersebut dipahami dengan cara

memaksakan konteks apapun ke dalam teks al-Qur‟an. Akibatnya, pemahaman yang muncul

cenderung tekstualis dan literalis.15

3. Modern

Kata modern yang penulis pakai sebagai kategori mufassirun kedua mengandung dua

makna. Makna pertama sejalan dengan semangat pemurniaan Islam yang diawali oleh

Muhammad Abdul Wahab pada abad 18 Masehi, yaitu mengembalikan Islam sesuai dengan

yang dinyatakan dalam sumber imannya (al-Qur‟ān dan Sunnah). Mufassir Sayyid Qutb Kata

modern yang penulis pakai sebagai kategori mufassirun kedua mengandung dua makna.

Makna pertama sejalan dengan semangat pemurniaan Islam yang diawali oleh Muhammad

Abdul Wahab pada abad 18 Masehi, yaitu mengembalikan Islam sesuai dengan yang dinyatakan dalam sumber imannya (al-Qur‟ān dan Sunnah). Mufassir Sayyid Qutb. Dalam interpretasi pada ayat diatas menjelaskan bahwa dalam Islam memprioritaskan dalam koridor

mencermati semua kepemilikannya dipastikan halal. Sedangkan batas minimum dan maksimum standar kehidupan Muslim tidak ditentukan dalam al-Qur‟an secara konkrit berarti secara analogi ummat Muslim dibenarkan menguasai harta yang banyak akan tetapi

tidak dalam keadaan mencintai harta tersebut secara berlebihan.16

E. Simpulan

Islam merupakan salah satu agama samawi yang diyakini oleh pemeluknya sebagai

jalan hidup (way of life), tidak dapat dipungkiri transformasi mental dan sosial yang dibawah

oleh Islam telah menarik perhatian berbagai kalangan akademisi baik yang beragama Islam

(insider) maupun non muslim (outsider). Sebagai kitab suci ummat Islam, al-Qur‟an, memiliki segenap mu‟jizat yang sungguh luar biasa. Alquran adalah kitab induk, rujukan utama bagi segala rujukan, sumber dari segala sumber, basis bagi segala sains dan ilmu

pengetahuan. Dengan demikian, Alquran dan Hadits merupakan sumber ilmu yang

dikembangkan oleh umat Islam dalam spektrum yang seluas-luasnya.

Secara umum perkataan tafsir mengandung arti menjelaskan, menguraikan atau dapat

dikatakan bahwa tafsir mengandung arti penjelasan atau penafsiran. Sementara itu, secara konseptual tafsir sering didefiniskan sebagai kasyf al-murad „an al-lafdh al-musykil (menjelaskan apa yang dimaksudkan dari kalimat yang sulit) Dalam bahasa teknis, tafsir lalu

15Asep Setiawan, “Studi Kritis atas Teori Ma‟na -cum-Maghza dalam Penafsiran al-Qur‟an,”

Jurnal Kalimah 14, no. 2 (September 2016): 228, doi:http://dx.doi.org/I 0.2 I I I I/klm/v/4i2.6I4.

16Nurkhalis, “

(19)

19

digunakan dalam arti penjelasan, penafsiran dan komentar terhadap al-Quran yang berisi

langkah-langkah untuk memperoleh pengetahuan yang berperan membantu memahami al

Quran, menjelaskan makna dan mengklarifikasi implikasi-implikasi hukumnya. Karena itu,

para praktisi tafsir mendefenisikan tafsir sebagai ilmu yang berhubungan dengan upaya

memahami atau menjelaskan makna al-Quran dalam batas kapasitas manusia. Penafsiran

Kontemporer berarti sezaman atau sewaktu, Dalam paradigma tafsir klasik, menurut mereka,

asumsi tersebut dipahami dengan cara memaksakan konteks apapun ke dalam teks al-Qur‟an.

Akibatnya, pemahaman yang muncul cenderung tekstualis dan literalis,17 Kata modern yang

penulis pakai sebagai kategori mufassirun kedua mengandung dua makna. Makna pertama

sejalan dengan semangat pemurniaan Islam yang diawali oleh Muhammad Abdul Wahab

pada abad 18 Masehi, yaitu mengembalikan Islam sesuai dengan yang dinyatakan dalam sumber imannya (al-Qur‟ān dan Sunnah).

Dalam konteks penelitian al-Qur‟an dan Tafsir, sebenarnya para ulama telah banyak melakukan model kajian tokoh.18 Ilmu-ilmu keagamaan dan mengambil jarak terhadap ilmu-ilmu umum, sebagai produk warisan “kaum kafir”. Materi yang dipelajari masih berkisar nahu, syaraf, bayan, tafsir, dan sejenisnya. Materi diberikan secara teoritis dalam bentuk

hafalan, tanpa muatan analisa secara kritis terhadap materi yang dipelajarinya secara

sempurna.19 Jadi sejarah metodologi implementasi Al-Qur‟an dan Al- Hadist priode klasik,

modern hingga kontemporer merupakan metode yang digunakan untuk mengkaji sejrah

perkembangan penafsiran dari priode klasik, modern sampai kontemporer sebagai upaya

penerapan pendekatan keagamaan. Demi mewujudkan ilmu komprehensif yang dapat

digunakan oleh semua sudut pandang.

17Setiawan, “Studi Kritis atas Teori Ma‟na -cum-Maghza dalam Penafsiran al-Qur‟an.” 18Abdul Mustaqim, “Model Penelitian Tokoh (Dalam Teori dan Aplikasi),”

Jurnal Studi Ilmu-Ilmu

al-Qur’an dan Hadis 15, no. 2 (Juli 2014): 264.

(20)

20 REFERENSI

,Abd. Rahman Jaferi dan Nurul Djazimah, Rahmadi. “Dinamika Pemikiran Sarjana Muslim tentang Metodologi Studi Agama di Indonesia: Kajian terhadap Literatur Terpublikasi

Tahun 1964-2012.” Tashwir 1, no. 2 (Juli 2013): 31–36.

Amin, Muhammad. “Kontribusi Tafsir Kontemporer Dalam Menjawab Persoalan UMMAT.”

Jurnal Substantia Vol. 15, No. 1, 15, no. 1 (April 2013): 1.

Anshori, Ari. “Corak Tafhim Al-Qur‟an Dengan Metode Manhaji.” PROFETIKA, Jurnal Studi Islam 16, no. 1 (Juni 2015): 25.

Hauqola, Kholis. “Hermeneutika Hadis: Upaya Memecah Kebekuan Teks N.” TEOLOGIA

24, no. 1 (Juni 2013): 2.

Mahmudah, Nur. “Al-Qur‟an Sebagai Sumber Tafsir Dalam Pemikiran Muhammad Shahrur.” Hermeunetik 8, no. 2 (Desember 2014): 259.

Maslahah, Ani Umi. “Al-Qur‟an, Tafsir Dan Ta‟wil Dalam Persepektif Sayyid Abu Al-A‟la Al-Maududi.” Hermeneutik 9, no. 1 (Juni 2015): 22.

Mudawam, Syafaul. “Syari‟ah-Fiqih-Hukum Islam Studi tentang Konstruksi Pemikiran Kontemporer.” Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum 46, no. II (Juli 2012): 408–500.

Mustaqim, Abdul. “Model Penelitian Tokoh (Dalam Teori dan Aplikasi).” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis 15, no. 2 (Juli 2014): 264.

Nizar, Samsul. “Pendidikan Islam Di Era Masyarakat Ekonomi Asean.” AKADEMIKA XI (Juni 2016): 8.

Nugroho, Wahyu. “Orang Kristen Dalam Al-Qur‟an Belajar dari Tafsir Surah Al-Baqarah

(2):62 dan Al-Ma‟idah (5):82-83.” GEMA TEOLOGI 39, no. 2 (Oktober 2015): 208. Nurkhalis. “Positifikasi Asketisme Dalam Islam Dengan Pendekatan Paradigma Klasik dan

Modern.” AKADEMIKA 20, no. 01 (Juni 2015): 93.

QS. Al Hijr: 30-31, n.d.

Qutub, Sayid. “Sumber-Sumber Ilmu Pengetahuan Dalam Al Qur‟an dan Hadits.”

Humaniora 2, no. 2 (Oktober 2011): 1349.

Sakni, Ahmad Soleh. “Model Pendekatan Tafsir Dalam Kajian Islam.” JIA 2, no. XIV (Desember 2013): 63–65.

Setiawan, Asep. “Studi Kritis atas Teori Ma‟na -cum-Maghza dalam Penafsiran al-Qur‟an.”

(21)

21

Wahyudi, Dedi. “Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif Pendidikan Akhlak Dengan Program Prezi (Studi di SMP Muhammadiyah 2 Mlati Sleman Tahun Ajaran

2013-2014).” JURNAL JPSD (Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar) 1, no. 1 (2015): 146–161.

Wahyudi, Dedi, dan Tuti Alafiah. “Studi Penerapan Strategi Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam.” MUDARRISA: Jurnal Kajian Pendidikan Islam 8, no. 2 (2016): 255–282.

Zuhriyah, Luluk Fikri. “Metode dan Pendekatan Dalam Studi Islam Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams.” Islamica 2, no. 1 (September 2007): 38.

Referensi

Dokumen terkait

Sistem pengendalian internal adalah sesuatu yang memiliki bagian-bagian yang saling berkaitan dengan tujuan untuk mencapai tujuan-tujuan yang di harapkan untuk memisahkan

ransaksi adalah elemen ma8or ke@d"a dalam model kom"nikasi ransaksi adalah elemen ma8or ke@d"a dalam model kom"nikasi keseha#an...  7an#i nisa bisa

Pendekatan fenomenologi menggunakan pola pikir subjektivisme yang tidak hanya memandang masalah dari suatu gejala yang tampak, akan tetapi berusaha menggali makna

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat

Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh perencanaan anggaran dan kualitas sumber daya manusia baik secara bersama-sama maupun secara

Heaven and earth cry out Your name Nations rise up and seek Your face And Your kingdom is established As I live to know You more Now I will never be the same Spirit of God my

Evaluasi berdasarkan fitur utama website (Tabel 1) dimaksudkan untuk menilai sejauh mana fitur-fitur utama atau fitur dasar pada website mudah dilihat, digunakan, dan

Jumlah produksi jagung respnden di Desa Bange Kecamatan Sangau Ledo dijelaskan sebesar 97,00% oleh faktor-faktor penggunaan benih, jumlah penggunaan pupuk urea, jumlah