• Tidak ada hasil yang ditemukan

Orang Asli Politik Identitas Suku Akit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Orang Asli Politik Identitas Suku Akit "

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Orang Asli :

Kementerin Sosial Repoblik Indonesia. Selain di Karimun, suku ini tersebar di beberapa daerah seperti Pulau Rupat, Selat Akar, Selat Panjang dan Pulau Rangsang. Suku Akit yang hidup menetap di pulau Karimun telah lama mengalami marginalisasi. Mereka dipandang sebagai masyarakat yang terkebelakang, miskin, kotor dan tidak berpendidikan. Era reformasi yang membuka keran desentralisasi telah memberikan peluang kepada masyarakat di daerah untuk mengambil peran dalam kontestasi politik dan sumberdaya. Tidak terkecuali suku Akit di Karimun, mereka turut memainkan politik identitas dengan melakukan legitimasi historis dan kultural, membuat lembaga adat suku asli sebagai usaha untuk mendapatkan legitimasi dari pemerintah, melakukan perkawinan dengan etnis lain, hingga merubah mata pencaharian. Semua ini dilakukan untuk merekonstruksi identitas orang Akit dalam rangka kontestasi sumberdaya dan mempertahankan ruang hidup mereka.

Kata kunci : Suku Akit, politik identitas

Pendahuluan

Latif (2009) mengatakan saat ini politik identitas -yang mengukuhkan perbedaan identitas kolektif etnis, agama dan bahasa- mengalami gelombang pasang. Menguatnya politik identitas dapat dilihat dari maraknya gerakan-gerakan serba kedaerahan, keagamaan, kesukuan, bahkan sampai gerakan cara berpakaian yang melambangkan kedaerahan dan keagamaan tertentu. (Dalam Setyanto, Widya P dan Holomoan Pulungan, 2009). Mengapa hal ini dapat terjadi?. Maarif mengatakan politik identitas berkaitan dengan kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang merasa diperas dan tersingkir oleh dominasi arus besar dalam sebuah bangsa atau negara. Kemunculan politik identitas sesungguhnya didorong oleh adanya perlakuan yang tidak adil sehingga ingin memberlakukan prinsip persamaan dalam masyarakat luas. Jadi politik identitas bukan muncul karena alasan identitasnya itu sendiri (Maarif, 2012).

(2)

makin banyak dipakai oleh para politisi dan penguasa tingkat lokal untuk mendapatkan kue kekuasaan, baik di bidang politik maupun ekonomi (Haboddin, 2012). Selain itu, kebangkitan politik identitas dapat juga dipahami sebagai mekanisme adaptasi masyarakat terhadap tingginya tingkat ketidakpastian di zaman demokrasi, yang membuat kompetisi perebutan sumber daya ekonomi dan politik menjadi semakin keras. Mobilisasi jaringan kekerabatan, etnis dan keagamaan kemudian diciptakan untuk memenangkan persaingan yang keras tersebut (Buchari, 2014).

Apa yang dikatakan Latif, Maarif, Haboddin dan Buchari, benar adanya. Pada masa pemerintahan orde baru, pemerintah menjalankan politik sentralistik dimana identitas kelokalan dibungkam demi memupuk identitas nasional. Namun kenyataannya, pemerintah yang berasal dari etnis jawa tidak mampu mengenyampingkan etnisnya sendiri. Pemerintah justru menjalankan politik identitas etnis, dimana etnis Jawa menjadi sangat dominan dan menguasai bidang pemerintahan, politik bahkan sosial budaya. Sebaliknya, etnis yang lain kurang mendapatkan akses dan kesempatan dalam berbagai bidang. Kondisi lebih parah jusru dihadapi oleh komunitas adat yang oleh pemerintah orde baru dipandag sebagai suku terasing, terkebelakang, primitif, masih animis dan merupakan beban bagi negara. Cara pandang ini membuat negara menerbitkan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk memodernkan suku-suku terasing, diantaranya kebijakan pemaksaan memeluk salah satu agama yang diakui pemerintah, dan memaksa diberlakukannya sistem pemerintahan desa serta menghapus sistem pemerintahan adat. Pelabelan sebagai suku terasing telah menjadi alat untuk menekan dan menguasai rakyat dengan berbagai program yang dilaksanakan dengan dalih untuk pembangunan namun tidak memperhatikan kebutuhan dan hak-hak masyarakat yang akan dibangun.

(3)

menerima penamaan sebagai suku terasing, maka mereka akan dapat memperjuangkan hak-hak mereka yang telah lama diabaikan (Bourchier, 2010).

Apa dan bagaimana suatu politik identitas?. Menurut Maarif, hingga hari ini tidak jelas siapa yang menciptakan istilah politik identitas. Namun konsep ini dijelaskan pertama kali oleh L.A. Kauffman yang melacak asal-usulnya pada gerakan mahasiswa anti kekerasan di Amerika Serikat awal tahun 1960-an (Maarif, 2012). Ada berbagai defenisi politik identitas, misalnya Buchari (2014) yang mengatakan Politik identitas adalah aliran politik yang ingin melibatkan seseorang atau kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan karakteristik , seperti suku, agama, etnisitas, gender, jenis kelamin dan orientasinya. Castells (2010) mengatakan politik identitas adalah partisipasi individual pada kehidupan sosial yang lebih ditentukan oleh budaya dan psikologis seseorang.

Cressida Heyes (2007) mengatakan politik identitas adalah tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender atau keagamaan. Menurutnya politik identitas adalah aktivitas politik dalam arti luas yang secara teoritik menemukan pengalaman-pengalaman ketidak adilan yang dirasakan kelompok tertentu dalam situasi sosial tertentu. Politik identitas lebih mengarah pada gerakan dari “kaum yang terpinggirkan” dalam kondisi sosial, politik dan kultural tertentu dalam masyarakat (Dalam Harahap, 2014). Donald L Morowitz (1998) mendefinisikan politik identitas sebagai pemberian garis yang tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak (dalam Habbodin, 2012). Berbagai defenisi diatas memberikan pengertian kepada kita bahwa politik identitas memiliki ranah yang luas, tidak hanya digunakan dalam bidang politik untuk memperoleh kekuasaan, tetapi juga digunakan dalam bidang sosial dan ekonomi.

(4)

bentuk bangunan identitas tersebut, maka identitas yang dibangun oleh komunitas adat adalah bentuk yang kedua, yaitu sebagai resistensi atas dominasi.

Kajian mengenai politik identitas di Indonesia telah banyak dilakukan. Kajian Asmu’ie (2006) misalnya, berusaha menjelaskan integrasi politik yang dilakukan ketua adat, pemuka masyarakat, tokoh agama dan pemerintah daerah Ketapang. Hasil kajiannya menemukan bahwa teori sentimen primordial Geertz, yang mengatakan bahwa perbedaan suku, budaya, bahasa dan agama merupakan sumber konflik, tidak berlaku dalam masyarakat Ketapang karena kondisi sosial dan karakter budaya masyarakat mempengaruhi pola hubungan sosial antar etnis yang terjadi di Ketapang. Yekti Maunati (2004) telah melakukan penelitian mengenai konstruksi identitas suku Dayak di Kalimantan Timur. Yekti menyebutkan keterpurukan kehidupan ekonomi dan politik suku Dayak justru disebabkan oleh label sebagai suku terkebelakang yang dilekatkan kepada mereka, yang pada akhirnya mengakibatkan terampasnya hak-hak ekonomi dan politik mereka. Perkembangan sektor pariwisata di Kalimantan Timur menurut Yekti telah menjadi pemantik kebangkitan identitas dan kebudayaan suku Dayak yang baru. Kebangkitan identitas tersebut telah memungkinkan orang-orang Dayak perlahan-lahan menghapus label sebagai etnis terbelakang, kotor dan liar yang pernah dilekatkan kepada mereka.

Sementara itu, Buchari (2014) melakukan penelitian mengenai politik identitas etnis Dayak di Kalimantan Barat. Ia menemukan bahwa politik identitas orang Dayak muncul karena adanya marjinalisasi dan diskriminasi serta adanya momentum demokrasi dan desentralisasi yang membuka ruang ekspresi politik etnis. dengan hasil penelitiannya, Buchari mengajukan teori bahwa marginalisasi dan diskriminasi yang dialami oleh suatu etnis dalam waktu yang sangat lama membuat ikatan emosional etnis semakin erat dan kuat, karena adanya common cause, common goal, common interest dan akhirnya memunculkan politik identitas, yang merupakan aliran politik dengan melibatkan seseorang atau kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan karakteristik, seperti agama, etnis dan budaya.

(5)

dilakukan suku anak rawa dalam menghadapi dominasi adalah dengan mengkombinasikan antara perlawanan dengan sikap tunduk. Disatu sisi mereka melawan dengan membangun aliansi dengan organisasi sosial di Pekanbaru untuk menyuarakan hak-hak mereka berkenaan dengan penguasaan tata ruang. Dan di lain sisi mereka membuka diri terhadap peluang akses sumber daya ekonomi yang diberikan perusahaan.

Maksum (2015) melakukan penelitian mengenai politik identitas masyarakat Tengger dalam mempertahankan sistem budaya mereka. Maksum menemukan bahwa dalam menghadapi tekanan Islam dan kekuasaan negara, masyarakat tengger memperkuat tradisi dan sistem budaya mereka dengan memaknai ideologi Islam maupun Hindu sebagai sesuatu yang hanya melekat secara simbolik dalam kehidupan masyarakat Tengger, sehingga melahirkan suatu bentuk sinkretis yang tidak menghilangkan identitas budaya Tengger. Paper ini mirip dengan dua hasil penelitian terakhir, namun mengambil fokus pada etnis yang berbeda. Paper ini berusaha melihat politik identitas orang Akit di Karimun yang dimainkan bukan untuk memperoleh kekuasaan politik, tetapi sebagai usaha mempertahankan sumberdaya dan ruang hidup yang selama ini mereka miliki. Selain itu politik identitas ini digunakan untuk melawan marginalisasi yang telah lama mereka alami.

Suku Akit di Karimun

Dalam daftar Komunitas Adat Terpencil yang dilansir Kementerin Sosial Repoblik Indonesia, Suku Akit dikenal sebagai salah satu suku terasing yang bermukim di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Dalam pengertian umum mereka juga dianggap sebagai bagian dari suku laut karena tempat bermukim dan kehidupan sehari-hari mereka terkait erat dengan laut, selat dan sungai (Limbeng & Muchtadin, 2011) ; (Kamaruddin dan Bunari, 2016). Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka menangkap ikan, udang atau kepiting dan mencari kayu bakar. Menetapnya suku akit di Rupat merupakan perintah Sultan Siak pada sekitar awal abad 18, pada masa itu suku akit turut mengabdi kepada sultan sebagai angkatan laut kerajaan. Sebelum bermukim di Rupat, suku akit tinggal di dalam rakit dan hidup berpindah-pindah di sepanjang bibir pantai di sekitar selat Malaka hingga ke Semenanjung Malaya. Pola hidup mereka dalam rakit inilah yang menjadi asal usul penamaan suku akit (Limben dan Muchtadin, 2011).

(6)

tidak sama persis, sehingga menuntut pola adaptasi yang berbeda-beda. Di Pulau Rupat, pola pemukiman warga suku akit sudah berbaur dengan etnis lain di Indonesia seperti Batak, Melayu, Bugis, dan Cina. Interaksi antara suku akit dengan enis lainnya sudah terjalin dengan cukup baik. Akan tetapi di Pulau Karimun, yang masuk dalam wilayah Kabupaten Karimun Provinsi kepulauan Riau, suku akit menetap di Teluk Setimbul Darat serta Teluk Setimbul Laut Kelurahan Pasir Panjang Kecamatan Meral. Pemukiman orang akit di Teluk Setimbul Darat dan Laut ini terletak di bagian Barat Laut Pulau Karimun, yang berbatas langsung dengan Selat Malaka, jauh dari pusat pemukiman masyarakat Karimun. Posisi geografis ini menjadi salah satu sebab warga suku akit di Karimun relatif kurang berinteraksi dengan masyarakat Karimun lainnya baik suku Melayu yang mayoritas, maupun etnis pendatang seperti Minangkabau, Jawa, Sunda dan Batak. Kurangnya interaksi dengan etnis lain memunculkan stereotipe terhadap Suku Akit. Stereotip adalah gambaran yang dimiliki seseorang atau kelompok orang yang merupakan rekonstruksi subjektif terhadap kondisi atau keadaan orang lain. Karena sifatnya yang subjektif, stereotip sering dianggap sebagai suatu gambaran yang salah atau tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya [lihat : Lippman (1922); Hayakawa (1950); Bogardus (1950)]. Stereotipe terhadap suku akit menyebar luas dalam masyarakat Karimun, yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya marginalisasi terhadap suku akit di Karimun.

Foto : Tugu Selamat Datang di Teluk Setimbul

Sumber : Data primer Foto : Peta letak Teluk

Setimbul

(7)

Marginalisasi Suku Akit di Karimun

Jauh sebelum Indonesia merdeka, orang Akit Teluk Setimbul hidup dalam kecukupan. Mereka bekerja sebagai nelayan, mencari kayu di hutan, membuat arang dan juga bertani. Pertanian dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan kelompok mereka sendiri, sedangkan hasil laut, kayu dan arang dijual kepada toke Cina di Singapura atau Malaysia. Dari para toke tersebut orang akit mendapatkan kebutuhan mereka yang lain seperti makanan dan minuman kaleng, tembakau, pakaian hingga perkakas rumah tangga. Hubungan patron-klien antara toke dengan suku akit berjalan baik hingga sekitar tahun 1960-an dimana orang akit tidak bebas lagi memasuki wilayah Singapura atau juga Malaysia. Terbatasnya akses orang akit ke Singapura dan Malaysia membuat orang akit harus mencari kebutuhannya dari para pedagang lokal di Karimun. Hubungan dagang ini kurang menguntungkan bagi suku akit karena para pedagang di Karimun hanya menerima hasil laut, sedangkan arang dan kayu kurang laku, yang menyebabkan menurunnya pendapatan warga suku akit. Sementara, barang kebutuhan pokok yang harus mereka beli dari pedagang lokal harganya lebih mahal dari pada toke Cina dari Singapura. Masa-masa ini kemudian menjadi masa kehidupan yang sulit bagi warga suku akit di Karimun. Karena rendahnya tingkat pendapatan warga suku akit, mereka kemudian lebih dikenal sebagai masyarakat miskin dan kotor, suatu stereotip yang sangat menyakitkan bagi orang Akit. Jamil (40 Th) salah seorang warga di Tanjung Balai Karimun mengatakan :

“orang-orang akit di Sitimbul sekitar tahun 1980-an masih terkebelakang. Kebanyakan laki-laki di Sitimbul hanya memakai celana dan tidak memakai baju, kecuali jika mereka akan pergi ke Tanjung Balai atau ke pasar. Mereka juga dikenal sebagai masyarakat yang kurang bersih karena memelihara babi di dalam kampung. Bahkan babi dan anjing leluasa masuk ke dalam rumah mereka”.

(8)

Sebelum tahun 1973, satu-satunya jalur transportasi dari Tanjung Balai Karimun ke Teluk Setimbul adalah melalui laut, sehingga pada waktu itu sangat jarang masyarakat di Tanjung Balai Karimun pergi ke pemukiman orang akit. Hubungan mereka terjadi hanya sebatas hubungan perdagangan kebutuhan pokok saja. Meksipun Karimun adalah wilayah kepulauan, namun ternyata masyarakat dan pemerintah daerah pada waktu itu berpandangan lokasi pemukiman suku akit tersebut merupakan lokasi yang jauh, karena tidak adanya akses jalan darat. Dengan pandangan seperti itu, masyarakat suku akit menjadi kurang diperhatikan sehingga kurang mendapat “jatah” pembangunan infrastruktur ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Pembangunan jalan darat ke wilayah Teluk Setimbul baru dilakukan sekitar Tahun 1973 dengan beroperasinya PT. Karimun Granit. Namun pembukaan perusahaan ini berdampak buruk terhadap mata pencaharian suku akit sebagai nelayan. Proses pengambilan granit dengan cara pengeboman dinding tebing yang dilakukan oleh perusahaan membuat menurunnya jumlah ikan di sekitar perairan Teluk Setimbul. Selain itu, getaran yang disebabkan proses pengeboman menyebabkan kerusakan sebagian rumah warga yang sudah terbuat dari beton. Atas gangguan tersebut suku akit melakukan perlawanan berupa demonstrasi dan menuntut perusahaan memberikan ganti rugi. Salah seorang Ketua Rukun Tetangga di Teluk Setimbul mengatakan bahwa perusahan belum memberikan kompensasi atas kerusakan bangunan rumah mereka. Sebaliknya, aksi demonstrasi yang dilakukan membuat warga suku akit mendapat stereotip sebagai suku yang gemar melakukan protes dan kekerasan.

Selain tekanan ekonomi, suku akit di Karimun juga mendapatkan tekanan kultural. Hal ini terjadi saat kebijakan pemerintah orde baru menetapkan bahwa agama harus masuk kedalam kartu identitas penduduk. Orang suku akit pada waktu itu memeluk agama warisan

Foto : Salah satu rumah warga suku Akit di Setimbul Laut

(9)

nenek moyang, yang merupakan sikretisme antara ajaran nenek moyang dan Konghucu. Karena memeluk agama nenek moyang, pemerintah dan juga masyarakat Karimun menganggap suku akit sebagai masyarakat yang belum beragama sehingga perlu diajarkan untuk beragama. Sekitar tahun 1980-an mulai dibangun gereja oleh persatuan Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB). Beberapa tahun setelah itu dibangun pula dua buah gereja. Satu Gereja Metodhist Indonesia dengan sumber dana dari jemaat Kristen Singapura dan satu lagi gereja yang dibangun jemaat Kristen dari Korea. Kehadiran gereja ini tidak ditentang oleh warga suku akit, karena sering memberikan bantuan bahan makanan dan pendidikan bagi anak-anak mereka. Namun, anak-anak mereka tidak lagi memeluk agama tradisi nenek moyang karena telah menjadi kristiani. Untuk kepentingan pendataan penduduk, warga suku akit memilih mencatatkan diri sebagai pemeluk Budha, karena pada masa itu Konghucu belum diakui oleh pemerintah. Efeknya mereka tidak dapat membuat rumah ibadah dan hanya membuat tempat memuja roh leluhur di dalam rumah masing-masing yang mereka sebut “Lok” atau Pekong.

Rekonstruksi Identitas : Resistensi Suku Akit di Karimun

Untuk menghadapi marginalisasi dan dominasi dalam kehidupan mereka, orang Akit di Karimun melakukan perlawanan dengan merekonstruksi identitas mereka. Mereka menekan atau berupaya menggeser penyebutan mereka sebagai suku Akit dengan menyatakan diri sebagai orang “asli” Pulau Karimun. Rekonstruksi identitas yang dilakukan orang Akit ini berbeda dengan politik identitas yang dimainkan dalam arena perebutan kekuasaan sebagaimana yang disampaikan oleh Kemala Chandakirana (1989). Ia mengatakan bahwa politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik

Foto : Lok atau Pekong di rumah warga

(10)

dengan sebutan kami “orang asli” yang menghendaki kekuasaan dan mereka “orang pendatang” yang harus melepaskan kekuasaan. Singkatnya, politik identitas sekedar untuk dijadikan alat manipulasi guna memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya. Sedangkan dalam kasus orang Akit di Karimun, politik identitas dijalankan untuk menjaga dan mengamankan sumber daya serta ruang hidup mereka, baik dari korporasi maupun dari pemerintah. Saat kunjungan pertama kami ke perkampungan orang Akit di Karimun, sebagai orang asing kami diterima dengan tatapan dan perasaan curiga. Mereka mengira kami utusan dari pihak-pihak tertentu yang ditugaskan untuk membebaskan lahan. Sikap kecurigaan seperti itu menunjukkan kekhawatiran mereka atas kebijakan relokasi atau “pamaksaan” alih fungsi lahan mereka menjadi pabrik atau tempat wisata, yang pada akhirnya mengancam sumber daya serta ruang hidup mereka.

Untuk memuluskan rekonstruksi identitas sebagai orang asli Karimun, orang Akit melakukan berbagai usaha diantaranya : melakukan legitimasi historis dan kultural, membuat lembaga suku asli sebagai usaha untuk mendapatkan legitimasi dari pemerintah, melakukan perkawinan dengan etnis lain, hingga merubah mata pencaharian.

1. Legitimasi Historis dan Kultural

Secara Historis, klaim sebagai orang asli Karimun didasarkan pada cerita sejarah nenek moyang mereka yang telah berkelana di laut Karimun sejak masa Sriwijaya. Dimana pada masa itu Karimun menjadi salah satu pos keamanan laut kerajaan. Hal ini dikuatkan dengan bukti adanya prasasti beraksara nagari dari abad ke IX yang sekarang dikenal sebagai prasasti pasir panjang (Lihat : Suwardi, 1991). Klaim suku Akit atas keberadaan nenek moyang mereka di Karimun pada masa Sriwijaya didasarkan kepada keyakinan turun-temurun bahwa nenek moyang mereka merupakan keturunan orang cina Tiou Cu (cina Tio Tsjoe) yang melakukan perkawinan dengan orang laut yang ada di wilayah Kepulauan Riau pada masa Sriwijaya. Selain itu, hingga saat ini mereka masih melaksanakan tradisi berziarah dan berdoa ke situs prasasti pasir panjang pada tanggal 15 setiap bulan mengikuti sistem penanggalan Tionghoa. Selain sebagai ibadah, ziarah tersebut juga menegaskan adanya hubungan antara keberadaan nenek moyang mereka dengan prasasti pasir panjang tersebut.

(11)

Budha atau Konghucu. Dalam ajaran agama leluhur orang Akit di karimun, setiap orang diajarkan untuk percaya dan berdoa kepada tiga sosok kekuatan supernatural yang dikenal dengan sebutan Panglima Hitam, Panglima Merah, dan Panglima Kuning. Panglima Hitam adalah yang paling kuat dan menjaga alam darat. Panglima Kuning menjaga laut dan Panglima Merah menjaga langit dan bertindak sebagai saksi kehidupan. Selain melakukan ritual permohonan doa kepada tiga sosok kekuatan supernatural tersebut, warga suku akit juga melakukan pemujaan terhadap roh leluhur. Semua pemujaan tersebut dilakukan pada waktu pagi dan sore hari, dengan membakar hio sambil berdoa di dalam hati meminta perlindungan dan kemudahan dalam manjalani kehidupan di dunia.

Sembahyang atau pemujaan yang penting dalam ajaran agama leluhur orang Akit adalah ritual bulanan yang dilakukan setiap tanggal 15 dalam penanggalan Cina. Ritual ini dikenal dengan nama sembahyang lima belas hari bulan. Ritual ini dilakukan di suatu rumah ibadah yang disebut Rumah Tamu1, dan dipimpin oleh seorang bomo atau dukun. Untuk pelaksanaan ritual ini dibutuhkan hidangan berupa Kepala Jamu Bendera Tiga, 2 talam ganding dan makanan lainya. Kepala Jamu Bendera Tiga adalah makanan yang terdiri dari pulut merah (wajik), pulut kuning, 3 buah telur rebus dan 3 buah bendera warna kuning, merah dan hitam. Pulut merah (wajik) diletakkan secara mendatar di atas talam, mengikuti bentuk talam (bulat pipih). Di atasnya diletakkan pulut kuning dengan bentuk tumpeng (kerucut). Kemudian di puncak pulut kuning disusun tiga buah telur rebus yang sudah ditusuk dengan bendera kuning, merah dan hitam. Dua Talam Gandeng adalah 2 buah talam di samping Kepala Jamu Bendera Tiga (sebagai kawan) yang berisi 1 piring pulut merah, 1 piring pulut kuning, bertih, pisang dan 1 butir telur. Sesudah prosesi sembahyang di Rumah Tamu , 2 talam ini dibawa ke kolah (kulah) Panglima Batu Berendam yang terletak tidak jauh dari Rumah Tamu.

Kepala Jamu dibuat oleh orang yang ditunjuk pemimpin ritual. Para peserta lain yang hadir juga diharuskan membawa hidangan berupa kue-kue yang jenis dan jumlahnya tidak

(12)

ditentukan. Seorang informan bernama Ati (63 Th) mengatakan ritual ini telah diwariskan secara turun-temurun, namun ia tidak mengetahui bagaimana sejarah mula ritual tersebut. Pemimpin ritual terakhir yang masih mereka ingat bernama pak Koyan. Beliau adalah tokoh karismatik kebanggan orang Akit. Setelah pak Koyan meninggal, pelaksanaan ritual dipimpin oleh keponakannya yang bernama Engsun. Salah seorang muridnya yang bernama Likun, kemudian juga mendirikan sebuah Rumah Tamu lain dan melaksanakan serta memimpin pelaksanaan upacara lima belas hari bulan. Menurut Engsun, upacara yang ia laksanakan berbeda dengan ritual yang dilaksanakan Likun dan pengikutnya. Selain ritual bulanan tersebut, orang Akit juga merayakan Imlek dan cap go meh. Bedanya, kedua ritual tersebut tidak dilaksanakan di Rumah Tamu, tetapi di situs prasasti pasir panjang.

Generasi muda orang Akit di Karimun, terutama yang lahir periode 1980-an dan seterusnya, telah banyak yang memeluk agama Budha atau Kristen. Mereka memilih Budha karena ajarannya dianggap tidak melarang orang Akit memohon perlindungan kepada ketiga Panglima dan roh para leluhur. Generasi tua orang Akit kurang menyukai anak-anak mereka memeluk agama Kristen atau Islam karena ajarannya melarang anak mereka memuja roh leluhur. Ajaran Islam dan Kristen dinilai memutus hubungan antara seorang manusia dengan roh leluhurnya. Generasi muda orang Akit yang menjadi pemeluk Kristen mengatakan bahwa mereka tidak memiliki alasan khusus memeluk ajaran Kristen. Perkenalan mereka dengan gereja berawal dari sekolah mingguan yang diadakan oleh pengurus gereja untuk mengajarakan anak-anak orang Akit belajar membaca dan berhitung. Anak-anak ini kemudian menjadi pemeluk Kristen. Ada pula sedikit orang Akit yang memeluk Islam. Mereka yang memilih Islam umumnya dilatarbelakangi oleh alasan perkawinan. Orang Akit yang telah memeluk Islam umumnya tinggal menetap di luar Kampung Teluk Setimbul. Ada

Foto : Foto Pak Koyan

Sumber : Data primer Foto : Rumah Tamu buatan Likun

(13)

yang pindah ke kampung yang berbatasan dengan Teluk Sitimbul, seperti Teluk Senang dan Sepedas yang warganya mayoritas beragama Islam, dan ada pula yang pindah ke daerah lain di Karimun. Saat kunjungan kami ke Teluk Setimbul, hanya satu orang yang telah memeluk Islam dan masih tinggal di Teluk Setimbul.

Meskipun orang Akit di Karimun telah memeluk berbagai agama resmi di Indonesia, namun ada kesadaran dalam generasi tua orang Akit untuk melestarikan agama lokal (agama leluhur mereka2) sebagai identitas orang Akit. Mereka menyadari bahwa keberadaan agama

lokal dapat dijadikan sebagai salah satu bukti atas klaim keaslian mereka. Kesadaran ini kemudian mereka tularkan kepada generasi muda, sehingga meskipun telah memeluk agama lain, mereka tetap mengikuti berbagai ritual peribadatan agama leluhur dan memaknainya sebagai suatu tradisi yang menegaskan identitas mereka sebagai orang Asli Karimun.

2. Mendirikan Lembaga Adat Suku Asli Karimun (LASAK)

Sejak era otonomi daerah, isu-isu mengenai putera daerah mulai mengemuka dan bahkan menjadi konflik dalam perebutan hak atas tanah, tidak terkecuali di Karimun. Melihat kondisi ini beberapa orang warga suku Akit di Karimun berinisiatif membuat suatu lembaga yang mewadahi suku Akit dan sekaligus melegitimasi keberadaan mereka sebagai orang Asli. Pembentukan LASAK diawali dengan pertemuan pada tanggal 9 april 2012 di Lembah Murni Kelurahan Pasir Panjang, yang dihadiri oleh tokoh adat dan tokoh pemuda suku asli karimun.

2 Agama lokal ini mereka sebut dengan berbagai nama. Ada yang menyebut agama Asli

namun ada pula yang menyebutkan agama Islam Kalimun. Menurut penuturan informan bernama Lisun, penyebutan Islam Kalimun dikarenakan ada ritual agama leluhur mereka yang sama dengan ritual dalam ajaran Islam yaitu, perayaan malam tujuh likur, pelaksanaan kenduri 2 hari sebelum hari raya Idul Fitri dan turut merayakan hari raya Idul Fitri. Kami menduga, ajaran islam telah masuk ke dalam ajaran agama lokal orang Akit. Pencampuran ini terjadi karena sejak masa kejayaan kerajaan Islam di Wilayah

Foto : Situs Prasasti Pasir Panjang

(14)

Musyawarah tersebut menghasilkan kesepatakan untuk membentuk kepengurusan Lembaga Adat Suku Asli Karimun (LASAK) pada tanggal 9 April 2012, dengan ketua Kim A, sekretaris Firmansyah, bendahara A Bun Tjun. Pada tanggal 8 september 2014 pengurus yang telah dibentuk mendaftarkan organisasi mereka ke Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintahan Desa dan Kesatuan Bangsa (BPMPD & KESBANG) Kabupaten Karimun. Pada tanggal 24 September 2014, BPMPD Kab Karimun menerbitkan surat keterangan bahwa LASAK telah terdaftar sebagai Organisasi Kemasyarakatan. Dengan disyahkannya LASAK, orang Akit mulai menggeser penyebutan mereka sebagai orang Akit, dan lebih senang jika disebut orang Asli Karimun. LASAK kemudian menjadi legitimasi hukum atas klaim mereka sebagai orang Asli Karimun. LASAK kemudian juga dijadikan sebagai alat untuk melawan dominasi perusahaan yang terdapat disekitar Kelurahan Pasir Panjang. LASAK kemudian menjadi alat untuk menuntut hak agar diterima bekerja di berbagai perusahaan yang ada di wilayah Pasir Panjang, meskipun hanya bekerja sebagai buruh lepas harian.

3. Kawin Dengan Etnis Lain

Dalam tradisi perkawinan orang akit di Karimun saat ini, tidak ada pantangan untuk kawin dengan etnis manapun, dengan kata lain mereka tidak terikat pada sistem perkawinan endogami. Hal ini sepertinya disebabkan oleh kenyataan nenek moyang mereka sendiri yang berasal dari dua etnis yang berbeda. Selain itu, kehidupan dalam lingkungan laut dan pantai yang terbuka telah memberikan pengalaman berinteraksi dengan berbagai orang dari beragam suku bangsa, sehingga perkawinan dengan suku lain bukanlah sesuatu hal yang aneh bagi mereka. Pak Jantan (60 Th) misalnya, bukanlah keturunan “murni” orang akit. Ibunya adalah orang suku akit sedangkan bapaknya adalah orang Bugis. Pak Ati (63) tahun adalah keturunan dari seorang perempuat suku akit yang kawin dengan lelaki perantau dari Cina. Perkawinan dengan etnis lain ini terus berlangsung pada generasi muda saat ini. Kim A (50

Foto : Papan nama organisasi LASAK

(15)

Th) misalnya, yg menikahi perempuan dari etnis Tionghoa yang secara turun temurun telah tinggal di Tanjung Balai Karimun. Atau Firmansyah yang pindah memeluk Islam karena kawin dengan seorang perempuan muslim.

Tradisi perkawinan yang tidak Endogami ini juga merupakan suatu strategi mempertahankan eksistensi identitas orang akit. Meskipun kawin dengan etnis lain dan bahkan berpindah agama, ikatan dengan kerabat asal mereka tidak putus. Sebaliknya, mereka tetap mengidentifikasi diri sebagai bagian dari orang akit Teluk Sitimbul Karimun. Perkawinan dengan etnis yang berbeda telah mempermudah orang akit untuk berinteraksi lebih intens dalam lingkungan masyarakat Karimun yang lebih luas, sehingga perlahan menghapus stereotipe yang buruk terhadap orang akit. Perkawinan dengan etnis yang berbeda juga menumbuhkan pengakuan atas eksistensi orang akit di Teluk Setimbul sebagai orang asli Karimun.

4. Perubahan Orientasi Mata Pencaharian

Secara tradisional orang akit bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Akan tetapi saat ini pekerjaan sebagai nelayan dan petani tidak lagi menjadi pekerjaan yang diminati. Generasi muda orang akit lebih berorientasi bekerja sebagai buruh di pabrik dari pada menjadi nelayan. Jika terpaksa, mereka bahkan menjalani dua pekerjaan sekaligus. Seperti misalnya keluarga Ibu Asih dan Pak Ati. Anak laki-laki bu Asih bekerja pada salah satu perusahaan di Pasir Panjang. Sore hari setelah pulang dari pabrik ia pun ikut membantu ayahnya melaut. Bu Asih menilai pekerjaan sebagai nelayan saat ini semakin tidak menentu. Aktivitas beberapa perusahaan yang ada disekitar wilayah Pasir Panjang telah mengganggu area tangkap mereka. Sekitar 20 tahun yang lalu mereka mendapatkan tangkapan yang cukup banyak di wilayah sekitar Pulau Tokong Hiu yang tidak jauh dari Teluk Setimbul. Namun sekarang area tangkap mereka menjadi semakin jauh. Ditambah lagi dengan pembangunan perusahaan Oil Tanking di wilayah Pasir Panjang yang direncanakan mulai beroperasi pada tahun 2017. Kapal perusahaan tersebut nantinya akan melewati area tangkap para nelayan sehingga dikhawatirkan merusak jaring milik nelayan. Proyeksi semakin sulitnya pekerjaan sebagai nelayan membuat generasi muda lebih tertarik bekerja di pabrik dengan penghasilan tetap setiap bulannya.

(16)

masyarakat lain. Sehingga kesempatan untuk menegaskan identitas dan eksistensi mereka menjadi semakin besar. Perubahan mata pencaharian ini membuat mereka tidak lagi dikenal sebagai nelayan atau petani miskin dari ujung pulau yang terkebelakang. Perubahan mata pencaharian telah mengeluarkan mereka dari stereotipe sebagai masyarakat tertinggal menjadi bagian dari masyarakat Industri, masyarakat pasar sebagaimana halnya dengan etnis lain di Kabupaten Karimun. Dan sekarang, mereka mulai diakui sebagai orang asli.

Penutup

Rekonstruksi identitas yang dilakukan orang akit di Teluk Setimbul Karimun, perlahan berhasil menghapus stereotipe buruk yang dilekatkan kepada mereka. Politik identitas yang dimainkan orang akit sejauh ini berhasil mempertahankan ruang hidup mereka dan bahkan memperluas kesempatan bagi orang akit untuk ikut serta dalam perebutan sumberdaya ekonomi yang tersedia, seperti dapat bekerja di berbagai perusahaan, atau menjadi pedagang dan pengusaha. Menurut warga suku akit di Teluk Setimbul, interaksi suku akit di Setimbul saat ini dengan warga etnis lain di Karimun sudah lebih baik jika dibandingkan dengan masa Tahun 1980-an. Saat ini mereka telah banyak terlibat dalam berbagai kegiatan resmi pemerintahan seperti kegiatan pawai budaya, dan pertandingan olah raga antar kelurahan. Mereka juga telah mendapatkan berbagai bantuan di bidang perikanan maupun pertanian, untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka.

Referensi

Ansor Muhammad, ____. “Melawan Dalam Ketundukan : Politik Identitas Orang Asli di Penyengat Kabupaten Siak Menghadapi Dominasi Negara dan Korporasi”.

Sumber : scaleup.or.id. diakses tanggal 17 April 2017.

Ardi, Ridman Hari dan Joyanis, 2013. Profil Suku Akit di Teluk Setimbul Kecamatan Meral

Kabupaten Karimun Kepulauan Riau.

repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/3517/ JURNAL.pdf? diakses 16 April 2016.

Asmu’ie, Achyar. 2006. Integrasi Politik di Kalimantan Barat : Studi Kasus Kabupaten Ketapang, Disertasi. tidak diterbitkan.

Bogardus, E. S, 1950, “Stereotypes versus Sociotypes” dalam Sociol and Soc. Res, hlm, 34, 286-291.

Bourchier, David. 2010. “Kisah adat dalam imajinasi politik Indonesia dan kebangkitan masa kini”. Dalam : Adat Dalam Politik Indonesia. Jamie S. Davidson, dkk (ed). Yayasan Pustaka Obor Indonesia : Jakarta.

(17)

Castells, Manuel. 2010. The Power of Identity. Oxford. UK : Blackwell Publishing Ltd.

Chandakirana,Kemala. 1989. “Geertz dan Masalah Kesukuan”. Jakarta : Prisma No. 2 /1989.

Haboddin, Muhtar. 2012. “Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal”. Jurnal Studi Pemerintahan Vol 5 No. 1 Februari 2012.

Harahap, Fitri Ramdhani. 2014. “Politik Identitas Berbasis Agama”. Makalah dalam Konferensi Nasional Sosiologi III, Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia, Jogjakarta, 20-22 Mei 2014.

Maarif, Ahmad Syafii. 2012. Politik Idenitas dan Masa Depan Pluralisme Kita (ed). Yayasan Abad Demokrasi : Jakarta.

Hayakawa, S.I, 1950, “Recognizing Stereotypes as Substitutes for Thought”. Etc. Rev.Gen.Semantic. hlm. 7, 208-210.

Kamaruddin dan Bunari, 2012. “Peranan Pendidikan Dalam Mengembangkan Sumberdaya Manusia Suku Akit di Desa Teluk Pambang Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis”. Jurnal Ilmiah Cisoc volume III No. 01 Juni 2016.

Limbeng Julianus dan Muchtadin, 2011, Suku Akit Di Pulau Rupat, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jakarta.

Lippmann,W, 1922, Public Opinion, Mcmillan : New York.

Maksum, Ali. 2015. “Politik Identitas Masyarakat Tengger Dalam Mempertahankan Sistem Kebudayaan Dari Hegemoni Islam dan Kekuasaan”. Jurnal el Harakah Vol.17 No.1 Tahun 2015.

Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak : Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta : LkiS.

Setyanto, Widya P dan Holomoan Pulungan. 2009. Politik Identitas : Agama, Etnisitas dan Ruang dalam Dinamika Politik di Indonesia dan Asia Tenggara, Salatiga : Percik.

Referensi

Dokumen terkait