Sastra dan Jihad di Nusantara
Berbicara mengenai Hari Pahlawan, tiada terlepas dari peran besar umat Islam. Mengurai kisah perjuangan di nusantara oleh para pejuang Islam memang bukan suatu hal yang baru. Motivasi agama menjadi daya juang yang utama, sekalipun sebagian sejarawan seringkali memasungnya menjadi perjuangan bermotif duniawi. Rajutan kisah perjuangan itu terjalin satu demi satu oleh berbagai pengaruh. Salah satu pengaruh yang menyuburkan daya juang itu adalah adanya pengaruh sastra dalam membakar jiwa untuk melakukan jihad di nusantara melawan penjajah.
Sastra memang salah satu media yang digunakan oleh para penyebar Islam di Nusantara. Melalui sastra berbagai pengajaran mengenai sejarah, hukum, serta tasauf tersebar. Bentuk-‐bentuk sastra yang mereka gunakan antara lain syair, pantun, gurindam, dan dan prosa (termasuk di dalamnya hikayat). Raja Ali Haji dikenal dengan pengajaran adabnya melalui Gurindam dua belas. Di masyarakat Minangkabau, selain pantun dan syair, digunakan sastra Tutur Kaba’. Di tatar Sunda juga tak kalah. Sastra tembang yang berisi pengajaran agama, dari tembang Cianjuran sampai tembang anak-‐anak di surau dan pesantren berkembang pada zamannya. Di Jawa, Sunan Bonang menggunakan bentuk-‐ bentuk tembang Jawa untuk menyebar dakwah. Salah satunya adalah Suluk Wuragul, yang ditulisnya dalam bentuk tembang Dhandhananggula. 1 Begitu pula di Maluku yang pencatatan sejarahnya dikenal dari Hikayat Hitu, serta di Kalimantan dikenal Hikayat Banjar. Semuanya menyiratkan dekatnya kehidupan umat dengan sastra, yang merentang dari Sumatra hingga timur Indonesia. Namun jika membicarakan sastra dengan jihad di nusantara, maka terdengarlah gaung Hikayat Perang Sabil dari Aceh yang tiada taranya dalam membakar semangat jihad di sana.
hingga menjadi sempurna menurut penyalinnya. Teks yang disalin seringkali dibuat untuk beragam tujuan.3 Termasuk juga Hikayat Perang Sabil.
Hikayat Perang Sabil biasanya berisi anjuran untuk berperang sabil dengan menunjukkan pahala, keuntungan dan kebahagiaan yang akan diraih. Dapat pula berisi keadaan suatu tokoh atau situasi perang di sebuah tempat. Atau bahkan mencakup kedua hal tersebut. Ideologi perang sabil memang menjadi poros tegaknya jihad di Aceh. Hikayat Perang Sabil tertua yang dapat ditemukan tercatat berasal dari tahun 11 Sya’ban 1122 H atau 5 Oktober 1710, kini di simpan di Universitas Negeri Leiden. Hikayat Perang Sabil biasanya dibaca di dayah (pesantren) atau meunasah, bahkan di rumah-‐rumah sebelum orang-‐orang terjun ke medan pertempuran. Pembacaan hikayat ini mampu menyulut semangat jihad orang aceh menyadarkan keadaan negerinya ;
Waktu kafir menduduki Semua kita wajib berperang Jangan diam bersunyi diri
Di dalam negeri bersenang-‐senang Diwaktu itu hukum fardhu ‘ain Harus yakin seperti sembahyang Wajib dikerjakan setiap waktu Kalau tak begitu dosa hai abang4
Orang-‐orang yang membacanya menjadi tergerak tak takut meregang nyawa, mempertahankan negeri serta mengusir orang kaphe (kafir) Belanda.
Yang memerangi kafir dalam perang sabil Niat mempertinggi kebenaran agama Kalimah Allah agama Islam
Pahala kelak sangat sempurna5
Beberapa bait syair bahkan mengajak tidak hanya kaum pria, tetapi juga wanita bahkan anak-‐anak untuk berjihad.
Baik wanita atau pria Semuanya, tua dan muda Akil balig, kanak-‐kanak Menurut Ijmak ikut serta Saleh, fasik, ali, jahil
Wajib semua berperan serta Raja, rakyat, uleebalang Wajib berperang sama rata Kafir yang menyerang Negeri kita Wajib di sini lawan segera Haram lari, wajib melawan Fardhu’ain ke atas kita6
Di bumi Palembang pun kita akan mendapati sastra yang diwarnai semangat jihad. Syair Perang Menteng, dibuat tak lama setelah serangan tentara kolonial Belanda terhadap kerajaan Palembang. Sultan Mahmud Badaruddin memimpin perlawanan terhadap serangan itu tahun 1819. Nama Perang Menteng sendiri berasal dari Muningthe, pemimpin penyerangan Belanda, yang kemudian dimelayukan menjadi Menteng.9 M. O. Woelders dalam buku Het Soeltanaat Palembang : 1811-‐1825 (1975) memuat syair tersebut. Isinya memuat kisah jihad para haji yang menggugah jiwa.
Haji berteriak Allahu Akbar Datang mengamuk tak lagi sabar Dengan tolong Tuhan Malik Al-‐Jabbar Serdadu Menteng habislah bubar
Keluar sekalian hulubalang panglima Menolong haji bersama-‐sama Opsirnya mati empat dan lima Hajipun sampai di kota lama
Haji mengusir kanan dan kiri
Memarangkan pedang ke sana ke mari Serdadu Holanda habislah lari
Hanya komandan juga terdiri
Haji berteriak sambil memandang Hai kafir marilah tandang
Syurga bernaung di mata pedang Bidadari hadir dengan selendang
Di situlah haji lama terdiri
Dikerubungi serdadu Holanda pencuri Lukanya tidak lagi terperi
Datanglah komandan bersungguh hati Membedil haji tiada berhenti
Pelurunya datang menuju pasti Di sanalah tempat haji nan mati
Syahidlah haji dua dan tiga Akan mengisi di dalam syurga Bidadari pun banyak tiada berhingga Datang menyambut haji berida
Darahnya mengalir bagai kesturi
Bidadari pun banyak datang menghampiri Suka dan ramai tepuk dan tari
Merebut mayat haji jauhari.10
Senafas dengan Syair Perang Menteng, ada pula Syair Perang Mengkasar. Sebuah syair yang sangat indah, melukiskan jalannya Perang Makassar pada tahun 1666. Perang antara VOC dan Kerajaan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin ini, dilukiskan dalam syair berbahasa melayu oleh Enci Amin, seorang juru tulis Sang Sultan. Sapuan kata-‐kata dalam syair yang begitu indah terasa ketika membicarakan berlangsungnya perang tersebut.
Setelah terbitlah nyata matahari Dipasangnya meriam Seri Negeri
Apinya tersembur seperti syamsu wa’l-‐qamari Welanda dan Bugis sangatlah ngeri.
Bunyinya itu seperti halilintar membelah Kenalah kapal si la’nat Allah
Berpuluh-‐puluh kepala terbelah.11
Di bagian lain, Enci’ Amin menggambarkan betapa gigihnya mereka berperang.
Berperanglah Sultan di Batu-‐batu Keraeng Jaranika datang membantu Membawa keris seorang sahu Masuk mengamuk Meluku Hantu
Keraen Jaranika dengan Maharajalela Mengamuk bagai orang yang gila Sedikit pun tidak ada bercela Bertikamkan keris berhela-‐hela.12
Sikap perlawanan dengan sastra juga merambah di tanah Jawa, ditunjukkan oleh Kiyai Ahmad Rifa’I dari Kalisalak, Jawa Tengah. Ia dikenal memiliki sikap anti pemerintah Belanda yang bercokol di tanah Jawa. Kecamannya tak hanya ditujukan kepada penguasa asing saja, tetapi juga kepada penguasa lokal yang bekerja sama dengan mereka.
Peringatan, orang kafir masuk Negara Islam Menjadi raja Negara Jawa cukup lama Itu adalah musuhnya orang mukmin Adalah fardhu a’in untuk diperangi Melawan raja kafir harus diketahui Ratu Islam sama menganut raja kafir Bupati, Demang sama-‐sama mengabdi
Kepada raja kafir seraya mengikuti perintahnya.13
Dalam karyanya yang lain, ia juga menyampaikan,
Kepada raja yang berdosa dan zalim
Sunan Kalijaga Yogyakarta. 1998. Yogyakarta.
13
Djamil, DR. Abdul. Perlawanan Kiai Desa. Pemikiran dan Gerakan Islam KH Ahmad Rifai kalisalak. Lkis. 2001.
Yogyakarta.