• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Jual Beli Harta Benda Wakaf Menurut Madzhab Syafi’i: Studi Analisis Pemikiran Ibnu Hajar al-Haitami

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "View of Jual Beli Harta Benda Wakaf Menurut Madzhab Syafi’i: Studi Analisis Pemikiran Ibnu Hajar al-Haitami"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1 Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015 Pendahuluan*

Wakaf menurut para Imam madz-hab merupakan suatu perbuatan sunah untuk tujuan kebaikan, dan wakaf

* Nurhasanah lulus tahun 2013 dari Program Studi Al-Ahwal al-Syakhshiyyah dengan gelar Sarjana Syariah (S.Sy.). Suprihatin, lahir 12 Desember 1967,

lulusan tahun 1993 Fakultas Syari’ah

IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Lulus S2 tahun 2013 dan mendapatkan gelar Master Bidang Ekonomi Islam dari Universitas Ibnu Khaldun. Saat ini seba-gai Dosen Tetap dan Ketua Program Studi Al-Ahwal al-Syakhshiiyah Fakultas Aga-ma Islam UNISMA Bekasi.

juga merupakan income dana umat Islam yang sangat potensial bila di-kembangkan. Menurut Al-Minawi yang bermadzhab Syafi’i mengemu-kakan bahwa wakaf adalah menahan harta benda yang dimiliki dan menya-lurkan manfaatnya dengan tetap menjaga pokok barang dan keabadi-annya yang berasal dari para derma-wan atau pihak umum selain dari har-ta maksiat, semahar-ta-mahar-ta karena ingin mendekatkan diri kepada Allah swt.1 Dasar hukum wakaf adalah al-Quran dalam surat Ali Imran ayat 92:

1Al Minawi, At Tauqif ‘ala Muhimat Ta’arif, (Cairo: Alamul Qutub, 1990), h. 340.

Jual Beli Harta Benda Wakaf Menurut Mad

zhab Syafi’i:

Studi Analisis Pemikiran Ibnu Hajar al-Haitami

Nurhasanah dan Suprihatin*

Abstract: The problem of this study is how the purchase procedure of wakf property according to the school of Shafi’i jurisprudence, focusing on the thought of Ibn Hajar al-Haytami? The conclusion of this study, Ibn Hajar al-Haytami is one of the followers of Shafi'i’s school of fiqh, (Islami jurisprudence) and he expressly prohibit the sale and purchase of wakf property under any circumstances. According to Al-Haitami property of wakf had broken up his property and belong to Allah. Therefore, property of wakf has not be authorized for sale in the all condition. There is possibility when he banned the sale and purchase of the wakf property, affected by the state of Muslims who was very much with the teachings of Islam or Al-Haitami’s thought of fiqh. Although prohibits selling property of wakf, it allows rent it. The wakf has been relevant to the development of society, especially for Muslims of Indonesia, such as the development of the construction and rental of flats on wakf land, as it has been regulated in the management of productive of wakf in the legislation of wakf.

(2)

Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015 2 . َُّْٛجِذُر بَِِّّ اُٛمِفُْٕر َّٝزَد َّشِجٌْا ُيبََٕر ٌَْٓ

Artinya: ‚Kamu tidak akan mem-peroleh kebaikan, kecuali kamu belan-jakan sebagian harta yang kamu senangi‛.

Dan salah satu al-Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: َيُٛصَس ََّْأ ،َُٕٗػ ٌَٝبَؼَر الله َِٟضَس حَش٠َشُ٘ ِٝثَا َٓػ

ٍَََُّص َٚ ِٗ١ٍََػ الله ٍَّٝص الله َََدآ ُٓثا َدبَِ اَرِإ :َيبَل

،ٍخَ٠ِسبَج ٍخَلَذَص :ٍس٣َث ِِٓ ّ٢ِإ ٍََُُّٗػ َُٕٗػ َغَطَمٔا ٍُضِ ٖاٚس .ٌَُُٗٛػذَ٠ ٍخٌِبَص ٍذٌَََٚٚا ،ِِٗث ُغَفَزُٕ٠ ٍٍُِػَٚا Artinya: ‚Dari Abu Hurairah bah-wasanya Rasulallah saw. bersabda: Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang

mendoakannya‛ (HR. Muslim).2

Persoalan wakaf bagi ulama maz-hab disepakati sebagai amal jariah, namun yang menjadi perbedaan mere-ka dan pengikutnya adalah perma-salahan pemahaman terhadap wakaf itu sendiri, apakah harta wakaf yang telah diberikan si wakif masih men-jadi miliknya atau berpindah seketika saat ia menyerahkan kepada maukuf alaih. Menurut pendapat Abu Hani-fah, harta yang telah diwakafkan te-tap berada pada kekuasaan wakif dan boleh ditarik kembali oleh oleh si wakif. Harta itu tidak berpindah hak milik, hanya manfaatnya saja yang di-peruntukan untuk tujuan wakaf. Da-lam hal ini Imam Abu Hanifah memberikan pengecualian pada tiga

2 Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughu al-Maram, (Indonesia: Dar Ihya), h. 191.

hal, yakni wakaf mesjid, wakaf yang ditentukan oleh keputusan pengadilan dan wakaf wasiat. Selain tiga hal yang tersebut, yang dilepaskan hanya manfaatnya saja bukan benda itu secara utuh. Terhadap wakaf mesjid, yaitu apabila seseorang mewakafkan hartanya untuk kepentingan mesjid, atau seseorang membuat pembangun-an dpembangun-an diwakafkpembangun-an untuk mesjid, maka status wakaf di dalam masalah ini berbeda. Karena seseorang berwa-kaf untuk mesjid, sedangkan mesjid itu milik Allah, maka secara spontan mesjid itu berpindah menjadi milik Allah dan putuslah kekuasaan si wakif dalam hal ini.

(3)

3 Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015 menjelaskan, dengan diwakafkannya

suatu harta bukan berarti menjadi suatu keharusan untuk lepasnya pemi-likan wakif, oleh sebab itu bolehlah rujuk dan mengambil kembali wakaf itu, boleh pula menjualnya, karena menurut Abu Hanifah, wakaf sama halnya dengan barang pinjaman dan sebagaimana dalam soal pinjam me-minjam, si pemilik tetap memilikinya, boleh menjual dan memintanya kem-bali (seperti ‘ariyah). Argumentasi lain yang dijadikan Abu Hanifah sebagai alasan bahwa harta wakaf yang telah diwakafkan tetap menjadi milik wakif dengan menganalogikan dan menyamakannya dengan sa‘ibah seperti yang terdapat dalam surat AI-Maidah ayat 103, dan ini sangat dilarang Allah swt. Kedua argumen Abu Hanifah bahwa wakaf sebagai aqad tabarru’, yaitu transaksi dengan melepaskan hak, bukan berarti mele-paskan hak atas benda pokoknya, me-lainkan yang dilepaskan hanya hasil dan manfaat dari benda yang diwakaf-kan itu.

Wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam adalah perbuatan hukum sese-orang atau kelompok sese-orang atau ba-dan hukum yang memisahkan seba-gian dari benda miliknya dan melem-bagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau ke-perluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.3 Lain hal dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 bahwa

3 Kompilasi Hukum Islam, pasal 215, ayat 1.

wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menye-rahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keper-luan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.4

Ahmad Azhar Basyir membagi wakaf menjadi dua macam, yaitu pertama: wakaf ahli ialah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang terten-tu, seorang atau lebih, baik keluarga wakif atau bukan keluarga si wakif, kedua: wakaf khairi ialah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepen-tingan umum, tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu. Wakaf khairi inilah yang sejalan dengan jiwa amalan wakaf dalam hukum Islam yang pahalanya akan terus mengalir, meskipun orang yang memberikan wakaf itu telah meninggal dunia asal-kan benda wakaf itu terus dapat diambil manfaatnya.5

Mengenai kedudukan harta wakaf, para ahli hukum Islam pun berbeda pendapat, golongan Hanafiah berpen-dapat bahwa harta wakaf tetap milik orang yang memberi wakaf, hal ini didasarkan pada hadits dari Ibnu Abbas r.a di mana Rasulullah pernah bersabda bahwa tidak ada wakaf sete-lah turunnya surat An Nisaa (ayat

4 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004, pasal 1, ayat 1.

5 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah. (Bandung:

(4)

Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015 4 tentang al faraidh). Demikian juga

pendapat dari golongan Malikiyah yang mengatakan bahwa harta wakaf dapat kembali kepada si wakif dalam waktu tertentu, atau waktu yang ditentukan sebagaimana yang diikrar-kan oleh si wakif, sedangdiikrar-kan golong-an Syafi’iyah dgolong-an Hgolong-anabillah menga-takan bahwa harta wakaf itu putus atau keluar dari hak milik si wakif dan menjadi milik Allah atau milik umum. Begitu pula wewenang mutlak si wakif menjadi terputus, karena sete-lah ikrar wakaf itu diucapkan, harta tersebut menjadi milik Allah atau milik umum.6

Fenomena yang terjadi saat ini adalah jual beli atau pengalihan fung-si harta benda wakaf yang dikarena-kan sudah tidak dapat difungsidikarena-kan lagi secara optimal sebagaimana mes-tinya, seperti yang diberitakan pada tanggal 29 Mei 2012 bahwa Badan Wakaf Indonesia (BWI) telah menga-bulkan tiga permohonan rekomendasi ruislag (penukaran/pengalihan fungsi), diantaranya: Permohonan penukaran tanah wakaf di Kel. Duri Pulo Kec. Gambir, Jakarta Pusat, Permohonan penukaran tanah wakaf di Kampung Tambun RT 10/01, Kelurahan Ujung Menteng, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, dan Penukaran tanah wakaf di

6 Faisal Haq, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, (Pasuruan Jatim: Garoeda Buana Indah, 1994), cet. Ke-2, h. 37.

Desa Tritomoyo, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Jawa Timur.7

Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 40 mengenai perubahan status harta ben-da wakaf yang berbunyi;

Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang dijadikan jamin-an, disita, dihibahkjamin-an, dijual, diwaris-kan, ditukar, atau Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

Pasal 41

1. Ketentuan sebagaimana di-maksud dalam pasal 40 huruf f dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digu-nakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah.

2. Pelaksanaan ketentuan seba-gaimana dimaksud pada ayat (1) ha-nya dapat dilakukan setelah memper-oleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.

3. Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ke-tentuan pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.

4. Ketentuan mengenai peru-bahan status harta benda wakaf se-bagaimana dimaksud pada ayat (1),

(5)

5 Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015 ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih

lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Perubahan status harta benda wakaf para ahli hukum Islam pun berbeda pendapat tentang boleh tidak-nya harta wakaf itu ditukar karena tidak bermanfaat lagi. Menurut Kompilasi Hukum Islam perubahan status harta benda wakaf adalah sebagai berikut: (1) Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf. (2) Penyimpangan dari ketentuan ter-sebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hak-hak tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Kan-tor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrar-kan oleh wakif dan karena kepen-tingan umum.8

Sedangkan para fuqaha di kalang-an Maliki berpendapat bahwa harta wakaf tidak boleh ditukar (terutama benda yang tidak bergerak), walaupun barang tersebut sudah rusak atau tidak menghasilkan sesuatu. Tetapi sebagian fuqaha dari golongan Malikiyah ada yang berpendapat bah-wa menukar harta bah-wakaf dengan yang lain diperbolehkan.

8 Kompilasi Hukum Islam, pasal 225, ayat 1-2

Dengan adanya perbedaan penda-pat dalam pemikiran fuqaha tentang pengalihan fungsi wakaf, penulis tertarik mengkaji lebih lanjut tentang kebolehan atau tidak diperbolehkan-nya harta benda wakaf diperjual-belikan. Apakah dasar pemikiran tersebut berdasarkan Quran, al-Hadits, Ijma, Qiyas, atau Maslahah? Diantara tokoh yang akan penulis teliti adalah Ibnu Hajar Al-Haitami. Seorang tokoh dari kalangan Madzhab Syafi’i, yang mana pemikirannya ten-tang wakaf tertuang dalam kitab Tuhfatu Muhtaj bi Syarhi al-Minhaj. Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui dasar-dasar argumentasi yang digunakan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami, dalam membahas jual beli harta benda wakaf.

Pokok permasalahan penelitian ini diperinci menjadi sub-sub masalah sebagai berikut: Bagaimana pandang-an Ibnu Hajar Al-Haitami tentpandang-ang jual beli harta benda wakaf?

Pemikiran Ibn Hajar al-Haitami Menurut al-Haitami dalam kitab karangannya Tuhfatu al-Muhtaj Bi Syarhi al-Minhaj jual beli dan wakaf merupakan dua hal yang berbeda. Sebagaimana definisi beliau tentang jual beli secara bahasa bermakna ٌخٍََثبَمُِ

ٍءَٟشِث ٌءَٟش artinya tukar menukar

(6)

Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015 6 manfaat dalam memiliki barang

tersebut atau mengambil manfaatnya untuk selamanya.9

Dasar hukum yang menjadi landasan jual beli ialah al-Qur’an surat An-Nisa ayat 29 yang berbunyi:

ُُىَٕ١َث ُُىٌَاََِٛأ اٍُُٛوؤَر٢ إَُِٛآ َٓ٠ِزٌَّا بَُّٙ٠آَ٠ َُْٛىَر َْأ َّلاِإ ًِِطبَجٌبِث ٍضاَشَر َٓػ ًحَسبَجِر

...ُُىِِّٕ Artinya: ‚Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu…‛

Dan hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Rasulullah saw. bersabda:

.ٍضاَشَر َٓػ ُغ١َجٌا بََِّّٔإ

10

Artinya: ‚ Sesungguhnya jual beli itu didasarkan atas suka sama suka‛

Al-Haitami mengatakan jual beli dapat dikatakan sah atau tidak, tergantung dari rukun dan syarat yang harus dipenuhi, diantaranya:

1) Akad ijab dan kabul ( ٌخَغ١ِص). Syaratnya ijab dan kabul harus dilakukan penjual dan pembeli dengan jelas dan tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain selain jual beli, harus saling menerima harga yang disepakati bersama walaupun dengan cara diam atau isyarat, kabul harus

9 Ibnu Hajar Al-Haitami, Loc. Cit., h. 85.

10Ibid.

sesuai dengan ijab.11 Sebagaimana Allah swt. berfirman:

اٍُُٛوؤَر٢ إَُِٛآ َٓ٠ِزٌَّا بَُّٙ٠آَ٠ َُْٛىَر َْأ َّلاِإ ًِِطبَجٌبِث ُُىَٕ١َث ُُىٌَاََِٛأ

...ُُىِِّٕ ٍضاَشَر َٓػ ًحَسبَجِر Artinya: ‚Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu…‛ (QS. An-Nisa: 29)

Contoh lafadz ijab diantaranya; َهُزؼِث atau َهُزىٍََِ artinya saya jual ini kepada kamu, sedangkan lafadz kabul yaitu; َهِِٕ ُذ٠َشَزشِا atau ُذىٍَََّّر artinya saya beli ini dari kamu.12

2) Adanya orang yang berakad ( ٌذِلبَػ) yaitu; ٌغِئبَث (penjual) dan ِٞشَزشُِ (pembeli). Syaratnya orang yang telah baligh dan berakal atau orang yang lebih paham mengenai jual beli serta mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli dan tanpa adanya paksaan dari salah satu pihak.13 Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, Rasulullah saw. bersabda:

َِّٔإ ٍضاَشَر َٓػ ُغ١َجٌا بَّ

Artinya: ‚ Sesungguhnya jual beli itu didasarkan atas suka sama suka‛

3) Adanya benda atau barang

(ٗ١ٍػ دٛمؼٌّا atau ُغ١ِجٌُّا) yang sesuai

(7)

7 Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015 dengan syar’i. Syaratnya yaitu:

barang yang dijual merupakan barang yang halal dan zatnya bersih dari najis atau hal-hal yang dilarang oleh syar’i, seperti jual beli daging babi atau anjing, khamar, dan lain-lain. Rasulullah saw. bersabda:

َػ ِٓثِشِثبَج َٓػ َغَِّص ََُّٗٔا بََُّٕٙػ ُالله َِٟضَس الله ِذج

،ِخزَفٌا ََبَػ ،ُيُٛمَ٠ ٍَََُّصَٚ ِٗ١ٍََػ الله ٍََّٝص الله َيُٛصَس ِخَز١ٌَّاَٚ ِشَّخٌا َغ١َث َََّشَد َالله َِّْإ( َخَّىَِّث ََُٛ٘ٚ َذ٠َاَسَا الله َيُٛصَس بَ٠ ًَ١ِمَف )َِبَٕصَلااَٚ ِش٠ِزِٕخٌاَٚ ِخَز١ٌَّا ََُٛذُش بَِٙث َُٓ٘ذُر َٚ ُُٓفُّضٌا بَِٙث ٍَٝطُر بََِّٙٔئَف

َُُّث )ٌَاَشَد َُٛ٘ ٢( َيبَمَف ؟ُسبٌَّٕا بَِٙث ُخِجصَزضَ٠َٚ ُدٍُُٛجٌا ًََربَل( َهٌِر َذِٕػ ٍَََُّصَٚ ِٗ١ٍََػ الله ٍَّٝص الله ُيُٛصَس َيبَل ُش ُِٙ١ٍََػ َََّشَد بٌََّّ ٌَٝبَؼَر َالله َِّْا َدَُٛٙ١ٌا ُالله بََُِٙٛذ

.ٗ١ٍََػ ٌكَفّزُِ .)َََُّٕٗث اٍَُٛوَؤَف ُُٖٛػبَث َُُّث ٍََُُّٖٛج

14

Artinya: ‚Dari Jabir bin Abdullah bahwasanya pada tahun penaklukkan kota Mekah dia mendengar Rasulullah saw. bersabda: (sesungguhnya Allah telah mengaharamkan jual beli kha-mar (arak), bangkai, babi, dan patung berhala), kemudian ada yang berta-nya: Wahai Rasulullah bagaimana dengan lemak bangkai yang diguna-kan untuk melabur perahu dan diminyaki dengan kulitnya serta manusia menggunakannya sebagai penerangan? Rasulullah bersabda: Jangan (tidak boleh) itu haram, kemu-dian Rasulullah bersabda kembali: Allah melaknat yahudi karena se-sungguhnya Allah mengharamkan atas mereka bangkai, yang mana me-reka menjual bangkai tersebut dan memakan uangnya.‛ (Muttafaq ‘alaih)

14 Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Loc.Cit., h. 159.

Syarat selanjutnya yaitu barang yang dijual memiliki manfaat, bukan barang hasil rampasan, barang yang dijual benar-benar dimiliki (kepemi-likan sempurna), hal ini berkaitan sebagaimana dengan hadits shohih yang berbunyi َهٍَِّر بَّ١ِف َّلاِإ ُغ١َث َلا (tidak ada jual beli kecuali apa-apa yang kamu miliki), dan barang yang dijual harus diketahui bentuk dan keberadaannya.15

Dari beberapa rukun dan syarat yang telah dijelaskan, al-Haitami juga melarang beberapa bentuk jual beli karena dianggap tidak sah atau batal, diantaranya:

1) Jual beli persetubuhan bina-tang jantan, hal ini sama dengan jual beli mani, karena mengambil upah dan harga air (sperma) dari hasil mengawinkan binatang jantan miliknya dengan binatang orang lain tidak dapat terukur dengan jelas,16 dan telah diharamkan oleh Rasulullah, sabda Nabi saw:

الله ُيُٛصَس ََٝٙٔ :َيبَل بََُّٕٙػ الله َِٟضَس َشَُّػ ِٓثا َِٓػ ُٖاََٚس .ًِذَفٌا ِتضَػ َٓػ ٍََُّصَٚ ِٗ١ٍََػ الله ٍَّٝص ِّٞسبَخُجٌا

17

Artinya: ‚Dari ibnu Umar berkata, Rasulullah saw. melarang (upah) per-setubuhan binatang jantan.‛ (HR. Bukhori)

15 Ibnu Hajar Al-Haitami, Loc. Cit., h. 89-94.

16Ibid., h. 110.

(8)

Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015 8 2) Jual beli yang belum jelas

(tidak terpenuhinya salah satu syarat jual beli), seperti jual beli binatang yang masih di dalam kandungan, atau jual beli binatang sampai induknya beranak dan beranak pula anaknya (جب َزٌَّٕا ُجبَزَٔ)18

3) Jual beli (خَضََِلاٌُّا), seperti seorang berkata: saya jual kain ini dengan kain tuan, padahal kedua-duanya tidak melihat kain-kain tersebut tapi hanya diraba atau dirasa. Begitu pula dengan jual beli (حَزَثبٌَُّٕا), seperti jual beli dengan melempar batu.19

4) Jual beli dengan adanya syarat dan atau jual beli dengan dua harga dalam satu penjualan,20 seperti contoh barang ini harga tunainya 50.000 dan harga hutangnya 75.000. Adapun wakaf dalam kitabnya tersebut, beliau menyebutkan sebagai berikut:

َُٛ٘ َفَلَٚأٚ ُش١ِجذَزٌاٚ ًُ١ِجضَزٌا ٗفِداَشُ٠ ،ُشجَذٌا خَغٌُ

ًخَغٌ ًَِمُٔ بَِ ٍََٝػ َشجَد ِِٓ ُخَصفَأ َشَجدَأٚ ،خَئ٠ِدَس

.خَذ١ِذّصٌا ِسبَجخ٢ا ِٟف حَدَساٌَٛا َِٟ٘ َشجَد ِّٓىٌ

21

‚Menurut bahasa wakaf berarti tahanan, hal ini serupa dengan kata tertawan, tertahan, dan menghentikan namun kurang tepat, dan tertahan lebih tepat dari kata menahan akan tetapi menahan merupakan keterang-an yketerang-ang tepat dalam khabar (hadits) shahih.‛

18 Ibnu Hajar Al-Haitami, Loc. Cit., h. 111.

19Ibid. 20Ibid. 21Ibid., h. 488.

Kemudian secara istilah diartikan sebagai berikut:

عبَفِزِٔلاا ِٓىُّ٠ يبَِ َشَجَد بًػشَشَٚ َغَِ ِِٗث

ٍََٝػ ِٗزَجلُس ِٟف فُشَصَزٌا ِغطِمِث َٕٗ١َػ ءبَمَث .حبَجُِ فُشصَِ

22

‚Menurut syara’ ialah menahan harta benda (pokok) yang kekal mungkinkan diperbolehkan untuk me-ngambil manfaatnya dengan terputus-nya hak milik.‛

Keterangan al-Haitami mengenai pengertian wakaf tersebut, secara bahasa lebih tepat diartikan dengan kata menahan, sedangakan yang dimaksud secara istilah yaitu harta yang telah telah diwakafkan akan terputus hak milik dan hak gunanya, dan hanya dapat diambil manfaatnya saja.

Al-Haitami menyebutkan pula beberapa dasar hukum wakaf adalah sebagai berikut:

1) Al-Quran surat Ali Imran ayat 2, yang berbunyi;

. َُّْٛجِذُر بَِِّّ اُٛمِفُْٕر َّٝزَد َّشِجٌْا ُيبََٕر ٌَْٓ Artinya: ‚Kamu tidak akan memperoleh kebaikan, kecuali kamu belanjakan sebagian harta yang kamu senangi‛.

2) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim

َيُٛصَس ََّْأ ،َُٕٗػ ٌَٝبَؼَر الله َِٟضَس حَش٠َشُ٘ ِٝثَا َٓػ َََدآ ُٓثا َدبَِ اَرِإ :َيبَل ٍَََُّص َٚ ِٗ١ٍََػ الله ٍَّٝص الله ٍخَلَذَص :ٍس٣َث ِِٓ ّ٢ِإ ٍََُُّٗػ َُٕٗػ َغَطَمٔا ،ٍخَ٠ِسبَج

ٍُضِ ٖاٚس .ٌَُُٗٛػذَ٠ ٍخٌِبَص ٍذٌَََٚٚا ،ِِٗث ُغَفَزُٕ٠ ٍٍُِػَٚا Artinya: ‚Apabila anak adam meninggal dunia maka terputuslah

(9)

9 Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015 amalnya kecuali tiga perkara,

shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya‛ (HR. Muslim).

3) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim َُٕٗػ الله ِٟضَس شَُّػ َةبَصَأ :َيبَل شَُّػ ِٓثا َٓػ ٍََُّصَٚ ِٗ١ٍََػ الله ٍَّٝص ِٟجٌّٕا َٝرَؤَف ،شَج١َخِث بًضسَأ بًضسَأ ُذجَصَأ ِّٝٔإ الله يُٛصَس بَ٠ َيبَمَف بَٙ١ِف ُُٖشِِؤَزضَ٠ تِصُأ ٌَُ شَج١َخِث َيبَل ،ُِِٕٗ ِٜذِٕػ ُشَفَٔأ َُٛ٘ ّظَل َ٢بَِ

َقّذَصَزَف َيبَل بَِٙث َذلّذَصَرَٚ بٍََٙصَأ َذضَجَد َذئِش ِْإ ُتَُ٘ٛ٠ َلاَٚ ُسَسُٛ٠ َلاَٚ بٍَُٙصَأ ُعبَجُ٠ َلا َُّٗٔأ شَُّػ بَِٙث ِةبَلّشٌا ِٝفَٚ َٝثشُمٌا ِٝفَٚ ءاَشَمُفٌا ِٝف بَِٙث َقّذَصَزَف الله ًِ١ِجَص ِٝفَٚ َحبَُٕج َلا ،ِف١ّضٌاَٚ ًِ١ِجّضٌا ِٓثاَٚ

َُِؼطُ٠َٚ ِفُٚشؼٌَّبِث بَِِٕٙ ًَُوؤَ٠ َْأ بََٙ١ٌَِٚ َِٓ ٍََٝػ ٍُِضٌُِّ ُعفٌٍّاَٚ ،ٗ١ٍََػ ٌكَفّزُِ .ًلابَِ ٍيََّّٛزُِ َش١َغبًم٠ِذَص Artinya: ‚Dari Ibnu Umar berkata: Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, lalu dia menghadap Nabi saw. dan bertanya: ‚Wahai Rasulu-llah, aku telah memperoleh sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah kuperoleh sebaik iru, lalu apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?‛ Rasulullah bersabda: ‚Jika suka, engkau tahanlah pokoknya dan eng-kau gunakanlah untuk sedekah (jadi-kanlah wakaf)‛, kata Ibnu Umar: ‚Lalu Umar menyedekahkannya, tidak dijual pokoknya, tidak diwarisi dan tidak pula diberikan kepada orang lain (dihibahkan), dia menyedekahkan pada orang-orang fakir, kerabat atau keluarga terdekat, hamba yang merdeka, orang-orang yang berada di jalan Allah, musafir, dan tamu, tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian darinya dengan cara yang

ma’ruf (baik).‛ (Muttafaq ‘alaih dan lafadz bagi Muslim)

Wakaf memiliki rukun dan syarat, diantara rukun dan syarat yang dijelaskan al-Haitami, yaitu:

1) Orang yang berwakaf (فلاٚ), syaratnya yaitu berakal sehat, baligh (bukan anak-anak), orang yang derma (bukan dalam keadaan tertekan dan terpaksa), dan bukan termasuk orang yang boros (menghambur-hamburkan harta).23

2) Benda yang diwakafkan

(فٛلِٛ), syaratnya ialah barang yang

diwakafkan harus dapat dilihat dan jelas, milik pribadi atau atas nama pribadi, barang tersebut harus dapat menghasilkan/diambil manfaatnya tanpa habis zat/bentuknya, memilki kemanfaatan yang abadi, tidak disahkan bila hanya mewakafkan manfaatnya saja karena barang/zat aslinya akan dapat berpindah kepemilikan, tidak boleh mewakafkan makanan karena wakaf tidak boleh dari suatu barang yang diambil manfaatnya sementara zat aslinya habis, dan tidak boleh mewakafkan barang yang masih dalam tanggungan sebab barang tersebut bukanlah dalam kepemilikan pribadi.24

3) Penerima wakaf (ٗ١ٍػ فٛلِٛ). Wakaf hendaknya dilaksanakan dengan tujuan kebaikan, maka tidak sah suatu wakaf bila tujuannya untuk

23 Ibnu Hajar Al-Haitami, Loc. Cit., h. 488.

(10)

Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015 10 maksiat, seperti mewakafkan

perke-bunan anggur yang akan dijadikan minuman yang memabukkan ( ُشَّخٌا). Wakaf seorang muslim kepada kafir dzimmi adalah sah kecuali kepada orang yang murtad dan kafir harbiy, karena keduanya diibaratkan seperti zina muhshin, hendaknya penerima wakaf adalah kerabat terdekat dan orang-orang fakir miskin sebagaimana penerima zakat.25

4) Pernyataan wakaf ( خغ١ص

فلٌٛا). Wakaf tidak dapat dinyatakan

sah bila hanya dengan tulisan, tetapi harus dengan ucapan yang jelas. Beberapa lafadz wakaf seperti; ُذفَلَٚ

اَزَو (saya wakafkan ini), atau dengan

lafaz ‚saya sedekahkan ini untuk selama-lamanya atau saya sedekahkan ini untuk fakir miskin‛ dengan disertai niat wakaf dalam hati, maka hal ini dianggap sah. Namun tidak untuk lafaz ‚saya sedekahkan ini‛ tanpa ada kejelasan maupun niat, maka ini dianggap tidak sah, begitu pula dilarang mewakafkan sesuatu dengan ك١ٍِؼَر (adanya ikatan/keter-kaitan), seperti ‚jika Zaid datang maka saya wakafkan tanah ini‛.

Ibnu Hajar al-Haitami juga mem-bagi wakaf menjadi dua macam, yaitu:

1) Wakaf secara lafdziyah (lafaz), yaitu wakaf yang dikhususkan untuk keluarga atau kerabat dekat, seperti dikatakan aku wakafkan untuk anakku, cucuku, dan keturunan selanjutnya hingga akhir. Apabila

25Ibid., h. 491-493.

nadzir (dalam hal ini anaknya) meninggal dunia atau sudah tidak mampu lagi untuk mengelola harta benda wakaf, maka dapat digantikan dengan saudaranya yang sederajat namun bila telah tiada barulah digantikan oleh keturunan yang selanjutnya, wakaf tersebut tidak terputus hingga keturunan darinya putus (habis). Wakaf seperti ini bertujuan untuk membela nasib mere-ka. Seseorang yang hendak mewakaf-kan sebagian hartanya, sebaiknya lebih dahulu melihat kepada ketu-runannya atau ahli waris atau kerabat dekat yang sedang membutuhkan pertolongannya, karena itu wakaf ini lebih baik diberikan kepada mereka yang membutuhkan.26 Oleh karena itu, nadzir dalam hal ini harus memiliki syarat, diantaranya:

a. Adil secara mutlak (خٌَاَذَؼٌا). Seorang nadzir tidak boleh fasik dan berbohong sekecil apapun itu meskipun dalam keadaan udzur (darurat).

b. Mampu atau mencukupi pemahamannya tentang tanggung jawab nadzir (خَ٠بَفِىٌا), seperti baligh (dewasa), amanah, dan mampu secara jasmani serta rohani.

c. Ahli dalam mengelola ( ءاَذِزِ٘لاا َصّزٌا ٌَِٝإ

فُش ). Nadzir harus mampu mengelola harta benda wakaf dengan sebaik mungkin, sehingga adanya income yang dihasilkan agar dapat dikembangkan untuk keperluan wakaf

(11)

11 Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015 dan kemanfaatan untuk kesejahteraan

umat.

Setelah terpenuhinya syarat-syarat nadzir, maka nadzir harus dapat men-jalankan tugasnya dengan baik. Beberapa tugas nadzir ialah:27

a. حَسبَجِلاا (memberikan upah)

kepada orang-orang (pihak) yang turut serta dalam pemanfaatan harta benda wakaf.

b. حَسبَّؼٌا (mengembangkan)

pemanfataan harta wakaf yang hasilnya digunakan sebagai biaya pemeliharaan harta benda wakaf.

c. بَٙزَّضِلَٚ خٍَغٌا ًُ١ِصذَر

(menghasilkan pemasukan/ pendapat-an dpendapat-an dibagikpendapat-an kepada ypendapat-ang ber-hak).

2) Wakaf secara ma’nawiyah (hakikat), yaitu harta yang diwakaf-kan seseorang atau kelompok orang berarti telah lepas hak miliknya dari benda tersebut dan beralih menjadi kepunyaan Allah. Walaupun benda tersebut dapat diambil manfaatnya untuk kepentingan umum, namun benda yang diwakafkan itu harus tetap dan tidak bisa dimiliki oleh siapapun. Dikatakan pula oleh pengarang kitab yakni Ibnu Hajar Al-Haitami bahwa apabila sesesorang mewakafkan tanahnya misal sebagai tempat pendidikan (seperti pondok pesantren), maka atas segala keku-rangan dari yang diwakafkan si wakif maupun kerusakan atas harta benda wakaf harus dipenuhi/ditambahkan oleh nadzir agar harta yang telah

27Ibid., h. 516.

diwakafkan tidak menjadi sia-sia. Disisi lain wakaf juga bertujuan untuk membina dan meningkatkan ketakwa-an baik bagi si wakif maupun penerima wakaf itu sendiri, agar benar-benar dapat memelihara dan menjalankan amanah wakaf umat sesuai dengan hukum dan tujuan wakaf itu sendiri, supaya amalan wakaf senantiasa mengalir selama harta wakaf tersebut dimanfaatkan.28

Berdasarkan pada hadits di atas Ibnu Hajar al-Haitami mempertegas keberadaan wakaf dengan mengata-kan sebagai berikut:

شَج١َخِث بََٙثبَصَأ بًضسَأ ،َُٕٗػ الله َِٟضَس شَُّػ َفَلََٚٚ بًطُٚشُش بَٙ١ِف طشَشَٚ ،ٍَُّصَٚ ٗ١ٍََػ الله ٍَّٝص ِِٖشَِؤِث ،تَُ٘ٛ٠ ٢َٚ ،سَسُٛ٠ ٢َٚ ،بٍَٙصَأ عبَجُ٠ ٢ َُّٗٔأ :بَِِٕٙ َٚأ ،فُٚشؼٌَّبِث بَِِٕٙ ًُوؤَ٠ بَٙ١ٌَِٚ َِٓ َّْأ بًم٠ِذَص ُِؼطُ٠

ِٟف فلَٚ يَّٚأ ََُٛ٘ٚ ،ِْبَخ١ّشٌا ُٖاََٚس ،ِٗ١ِف يََّّٛزُِ ش١َغ .َ٣صِلإا

29

‚Dan Umar ra. mewakafkan tanah miliknya di Khaibar atas perintah Nabi saw, dan syarat-syarat dari padanya ialah: bahwasanya ia tidak menjual zat/barang aslinya, tidak diwarisi dan tidak dihibahkan, dan tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagi-an darinya dengsebagi-an cara ysebagi-ang ma’ruf (baik). Hal tersebut adalah permulaan wakaf dalam Islam.‛

Untuk memperkuat kedudukan wakaf, Ibnu Hajar al-Haitami juga mengutip pendapat-pendapat ulama (tokoh) terdahulu di kalangan Madz-hab Syafi’i, sebagai berikut:

(12)

Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015 12 فلٌَٛا اَز٘ َّْأ ٌَِٝإ ،َُٕٗػ الله َِٟضَس ِٟؼِفبّشٌا سبَشَأَٚ

َٓػَٚ .خّ١ٍِِ٘بَجٌا ُٗفِشؼَر ٌَُ خّ١ِػشَش خَم١ِمَد فُٚشؼٌَّا َغَّص بٌَّ َّٗٔأ فُصُٛ٠ ِٟثَأ عبَجُ٠ ٢ َّٗٔأ شَُّػ َشجَخ

.بٍَٙصَأ

30

‚Dan Asy-Syafi’i31 menjelaskan

bahwa hakikat wakaf telah jelas seca-ra syar’i sebelum diketahui oseca-rang- orang-orang terdahulu. Dan dari Abi Yusuf bahwasanya saat beliau mendengar kabar Umar (mewakafkan tanahnya) sesungguhnya ia tidak menjual pokok-nya.‛

،صبَخٌا شِظبٌّٕا ًَِث :ِٟػَسر٢ا َيبَلَٚ َّْؤِث ساَٛٔ٤ا تِدبَص ِٗ١ٍََػ َٜشَج ِْإَٚ دُشَ٠ٚ

.ٌَٝبَؼَر الله هٍُِ فلٌَٛا

32

‚Al-Adzra’i33 mengatakan: se-orang nadzir tidak boleh meng-hilangkan zat asli (pokok) wakaf karena harta wakaf telah menjadi milik Allah swt.‛

Dari pendapat Ibnu Hajar al-Haita-mi di atas, memaparkan bahwa ke-pemilikan harta benda wakaf ini bu-kan pada kepemilibu-kan individu me-lainkan berubah menjadi kepemilikan Allah swt. Hal inilah yang menjadikan Ibnu Hajar al-Haitami bersikap

30Ibid.

31 Asy-Syafi’i (Imam Syafi’i) : pendiri

Madzhab Syafi’i. (Sumber: Dari Buku ,

Imam Syafi’i, Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik, dan Fiqih karya Abdul Syukur dkk)

32Ibid., h. 511.

33 Al-Adzra’i : ulama Madzhab Syafi’i yang menimba ilmu bersama Tajuddin as-Subkiy dan salah satu guru besarnya adalah Taqiyuddin as-Subkiy. (Sumber: Dari Kitab Thabaqat As-Syafi’iyyah

karya Tajuddin as-Subkiy)

menolak praktik jual beli harta benda wakaf. Beliau mengatakan sebagai berikut:

َٞأ ،ًَّذٌا َغَضَٚ َٚأ ش١ِثؤّزٌا َذؼَث َغَلَٚ َغ١َجٌا َّْأ ٣َف ٌءَٟش َُٗضَسبَؼُ٠ َْأ ِش١َغ ِِٓ َُٗىٍُِ ءبَمَث ًُص٢ا .بََِِٙذَؼٌِ ٢َٚ ٍذَ١ٌِ ٍزِئَٕ١ِد شظَٔ

34

‚Bahwasanya jual beli itu terjadi setelah ta’bir atau memberikan barang (yang dimilikinya kepada orang lain/ pembeli), berarti pokok (wakaf) itu selamanya dimiliki/ditahan dan tidak digantikan/dijual dengan sesuatu yang lain, maka seorang nadzir tidaklah memiliki kuasa (kepemilikan) dan tidak boleh menghilangkan (pokok) nya.‛

Pendapat kedua juga dikata-kan Ibnu Hajar al-Haitami dengan mengutip dari sebuah hadits shohih sebagai berikut:

شَجَخٌٍِ ًٌِطبَث هٌِبٌَّا َٓػ ٌَِّٟٚ ٢َٚ ًٍ١ِوَِٛث َش١ٌَ َِٓ ( خ١ِذّصٌا .)هٍَِّر بَّ١ِف ٢ِإ َغ١َث ٢

35

‚Disebutkan dalam khabar (hadits) shahih (janganlah menjual sesuatu (barang) selain dari apa-apa yang kamu miliki)‛

Sungguhpun harta benda wakaf tidak boleh diperjual-belikan, namun beliau memperbolehkan untuk disewa-kan. Beliau mengatakan:

ًمٌّٕا ًَجمَ٠ بًىٍُِ ًخَوٍَُِّٛ ًخَّٕ١َؼُِ بًٕ١َػ َُُٗٔٛو ُفُٛلٌَّٛا ّخِصَر خَؼَفَِٕ َٚأ حَذِئبَف بََٕٙ١َػ ِءبَمَث َغَِ بَِِٕٙ ًُِصذَ٠ .بَٙرَسبَجِإ

36

‚Barang yang diwakafkan harus terlihat dengan jelas, milik pribadi /atas nama sendiri, dapat

(13)

13 Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015 kan manfaat tanpa membuat habis

pokoknya, boleh untuk disewakan.‛ Kemudian beliau menjelaskan kembali sebagai berikut:

َْؤِث ِحُّٛمٌبِث ٌََٛٚ ،ُِِٕٗ دُٛصمٌَّا ِِٗثُسُٛوزٌَّا .بًجٌِبَغ ِسبَجئِزصِلإبِث ذُصمَر حّذُِ َٝمجَ٠

37

‚Maksud dari yang telah disebut-kan di atas yaitu sekalipun dengan mengusahakan/menguatkan untuk me-ngekalkan (pokok wakaf) selamanya, berarti dengan menyewakan secara umum (sewa umum)‛

Untuk memperkuat pendapat di atas, Ibnu Hajar al-Haitami juga me-ngutip pendapat tokoh/ulama terda-hulu yang semadzhab dengannya, seperti pendapat as-Subkiy38 dan Ibnu Rif’ah39. Beliau mengatakan:

حَسبَجِلإا ِٟف خَؼَفٌَّٕا ٍََُػ طاَشِزشا ًِصَف ِٟف ّشََِٚ ،ُٗؼِجاَشَف َهٌِزِث َكٍَّؼَر ٌَُٗ بَِ ِٟىجّضٌاَٚ خَؼفِس ِٓثا َٓػ غَٕزَّر ٌَُ بَِّّٔإَٚ ٌُبَؼَِ شّ١َغَر ٢ بَّٙٔ٤ بًمٍَطُِ حَدبَ٠ّزٌا

.فلٌَٛا

40

‚Dan penjelasan pada bab syarat-syarat pemanfaatan (harta wakaf) dengan disewakan, yang merupakan

37Ibid.

38Taqiyuddin ‘Ali bin Abdul Kafy as -Subkiy (683-756 H) : ulama Madzhab

Syafi’i dan menjadi rujukan umat Islam

dizamannya karena ketinggian ilmu dan kemulian akhlak yang dimilikinya. (Sumber: Dari Kitab Thabaqat As-Syafi’iyyah karya Tajuddin as-Subkiy)

39Ibnu Rif’ah: ulama Madzhab Syafi’i

yang semasa dengan as-Subkiy dan 3 (tiga) dari salah satu ulama yang memberikan julukan kepada as-Subkiy sebagai Imam Muhaditsin, Imam Fuqaha dan Imam Ushuliyyin. (Sumber: Idem)

40Ibid.. h. 508.

dari pendapat Ibn Rif’ah dan as-Subkiy yang mana mereka mengait-kan hal tersebut kemudian merujuk kepadanya, sebab secara mutlak (sewa) tidak sulit untuk menambah pendapatan dan karena (sewa) tidak merubah pokok wakaf.‛

A. Ketidakbolehan Pengalihan Status Kepemilikan Harta Benda Wakaf

Wakaf merupakan bentuk ibadah yang nilai pahalanya terus mengalir kepada wakif. Oleh karena itu, haki-kat harta benda yang telah diwakaf-kan ialah milik Allah dan hilangnya hak kepemilikan serta hanya dapat mengambil manfaat darinya saja.

Ketidakbolehan menjual harta benda wakaf menurut al-Haitami sebagaimana yang telah dibahas di atas, memiliki dasar atau pun alasan yang mengacu pada teks (nash) berupa hadits Nabi saw. yang mana di dalamnya terkandung makna bahwa harta wakaf tidak boleh dijual pokoknya, tidak diwarisi, dan tidak pula diberikan kepada orang lain (dihibahkan). Hadits ini merupakan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, yang berbunyi:

َُٕٗػ الله ِٟضَس شَُّػ َةبَصَأ :َيبَل شَُّػ ِٓثا َٓػ ٍََُّصَٚ ِٗ١ٍََػ الله ٍَّٝص ِٟجٌّٕا َٝرَؤَف ،شَج١َخِث بًضسَأ الله يُٛصَس بَ٠ َيبَمَف بَٙ١ِف ُُٖشِِؤَزضَ٠ بًضسَأ ُذجَصَأ ِّٝٔإ

َيبَل ،ُِِٕٗ ِٜذِٕػ ُشَفَٔأ َُٛ٘ ّظَل َ٢بَِ تِصُأ ٌَُ شَج١َخِث َقّذَصَزَف َيبَل بَِٙث َذلّذَصَرَٚ بٍََٙصَأ َذضَجَد َذئِش ِْإ ُتَُ٘ٛ٠ َلاَٚ ُسَسُٛ٠ َلاَٚ بٍَُٙصَأ ُعبَجُ٠ َلا َُّٗٔأ شَُّػ بَِٙث ا ِٝفَٚ ءاَشَمُفٌا ِٝف بَِٙث َقّذَصَزَف ِةبَلّشٌا ِٝفَٚ َٝثشُمٌ

(14)

Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015 14 َُِؼطُ٠َٚ ِفُٚشؼٌَّبِث بَِِٕٙ ًَُوؤَ٠ َْأ بََٙ١ٌَِٚ َِٓ

ُعفٌٍّاَٚ ،ٗ١ٍََػ ٌكَفّزُِ .ًلابَِ ٍيََّّٛزُِ َش١َغبًم٠ِذَص ٍُِضٌُِّ .41 Artinya: ‚Dari Ibnu Umar berkata: Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, lalu dia menghadap Nabi saw. dan bertanya: ‚Wahai Rasulu-llah, aku telah memperoleh sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah kuperoleh sebaik iru, lalu apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?‛ Rasulullah bersabda: ‚Jika suka, engkau tahanlah pokoknya dan eng-kau gunakanlah untuk sedekah (jadikanlah wakaf)‛, kata Ibnu Umar: ‚Lalu Umar menyedekahkannya, ti-dak dijual pokoknya, titi-dak diwarisi dan tidak pula diberikan kepada orang lain (dihibahkan), dia menyedekahkan pada orang-orang fakir, kerabat atau keluarga terdekat, hamba yang merde-ka, orang-orang yang berada di jalan Allah, musafir, dan tamu, tidak ada halangan bagi orang yang mengurusi-nya untuk memakan sebagian darimengurusi-nya dengan cara yang ma’ruf (baik).‛ (Muttafaq ‘alaih dan lafadz bagi Muslim)

Alasan al-Haitami atas larangan menjual harta wakaf juga mengacu pada teks (nash) berupa hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim lainnya, khususnya membahas syarat sah akad jual beli salah satunya ialah barang yang akan diperjual-belikan harus

41 Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Loc. Cit., h. 159.

milik pribadi. Sebagaimana hadits Nabi saw. yaitu:

الله َِٟضَس ِّٖذَج َٓػ ِٗ١ِثَأ َٓػ ت١َؼُش ٓث ُٚشَّػ َٓػ ٢ ٍَُّصَٚ ٗ١ٍََػ الله ٍَّٝص الله ُيُٛصَس َيبَل :َيبَل بََُّٕٙػ َش ٢َٚ ،ٌغ١َثَٚ ٌفٍََص ًِّذَ٠ ُخثِس ٢َٚ ،ٍغ١َث ِٟف ِْبَطش

خَضَّخٌا ُٖاََٚس .نَذِٕػ َش١ٌَ بَِ ُغ١َث ٢َٚ ،َّٓضَ٠ ٌَُبَِ .ُِوبَذٌاَٚ َخَّ٠َزُخ ُٓثاَٚ ِّٜزِِشّزٌا َُٗذّذَصَٚ

42

Artinya: ‚Dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya ra. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: tidak halal pinjam dan jual, tidak (halal) dua syarat dalam satu penjualan, tidak (halal) keuntungan dari barang yang ia (penjual) tidak tanggung, dan (halal) menjual barang yang bukan milikmu.‛ (Diriwayatkan oleh Lima dan disahkan oleh Imam Tarmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Hakim)

Pengakuan al-Haitami terhadap hadits tersebut menunjukkan bahwa beliau tidak setuju dengan adanya jual beli harta benda wakaf. Sebab harta benda yang telah diwakafkan sepe-nuhnya telah menjadi milik Allah swt, sehingga nadzir tidak memiliki kuasa (hak milik) atas pokoknya melainkan yang dapat digunakan hanya manfaat dari benda itu sendiri.

Hal ini dikarenakan Ibnu Hajar Al-Haitami merupakan ulama golongan syafi’iyah yang memiliki pemikiran yang tetap memelihara tradisi intelektualnya. Al-Haitami hidup di zaman kemunduran Islam, tepatnya pada abad modern saat umat Islam harus menghadapi kekuatan bangsa-bangsa Eropa Barat sepeninggalnya

(15)

15 Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015 Ibnu Khaldun.43 Dimana terjadi

keprihatinan yang mendalam tentang degradasi sosio moral umat muslim atau disebut revivalisme pra modernis. Pemikiran Al-Haitami lebih cenderung pada teks dari pada melihat kenyataan yang terjadi di lapangan atau situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian (konteks), demi menjaga keaslian yang diajarkan dalam al-Quran dan al-Hadits serta menjaga keutuhan pokok benda wakaf.

Pendapat al-Haitami tentang larangan menjual harta benda wakaf selain mengacu pada teks (nash), pendapat beliau juga melihat pada pendapat Abu Yusuf dan Imam Syafi’i, sebagaimana beliau paparkan dalam kitab karangannya yaitu kitab Tuhfatu Muhtaj Bi Syarhi

al-Minhaj yang merupakan syarah

(penjelasan) dari kitab al-Minhaj karangan Imam Nawawi.

Akan tetapi, ada beberapa ulama golongan syafi’iyah lainnya yang memiliki sudut pandang berbeda, yang membolehkan menjual harta benda wakaf dengan pengecualian. Diantaranya: Syeikh Imam Romli yang juga mensyarahkan kitab al-Minhaj dalam kitab karangannya Nihayatu Muhtaj ‘Ala Syarhi al-Minhaj, Syeikh Sulaiman bin Umar dalam kitab Hasyiyatu al-Bujairami ‘Ala Syarhi Minhaji ath-Thulab dan

43 Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 56.

Ibnu Qasim al-Ghazy dalam kitab Hasyiyatu al-Bajury serta salah satu murid al-Haitami yang bernama Zainuddin al-Malibari pengarang kitab Fathu al-Mu’in, yang menjelas-kan dalam kitab karangannya masing-masing yaitu membolehkan menjual harta benda wakaf jika terjadi dalam situasi dan kondisi darurat dan hasil penjualannya dibelikan/digantikan de-ngan barang yang sama atau barang yang lebih baik (bermanfaat).

Adapun beberapa pendapat lain-nya yang membolehkan jual beli harta benda wakaf, ialah:

a. Sebagian para fuqaha golongan Malikiyah yang berpendapat bahwa menukar harta benda wakaf dengan yang lain diperbolehkan, jika dipandang barang tersebut sudak tidak bermanfaat lagi, sebab dengan adanya penukaran maka barang wakaf tidak menjadi sia-sia.44

b. Para ahli hukum di kalangan Madzhab Hambali mengatakan bahwa pada dasarnya perubahan peruntukan dan status tanah wakaf tidak diperbolehkan, kecuali apabila tanah wakaf tersebut sudah tidak dapat lagi dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf. Demikian juga perdebatan tentang boleh tidaknya menjual masjid, dalam hal ini sebagian para fuqaha di kalangan Madzhab Hambali memperbolehkan menjual masjid bila masjid tersebut sudah tidak sesuai

(16)

Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015 16 lagi dengan tujuan pokok perwakafan.

Hal ini berdasarkan dengan perbuatan sahabat Nabi saw. yakni Umar bin Khattab yang telah mengganti Masjid Kufah yang lama dengan masjid yang baru, juga tempatnya beliau pindahkan sehingga tempat masjid yang lama menjadi pasar.45

c. Sedangan pendapat di kalangan golongan Hanafiyah bahwa dalam hal penukaran tanah wakaf sangat tergantung pada ikrar yang dilakukan oleh si wakif, apabila pada waktu ikrar ada disebutkan boleh ditukar maka penukaran itu sah dilak-sanakan.46

d. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 41, yang berbunyi:

1) Ketentuan sebagaimana di-maksud dalam pasal 40 huruf f dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digu-nakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah.

2) Pelaksanaan ketentuan seba-gaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.

3) Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena

45 Sayid Sabiq, Op. Cit., h. 1074. 46Ibid., h. 40.

ketentuan pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.

4) Ketentuan mengenai peru-bahan status harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

B. Pemberdayaan Harta Benda Wakaf Secara Ekonomi

Penegasan al-Haitami mengenai larangan jual beli harta benda wakaf, tidak menyudutkan pemikirannya untuk dapat lebih berkembang, sebab beliau memperbolehkan harta benda wakaf untuk disewakan dengan syarat barang yang disewakan secara umum (sewa umum). Dikarenakan beliau mengacu pada pendapat Ibnu Rif’ah dan as-Subkiy serta Imam Nawawi dalam pemberdayaan harta benda wa-kaf dengan cara disewakan, dimak-sudkan bahwa dengan disewakan harta benda wakaf akan memiliki pendapatan dalam pemanfaatannya tanpa mengurangi pokok harta wakaf. Hal ini dipaparkan beliau dalam kitab Tuhfatu Muhtaj Bi Syarhi al-Minhaj.

(17)

17 Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015 menyewakannya. Seperti contoh:

Pembangunan rumah sewa berbasis wakaf produktif telah rampung. Sejumlah empat belas unit rumah sewa di bilangan Jl. Kramat Tajur, Ciledug ini pun telah siap dihuni. Menghabiskan dana Rp. 900 juta, komplek rumah sewa di atas lahan 640 m2 ini berpotensi menghasilkan pendapatan hingga Rp. 100 juta di tahun pertama. Rumah sewa berbasis wakaf ini merupakan hasil kombinasi wakaf tanah dan wakaf melalui uang. Tanah wakaf yang tersedia merupa-kan donasi dari Ibu Nila Utami. Sementara, dana investasi pemba-ngunan berasal dari donasi wakaf melalui uang yang diperoleh dari donatur-donatur Dompet Dhuafa. Pendapatan dari rumah-rumah sewa ini selanjutnya akan diperuntukkan dalam tiga kategori. Alokasi 50% pendapatan akan disalurkan kepada program sosial, baik pendidikan, kesehatan maupun pemberdayaan ekonomi bagi dhuafa. Alokasi 40% pendapatan akan dicadangkan untuk biaya pemeliharaan dan pengembang-an program wakaf. Sementara operasional pengelola wakaf (nadzir), akan dialokasikan dari 10% penda-patan sewa. Rumah sewa yang akan diberi nama Griya Sakinah Ciledug ini merupakan aset wakaf produktif baru yang dimiliki Tabung Wakaf Indonesia Dompet Dhuafa. Aset ini menjadi pelengkap atas aset-aset properti produktif lain yang sudah ada seperti ruko, foodcourt dan lapangan futsal. Saat ini, aset wakaf produktif

lain yang sedang digarap adalah 6 unit ruko di Zona Madina – Parung dan 15 unit rumah sewa di Ciater – Serpong.47

Analisis

A. Keabsahan Akad Ditinjau Dari Hukum Islam

Telah kita ketahui bahwa dalam suatu muamalah akan terjadi adanya akad, yakni perikatan ijab dan kabul

yang dibenarkan syara’ yang

menetapkan kerelaan kedua belah pihak.48 Begitu pula sama halnya dengan wakaf, sah atau tidaknya harta benda yang akan diwakafkan salah satunya ialah dengan adanya akad (ijab dan kabul). Dalam akad terdapat beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi, seperti halnya dengan wakaf, jika salah satu rukun tidak dapat dipenuhi maka hal tersebut dianggap tidak sah.

Para ulama fiqih mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi dilihat dari beberapa segi. Jika dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, akad terbagi dua,49 yaitu:

a. Akad Shahih, ialah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad shahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu mengikat

47 http://www.tabungwakaf.com 48 Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Op. Cit., h. 51.

(18)

Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015 18 kepada pihak-pihak yang berakad.

Jika dilihat dari sisi mengikat atau tidaknya akad yang shahih itu, para ulama fiqih membaginya kepada dua macam,50 yaitu:

1) Akad yang bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, sehingga salah satu pihak tidak boleh membatalkan akad itu tanpa seizin pihak lain. Seperti akad jual beli dan sewa menyewa.

2) Akad yang tidak bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, seperti akad al-wakalah (perwakilan), al’ariyah (pinjam-meminjam), dan al-wadhi’ah (barang titipan).

b. Akad Ghair Shahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya (fasid), sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad.

Jika kita melihat dari penjelasan di atas, jual beli harta benda wakaf termasuk kepada akad ghair shahih, sebab terdapat kekurangan pada rukun dan syarat, diantaranya:

a. Harta benda wakaf bukanlah milik pribadi sehingga kepemilikan harta benda wakaf tidak dimiliki secara pribadi karena bersifat umum dan nadzir tidak mempunyai kekua-saan atas benda tersebut, sedangkan dalam hukum Islam dan menurut kesepakatan kebanyakan ulama bah-wa syarat barang yang diperjualbeli-kan harus miik seseorang (pribadi).

50Ibid., h. 241.

b. Tujuan atau maksud pokok mengadakan akad yang telah dilakukan diawal tidak dapat diganti, berbeda akad maka berbeda pula tujuan pokok akad, sebab tujuan pokok akad wakaf ialah mengambil manfaatnya, barang/benda asalnya tetap, tidak boleh dijual, diwariskan atau dihibahkan. Apabila terjadi pengalihan fungsi harta benda wakaf seperti dijual, maka tujuan atau maksud pokok akad wakaf akan berubah.

c. Akad jual beli harta benda wakaf pada dasarnya memiliki larangan dalam syara’, sebagaimana hadits Nabi saw. yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya yang menjelaskan tentang asal permulaan wakaf dan syarat-syaratnya. Oleh karena itu, keabsahan akad jual beli harta benda wakaf adalah fasid.

B. Orientasi Akad Tabarru’ (اؤّرَبَت) dan Tijarah (ةَراَجِت) Wakaf Menurut Hukum Islam

(19)

19 Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015 lain yang penggunannya untuk

kepentingan umum dan agama. Oleh karena itu, harta benda wakaf adalah untuk memfasilitasi secara kekal semua jalan kebaikan untuk mencapai kemajuan umat Islam.

Namun demikian, bukan berarti akad tabarru’ sama sekali tidak dapat digunakan dalam kegiatan komersil (mencari keuntungan). Bahkan pada kenyataannya penggunaan akad tabarru’ sering sangat vital dalam transaksi komersil, Karena akad tabarru’ ini dapat digunakan untuk menjembatani atau memperlancar akad-akad tijarah, salah satunya yaitu pada pemanfaatan harta benda wakaf.

Pemanfaatan harta benda wakaf ke dalam akad tijarah yaitu dengan menyewakannya. Menurut jumhur ulama, menyewakan harta benda wa-kaf hukumnya boleh, sebagaimana pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan Imam Nawawi yang memperboleh-kannya. Tetapi walaupun begitu, para ulama berbeda pendapat tentang masa penyewaan benda wakaf.

Pemahaman wakaf saat ini harus berorientasi kepada wakaf produktif, tidak hanya untuk kepentingan per-ibadatan tetapi lebih ditekankan kepa-da kepentingan masyarakat seperti pembangunan perumahan/rumah su-sun, perkantoran, pasar swalayan, industri, penanaman bibit unggul, per-ikanan dan sebagainya yang hasilnya digunakan untuk kepentingan masya-rakat dalam menuntaskan

kemiskin-an.51 Perkembangan pengelolaan aset wakaf saat ini tidak terbatas pada benda tidak bergerak tetapi juga benda bergerak termasuk uang. Di beberapa negara muslim seperti Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Turki, dan Kuwait, wakaf selain berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan juga berupa tanah per-tanian, perkebunan, flat, hotel, pusat perbelanjaan, uang, saham, real estate, dan lain-lain yang semuanya dikelola secara produktif dan hasilnya benar-benar dapat dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan umat.52

Kemaslahatan dalam menyewakan benda wakaf sangat dirasakan diban-dingkan dengan hanya sekedar digu-nakan sebagai kepentingan ibadah dan sosial saja. Berkaitan dengan kemas-lahatan, Ibnu Taimiyah berpendapat53 bahwa sesungguhnya yang menjadi tujuan pokok wakaf adalah menjaga kemaslahatan. Allah swt menyuruh kita menjalankan kemaslahatan dan menjauhi kerusakan, dan Allah telah mengutus utusan-Nya guna menyem-purnakan kemaslahatan dan mele-nyapkan segala kerusakan.54 Firman Allah swt.

51 Abdul Manan, Op. Cit., h. 275. 52 Miftahul Huda, Pengelolaan Wakaf Dalam Perspektif Fundraising, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2012), cet. Ke-1, h. 59.

53 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Jakarta: Sinar Baru Algesindo, 2010), cet. Ke-47, h. 344.

(20)

Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015 20 . ََُْٛٔزذَ٠ ُُ٘٢َٚ ُِٙ١ٍََػ ٌفَٛخ ٣َف َخٍَصَاَٚ َٝمّرا ََِّٓف

Artinya: ‚Maka barang siapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan, tidakalah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.‛ (Al-A’raf: 35).

Kebutuhan hidup masyarakat yang paling terpenting saat ini yaitu tempat tinggal yang layak untuk dihuni. Pembangunan rumah susun sekarang ini sangat berkembang dengan pesat mengingat semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan tempat hunian yang layak. Berdasarkan hal tersebut, agar pemenuhan kebutuhan masyarakat akan tempat hunian dapat terakomodasi dengan baik, maka di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun) menetapkan bahwa selain dapat dibangun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan dan hak pakai tertentu, juga diatur pula mengenai pembangun rumah susun melalui pendayagunaan tanah wakaf. Ketentuan yang memperbolehkan pembangunan rumah susun umum dan/atau rumah susun khusus dengan pendayagunaan tanah wakaf diatur dalam Pasal 18 UU Rusun. Ketentuan dan syarat pendayagunaan tanah wakaf sebagaimana diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 UU Rusun.

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf telah mengako-modir segala hal yang berhubungan tentang wakaf menuju kepada wakaf produktif. Peraturan perundang-un-dangan ini telah mempersiapkan seluruh potensi wakaf yang ada di

tanah air secara produktif bersamaan dengan lajunya perubahan struktur masyarakat modern yang lebih banyak bertumpu pada sektor industri. Wakaf harus dikembangkan secara optimal dengan pengelolaan profesional pro-duktif untuk mencapai hasil yang nyata dalam kehidupan masyarakat. Semua harta wakaf yang mempunyai nilai komersial yang tinggi harus ditata kembali dan hasilnya disalur-kan untuk kesejahteraan masyarakat.

Dengan demikian, pemikiran Ibnu Hajar al-Haitami sekalipun sangat tekstual terhadap larangan jual beli harta benda wakaf, dikarenakan men-jaga keaslian yang diajarkan al-Quran dan al-Hadits serta menjaga keutuhan pokok benda wakaf. Namun sikap beliau dalam memberdayakan harta benda wakaf secara ekonomi, yaitu dengan diperbolehkannya untuk menyewakan harta benda wakaf, merupakan sebuah pemikiran yang futuristik, yang mana dampak kemas-lahatannya dalam jangka panjang dari pendapat beliau tersebut dapat dirasakan sampai saat ini, dan hal tersebut menjadi salah satu pola dan strategi dalam pengembangan aset wakaf di Indonesia.

Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

(21)

21 Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015 apapun. Pendapat ini beliau ambil

berdasarkan hadits Rasulullah saw. dari Umar dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, yang berbunyi:

َُٕٗػ الله ِٟضَس شَُّػ َةبَصَأ :َيبَل شَُّػ ِٓثا َٓػ َػ الله ٍَّٝص ِٟجٌّٕا َٝرَؤَف ،شَج١َخِث بًضسَأ ٍََُّصَٚ ِٗ١ٍَ

بًضسَأ ُذجَصَأ ِّٝٔإ الله يُٛصَس بَ٠ َيبَمَف بَٙ١ِف ُُٖشِِؤَزضَ٠ َيبَل ،ُِِٕٗ ِٜذِٕػ ُشَفَٔأ َُٛ٘ ّظَل َ٢بَِ تِصُأ ٌَُ شَج١َخِث َقّذَصَزَف َيبَل بَِٙث َذلّذَصَرَٚ بٍََٙصَأ َذضَجَد َذئِش ِْإ ُٛ٠ َلاَٚ بٍَُٙصَأ ُعبَجُ٠ َلا َُّٗٔأ شَُّػ بَِٙث ُتَُ٘ٛ٠ َلاَٚ ُسَس

ِةبَلّشٌا ِٝفَٚ َٝثشُمٌا ِٝفَٚ ءاَشَمُفٌا ِٝف بَِٙث َقّذَصَزَف ٍََٝػ َحبَُٕج َلا ،ِف١ّضٌاَٚ ًِ١ِجّضٌا ِٓثاَٚ الله ًِ١ِجَص ِٝفَٚ َُِؼطُ٠َٚ ِفُٚشؼٌَّبِث بَِِٕٙ ًَُوؤَ٠ َْأ بََٙ١ٌَِٚ َِٓ اَٚ ،ٗ١ٍََػ ٌكَفّزُِ .ًلابَِ ٍيََّّٛزُِ َش١َغبًم٠ِذَص ٍُِضٌُِّ ُعفٌٍّ

Artinya: ‚Dari Ibnu Umar berkata: Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, lalu dia menghadap Nabi saw. dan bertanya: ‚Wahai Rasulu-llah, aku telah memperoleh sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah kuperoleh sebaik itu, lalu apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?‛ Rasulullah bersabda: ‚Jika suka, eng-kau tahanlah pokoknya dan engeng-kau gunakanlah untuk sedekah (jadikanlah wakaf)‛, kata Ibnu Umar: ‚Lalu Umar menyedekahkannya, tidak dijual po-koknya, tidak diwarisi dan tidak pula diberikan kepada orang lain (dihibah-kan), dia menyedekahkan pada orang-orang fakir, kerabat atau keluarga terdekat, hamba yang merdeka, orang-orang yang berada di jalan Allah, musafir, dan tamu, tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian darinya dengan cara yang ma’ruf (baik).‛ (Muttafaq ‘alaih dan lafadz bagi Muslim)

Selain hadits yang melarang jual beli harta benda wakaf, beliau juga mengambil dari hadits shahih yang melarang menjual sesuatu yang bukan miliknya (milik pribadi).

الله َِٟضَس ِّٖذَج َٓػ ِٗ١ِثَأ َٓػ ت١َؼُش ٓث ُٚشَّػ َٓػ ٢ ٍَُّصَٚ ٗ١ٍََػ الله ٍَّٝص الله ُيُٛصَس َيبَل :َيبَل بََُّٕٙػ ُخثِس ٢َٚ ،ٍغ١َث ِٟف ِْبَطشَش ٢َٚ ،ٌغ١َثَٚ ٌفٍََص ًِّذَ٠ خَضَّخٌا ُٖاََٚس .نَذِٕػ َش١ٌَ بَِ ُغ١َث ٢َٚ ،َّٓضَ٠ ٌَُبَِ ّزٌا َُٗذّذَصَٚ .ُِوبَذٌاَٚ َخَّ٠َزُخ ُٓثاَٚ ِّٜزِِش

Artinya: ‚Dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya ra. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: ti-dak halal pinjam dan jual, titi-dak (halal) dua syarat dalam satu penjualan, tidak (halal) keuntungan dari barang yang ia (penjual) tidak tanggung, dan (halal) menjual barang yang bukan milikmu.‛ (Diriwayatkan oleh Lima dan disahkan oleh Imam Tarmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Hakim)

(22)

Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015 22 abad modern saat umat Islam harus

menghadapi kekuatan bangsa-bangsa Eropa Barat sepeninggalnya Ibnu Khaldun. Dimana terjadi keprihatinan yang mendalam tentang degradasi sosio moral umat muslim atau disebut revivalisme pra modernis. Ada kemungkinan saat beliau melarang jual beli harta benda wakaf itu, dipengaruhi oleh keadaan umat Islam yang saat itu sangat jauh dengan ajaran-ajaran Islam ataupun syariat.

Walaupun pemikiran al-Haitami terlihat sempit dalam hal tersebut, beliau juga memiliki konsistensi dalam pemikirannya yaitu dengan menjaga rukun-rukun dan syarat-syarat jual beli dalam hukum Islam. dan hal itu tidak menyudutkan pemikirannya untuk memberikan kemaslahatan bagi harta wakaf dengan memberdayakannya secara ekonomi yakni ijarah (sewa-me-nyewa). Kebolehan menyewakan harta benda wakaf ini, sejalan dengan perkembangan masyarakat khususnya umat Islam di Indonesia saat ini, seperti berkembangnya pembangunan dan penyewaan rumah-rumah susun di atas tanah wakaf, sebagaimana hal tersebut telah diatur dalam manajemen wakaf produktif di dalam undang-undang perwakafan.

Daftar Pustaka

Al-Asqalani, Al-Hafidz Ibnu Hajar, Bulughu al-Maram, Indonesia: Dar Ihya

Al-Ghazy, Ibnu Qasim, Hasyiyatu al-Bajuri, Beirut: Dar Ihya al-Turost al-Arabi, 2005, cet. Ke-1, jilid 2, Al-Haitami, Ibnu Hajar, Tuhfatu

al-Muhtaj bi Syarhi al-Minhaj, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 2005, jilid II, cet. Ke-2

Al-Jaziri, Abdurrahman, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dar at-Taqwa, jilid III

Al Minawi, At Tauqif ‘ala Muhimat Ta’arif, Cairo: Alamul Qutub, 1990

Al-Munawir, Said Agil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani, 2004 Al-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islami

wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 2005, jilid IV Asy-Syafi’i, Imam Muhammad Ibn

Idris, Umm, Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah, 2009, cet. Ke-2, jilid 1.

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah. Bandung: PT. Al Ma’arif, 1987, cet. Ke-2

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, Edisi III, cet. Ke-2

Ghazaly, Abdul Rahman dkk, Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana, 2010, cet. Ke-1

Halim, Abdul, Hukum Perwakafan Di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2005, cet. Ke-1

(23)

23 Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015

Mu`jam al-Ma`ajim Wa

al-Masyikhat Wa al-Musalsalat, Dar al-Gharb al-Islami, 1982, cet. Ke- 2.

Haq, Faisal, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, Pasuruan Jatim: Garoeda Buana Indah, 1994, cet. Ke-2

Huda, Miftahul, Pengelolaan Wakaf Dalam Perspektif Fundraising, Jakarta: Kementerian Agama RI, 2012, cet. Ke-1.

Khallaf, Abdul Wahhab, Ahkam al-Waqf, Kairo: Matba’ah al-Misr, 1951

Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Nuansa Aulia, 2012, Edisi Revisi Madjid, Nurcholis, Khazanah

Intelek-tual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984

Miles, Metthew B., A Haberman,

Analisis Data Kualitatif, Jakarta:

UI-Press. 1992

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosdakarya, 2010, cet. Ke-27 Peraturan Pemerintah Nomor 42

Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf., Bandung: Nuansa Aulia, 2012, Edisi Revisi

Prihatin, Farida dkk, Hukum Islam, Zakat dan Wakaf, Teori dan Praktiknya di Indonesia, Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2005

Qahaf, Mundzir, Manajemen Wakaf

Produktif, Jakarta: Khalifa

(Pustaka al-Kautsar Group), 2007 Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam,

Jakarta: Sinar Baru Algesindo, 2010, cet. Ke-47

Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1983, jilid III Soekanto, Soerjono, Pengantar

Penelitian Hukum, Jakarta:

Universitas Indonesia, 1986 Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban

Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008

Syukur, Abdul dkk, Imam Syafi’i, Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik, dan Fiqih, Jakarta: Lentera, 2005 Undang-undang Nomor 41 Tahun

2004, Bandung: Nuansa Aulia, 2012, Edisi Revisi

Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta: Logos, 1997.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil uji Chi-square diperoleh hasil Pvalue <0,000 artinya ada hubungan antara pengetahuan ibu tentang ASI Perah terhadap pemberian ASI Eksklusif, dengan nilai

Materi IPA yang diajarkan kepada siswa adalah contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pada proses pembelajaran semua materi dikaitkan dengan kehidupan

Ketika penurunan nilai wajar atas aset keuangan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual telah diakui secara langsung dalam pendapatan komprehensif lainnya

Faktor-faktor yang mempengaruhi konsistensi perencanaan dan penganggaran yaitu kurangnya pemahaman tentang perencanaan dan penganggaran, SKPD belum memperhatikan pagu

Dengan adanya perbedaan antara siswa yang diajarkan dengan pendekatan matematika realistik dan siswa yang diajarkan dengan pendekatan konvensional, disarankan

Hal ini dapat dilihat dari bagaimana mahasiswi muslim jurusan PGSD UST Yogyakarta angkatan 2016 merespon setelah mengakses postingan yang terdapat dalam akun

Luasnya wilayah, banyaknya penduduk, serta dinamisnya aktivitas ekonomi merupakan suatu tantangan tersendiri dalam menegakkan perpajakan di Indonesia. Apalagi pajak

Produksi arang terpadu dengan hasil cuka kayu dari limbah kayu dengan menggunakan tungku drum ganda yang dilengkapi alat pengkondensasi asap berkisar 6,00 - 15,00 kg.. Rendemen