• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebebasan Beragama di tengah Masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kebebasan Beragama di tengah Masyarakat"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

1

KEBEBASAN BERAGAMA DI TENGAH

MASYARAKAT SEKULAR*

Skandal Jilbab di Perancis

Nicky Jones

Salah satu contoh paling menarik dalam beberapa tahun terakhir ini adalah ketegangan antara nilai-nilai berbasis sekular dan keagamaan yang terjadi di Perancis yang sering disebut ‘skandal jilbab’. Awal munculnya skandal sendiri bisa ditelusuri ke belakang di tahun 1989, yang kemudian diikuti beberapa kasus serupa selama dekade 1990-an. Skandal dimulai ketika sekolah umum di utara Perancis, mengeluarkan tiga siswi muslim karena menolak untuk menanggalkan jilbabnya yang mereka kenakan ketika mengikuti jam sekolah. Kasus pengusiran siswi ini diliput secara luas oleh media di Perancis maupun internasional dan kemudan juga diikuti kasus tindakan pengusiran beberapa siswi Muslim dari berbagai sekolah baik sekolah di kota kecil maupun di kota besar di seluruh Perancis, bersamaan juga dengan maraknya protes di kalangan masyarakat.

Skandal sendiri dinilai sangat kontroversial karena beberapa alasan. Satu hal yang pasti, skandal seputar penutup kepala ini, item busana yang secara historis memiliki akar kuatdan kadang-kadang berbenturan dengan politik keagamaan, budaya dan adanya konotasi sosial. Selama skandal berlangsung, jilbab telah mengirim berbagai pesan dalam ‘simbolisme yang kuat’,1

simbolisme bisa memiliki pengaruh, kompleksitas dan tentu saja kontradiksi. Alasan-alasan penting lain yang mengelilingi kontroversi skandal adalah keberadaan penutup kepala yang bisa berdampak pada sosial kemasyarakatan, politik, dan ‘urat-saraf’ kebudayaan: alasan pihak-pihak terkait kasus

* Naskah Asli: Freedom of religion in A Secular Society; the Case of Islamic Headscarf in France oleh Nicky (Dosen Hukum University of Southern Queensland) dalam Paul Babie and Neville Rochow (ed), Freedoms of Religion under Bills of Rights (University of Adeleide Press (Adeleide) 2012. Naskah dialihbahasakan oleh Agung Mazkuri.

(2)

2

pendiskualifikasian siswi-siswi Muslim, yang kebanyakan dari mereka adalah anak-anak dari keluarga imigran yang rata-rata tak memiliki pekerjaan tetap dan religius atau kelompok yang mengalami diskriminasi rasial dan tinggal di kondisi lingkungan kumuh. Sebagai tambahan, skandal jilbab juga dikaitkan dengan adanya kebijakan integrasi sosial kemasyarakatan dan asimilasi budaya, meski pada kenyataannya banyak dari perempuan muslim yang memprihatinkan ini lahir dan tumbuh di Perancis. Terlebih lagi, skandal ini ‘digarap’ sebagai katalisator politik secara terus-menerus bagi partai-partai politik haluan konservatif dan kelompok-kelompok yang menentang dalam debat publik dengan mengusung kampanye anti-Muslim dan anti imigran dan mengkritik mereka karena jelas-jelas gagal atau enggan untuk berintegrasi ke dalam budaya arus utama masyarakat Perancis.

Bagaimanapun, kunci persoalan terdapat pada bentuk sekularisme yang dianut Perancis yang sangat fundamental. Prinsip sekularisme sendiri merupakan suatu metode kunci pendekatan dalam [setiap] pengambilan kebijakan publik di Perancis, terutama di ranah pendidikan publik yang menjadi pokok bahasan di sini. Sebagai tambahan, sekularisme adalah representasi dari seperangkat nilai-nilai sosial dan budaya yang beresonansi ke akar kesejarahan terhadap kebanyakan orang Perancis secara mendalam. Munculnya skandal menghidupkan kembali perdebatan sisi kesejarahan agama dan sejauh mana jangkauan ranah penerapan sekluarisme

Bagian ini akan membahas beberapa permasalahan yang memiliki signifikansi terkait terjadinya skandal jilbab, termasuk mengkaji kembali legal opinion yang dikeluarkan oleh mahkamah konstitusinya Perancis pada tahun 1989, Conseil d’État, yang telah mengeluarkan putusan terkait prinsip-prinsip hukum mana yang harus dianut dalam penyelesaian sengketa, serta adanya Surat Edaran Menteri yang dikeluarkan dalam mengetahu gambaran bagaimana pengaplikasian legal opinion mahkamah tersebut dan penerapannya dalam kasus permohonan banding yang diajukan oleh pihak para siswi yang diusir sekolahnya. Bab ini juga akan menyinggung perkembangan sekularisme di Perancis dan diskursus hak dan kewajibannya, secara integral menurut doktrin sekularisme, sebagaimana ditekankan dalam legal opinion pada tahun 1989 dan kemudian diterapkan dalam kasus hukum ‘jilbab’ tersebut.

(3)

3

memunculkan model pengaplikasian yang lebih beragam pula dan hasil yang lebih baik bagi pihak-pihak yang ingin dilindungi hukum. Saya juga mencatat beberapa peristiwa yang telah terjadi di Australia dalam beberapa tahun terakhir yang menimbulkan pertanyaan serupa, sebagaimana halnya akan dikaji dalam skandal jilbab di Perancis: apa arti dari sekularisme dalam lingkup Australia dan apa implikasi yang mungkin terjadi terkait terhadap kebebasan budaya dan agama, dan adanya pembatasan-pembatasan kebebasan tersebut?

1. Skandal jilbab di Perancis 1.2 Skandal jilbab pada 1989

Insiden skandal pertama kali terjadi pada 18 September 1989, ketika dimulai tahun ajaran baru. Tiga siswi Muslim, Fatima berusia 14 tahun, saudara perempuannya Leila usia 15 tahun dan temannya Samira 14 tahun, guna mengikuti jam sekolah dengan mengenakan jilbab di salah satu lower secondary school di Creil. Para siswi tersebut menolak untuk menanggalkan jilbab mereka ketika disuruh untuk melakukannya berdasarkan aturan sekolah dan oleh para guru, yang mana penolakan ini ditafsirkan sebagai pelanggaran terhadap sekularisme di ranah pendidikan publik, dan segera status kesiswaan mereka ditangguhkan oleh pihak sekolah.

Penangguhan status kesiswaan tadi telah menarik perhatian banyak media. Selama minggu-minggu paska kejadian penangguhan, koran nasional menempatkan berita tersebut sebagai berita utama dalam headline dengan menggambarkan bahwa insiden serupa juga terjadi di kota-kota lain di Perancis, yairu pengusiran para siswi Muslim lainnya karena memakai jilbab ke sekolah.2 Terjadi perdebatan sengit di media menyangkut prinsip sekularisme

dan hak-hak atas perlakuan yang setara dalam pendidikan dan kebebasan beragama para siswi tersebut.

Pada 9 Oktober, setelah adanya intervensi departemen terkait, pertemuan dengan para wali murid dan mediasi yang dilakukan oleh pihak perhimpunan budaya lokal, tiga siswi Creil tadi diperkenankan kembali ke sekolah. Negosiasi telah menghadirkan kesepakatan kompromistis: anak-anak bisa memakai jilbab di mana saja mereka mau di lingkungan sekolah, tetapi akan menurunkan penutup kepalanya sebahu jika mereka berada di kelas.

Namun, 10 hari paska kesepakatan kompromistis tersebut, tiga siswi tadi melanggar perjanjian dengan menolak untuk menurunkan jilbabnya di kelas. Diberitakan di media bahwa tindakan para gadis tersebut setelah terjadinya pertemuan antara ayah para siswi tersebut dengan perwakilan dari Fédération Nationale des Musulmans de France, sebuah perhimpunan Muslim yang sedang menyiapkan diri untuk beroposisi terhadap Masjid Paris yang lebih

(4)

4

moderat.3 Kesiswaan mereka ditangguhkan kembali, dilarang mengikuti

pelajaran di kelas dan memasuki perpustakaan sekolah. Penangguhan mereka menghasilkan pertemuan pertemuan selama lima jam antara para guru dan orang tua wali, otoritas pendidikan dan perwakilan dari perhimpunan kebudayaan menemui jalan buntu dalam mencapai kesepakatan baru.4 Menurut

salah satu analisa, hal ini disebabkan poin dimana ‘dimensi masalahnya telah berubah’ dan ‘meledaknya skandal, terutama erat hubungannya dengan media’.5

Jelas, ada kebingungan cukup besar terkait siapa yang bertanggung jawab guna bernegosiasi dan menyelesaikan berbagai kasus yang terjadi. Seorang wali dari salah satu siswi dari Lille memberi klarifikasi dari prinsip-prinsip hukum yang mendasari skandal: ‘Jika negara yang memutuskan bahwa jilbab dilarang di sekolah, saya akan setuju. Ini adalah kewenangan negara. Tapi para guru tidak memiliki kewenangan memutuskan bahwa hal itu dilarang’. Pertimbangan wali murid tersebut didukung oleh Abdsamad Aïfoute, presiden Asosiasi Mahasiswa Islam bagi Montpellier di Prancis:

Pemerintah harus segera memutuskan posisinya. Masalah ini menyangkut semua [hak] anak usia sekolah. Adalah konyol untuk melarang mereka dari menghadiri sekolah ketika tidak ada [peraturan sekolah] melarang mereka untuk mengenakan jilbab.6

Pada 23 Oktober, jajaran guru dan staf administrasi sekolah di kota Creil menulis surat kepada Kementerian Pendidikan Nasional, Lionel Jospin, memintanya untuk ‘mengekspresikan pendapatnya secara jelas terkait pertanyaan yang telah menjadi isu nasional dalam rangka memulihkan ketenangan di sekolah’.7

Pada 4 November, Jospin meminta pendapat resmi Conseil d'Etat, pengadilan administratif tertinggi Perancis (dalam konteks Indonesia sederajat dengan Mahkamah Konstitusi), yang memilki wewenang untuk memberi masukan pemerintah mengenai permasalahan legislatif dan administratif,8

3 Ibid 156.

4Élisabeth Chikha, Chronologie Hommes et Migrations 1, 2.

5 Fabien Collet, La Laïcité, une doctrine de l’Éducation nationale Diplôme d Études Approfondies (Administration publique) thesis, Université des Sciences sociales de Grenoble, 1995) 17.

6 Monique Glasberg, Vincent Albinet and François Wenz-Dumas, Le choc de l Islam

sur l école de la République , Libération (Praktis), 21 Oktober 1989. 7 Chikha, Loc, Cit, n 4, 3.

(5)

5

apakah 'mengenakan tanda-tanda yang berafiliasi ke komunitas keagamaan tertentu itu kompatibel atau tidak dengan prinsip sekularisme’.9

1.2 Legal opini Conseil d’État

Setelah tiga minggu mengkaji, Conseil d'Etat menyampaikan opini hukumnya pada tanggal 27 November 1989, berjudul ‘Pengenaan tanda-tanda yang mana menunjukkan afiliasi ke komunitas keagamaan (jilbab)’. Singkatnya, Conseil d'Etat memutuskan bahwa memakai tanda-tanda agama seperti jilbab adalah ‘tidak dengan sendirinya bertentangan dengan prinsip sekularisme, sejauh merupakan pelaksanaan kebebasan berekspresi dan kebebasan manifestasi dari keyakinan agama’. Singkatnya, Conseil d'Etat memutuskan bahwa memakai tanda-tanda yang mencirikan keagamaan tertentu seperti jilbab ‘tidak serta merta bertentangan dengan prinsip sekularisme, selama dilakukan dalam lingkup kebebasan berekspresi dan kebebasan memanifestasikan keyakinan keagamaan’. Dengan demikian, siswa boleh memakai ‘tanda-tanda yang berafiliasi keagamaan’ di sekolah umum tanpa mengorbankan prinsip-prinsip sekularisme atau corak pendidikan publik yang sekuler, dan mengenakan jilbab tidak bisa, dengan sendirinya, dijadikan sebab penangguhan anak didik maupun alasan dikeluarkan dari sekolah.

Namun, Conseil d'Etat memberi batasan-batasan terhadap pelaksanaan kebebasan bagi siswa ini. Kebebasan ini bisa dibatasi jika simbol-simbol yang berafiliasi pada agama tertentu tadi, bagi para siswa dipakai untuk ‘berpamer diri atau memprotes’ karakter atau kondisi tertentu di mana hal tersebut dikenakan, dengan maksud untuk menekan, memprovokasi, ajakan untuk memeluk agama tertentu (dakwah/pengabaran) atau propaganda, yang akan membahayakan martabat atau kebebasan siswa yang memakai simbol-simbol tersebut, atau siswa lain atau staf pendidik, kesehatan atau keselamatan, terganggunya kegiatan belajar mengajar atau terganggu fungsi persekolahan.10

Daftar pembatasan kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama anak didik membuktikan bahwa sekularisme haruslah dipahami dalam kaitannya dengan kebebasan-kebebasan tersebut. Dalam prakteknya, mengindahkan sekularisme dan kebebasan beragama secara bersamaan untuk menyeimbangankannya dalam tindakan dan menciptakan keseimbangan adalah salah satu masalah tersulit dan masalah yang selalu diperdebatkan dalam perkara penggunaan jilbab.

gouvernement Conseil d État <www.conseil-etat. fr/cde/fr/conseiller> diakses pada 29 Juni 2009.

9 Conseil d État Assemblée Générale Section de l intérieur , Port de signes d’appartenance à une communauté religieuse (foulard islamique), Avis No 346893, 27 November 1989, 1.

(6)

6

Pendapat hukum yang dikeluarkan Conseil d'Etat tidak memberikan indikasi jelas terkait bagaimana cara sekolah mengidentifikasi simbol-simbol keagamaan yang bisa dianggap ‘secara sendirinya ... pamer’ atau dalam situasi seperti apa simbol-simbol tersebut ini bisa diindikasikan sebagai ‘tindakan untuk menekanan, memprovokasi, dakwah/pengabaran ataupu propaganda’. Bagaimanapun, harus digarisbawahi bahwa sikap dan perilaku anak didik yang mengenakan simbol-simbol keagamaan ke sekolah adalah didudukan sebagai isu penting dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.

Opini hukum Conseil d’État juga menyatakan bahwa sekolah harus menegosiasi-kan masalah terkait secara kasus per kasus, bukannya diputuskan di tingkat nasional. Dengan cara ini, Conseil d'Etat jelas menunjukkan preferensi untuk setiap kejadian harus diselesaikan di tingkat lokal, bukan diselesaikan sesuai dengan seperangkat pedoman yang dikeluarkan otoritas nasional.

Legal opini yang dikeluarkan Conseil d'Etat ini disambut dengan tanggapan beragam. Ada yang megkritik karena kesannya untuk mendukung jajaran guru dan siswa yang sependapat dengan menegaskan posisi masing-masing pihak sebagaimana keputusan yang diambil oleh Menteri Pendidikan Jospin, siswa, kepala sekolah dan jajaran guru, atau minimal tidak bertentangan dengan jabatan publik dari kedua sisi.11 Legal opini tersebut, sebagai salah satu

permasalahan yang diamati, memicu pementasan ‘opera sabun’ di Creil kembali mencuat.12 Muncul juga kekhawatiran karena Conseil d'Etat tidak

mendefinisikan dengan gamblang apa itu sekularisme atau istilah-istilah seperti ‘pamer’, ‘menekan’, ‘provokasi’, ‘dakwah/pengabaran’ ataupun ‘propaganda’, meski penting adanya kriteria apa yang digunakan dalam menilai simbol keagamaan.

Tidak semua respon yang muncul negatif. Seorang akademisi hukum berkebangsaan Inggris, Sebastian Poulter, tampaknya setuju dengan apa yang ingin dicapai Conseil d'Etat ‘[k]ompromi yang seimbang dan masuk akal ... dalam situasi tegang dan kompleks melalui penerapan prinsip-prinsip hukum yang memiliki kaitan dengan HAM’.13

Ketika tiga siswi Creil yang tadi masih dilarang pergi perpustakaan sekolahnya.14 Pada tanggal 2 Desember, saudara Leila dan Fatima kembali ke

sekolah tanpa mengenakan jilbab dan tanpa penjelasan perubahan sikap mereka. Segera menjadi menjadi rahasia umum bahwa Raja Hassan dari

11 Bronwyn Winter, Learning the Hard Way: The debate on women, cultural

difference and secular schooling in France dalam John Perkins and Jürgen Tampke

(ed), Europe: Retrospects and Prospects (1995) 203, 204

12 Le foulard à la carte , L Humanité Perancis , November .

13Sebastian Poulter, Muslim Headscarves in School: Contrasting Legal Approaches

(7)

7

Maroko telah mendekati keluarga para siswi tersebut dan pada malam sebelumnya dengan memanggil dua saudara dan ayah mereka (yang berdarah Maroko) ke kantor kediplomatikan di Paris guna meminta anak-anak mereka menanggalkan jilbabnya.15 Gadis yang lainnya, Samira, merupakan dari

keluarga keturunan Tunisia, akhirnya kembali bersekolah tanpa mengenakan jilbab pada 26 Januari 1990.16 Sekuel pertama dari skandal jilbab, setidaknya

yang menyangkut tiga siswi tadi, berlangsung hanya rentang empat bulan.17

Minggu-minggu berikutnya, animo media dan masyarakat umum terhadap skandal mulai mereda. Sebagian besar kasus, tampaknya sekolah menangani hal-hal tersebut secara pendekatan individual dan ‘melakukan proses dialog dan dengan semangat toleransi dalam menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak’.18 Pelimpahan resolusi konflik ke lokal menunjukan

bahwa legal oponi yang dikeluarkan Conseil d'Etat telah mencapai hasil yang diinginkan terkait perlunya proses dialog yang harus dilakukan dalam setiap kasus.

1.3 Skandal jilbab pada dasawarsa 1990-an

Menyusul kemenangan dalam pemilihan parlemen pada Maret 1993, pemerintahan koalisi partai-partai konservatif yang diasumsikan ke bekas pemimpin Sosialis nasional. Sebagai salah satu hal yang perlu dicatat, kemenangan dalam Pemilu ini menandai titik balik ‘sikap resmi pemerintah terhadap kaum Muslim ... berubah’. imigran ilegal semakin menjadi target polisi dalam ‘pertemuannya’, dan juga menyasar penduduk keturunan Aljazair dan Afrika Utara lainnya yang dicurigai menjadi anggota militan fundamentalis atau bersimpati terhadap mereka yang ditahan, kadang-kadang penangkapan tanpa ada tuduhan resmi.19

Pada September 1994, Menteri Pendidikan baru yang konservatif François Bayrou ‘[membangkitkan kembali] kontroversi’ melalui pernyataannya dalam wawancara dengan majalah yang mana ia bermaksud untuk melarang pemakaian jilbab di sekolah-sekolah umum.20 Pada 29 September 1994, dia

menerbitkan Surat Edaran Kementerian21 yang judulnya tertulis dengan jelas

15 Ibid 11.

16 Luis Cardoso, Au Coeur de l Affaire : Un Professeur de Creil témoigne Paper

presented at the The Veil conference, University of North Carolina, .

17 Menurut Bloul, kontroversi awal ini berlanggung sekitar tiga bulan: Rachel Bloul,

From Moral Protest to Religious Politics: Ethical Demands and Beur Political Action in France Australian Journal of Anthropology 11, 15.

18 Poulter, above n 13, 60.

19 Ban on Islamic scarves renews debate , The Tennessean (Nashville), 15 September 1994, 3A.

20 Ibid.

(8)

8

terkait ‘Pemakaian simbol-simbol yang mencolok di sekolah’. Edaran tersebut merekomendasikan pihak lembaga sekolah untuk mengambil sikap tegas, memperingatkan bahwa ‘idealogi sekulerisme dan nasionalisme merupakan esensi dari adanya sekolah Republik’ dan dasar mengemban tugasnya untuk menyediakan pendidikan kewarganegaraan yang merdeka dari

kehadiran dan proliferasi simbol-simbol untuk pamer/bermewah-mewah justru menandakan mereka memisahkan pribadi seorang siswa dari aturan sekolah umum. Simbol-simbol ini, dengan sendirinya, adalah bagian dari ajakan/dakwah/pengabaran suatu kepercayaan, apalagi ketika hal tersebut jadi bagian yang menjadi sebab pertentangan dalam suatu kelas, ketika hal-hal tersebut melibatkan keselamatan para siswa atau ketika hal tersebut menyebabkan ketidakharmonisan dalam lingkungan kolektif sekolah.22

Surat Edaran Bayrou mendesak para kepala sekolah untuk merumuskan kembali peraturan internal sekolah dengan menyertakan ‘larangan simbol-simbol mencolok’ dan juga memberi draft arahan kata-kata yang harus digunakan dalam melakukan amandemen peraturan internal sekolah. Dalam rumusan kata-kata yang disarankan, disebutkan bahwa meskipun siswa diperkenankan untuk memakai ‘simbol-simbol yang memanifestasikan komitmen personal mereka pada keyakinan tertentu, utamanya keyakinan agama, mereka dilarang memakai ‘simbol-simbol yang mencolok, yang bisa menyatakan dengan sendirinya sebagai ajakan terhadap agama tertentu atau diskriminasi’. Selain itu, perilaku tertentu juga dilarang:

sikap provokatif, ketidaksanggupan mematuhi kewajiban partisipatif dan keselamatan umum, dan perilaku yang cenderung sebai tekanan pada siswa lain, mengganggu kemajuan kegiatan belajar mengajar atau mengganggu ketertiban di sekolah.23

Meskipun Edaran tidak mengacu pada simbol-simbol keagamaan tertentu, secara umum mudah dipahami bahwa Edaran tersebut merujuk pada jilbab. Efek yang ingin dicapai adalah untuk ‘mengubah citra’ jilbab, mengkonfirmasikan bahwa jilbab sekarang bisa dianggap suatu hal yang an ostentatious dan bisa memecah belah yang dengan sendirinya mengandung unsur ajakan dan diskriminatif. Dengan demikian, Surat Edaran ini memperluas batasan secara potensial dari legal opini Conseil d'Etat pada 1989, yang telah menyatakan bahwa ‘penggunaannya [simbol-simbol keagamaan] oleh siswa tidak dengan sendirinya bertentangan dengan prinsip sekularisme’. Tapi, sekali simbol-simbol itu bisa diidentifikasi sebagai ‘bermewah-mewah (ostentatious)’ atau sebagai tindakan untuk menekan, provokasi, ajakan atau propaganda, maka bisa dilarang.

22 Port de signes ostentatoires dans les établissements scolaires Bulletin officiel de l’Éducation nationale 2528, 2528–9

(9)

9

Surat Edaran Bayrou juga diberikan kepada sekolah-sekolah yang masih ingin untuk melarang penggunaan jilbab. Kasus yang secara hukum sebenarnya jelas, sejumlah sekolah segera memasukkan rumusan kata-kata dari surat Edaran Menteri tersebut ke dalam peraturan internal sekolah dan kemudian disahkan guna mengeluarkan para siswi yang mengenakan jilbab. Sebagai contoh, di akhir tahun 1994, dua sekolah menegah lanjutan di Strasbourg telah mengamandemen statuta internal sekolahnya demi memasukan kata-kata yang disarankan oleh Surat Edaran Menteri Pendidikan Perancis Bayrou’s. Dua sekolah tersebut kemudian meminta seluruh siswi muslim yang memakai jilbab ke sekolahan untuk melepasnya atau menerima resiko dikeluarkan. Puluhan diantaranya menolak dan dua sekolah tersebut setidaknya menangguhkan kesiswaan 38 siswi, banyak dari mereka tidak mengenakan jilbab ke sekolah dalam beberapa berbulan-bulan, bahkan ada yang bertahun-tahun. Setelah pengusiran mereka telah dikonfirmasi, 18 siswa diantaranya melakukan gugatan terhadap keputusan pengusiran sekolah ke pengadilan administrasi Strasbourg.24

1.4 Kasus hukum ‘penutup kepala’

Selama tahun 1990, pengadilan administrasi Perancis juga menerima beberapa berkas gugatan lainnya yang diajukan oleh anak-anak yang diusir dari sekolahnya. Sekitar setengah lusin ‘kasus jilbab’ terdengar setiap tahun antara tahun 1992 dan 1995, meskipun pada akhir tahun ajaran 1995 adanya kontroversi ‘kelihatannya mereda dan air pasang telah berbalik arah menjadi dukungan bagi perempuan-perempuan Muslim’.25 Setelah itu, jumlah berkas

kasus hukum melonjak lagi pada rentang 1996 dan 1997, dimana pengadilan administrasi di seluruh Perancis telah menyidangkan 38 dan memutus 21 kasus diantaranya.26

Banyak dari kasus yang diputus menunjukkan bahwa lembaga pengadilan secara konsisten memutuskan bahwa pemakaian jilbab tidak sejalan dengan prinsip sekularisme. Lebih banyak ketimbang sebaliknya, kasus yang diputuskan sepintas berpihak kepada para siswi, tapi siswi-siswi itu sendiri dalam persidangan ibarat ‘memenangkan pertempurannya namun kalah di akhir perang’. Perlu dicermati, hasil akhir dari persidangan kasus tersebut, paling banyak terjadi dalam rentang tahun 1996 hingga 1997: mayoritas (sekitar

24Michel Sousse, Le tribunal de Strasbourg annule l exclusion de lycéennes qui

portaient le foulard , Libération (Perancis), 21 April 1995.

25Cynthia DeBula Baines, L Affaire des Foulards — Discrimination or the Price of a

Secular Public Education System? Vanderbilt Journal of Transnational Law

303, 307.

(10)

10

83 persen) dari kasus-kasus pengusiran anak didik ini dibatalkan oleh pihak pengadilan, sementara sisanya (sekitar 15 per persen) tetap dibenarkan. Bagaimanapun, perlu dicatat bahwa sebagian besar kasus terkait pengusiran cenderung melibatkan siswi secara orang-perorang, sedangkan munculnya kasus penegakan aturan pengusiran seringkali melibatkan sekelompok anak didik tertentu. Berkaitan hal di atas, sekitar 60 persen dari peserta didik yang diusir diperkenankan ke sekolah kembali, sementara itu sebagain besar gugatan dari siswi-siswi tersebut—40 persen—kalah di pengadilan.

Kasus hukum yang terjadi memberikan beberapa gambaran penalaran hukum (judicial reasoning) berkaitan mengenakan jilbab di sekolah publik. Secara keseluruhan, pengadilan telah mempertimbangkan dan berusaha untuk menyeimbangkan berbagai prioritas kepentingan yang saling bersaing. Seperangkat prinsip yang relatif konsisten pun lahir dari dalam kasus hukum tersebut berdasarkan opini legal Conseil d'Etat. Gambaran paling sederhana, sekolah sebenarnya tidak melakukan pengusiran siswa hanya karena penggunaan jilbab semata-mata. Jadi, singkatnya, dari seluruh kasus yang terjadi pada 1996, terkait aturan sekolah yang mengeluarkan anak didik yang mengikuti jam pelajaran sekolah, larangan aturan sekolah sebelumnya, dengan mengenakan jilbabnya hanya berdasar alasan bahwa ‘mengenakan jilbab pada dasarnya tidak sesuai dengan prinsip sekularisme, Conseil d’État telah memutuskan bahwa larangan tersebut inkonstitusional dan pengusiran siswi tersebut adalah salah.27

Akan tetapi, pengusiran bisa dibenarkan, termasuk pemakaian jilbab, jika seorang siswi telah terlibat dalam tindakan politik atau aktivitasnya, menganggu ketertiban umum atau kegiatan belajar mengajar di sekolah, misalnya, membagikan brosur,28 menyebarkan petisi atau ikut berpartisipasi

dalam protes publik,29 atau telah melanggar kewajiban untuk menghadiri

semua kelas atau mematuhi instruksi guru.30 Bisa dikategorikan seperti di atas

juga, yaitu tindakan-tindakan yang bisa dianggap telah mempromosikan pengaruh keagamaan atau politik tertentu ke lingkungan sekolah atau menganggu ketertiban umum di sekolah. Dengan demikian, hal-hal tidak sejalan dengan prinsip sekularisme dalam pendidikan publik. Adalah sangat dimungkinkan juga, legal opini Conseil d'Etat ini untuk dijadikan legitimasi pengusiran siswa yang berusaha untuk mempengaruhi siswa lainnya atau yang secara aktif ikut berpartisipasi dalam protes publik terhadap larangan sekolah tertentu.

Jumlah kasus yang disidangkan oleh pengadilan administratif sendiri mulai berkurang di rentang tahun 1999 hingga 2003. Tidak ada kasus ‘penutup

27 Conseil d’État, No 170343, 20 Mei 1996.

28Cour administrative d appel de Lyon, No 96LY02608, 19 Desember 1997. 29Conseil d État, No , November 1996.

(11)

11

kepala’ yang diputus oleh pengadilan pada tahun 2004 atau 2005, meski periode 2006-2008 terlihat ada lonjakan kasus, 17 kasus, mengemuka sebelum disidangkan.

2. Doktrin sekularisme di Perancis 2.1 Sejarah perkembangan sekularismenya

Bertentangan dengan beberapa pandangan, posisi yang diambil oleh sekolah-sekolah pemerintah dan masyarakat Perancis tidak saja merefleksikan sentimen anti-Muslim, bahkan termasuk upaya yang dirancang justru untuk menyasar jilbab baru-baru ini. Alih-alih, sebagai manifestasi kebijakan sekularisme, yang secara historis tujuan awalnya adalah untuk mencegah kegiatan keagamaan dan ideologi politik serta aktifitasnya mempengaruhi siswa-siswa sekolah umum dan kurikulum.

Penlu diingat, dari perspektif historis, sekularisme di Perancis dikembangkan untuk melawan dominasi Gereja Katolik Roma, dan didirikan untuk menjauhkan pelayanan publik negara dari intervensi Gereja, khususnya di sekolah negeri, menjauhkannya dari keterlibatan dan pengaruh Gereja dan pendetanya. Selama berabad-abad, Gereja Katolik sendiri secara tradisional bertanggung jawab atas pendidikan dan telah memainkan peran penting dalam mengelola sekolah dan menjaga ketertiban umum di Perancis. Gereja dan institusi politik memelihara hubungan dekat, sebagian dampaknya pengurus kegerejaan digaji oleh pejabat publik, dan masing-masing kekuatan lembaga ini saling memberi dukungan satu sama lain dalam hubungan yang mutualis.3131

Pada 1789, pecahnya Revolusi mengantarkan Perancis pada Deklarasi HAM dan Hak Warga Negara (Declaration of the Rights of Man and the Citizen), yang mana menggerus kekuasaan Gereja Katolik beserta lembaga-lembaga Ancien Régime dengan mempromosikan kedaulatan dan persamaan bagi seluruh rakyat Prancis. Sejalan dengan filosofi era Pencerahan, Deklarasi HAM ini mencantumkan ‘hak-hak tak terpisahkan’ yang dirumuskan oleh segenap warga negara berdasarkan hakikatnya sebagai manusia, termasuk di dalamnya hak atas kebebasan untuk mempercayai keyakinan tertentu, sebagaimana termuat dalam Artikel 10, dikatakan ‘Tidak seorangpun boleh diganggu berdasar keyakinannya, bahkan keyakinan berdasar keagamaan, selama manifestasinya tidak mengganggu ketertiban umum yang ditetapkan oleh Undang-Undang’.32

Kendati hubungan antara Gereja Katolik dan negara penuh dengan konflik selama abad kesembilanbelas, Gereja tetap memainkan peran kunci dalam menjaga stabilitas sosial dan loyalitas nasionalismenya terhadap Perancis. Pendidikan agama masih memiliki tempat dalam kurikulum sekolah di bawah

31Carlton J H Hayes, France: a Nation of Patriots (1974) 32.

(12)

12

Napoleon dan para pendeta digaji sebagai pegawai sipil oleh negara. Langkah ke arah sekularisme dalam pendidikan dipicu oleh meningkatnya jumlah pendeta yang mengajar di sekolah umum. Pada tahun 1879, ‘pada malam hukum sekuler yang agung, lebih dari 37.000 pendeta yang menjadi pengajar diberhentikan, setengahnya lagi dipekerjakan di sekolah-sekolah dasar publik’.33

Inisiator utama penerapan sekularisme adalah Jules Ferry, Menteri Urusan Publik 1879-1883. reformasi pendidikan publik, yang dilakukan secara bertahap demi memudahkan penerimaannya, mengimplementasikan tiga cita-cita utama: (i) kesetaraan semua anak melalui penyediaan pendidikan gratis; (ii) hak bagi semua anak untuk mendapat pendidikan, yang menjadi kebutuhan wajib bagi siswa dan (iii) mata pelajaran sesuai yang dibebankan oleh kurikulum negara; dan akhirnya, sekularisme dalam pendidikan publik, menggantikan ‘agama dan moral-instruktif’ dalam kurikulum sekolah umum dengan bentuk ‘sipil dan moral-instruktif.34 Meningkatnya permusuhan

gereja-negara di Perancis akhirnya dibawa ke pusat untuk mendapat status hukum pada 9 Desember 1905.35 Hukum tersebut, yang kemudian hari populer sebagai

UU Pemisahan 1905 (Separation Law; loi du 9 décembre 1905 concernant la séparation des Églises et de l'État), mencabut Concordat 1801 yang dinegosiasikan antara Napoléon dan pihak kepausan yang selama ini mengatur relasi gereja-negara dan status kekuasaan agama di Perancis selama lebih dari satu abad, dan memperkenalkan berbagai tata cara administrasi dan proseduralnya yang secara efektif untuk mebudayakan pemisahan gereja-negara.36 Separation Law 1905 tak terbantahkan sebagai awal mula

sekularisme di Perancis, meskipun kata ‘sekularisme’ tidak disebutkan dalam undang-undang pemisahan gereja-negara1905 terebut. Meski begitu, adanya sekularisme disadari ketika ada keinginan Jules Ferry untuk adanya ‘pemisahan dua wilayah, wilayah sipil dan wilayah religius.37

2.2 Hak dan kewajiban dalam sekularisme

Pada saat diadopsi, UU Pemisahan 1905 mencerminkan pandangan para legislator berkaitan doktrin sekularisme yang mensyaratkan lebih dari sekedar

33 Louis Caperan (dikutip dari Collet, Loc. Cit, n 5, 9).

34 W D Halls, Education, Culture and Politics in Modern France (1976) 7.

35 Berkaitan dengan Pemisahan Gereja dan negara. Sangat Ironis, Jules Ferry diasosiakan untuk selamanya sebagai bapak sekularisme bidang pendidikan publik di Perancis, UU Pemisahan 1905 sendiri tidak disahkan oleh Jules Ferry (yang meninggal pada 1893) tetapi oleh Bienvenu Martin, yang menjabat Menteri Instruksi Publik berikutnya. Nama resmi kementerian pada saat itu adalah Keenterian Instruksi Publik, the Arts and Religions my emphasis : Documents Parlementaires —Chambre , .

36 W D Halls, Education, Culture and Politics in Modern France (1976) 7.

(13)

13

pemisahan bidang administratif, keuangan atau politik menjauh dari Gereja: juga berkaitan dengan hak dan kewajiban. Transkrip debat parlemen pada saat diadopsinya Hukum Pemisahan 1905 mengungkapkan adanya perbedaan pendapat yang sengit yang memecah anggota Parlemen.38 jelas dari perdebatan

adanya concerns terhadap hak-hak dasar dan kebebasan yang memainkan peran penting dalam argumen yang disajikan oleh kedua belah pihak di Parlemen,39 disertai dengan kepedulian ketertiban umum dan gejolak

masyarakat yang menentang sekularisme diyakini akan mengekor terkait adanya pemisahan gereja-negara dan ‘pecahnya kekerasan dengan semua ... kelompok politik tradisional Perancis’.40

Kendati berkaitan dengan sekularisme, Hukum Pemisahan 1905 juga mencantumkan adanya jaminan kebebasan berkehendak bebas (conscience) dan keyakinan (belief) dan kebebasan mengekpresikan keyakinan (freedom of religious expression). Meski begitu, UU juga memperbolehkan pemerintah untuk membatasi kebebasan tersebut demi kepentingan ketertiban umum, sebagaimana termaktub dalam pasal 1 UU Pemisahan 1905: ‘Republik menjaminan kebebasan berkehendak. Ketentuan ini juga menjamin kebebasan untuk menjalankan agama sesuai batas-batas ajaran yang ditetapkan oleh ‘kehidupan setelah kehidupan ini’ dalam rangka menciptakan tertibnya kepentingan umum’.41 Singkatnya, di tahun-tahun awal, doktrin sekularisme

tidak hanya merepresntasikan pemisahan gereja dan negarasebagaimana menurut salah satu dokumen berdirinya, juga dengan tegas untuk menegakkan hak atas kebebasan berkeyakinan.

Preambule Konstitusi Perancis 1946 ((Dimasukkan ke Konstitusi 1958, yang tetap berlaku hingga saat ini) menegaskan kembali prinsip sekularisme: ‘Penyediaan pendidikan gratis, umum dan sekuler di semua jenjang adalah tugas Negara’.42 Konstitsui 1958 di kemudian waktu mencantumkan hak dan

kewajiban, dimulai dalam Artikel 1: ‘‘Perancis adalah Republik kesatuan, sekuler, demokratis dan Republik sosialis. Negara harus menjamin persamaan di depan hukum bagi semua warga negara tanpa ada pembedaan menurut asal-usul, ras atau agama. Negara wajib menghormati semua keyakinan’.43

Pada 1989, Conseil d’État menyatakan dalam legal opini bahwa ‘prinsip sekularisme harus menyiratkan penghormatan terhadap semua keyakinan’,

38 Annales de la Chambre des Députés , Maret , ; lihat juga Annales de

la Chambre des Députés , April , .

39Georges Berry dalam Annales de la Chambre des Députés , Maret , ;

lihat juga Gabriel Deville dalam Annales de la Chambre des Députés , Maret ,

1296.

40 M Ribot dalam Annales de la Chambre des Députés , April , .

41Law of 9 December 1905 relating to the Separation of Churches and State (Perancis) Pasal 1.

(14)

14

lembaga tersebut mendasarkan klaimnya pada Artikel 10 Deklrasi HAM dan Hak Warga Negara (La Déclaration des droits de l'Homme et du citoyen). Conseil d'Etat juga mengutip dari UU Pemisahan 1905, yang menyatakan bahwa ‘Republik menjamin kebebasan berkehendak’. Conseil d'Etat lebih menekankan adanya kebebasan berkeyakinan ‘harus dianggap sebagai salah satu prinsip dasar yang harus dijamin oleh hukum Republik’. Keberadaan kebebasan harus dipahami dan dilaksanakan bersamaan dengan hak-hak lain serta adanya kewajiban-kewajibannya harus dihormati. Menurut Conseil d'Etat, hak dan kewajiban termasuk bagian sekularisme. Baru-baru ini, Parlemen Perancis telah mensahkan dan mengundangkan perihal hak dan kewajiban negara dan masing-masing anak didik berkaitan dengan pendidikan umum.44

Sebagai contoh, Artikel L141-1 UU Pendidikan (Code de l'éducation 2000) secara khusus memasukkan dan mengafirmasi kembali prinsip-prinsip negara hukum:

Negara wajib menjamin akses yang sama untuk anak-anak dan orang dewasa atas pengajaran, pelatihan dan mendapat pengetahuan kebudayaan dan keterampilan; lembaga pendidikan, publik dan sekuler gratis di semua jenjang adalah kewajiban negara.

Lebih lanjut, UU Pendidikan 2000 juga menetapkan hak-hak dan tanggung jawab tertentu yang melekat kepada setiap siswa sekolah publik. Pasal L141-2 UU tersebut menggunakan beberapa metode dalam melindungi kebebasan beragama, meskipun juga memberi kemungkinan bagi negara untuk memberi batasan-batasan berlakunya kebebasan: ‘negara wajib menetapkan perundang -undangan [turunan] yang diperlukan dalam menjamin kebebasan beragama dan pelajaran agama untuk siswa di sekolah publik’.

Kewajiban anak didik tertuang dalam Artikel L511-1, sebagaimana berikut: ‘Kewajiban anak didik terdiri dari melaksanakan tugas yang melekat untuk studi mereka; termasuk ikut berpartisipasi dan menghormati aturan mengenai operasional dan kehidupan kolektif di sekolah. Sementara Artikel L511-2 menetapkan hak-hak siswa:

Di sekolah menengah dan menengah atas, anak didik diakui memiliki hak, sekaligus [wajib] menghormati pluralisme dan prinsip tak memihak, kebebasan informasi dan kebebasan berekspresi. Pelaksanaan kebebasan tidak boleh mengganggu kegiatan belajar mengajar.

Perdebatan interpretasi sekularisme dalam isu jilbab cenderung abai akan adanya jaminan Konstitusi dan adanya jaminan kebebasan berkehendak dan kebebasan beragama oleh Undang-Undang. Perlu diingat, Conseil d'Etat mengakui adanya jaminan-jaminan tersebut sebagaimana dalam legal opininya

(15)

15

yang dikeluarkan pada 1989, bahkan jaminan tersebut tertuang dalam naskah pendirian [negara], prinsip sekularisme dulunya juga dimaksudkan meliputi menghormati kebebasan berkeyakinan.

2.3 UU tentang sekularisme 2004

Pada 2004, rezim hukum yang mengatur pemakaian jilbab telah berubah secara signifikan ketika Parlemen Perancis mengundangkan UU yang secara resmi melarang pemakaian simbol-simbol keagamaan di sekolah publik. UU ini diinisiasi oleh Usulan salah satu Komisi di Parlemen yang diserahkan ke pihak Pemerintah untuk dipertimbangkan, draft UU tentang Penerapan Prinsip Sekularisme di Republik, Komisi ini dipimpin oleh Bernard Stasi, yang sebelumnya juga mantan anggota Parlemen Perancis lalu Eropa dan kemudian putar badan menjadi ombudsman (umbuðsmann: berasal dari bahasa Swedia Kuno) bagi Republik lagi. Selama enam bulan, Komisi melakukan wawancara anggota masyarakat selama lebih dari 100 sesi rapat dengar pendapat publik di Komisi, dan hal ini memancing perdebatan luas terkait ‘apa itu sekularisme’ sebelum membuat Laporan resmi pada bulan Desember 2003.

Dalam preambule Laporan, Komisi menekankan arti pentingnya sekularisme fundamental, menyebutnya sebagai ‘nilai dasar dan prinsip penting’ yang di atasnya sebuah Republik dibangun. Salah satu rekomendasi yang cukup menarik publikasi adalah seruan untuk penyusunan undang-undang baru tentang sekularisme guna memasukkan ketentuan sebagai baru:

One recommendation that attracted considerable publicity called for the drafting of a new law on secularism to include the following provision:

Dalam penuh hormat terhadap kebebasan berkeyakinan dan sifat-sifat tertentu sekolah swasta, pakaian dan simbol-simbol yang memanisfestasikan afiliasi politik atau agama tertentu harus dilarang di sekolah publik primer (setingkat PAUD-TK-SD) dan sekunder (SMP-SMA). Sanksi harus proporsional dan hasus dijatuhkan setelah siswa telah dipanggil untuk mematuhi kewajibannya.45

Komisi menjelaskan bahwa ketentuan tersebut akan berlaku untuk setiap ‘simbol-simbol yang tampak, seperti salib besar, jilbab, atau [kupluk Yahudi]’ tetapi tidak akan diberlakukan terhadap ‘simbol-simbol kebijaksanaan’ yang lebih kecil seperti medali atau liontin terdapat simbol salib kecil, bintang Daud, tangan Fatima atau miniatur Qur'an.46 Contoh-contoh dari larangan

simbol-simbol agama tadi, ciri dari tiga agama besar telah diiplementasikan di PerancisKatolik Roma, Yahudi dan Islammerupakan indikasi jelas bahwa UU tersebut dimaksudkan untuk diberlakukan bagi penganut semua agama.

45 Rapport au Président de la République (2003) Commission de réflexion sur

l application du principe de laïcité dans la République

<www.ladocumentationfrancaise.fr/brp/ notices/034000725.shtml> diakses pada 27 Juli 2009.

(16)

16

Rancangan UU, yang berjudul ‘RUU mengenai penerapan prinsip sekularisme, pengenaan tanda-tanda atau busana yang memanifestasikan suatu ikatan keagamaan di sekolah publik lebih rendah sekolah menengah dan menengah atas’, disahkan dengan dukungan dua kamar di Parlemen (bipartisan) yang luar biasa dan disambut dengan tepuk tangan seluruh anggota. Bagaimanapun, muncul protes luas yang terjadi di Perancis dan juga negara-negara lain di seluruh Eropa, menandai kekhawatiran banyak pihak masyarakat tentang pemberlakuan UU baru tersebut.47

UU baru tersebut juga memasukkan ketentuan-ketentuan/norma-norma [baru] bagi Code of Education:

Ps. L. 141-5-1 — Di sekolah dasar, menengah dan menengah atas, yang mengenakan tanda-tanda atau busana yang mana anak didik secara nyata menampakkan adanya afiliasi terhadap keagamaan dilarang. Materi aturan internal [sekolah] harus mencantumkan bahwa proses pendisiplinan dimulai dengan dialog dengan siswa.48

Larangan ini berlaku bagi semua tanda yang tampak yang membuat pemakainya diafiliasi kepada keagamaan tertentu dengan mudah, artinya mengenakan jilbab, kupluk kebesaran Yahudi dan salib kebesaran Kristen sekarang dilarang di semua sekolah publik. Anak didik yang memakai tanda-tanda tersebut bisa diberi sanksi untuk ditangguhkan atau dikeluarkan.

2.4 Sekularisme Perancis menurut Mahkamah HAM Eropa

Dalam laporannya, Komisi yang dikomandoi Stasi juga telah mempertimbang-kan kemungkinan adanya Undang-Undang tentang Sekularisme amempertimbang-kan bertentangan dengan Pasal 9 Konvensi Perlindungan HAM dan Kebebasan-Kebebasan Fundamental (‘Konvensi Eropa’)-nya Dewan Eropa,49 yang

melindungi hak kebebasan beragama dan kebebasan memanifestasikannya. Namun, patut diakui bahwa Pengadilan HAM Eropa lebih cenderung mengakui ‘tradisi masing-masing negara, tanpa berusaha untuk memaksakan keseragaman model dalam hubungan antara Gereja dan negara’, dan

47 Pada Januari 2004, tens of thousands of Muslims marched in protest against the proposed law on secularism in Paris, Marseille, Lille and other cities across France, while other protests were held in London, Berlin, Stockholm, Brussels, Cairo and

Bethlehem: Mobilisation contre le projet de loi sur la laïcité , Le Monde (France), 17 January 2004; Jean-Paul Dufour, Forte mobilisation à Lille’, Le Monde (Perancis) 19

Januari ; Jon Henley, French MPs reappraise plan to outlaw veils , The Guardian

UK , Januari ; Jon Henley, France steps closer to Muslim headscarf ban , The Guardian (UK), 30 January 2004.

48 Law No 2004-228 of 15 March 2004, art 1: applying the principle of secularism to regulate the wearing of signs or clothing manifesting a religious affiliation in public schools, lower secondary and secondary schools.

(17)

17

meninggalkan bagi masing-masing negara ‘sekelumit penghargaan’ sehubungan relasi Gereja-negara. Menurut Komisi ini, ‘[P]engadilan Eropa yang bermarkas Strasbourg akan melindungi sekularisme jika itu adalah nilai fundamental dari suatu negara’ dan, sebagai tambahan, ‘adanya pembatasan akan diperbolehkan dalam hal kebebasan berekspresi dalam ranah layanan publik, terutama jika hal tersebut menyangkut perlindungan anak-anak dari tekanan eksternal’.50

Pada tahap ini, Mahkamah HAM Eropa belum diperlukan guna mem-pertimbangkan apakah UU 2004 tentang sekularisme bertentangan dengan Pasal 9 tentang hak untuk kebebasan beragama, atau tidak. Namun, pada 4 Desember 2008, Mahkamah menyampaikan keputusannya berkaitan dengan dua ‘kasus jilbab Perancis’,51 baik bagi kasusnya yang terjadi sebelum

berlakunya UU 2004 tentang sekularisme. Dalam dua kasus tersebut, Mahkamah terlihat mendukung otoritas Pemerintah dan otoritas sekolah-sekolah Perancis, membenarkan pengusiran dari dua siswi muslim sebagai pihak Pemohon, karena mereka mengenakan jilbab.

Dua kasus tersebut mencuat secara bersamaan, terjadi dalam rentang waktu hampir bersamaan dan di lembaga sekolah yang sama pula: dua siswi Muslim tersebut, berusia 11 dan 12 tahun, mengenakan jilbab ketika mengikuti mata pelajaran olah raga, diminta dalam sejumlah kesempatan untuk melepasnya, kedua siswi tersebut tetap menolak untuk melakukannya maka diusirlah dari sekolah. keluarga siswi tersebut mengajukan gugatan pengusiran, sampai kehabisan semua pilihan hukum yang tersedia di dalam negeri. Kedua siswi kemudian melakukan mengeluh ke Mahkamah HAM Eropa terkait pengusiran yang melanggar Artikel 9 Konvensi Eropa yang mejamin hak atas kebebasan beragama mereka dan Artikel 2 Protokol Nomor 1 Konvensi Eropa yang menjamin hak atas pendidikan mereka.

Pengadilan menanggapi dua keluhan siswi tersebut secara bersamaan. Ditemukan fakta hukum adanya larangan sekolah untuk mengenakan jilbab selama pelajaran jasmani dan keolahragaan, dan pengusiran siswi-siswi tersebut, [tapi adanya larangan] merupakan bentuk limitasi atas pelaksanaan hak atas kebebasan beragama mereka. Bagaimanapun perlu diingat, sebagaimana tertuang dalam Artikel 9 (2) Konvensi Eropa bahwa kebebasan seseorang dalam memanifestasikan agamanya diperbolehkan adanya pembatasan-pembatasan tertentu yang ‘ditentukan oleh hukum (law) dan diperlukan dalam masyarakat demokratis demi keselamatan kepentingan publik, [untuk menjaga] ketertiban umum, kesehatan atau moral, atau untuk melindungi hak-hak dan kebebasan orang lain’.

50 Commission de réflexion sur l application du principe de laïcité dans la République, atas no. 45, 20–1, 59.

(18)

18

Setelah mempertimbangkan legal opini Conseil d'Etat pada 1989, Surat Edaran Menteri Pendidikan dan kasus hukum yang relevan yang terjadi, Mahkamah mengakui bahwa pembatasan-pembatasan memiliki dasar hukum cukup di dalam hukum domestik dan dapat dianggap sebagai telah ditentukan oleh perundang-undangan’. Lebih lanjut, adanya pembatasan utamanya untuk mencapai tujuan yang legitimatif guna melindungi hak-hak dan kebebasan orang lain, serta melindungi ketertiban umum.52 Mahkamah menyatakan

bahwa Pasal 9 Konvensi Eropa tidak melindungi setiap tindakan dimotivasi atau terinspirasi oleh agama atau keyakinan. Dalam masyarakat demokratis dimana beberapa agama hidup saling berdampingan dalam tempat berpopulasi yang sama, perlu untuk membatasi kebebasan beragama demi mendamaikan kepentingan-kepentingan berbagai kelompok dan memastikan bahwa keyakinan semua orang dihormati.53

Ketika pertimbangan Mahkamah dalam mengambil kesimpulan didasarkan bahwa memakai jilbab itu tidak sesuai dengan kelas olahraga karena alasan kesehatan atau keselamatan, sangatlah tidak masuk akal. Selain itu, berbagai proses pendisiplinan terhadap anak didik sepenuhnya memuaskan dalam memberi beban latihan untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan yang ada. Terakhir, hukuman pengusiran dari sekolah tidak muncul dalam bentuk tidak proporsional.

Pengadilan menemukan jawaban terkait pertanyaan apakah siswi-siswi tersebut telah melanggar batas-batas hak mereka dalam mengekspresikan dan memanifestikan keyakinan agama mereka di tempat sekolah ‘jatuh tepat di dalam margin apresiasi negara’. Mahkamah lebih lanjut menyatakan bahwa sekularisme adalah prinsip konstitusional dan prinsip dasar pendirian Republik Perancis, perlindungan yang paling utama adalah melindungi kepentingan utama, khususnya di sekolah-sekolah. Kegagalan menjamin tegaknya prinsip-prinsip tersebut belum tentu akan ada jaminan kebebasan manifestasi keagamaan dan hal itu tidak akan pernah dijamin oleh ketentuan Artikel 9 Konvensi Eropa.54

Dengan demikian, dengan menimbang keadaan dari kasus dan untuk ‘margin apresiasi yang harus diserahkan kepada domain negara’, Mahkamah menyimpulkan bahwa pembatasan tersebut dibenarkan [secara hukum] karena berkaitan hal yang prinsipil dan perlunya proporsionalitas sejalan dengan tujuan yang ingin dikejar. Sebagai hasilnya, diputuskan bahwa tak ada pelanggaran terhadap Artikel 9 Konvensi Eropa.55

52Kervanci v France and Dogru v France, [48], [5960]. 53 Ibid [612].

(19)

19

2.5 Undang-Undang 2010 tentang pencekalan burqa

Skandal jilbab, dan terjadinya fragmentasi sosial dan politik yang menganga, baik secara refletif atau katalis, cukup mereda pada 2005. Meski begitu, perdebatan busana keagamaan di Perancis belum usai. Pada 2009, Presiden Nicolas Sarkozy mengumumkan dalam pidatonya di hadapan Parlemen bahwa menutup wajah secara penuh atau baju kurung yang menutup seluruh tubuh (‘voile intégral’), yang juga dikenal sebagai burqa atau niqab, tidak semestinya diterima di Perancis. Pemerintah juga mengumumkan telah membentuk sebuah komisi di Parlemen guna mengkaji lebih jauh praktek pemakaian burqa di Perancis. Assemblée nationale

Pada Januari 2010, komisi melaporkan temuannya kembali ke Majelis Nasional (Assemblée nationale). laporan mencatat isu-isu yang saling berkonflik, seperti hak-hak sekuler dan tanggung jawabnya di Perancis; kaum republikan nasionalis; kaum militan keagamaan fundamentalis; faktor-faktor yang menghambat remaja perempuan dan perempuan Muslim dari orang tua, keluarga dan masyarakat; pentingnya pendidikan; dan HAM dan hak perempuan atas kesetaraan, kebebasan memilih dan kebebasan bergerak, serta kebebasan memilih dan berkehendak bagi perempuan Muslim menyangkut berbusana mereka.

Laporan juga juga membuat beberapa rekomendasi, yang pertama menyatakan bahwa burqa harus dikecam karena bertentangan dengan nilai-nilai Republik dan merupakan bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum perempuan yang juga harus dikutuk. Rekomendasi lainnya menyarankan bahwa hukum imigrasi dan pengungsi harus diamandemen dalam prosedur meminta status kewarganegaraan dan status pengungsi, agar menerima nilai-nilai seperti kesetaraan gender dan prinsip sekularisme dan untuk memungkinkan penolakan status izin tinggal dan kewarganegaraan untuk kaum fundamentalis berdasar keagamaan. Rekomendasi nomor 13 menganjurkan pengadopsian hukum yang melarang penyembunyian wajah seseorang di tempat publik.56

Menanggapi laporan ini, Majelis Nasional dalam Parlemen Perancis mengesahkan Undang-Undang yang melarang mengenakan pakaian yang akan menyembunyikan wajah seseorang di tempat publik. Setiap pelanggaran dapat didenda maksimal 150 euro atau citizenship classes, atau gabungan keduanya. Undang-undang juga melarang siapapun memaksa orang lain untuk menyembunyikan wajahnya, dengan ancaman hukuman satu tahun penjara dan denda 30.000 euro. Dua bentuk sanksi tadi akan diberlakukan dua kali lipat jika pihak yang paksa adalah anak di bawah umur. UU, yang mendapat

56 Mission d information sur la pratique du port du voile intégral sur le Territoire

national, Rapport d information fait en application de l article du Règlement,

(20)

20

dukungan kuat dari dua kamar di Parlemen dan telah disetujui oleh Dewan Konstitusi Perancis, mulai berlaku pada 11 April 2011.

Terlebih lagi, Perancis bukan satu-satunya negara Eropa yang mencekal Burqa: pemerintah Belgia memberlakukan undang-undang yang sama pada 2010, sementara parlemen di Italia, Belanda, Spanyol, Jerman, Denmark dan Inggris juga telah memperdebatkannya untuk adopsi sebagai hukum pelarangan burqa.

3. Kesimpulan

3.1 Legislasi menentang busana

Salah satu masalah yang muncul dalam konteks larangan mengenakan penutup kepala adalah kesulitan praktis penerapan UU dalam melarang barang-barang sehari-hari seperti pakaian atau perhiasan. Sebagai contoh, bisa dibilang akan sulit untuk menentukan kapan penutup kepala bisa dikatakan simbol keagamaan atau hanya sebagai bagian kebudayaan, sebagai lawan item busana tanpa embel-embel makna tertentu.

Pertanyaannya, bagaimana membedakan antara jilbab dan penutup kepala yang tidak mencerminkan karakteristik keagamaan, atau, tentu saja, bagaimanakah membedakan antara penutup kepala dan barang-barang religius lainnya dari apa yang dikategorikan item pakaian, yang dilestarikan/ dibudayakan/dibiasakan/dikembangkan (raised) di sejumlah kesempatan di Perancis. Sebagai contoh, seorang gadis Muslim diskors dari sekolahnya di Avignon karena memakai jilbab berbordir/terlukisi (notedthat) yang dia pakai ke sekolah sejak tahun 1982 dan ini adalah pertama kalinya ia dijatuhi sanksi karena memakainya. Ayahnya mengomentari

Ayahnya berkomentar, ‘‘Jika dia [didakwa] telah mendakwahkan Islam aku akan maklumi, tapi itu, itu hanya syal’.57 Beberapa Muslim juga mengatakan

bahwa wanita Yahudi dan Kristen yang taat juga mengenakan jilbab/penutup kepala, dan bahkan Perawan Maria sendiri jarang dilukis tanpa memakainya sekalipun.58

Jelas di sini, dalam konteks skandal jilbab, fungsi penutup kepala di sini dengan sendirinya bukan hanya sekedar item busana. Ciri simbolitasnya terbukti dalam kesepakatan kompromistis yang diusulkan ke para siswi di Creil: pemakaian jilbab mereka diperbolehkan di halaman sekolah dan koridor/lorong-lorong sekolah dengan syarat jilbab diturunkan sebahu siswi selama dalam mengikuti kelas belajar mengajar.59 Dengan kata lain, simbolisme

57Chantal Seignoret, C est juste un foulard , La Croix Perancis , Oktober . 58 À bas Rushdie, vive le foulard! L Évènement du Jeudi Perancis , November 1989

(21)

21

yang kuat keberadaan jilbab bisa dilawan dengan keteguhan sikap penuh simbolis yang berimbang atau lebih besar.

Kadang-kadang juga tergantung pada bagaimana memaknai arti penutup kepala. Di salah satu sekolah, aturan sekolahnya justru menganjurkan para siswanya untuk mengenakan penutup kepala ‘à la provençale’. Menurut salah satu guru siswa tersebut, dia telah memakai ‘bentuknya (penutup kepala) ada yang dengan [ornamen] bebek kecil di atasnya dan lainnya lagi dengan bunga-bunga. Sangat cantik’.60 Tampak jelas, penutup kepala siswi sekolah ini bisa

diterima lebih mudah (atau dibiarkan) ketika ditampilkan dalam gaya pedesaan (rural-style) atau menampilkan motif/ornamen bunga-bunga atau hewan, bukan jilbab hitam yang sering kali diinterpretasikan dari waktu ke waktu dengan fundamentalisme agama dan politik.

Selain itu, bagaimana bisa jilbab dikomparasikan dengan tanda-tanda agama lain atau pakaian, seperti salib atau kippa Yahudi, atau kopiah? Pada tahun 1994, Surat Edaran Menteri Pendidikan François Bayrou telah memberi pembedaan antara ‘tanda-tanda/simbol-simbol kebijaksanaan yang boleh dikenakan oleh siswa dalam memanifestasikan ‘komitmen pribadinya terkait keyakinan [agama]’. Secara umum, bahwa perhiasan yang menampilkan salib Kristen atau crucifix bisa saja dianggap tanda kebijaksanaan dan karena itu dapat diterima untuk dilarang. Demikian pula, tidak ada yang bisa menunjukkan bahwa Surat Edaran Menteri pada 1994 tidak akan mempengaruhi pakaian keagamaan lain seperti kippa. Komunitas Yahudi sendiri telah merasa prihatin sejak awal mula terjadinya skandal, yang mana kippa bisa saja menjadi salah suatu simbol ‘pamer’.61 Pada 1989 sendiri,

Menteri Pendidikan Lionel Jospin telah meyakinkan komunitas Yahudi bahwa kippa tidak termasuk diantaranya, dan pada tahun 1994 Perdana Menteri Édouard Balladur juga secara tegas meyakinkan kepada pemuka Yahudi di suatu perhelatan makan malam bersama bahwa kippa tidak memiliki ‘karakter pamer’.62

Namun Marceau Long, Wakil Presiden Conseil d'Etat, pada 1994 melempar pertanyaan, ‘Bagaimana mungkin seseorang mengatakan bahwa jilbab adalah

60Anne Fohr, École: la déchirure , Le Nouvel Observateur (Perancis), 6 Oktober 1994, 46.

61 Le couvre-chef dans le judaïsme , Les nouveaux Cahiers (1994) 37 (dikutip dalam

Dominique Le Tourneau, La laïcité à l épreuve de l Islam: le cas du port du foulard islamique dans l école publique en France Revue générale de Droit 275, 294).

62Philippe Bernard, Marceau Long s interroge sur la validité de la circulaire Bayrou

à propos du foulard islamique , Le Monde (Perancis), 20 September 1994; lihat juga

(22)

22

pamer tapi kippa, [atau] salib besar atau crusifixes yang terlihat modis tidak termasuk diantaranya?’63

Kontradiksi-kontradiksi yang ada juga menyoroti kesulitan perundang-undangan terkait perberlakuannya pada item pakaian nanti: sejauh mana batasan perundang-undangan tersebut dan bagaimana mengawasinya atau menegakkannya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul di Perancis ketika Stasi Commision menyampaikan laporannya dan rekomendasi terkait sekularisme pada 2004. Mengomentari RUU tentang sekularisme, Menteri Pendidikan Luc Ferry berujar secara spekulatif bahwa selain tanda-tanda agama, jenggot atau bandana dipakai oleh peserta didik mungkin juga akan bisa dilarang jika benda tersebut terlihat ‘religius’: ‘tanpa pelu pikir panjang untuk menganggapnya simbol keagamaan, akan berlaku di bawah hukum tersebut’.64

Menteri tersebut juga gagal dalam pernyataan spekulatifnya berkaitan kesulitan praktis dalam hal mengidentifikasi jenggot atau bandana yang mungkin menjadi simbolisasi keagamaan dan cara membedakannya dari orang-orang yang berjenggot dan memakai bandana tetapi tidak memiliki motif untuk itu. Selain itu, perdebatan baru-baru ini kembali terjadi di Perancis dalam memecahkan pertanyaan apakah perlu adanya larangan hukum bagi perempuan Muslim yang mengenakan burqa atau niqab di ruang publik dan apakah wanita Muslim yang menutupi seluruh anggota tubuh mereka di ruang publik merupakan bentuk serangan terhadap sekularisme dan hak-hak perempuan.65

Masalah serupa juga mengemuka di Australia. Pada bulan November 2002, anggota Dewan Legislatif New South Wales, Fred Nile, menyerukan adanya larangan wanita Muslim mengenakan cadar (yang terdiri dari jilbab dan jubah panjang yang menutupi seluruh tubuh) di tempat-tempat publik di Australia karena dikhawatirkan mereka mungkin menyembunyikan senjata di balik pakaian mereka.Seruannya diabaikan karena faktanya, dalam praktek beberapa pakaian harian lainnya termasuk trench coats dan busana model poncho juga dapat digunakan untuk menyembunyikan senjata. Baru-baru ini, pada Juli 2009, seorang wanita Muslim mengenakan cadar di dalam bus Sydney didekati oleh sopir bus dan diberitahu untuk ‘menyingkirkan topengnya’. Wanita itu menuduh sopir diskriminatif dan bertanya apa perbedaan antara apa yang dikenakannya denan masker flu babi yang banyak orang pakai.66

63 Bernard, Loc. Cit, n. 62.

64Jon Henley, Veil ban may extend to religious beards , The Guardian Inggris , Januari 2004.

65 Port de la burka en France: des députés réclament une commission d enquête parlementaire , Le Point Perancis , Juni 2009.

66Simon Santow, Muslim woman culturally raped in veil bus row ABC News

(23)

23

3.2 Batasan yang ditetapkan lembaga yudisial

Isu lainnya yang harus dipecahkan adalah soal pertanyaan tentang bagaimana membangun sebuah rezim hukum yang mampu melindungi hak-hak dalam merespon berbagai kebutuhan dan keadaan yang ada. Sebelum tahun 2004, rezim hukum di Perancis yang mengatur pemakaian penutup kepala didasarkan pada legal opini 1989 Conseil d'Etat dan penerapan teknis-praktis legal opininya oleh pengadilan administratif dalam setiap kasus ‘penutup kepala’. Dalam legal opininya, Conseil d'Etat tidak memerintahkan secara definitif, baik untuk memperbolehkan atau melawan pemakaian jilbab. Sebaliknya, legal opini tersebut telah memetakan ketentuan-ketentuan konstitusional dan perundang-undangan yang relevan, dan juga menentukan seperangkat prinsip panduan berkaitan dengan pendidikan publik sekuler secara ekstrapolatif, yaitu kebebasan beragama dan hak-hak serta kewajiban anak didik. Dalam menerapkan prinsip-prinsip legal opini Conseil d'Etat, pengadilan administratif harus menyesesuaikan dengan keadaan yang berbeda dari masing-masing kasus, ragam keputusan yang dikeluarkan pengadilan memang nyatanya menunjukan adanya perlindungan.

Secara keseluruhan, skandal ‘jilbab’ mencerminkan adanya kecenderungan di sebagian lembaga pengadilan —dan hukum yang mereka diterapkan—untuk melindungi pendidikan dan kebebasan beragama siswi-siswi Muslim yang mengenakan jilbab, juga adanya maksud untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip sekularisme dengan melindungi ketertiban umum yang memberi limitasi terhadap hak-hak siswa.

Beberapa keputusan pengadilan secara konsisten bahwa pihak sekolah tidak berhak mengusir peserta didik hanya karena mengenakan jilbab atau tidak berdasar pada yang aturan legal yang sah. Pada saat yang sama, Conseil d'Etat juga menerapkan kewajiban yang dibebankan kepada peserta didik untuk menghormati ketertiban umum dan memperhatikan tanggung jawabnya untuk hadir dan berpartisipasi dalam kela dan kegiatan sekolah, dan peserta didik dapat dikenakan sanksi jika kewajiban tersebut dilanggar. Akibatnya, seperti yang saya catat sebelumnya, kasus-kasus pengusiran peserta didik yang dilakukankan, setidaknya sebagian besar peserta didik secara aktif terlibat dalam peristiwa yang menyebabkan pengusirannya.

(24)

24

Dalam praktis, kasus-kasus hukum yang terjadi tampaknya tidak berfungsi sebagai pembenar secara praktis atas prinsip-prinsip kunci dan memang fleksibilitas itulah yang dianjurkan oleh Conseil d'Etat sebagaimana dalam legal opini 1989. Dalam hal ini, Conseil d'Etat telah berusaha untuk menyeimbangkan sejumlah prioritas, termasuk kebebasan beragama dan sekularisme, sementara juga menyediakan prinsip-prinsip hukum untuk memandu penerapan hukumnya sesuai dengan keadaan masing-masing kasus. Ketidaksesuaian dan ketidaktepatan pembatasan penggunaan simbol-simbol keagamaan akan menyasar segala bentuk penutup kepala yang akan bisa ditafsirkan secara luas dan diterapkan secara fleksibel.

Apa yang bisa dipetik dari terjadinya skandal, mayoritas terjadinya pengusiran siswa telah memathkan anggapan, mencerminkan sifat adil legal opini Conseil d'Etat ini. Sebuah pendefinisian secara sempit sekularisme yang melarang menampilkan semua simbol-simbol keagamaan, seperti yang diusulkan oleh Menteri Pendidikan Bayrou pada tahun 1994, akan membelenggu upaya pengadilan untuk menghormati kompleksitas prinsip-prinsip yang bertaut dalam mengartikulasikan legal opini 1989 Conseil d'Etat.

Namun pada 2004, lahirnya UU tentang sekularisme secara efektif mendefinisikan ulang sekularisme dalam arti sempit, membatasi dan menyediakan sanksi terkait pilihan peserta didik dalam hal tampilan berbusana religius atau mengingdikasikan kemiripan (signsthat) terhadapnya, dengan konsekuensi sanksi yang cukup serius bagi hak-hak peserta didik atas kebebasan ekspresi keagamaannya. Dengan demikian, UU 2004 tentangg sekularisme secara radikal mengubah rezim hukum sebelumnya, memberlakukan larangan secara langsung dalam hal pemakaian simbol-simbol keagamaan yang dapat dilihat dan menghilangkan diskresi hukum dari lembaga yudisial dan fleksibilitasnya, yang mana pengadilan administrasi diperbolehkan dalam menilai masing-masing keadaan kasus perkasus dalam membuat keputusan. Di bawah ketentuan hukum yang baru, siswi Muslim berkemungkinan untuk dikeluarkan dari sekolah, entah mereka telah terlibat dalam kegiatan politik atau dakwah/pengabaran atau tidak, akan dianggap menganggu proses belajar mengajar atau ketertiban.

Dengan cara seperti ini, secara halus UU 2004 tentang sekularisme telah mengubah perimbangan dalam pertimbangan hukum yang diberlakukan pengadilan administrasi Perancis, khususnya Conseil d’Etat, yang telah berusaha mencapai keseimbangan hal tersebut sepanjang 1990-an. Selain itu, keberadaan UU 2004 telah mengkompromikan hak dengan nilai-nilai sekularisme dan tujuan pendirian Republik. Akibatnya, hal tersebut memiliki dampak signifikan bagi doktrin sekularisme itu sendiri di Perancis.

(25)

25

Pada akhirnya, bagian ini harus kembali lagi kepada isu sekularisme sebagai kebijakan resmi serta nilai budaya dan masyarakat itu sendiri. Jelas, skandal jilbab di Perancis adalah kesempatan untuk mempertimbangkan dengan seksama sejauh mana ranah operasional lembaga sekular dalam konteks modernitas. Ada kesepakatan umum secara luas bahwa sekularisme adalah prinsip penting dalam Perancis kontemporer, meski banyak juga orang yang tetap bingung terkait bagaimana menginterpretasikan dan menerapkan sekularisme dan nilai-nilainya dalam skandal jilbab.

Ada juga ketidaksetujuan tentang bagaimana doktrin sekularisme seharusnya dipahami dan implikasinya: apakah dari sekularisme ‘garis keras’ atau variannya yang fleksibel itu? Sekularisme ‘garis keras’ mengharuskan adanya netralitas pelayanan publik secara ketat menyeluruh, yang harus ditegakkan dengan adanya pelarangan semua peserta didik sekolah publik dari memanifestasikan keyakinan keagamaann, sebuah pembatasan manifestasi keagamaan yang berlaku bagi siapa saja yang berniat menampilkan atau mempraktikkannya, itu hanya bisa dilakukan dalam ranah kehidupan privat peserta didik atau pada akhir pekan. Sebaliknya, interpretasi atas sekularisme yang lebih fleksibel akan menyediakan suatu form di mana semua keyakinan agama dapat diterima dan dinyatakan sama. Model variasi sekularisme seperti ini akan bisa mengayomi semua keyakinan, menghargai kebebasan berekspresinya dalam bentuk simbol-simbol keaagamaan secara terbuka seperti jilbab—adalah masalah hak individu.67

Tentu saja, ada faktor lain yang bermain dalam skandal jilbab, arti skandal bukan hanya konflik antara nilai-nilai sekuler dan kebebasan beragama. Pada 1989, Jospin mencatat beberapa faktornya: munculnya ‘perasaan anti Arab yang kuat’ Karena adanya perang kemerdekaan Aljazair; isu kontroversial keimigrasian; masalah sosial-ekonomi seperti pengangguran dan tempat tinggal yang tidak layak bagi kebanyakan warga Perancis yang Muslim; dan, pada akhirnya, ‘pertanyaan terkait [seperti apa] identitas nasionalisme orang Perancis dan [seperti apa] tempat orang asing dapat ikut serta di dalamnya. Menurut Jospin, adanya fakta masyarakat Prancis ‘bisa menjadi begitu meradang [ terhdap skandal jilbab] pasti merupakan bentuk kegelisahan’ terkait isu-isu mirip di atas.68

Perlu digarisbawahi bahwa pada 1905, sengitnya perdebatan Parlemen terjadi ketika UU Pemisahan 1905 disahkan didasarkan pada keprihatinan yang mendalam atas pemisahan gerejanegara [dianggap] bisa melemahkan atau bahkan menghancurkan Republik. Mungkin kegelisahan yang mengapung terkait skandal jilbab mencerminkan kekhawatiran yang lebih kontemporer sehubungan dengan aspek-aspek sekularisme modern yang mana telah

67 Le Tourneau, Loc. Cit, n. 61, 289.

68Lionel Jospin, Now or Never dalam Anne Corbett dan Bob Moon (ed), Education

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis dalam penilitian ini memaparkan bahwa ada pengaruh dari variabel kualitas pelayanan terhadap kepercayan wali murid dalam menitipkan anaknya di tempat penitipan

Berdasarkan penegakkan diagnosa menurut kriteria World Health Organization (WHO) tahun 2002-2003 untuk diagnosis demam rematik &amp; penyakit jantung rematik

Dan bentuk penyimpangan- penyimpangan tidak akan terjadi pada individu yang memiliki karakter dan jiwa yang nasionalis dan patriotis dan untuk membentuk generasi

Goal “ flower name is white lily ”, kesimpulan dari Rule 19 dan sub-goals adalah “ flower name is lily ”, kesimpulan dari Rule 14 dan “ life type is perennial ” ,

Hasil kajian Hopkinson (2018) menggambarkan bahwa rendahnya kualitas dan produktivitas perguruan tinggi salah satunya disebabkan karena banyaknya permasalahan studi

Dari ketiga fungsi komunikasi keluarga yaitu pembentukan konsep diri, aktualisasi diri, dan untuk memperoleh kebahagiaan, menghindarkan diri dari tekanan dan

Grafik 4.2 Pencapaian Skor Rata-rata Kemampuan Membuat Pilihan Karir Peserta Didik antara Sebelum dan Setelah Pelaksanaan Layanan Bimbingan Karir.... Muhibbu

Susunan daun genjer ini termasuk daun lengkap, letak daun tersebar, ketebalan daun tebal, bentuk daun lonjong, warna daun hijau, permukaan daun licin, tulang daun